Makalah PAI

58
Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dariepistemologi. Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat. Syarat ilmu 1 objektif 2 metodis 3 sistematis 4 universal Berikut ini adalah pengertian dan definisi ilmu menurut beberapa ahli: M.Izuddin_Taufiq Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya

Transcript of Makalah PAI

Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk

menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari

berbagai segi kenyataan dalam alam manusia Segi-segi ini dibatasi

agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan

kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian

ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum

sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan

dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui

dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu

terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai

pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk

dariepistemologi.

Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke

dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya

bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi

ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan

dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang

berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah

seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Syarat ilmu 1 objektif 2 metodis 3 sistematis 4 universal

Berikut ini adalah pengertian dan definisi ilmu menurut beberapa

ahli:

M.Izuddin_Taufiq

Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan,

pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat,

landasan dasar ataupun asal usulnya

THOMAS KUHN

Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan,

bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya

Dr. MAURICE BUCAILLE

Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka

waktu yang lama maupun sebentar.

NS. ASMADI

Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses

mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali

(metode ilmiah)

POESPOPRODJO

Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang

meliputi perkembangan teori dan uji empiris

# MINTO RAHAYU

Ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan

berlaku umum, sedangkan pengetahuan adalah pengalaman yang bersifat

pribadi/kelompok dan belum disusun secara sistematis karena belum

dicoba dan diuji

# POPPER

ilmu adalah tetap dalam keseluruhan dan hanya mungkin

direorganisasi.

# DR. H. M. GADE

Ilmu adalah falsafah. yaitu hasil pemikiran tentang batas-batas

kemungkinan pengetahuan manusia

FRANCIS BACON

Ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan hanya fakta-

fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan

CHARLES SINGER

Ilmu adalah suatu proses yang membuat pengetahuan (science is the

process which makes knowledge)

 

Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil

pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik

atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha

manusia untuk tahu. Dalam perkembangannya pengetahuan manusia

berdiferensiasi menjadi empat cabang utama, filsasat, ilmu,

pengetahuan dan wawasan. Untuk melihat perbedaan antara empat

cabang itu, saya berikan contohnya: Ilmu kalam (filsafat), Fiqih

(ilmu), Sejarah Islam (pengetahuan), praktek Islam di Indonesia

(wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika merupakan

pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya

bukanlah ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.

Setiap ilmu (sains) adalah pengetahuan (knowledge), tetapi tidak

setiap pengetahuan adalah ilmu. Ilmu adalah semacam pengetahuan

yang telah disusun secara sistematis. Bagaimana cara menyusun

kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu? Jawabnya pengetahuan itu

harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan, dibesarkan

dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode

ilmiah. Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki

pengetahuan yang banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika,

matematika, statistika dan bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak

itu diolah oleh suatu metode tertentu. Metode itu ialah metode

ilmiah. Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan juga untuk

menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan

menarik pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.

Untuk bepengetahuan seseorang cukup buka mata, buka telinga, pahami

realitas, hafalkan, sampaikan. Adapun untuk berilmu, maka metodenya

menjadi lebih serius. Tidak sekedar buka mata, buka telinga, pahami

realitas, hafalkan, sampaikan, secara serampangan. Seseorang yang

ingin berilmu, pertama kali ia harus membaca langkah terakhir

manusia berilmu, menangkap masalah, membuat hipotesis berdasarkan

pembacaan langkah terakhir manusia berilmu, kemudian mengadakan

penelitian lapangan, membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya

barulah ia mencapai suatu ilmu. Ilmu yang ditemukannya sendiri.

Apa maksud “membaca langkah terakhir manusia berilmu” ? Postulat

ilmu mengatakan bahwa ilmu itu tersusun tidak hanya secara

sistematis, tetapi juga terakumulasi disepanjang sejarah manusia.

Tidak ada manusia, bangsa apapun yang secara tiba-tiba meloncat

mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar pengetahuan sebelumnya.

Katakanlah bahwa sebelum abad renaisansi di Eropa, bangsa Eropa

berada dalam kegelapan yang terpekat. Karena larut dalam filsafat

skolastik yang mengekang ilmu dan peran gereja. Para ilmuwan dan

para filsafat abda itu tentu memiliki guru-guru yang melakukan

pembacaan terhadap mereka tentang sampai batas terakhir manusia

berilmu di zaman itu. Ilmu kimia abad modern sekarang adalah

berpijak pada ilmu kimia, katakanlah abad 10 masehi yang berada di

tangan orang-orang Islam. Dan ilmu kimia di abad 10 masehi itu

tentu bepijak pula pada ilmu kimia abad 3500 tahun sebelum masehi,

katakanlah itu misalanya dari negri dan zaman firaun.

Jadi seseorang yang ingin berilmu manajemen, misalnya, maka ia

harus mengumpulkan dulu pengetahuan-pengetahuan mnajemen yang telah

disusun sampai hari kemarin oleh para ahli ilmu tersebut dan

merentang terus kebelakang sampai zaman yang dapat dicapai oleh

pengetahuan sejarah.

Cara praktis, cepat, kompatibel, kredibel, aksesibel, dan lain-lain

bel positif lainnya, untuk berilmu ialah dengan sekolah formal,

dari SD hingga S3. Beruntunglah kawan-kawan yang bisa meraih gelar

sarjana. Gelar magister dan seterusnya. Memang sekalipun gelar

sudah s3 tapi koq masih terasa haus juga terhadap ilmu. Itu karena

ilmu yang ada pada dirinya sebenarnya barus sedikit dari khazanah

ilmu yang pernah disusun manusia, sedang disusun, dan apalagi jika

dibanding dengan ilmu di masa depan sampai haru kiamat nanti.

Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau

disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak

dibatasi

pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang

secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.

Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang

ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan

muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali

benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau

dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang

mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan

pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.

Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan

pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak

seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif

terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala

informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau

bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk

mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan

berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala

sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Adapun

pengetahuan menurut beberapa ahli adalah:

1.Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari

manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui

persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan

merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan

penginderaan sebuah objek tertentu.

2.Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan

atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini

menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas

dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang

diberikan menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai.

3.Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil

dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap

obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telingan.

Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan

bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang

diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu.

Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat,

mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan

bersikap dan bertindak. Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia

(2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui

berkaitan dengan proses belajar.

Pengetahuan adalah

sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses

belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi

dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan

sosial budaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003).

Secara garis besar menurut Notoatmodjo (2005) domain tingkat

pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi:

mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan

mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan

tentang sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar,

ataupun informasi yang diterima dari orang lain.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat kita definisikan

bahwa;

Pengetahuan merupakan

Hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu

menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari

tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui

proses pendidikan maupun melalui pengalaman.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua

pengertian, yaitu :

1.     Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode

tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala

tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum,

ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.

2.     Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian,

tentang soal duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya,

seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan

sebagainya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan :

Ilmu : merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara

sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu.

Lanjutan . . .

KARAKTERISTIK ILMU

Menurut Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa ciri umum

ilmu diantaranya :

1.     Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.

2.     Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi

kekeliruan karena yang menyelidiki adalah manusia.

3.     Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara

penggunaan metode ilmu tidak tergantung kepada yang menggunakan,

tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi.

Menurut Ernest van den Haag  (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-

ciri ilmu, yaitu :

1.     Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan

menggunakan akal (rasio).

2.     Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar

pengalaman oleh panca indera.

3.     Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia

tanpa terkecuali.

4.     Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk

dijadikan objek penelitian selanjutnya.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ILMU DENGAN FILSAFAT

A.   Perbedaan

1.     Ilmu bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu

pengetahuan sebagai objek formalnya. filsafat bersifat pengetahuan

sinopsis artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan secara

keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat tersendiri yang

tidak ada pada bagian – bagiannya.

2.     Ilmu bersifat deskritif tentang objeknya agar dapat menemukan

fakta – fakta, netral dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu.

Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu, melainkan membantu

manusia untuk mengambil putusan – putusan tentang tujuan, nilai –

nilai, dari tentang apa –apa yang harus diperbuat manusia. Filfat

tidak netral, karena faktor – faktor subjektif memegang peranan

yang penting dalam berfilsafat.

3.     Ilmu mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang

tidak perlu diuji, sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat

bisa merenungkan kembali asumsi –asumsi yang telah ada untuk dikaji

ulang tentang kebenaran asumsi.

4.     Ilmu menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang

khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji

dalam praktik berdasarkan metode –metode ilmu yang empiris. Selain

menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga menggunakan

hasil – hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang

didasarkan pada semua pengalaman insani,sehingga dengan demikian

filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh

ilmu

Lanjutan . . .

B.   Persamaan

1.     Filsafat dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir

reflektif ( refflectife thinking ) dalam menghadapi fakta-fakta

dunia dan hidup.

2.     Filsafat dan ilmu, keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang

terorganisasi dan tersusun secara sistematis. 3. Ilmu membantu

filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan- bahan deskriktif dan

faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat. 4. Ilmu mengoreksi

filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang

bertentangan dengan pengetahuan ilmiah 5. Filsafat merangkum

pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam

ilmu dan yang berbeda serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam

suatu pandangan tentang hidup dan dunia dan menyeluruh dan terpadu.

 

HUBUNGAN ILMU DENGAN FILSAFAT

Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan bersumber

kepada tiga pertanyaan. Sementara filsafat ,memepelajari masalah

ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi

eksistensi ilmu. Untuk mengingatkan ketiga pertanyaan itu adalah:

1.     Apa yang ingin kita ketahui?

2.     Bagaimana cara kita memeperoleh pengetahuan?; dan

3.     Apakah nilai (manfaat) pengetahua tersebut bagi kita?

Pertanyaan pertama di atas merupakan dasar pembahasan dalam

filsafat dan biasa disebut dengan ONTOLOGI , pertanyaan kedua juga

merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan EPISTEMOLOGI dan

pertanyaan terakhir merupakan landasan lain dari filsafat yang

disebut dengan AXIOLOGI. Ketiga hal di atas merupakan landasan bagi

filsafat dalam membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa

kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk

ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak

yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.

Lanjutan . . .

ASPEK PENINJAUAN ILMU

1.     ONTOLOGIS (MASALAH APA)

Apakah yang ingin kita ketahui? Atau apakah yang menjadi bidang

telaah suatu ilmu ?

JENIS – JENIS ILMU

1.     Menurut Aristoteles ilmu diklarifikasikan berdasarkan tujuan

dan objeknya.

2.     Berdasarkan tujuan ilmu dapat dibedakan menjadi 2 kelompok

besar yaitu :

a.     Ilmu – ilmu teoritis yang penyelidikannya bertujuan memperoleh

pengetahuan tentang kenyataan.

b.     Ilmu – ilmu praktis atau produktif yang penyelidikannya

bertujuan menjelaskan perbuatan yang berdasarkan pada pengetahuan.

ASPEK PENINJAUAN ILMU

1.     ONTOLOGIS (MASALAH APA)

Apakah yang ingin kita ketahui? Atau apakah yang menjadi bidang

telaah suatu ilmu ?

Lanjutan . . .

Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran.

Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu

pengetahuan adalah sbb. :

a.     Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama

untuk mencari kebenaran

b.     Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan

pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama

c.      Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan

kesimpulan yang positif benar

d.     Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang

disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah

praktis.

Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang dinamis , tersusun sebagai

teori-teori yang saling mengeritik, mendukung dan bertumpu untuk

mendekati kebenaran

 

TEORI

1.     Teori merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan

mengenai suatu sektor tertentu dari suatu disiplin ilmu, dan

dianggap benar

2.     Teori biasanya terdiri dari hukum-hukum, yaitu : pernyataan

( statement ) yang menjelaskan hubungan kausal antara dua

variabel atau lebih

3.     Teori memerlukan tingkat keumuman yang tinggi, yaitu

bersifat universal supaya lebih berfungsi sebagai teori ilmiah

4.     Tiga syarat utama teori ilmiah :

a.     Harus konsisten dengan teori sebelumnya

b.     Harus cocok dengan fakta-fakta empiris

c.      Dapat mengganti teori lama yang tidak cocok dengan

pengujian empiris dan fakta

Beberapa istilah yang biasa digunakan dalam komunikasi ilmu

pengetahuan :

a.     Axioma

b.     pernyataan yang diterima tanpa pembuktian karena telah

terlihat kebenarannya

c.      Postulat

d.     suatu pernyataan yang diterima “benar” semata-mata untuk

keperluan berkomunikasi

e.      Presumsi

f.       suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau

percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai

benar walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar

g.     Asumsi

h.     suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya maupun

kemungkinan benar tidak tinggi

Filsafat Ilmu Pengetahuan selalu memperhatikan : dinamika ilmu,

metode ilmiah, dan ciri ilmu pengetahuan.

a.     Dinamis : dengan aktivitas/perkembangan pengetahuan sistematik

dan rasional yang benar sesuai fakta dengan prediksi dan hasil ada

aplikasi ilmu dan teknologi, dinamika perkembangan karena ilmu

pengetahuan bersimbiose dengan teknologi

b.     Metode Ilmiah : dengan berbagai ukuran riset yang disesuaikan.

c.      Ciri Ilmu : perlu memperhatikan dua aspek, yaitu : sifat ilmu

dan klasifikasi ilmu

Lanjutan . . .

Sistematik Ilmiah, benar (pembuktian dengan metode ilmiah Salah

satu Klasifikasi Ilmu : Sifat ilmu Konsisten (antara teori satu

dengan yang lain tak bertentangan) Eksplisit (disepakati dapat

secara universal, bukan hanya dikalangan kecil) Ilmu Pengetahuan

Ilmu Alam (Natural Wissenschaft) Ilmu Alam / Eksakta Ilmu Moral

Ilmu Sosial Ilmu Humaniora

ASPEK AKSIOLOGI

Tujuan dasarnya : menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau

sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah Contohnya : Pada

Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi

tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian

laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata

terbukti bahwa teori tersebut benar.

Akal berasal dari kata Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, dalam bentuk

mashdar yang artinya  jika dia menahan dan memegang erat apa yang

dia ketahui. Akal adalah ni’mat besar yg Allah titipkan dalam

jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut Rahmat-Nya Allah ini

menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat menakjubkan. Oleh

karenanya dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal

(yakni menggunakan akalnya) di antaranya:

مس هار وال�ش� ل وال�ن� ي� م ال�ل ك خ�ر ل� وس� ��ن لو عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� مره ا8 ا> سخ�رات# ي�= وم م� ج= مر وال�ن� ق# وال�

Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan bulan untukmu. Dan

bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada

yg demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami.”

لي ها ع� عض� ل ي�= ض� ف� د وي�� ماء واح� ي ب�= سق# ي�� وان6 ن� ر ص� ي� وان6 وغ� ن� ل ص� ي� خ� رع ون�� ات= ور� ي� ع� ن6 ا> ات# م� ي� اورات# وج�= ج= ت# ع م� ط ق�# رض� ي� الآ> وف�

لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� ل ا8 ك� ي� الآ> ف� عض� ي�=“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-

kebun anggur tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg

tidak bercabang disirami dgn air yg sama. Kami melebihkan sebagian

tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang

rasanya.Sesungguhnya pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda bagi

kaum yg berfikir.” Sebaliknya Allah mencela orang yg tidak berakal

seperti dalam ayat-Nya:

ر عي� ات= ال�س ج ص� ي� ا> ا ف� ي� ا ك� ل م� عق# و ي�� شمع ا> ا ي�� ي� و ك� وا ل� ال� “وق�#Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan

niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyala-

nyala’.”

Islam tidak menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber akidah

namun islam juga menjadikan keyakinan(Iman) sebagai hal yang paling

utama. Dalam islam terdapat dua sumber sebagai landasan akidah

islam yaitu dalil naqli (Al-Qur’an,Hadits, Ijma Ulama dan Qiyash)

dan juga dalil aqli (akal) namun dalam kedudukannya dalil naqli

sebagai pokok sumber akidah islam sedangkan dalil aqli sebagai

penyempurna sumber akidah islam.

islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang

menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :

-           Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal

dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.

-           Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur

(memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan

syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,

-           Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan)

diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang

ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu

yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia

benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : 8)

,

-“         Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),

-           “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk

menunaikan sholat pada hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada

mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu

lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Jumu’ah : 9).

bentuk kemuliaan lainnya terhadap akal seperti:

1.Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum

sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum.

2.Rasulullah SAW bersabda :

ع ي رف�� ت# له ج� ق# لي ع� لوت= ع� مغ� ال� ون6 wن مخ= ال� ن6 ع� ه# ��ث لآ ن6 ي�� لم ع� ق# لم ال� ي# خ ي ن�� ت# ي� ج� ت= ال�ص ن6 وع� ظ~ ف# ي� ست� ي ي�� ت# م ج� <�ائ ال�ي� ن6 را> وع� ي= ث��“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya

tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak

kecil sehingga baligh.” Islam menjadikan akal sebagai salah satu

dari lima perkara yg harus dilindungi yaitu:  mengharamkan khamr

utk agama akal harta jiwa dan kehormatan.

1.Allah  menjaga akal. Allah SWT berfirman :

وا ن� م� ن6 ا. ي�� د� ها ال� ��ي ا ا> ر� ي�� ات= والآ> ض ن�� سر والآ> مي� مر وال� خ� ما ال� ب�� ا8 ي�� و لج ق� م ي�# ك غل وه ل� ن= wت ي# اج�= ق�� ان6 ط ي� مل ال�ش� ن6 ع� س م� لآم رج�=Hai orang-orang yg beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala

mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan.”

Nabi  bersabda:  را سكر ح� ل م� م ك�“Setiap yg memabukkan itu haram.”

Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan hal bagi peminum

khamr.”

1.Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan akal.

Artinya keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam

menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga

mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang

memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya tidak

menyepelekan dan tidak pula berlebihan.

Kita memahami Al Qur’an dan Hadits (dalil naqli) dengan

mengembalikan kepada Allah  SWT yakni menggunakan hati atau dalil

aqli atau dalil akal sebagaimana Ulil Albab (orang-orang yang

berakal)  Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk

atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang

penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,

tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,

maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191) Ulil

Albab berasal dari lubb tingkatan dari qalb atau hati. Akal terbagi

2 yaitu :

1.Akal Qalbu (Hati) dan

2.Akal Pikiran (Logika)

Akal Qalbu (Hati) berbeda dengan Akal Pikiran (logika) Dalil Aqli

adalah Akal Qalbu, “tanyakanlah pada hati” , “hati tidak pernah

berbohong” , “nafsu yang mencari-cari alasan”

Rasulullah SAW Bersabda : “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan

akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah

berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Akal Pikiran (logika) adalah bersandar pada kemampuan sendiri atau

kerja otak sendiri sedangkan Akal Qalbu (hati) adalah mengikuti

cahayaNya atau petunjukNya yang diilhamkan keseluruh Qalbu / jiwa

setiap manusia.“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua

jalan”( haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )

Ruang Lingkup Akal Dalam Islam

Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi

tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam

membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena

akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai

hakekat segala sesuatu.

Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah

syar’i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah

itu. Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah

ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena

lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah

perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan

penciptaan Adam, Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena

Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari

tanah..” (QS.Shaad ; 76).

Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang

diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat

ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda, ”Pikirkanlah nikmat-

nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.

Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.

Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu

diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85). 

C. Pemuliaan Islam Terhadap Akal

Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang

menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :

1.      Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam

rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.

Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur(memikirkan) dan

merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya

sebagaimana dalam firmanNya,

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak

menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan

(tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara

manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : ,

“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang

yang berakal”, (Al Baqarah : 184),

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari

Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.

yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Jumu’ah : 9).

2.     Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat

istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam

firman Allah,

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”

mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari

(perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek

moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(QS.

Al Baqarah : 170).

3.       Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu

sebagaimana dalam firman Allah,

”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk

memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).

4.       Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga

akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal

seperti khomr, Allah berfirman,

“Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban

untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan. (Al Maidah, 90).

Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia.

Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan

Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam,

hal. 5)

Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk

berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� مره ا8 ا> سخ�رات# ي�= وم م� ج= مر وال�ن� ق# مس وال� هار وال�ش� ل وال�ن� ي� م ال�ل ك خ�ر ل� وس�

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.

Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda

(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12).

لي ها ع� عض� ل ي�= ض� ف� د وي�� ماء واح� ي ب�= سق# ي�� وان6 ن� ر ص� ي� وان6 وغ� ن� ل ص� ي� خ� رع ون�� ات= ور� ي� ع� ن6 ا> ات# م� ي� اورات# وج�= ج= ت# ع م� ط ق�# رض� ي� الآ> وف�

لون6 عق# وم ي�� ق# ل� ات# ��ي ك1 لآ. ل� ي� ذ� ن6 ف� ل ا8 ك� ي� الآ> ف� عض� ي�=“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan

kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang

dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami

melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain

tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat

tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d:

4)

Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam

ayat-Nya:

ر عي� ات= ال�س ج ص� ي� ا> ا ف� ي� ا ك� ل م� عق# و ي�� شمع ا> ا ي�� ي� و ك� وا ل� ال� وق�#“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan

(peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni

neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak

berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal

itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam

kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta

tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah

memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat,

serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-

Istiqamah, 2/157)

Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan

beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

1. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat

bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak

dibebani hukum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لم ي# خ ي ن�� ت# ي� ج� ت= ال�ص ن6 وع� ظ~ ف# ي� ست� ي ي�� ت# م� ج� <�ائ ال�ي� ن6 را> وع� ي= ي ث�� ت# له� ج� ق# لي ع� لوت= ع� مغ� ال� ون6 wن مخ= ال� ن6 ع� ه# ��ث لآ ن6 ي�� لم ع� ق# ع ال� رف��“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya

tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak

kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-

Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani

mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)

2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang

harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan.

(Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)

3. Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

ون6 لج ق� م ي�# ك غل وه ل� ن= wت ي# اج�= ق�� ان6 ط ي� مل ال�ش� ن6 ع� س م� لآم رج�= ر� ات= والآ> ض ن�� سر والآ> مي� مر وال� خ� ما ال� ب�� وا ا8 ن� م� ن6 ا. ي�� د� ها ال� ��ي ا ا> ي��“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,

berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,

adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah

perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-

Maidah: 90)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رام سكر ح� ل م� ك�

“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu

Musa Al-Asy‘ari)

Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal

maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun

Kamil, hal. 34-35)

4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan

(kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal,

bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga

mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang

memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan

dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus

akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka

justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal

dengan sesuatu yang tidak mampu.

Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah

sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana

makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.

As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa

ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir

dan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus

berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima

karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan

batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat

(menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya

di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah

tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah,

hal. 1105)

Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya

akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara

ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti

pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya,

arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui

melalui wahyu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ل ر� وح�= ي� ال�له ع� روا ف� ك ق� لآء ال�له ولآ ي�# ي� ا> روا ف� ك ق� ي�#“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada

Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu

‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani

menghasankannya)

لآ لي� لآ ق�# غلم ا8 ن6 ال� م م� ت# ت� وت�� ا ا> ي� وم� ب�= مر ر ن6 ا> وح م� ل ال�ر وح ق�# ال�ر ن6 ك1 ع� w�ت و ل� سا> ��ي و“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu

termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan

melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan

perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik

perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum

syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak

hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada

syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan

syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid.

Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu

mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka

orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat

fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa

dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi

yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang

berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena

orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia

(mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-

Thahawiyah hal. 201)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Risalah datang dari Allah,

kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh

Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah

menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya.

Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan

akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama

sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang

telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak

mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya

terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang

tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal,

dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)

Akal yang terpuji dan akal yang tercela

Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa

penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan

terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun

pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai

dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal

yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang

menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa

macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.

2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang

dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash,

memahaminya serta mengambil hukum darinya.

3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama)

Allah Subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori

atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut

filsafat.

4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As

Sunnah.

5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik

(dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106,

Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)

Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita,

kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang

tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan

salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada

syariat.

Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat

Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala

bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal.

(Asasuttaqdis, hal. 172-173)

Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih

dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah

salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat

mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada

lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.

Lebih rinci para ulama seperti Ibnu

Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan

jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat

sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan

dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal

itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya

dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah

syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan

diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang

sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan

kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang)

mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu

tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu

yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk

menjangkaunya.

Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal

mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi

mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka

agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi

yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu.

Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah,

kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka

maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah

membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang

syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal.

Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang

dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155,

138)

Ketika dalil bertentangan dengan akal

Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi

manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul

ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau

terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah

akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil

tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang

dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.

Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang

mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula

anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa sallam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan

oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian

terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah

Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)

Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun pada

akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat

dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak

terjangkau oleh pikirannya.

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli

bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang

shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di

mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”

(Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah

Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)

Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah

berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab

dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya.

Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada

Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya,

mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan

hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai

dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab

dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena

sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan

menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang

benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)

 

Bila akal didahulukan

Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak

bahaya:

1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika

diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alahissalam, kemudian ia

membangkang dan menentang dengan akalnya.

ن6 ي� ن6 ط� ه م� ت# لق# ار وح�� ن6 ي�� ي� م� ت� ت# لق� ه ح�� ت� ر م� ي� ا خ� ��ي ال ا> ك1 ق�# ��ت مر ذ� ا> د ا8 سج= لآ ي�# غك1 ا> ي� ا م� ال م� ق�#“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada

Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik

daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau

ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal

mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka katakan:

م ت� ظ~ ع� ن6 ي� ي# ق#ري�� ن6 ال� ل م� لي رح�= ن6 ع� ق#را. ا ال� د� ل ه� wر ولآ ن�� وا ل� ال� وق�#“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada

seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.”

(Az-Zukhruf: 31)

3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak

merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya

Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih

jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh

untuk menolaknya.

4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:

ن6 مي� ال� وم ال�ط~ ق# هدي� ال� لآ ي�� ن6 اهلل ا8 ن6 اهلل دي م� ر ه� ي� ع� واه ي�= ع ه� ي= #�ن6 اي م ل م� ض�� ن6 ا> م وم� واءه� ه� عون6 ا> ي= ت� ما ت�� ب�� لم ا> اع� ك1 ق�� وا ل� ن= ت� ج= شن� م ي�� ن6 ل� ا8 ق��“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa

sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa

nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang

zalim.” (Al-Qashash: 50)

5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul

Qayyim.

6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.

ن6 مي� ال� وم ال�ط~ ق# هدي� ال� لآ ي�� ن6 اهلل ا8 ن6 اهلل دي م� ر ه� ي� ع� واه ي�= ع ه� ي= #�ن6 اي م ل م� ض�� ن6 ا> م وم� واءه� ه� عون6 ا> ي= ت� ما ت�� ب�� لم ا> اع� ك1 ق�� وا ل� ن= ت� ج= شن� م ي�� ن6 ل� ا8 ق��“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah

tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang

bercahaya.” (Al-Hajj: 8)

Ini termasuk larangan terbesar.

ا م� لي اهلل وا ع� ول� ق# ن6 ي�# ا وا> اي�� لط ه س� ل ث�= ي�ر� م ث�� ا ل� م� اهلل وا ي�= رك� س� ن6 ي�# وا> ق# ج ر ال� ي� ع� ي� ي�= غ� ي= م وال� ئ�� ن6 والآ8 ظ ا ن�= ها وم� ن� هر م� ا ظ�~ س� م� واج� ق� ال� ي� ب�= م ر ر ما ح� ب�� ل ا8 ق�#

غلمون6 لآ ي�#“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik

yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar

hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan

Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu

dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak

kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.

8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]

Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang

yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam

ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits

ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu

Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)

1.               Akal dan Iman

Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan

antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah

diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan

iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu

bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut

tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama

sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk

menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu

kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam

pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan

akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama,

kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya;

iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal

(Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-

1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci

dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah

Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai

kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan

hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-

keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara

tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada

diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan

terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak

lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga

terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain

lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman,

oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya

iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal

akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama

kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia

dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan

akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan

diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang

mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal

untuk menopang kesempurnaannya.

Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama

merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan

manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami

turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal

sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya

dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber

syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan

kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang

mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang

berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke

surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan

masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan

yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal.

Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah

keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang

didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga

mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an,

sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka

mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat

kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat

Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu

secara langsung maupun tidak langsung.

