MAKALAH KEWARGANEGARAAN

23
MAKALAH KEWARGANEGARAAN “ RAJA - RAJA KECIL YANG RAKUS ” DISUSUN OLEH AMOS PANGIDOAN PASARIBU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

Transcript of MAKALAH KEWARGANEGARAAN

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

“ RAJA - RAJA KECIL YANG RAKUS ”

DISUSUN OLEH

AMOS PANGIDOAN PASARIBU

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2014

Kata Pengantar

Makalah ini berjudul Raja-Raja Kecil Yang Rakus, dimana

penguasa penguasa di daerah tidak sedikit yang

menyalahgunakan wewenagnya melalui otonomi daerah.

Makalah ini diajukan dalam tugas akhir mata kuliah

Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Kristen Indonesia. Makalah ini jauh dari

sempurna, oleh karena itu semua tanggapan, saran-saran

saya ucapkan terima kasih guna perbaikan dikemudian.

Harapan saya kiranya makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan wawasan bagi kita tentang pengawasan

kinerja dari Pemerintah Pusat pada umumnya dan Pemerintah

Daerah pada khususnya.. Semoga niat baik kita semua

mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Jakarta, 20014

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik

Indonesia para bapak bapak pendiri telah menjatuhkan

pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara. Cita desentralisasi

ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan

Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era

Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD

1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa

cita desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara

Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke

periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam

intensitasnya.

Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi

tersebut, maka langkah-langkah penting sudah dilakukan

oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah

membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita

ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan

membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam

realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan

ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah

terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru

menuju ke arah Otonomi Daerah yang sebenarnya.

BAB II

PEMBAHASA

2.1. Otonomi Daerah

Hakikat dan spirit otonomi daerah sesuai dengan UU

No.22 Tahun 1999 dan No.25 Tahun 1999 adalah distribusi

dan pembangunan kewenangan berdasarkan asas

desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada

strata pemerintahan guna mendorong prakarsa lokal dalam

membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI. Regulasi

UU No.22 dan 25 Tahun 1999 merupakan manisfestasi dari

aktualisasi spirit otonomi daerah yang bermuatan

political sharing, financial sharing, dan empowering

dalam mengembangkan kapasitas daerah (capacity building),

peningkatan SDM dan partisipasi masyarakat.

Implementasi kebijakan otonomi secara efektif

dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2001,

memberikan proses pembelajaran berharga, terutama

esensinya dalam kehidupan membangun demokrasi,

kebersamaan, keadilan, pemerataan dan keanekaragaman

daerah dalam kesatuan melalui dorongan pemerintah untuk

tumbuh dan berkembangnya prakarsa awal (daerah dan

masyarakatnya) menuju kesejahteraan masyarakat. Prinsip

dasar otonomi daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah secara konsepsional adalah:

pendelegasian kewenangan (delegation of autority),

pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan

(dicreation), keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity

in unitry), kemandirian lokal , pengembangan kapasitas

daerah (capacity building).

Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif

dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol

adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju

kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya

yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan

antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam,

kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya

bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan

kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan

pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan,

perikanan dan kelautan, jalan, UMKMK, Perda yang counter

productive, dsb.

Akibatnya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah

Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas

masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan

kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang

represif telahmembunuh secara dini aspirasi daerah untuk

menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimililiknya.

Pemerintah Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber

dana agaknya juga sangat kewalahan menghadapi persoalan

dan gejolak yang terjadi di aras lokal. Berarti selama

lebih dari 52 tahun Merdeka, Indonesia gagal melakukan

konsolidasi dan persatuan daerah yang adil dan merata.

Mungkin saja, karena mempertahankan kekuasaan sebuah

rezim lebih diutamakan bahkan cenderung berlebihan

sehingga urusan daerah bukan demi kemandirian tetapi

justru dalam format mempertahankan kekuasaan.

Menurut informasi banyak Gubernur yang juga kecewa

terhadap kebijakan Otonomi Daerah, terlepas mereka

kehilangan sebagian besar kekuasaannya, karena dalam

Otonomi Daerah posisi Gubernur secara politis memang

terpinggirkan. Ini disebabkan karena unit pelaksana Otonomi

Daerah berada pada tingkat kabupaten dan kota. Undang

undang tidak mengatur secara hierarkis antara gubernur dan

bupati/walikota. Jadi Gubernur tidak lagi menjadi atasan

walikota atau bupati. Dengan sendirinya kekuasaan mereka

hanya terbatas pada kekuasaan administrati.

2.2. Kesiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Globalisasi mengakibatkan kompetisi semakin terbuka

dan tingkat tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik

yang memadai. Berbagai macam persoalan yang dihadapi

masyarakat akhir-akhir ini selalu dikaitkan dengan

otonomi daerah. Persoalan yang sangat mendasar adalah

implementasi yang tidak teratur karena memang dibiarkan

seperti itu. Ketidakteraturan tersebut salah satunya

dikarenakan lemahnya kepemimpinan. Kebijakan otonomi

daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan

keutuhan bangsa Indonesia. Dengan otonomi daerah dapat

mewujudkan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses

demokrasi di daerah berjalan baik dan adanya peningkatan

kesejahteraan di daerah. Daerah memiliki kepercayaan

kepada pemerintah pusat yang akhirnya dapat memperlancar

pembangunan bangsa melalui keutuhan nasional.

Dengan adanya globalisasi, teknologi, dan perubahan

sosial mengakibatkan dampak yang besar terhadap

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena perubahan-

perubahan inilah maka kebijakan pemerintah daerah

haruslah mempunyai Standar Pertanggungjawaban

(Accountability) yang tinggi dan dapat diandalkan.

Implikasinya jelas, Pemerintah Daerah harus memberikan

pelayanan yang lebih efektif dan Cost effisien dalam

keterbatasan anggaran yang ada. Semua ini sangat

tergantung kepada kemampuan aparat Pemerintah daerah

dalam berpikir, bersikap, bertindak kreatif dan inovatif

dalam memanfaatkan peluang-peluang serta mengatasi

tantangan dalam perubahan yang begitu cepat. Dalam

menghadapi tantangan tersebut itulah diperlukan sisi yang

tepat tentang pemahaman dan pengelolaan manajemen

pemerintahan. Namun demikian harus disadari bahwa upaya

melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan manajemen

pemerintahan tidak semudah yang diperkirakan, karena akan

menghadapi berbagai tantangan dan resistensi berbagai

pihak baik dari dalam maupun dari luar yang merasa akan

dirugikan atas adanya perubahan tersebut. Bagi para

pelaku baik di sektor publik maupun di sektor swasta

perubahan dimaksud pada intinya mencakup aspek-aspek:

strategi (Strategic), sistem (System), kemampuan

(Abiliry), personil ( staft) gaya kepemimpinan (sryle),

rekatan nilai budaya (Shared Value).

2.3. Raja-Raja Kecil yang Rakus

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,

pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik

adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang

meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini

diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru

di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi

daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan

dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana

sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa

desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri

sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab

kesejahteraan daerah”.

Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari

kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu

indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.

Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu

pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah

tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan

efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan

pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu

dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan

daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau

mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya

dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat

mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli

Daerah harus menjadi bagian yang terbesar dalam

memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh

karena itu, sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak

ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan

tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.

Otonomi daerah menjadi lahan yang subur bagi para

pelaku-pelaku kriminal seperti korupsi. Korupsi atau

rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata

kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,

menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan

pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,

serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang

secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan

kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk

mendapatkan keuntungan sepihak.

Menyinggung masalah korupsi berarti pula masalah

pelanggaran dengan kejahtan jabatan, latar belkangnya,

faktor-faktor penyebabnya sampai pada penanggulangannya.

Jika membicarakan korupsi maka yang pertama-tama adalah

tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau orang yang

memiliki kewenangan dan jabatan, dimana kewenangan atau

jabatannya tersebut disalah gunakan dengan maksud untuk

menguntungkan dan menambah kekayaan diri sendiri, orang

lain maupun korporasi.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara

garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

- Perbuatan melawan hukum,

- Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

- Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,

dan

- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan

semuanya, adalah

- Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

- Penggelapan dalam jabatan,

- Pemerasan dalam jabatan,

- Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara), dan

- Menerima gratifikasi (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis

adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan

pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan terhadap

korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,

dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh

dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,

sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan

sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang

arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana

pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa

berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak.

Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti

penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,

korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini

saja.

Korupsi layaknya penyakit yang belum ditemukan

obatnya. Semakan hari semakin parah, dan para ahli sedang

meramu obat yang cocok untuk mengobati penyakit yang satu

ini. Demikian pula lembaga pemerintah yang menangani hal

ini, berjuang terus menemukan hukuman yang sesuia yang

memberikan efek jera terhadap pelaku maupun calon pelaku.

Korupsi tidak saja terjadi pada pejabat-pejabat tinggi

Pemerintah seperti Presiden, Mentri, Gubernur dan

sebagainya, justru sebaliknya korupsi terjadi pada

penguasa-penguasa didaerah atau pemerintah daerah.

Salah satu dampak negatif dari otonomi dearah yakni

terjadinya korupsi pada pemerintah daerah. Banyaknya

kabar tentang korupsi yang dilakukan oleh pejebat-pejabat

daerah akhir-akhir ini membuktikan bahwa, korupsi sedang

mengancam kearifan dan kesejahteraan masyarakat daerah

serta berdampak pada sistem perekonomian Negara. Dengan

adanya otonomi, pemerintah daerah mengatur sendiri

daerahnya serta mengelola sendiri daerahnya tanpa campur

tangan dari pemerintah diatasnya. Dengan demikian

pemerintah daerah dalam mengelola dananya cenderung

diperhadapkan dengan tantangan moral yang tinggi. Mengapa

tidak ? uang merupakan media yang paling sensitif dalam

bidang manapun, oleh karena itu pengawasan oleh

pemerintah pusat harus dilakukan secara intensif.

Praktik korupsi di era reformasi yang kian menyebar

ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu

menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi. Yang

mengkhawatirkan adalah, sebagian besar praktik korupsi di

daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota

legislatif (DPRD) yang jelas-jelas di pilih oleh rakyat.

Jika fenomena tersebut dapat dibongkar secara lebih

besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat

mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption

Watch, bahwa hingga akhir 2010 ada 148 mantan kepala

daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala

daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun

kasus yang diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27

kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sedangkan sisanya belum diizinkan presiden.

Program otonomi daerah tidak diikuti dengan program

demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan

masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya,

program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada

elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan

politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau

penyalahgunaan wewenang. Rentannya pejabat daerah

terhadap korupsi mengakibatkan hilangnya kepercayaan

rakyat terhadap pemerintah, sehingga berdampak pada

birokrasi yang kacau balau. Korupsi benar-benar telah

menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat

membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat,

terlebih di negara kecil dan berkembang seperti

Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya

tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat

miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang

semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan

kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis

kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan

kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak

mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi

masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi

bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum,

mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Azasi

Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan

dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme

dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat,

serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing.

Dengan kata lain, korupsi merupakan salah satu elemen

yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya

keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,

sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi

pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.

Korupsi di negara kita sangat marak terjadi hampir

di seluruh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah,

hal ini dapat terjadi adalah karena integritas dari

pegawai yang sangat rendah, system pemerintahan dan

pengawasan yang tidak efektif, sangsi hukum yang tidak

memilki efek jera dan masyarakat sendiri yang memandang

koruptor bukan pelaku kejahatan luar biasa, sehingga ada

kecenderungan siapapun yang menduduki jabatan tertentu

akan melakukan tindak pidana korupsi. Maraknya kasus

korupsi yang dilakukan kepala daerah di negeri ini sudah

memprihatinkan. Salah satu faktor pemicu korupsi adalah

mahalnya ongkos politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada). Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya politik

pilkada langsung sangat mahal. Makanya berbagai cara

dilakukan kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya

politik. Biaya politik tak hanya besar saat pencalonan

dan kampanye. Setelah calon kepala daerah berhasil

mendapatkan jabatan, mereka juga harus mengeluarkan biaya

besar untuk memelihara konstituen dan membayar duit balas

jasa terhadap partai politik (parpol) pengusung.

Sejujurnya, besarnya ongkos politik tidak terlepas

dari tiga faktor. Pertama masalah regulasi. Ketiadaan

regulasi yang mengatur besaran dana yang digunakan dalam

kampanye membuat kandidat yang bertarung dalam pilkada

adu jor-joran menggelontorkan dana. Kedua, lemahnya

pengawasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) ketika kampanye. Seharusnya

sejak resmi maju di pilkada dan setelah kampanye, harta

kekayaan seluruh calon kepala daerah diaudit oleh auditor

independen. Dari situ KPU bisa mengetahui ada atau

tidaknya kejanggalan dalam penggunaan dana kampanye.

Ketiga, penyebab korupsi, yakni kepala daerah tidak

berhati-hati dan kurang mengerti prosedur penganggaran di

daerah. Biasanya pejabat model ini, mereka tidak

menikmrati uang hasil korupso, tapi karena tak mengerti

dalam membuat kebijakan akhirnya mereka terperangkap

terlibat korupsi. Selain ketiga faktor itu, otonomi

daerah (otda) juga memicu terjadinya perilaku korupsi.

Dengan adanya otonomi daerah, kepala daerah jadi memiliki

wewenang dan momentum untuk melakukan korupsi, karena

kewenangan penuh mengelola dana daerah. Dengan kewenangan

yang besar, pejabat bisa tergiur melihat anggaran yang

begitu besar.

Tidak sedikit upaya yang dilakukan oleh pemerintah

untuk memberantas kejahatan ini, dengan menjatuhkan

hukuman pada pelaku. Namun hal demikian belum memberikan

efek jera bagi pelaku, ada-ada saja kasus serupa terjadi

dimana-mana. Solusinya adalah dengan memperbaiki sistem

birokrasi yang ada serta memberikan hukuman seberat-

bertanya bagi koruptor. Ironisnya, koruptor-koruptor di

Indonesia masih dapat tersenyum leber bahkan tertawa

meskipun sudah berstatus sebagai terdakwa oleh

pengadilan. Sangat jauh berbeda dengan tersangka koruptor

di negara lain seperti cina yang menerapkan hukuman matu

bagi koruptor. Menurut saya, Indonesia kita tercinta ini

terlalu bertele-tele dalam menangani kasus korupsi,

harusnya indonesia menerapkan hukuman mati bagi koruptor,

akan tetapi hal ini banyak dibantah oleh masyarakat

bahkan pemerintah yang adalah pelakunya sendiri. Dengan

alasan melanggar hak azasi manusia, jika kita pahami

korupsi merupakn tindakan melanggar hak azasi manusia,

kenapa tidak ? oleh karena satu orang yang rakus dapat

merugikan jutaan orang lain, apakah itu tidak malanggar

HAM ? hal ini jelas melanggar HAM, merebut hak anak-anak

untuk memperoleh pendidikan, memperoleh layanan kesehatan

dan lain lain. Oleh karena itu bukan hanya pemerintah,

akan tetapi masyarakat harus bekerja keras memerangi

kejahatan melanggar HAM ini.

BAB III

KESIMPULAN

Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa

(extraordinary crime), maka harus ditangani secara luar

biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak.

Karena, langkah-langkah strategis yang dirancang

sedemikian rupa tidak akan berarti tanpa kerja sama dari

semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk

menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar

otonomi serta menjadi berkah daerah benar-benar bernilai

bagi rakyat di daerah.

Pada dasarnya otonomi daerah adalah pembanguna

masyarakat. Tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai

lahan korupsi di daerah, akan tetapi bergantung kepada

kepala daerah yang memimpin, apakah ia memiliki tujuan

yang membangun masyarakat atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah.

Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah.

Pide, Andi Mustari, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah

Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya Media Pratama:

Jakarta, 1999

http://www.rmol.co/read/2013/02/14/98335/Ssttt,-300-

Kepala-Daerah-Terjerat-Kasus-Korupsi

http://news.okezone.com/read/2012/12/20/339/734666/

ongkos-politik-mahal-bikin-kepala-daerah-korupsi

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi