Makalah PAI
-
Upload
daftarstie -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Makalah PAI
Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia Segi-segi ini dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui
dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu
terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk
dariepistemologi.
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke
dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya
bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi
ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan
dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang
berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah
seorang pemudi cocok menjadi perawat.
Syarat ilmu 1 objektif 2 metodis 3 sistematis 4 universal
Berikut ini adalah pengertian dan definisi ilmu menurut beberapa
ahli:
M.Izuddin_Taufiq
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan,
pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat,
landasan dasar ataupun asal usulnya
THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan,
bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya
Dr. MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka
waktu yang lama maupun sebentar.
NS. ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses
mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali
(metode ilmiah)
POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang
meliputi perkembangan teori dan uji empiris
# MINTO RAHAYU
Ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan
berlaku umum, sedangkan pengetahuan adalah pengalaman yang bersifat
pribadi/kelompok dan belum disusun secara sistematis karena belum
dicoba dan diuji
# POPPER
ilmu adalah tetap dalam keseluruhan dan hanya mungkin
direorganisasi.
# DR. H. M. GADE
Ilmu adalah falsafah. yaitu hasil pemikiran tentang batas-batas
kemungkinan pengetahuan manusia
FRANCIS BACON
Ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan hanya fakta-
fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan
CHARLES SINGER
Ilmu adalah suatu proses yang membuat pengetahuan (science is the
process which makes knowledge)
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil
pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik
atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha
manusia untuk tahu. Dalam perkembangannya pengetahuan manusia
berdiferensiasi menjadi empat cabang utama, filsasat, ilmu,
pengetahuan dan wawasan. Untuk melihat perbedaan antara empat
cabang itu, saya berikan contohnya: Ilmu kalam (filsafat), Fiqih
(ilmu), Sejarah Islam (pengetahuan), praktek Islam di Indonesia
(wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika merupakan
pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya
bukanlah ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.
Setiap ilmu (sains) adalah pengetahuan (knowledge), tetapi tidak
setiap pengetahuan adalah ilmu. Ilmu adalah semacam pengetahuan
yang telah disusun secara sistematis. Bagaimana cara menyusun
kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu? Jawabnya pengetahuan itu
harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan, dibesarkan
dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode
ilmiah. Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki
pengetahuan yang banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika,
matematika, statistika dan bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak
itu diolah oleh suatu metode tertentu. Metode itu ialah metode
ilmiah. Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan juga untuk
menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan
menarik pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.
Untuk bepengetahuan seseorang cukup buka mata, buka telinga, pahami
realitas, hafalkan, sampaikan. Adapun untuk berilmu, maka metodenya
menjadi lebih serius. Tidak sekedar buka mata, buka telinga, pahami
realitas, hafalkan, sampaikan, secara serampangan. Seseorang yang
ingin berilmu, pertama kali ia harus membaca langkah terakhir
manusia berilmu, menangkap masalah, membuat hipotesis berdasarkan
pembacaan langkah terakhir manusia berilmu, kemudian mengadakan
penelitian lapangan, membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya
barulah ia mencapai suatu ilmu. Ilmu yang ditemukannya sendiri.
Apa maksud “membaca langkah terakhir manusia berilmu” ? Postulat
ilmu mengatakan bahwa ilmu itu tersusun tidak hanya secara
sistematis, tetapi juga terakumulasi disepanjang sejarah manusia.
Tidak ada manusia, bangsa apapun yang secara tiba-tiba meloncat
mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar pengetahuan sebelumnya.
Katakanlah bahwa sebelum abad renaisansi di Eropa, bangsa Eropa
berada dalam kegelapan yang terpekat. Karena larut dalam filsafat
skolastik yang mengekang ilmu dan peran gereja. Para ilmuwan dan
para filsafat abda itu tentu memiliki guru-guru yang melakukan
pembacaan terhadap mereka tentang sampai batas terakhir manusia
berilmu di zaman itu. Ilmu kimia abad modern sekarang adalah
berpijak pada ilmu kimia, katakanlah abad 10 masehi yang berada di
tangan orang-orang Islam. Dan ilmu kimia di abad 10 masehi itu
tentu bepijak pula pada ilmu kimia abad 3500 tahun sebelum masehi,
katakanlah itu misalanya dari negri dan zaman firaun.
Jadi seseorang yang ingin berilmu manajemen, misalnya, maka ia
harus mengumpulkan dulu pengetahuan-pengetahuan mnajemen yang telah
disusun sampai hari kemarin oleh para ahli ilmu tersebut dan
merentang terus kebelakang sampai zaman yang dapat dicapai oleh
pengetahuan sejarah.
Cara praktis, cepat, kompatibel, kredibel, aksesibel, dan lain-lain
bel positif lainnya, untuk berilmu ialah dengan sekolah formal,
dari SD hingga S3. Beruntunglah kawan-kawan yang bisa meraih gelar
sarjana. Gelar magister dan seterusnya. Memang sekalipun gelar
sudah s3 tapi koq masih terasa haus juga terhadap ilmu. Itu karena
ilmu yang ada pada dirinya sebenarnya barus sedikit dari khazanah
ilmu yang pernah disusun manusia, sedang disusun, dan apalagi jika
dibanding dengan ilmu di masa depan sampai haru kiamat nanti.
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak
dibatasi
pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang
secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang
ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan
muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali
benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang
mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan
pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan
pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak
seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif
terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala
informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau
bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk
mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan
berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala
sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Adapun
pengetahuan menurut beberapa ahli adalah:
1.Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari
manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui
persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan
merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan sebuah objek tertentu.
2.Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan
atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini
menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas
dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang
diberikan menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai.
3.Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil
dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telingan.
Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang
diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.
Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat,
mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan
bersikap dan bertindak. Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia
(2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui
berkaitan dengan proses belajar.
Pengetahuan adalah
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses
belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi
dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan
sosial budaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003).
Secara garis besar menurut Notoatmodjo (2005) domain tingkat
pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi:
mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan
mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan
tentang sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar,
ataupun informasi yang diterima dari orang lain.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat kita definisikan
bahwa;
Pengetahuan merupakan
Hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari
tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui
proses pendidikan maupun melalui pengalaman.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua
pengertian, yaitu :
1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum,
ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian,
tentang soal duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya,
seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan
sebagainya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan :
Ilmu : merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu.
Lanjutan . . .
KARAKTERISTIK ILMU
Menurut Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa ciri umum
ilmu diantaranya :
1. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
2. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi
kekeliruan karena yang menyelidiki adalah manusia.
3. Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara
penggunaan metode ilmu tidak tergantung kepada yang menggunakan,
tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi.
Menurut Ernest van den Haag (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-
ciri ilmu, yaitu :
1. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan akal (rasio).
2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar
pengalaman oleh panca indera.
3. Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia
tanpa terkecuali.
4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk
dijadikan objek penelitian selanjutnya.
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ILMU DENGAN FILSAFAT
A. Perbedaan
1. Ilmu bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu
pengetahuan sebagai objek formalnya. filsafat bersifat pengetahuan
sinopsis artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan secara
keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat tersendiri yang
tidak ada pada bagian – bagiannya.
2. Ilmu bersifat deskritif tentang objeknya agar dapat menemukan
fakta – fakta, netral dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu.
Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu, melainkan membantu
manusia untuk mengambil putusan – putusan tentang tujuan, nilai –
nilai, dari tentang apa –apa yang harus diperbuat manusia. Filfat
tidak netral, karena faktor – faktor subjektif memegang peranan
yang penting dalam berfilsafat.
3. Ilmu mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang
tidak perlu diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat
bisa merenungkan kembali asumsi –asumsi yang telah ada untuk dikaji
ulang tentang kebenaran asumsi.
4. Ilmu menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang
khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji
dalam praktik berdasarkan metode –metode ilmu yang empiris. Selain
menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga menggunakan
hasil – hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang
didasarkan pada semua pengalaman insani,sehingga dengan demikian
filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh
ilmu
Lanjutan . . .
B. Persamaan
1. Filsafat dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir
reflektif ( refflectife thinking ) dalam menghadapi fakta-fakta
dunia dan hidup.
2. Filsafat dan ilmu, keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang
terorganisasi dan tersusun secara sistematis. 3. Ilmu membantu
filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan- bahan deskriktif dan
faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat. 4. Ilmu mengoreksi
filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang
bertentangan dengan pengetahuan ilmiah 5. Filsafat merangkum
pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam
ilmu dan yang berbeda serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam
suatu pandangan tentang hidup dan dunia dan menyeluruh dan terpadu.
HUBUNGAN ILMU DENGAN FILSAFAT
Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan bersumber
kepada tiga pertanyaan. Sementara filsafat ,memepelajari masalah
ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi
eksistensi ilmu. Untuk mengingatkan ketiga pertanyaan itu adalah:
1. Apa yang ingin kita ketahui?
2. Bagaimana cara kita memeperoleh pengetahuan?; dan
3. Apakah nilai (manfaat) pengetahua tersebut bagi kita?
Pertanyaan pertama di atas merupakan dasar pembahasan dalam
filsafat dan biasa disebut dengan ONTOLOGI , pertanyaan kedua juga
merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan EPISTEMOLOGI dan
pertanyaan terakhir merupakan landasan lain dari filsafat yang
disebut dengan AXIOLOGI. Ketiga hal di atas merupakan landasan bagi
filsafat dalam membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa
kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk
ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak
yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.
Lanjutan . . .
ASPEK PENINJAUAN ILMU
1. ONTOLOGIS (MASALAH APA)
Apakah yang ingin kita ketahui? Atau apakah yang menjadi bidang
telaah suatu ilmu ?
JENIS – JENIS ILMU
1. Menurut Aristoteles ilmu diklarifikasikan berdasarkan tujuan
dan objeknya.
2. Berdasarkan tujuan ilmu dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
besar yaitu :
a. Ilmu – ilmu teoritis yang penyelidikannya bertujuan memperoleh
pengetahuan tentang kenyataan.
b. Ilmu – ilmu praktis atau produktif yang penyelidikannya
bertujuan menjelaskan perbuatan yang berdasarkan pada pengetahuan.
ASPEK PENINJAUAN ILMU
1. ONTOLOGIS (MASALAH APA)
Apakah yang ingin kita ketahui? Atau apakah yang menjadi bidang
telaah suatu ilmu ?
Lanjutan . . .
Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran.
Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu
pengetahuan adalah sbb. :
a. Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama
untuk mencari kebenaran
b. Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan
pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
c. Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan
kesimpulan yang positif benar
d. Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang
disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah
praktis.
Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang dinamis , tersusun sebagai
teori-teori yang saling mengeritik, mendukung dan bertumpu untuk
mendekati kebenaran
TEORI
1. Teori merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan
mengenai suatu sektor tertentu dari suatu disiplin ilmu, dan
dianggap benar
2. Teori biasanya terdiri dari hukum-hukum, yaitu : pernyataan
( statement ) yang menjelaskan hubungan kausal antara dua
variabel atau lebih
3. Teori memerlukan tingkat keumuman yang tinggi, yaitu
bersifat universal supaya lebih berfungsi sebagai teori ilmiah
4. Tiga syarat utama teori ilmiah :
a. Harus konsisten dengan teori sebelumnya
b. Harus cocok dengan fakta-fakta empiris
c. Dapat mengganti teori lama yang tidak cocok dengan
pengujian empiris dan fakta
Beberapa istilah yang biasa digunakan dalam komunikasi ilmu
pengetahuan :
a. Axioma
b. pernyataan yang diterima tanpa pembuktian karena telah
terlihat kebenarannya
c. Postulat
d. suatu pernyataan yang diterima “benar” semata-mata untuk
keperluan berkomunikasi
e. Presumsi
f. suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau
percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai
benar walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar
g. Asumsi
h. suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya maupun
kemungkinan benar tidak tinggi
Filsafat Ilmu Pengetahuan selalu memperhatikan : dinamika ilmu,
metode ilmiah, dan ciri ilmu pengetahuan.
a. Dinamis : dengan aktivitas/perkembangan pengetahuan sistematik
dan rasional yang benar sesuai fakta dengan prediksi dan hasil ada
aplikasi ilmu dan teknologi, dinamika perkembangan karena ilmu
pengetahuan bersimbiose dengan teknologi
b. Metode Ilmiah : dengan berbagai ukuran riset yang disesuaikan.
c. Ciri Ilmu : perlu memperhatikan dua aspek, yaitu : sifat ilmu
dan klasifikasi ilmu
Lanjutan . . .
Sistematik Ilmiah, benar (pembuktian dengan metode ilmiah Salah
satu Klasifikasi Ilmu : Sifat ilmu Konsisten (antara teori satu
dengan yang lain tak bertentangan) Eksplisit (disepakati dapat
secara universal, bukan hanya dikalangan kecil) Ilmu Pengetahuan
Ilmu Alam (Natural Wissenschaft) Ilmu Alam / Eksakta Ilmu Moral
Ilmu Sosial Ilmu Humaniora
ASPEK AKSIOLOGI
Tujuan dasarnya : menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau
sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah Contohnya : Pada
Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi
tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian
laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata
terbukti bahwa teori tersebut benar.