2.                     Akal dan Syariat

Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat

yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa

shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam

kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan

dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya:

berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan

merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek

dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan

kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain

dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang

mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum

tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta

ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga

dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan

(tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk

ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan

fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun,

kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan

manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun

berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk

hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita)

memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas

seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk

menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar

sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum

tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum

berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di

sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat

berdasarkan pendapat sendiri.

Batasan-batasan Akal

Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah

sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang

akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut

dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh

akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui

perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah

memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general

(kulli) terhadap permasalahan tersebut.

Pembelaan Akal terhadap Agama

Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan

partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya

adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di

dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga

terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun

sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat,

adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal

berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan

syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan

Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan

hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga

dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan

dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara,

tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah

ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan

dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat

tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:

1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal

secara langsung.

2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa

dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung

dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.

3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas

partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara

secara partikular.

4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular,

mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.

5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular

sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa

dipertahankan.

Kebenaran Iman

Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman

dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:

1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara

partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak

mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat

diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang

merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat

membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general

sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik

atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.

2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman

spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu,

maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan

pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam

interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi

mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang

oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman

pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]

B.       Fungsi akal dalam dunia islam

Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam

eksistensi manusia. Karena akal manusia bisa memikirkan apa-apa

yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal manusia bisa

bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa

klasifikasikan kedudukan akal dalam islam sebagai berikut:

1.   Kedudukan akal sebagai pengijtihad

Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad.

Maksudnya para mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk

mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan difinisinya

juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli

hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at.

Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam

memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya

mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum.

Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang

menggambarkan kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih

membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang hukum-hukum yang ada

didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para mujitahid

akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-

ada. Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu

perkara maka akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena

ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri.

Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu

perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya

sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala

perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali

fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran

para mujitahid bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan

maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau

kedudukannya sebagai pengijtihad.

2.   Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri.

Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri

manusia. Buka saja karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi

dari manusia, karena juga karena akal mencitrakan dan memberikan

ciri khas dari manusia.  Dalam hadits dinyatakan bahwa:

ه رف� رث�= د ع� ق# سه ف�� ق� رف� ي�� ن6 ع� م�Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya.

Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika

seseorang sudah mengenal dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya.

Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya mengenal dari

fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia

kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang

menggunakan akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka

datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa

berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya

dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya

bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan. Seseorang

akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat

mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada

yang menciptakan. Dari itu seseorang akan berfikir dirinya ada

karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa yang bisa menciptakan

dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari

penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa

menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas

sangatalah benar sekali jika seseorang sudah mengenal dirinya maka

sungguh mereka suda mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya

bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa mengunkan

akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah

menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu,

mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha

kuasa yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan

“Kunfaakun” maka jadilah.

Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-

batasan kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah

SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan suatu batasan

didalam hadits yang berbunyi:

ك1 ل� ذ� لآف� ج� ا ل�له ن�= ك1 ق�� ال� ي ي�= ا ورذ ف� ل م� ي ال�له وك� روا ف� ك ق� ال�له ولآ ي�# لق# ي� ح�� روا ف� ك ق� ي�#Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang

terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.

Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu

sangatlah terbatas. Akal manusia yang diberikan oleh Allah hanya

mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Akan

tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat

Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang

maha kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah

adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebab

bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang

tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha kekal, yang

lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang

maha hidup.

Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk

yang memenuhui alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang,

bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi didalamnya. Lalau

bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta makhluk-

makhluk itu. Sesumggunya dia:

ر ) ي� Æب ج� ف� ال� ي� ظ و ال�ل ر وه� ص درك�1 الآن�= و ي�� ر وه� ص ه الآن�= درك� #�غام : لآي 103الآي��Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang

kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-An’am : 103)

Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar

dengan akalnya menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-

penomena kosmik ini. Namun apabila akal melampaui batas-batasnya

akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan

terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam

banyak tempat islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan

sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini tidak mudah ditempuh

oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu.

Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan

Allah SWT tidak terbatas, namun dapat dipahami dengan  menguraikan

antara premis dan konklusi, dan merajut hubungan antara sebab dan

akibat.

3.   Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.

Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia

menciptakan gerak dan kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat

menembus semua rashasia kehidupan dan misteri alam raya ini?

Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa

langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur

ini? Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul

dari benda mati?

Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat  mudah menebaknya,

karena secara intuitif akal adalah mahluk yang terbatas.

Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan temuan-temuan akal, pada

puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada

(‘adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal

manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan

dengan kehendak pencipta.

Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan

kehilangan dirinya, atau akan terjatuh sepanjang masa.

Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal

manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang

gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi meletakkan akal pada bentuka

alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan kritik terhadap

akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas

akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas

alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu

yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal

seseuatu yang belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data 

yang telah dihasilkan sebelumnya. Premis-premis ini tidak lain

hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat pada

obyek-obyek akal (ma’kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak

bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-

dunia baru dan menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah

obyek inderawi yang muncul secara tidak sempurna. Data-data

permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi, mempunyai

nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri

tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan mampu

menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi

didalam masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun

diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau

hendak terbang tanpa pesawat.

Jelas sekarang  persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar

kemungkinan akal untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri

bermula dan berakhirnya alam, misteri alam ghaib, dan misteri di

luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu

mencapainya, sebab  kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk

kedalam lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri

mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-‘Arabi

melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh

pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal

sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada

kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan

sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. “

Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal berkuasa

mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa

akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara

bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan

medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang

yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi

yang memang dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan

mengungkapkan aturan-aturannya.  

4.   Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT

Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang

Allah berikan kepada manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan

apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Bagaimana langit

dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana

bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam,

semua itu bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh

Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

هم وي�= wن لي ج�= ع� عوذا و ف�# ما و ي� رون6 اهلل ق�# ك� wد ن6 ي�� ي�� د� ال� ات= ي= لآولي الآل� هار لآي��ت# ل وال�ن� ل�لي� ا لف� ي# واج�� والآرض� موات# ال�ش لق# ي ح�� ان6 ف�اط�لآ... ا ي�= د� ت# ه� لق# ا ح�� ا م� ي� ي�= ر رض� ولآ> موات# ال�ش لق# ي ح�� رون6 ف� ك ق� ي# : وي�� 191-190ال ع�مران6

Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan

siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang

mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,

tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)

Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasanya

dari semua apa yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi

orang yang berakal. Dari itu sebagai manusia hendaknya

mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah

ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang

begitu luas dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang

sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit

yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila

magrib yang tidak ada satupun tiang yang menyanggannya. Inilah

kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah kebesaran

kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar

supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda

kebesaran Allah SWT.

Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman

silih bergantinya siang dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari

mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan pasa sore hari

matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita

memungkiri semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada

setiap mahluknya? Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga

terjadinya pergantian singa dan malam?

Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan

semua itu. Hanya Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya

Allahlah yang mempunyai kekuasaan mengatur sulih bergantinya siang

dan malam.

Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....”Ya

Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini dengan sia-sia”. Dari

ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah ciptakan

tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk

mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi

di alam ini. Jikalau manusia telah menggungakan akal mereka, maka

semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Karena Allah

Maha Tahu atas segala sesuatu.

