MAKALAH KEWARGANEGARAAN
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of MAKALAH KEWARGANEGARAAN
MAKALAH KEWARGANEGARAAN
“ RAJA - RAJA KECIL YANG RAKUS ”
DISUSUN OLEH
AMOS PANGIDOAN PASARIBU
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2014
Kata Pengantar
Makalah ini berjudul Raja-Raja Kecil Yang Rakus, dimana
penguasa penguasa di daerah tidak sedikit yang
menyalahgunakan wewenagnya melalui otonomi daerah.
Makalah ini diajukan dalam tugas akhir mata kuliah
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Indonesia. Makalah ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu semua tanggapan, saran-saran
saya ucapkan terima kasih guna perbaikan dikemudian.
Harapan saya kiranya makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan bagi kita tentang pengawasan
kinerja dari Pemerintah Pusat pada umumnya dan Pemerintah
Daerah pada khususnya.. Semoga niat baik kita semua
mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Jakarta, 20014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia para bapak bapak pendiri telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita desentralisasi
ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan
Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era
Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD
1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa
cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara
Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke
periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam
intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi
tersebut, maka langkah-langkah penting sudah dilakukan
oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah
membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita
ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan
membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam
realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan
ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah
terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru
menuju ke arah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASA
2.1. Otonomi Daerah
Hakikat dan spirit otonomi daerah sesuai dengan UU
No.22 Tahun 1999 dan No.25 Tahun 1999 adalah distribusi
dan pembangunan kewenangan berdasarkan asas
desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada
strata pemerintahan guna mendorong prakarsa lokal dalam
membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI. Regulasi
UU No.22 dan 25 Tahun 1999 merupakan manisfestasi dari
aktualisasi spirit otonomi daerah yang bermuatan
political sharing, financial sharing, dan empowering
dalam mengembangkan kapasitas daerah (capacity building),
peningkatan SDM dan partisipasi masyarakat.
Implementasi kebijakan otonomi secara efektif
dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2001,
memberikan proses pembelajaran berharga, terutama
esensinya dalam kehidupan membangun demokrasi,
kebersamaan, keadilan, pemerataan dan keanekaragaman
daerah dalam kesatuan melalui dorongan pemerintah untuk
tumbuh dan berkembangnya prakarsa awal (daerah dan
masyarakatnya) menuju kesejahteraan masyarakat. Prinsip
dasar otonomi daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara konsepsional adalah:
pendelegasian kewenangan (delegation of autority),
pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan
(dicreation), keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity
in unitry), kemandirian lokal , pengembangan kapasitas
daerah (capacity building).
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif
dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol
adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju
kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya
yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan
antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam,
kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya
bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan
kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan
pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan,
perikanan dan kelautan, jalan, UMKMK, Perda yang counter
productive, dsb.
Akibatnya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah
Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas
masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan
kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang
represif telahmembunuh secara dini aspirasi daerah untuk
menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimililiknya.
Pemerintah Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber
dana agaknya juga sangat kewalahan menghadapi persoalan
dan gejolak yang terjadi di aras lokal. Berarti selama
lebih dari 52 tahun Merdeka, Indonesia gagal melakukan
konsolidasi dan persatuan daerah yang adil dan merata.
Mungkin saja, karena mempertahankan kekuasaan sebuah
rezim lebih diutamakan bahkan cenderung berlebihan
sehingga urusan daerah bukan demi kemandirian tetapi
justru dalam format mempertahankan kekuasaan.
Menurut informasi banyak Gubernur yang juga kecewa
terhadap kebijakan Otonomi Daerah, terlepas mereka
kehilangan sebagian besar kekuasaannya, karena dalam
Otonomi Daerah posisi Gubernur secara politis memang
terpinggirkan. Ini disebabkan karena unit pelaksana Otonomi
Daerah berada pada tingkat kabupaten dan kota. Undang
undang tidak mengatur secara hierarkis antara gubernur dan
bupati/walikota. Jadi Gubernur tidak lagi menjadi atasan
walikota atau bupati. Dengan sendirinya kekuasaan mereka
hanya terbatas pada kekuasaan administrati.
2.2. Kesiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Globalisasi mengakibatkan kompetisi semakin terbuka
dan tingkat tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik
yang memadai. Berbagai macam persoalan yang dihadapi
masyarakat akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan
otonomi daerah. Persoalan yang sangat mendasar adalah
implementasi yang tidak teratur karena memang dibiarkan
seperti itu. Ketidakteraturan tersebut salah satunya
dikarenakan lemahnya kepemimpinan. Kebijakan otonomi
daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan
keutuhan bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat
mewujudkan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses
demokrasi di daerah berjalan baik dan adanya peningkatan
kesejahteraan di daerah. Daerah memiliki kepercayaan
kepada pemerintah pusat yang akhirnya dapat memperlancar
pembangunan bangsa melalui keutuhan nasional.
Dengan adanya globalisasi, teknologi, dan perubahan
sosial mengakibatkan dampak yang besar terhadap
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena perubahan-
perubahan inilah maka kebijakan pemerintah daerah
haruslah mempunyai Standar Pertanggungjawaban
(Accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan.