Akal berasal dari kata Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, dalam bentuk
mashdar yang artinya jika dia menahan dan memegang erat apa yang
dia ketahui. Akal adalah ni’mat besar yg Allah titipkan dalam
jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut Rahmat-Nya Allah ini
menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat menakjubkan. Oleh
karenanya dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal
(yakni menggunakan akalnya) di antaranya:
مس هار وال�ش� ل وال�ن� ي� م ال�ل ك خ�ر ل� وس� ��ن لو عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� مره ا8 ا> سخ�رات# ي�= وم م� ج= مر وال�ن� ق# وال�
Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada
yg demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami.”
لي ها ع� عض� ل ي�= ض� ف� د وي�� ماء واح� ي ب�= سق# ي�� وان6 ن� ر ص� ي� وان6 وغ� ن� ل ص� ي� خ� رع ون�� ات= ور� ي� ع� ن6 ا> ات# م� ي� اورات# وج�= ج= ت# ع م� ط ق�# رض� ي� الآ> وف�
لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� ل ا8 ك� ي� الآ> ف� عض� ي�=“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-
kebun anggur tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg
tidak bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian
tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang
rasanya.Sesungguhnya pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
kaum yg berfikir.” Sebaliknya Allah mencela orang yg tidak berakal
seperti dalam ayat-Nya:
ر عي� ات= ال�س ج ص� ي� ا> ا ف� ي� ا ك� ل م� عق# و ي�� شمع ا> ا ي�� ي� و ك� وا ل� ال� “وق�#Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyala-
nyala’.”
Islam tidak menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber akidah
namun islam juga menjadikan keyakinan(Iman) sebagai hal yang paling
utama. Dalam islam terdapat dua sumber sebagai landasan akidah
islam yaitu dalil naqli (Al-Qur’an,Hadits, Ijma Ulama dan Qiyash)
dan juga dalil aqli (akal) namun dalam kedudukannya dalil naqli
sebagai pokok sumber akidah islam sedangkan dalil aqli sebagai
penyempurna sumber akidah islam.
islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang
menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :
- Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal
dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.
- Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur
(memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan
syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,
- Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan)
diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang
ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu
yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : 8)
,
-“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),
- “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sholat pada hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Jumu’ah : 9).
bentuk kemuliaan lainnya terhadap akal seperti:
1.Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum
sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum.
2.Rasulullah SAW bersabda :
ع ي رف�� ت# له ج� ق# لي ع� لوت= ع� مغ� ال� ون6 wن مخ= ال� ن6 ع� ه# ��ث لآ ن6 ي�� لم ع� ق# لم ال� ي# خ ي ن�� ت# ي� ج� ت= ال�ص ن6 وع� ظ~ ف# ي� ست� ي ي�� ت# م ج� <�ائ ال�ي� ن6 را> وع� ي= ث��“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya
tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak
kecil sehingga baligh.” Islam menjadikan akal sebagai salah satu
dari lima perkara yg harus dilindungi yaitu: mengharamkan khamr
utk agama akal harta jiwa dan kehormatan.
1.Allah menjaga akal. Allah SWT berfirman :
وا ن� م� ن6 ا. ي�� د� ها ال� ��ي ا ا> ر� ي�� ات= والآ> ض ن�� سر والآ> مي� مر وال� خ� ما ال� ب�� ا8 ي�� و لج ق� م ي�# ك غل وه ل� ن= wت ي# اج�= ق�� ان6 ط ي� مل ال�ش� ن6 ع� س م� لآم رج�=Hai orang-orang yg beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
Nabi bersabda: را سكر ح� ل م� م ك�“Setiap yg memabukkan itu haram.”
Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan hal bagi peminum
khamr.”
1.Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan akal.
Artinya keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam
menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga
mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang
memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya tidak
menyepelekan dan tidak pula berlebihan.
Kita memahami Al Qur’an dan Hadits (dalil naqli) dengan
mengembalikan kepada Allah SWT yakni menggunakan hati atau dalil
aqli atau dalil akal sebagaimana Ulil Albab (orang-orang yang
berakal) Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191) Ulil
Albab berasal dari lubb tingkatan dari qalb atau hati. Akal terbagi
2 yaitu :
1.Akal Qalbu (Hati) dan
2.Akal Pikiran (Logika)
Akal Qalbu (Hati) berbeda dengan Akal Pikiran (logika) Dalil Aqli
adalah Akal Qalbu, “tanyakanlah pada hati” , “hati tidak pernah
berbohong” , “nafsu yang mencari-cari alasan”
Rasulullah SAW Bersabda : “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan
akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah
berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Akal Pikiran (logika) adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau
kerja otak sendiri sedangkan Akal Qalbu (hati) adalah mengikuti
cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa
setiap manusia.“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan”( haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
Ruang Lingkup Akal Dalam Islam
Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi
tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam
membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena
akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai
hakekat segala sesuatu.
Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah
syar’i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah
itu. Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah
ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena
lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah
perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan
penciptaan Adam, Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena
Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari
tanah..” (QS.Shaad ; 76).
Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang
diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat
ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda, ”Pikirkanlah nikmat-
nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.
Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85).
C. Pemuliaan Islam Terhadap Akal
Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang
menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :
1. Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam
rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur(memikirkan) dan
merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya
sebagaimana dalam firmanNya,
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara
manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : ,
“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal”, (Al Baqarah : 184),
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari
Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Jumu’ah : 9).
2. Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat
istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam
firman Allah,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”
mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(QS.
Al Baqarah : 170).
3. Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu
sebagaimana dalam firman Allah,
”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).
4. Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga
akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal
seperti khomr, Allah berfirman,
“Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (Al Maidah, 90).
Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia.
Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan
Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam,
hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk
berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� مره ا8 ا> سخ�رات# ي�= وم م� ج= مر وال�ن� ق# مس وال� هار وال�ش� ل وال�ن� ي� م ال�ل ك خ�ر ل� وس�
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12).
لي ها ع� عض� ل ي�= ض� ف� د وي�� ماء واح� ي ب�= سق# ي�� وان6 ن� ر ص� ي� وان6 وغ� ن� ل ص� ي� خ� رع ون�� ات= ور� ي� ع� ن6 ا> ات# م� ي� اورات# وج�= ج= ت# ع م� ط ق�# رض� ي� الآ> وف�
لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� ل ا8 ك� ي� الآ> ف� عض� ي�=“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang
dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami
melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d:
4)
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam
ayat-Nya:
ر عي� ات= ال�س ج ص� ي� ا> ا ف� ي� ا ك� ل م� عق# و ي�� شمع ا> ا ي�� ي� و ك� وا ل� ال� وق�#“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak
berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal
itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam
kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta
tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah
memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat,
serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-
Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan
beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:
1. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat
bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak
dibebani hukum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لم ي# خ ي ن�� ت# ي� ج� ت= ال�ص ن6 وع� ظ~ ف# ي� ست� ي ي�� ت# م� ج� <�ائ ال�ي� ن6 را> وع� ي= ي ث�� ت# له� ج� ق# لي ع� لوت= ع� مغ� ال� ون6 wن مخ= ال� ن6 ع� ه# ��ث لآ ن6 ي�� لم ع� ق# ع ال� رف��“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya
tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak
kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-
Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani
mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang
harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan.
(Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)
3. Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
ون6 لج ق� م ي�# ك غل وه ل� ن= wت ي# اج�= ق�� ان6 ط ي� مل ال�ش� ن6 ع� س م� لآم رج�= ر� ات= والآ> ض ن�� سر والآ> مي� مر وال� خ� ما ال� ب�� وا ا8 ن� م� ن6 ا. ي�� د� ها ال� ��ي ا ا> ي��“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-
Maidah: 90)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رام سكر ح� ل م� ك�
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu
Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal
maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun
Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan
(kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal,
bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga
mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang
memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan
dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus
akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka
justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal
dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah
sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana
makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa
ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir
dan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus
berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima
karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan
batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat
(menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya
di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah
tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah,
hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya
akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara
ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti
pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya,
arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ل ر� وح�= ي� ال�له ع� روا ف� ك ق� لآء ال�له ولآ ي�# ي� ا> روا ف� ك ق� ي�#“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada
Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu
‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani
menghasankannya)
لآ لي� لآ ق�# غلم ا8 ن6 ال� م م� ت# ت� وت�� ا ا> ي� وم� ب�= مر ر ن6 ا> وح م� ل ال�ر وح ق�# ال�ر ن6 ك1 ع� w�ت و ل� سا> ��ي و“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan
perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik
perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum
syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak
hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada
syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan
syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid.
Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu
mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka
orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat
fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa
dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi
yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang
berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena
orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia
(mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-
Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Risalah datang dari Allah,
kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah
menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya.
Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan
akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama
sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang
telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak
mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya
terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang
tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal,
dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan
terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun
pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai
dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal
yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang
menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa
macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang
dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash,
memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama)
Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori
atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut
filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As
Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik
(dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106,
Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita,
kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang
tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan
salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada
syariat.
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala
bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal.
(Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih
dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah
salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat
mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada
lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan
jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat
sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan
dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal
itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya
dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah
syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan
diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang
sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan
kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang)
mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu
tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu
yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk
menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal
mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi
mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka
agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi
yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu.
Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah,
kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka
maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah
membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang
syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal.
Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang
dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155,
138)
Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi
manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul
ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau
terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah
akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil
tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang
dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang
mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula
anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan
oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian
terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah
Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun pada
akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat
dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak
terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli
bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang
shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di
mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”
(Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah
Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah
berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab
dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya.
Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada
Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya,
mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan
hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai
dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab
dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena
sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan
menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang
benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak
bahaya:
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika
diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alahissalam, kemudian ia
membangkang dan menentang dengan akalnya.
ن6 ي� ن6 ط� ه م� ت# لق# ار وح�� ن6 ي�� ي� م� ت� ت# لق� ه ح�� ت� ر م� ي� ا خ� ��ي ال ا> ك1 ق�# ��ت مر ذ� ا> د ا8 سج= لآ ي�# غك1 ا> ي� ا م� ال م� ق�#“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada
Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal
mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan:
م ت� ظ~ ع� ن6 ي� ي# ق#ري�� ن6 ال� ل م� لي رح�= ن6 ع� ق#را. ا ال� د� ل ه� wر ولآ ن�� وا ل� ال� وق�#“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada
seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.”
(Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak
merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya
Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih
jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh
untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
ن6 مي� ال� وم ال�ط~ ق# هدي� ال� لآ ي�� ن6 اهلل ا8 ن6 اهلل دي م� ر ه� ي� ع� واه ي�= ع ه� ي= #�ن6 اي م ل م� ض�� ن6 ا> م وم� واءه� ه� عون6 ا> ي= ت� ما ت�� ب�� لم ا> اع� ك1 ق�� وا ل� ن= ت� ج= شن� م ي�� ن6 ل� ا8 ق��“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa
nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul
Qayyim.
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
ن6 مي� ال� وم ال�ط~ ق# هدي� ال� لآ ي�� ن6 اهلل ا8 ن6 اهلل دي م� ر ه� ي� ع� واه ي�= ع ه� ي= #�ن6 اي م ل م� ض�� ن6 ا> م وم� واءه� ه� عون6 ا> ي= ت� ما ت�� ب�� لم ا> اع� ك1 ق�� وا ل� ن= ت� ج= شن� م ي�� ن6 ل� ا8 ق��“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang
bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.
ا م� لي اهلل وا ع� ول� ق# ن6 ي�# ا وا> اي�� لط ه س� ل ث�= ي�ر� م ث�� ا ل� م� اهلل وا ي�= رك� س� ن6 ي�# وا> ق# ج ر ال� ي� ع� ي� ي�= غ� ي= م وال� ئ�� ن6 والآ8 ظ ا ن�= ها وم� ن� هر م� ا ظ�~ س� م� واج� ق� ال� ي� ب�= م ر ر ما ح� ب�� ل ا8 ق�#
غلمون6 لآ ي�#“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang
yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam
ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits
ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu
Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
1. Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan
antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah
diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan
iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu
bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut
tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama
sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk
menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu
kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam
pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan
akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama,
kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya;
iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal
(Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-
1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci
dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah
Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai
kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan
hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-
keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara
tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada
diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan
terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak
lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga
terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain
lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman,
oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya
iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal
akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama
kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia
dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan
akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan
diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang
mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal
untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama
merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan
manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami
turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal
sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya
dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber
syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan
kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang
mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang
berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke
surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan
masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan
yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal.
Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah
keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang
didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga
mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an,
sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka
mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat
kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat
Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu
secara langsung maupun tidak langsung.
2. Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat
yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa
shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam
kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan
dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya:
berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan
merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek
dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan
kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain
dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang
mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum
tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta
ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga
dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan
(tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk
ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan
fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun,
kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan
manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun
berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk
hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita)
memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas
seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk
menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar
sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum
tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum
berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di
sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat
berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah
sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang
akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut
dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh
akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui
perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah
memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general
(kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan
partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya
adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di
dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga
terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun
sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat,
adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal
berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan
syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan
Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan
hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga
dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan
dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara,
tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah
ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan
dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat
tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal
secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa
dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung
dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas
partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara
secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular,
mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular
sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa
dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman
dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara
partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak
mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat
diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang
merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat
membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general
sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik
atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman
spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu,
maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan
pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam
interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi
mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang
oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman
pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]
B. Fungsi akal dalam dunia islam
Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam
eksistensi manusia. Karena akal manusia bisa memikirkan apa-apa
yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal manusia bisa
bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa
klasifikasikan kedudukan akal dalam islam sebagai berikut:
1. Kedudukan akal sebagai pengijtihad
Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad.
Maksudnya para mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk
mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan difinisinya
juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli
hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at.
Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam
memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya
mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum.
Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang
menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih
membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada
didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid
akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-
ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu
perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena
ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri.
Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu
perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya
sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala
perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali
fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran
para mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan
maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau
kedudukannya sebagai pengijtihad.
2. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri.
Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri
manusia. Buka saja karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi
dari manusia, karena juga karena akal mencitrakan dan memberikan
ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan bahwa:
ه رف� رث�= د ع� ق# سه ف�� ق� رف� ي�� ن6 ع� م�Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya.
Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika
seseorang sudah mengenal dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya.
Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya mengenal dari
fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia
kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang
menggunakan akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka
datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa
berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya
dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya
bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan. Seseorang
akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat
mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada
yang menciptakan. Dari itu seseorang akan berfikir dirinya ada
karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa yang bisa menciptakan
dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari
penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa
menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas
sangatalah benar sekali jika seseorang sudah mengenal dirinya maka
sungguh mereka suda mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya
bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa mengunkan
akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah
menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu,
mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha
kuasa yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan
“Kunfaakun” maka jadilah.
Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-
batasan kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah
SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan suatu batasan
didalam hadits yang berbunyi:
ك1 ل� ذ� لآف� ج� ا ل�له ن�= ك1 ق�� ال� ي ي�= ا ورذ ف� ل م� ي ال�له وك� روا ف� ك ق� ال�له ولآ ي�# لق# ي� ح�� روا ف� ك ق� ي�#Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang
terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.
Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu
sangatlah terbatas. Akal manusia yang diberikan oleh Allah hanya
mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Akan
tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat
Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang
maha kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah
adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebab
bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang
tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha kekal, yang
lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang
maha hidup.
Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk
yang memenuhui alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang,
bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi didalamnya. Lalau
bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta makhluk-
makhluk itu. Sesumggunya dia:
ر ) ي� Æب ج� ف� ال� ي� ظ و ال�ل ر وه� ص درك�1 الآن�= و ي�� ر وه� ص ه الآن�= درك� #�غام : لآي 103الآي��Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-An’am : 103)
Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar
dengan akalnya menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-
penomena kosmik ini. Namun apabila akal melampaui batas-batasnya
akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan
terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam
banyak tempat islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan
sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini tidak mudah ditempuh
oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu.
Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan
Allah SWT tidak terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan
antara premis dan konklusi, dan merajut hubungan antara sebab dan
akibat.
3. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.
Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia
menciptakan gerak dan kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat
menembus semua rashasia kehidupan dan misteri alam raya ini?
Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa
langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur
ini? Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul
dari benda mati?
Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya,
karena secara intuitif akal adalah mahluk yang terbatas.
Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan temuan-temuan akal, pada
puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada
(‘adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal
manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan
dengan kehendak pencipta.
Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan
kehilangan dirinya, atau akan terjatuh sepanjang masa.
Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal
manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang
gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi meletakkan akal pada bentuka
alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan kritik terhadap
akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas
akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas
alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu
yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal
seseuatu yang belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data
yang telah dihasilkan sebelumnya. Premis-premis ini tidak lain
hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat pada
obyek-obyek akal (ma’kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak
bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-
dunia baru dan menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah
obyek inderawi yang muncul secara tidak sempurna. Data-data
permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi, mempunyai
nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri
tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan mampu
menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi
didalam masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun
diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau
hendak terbang tanpa pesawat.
Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar
kemungkinan akal untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri
bermula dan berakhirnya alam, misteri alam ghaib, dan misteri di
luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu
mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk
kedalam lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri
mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-‘Arabi
melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh
pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal
sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada
kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan
sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. “
Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal berkuasa
mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa
akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara
bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan
medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang
yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi
yang memang dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan
mengungkapkan aturan-aturannya.
4. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT
Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang
Allah berikan kepada manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan
apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Bagaimana langit
dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana
bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam,
semua itu bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
هم وي�= wن لي ج�= ع� عوذا و ف�# ما و ي� رون6 اهلل ق�# ك� wد ن6 ي�� ي�� د� ال� ات= ي= لآولي الآل� هار لآي��ت# ل وال�ن� ل�لي� ا لف� ي# واج�� والآرض� موات# ال�ش لق# ي ح�� ان6 ف�اط�لآ... ا ي�= د� ت# ه� لق# ا ح�� ا م� ي� ي�= ر رض� ولآ> موات# ال�ش لق# ي ح�� رون6 ف� ك ق� ي# : وي�� 191-190ال ع�مران6
Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)
Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasanya
dari semua apa yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi
orang yang berakal. Dari itu sebagai manusia hendaknya
mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah
ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang
begitu luas dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang
sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit
yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila
magrib yang tidak ada satupun tiang yang menyanggannya. Inilah
kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah kebesaran
kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar
supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda
kebesaran Allah SWT.
Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman
silih bergantinya siang dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari
mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan pasa sore hari
matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita
memungkiri semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada
setiap mahluknya? Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga
terjadinya pergantian singa dan malam?
Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan
semua itu. Hanya Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya
Allahlah yang mempunyai kekuasaan mengatur sulih bergantinya siang
dan malam.
Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....”Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini dengan sia-sia”. Dari
ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah ciptakan
tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk
mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi
di alam ini. Jikalau manusia telah menggungakan akal mereka, maka
semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Karena Allah
Maha Tahu atas segala sesuatu.
5. Fungsi akal sebagai sarana kebebasan berfikir.
Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu
peradaban tidak akan pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran
bebas dapat membuka pintu pengetahuan sehingga karenanya bangsa-
bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang.
Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang
dianugrahkan kepada manusia. Islam menganggap akal sebagai salah
satu unsur keberadaannya dan suatu energi hidup didalam bangunannya
yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya
batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh
melangkah lebih jauh melalui batas-batas itu, agar tidak terjadi
kerusakan dan kemudaratan di dalam kehidupan ini. Akal harus
bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk menyelamatkan
manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.
Pada dasarnya dan gerak alamiahnya, pemikiran merupakan dialog
antara tidak dan ya. Karena itu sikap menolak dan menerima secara
mutlak dan buta tidak dipandang sebagai pemikiran. Sikap menolak
secara mutlak adalah sikap kebandelan anak kecil, dan sikap
menerima secara mutlak merupakan sikap budak. Allah-lah yang maha
luas ilmu-Nya dan mengetahui kebenaran secara ilmulyakin, yaitu
pengetahuan yang tidak mengenal “kalau....kalau....kalau..”.
Sedangkan oengetahuan kita sebagai manusia, paling tingginyapun
adalah pengetahuan yang memungkinkan penggantian dan perubahan,
kita masih dapat menguatkan suatu pengganti atas pengganti yang
lain. Tidaklah suatu pemikiran kecuali memberikan kemungkinan benar
bagi pemikiran-pemikiran lain.
Pendapat yang kita kemukakan adalah pendapat yang mungkin
diterima dan ditolak melalui dialog-dialog, dan kita sendiri dapat
menolak dan menerima pendapat-pendapat lain yang muncul.
Adalah watak pemikiran bebas untuk selalu tanpak sebagai suatu
dialog yang seimbang. Seseorang tidak dapat memaksakan pemikirannya
kepada orang lain, dan tidak mengikutinya kecuali dengan benar.
Dalam hubungannya dengan manusia, Abu A’la Al-Mawdudi membagi
kebebasan berfikir kepada tiga kelompok:
Pertama, kelompok yang semata-mata berdasar kepada kebebasan
akal dalam segala urusan kehidupan. Mereka mempercayai sepenuhnya
dan merasa cukup dengan apa yang dihasilkan oleh akal manusia.
Kedua, kelompok yang pada lahirnya mengikuti suatu agama, namun
mereka lebih suka mengikuti pemikiran dan pendapat sendiri. Dalam
masalah kepercayaan dan aturan-aturan kehidupan, mereka tidak lebih
suka kembali kepada agamanya.
Ketiga, kelompok yang tidak mempergunakan akal, mengkebirinya,
dan dengan serta merta berdiri di belakang orang lain, bertaklid
buta.
Kelompok pertama sangat menghargai kebebasan, akan tetapi tidak
mengetahui batasan-batasannya yang benar. Kebebasan berfikir jenis
ini berbahaya bagi peradaban, karena diantara yang dituntut oleh
kebebasan ialah agar seseorang tidak mempercayai sesuati kecuali
benar menurut pendapatnya sendiri, dan tidak menempuh suatu jalan
kecuali yang dibenarkan oleh akalnya sendiri.
Berbeda dengan kebebasan ini, kebebasan menuntut kesepakatan
semua pihak terhadap unsur-unsur dan aturan-aturan peradaban,
pemikiran dan sebagian kepercayaan, kemudian mewujudkannya di dalam
kehidupan mereka. Kebebasan berfikir yang tidak terbatas
bertentangan dengan watak peradaban.
Kelompok kedua lebih jelek !keadaanya dari kelompok pertama.
Kelompok pertama sekedar sesat, namunkelompok kedua ini pembohong,
munafik, penipu, penyembunyi sesuatu.
Kelompok ketiga, tingakt terendah dipandang dari sudut
kemampuan akalnya. Dua kelompok pertama membawa akal keluar
kemampuannya, sedangkan kelompok ketiga tidak memfungsikan akal.
Di dalam khazanah fiqh islam, dapat dijumpai rumusan-rumusan
hukum yang menggambarkan kebebasan berfikir di dalam islam. Ibn
Taymiyah yang kendatipun mengakui kelebihan dan keutamaan imam-imam
fiqh yang dihormati oleh kaum muslimin, menyatakan: “Tidaklah benar
apabila seseorang berpegang pada suatu mazhab tertentu yang
dipilihnya, padahal ia mendapatkan kebenaran pada mazhab lain. Ia
harus menjadi pencari kebenaran, tidak boleh panatik kepada seorang
imam dan tidak melihat syariat kecuali dengan dan dari pandangannya
sendiri. Sebab seseorang dapat diambil dan ditinggalkan pendapatnya
kecuali seiring dengan taman muliaMuhammad SAW.
Klasifikasi Ilmu Menurut Imam al-Ghazali
KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Topik ini mula diberi perhatian oleh Imam al-Ghazali setelah
beliau mendapati sebahagian daripada ilmuan Islam dari pelbagai
bidang disiplin ilmu seperti ilmu kalam [tawhid], fiqh, tasawuf,
tafsir dan hadith bercanggah pendapat tentang bidang-bidang ilmu
yang wajib dikuasai oleh setiap individu Islam.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad (s.a.w) yang bermaksud
“Menuntut ilmu adalah fardhu yang diwajibkan ke atas setiap
individu Islam”. Imam al-Ghazali menimbulkan persoalan tentang
ilmu; adakah menuntut ilmu itu fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah
atas individu Islam ?
Berpandukan persoalan tersebut Imam al-Ghazali telah
mengkalsifikasikan ilmu kepada dua bahagian utama iaitu :
a) Ilmu Mu‘amalah.
Ilmu mu‘amalah dimaksudkan sebagai suatu ilmu yang diperolehi
manusia samada melalui utusan Allah, akal [pembelajaran],
pengalaman dan pendengaran. Pada asasnya ilmu tersebut [mu‘amalah]
tiada sebarang perbezaan melainkan menerusi nama-nama khas yang
dberikan kepadanya seperti ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah
oleh para ilmuan Islam.
Ilmu mu‘amalah menurut beliau terbahagi kepada dua bahagian
iaitu :
1- Ilmu fardhu ‘ain.
Ilmu fardhu ‘ain secara ringkas dimaksudkan sebagai ilmu
tentang asas-asas agama Islam seperti mengucap syahadah,
menunaikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa dan
menunaikan fardhu haji bagi yang berkemampuan. Ia merupakan
suatu ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu Islam
kerana menerusi ilmu pengetahuan tersebut individu Islam dapat
melaksanakan segala tuntutan yang ditaklifkan samada berbentuk
iktikad [kepercayaan], melaksanakan perintah dan menjauhi
laranganNya. Ilmu fardhu ‘ain hanya diperolehi menerusi utusan
Allah iaitu para rasulNya.
2- Ilmu fardhu kifayah.
Ilmu fardhu kifayah menurut ajaran Islam merupakan suatu ilmu
yang perlu dikuasai oleh sebahagian manusia yang mendiami
sesebuah kawasan, daerah atau negeri. Hukum mempelajari ilmu
fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain apabila tiada
seseorang pun di sesebuah kawasan, daerah atau negeri
mengetahui tentang sesuatu ilmu seperti ilmu perubatan,
pertanian, pembinaan, pengiraan dan sebagainya. Ilmu fardhu
kifayah juga dimaksudkan sebagai ilmu yang berhubung kait
dengan kehidupan sosial. Ilmu tersebut terbahagi kepada tiga
bahagian iaitu :
i) Terpuji
Ilmu terpuji adalah ilmu yang bermanfaat kepada kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat. Menurut Imam al-Ghazali
ilmu terpuji merangkumi dua kategori iaitu :
a) Ilmu syariah.
Ilmu syariah hanya dapat diperolehi menerusi utusan
Allah atau dalam kata lain ilmu yang tak tercapai oleh
akal, pengalaman dan pendengaran untuk mengetahuinya
seperti ilmu tentang hari kiamat.
b) Ilmu umum.
Ilmu umum pula mampu diperolehi manusia menerusi akal
(pembelajaran), pengalaman dan pendengaran seperti ilmu
bahasa dan ilmu perubatan.
ii) Harus.
Ilmu yang harus dipelajari oleh manusia adalah seperti
ilmu-ilmu kesusasteraan, sejarah dan sebagainya.
iii) Tercela.
Ilmu tercela merupakan ilmu yang dilarang kepada manusia
untuk mempelajarinya seperti ilmu sihir dan sebagainya.
b) Ilmu Mukasyafah.
Ilmu mukasyafah merupakan suatu ilmu yang hanya diperolehi
oleh manusia menerusi ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya
setelah melalui peringkat-peringkat tertentu dalam amalannya. Ilmu
ini lebih dikenali di kalangan ahli-ahli tasawuf sebagai
ilmu ladunni.
Pembahagian ilmu-ilmu tersebut adalah berdasarkan kepada
pemerhatian Imam al-Ghazali tentang :
a) Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada
manusia dari segi penggunaanya seperti ilmu bahasa.
b) Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada
kehidupan beragama manusia.
c) Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada
kehidupan manusia di dunia seperti ilmu perubatan dan
pengiraan.
d) Sejauhmanakah kesan ilmu-ilmu tersebut dalam memberi
ilmu pengetahuan dan keseronokan kepada manusia seperti
ilmu kesusasteraan dan ilmu sejarah.
Menurut Imam al-Ghazali dasarnya sesuatu ilmu tidak tercela
sehinggalah ilmu tersebut :
1- Mendatangkan kemudaratan ke atas diri orang yang
mempelajarinya serta orang lain.
2- Mendatangkan lebih banyak kemudaratan kepada penuntutnya.
3- Tidak memberikan sebarang faedah kepada penuntutnya
mahupun orang lain.
Berdasarkan kepada klasifikasi ilmu yang diberikan oleh Imam
al-Ghazali ilmu fardhu ‘ain merupakan ilmu yang wajib dipelajari
oleh setiap individu Islam. Manakala lain-lain ilmu adalah
berdasarkan kepada sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat
kepada kehidupan individu ataupun masyarakat di dunia dan di
akhirat.
4. Ilmu dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun
Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, ummat manusia telah
mengenal berbagai ilmu yang berkembang yang dihasilkan dari waktu
ke waktu sehingga terdapat banyak sekali macam ilmu yang dikenal
dalam masyarakat. Dan hal ini pun tidak luput dari perhatian Ibn
Khaldun sebab bagi Ibn Khaldun, masalah ilmu pengetahuan dan
pengajaran adalah merupakan salah satu gejala sosial yang khas
insani. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berbagai macam itu
mendorong cendekiawan muslim untuk mengkalsifikasikannya guna
memelihara proporsi dan hirarki ilmu itu, dengan cara begini maka
jangkauan dan posisi setiap ilmu di dalam kerangka total ilmu
selalu bisa dilihat. Menurut Seyyed Hussain Nasr, bahwa:
“Klasifikasi Islam atas sains didasarkan pada hirarki, yang selama
berabad-abad telah membentuk matriks dan latar belakang sistem
pendidikan muslim. Kesatuan sains selalu merupakan intuisi utama
dan sentral, yang menjadi tolak ukur bagi studi beragama sains
ini”.
Dengan intuisi tentang kesatuan berbagai disiplin ini, maka
sains dipandang sebagai ibarat cabang-cabang dari sebatang pohon
yang tumbuh dan mengeuarkan daun dan buah sesuai sifat pohon itu
sendiri, sebuah cabang tentunya harus tumbuh sesuai dengan batas
tertentu dengan tidak mengkesampingkan kesimbangan pohon itu,
demikian juga dengan suatu disipilin ilmu tidak selayaknya
dipelajari melampaui batas tertentu yang melebihi kewajaran ilmu
itu sendiri. Cendikiawan muslim abad pertengahan menganggap bahwa
menuntut suatu cabang ilmu melampaui batas sebagai hal yang tidak
berguna, malah dapat dikakatan sebagai suatu tindakan yang
melanggar aturan, seperti halnya dengan sebuah cabang pohon yang
tumbuh terus tidak terbatas tentu akan merusak keharmonisan pohon
itu sebagai satu keseluruhan. Ibn Khaldun, salah seorang
cendekiawan muslim abad pertengahan yang berusaha membuat
pembidangan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang. Pembidangan
atau klasifikasi ilmu yang dibuat Ibn Khaldun, ialah: Kelompok
ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia, sedangkan yang lain
adalah kelompok ilmu-ilmu yang bersifat tradisional (naqli). Yang
pertama ialah ilmu-ilmu uang bisa ditemukan sendiri oleh manusia
dengan kemampuan berpikirnya, sedangkan yang kedua berbeda dengan
yang pertama karena tidak diperoleh dari kemampuan berpikir
manusia, tetapi diperoleh dari orang yang merumuskannya.
a. Ilmu-ilmu Falsafah dan Hikmah
Ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia atau ilmu-ilmu
rasioanal tidak terdapat secara khusus pada suatu kelompok penganut
agama tertentu, melainkan terdapat pada seluruh penganut-penganut
agama secara keseluruhan dan mereka mempunyai persamaan danpersepsi
dan pembahsannya. Ilmu-ilmu itu dinamakan juga ilmu-ilmu falsafah
dan hikmah. Selanjutnya Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau
ilmu-ilmu falsafah dan hikmah itu dalam empat macam.
Yang pertama ialah logika ( طق# yaitu ilmu untuk ,(ع�لم ال�مي�menghindari kesalahan dalam proses penyusunan fakta-fakta yang
ingin diketahui, yang berasal dari berbagai fakta tersedia yang
telah diketahui. Faedahnya adalah untuk membedakan antara yang
salah dari yang benar berkenaan dengan hal-hal yang dikejar oleh
para pengkaji segala yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar
ia sampai pada pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan
menggunakan akalnya secara maksimal.
Yang kedua adalah ilmu alam ( غي� ي� Æع�لم ال�طت), yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang dapat dirasa dengan indera,
seperti benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang
yang diciptakan, benda-benda angkasa, gerakan alami dan jiwa yang
merupakan asal dari gerakan dan lain-lainnya.
Bagian yang ketiga adalah metafisika ( ات# yaitu ,(ع�لم الآل�هي�pengkajian yang dilakuakan terhadap perkara-perkara di luar alam,
yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.
Bagian yang keempat adalah studi tentang berbagai ukuran yang
dinamakan matematika (Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu music, dan
astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri, Ibn Khaldun mangatakan
bahwa:
“Ilmu ukur...berupa pengakajian tentang ukuran-ukuran secara umum,
baik yang terpisah-pisah karena ukuran itu bisa dihitung ataupun
yang bersambungan, yang terdiri dari satu dimensi, yaitu titik;
atau mempunyai dua dimensi, yaitu permukaan; atau tiga dimensi,
yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu dikaji, demikian pula sifat-sifat
tumbuhannya”.
Sedangkan ilmu hitung/aritmatika adalah ilmu tentang apa yang
terjadi pada angka terpisah, yaitu bilangan dengan memperhatikan
ciri-ciri khususnya serta sifat-sifat tambahan yang melekat
padanya. Ilmu music adalah pengetahuan mengenai hubungan suara-
suara dan melodi-melodi satu sama lainnya serta pengukurannya
dengan angka. Ilmu astronomi adalah ilmu yang menetapkan bentuk
daerah angkasa, posisi dan jumlah planet dan bintang tertentu, dan
dengannya memungkinkan mempelajari semuanya ini dari gerakan benda-
benda di langit yang kelihatan terdapat di setiap ruang angkasa,
gerakan-gerakannya, proses dan resesinya.
Itulah tujuh pokok-pokok ilmu falsafah dalam pembidangan yang
dibuat Ibn Khaldun, yaitu logika yang merupakan pengantar baginya,
dan setelah itu ialah ilmu-ilmu instruktif: pertama ialah ilmu
hitung, kemudian ilmu ukur, kemudian astronomi. Ilmu-ilmu alam dan
metafisika.
b. Ilmu-ilmu Tradisioanl Syar’iyah
Pada kelompok yang kedua ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada
pada kelompok yang pertama, karena pada pembidangan yang kedua ini
terdiri dari ilmu-ilmu yang tidak melibatkan akal manusia dalam
memperolehnya, di sini tidak ada tempat bagi akal, kecuali untuk
menghubungkan persoalan-perosalan detail dengan prinsip-prinsip
dasar. Sumber asal ilmu pengetahuan naqli ini secara keseluruhan
adalah ajaran kitab suci al-Quran dan sunnah
Rasulullah saw. Menurut Ibn Khaldun, jenis ilmu-ilmu naqli ini
banyak, dan adalah tugas bagi setiap mukallaf untuk mengetahui
hukum-hukum Tuhan yang di fardhukan kepadanya. Perincian ilmu-ilmu
naqli ini adalah seabagi berikut:
- Al-Quran dan tafsirnya serta qiraatnya.
- Ilmu-ilmu hadis dan mata rantai periwayatnya.
- Ushulul fiqih dan fiqih.
- Ilmu kalam dan Ilmu Tasawuf.
Pada dasarnya ilmuwan dengan kata lain orang yang berilmu bisa jadi
di katakan orang yang mengetahui akan segala sesuatu. seperti
contoh : si budi benar-benar tidak mengetahui bahwa meminum baigon
(racun) haram sedangkan si ikbal mengetahui bahwa minum baigon itu
haram. sesuatu hal yang diberitahukan kepada si ikbal itu termasuk
ilmu karna si budi telah menjadi tahu bahwa minum baigon itu haram
hukumnya, akan tetapi ilmu yang di peroleh ikbal tersebuat sebual
ilmu yang mafhul (tidak ilmiah/ tidak rasional) sehingga budi perlu
mengetahui justifikasi kenapa ikbal mengatakan baigon itu haram
hukumnya.
Lalu si ikbal mendiskripsikan bahwa baigon itu bisa membuat orang
meninggal jika seseorang meminumnya. si budi masih tidak percaya
bahwa baigon itu menyebabkan kematian lalu si budi mempraktekkan
dengan meminum baigon yang ada ditangannya sekarang pegang.
ternyata si budi percaya bahwa baigon itu menyebabkan kematian
setelah budi pingsan menelan tetesan baigon tersebut. dari cerita
di atas bahwa ilmuwan itu tahu dan mengetahui akan segala sesuatu
tidan ter patok pada apakah yang diketahuinya itu sebuah
spesifikasi dari kimia atau dari spesifikasi dari ilmu yang
lainnya.
Ilmuawan Muslim
kita tahu bahwa banyak sekali para ilmuan muslim dahulu yang lebih
presentatif kita kaji ketimbang ilmu-ilmu modern atau dan ilmu
barat yang secara historis atau karakter budaya kita lebih dekat
dengan wilayah-wilayah timur tengah akan tetapi pada abad ke 21 ini
indonesia terutama mahasiswa lebih banyak mengkaji teori-teori
ilmuwan barat padahal banyak ilmuwan muslim seperti:
Abu yusuf ya'qup bin ishaq ash-shabbah bin 'imron bin isma'il bin
al asy'ats bin qays Al-kindi, abu bakar muhammad ibn zakaria ibn
yahya Al razi, abu nashr ibnu audagh ibn thorhan Al-farabi, abu al
khasim ahmad bin ya'qub bin miskawaih, abu ali al husain ibn
abdullah ibn sina, muhammad bin muhammad bin muhammad bin ahmad abu
hamid al ghazali, suhrawardi al-maqtul, abu bakar muhammad ibn
yahya al-sha'igh, ibnu muhammad ibn Abd Al malik ibn muhammad ibn
muhammad ibn tufail, abu al wahid muhammad ibn ahmad bin muhammad
ibn rusyd,khwajah nasir al din abu ja'far muhammad ibn muhammad ibn
hasan,muhammad iqbal, shadr al-din syirazi, robi'atul addawiyah, al
hallaj, fariduddin atthar, jamaluddin ar rumi dan masih banyak yang
lainnya yang tentunya tidak bisa disebutkan satu persatu.
Pada tokoh-tokoh di atas tersebut pada zamannya sangat membuat
perubahan yang signifikan buakan hanya di bidang keilmuan bahkan di
tatanan negarapun para hasil dari pemikiran para tokoh men jadi
acung yang sangat luar biasa bahkan sampai sekarangpun teorinya
masih laku. Sebut saja ibnu sina yang mana ibnu sina sangat
terkenal dengan ilmu kedokterannya di eropa teori ibnu sina masih
menjadi acuan utama dari suatu pokok keilmuan kesehatan akan tetai
bangsa kita lebih memilih untuk memakai teori kontemporer yang
padahal teori tersebut hasil dari pengkajian ilmuany ibnu sina itu
sendiri.
Sikap para ilmuwan muslim saya kira sangat tepat untuk membuat
suatu terobosan dalam sikap kehidupan sehari-hari yang biasa
seseorang kerjakan suatu misal ibnu miskawih yang mengatakan bahwa
tuhan bukanlah perekat utamadalam kehidupan melainkan moral artinya
seorang muslim ataupun non-muslim harus mempertimbangkan hablum
minannas bukan hanya sekedar hablum minall (hubungan manusia dengan
manusia selain hubungn manusia dengan tuhannya).