MAKALAH (1)
-
Upload
universitas45 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of MAKALAH (1)
1
Pilkada dan Demokratisasi LokalStudi kasus: Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur
Periode 2008-2013
1. Fredi Sukmana2. Dadang Sulaiman3. Egi Mega Putra Sriwijaya4.
2
Fakultas HukumUniversitas Langlangbuana
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas kuasa sehingga penyusunan makalah ini dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Kami juga berterimakasih
kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami
dalam penyusunan makalah ini.
Makalah untuk Mata Kuliah Birokrasi dan Demokrasi kali
ini mengangkat topik mengenai keterkaitan antara Pilkada Jawa
Timur periode 2008-2013 dengan proses demokratisasi lokal.
Dalam kesempatan ini menganalisa tentang Pilkada Jawa Timur.
Makalah ini kami susun sedemikian rupa dengan mencari dan
menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik
melalaui buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya.
Kami berharap dengan informasi yang kami dapat dan kemudian
kami sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup
tentang Pilkada dalam hubungannya dengan demokratisasi lokal.
Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada
seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam
penulisan maupun kutipan, kami terlebih dahulu memohon maaf
dan kami juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga
3
semua pihak dapat menikmati dan mengambil esensi dari makalah
ini. Trimakasih.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................1
KATA PENGANTAR .........................................2
DAFTAR ISI .............................................3
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang .....................................4
I.2 Identifikasi Masalah ...............................5
I.3 Tujuan Penulisan ...................................5
BAB II KERANGKA TEORI DAN GAMBARAN UMUM
4
II.1 Pemilihan Kepala Daerah ...........................6
II.2 Demokratisasi Lokal................................9
II.5 Gambaran Umum Pilkada di Jawa Timur ..............10
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN........................15
BAB IV PENUTUP
IV.1 Kesimpulan .......................................17
IV.2 Saran ............................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
5
Pemilihan langsung Kepala Daerah menjadi consensus
politik nasional, yang merupakan salah satu instrument
penting penyelenggaraan pemerintahan setelah
digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Sedangkan
Indonesia sendiri telah melaksanakan Pilkada secara
langsung sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 32
tahun 2004. tentang pemerintahan daerah. Hal ini apabila
dilihat dari perspektif desentralisasi, Pilkada langsung
tersebut merupakan sebuat terobosan baru yang bermakna
bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.
Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang
lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk
menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. System
ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk
mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik
tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite
politik, seperti ketika berlaku sistem demokrasi
perwakilan. Pilkada langsung juga memicu timbulnya
figure pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan
berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena Kepala
Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga
dibandingkan pada segelitir elite di DPRD.
Akan tetapi Pilkada tidak sepenuhnya berjalan mulus
seperti yang diharapkan. Dapat kita lihat contohnya pada
pilkada di Jawa Timur. Pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur
6
menjadi salah satu sejarah bagi proses demokratiasasi
lokal di Indonesia. Proses pilkada pertama kali di Jawa
Timur berlangsung dengan banyak masalah tetapi masalah
tersebut tidak menyebabkan runtuhnya system pemerintahan
dan politik lokal di Jawa Timur. Masalah tersebut justru
diselesaikan melalui jalan hukum yang sah dan sesuai
dengan hakikat demokrasi.
Pembahasan pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota
yang demokratis dan berkualitas, seharunya dikaitkan
tidak dengan pemahaman akan makna demokrasi, tetapi juga
aspek normatif yang mengatur penyelenggaraan Pilkada dan
aspek-aspek etika, sosial serta budaya. Semua pihak-pihak
yang ikut andil dalam pelaksanaan Pilkada, harus memahami
dan melaksanakan seluruh peraturan perundangan yang
berlaku secar konsisten. Pada dasarnya Pilkada langsung
adalah memilih Kepala Daerah yang profesional,
legitimate, dan demokratis, yang mampu mengemban amanat
otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Selayaknya Pilkada di Indonesia
dilaksanakan dengan efektif dan tetap menjunjung tinggi
asas demokrasi dan hukum. Oleh karena itu, kami mencoba
untuk menganalisa pelaksanaan pilkada di jawa Timur
berdasarkan perspektif demokratisasi lokal yang sedang
menjadi isu sentral dalam pelaksannaan otonomi daerah dan
7
demokrasi di Indonesia. Dengan demikian dapat dianalisa
proses demokratisasi lokal melalui pelaksanaan pilkada di
Jawa Timur.
I.2 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur?
2. Bagaimana proses pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur
dalam konteks konsolidasi demokrasi lokal?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pilkada di Jawa
Timur dalam konteks konsolidasi demokrasi lokal.
BAB II
KERANGKA TEORI DAN GAMBARAN UMUM
8
II.1 Pemilihan Kepala Daerah
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum
diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system
pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Pada dasarnya daerah merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya sinkron
dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu
pemilihan secara langsung. Menurut Rozali Abdullah,
beberapa alasan mengapa diharuskan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, adalah:
II.1.1. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
Warga masyarakat di daerah merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas
kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak
9
tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena
itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan
kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk
menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara
lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.
II.1.2. Legitimasi yang sama antar Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dengan DPRD
Sejak Pemilu legislatif 5 april 2004, anggota
DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetap
dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh
rakyat, maka tingkat legitimasi yang dimiliki DPRD
jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang
dimiliki oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
II.1.3. Kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah
dan wakil daerah dengan DPRD
Pasal 16 (2) UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa DPRD, sebagai
Badan Legislatif Daerah, berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra pemerintah daerah. Sementara itu,
menurut Pasal 34 (1) UU No. 22 Tahun 1999 Kepala
Daerah dipilih oleh DPRD dan menurut pasal 32 ayat
10
2 jo pasal 32 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999, Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
kepada DPRD. Logikanya apabila Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD
maka kedudukan DPRD lebih tinggi daripada Kepala
Daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan mitra
sejajar dan kedudukan sejajar antar Kepala Daerah
dan DPRD maka keduanya harus sama-sama dipilih oleh
rakyat.
II.1.4. UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR,
DPD, dan DPRD
Dalam UU diatas, kewenangan DPRD untuk memilih
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah dicabut.
II.1.5. Mencegah politik uang
Sering kita mendengar isu politik uang dalam
proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah oleh DPRD. Masalah politik uang ini terjadi
karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oleh
DPRD dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Oleh karena itu, apabila dilakukan
pemilihan Kepala Daerah secara langsung kemungkinan
terjadinya politik uang bisa dicegah atau setidaknya
dikurangi.
11
Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang
penyelenggara pemilihan umum, mengamanatkan bahwa Pilkada
dibawa kedalam ranah Pemilihan umum. Sehingga secara
resmi dinamakan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Pilkada yang pertama kali diselenggarakan
berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh
Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal
56, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat
berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung
oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam,
12
peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik
lokal.
Pilkada langsung sebagai pengejawantahan dari
demokratisasi lokal telah dilaksanakan di berbagai daerah
di Indonesia. Banyak evaluasi dan dan analisa mengenai
pelenggaraannya menyimpulkan suatu kondisi yang sama,
yaitu bahwa penyelengaraan Pilkada langsung belum
sepenuhnya berjalan sesuai yang diharapkan. Penerapan di
lapangan masih menyisakan masalah yang mendasar. Pilkada
langsung masih didominasi kelompok elitis tertentu
melalui oligarki politik, sehingga pilkada langsung
menjadi proses demokratisasi semu. Partisipasi masyarakat
lebih bersifat di mobilisasi. Hal ini sama halnya dengan
proses politik sebagai suatu penguatan demokrasi lokal
masih belum terjadi, justru konflik-konflik horizontal
yang mengarah kepada anarkisme cenderung sering terjadi,
yang disinyalir sebagai akibat dari adanya berbagai
kelemahan dalam tata peraturan penyelenggaraannya, dan
munculnya berbagai manipulasi dan kecurangan.
Menurut Silahuddin dkk, permasalahan – permasalahan
yang timbul selama penyelenggaraan pilkada langsung,
yaitu :
a. Permasalahan kelembagaan pilkada langsung
Permasalahan ini berkaitan erat dengan KPUD sebagai
penyelenggara Pilkada, pengawas ( PANWAS ) serta
13
dukungan pemerintah daerah selama pilkada
berlangsung.
b. Permasalahan dalam tahapan persiapan pilkada
langsung
Permasalahan krusial yang kerap terjadi selama
pilkada antara lain adalah sempitnya masa
pemberitahuan dari DPRD kepada Kepala Daerah dan
KPUD tentang masa berakhirnya masa jabatan Kepala
Daerah, masalah pemantauan pilkada langsung, masalah
sosialisasi.
c. Permasalahan dalam tahapan pelaksanaan pilkada
langsung
Lemahnya pemutakhiran data pemilih, mekanisme
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
pelanggaran kampanye, manajemen logistic pilkada,
masalah money politic, masalah pendanaan dan
pertanggung jawabannya, hal tersebut diatas
merupakan masalah krusial pada tahapan pelaksanaan
pilkada langsung
II.2 Demokratisasi Lokal
Demokratisasi lokal adalah implikasi dari
desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai
perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya
mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk
14
rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah
keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau
konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama.
Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses
demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di
tingkat lokal.
Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu
dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem
politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan,
partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan
yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam
tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika
terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi
dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh
ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin
aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan
pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam
proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan
prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas
pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan
merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik
yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik,
pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘
15
lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi
itu berlangsung.
II.3 Gambaran Umum Pilkada di Jawa Timur
II.3.1 Putaran Pertama
Pilkada Jawa Timur ditetapkan dilaksanakan pada 23
juli 2008, yang tepat jatuh pada hari rabu. Pilkada Jawa
Timur diikuti oleh lima calon pasangan Cagub dan Cawagub.
Pasangan dengan nomor urut satu adalah Khofifah Indar
Parawansa dan Mudjiono yang didukung oleh 12 parpol.
Pasangan dengan nomor urut dua adalah Sutjipto dan Ridwan
Hisjam dari PDIP. Pasangan dengan nomor urut tiga adalah
Soenarjo dan Ali Maschan Moesa dari Partai Golkar.
Pasangan dengan nomor urut empat adalah Achmady dan
Suhartono dari Partai Kebangkitan Bangsa. Pasangan yang
terakhir adalah Soekarwo dan Saifullah Yusuf yang
didukung oleh Partai Demokrat, PAN, dan PKS. Pemilihan
Gubernur Jawa Timur akan diikuti 29.061.718 pemilih dan
akan mencoblos di 32.756 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
KPU juga menyiapkan 217 TPS khusus yang ditempatkan di
terminal dan rumah sakit.
Hasil dari Pilkada Jatim putaran pertama (Data KPU Kota
Mojokerto) diperoleh suara sebagai berikut:
1. Khofifah dan Mudjiono = 4.223.089 =
24,82%
16
2. Sutjipto dan Ridwan = 3.605.106 =
21,19%
3. Soenarjo dan Ali Maschan Moesa = 3.290.448 =
19,34%
4. Achmady dan Suhartono = 1.397.291 =
8,21%
5. Soekarwo dan Saifullah Yusuf = 4.498.332 =
26,44%
JUMLAH = 17.014.266 =
100 %
Berdasarkan hasil Pilkada Jawa Timur putaran
pertama, tidak ada calon yang memperoleh suara lebih dari
30% maka akan diadakan Pilkada Jawa Timur putaran kedua.
Dengan demikian maka calon yang berhak ikut dalam Pilkada
Jawa Timur putaran Kedua adalah pasangan nomor urut satu,
Khofifah dan Mudjiono, dan pasangan dengan nomor urut
lima, Soekarwo dan Saifullah Yusuf. Angka golput pada
Pilkada Jawa timur putaran pertama sekitar 20-30%.
II.5.2 Putaran Kedua
Pilkada Jawa Timur putaran kedua yang diikuti oleh
pasangan Khofifah - Mudjiono dan Soekarwo - Saifullah
Yusuf, dilaksanakan pada 4 november 2008. Pada Pemilihan
gubernur putaran kedua ini diikuti 29.280.470 pemilih
yang terdiri atas 14.369.596 pemilih laki-laki dan
17
14.910.874 pemilih perempuan. Untuk lebih dari 29 juta
pemilih itu disediakan 62.859 TPS, termasuk 216 TPS.
Hasil perhitungan resmi pilgub jatim putaran II versi
KPU adalah
Pasangan Kaji (Khofifah I.P dan Mudjiono)
: 7.669.721 suara
Pasangan Karsa (Soekarwo dan Syaifullah Yusuf )
: 7.729.944 suara
Dari suara sah sebanyak 15.399.665, terdapat 506.343
suara tidak sah. Dengan hasil itu, pasangan Karsa unggul
tipis 60.233 suara atau 0,40 persen dibanding pasangan
Kaji. Dari hasil tersebut maka pasangan Soekarwo -
Syaifullah Yusuf dinyatakan sebagai pemenang dalam
Pilkada Jatim untuk periode 2008-2013, yang dilaksanakan
dalam dua putaran. Namun, kubu dari pasangan Kaji menolak
untuk menandatangani hasil dari Pilkada Jatim putaran
kedua karena menilai terdapat banyak kecurangan yang
terjadi didalamnya. Pelanggaran yang mereka catat selama
proses coblosan ulang antara lain, daftar pemilih tetap
(DPT) di Pamekasan, Bangkalan dan Sampang berbeda pada
putaran pertama lalu. Menurut Khofifah "Banyak proses
penghitungan yang tidak prosedural dan angkanya berubah
dari KPPS (TPS) ke PPK (kecamatan). Bahkan ada formulir
isian C-1 yang dicorat-coret dan di-tip ex, padahal
18
formulir C-1 itu merupakan dokumen negara," ujarnya.
"Selain itu, ada penggelembungan surat suara dan jumlah
TPS di wilayah Madura. Bahkan yang lebih tidak masuk
akal, di sejumlah TPS di wilayah Madura, suara Ka-Ji dan
golput (tidak mencoblos) nol. Ini kan aneh dan
keterlaluan," tambah Khofifah.
Pasangan Khofifah dan Mudjiono akhirnya melaporkan
kecurangan-kecurangan dalam Pilkada Jawa Timur ke
Mahkamah Konstitusi. Permohonan yang diajukan oleh
pasangan tersebut, terdiri dari empat hal. Pertama, MK
diminta menerima dan mengabulkan permohonan keberatan
yang diajukan oleh pemohon untuk seluruhnya. Kedua,
pemohon meminta pembatalan hasil perhitungan suara yang
ditetapkan termohon sesuai dengan keputusan termohon
Nomor 20 tahun 2008 tertanggal 11 November 2008 tentang
rekapitulasi hasil perhitungan pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 2008
putaran kedua. Ketiga, menetapkan perhitungan suara hasil
Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur adalah sebagaimana yang
diajukan pemohon, yaitu pasangan Jatim No 1 sejumlah
7.595.199 suara dan pasangan Jatim No 2 sejumlah
7.573.680 suara. Terakhir, menyatakan pasangan
cagub/cawagub dengan nomor urut 1, Khofifah dan Mujiono
sebagai pasangan terpilih dalam Pilkada Jatim 2008. Namun
akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa:
19
putusan Mahkamah Konstistusi (MK) No 41/PHPU-D-VI/2008 :
Memerintahkan KPUD Jatim agar melakukan pemungutan
ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang, serta
penghitungan di Pamekasan, paling lama 60
hari setelah amar putusan ini dengan
mempertimbangkan kemampuan KPUD Jatim. Mengabulkan
sebagian permohonan pemohon dan membatalkan
keputusan KPUD Jatim sepanjang mengenai rekapitulasi
suara di Kabupaten Pamekasaan, Bangkalan, dan
Sampang
memerintahkan KPU dan Bawaslu untuk benar-benar
mengawasi pemilihan ulang dan penghitungan suara
ulang di tiga kabupaten terebut agar tercipta pemilu
yang jujur dan adil. MK menilai, secara materil
telah terjadi pelanggaran ketentuan pilkada yang
berpengaruh terhadap perolehan suara.
Majelis Hakim diketuai oleh Mahfud MD, Maria Farida
Indrati, Achmad Sodiki, Maruarar Siahaan, Arsyad Sanusi,
Muhammad Alim, Mukti Fajar dan Akil Mochtar. Dengan
demikian Mahkama Konstitusi memutuskan adanya Pemilihan
Kepala Daerah Jawa Timur Putaran kedua.
II.5.3 Putaran Ketiga (ulang)
20
Pada putaran ketiga ini, dilakukan pemungutan suara
ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Serta melakukan
penghitungan ulang di Pamekasan. Dari hasil rekapitulasi
suara yang digelar KPUD Jatim, pasangan KarSa dinyatakan
memenangkan coblosan dan penghitungan ulang di Bangkalan,
Sampang dan Pamekasan.
Di Bangkalan, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf meraih
suara sebanyak 253.981, Sampang 210.052 suara, dan di
Pamekasan 216.293 suara. Sedangkan Khofifah-Mudjiono
memperoleh suara di Bangkalan sebanyak 144.238, Sampang
146.036 dan Pamekasan 195.117 suara.
Dari hasil coblosan dan penghitungan ulang, serta
ditambahkan dengan suara di 36 kabupaten lainnya, KarSa
tetap memenangi pilgub Jatim. Jumlah suara untuk KarSa
sebanyak 7.660.861 atau 50,11 persen. Ka-Ji memperoleh
7.626.757 atau 49,89 persen. Sedangkan suara tidak sah
sebanyak 508.789. Dengan hasil ini kubu Khofifah tetap
tidak puas dan mengajukan gugatan kembali ke Mahkamah
Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi menolak gugatan
dari Kubu Kaji karena menggangap kesalahan bukan berasal
dari kubu lawan melainkan dari pihak penyelenggara.
21
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari
proses demokrasi regional yang dituntut oleh perkembangan
desentralisasi. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar
yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi
lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada
langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat. Hal ini senada dengan
pelaksanaan Pilkada langsung yang diadakan di Jawa Timur.
Pelaksanaan Pilkada Jawa Timur periode 2008-2013
yang pada putaran pertama diikuti oleh lima calon
pasangan gubernur dan wakil gubernur. Pada prosesnya
telah sesuai dengan prinsip dasar demokrasi yaitu prinsip
keterwakilan rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan kelima
calon gubernur dan wakil gubernur tersebut berasal dari
unsur masyarakat Jawa Timur. Sedangkan partisipasi
masyarakat sebagai pemilih berjumlah 29.061.718 Jiwa.
Jumlah tersebut menandakan tingkat antusiasme masyarakat
Jawa Timur dalam proses demokrasi. Pilkada langsung
putaran pertama ini, dari kelima calon tersebut tidak ada
yang melebihi batas ambang kemenangan 30% maka diadakan
Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh dua calon yang
22
memperoleh suara terbanyak yaitu pasangan Khofifah-
Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Jusuf.
Pada putaran kedua Pilkada Jawa Timur dimenangkan
oleh pasangan Soekarwo dan Syaefullah Jusuf dengan
selisih 0,40% dari total suara. Terjadi permasalahan
disini, pasangan Khofifah dan Mudjiono menolak
menandatangani hasil dari Pilkada pada putaran kedua
karena menilai terdapat banyak kecurangan yang terjadi
didalamnya kemudian pasangan tersebut melaporkan
kecurangan yang terjadi kepada Mahkamah Konstitusi yaitu
lembaga yang berhak menangani sengketa dalam Pemilu. Oleh
Mahkamah Konstitusi diputuskan bahwa harus dilaksanakan
Pilkada ulang di dua Kabupaten yaitu Bangkalan dan
Sampang, serta penghitungan ulang di Kabupaten Pamekasan.
Proses ini merupakan sejarah bagi demokratisasi lokal di
Indonesia dimana pengakuan atas hak maupun tuntutan
benar-benar tidak diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yudikatif, dengan ini prinsip control
dalam negara demokrasi telah terpenuhi.
Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang
penting karena dengan Pilkada, Kepala Daerah yang akan
memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan
terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara
langsung. Sehingga untuk Pilkada DI Jawa Timur ini,
layaklah disebut sebagai pilkada yang demokratis walaupun
23
masih banyak kelemahan, kecurangan, dan kekurangan.
Kepala Daerah terpilih (Soekarwo dan Syaifullah Yusuf )
inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam
pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan
demokrasi lokal, penyediaan pendidikan dasar dan layanan
kesehatan, perbaikan kesejahteraan rakyat, penerapan
prinsip tata pemerintahan yang baik dan lain sebagainya.
Nada pesimis dan pandangan negatif dari berbagai
kalangan tentang pelaksanaan pilkada di Jawa Timur tidak
meniadakan arti pentingnya institusi ini dalam
konsolidasi demokrasi lokal di era desentralisasi. Bagi
masyarakat lokal khususnya Jawa Timur yang terpenting
adalah memilih Kepala Daerah yang dinilai mampu untuk
memimpin daerah, dengan demikian sedikit banyak akan
semakin memupuk dan memperkuat demokrasi lokal di
Indonesia yang telah beranjak dewasa. Sekali lagi
walaupun masih terjadi banyak kekurangan baik itu
permasalahan kelembagaan, permasalahan dalam tahapan
persiapan, maupun permasalahan dalam tahapan pelaksanaan.
24
BAB IV
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Pemilihan langsung Di Jawa Timur ini dapat
memberikan popular mandat kepada calon terpilih, sehingga
dapat memperkuat peran dan kedudukannya terhadap DPRD,
atau dengan kata lain posisi Gubernur dengan DPRD Jawa
Timur sejajar. Pilkada di Jawa Timur ini dapat mengurangi
intervensi DPRD terhadapap gubernur dan agar “transaksi
politik” yang melahirkan “money politics” dapat
diminimalisasi. Sehingga Pilkada sebagai pengejawantahan
dari demokratisasi local dapat berjalan dengan
demokratis.
Dengan kata lain Pilkada di Jawa Timur ini adalah
instrument untuk menguatkan tradisi demokrasi langsung di
tingkat lokal. Bahwa penguatan demokrasi lokal ini juga
akan memperkuat keterlibatan masyarakat Jawa Timur dalam
perencanaan dan pengawasan kebijakan yang merupakan
konsekuensi logis yang dapat terjadi. Tetapi demikian,
pemilihan langsung ini tidak pula akan serta merta
menghilangkan praktek praktek kecurangan, kelemahan, dan
kekurangan lainnya yang terjadi di banyak daerah di Jawa
Timur.
25
IV.2. Saran
1. Pilkada sedagai pengejawantahan dari demokrasi local
sudah selayaknya dipersiapkan sematangnya oleh
pemerintah daerah, KPUD, dan unsur terkait agar
mereduksi permasalahan-permasalahan yang akan
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan
Kepala Daerah secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2005.
Fatwa, A M. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa.
Jakarta: YARSIF WATAMPONE. 2002
Hardjito, Dydiet. Pemecahan masalah yang Analitik: Otonomi
Daerah dalam Kerangka NKRI. Jakarta: Premada Media. 2003.
Prasojo, eko. Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh
Kurniawan. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model
Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: DIA FISIP UI.
2006.
26
Prasojo, eko. Teguh Kurniawan, dan Defny Holidin.
Reformasi dan Inovasi Birokrasi; Studi di Kabupaten Sragen. Jakarta:
YAPPKA. 2007.
Silahuddin, dkk. Evaluasi Penyelengaraan Pemilihan Kepala
Daerah secara Langsung. Bandung: PKP2A I- LAN. 2007.
Winasa, I Gede. Menterjemahkan Otonomi Daerah Tanpa Basa
Basi. Bali: Komunitas Kertas Budaya Jembrana. 2004.