Implikasinya jelas, Pemerintah Daerah harus memberikan
pelayanan yang lebih efektif dan Cost effisien dalam
keterbatasan anggaran yang ada. Semua ini sangat
tergantung kepada kemampuan aparat Pemerintah daerah
dalam berpikir, bersikap, bertindak kreatif dan inovatif
dalam memanfaatkan peluang-peluang serta mengatasi
tantangan dalam perubahan yang begitu cepat. Dalam
menghadapi tantangan tersebut itulah diperlukan sisi yang
tepat tentang pemahaman dan pengelolaan manajemen
pemerintahan. Namun demikian harus disadari bahwa upaya
melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan manajemen
pemerintahan tidak semudah yang diperkirakan, karena akan
menghadapi berbagai tantangan dan resistensi berbagai
pihak baik dari dalam maupun dari luar yang merasa akan
dirugikan atas adanya perubahan tersebut. Bagi para
pelaku baik di sektor publik maupun di sektor swasta
perubahan dimaksud pada intinya mencakup aspek-aspek:
strategi (Strategic), sistem (System), kemampuan
(Abiliry), personil ( staft) gaya kepemimpinan (sryle),
rekatan nilai budaya (Shared Value).
2.3. Raja-Raja Kecil yang Rakus
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,
pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik
adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang
meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini
diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru
di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi
daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana
sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa
desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri
sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah”.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari
kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu
indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.
Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu
pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah
tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan
efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan
pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu
dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau
mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya
dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat
mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli
Daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalam
memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak
ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan
tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
Otonomi daerah menjadi lahan yang subur bagi para
pelaku-pelaku kriminal seperti korupsi. Korupsi atau
rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Menyinggung masalah korupsi berarti pula masalah
pelanggaran dengan kejahtan jabatan, latar belkangnya,
faktor-faktor penyebabnya sampai pada penanggulangannya.
Jika membicarakan korupsi maka yang pertama-tama adalah
tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau orang yang
memiliki kewenangan dan jabatan, dimana kewenangan atau
jabatannya tersebut disalah gunakan dengan maksud untuk
menguntungkan dan menambah kekayaan diri sendiri, orang
lain maupun korporasi.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Perbuatan melawan hukum,
- Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,
dan
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan
semuanya, adalah
- Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- Penggelapan dalam jabatan,
- Pemerasan dalam jabatan,
- Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), dan
- Menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis
adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan terhadap
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang
arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak.
Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti
penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja.
Korupsi layaknya penyakit yang belum ditemukan
obatnya. Semakan hari semakin parah, dan para ahli sedang
meramu obat yang cocok untuk mengobati penyakit yang satu
ini. Demikian pula lembaga pemerintah yang menangani hal
ini, berjuang terus menemukan hukuman yang sesuia yang
memberikan efek jera terhadap pelaku maupun calon pelaku.
Korupsi tidak saja terjadi pada pejabat-pejabat tinggi
Pemerintah seperti Presiden, Mentri, Gubernur dan
sebagainya, justru sebaliknya korupsi terjadi pada
penguasa-penguasa didaerah atau pemerintah daerah.
Salah satu dampak negatif dari otonomi dearah yakni
terjadinya korupsi pada pemerintah daerah. Banyaknya
kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh pejebat-pejabat
daerah akhir-akhir ini membuktikan bahwa, korupsi sedang
mengancam kearifan dan kesejahteraan masyarakat daerah
serta berdampak pada sistem perekonomian Negara. Dengan
adanya otonomi, pemerintah daerah mengatur sendiri
daerahnya serta mengelola sendiri daerahnya tanpa campur
tangan dari pemerintah diatasnya. Dengan demikian
pemerintah daerah dalam mengelola dananya cenderung
diperhadapkan dengan tantangan moral yang tinggi. Mengapa
tidak ? uang merupakan media yang paling sensitif dalam
bidang manapun, oleh karena itu pengawasan oleh
pemerintah pusat harus dilakukan secara intensif.
Praktik korupsi di era reformasi yang kian menyebar
ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu
menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi. Yang
mengkhawatirkan adalah, sebagian besar praktik korupsi di
daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota
legislatif (DPRD) yang jelas-jelas di pilih oleh rakyat.
Jika fenomena tersebut dapat dibongkar secara lebih
besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat
mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption
Watch, bahwa hingga akhir 2010 ada 148 mantan kepala
daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala
daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun
kasus yang diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27
kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sedangkan sisanya belum diizinkan presiden.
Program otonomi daerah tidak diikuti dengan program
demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan
masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya,
program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada
elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan
politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau
penyalahgunaan wewenang. Rentannya pejabat daerah
terhadap korupsi mengakibatkan hilangnya kepercayaan
rakyat terhadap pemerintah, sehingga berdampak pada
birokrasi yang kacau balau. Korupsi benar-benar telah
menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat
membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat,
terlebih di negara kecil dan berkembang seperti
Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya
tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat
miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang
semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan
kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis
kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan
kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak
mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi
masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi
bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum,
mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Azasi
Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan
dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme
dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat,
serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing.