5.   Fungsi akal sebagai sarana kebebasan berfikir.

Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu

peradaban tidak akan pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran

bebas dapat membuka pintu pengetahuan sehingga karenanya bangsa-

bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang.

Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang

dianugrahkan kepada manusia. Islam menganggap akal sebagai salah

satu unsur keberadaannya dan suatu energi hidup didalam bangunannya

yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya

batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh

melangkah lebih jauh melalui batas-batas itu, agar tidak terjadi

kerusakan dan kemudaratan di dalam kehidupan ini. Akal harus

bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk menyelamatkan

manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.

Pada dasarnya dan gerak alamiahnya, pemikiran merupakan dialog

antara tidak dan ya. Karena itu sikap menolak dan menerima secara

mutlak dan buta tidak dipandang sebagai pemikiran. Sikap menolak

secara mutlak adalah sikap kebandelan anak kecil, dan sikap

menerima secara mutlak merupakan sikap budak. Allah-lah yang maha

luas ilmu-Nya dan mengetahui kebenaran secara ilmulyakin, yaitu

pengetahuan  yang tidak mengenal “kalau....kalau....kalau..”.

Sedangkan oengetahuan kita sebagai manusia, paling tingginyapun

adalah pengetahuan yang memungkinkan penggantian dan perubahan,

kita masih dapat menguatkan suatu pengganti atas pengganti yang

lain. Tidaklah suatu pemikiran kecuali memberikan kemungkinan benar

bagi pemikiran-pemikiran lain.

Pendapat yang kita kemukakan adalah pendapat yang mungkin

diterima dan ditolak melalui dialog-dialog, dan kita sendiri dapat

menolak dan menerima pendapat-pendapat lain yang muncul.

Adalah watak pemikiran bebas untuk selalu tanpak sebagai suatu

dialog yang seimbang. Seseorang tidak dapat memaksakan pemikirannya

kepada orang lain, dan tidak mengikutinya kecuali dengan benar.

Dalam hubungannya dengan manusia, Abu A’la Al-Mawdudi membagi

kebebasan berfikir kepada tiga kelompok:

Pertama, kelompok yang semata-mata berdasar kepada kebebasan

akal dalam segala urusan kehidupan. Mereka mempercayai sepenuhnya

dan merasa cukup dengan apa yang dihasilkan oleh akal manusia.

Kedua, kelompok yang pada lahirnya mengikuti suatu agama, namun

mereka lebih suka mengikuti pemikiran dan pendapat sendiri. Dalam

masalah kepercayaan dan aturan-aturan kehidupan, mereka tidak lebih

suka kembali kepada agamanya.

Ketiga, kelompok yang tidak mempergunakan akal, mengkebirinya,

dan dengan serta merta berdiri di belakang orang lain, bertaklid

buta.

Kelompok pertama sangat menghargai kebebasan, akan tetapi tidak

mengetahui batasan-batasannya yang benar. Kebebasan berfikir jenis

ini berbahaya bagi peradaban, karena diantara yang dituntut oleh

kebebasan ialah agar seseorang tidak mempercayai sesuati kecuali

benar menurut pendapatnya sendiri, dan tidak menempuh suatu jalan

kecuali yang dibenarkan oleh akalnya sendiri.

Berbeda dengan kebebasan ini, kebebasan menuntut kesepakatan

semua pihak terhadap unsur-unsur dan aturan-aturan peradaban,

pemikiran dan sebagian kepercayaan, kemudian mewujudkannya di dalam

kehidupan mereka. Kebebasan berfikir yang tidak terbatas

bertentangan dengan watak peradaban.

Kelompok kedua lebih jelek !keadaanya dari kelompok pertama.

Kelompok pertama sekedar sesat, namunkelompok kedua ini pembohong,

munafik, penipu, penyembunyi sesuatu.

Kelompok ketiga, tingakt terendah dipandang dari sudut

kemampuan akalnya. Dua kelompok pertama membawa akal keluar

kemampuannya, sedangkan kelompok ketiga tidak memfungsikan akal.

Di dalam khazanah fiqh islam, dapat dijumpai rumusan-rumusan

hukum yang menggambarkan kebebasan berfikir di dalam islam. Ibn

Taymiyah yang kendatipun mengakui kelebihan dan keutamaan imam-imam

fiqh yang dihormati oleh kaum muslimin, menyatakan: “Tidaklah benar

apabila seseorang berpegang pada suatu mazhab tertentu yang

dipilihnya, padahal ia mendapatkan kebenaran pada mazhab lain. Ia

harus menjadi pencari kebenaran, tidak boleh panatik kepada seorang

imam dan tidak melihat syariat kecuali dengan dan dari pandangannya

sendiri. Sebab seseorang dapat diambil dan ditinggalkan pendapatnya

kecuali seiring dengan taman muliaMuhammad SAW.

Klasifikasi Ilmu Menurut Imam al-Ghazali

KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI

      Topik ini mula diberi perhatian oleh Imam al-Ghazali setelah

beliau mendapati sebahagian daripada ilmuan Islam dari pelbagai

bidang disiplin ilmu seperti ilmu kalam [tawhid], fiqh, tasawuf,

tafsir dan hadith bercanggah pendapat tentang bidang-bidang ilmu

yang wajib dikuasai oleh setiap individu Islam.

      Berdasarkan sabda Nabi Muhammad (s.a.w) yang bermaksud

“Menuntut ilmu adalah fardhu yang diwajibkan ke atas setiap

individu Islam”. Imam al-Ghazali menimbulkan persoalan tentang

ilmu; adakah menuntut ilmu itu fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah

atas individu Islam ?

      Berpandukan persoalan tersebut Imam al-Ghazali telah

mengkalsifikasikan ilmu kepada dua bahagian utama iaitu :

a) Ilmu Mu‘amalah.

      Ilmu mu‘amalah dimaksudkan sebagai suatu ilmu yang diperolehi

manusia samada melalui utusan Allah, akal [pembelajaran],

pengalaman dan pendengaran. Pada asasnya ilmu tersebut [mu‘amalah]

tiada sebarang perbezaan melainkan menerusi nama-nama khas yang

dberikan kepadanya seperti ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah

oleh para ilmuan Islam.

      Ilmu mu‘amalah menurut beliau terbahagi kepada dua bahagian

iaitu :

1-      Ilmu fardhu ‘ain.

Ilmu fardhu ‘ain secara ringkas dimaksudkan sebagai ilmu

tentang asas-asas agama Islam seperti mengucap syahadah,

menunaikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa dan

menunaikan fardhu haji bagi yang berkemampuan. Ia merupakan

suatu ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu Islam

kerana menerusi ilmu pengetahuan tersebut individu Islam dapat

melaksanakan segala tuntutan yang ditaklifkan samada berbentuk

iktikad [kepercayaan], melaksanakan perintah dan menjauhi

laranganNya. Ilmu fardhu ‘ain hanya diperolehi menerusi utusan

Allah iaitu para rasulNya.

2-      Ilmu fardhu kifayah.

Ilmu fardhu kifayah menurut ajaran Islam merupakan suatu ilmu

yang perlu dikuasai oleh sebahagian manusia yang mendiami

sesebuah kawasan, daerah atau negeri. Hukum mempelajari ilmu

fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain apabila tiada

seseorang pun di sesebuah kawasan, daerah atau negeri

mengetahui tentang sesuatu ilmu seperti ilmu perubatan,

pertanian, pembinaan, pengiraan dan sebagainya. Ilmu fardhu

kifayah juga dimaksudkan sebagai ilmu yang berhubung kait

dengan kehidupan sosial. Ilmu tersebut terbahagi kepada tiga

bahagian iaitu :

i)                    Terpuji

Ilmu terpuji adalah ilmu yang bermanfaat kepada kehidupan

manusia di dunia dan di akhirat. Menurut Imam al-Ghazali

ilmu terpuji merangkumi dua kategori iaitu :

a)      Ilmu syariah.

Ilmu syariah hanya dapat diperolehi menerusi utusan

Allah atau dalam kata lain ilmu yang tak tercapai oleh

akal, pengalaman dan pendengaran untuk mengetahuinya

seperti ilmu tentang hari kiamat.

b)      Ilmu umum.

Ilmu umum pula mampu diperolehi manusia menerusi akal

(pembelajaran), pengalaman dan pendengaran seperti ilmu

bahasa dan ilmu perubatan.

ii)                  Harus.

Ilmu yang harus dipelajari oleh manusia adalah seperti

ilmu-ilmu kesusasteraan, sejarah dan sebagainya.

iii)                Tercela.

Ilmu tercela merupakan ilmu yang dilarang kepada manusia

untuk mempelajarinya seperti ilmu sihir dan sebagainya.

b) Ilmu Mukasyafah.

      Ilmu mukasyafah merupakan suatu ilmu yang hanya diperolehi

oleh manusia menerusi ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya

setelah melalui peringkat-peringkat tertentu dalam amalannya. Ilmu

ini lebih dikenali di kalangan ahli-ahli tasawuf sebagai

ilmu ladunni.

      Pembahagian ilmu-ilmu tersebut adalah berdasarkan kepada

pemerhatian Imam al-Ghazali tentang :

a)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada

manusia dari segi penggunaanya seperti ilmu bahasa.

b)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada

kehidupan beragama manusia.

c)      Sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat kepada

kehidupan manusia di dunia seperti ilmu perubatan dan

pengiraan.

d)     Sejauhmanakah kesan ilmu-ilmu tersebut dalam memberi

ilmu pengetahuan dan keseronokan kepada manusia seperti

ilmu kesusasteraan dan ilmu sejarah.

      Menurut Imam al-Ghazali dasarnya sesuatu ilmu tidak tercela

sehinggalah ilmu tersebut :

1-      Mendatangkan kemudaratan ke atas diri orang yang

mempelajarinya serta orang lain.

2-      Mendatangkan lebih banyak kemudaratan kepada penuntutnya.

3-      Tidak memberikan sebarang faedah kepada penuntutnya

mahupun orang lain.

      Berdasarkan kepada klasifikasi ilmu yang diberikan oleh Imam

al-Ghazali ilmu fardhu ‘ain merupakan ilmu yang wajib dipelajari

oleh setiap individu Islam. Manakala lain-lain ilmu adalah

berdasarkan kepada sejauhmanakah ilmu-ilmu tersebut bermanfaat

kepada kehidupan individu ataupun masyarakat di dunia dan di

akhirat.

4.        Ilmu dan Klasifikasinya Menurut Ibn Khaldun

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, ummat manusia telah

mengenal berbagai ilmu yang berkembang yang dihasilkan dari waktu

ke waktu sehingga terdapat banyak sekali macam ilmu yang dikenal

dalam masyarakat. Dan hal ini pun tidak luput dari perhatian Ibn

Khaldun  sebab bagi Ibn Khaldun, masalah ilmu pengetahuan dan

pengajaran adalah merupakan salah satu gejala sosial yang khas

insani. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berbagai macam itu

mendorong cendekiawan muslim untuk mengkalsifikasikannya guna

memelihara proporsi dan hirarki ilmu itu, dengan cara begini maka

jangkauan dan posisi setiap ilmu di dalam kerangka total ilmu

selalu bisa dilihat. Menurut Seyyed Hussain Nasr, bahwa:

“Klasifikasi Islam atas sains didasarkan pada hirarki, yang selama

berabad-abad telah membentuk matriks dan latar belakang sistem

pendidikan muslim. Kesatuan sains selalu merupakan intuisi utama

dan sentral, yang menjadi tolak ukur bagi studi beragama sains

ini”.

Dengan intuisi tentang kesatuan berbagai disiplin ini, maka

sains dipandang sebagai ibarat cabang-cabang dari sebatang pohon

yang tumbuh dan mengeuarkan daun dan buah sesuai sifat pohon itu

sendiri, sebuah cabang tentunya harus tumbuh sesuai dengan batas

tertentu dengan tidak mengkesampingkan kesimbangan pohon itu,

demikian juga dengan suatu disipilin ilmu tidak selayaknya

dipelajari melampaui batas tertentu yang melebihi kewajaran ilmu

itu sendiri. Cendikiawan muslim abad pertengahan menganggap bahwa

menuntut suatu cabang ilmu melampaui batas sebagai hal yang tidak

berguna, malah dapat dikakatan sebagai suatu tindakan yang

melanggar aturan, seperti halnya dengan sebuah cabang pohon yang

tumbuh terus tidak terbatas tentu akan merusak keharmonisan pohon

itu sebagai satu keseluruhan. Ibn Khaldun, salah seorang

cendekiawan muslim abad pertengahan yang berusaha membuat

pembidangan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang. Pembidangan

atau klasifikasi ilmu yang dibuat Ibn Khaldun, ialah: Kelompok

ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia, sedangkan yang lain

adalah kelompok ilmu-ilmu yang bersifat tradisional (naqli). Yang

pertama ialah ilmu-ilmu uang bisa ditemukan sendiri oleh manusia

dengan kemampuan berpikirnya, sedangkan yang kedua berbeda dengan

yang pertama karena tidak diperoleh dari kemampuan berpikir

manusia, tetapi diperoleh dari orang yang merumuskannya.

a.         Ilmu-ilmu Falsafah dan Hikmah

Ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia atau ilmu-ilmu

rasioanal tidak terdapat secara khusus pada suatu kelompok penganut

agama tertentu, melainkan terdapat pada seluruh penganut-penganut

agama secara keseluruhan dan mereka mempunyai persamaan danpersepsi

dan pembahsannya. Ilmu-ilmu itu dinamakan juga ilmu-ilmu falsafah

dan hikmah. Selanjutnya Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau

ilmu-ilmu falsafah dan hikmah itu dalam empat macam.

Yang pertama ialah logika ( طق# yaitu ilmu untuk ,(ع�لم ال�مي�menghindari kesalahan dalam proses penyusunan fakta-fakta yang

ingin diketahui, yang berasal dari berbagai fakta tersedia yang

telah diketahui. Faedahnya adalah untuk membedakan antara yang

salah dari yang benar berkenaan dengan hal-hal yang dikejar oleh

para pengkaji segala yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar

ia sampai pada pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan

menggunakan akalnya secara maksimal.

Yang kedua adalah ilmu alam ( غي� ي� Æع�لم ال�طت), yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang dapat dirasa dengan indera,

seperti benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang

yang diciptakan, benda-benda angkasa, gerakan alami dan jiwa yang

merupakan asal dari gerakan dan lain-lainnya.

Bagian yang ketiga adalah metafisika ( ات# yaitu ,(ع�لم الآل�هي�pengkajian yang dilakuakan terhadap perkara-perkara di luar alam,

yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.

Bagian yang keempat adalah studi tentang berbagai ukuran yang

dinamakan matematika (Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu

pengetahuan, yaitu ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu music, dan

astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri, Ibn Khaldun mangatakan

bahwa:

“Ilmu ukur...berupa pengakajian tentang ukuran-ukuran secara umum,

baik yang terpisah-pisah karena ukuran itu bisa dihitung ataupun

yang bersambungan, yang terdiri dari satu dimensi, yaitu titik;

atau mempunyai dua dimensi, yaitu permukaan; atau tiga dimensi,

yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu dikaji, demikian pula sifat-sifat

tumbuhannya”.

Sedangkan ilmu hitung/aritmatika adalah ilmu tentang apa yang

terjadi pada angka terpisah, yaitu bilangan dengan memperhatikan

ciri-ciri khususnya serta sifat-sifat tambahan yang melekat

padanya. Ilmu music adalah pengetahuan mengenai hubungan suara-

suara dan melodi-melodi satu sama lainnya serta pengukurannya

dengan angka. Ilmu astronomi adalah ilmu yang menetapkan bentuk

daerah angkasa, posisi dan jumlah planet dan bintang tertentu, dan

dengannya memungkinkan mempelajari semuanya ini dari gerakan benda-

benda di langit yang kelihatan terdapat di setiap ruang angkasa,

gerakan-gerakannya, proses dan resesinya.

Itulah tujuh pokok-pokok ilmu falsafah dalam pembidangan yang

dibuat Ibn Khaldun, yaitu logika yang merupakan pengantar baginya,

dan setelah itu ialah ilmu-ilmu instruktif: pertama ialah ilmu

hitung, kemudian ilmu ukur, kemudian astronomi. Ilmu-ilmu alam dan

metafisika.

b.    Ilmu-ilmu Tradisioanl Syar’iyah

Pada kelompok yang kedua ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada

pada kelompok yang pertama, karena pada pembidangan yang kedua ini

terdiri dari ilmu-ilmu yang tidak melibatkan akal manusia dalam

memperolehnya, di sini tidak ada tempat bagi akal, kecuali untuk

menghubungkan persoalan-perosalan detail dengan prinsip-prinsip

dasar. Sumber asal ilmu pengetahuan naqli ini secara keseluruhan

adalah ajaran kitab suci al-Quran dan sunnah

Rasulullah saw. Menurut Ibn Khaldun, jenis ilmu-ilmu naqli ini

banyak, dan adalah tugas bagi setiap mukallaf untuk mengetahui

hukum-hukum Tuhan yang di fardhukan kepadanya. Perincian ilmu-ilmu

naqli ini adalah seabagi berikut:

-          Al-Quran dan tafsirnya serta qiraatnya.

-          Ilmu-ilmu hadis dan mata rantai periwayatnya.

-          Ushulul fiqih dan fiqih.

-          Ilmu kalam dan Ilmu Tasawuf.

Pada dasarnya ilmuwan dengan kata lain orang yang berilmu bisa jadi

di katakan orang yang mengetahui akan segala sesuatu. seperti

contoh : si budi benar-benar tidak mengetahui bahwa meminum baigon

(racun) haram sedangkan si ikbal mengetahui bahwa minum baigon itu

haram. sesuatu hal yang diberitahukan kepada si ikbal itu termasuk

ilmu karna si budi telah menjadi tahu bahwa minum baigon itu haram

hukumnya, akan tetapi ilmu yang di peroleh ikbal tersebuat sebual

ilmu yang mafhul (tidak ilmiah/ tidak rasional) sehingga budi perlu

mengetahui justifikasi kenapa ikbal mengatakan baigon itu haram

hukumnya.

Lalu si ikbal mendiskripsikan bahwa baigon itu bisa membuat orang

meninggal jika seseorang meminumnya. si budi masih tidak percaya

bahwa baigon itu menyebabkan kematian lalu si budi mempraktekkan

dengan meminum baigon yang ada ditangannya sekarang pegang.

ternyata si budi percaya bahwa baigon itu menyebabkan kematian

setelah budi pingsan menelan tetesan baigon tersebut. dari cerita

di atas bahwa ilmuwan itu tahu dan mengetahui akan segala sesuatu

tidan ter patok pada apakah yang diketahuinya itu sebuah

spesifikasi dari kimia atau dari spesifikasi dari ilmu yang

lainnya.

Ilmuawan Muslim

kita tahu bahwa banyak sekali para ilmuan muslim dahulu yang lebih

presentatif kita kaji ketimbang ilmu-ilmu modern atau dan ilmu

barat yang secara historis atau karakter budaya kita lebih dekat

dengan wilayah-wilayah timur tengah akan tetapi pada abad ke 21 ini

indonesia terutama mahasiswa lebih banyak mengkaji teori-teori

ilmuwan barat padahal banyak ilmuwan muslim seperti:

Abu yusuf ya'qup bin ishaq ash-shabbah bin 'imron bin isma'il bin

al asy'ats bin qays Al-kindi, abu bakar muhammad ibn zakaria ibn

yahya Al razi, abu nashr ibnu audagh ibn thorhan Al-farabi, abu al

khasim ahmad bin ya'qub bin miskawaih, abu ali al husain ibn

abdullah ibn sina, muhammad bin muhammad bin muhammad bin ahmad abu

hamid al ghazali, suhrawardi al-maqtul, abu bakar muhammad ibn

yahya al-sha'igh, ibnu muhammad ibn Abd Al malik ibn muhammad ibn

muhammad ibn tufail, abu al wahid muhammad ibn ahmad bin muhammad

ibn rusyd,khwajah nasir al din abu ja'far muhammad ibn muhammad ibn

hasan,muhammad iqbal, shadr al-din syirazi, robi'atul addawiyah, al

hallaj, fariduddin atthar, jamaluddin ar rumi dan masih banyak yang

lainnya yang tentunya tidak bisa disebutkan satu persatu.

Pada tokoh-tokoh di atas tersebut pada zamannya sangat membuat

perubahan yang signifikan buakan hanya di bidang keilmuan bahkan di

tatanan negarapun para hasil dari pemikiran para tokoh men jadi

acung yang sangat luar biasa bahkan sampai sekarangpun teorinya

masih laku. Sebut saja ibnu sina yang mana ibnu sina sangat

terkenal dengan ilmu kedokterannya di eropa teori ibnu sina masih

menjadi acuan utama dari suatu pokok keilmuan kesehatan akan tetai

bangsa kita lebih memilih untuk memakai teori kontemporer yang

padahal teori tersebut hasil dari pengkajian ilmuany ibnu sina itu

sendiri.

Sikap para ilmuwan muslim saya kira sangat tepat untuk membuat

suatu terobosan dalam sikap kehidupan sehari-hari yang biasa

seseorang kerjakan suatu misal ibnu miskawih yang mengatakan bahwa

tuhan bukanlah perekat utamadalam kehidupan melainkan moral artinya

seorang muslim ataupun non-muslim harus mempertimbangkan hablum

minannas bukan hanya sekedar hablum minall (hubungan manusia dengan

manusia selain hubungn manusia dengan tuhannya).