Dengan kata lain, korupsi merupakan salah satu elemen
yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya
keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,
sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi
pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.
Korupsi di negara kita sangat marak terjadi hampir
di seluruh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah,
hal ini dapat terjadi adalah karena integritas dari
pegawai yang sangat rendah, system pemerintahan dan
pengawasan yang tidak efektif, sangsi hukum yang tidak
memilki efek jera dan masyarakat sendiri yang memandang
koruptor bukan pelaku kejahatan luar biasa, sehingga ada
kecenderungan siapapun yang menduduki jabatan tertentu
akan melakukan tindak pidana korupsi. Maraknya kasus
korupsi yang dilakukan kepala daerah di negeri ini sudah
memprihatinkan. Salah satu faktor pemicu korupsi adalah
mahalnya ongkos politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada). Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya politik
pilkada langsung sangat mahal. Makanya berbagai cara
dilakukan kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya
politik. Biaya politik tak hanya besar saat pencalonan
dan kampanye. Setelah calon kepala daerah berhasil
mendapatkan jabatan, mereka juga harus mengeluarkan biaya
besar untuk memelihara konstituen dan membayar duit balas
jasa terhadap partai politik (parpol) pengusung.
Sejujurnya, besarnya ongkos politik tidak terlepas
dari tiga faktor. Pertama masalah regulasi. Ketiadaan
regulasi yang mengatur besaran dana yang digunakan dalam
kampanye membuat kandidat yang bertarung dalam pilkada
adu jor-joran menggelontorkan dana. Kedua, lemahnya
pengawasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) ketika kampanye. Seharusnya
sejak resmi maju di pilkada dan setelah kampanye, harta
kekayaan seluruh calon kepala daerah diaudit oleh auditor
independen. Dari situ KPU bisa mengetahui ada atau
tidaknya kejanggalan dalam penggunaan dana kampanye.
Ketiga, penyebab korupsi, yakni kepala daerah tidak
berhati-hati dan kurang mengerti prosedur penganggaran di
daerah. Biasanya pejabat model ini, mereka tidak
menikmrati uang hasil korupso, tapi karena tak mengerti
dalam membuat kebijakan akhirnya mereka terperangkap
terlibat korupsi. Selain ketiga faktor itu, otonomi
daerah (otda) juga memicu terjadinya perilaku korupsi.
Dengan adanya otonomi daerah, kepala daerah jadi memiliki
wewenang dan momentum untuk melakukan korupsi, karena
kewenangan penuh mengelola dana daerah. Dengan kewenangan
yang besar, pejabat bisa tergiur melihat anggaran yang
begitu besar.
Tidak sedikit upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memberantas kejahatan ini, dengan menjatuhkan
hukuman pada pelaku. Namun hal demikian belum memberikan
efek jera bagi pelaku, ada-ada saja kasus serupa terjadi
dimana-mana. Solusinya adalah dengan memperbaiki sistem
birokrasi yang ada serta memberikan hukuman seberat-
bertanya bagi koruptor. Ironisnya, koruptor-koruptor di
Indonesia masih dapat tersenyum leber bahkan tertawa
meskipun sudah berstatus sebagai terdakwa oleh
pengadilan. Sangat jauh berbeda dengan tersangka koruptor
di negara lain seperti cina yang menerapkan hukuman matu
bagi koruptor. Menurut saya, Indonesia kita tercinta ini
terlalu bertele-tele dalam menangani kasus korupsi,
harusnya indonesia menerapkan hukuman mati bagi koruptor,
akan tetapi hal ini banyak dibantah oleh masyarakat
bahkan pemerintah yang adalah pelakunya sendiri. Dengan
alasan melanggar hak azasi manusia, jika kita pahami
korupsi merupakn tindakan melanggar hak azasi manusia,
kenapa tidak ? oleh karena satu orang yang rakus dapat
merugikan jutaan orang lain, apakah itu tidak malanggar
HAM ? hal ini jelas melanggar HAM, merebut hak anak-anak
untuk memperoleh pendidikan, memperoleh layanan kesehatan
dan lain lain. Oleh karena itu bukan hanya pemerintah,
akan tetapi masyarakat harus bekerja keras memerangi
kejahatan melanggar HAM ini.
BAB III
KESIMPULAN
Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), maka harus ditangani secara luar
biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak.
Karena, langkah-langkah strategis yang dirancang
sedemikian rupa tidak akan berarti tanpa kerja sama dari
semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk
menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar
otonomi serta menjadi berkah daerah benar-benar bernilai
bagi rakyat di daerah.
Pada dasarnya otonomi daerah adalah pembanguna
masyarakat. Tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai
lahan korupsi di daerah, akan tetapi bergantung kepada
kepala daerah yang memimpin, apakah ia memiliki tujuan
yang membangun masyarakat atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
Pide, Andi Mustari, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah
Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya Media Pratama:
Jakarta, 1999
http://www.rmol.co/read/2013/02/14/98335/Ssttt,-300-
Kepala-Daerah-Terjerat-Kasus-Korupsi
http://news.okezone.com/read/2012/12/20/339/734666/
ongkos-politik-mahal-bikin-kepala-daerah-korupsi
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi