MAKALAH AGAMA

28
BAB II PEMBAHASAN 2.1. DEFINISI HUKUM, PERADILAN, DAN PERADILAN AGAMA Definisi hukum Hukum berasal dari bahasa Arab yaitu hukm (jamaknya ahkam) yang artinya norma atau kaidah, yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hukum islam adalah hukum atau norma yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Di dalamnya mengandung peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat. Dasar dan kerangka hukum islam ditetapkan oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Al-hadits. Dalam penerapannya, hukum islam bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat dan ada yang berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh penguasa. Definisi Peradilan Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut Pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan 1

Transcript of MAKALAH AGAMA

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI HUKUM, PERADILAN, DAN PERADILAN AGAMA

Definisi hukum

Hukum berasal dari bahasa Arab yaitu hukm (jamaknya

ahkam) yang artinya norma atau kaidah, yakni ukuran,

tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk

menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.

Hukum islam adalah hukum atau norma yang bersumber

dari dan menjadi bagian agama Islam. Di dalamnya

mengandung peraturan-peraturan atau seperangkat norma

yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu

masyarakat. Dasar dan kerangka hukum islam ditetapkan

oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Al-hadits. Dalam

penerapannya, hukum islam bentuknya bisa berupa hukum

yang tidak tertulis seperti hukum adat dan ada yang

berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan

yang ditetapkan oleh penguasa.

Definisi Peradilan

Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu

lembaga yang disebut Pengadilan. Pengadilan adalah

lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa,

mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan

1

kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan suatu

perkara” itulah terletak proses pemberian keadilan yang

dilakukan oleh hakim, baik tunggal maupun majelis. Oleh

karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting

dalam penyelenggaraan peradilan.

Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan

berdasarkan hukum agama islam kepada orang-orang islam

yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi

Agama. Peradilan agama, dalam sistem peradilan nasional

Indonesia, di samping peradilan umum, peradilan militer,

dan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman dalam negara Republik

Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai

kedudukan yang sama sederajat dengan kekuasaan yang

berbeda. Sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.

Pada UU No. 7 Th. 1989 di pasal 49 Pengadilan Agama hanya

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan,

kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan

hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah. UU tersebut

dirubah dengan UU No. 3 Th. 2006 di pasal 49 Pengadilan

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang

orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris,

2

wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi

syari'ah.

2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM ISLAM

Hukum Islam sebagai sebagai sistem hukum yang

bersumber dari Dinul Islam merupakan salah satu legal system

yang eksis di samping legal system yang lain seperti Civil

Law System, Common Law System, Sosialist Law System, dan

sebagainya. Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain adalah

syari’at Islam atau fiqh Islam yaitu ”koleksi daya upaya para

fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan

kebutuhan masyarakat“

Syari’ah adalah peraturan yang telah ditetapkan

(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk

manusia yang mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-

din), yakni akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun

aturan-aturan hidup manusia dalam berbagai aspek

kehidupannya. Syariah merupakan sumber atau landasan

fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap

syariah.

Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para

mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa

fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang

hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan

3

mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-

dalil (nash) secara pasti.

1. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M – 632 M)

Proses penetapan hukum Islam ditemukan secara

bertahap yang pada mulanya sebuah koreksi terhadap

hukum jahiliyah. Hukum Islam tidak serta merta

menghilangkan hukum yang dahulu pernah berlaku di

zaman jahiliyah, akan tertapi lebih pada

menyempurnakan hukum yang dahulu sudah baik. Contohnya

mengenai hukum perkawinan. Jika dahulu pada zaman

jahiliyah mahar tersebut diberikan pada ayah atau wali

calon mempelai wanita. Dalam hal ini mahar dipandang

untuk membeli perempuan. Jadi perempuan ibarat sebuah

barang. Akan tetapi Islam menyempurnakan hal tersebut.

Mahar tetap ada, akan tetapi maknanya berbeda.

Sebagaimana yang dikehendaki dalam hukum Islam ialah

mahar tersebut harus dibayarkan kepada isteri. Dalam

hal ini calon isteri tidak dianggap sebagai barang

dagangan, akan tetapi ia juga menjadi pihak yang ikut

terlibat.

Sebab-sebab timbulnya keputusan hukum muncul

berdasarkan suatu peristiwa tertentu atau pertanyaan

para sahabat terhadap Rasul. Di masa Rasulullah segala

persoalan secara langsung diselesaikan oleh beliau

sendiri dan menjadi masa satu-satunya sumber hukum.

Umat Islam wajib hukumnya untuk mengikuti petunjuk

4

Rasul sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Hasyr

ayat 7 yang artinya:

“apa saja yang dibawa oleh Rasulullah hendaknya kamu ambil dan apa

saja yang dilarang olehnya hendaknya kamu tinggalkan”

Periode ini hanya berlangsung beberapa tahun

saja, walaupun demikian periode ini membawa pengaruh-

pengaruh atau kesan-kesan yang besar dan penting

sekali, sebab pada periode ini sudah meninggalkan

beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as-sunah,

dan juga sudah meninggalkan berbagai dasar atau pokok

tasyrik yang menyeluruh, disamping sudah menunjuk

berbagai sumber dan dalil hukum yang digunakan untuk

mengetaui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada

ketetapan hukumnya. Dengan demikian periode Rasul ini

sudah meninggalkan dasar pembentukan undang-undang

yang sempurna.

Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang

masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda, yaitu:

a. Fase Makkah

Fase pertama adalah Fase Makkah yakni semenjak

Rosulullah masih menetapkan di Makkah sampai beliau

berhijrah ke Madinah. Dalam fase ini umat Islam masih

sedikit, masih lemah keadaannya dan belum bisa membentuk

umat yang mempunyai pemerintahan yang kuat. Oleh karena

itu perhatian Rosulullah SAW hanya dicurahkan kepada

penyebaran da’wah untuk mengakui Allah serta berusaha

5

memalingkan perhatian manusia dari menyembah berhala dan

patung.

b. Fase Madinah

Fase kedua adalah fase Madinah, yakni semenjak

Rosulullah berhijrah ke Madinah sampai beliau wafat.

Pada fase ini Islam sudah kuat dan jumlah umat Islam pun

bertambah banyak. Sudah terbentuk suatu umat yang sudah

mempunyai suatu pemerintahan.

2. Masa Setalah Wafatnya Nabi Muhammad SAW (632 M – abad

ke 12)

a. Masa Khulafaur Rasyidin

Zaman khulafur rasyidin ditandai dengan wafatnya Nabi

yang berarti pula berhenti turunnya wahyu. Kepemimpinan

Nabi Muhammad diteruskan oleh:

- Abu Bakar Ash shidiq (632 M – 634 M)

- Umar bin Khatab (634 M – 644 M)

- Usman bin Affan (644 M – 656 M)

- Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)

Dalam periode inilah timbul perubahan atau

penghapusan (nash) ketetapan hukum yang dianggap kurang

sesuai dengan masanya.Para khalifah menggunakan Al-

Quran dan Al Hadits sebagai dasar menentukan peraturan,

apabila tidak menemukan jawabannya mereka menggunakan

Ijma’dan akal pikiran (Ar-ra’yu) yang dijiwai oleh

ajaran Islam. Dalam periode ini Islam berkembang sangat

6

luas mulai dari timur ke barat serta utara ke selatan,

meliputi : Irak, Syiria,  Mesir, Afrika, dan lain-lain.

b. Masa Tabi’in

Di akhir abad pertama, terdapat golongan tabi’in yang

selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian

dalam bidang fatwa dan tasyri’. Tasyri’ adalah

pembuatan atau pembentukan undang-undang untuk

mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan

ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi

dikalangan mereka.

c. Masa At-tabi’ut tabi’in

Kondisi hukum pada masa ini mulai berjalan pada

kekuatan yang komprehensif, Pada masa ini, dibukukan

ilmu-ilmu Al-Qur’an, Sunnah, Kalam, Bahasa dan

bermunculan ahli qori’, ahli hadits dan lain-lain.

Pembinaan hukum pada masa ini menjadi cabang ilmu

pengetahuan.

d. Masa Tarjih

Pada periode ini, wilayah kekuasaan Islam telah

terbagi-bagi dalam berbagai bagian dan setiap bagian

dipimpin oleh seorang gubernur (Amirul Mu’minin).

Akibat pembagian ini, umat Islam tertimpa kelemahan dan

kemerosotan karena negara-negara ini saling membantah,

banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut,

terputusnya berbagai sarana transportasi, permusuhan

dan perpecahan yang banyak terjadi.

7

Pada periode ini, tidak ada mujahid mustaqil dan

usaha para ulama ketika itu dapat diringakaskan pada

tiga hal, yaitu penta’lilan (mengeluarkan ilat-ilat

hukum), tarjih dan dukungan terhadap madzhab.

3. Masa Taqlid atau Kelesuan Pemikiran (abad ke 13 M –

18 M)

Pada masa ini semua persoalan hukum sudah mempunyai

jawaban yang dapat dikaji dalam kitab fikih. Sejak itu,

mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli

sebelumnya. Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi

menggali hukum (fiqih) Islam dari sumbernya yang asli,

tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang

telah ada dalam mahzabnya masing-masing.

Pada masa ini ulama membatasi diri dalam mengikuti

acara yang telah dibentangkan oleh para mujtahidin yang

telah lalu dan pada masa ini ulama Islam dipengaruhi oleh

faktor-faktor politik dan pengaruh dari luar. Semua

pengaruh itu menolak kemerdekaan berfikir dan menyeret

kepada taqlid, menjadi pengikut madzhab-madzhab yang ada.

4. Masa Kebangkitan Kembali (Abad ke 19 – Sekarang)

Ditandai dengan lahirnya gerakan pembaruan fiqih

Islam diantaranya Ibnu Taimiyah, Abdul Wahab, Jamaluddin,

Muhammad Abduh, yang dilanjutkan oleh murid-murid mereka.

Pada Zaman inilah muncul anggapan bahwa persoalan hukum

8

yang muncul memerlukan produk hukum yang sesuai dengan

perkembangan zaman.

2.3 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Islam diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad

ke 7 yang dibawa oleh saudagar-saudagar dari Jazirah Arab

dan China yang mengadakan kegiatan perdagangan dengan

kerajaan-kerajaan di Nusantara (Indonesia). Terdapat 3

teori proses masuk dan berkembangnya agama Islam di

Indonesia yaitu:1

a. Teori Gujarat, teori berpendapat bahwa agama Islam

masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya

berasal dari Gujarat (Cambay), India

b. Teori Makkah , Teori Makkah berpendapat bahwa Islam

masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya

berasal dari Arab (Mesir)

c. Teori Persia, Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk

ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari

Persia (Iran).

1. Masa Kerajaan Islam

Sebelum masuknya agama Islam di Nusantara (Indonesia)

yang dibawa oleh saudagar-saudagar jazirah Arab yang

kemudian disebarluaskan oleh para wali pembawa dan

penyiar agama Islam , di Nusantara telah berdiri

1

9

kerajaan-kerajaan yang berdasar pada agama-agama dan

kepercayaan yang telah lebih dulu masuk ke wilayah

Nusantara, seperti kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan

Budha.

Menurut para ahli sejarah, Islam masuk ke wilayah

Nusantara sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 Masehi,

yaitu dengan berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar

abad ke 13 yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak

di wilayah Aceh Utara yang dipimpin oleh Sultan Al

Malik Al Zahir. Dengan berdirinya kerajaan Samudera

Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan

berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka

yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang

ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan

cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang

ada kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore.

Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia

dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan

sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung

dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan

peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara

mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat

di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada

pelaksanaannya ahli hokum Islam memliki tempat yang

terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu

di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga

menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan

10

kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di

selesaikan di masjid.

Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama,

permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak

bisa diselesaikan oleh perundang-undangan kerajaan maka

terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama

melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada

kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4

syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di

Indonesia hingga saat ini. Sistem hokum Islam terus

berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia

hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh

Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari

Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan

Inggris.

2. Masa Penjajahan Kolonial

Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial

terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu

dan periode receptie.

a. Periode Reciptio in Coplexu

Terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu

pada saat awal pemerintahan VOC. Periode ini disebut

juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi

orang Islam. Teori Receptio in Coplexu menyatakan

bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam.

11

Orang Belanda yang memberlakukannya hukum Islam di

Indonesia adalah LWC Van Den Berg.

Dengan demikian VOC tidak hanya mengakui keberlakuan

hukum Islam, bahkan berusaha membukukan hukum Islam ke

dalam berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan

penduduk bumiputera di wilayah yang mereka kuasai.

b. Pereiode Receptie

Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang

mensubordinasikan hukum Islam di bawah Hukum adat.

Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa bagi orang

Islam Indonesia bukanlah diberlakukan hukum Islam,

melainkan hukum adat. Ia menyatakan bahwa sebenarnya yang

berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, hukum Islam

baru mempunyai kekuatan sebagai hukum apabila dikehendaki

dan diterima oleh hukum adat. Teori ini kemudian dikenal

dengan teroti Receptie. Bagi Snouck, musuh kolonialisme

bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai

doktrin politik

3. Masa Kemerdekaan (1945 – 1998)

Pada masa awal kemerdekaan, penerapan Hukum Islam

lebih kearah hokum keluarga seperti perkawinan dan hokum

terkait waris, yang mana berusaha diwujudkan dalam bentuk

peraturan perundang-undangan. Memasuki orde baru,

pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan,

termasuk dalam bidang hukum. Formatisasi hukum Islam

12

dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke

dalam aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-

undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas.

4. Masa Reformasi sampai dengan Sekarang

Masa reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim

orde baru tahun 1998 oleh kekuatan rakyat yang dimotori

para mahasiswa. Pada masa reformasi ini peranan Hukum

Islam wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya

dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk

dalam ranah hukum public.

Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di

berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua

kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan

sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhnya dapat dilihat

dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model

ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan

materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak

hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah

Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite

Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten

Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan

Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah

terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.

Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang

Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU

13

No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh

Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal,

diantaranya yaitu :

− Penerapan syari’at Islam diseluruh aspek kehidupan

beragama,

− Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at

Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.

− Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa,

dan

− Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan

daerah.

Serta munculnya perubahan dari Peradilan Agama yang

semakin memperluas kekuasaan peradilan Agama.

2.4 PEJABAT YANG BERWENANG DALAM PROSES PERADILAN

Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim

yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus

pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan

keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-

keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau

membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim

ketua).

Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib

seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka

14

ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi

dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal

itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa

dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara

pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada

4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih

adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka

seluruh kasus akan dibuang.

Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:

1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan

perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah

sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil,

kecelakaan-kecelakaan, dsb.

2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan

perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa

orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak

dijalanan, mencuri di pasar, dsb.

3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara

masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para

penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.

2.5 SUMBER DAN SISTEM HUKUM ISLAM

15

Sumber hukum pada ajaran islam telah diberikan

pedoman di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59 yang

terjemahannya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-

Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan

lebih baik akibatnya”.

Sumber Hukum menurut Ajaran Islam ada tiga, yaitu:

Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad. Sumber Hukum yang pertama

dan kedua disebut hukum syari’ah, dan sumber hukum ketiga

disebut Hukum fiqih. 2

a. Al-Qur’an.

Kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang

pertama dan utama. Di dalam Al-Qur’an tersebut terdapat

kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang sangat

diperlukan manusia. 3 Menurut S.Hussein Nasr dalam

bukunya Islam dalam Cita dan Fakta, sebagai pedoman yang

abadi Al-Qur’an mempunyai tiga jenis petunjuk bagi

manusia : 4

2 Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia , Airlangga University Press, Surabaya, h. 15.

3 Ibid. h. 17.4 S. Hussein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, Leppenas,Jakarta,

1981, h. 27.

16

− Sebagai ajaran yang memberi pengetahuan tentang

struktur kenyataan dan posisi manusia didalamnya.

− Al-Qur’an berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan

sejarah manusia, rakyat bisaa,raja-raja,orang-orang

suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan

yang menimpa mereka.

− Al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit untu dijelaskan

dalam bahasa bisaa.

Menurut Islam hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an

adalah :

− Hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan

dengan kewajiban para subyek hukum untuk mempercayai

Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, Rasul-

rasul-Nya, dan hari pembalasan.

− Hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang

berhubungan dengan kewajiban seorang subyek hukum

untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan

dan menjauhkan diri dari sifat-sifatnya yang tercela.

− Hukum-hukum amaliyah, yaitu hukum-hukum yang

bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian

dan hubungan kerja sama antarsesama manusia. 5

Lebih lanjut, hukum amaliyah dibagi lagi ke dalam

hukum ibadah yang menagtur hubungan antar manusia dengan

Allah dan hukum mu’amalah yang mengatur hubungan antar

5 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Risalah, Bandung, 1983, h. 44-46.

17

manusia baik secara individual, kelompok, atau antar

individu dalam kelompoknya.

b. Hadits atau as-Sunnah

Hadits atau as-Sunnah adalah sumber hukum kedua yang

berupa perkataan, perbuatan, dan sikap diam Nabi Muhammad

SAW. Fungsi dari hadits tersebut sebagai penjelasan resmi

ketentuan-ketentuan pokok yang ada didalam Al-Qur’an dan

untuk melengkapi apa yang belum disebut didalam Al-

Qur’an.6 Menurut M. Daud Ali oleh karena pentingnya

kedudukan sunnah itu sebagai sumber nilai dan norma Hukum

Islam, terjadilah gerakan untuk mencatat dan mengumpulkan

sunnah Nabi. 7

Terdapat 3 macam tipe sunnah yaitu :

− Sunnah Qawliyyah ; diambil dari firman atau ucapan

Nabi Muhammad SAW.

− Sunnah Fi’liyyah ; diambil tindakan atau perbuatan

Nabi Muhammad SAW.

− Sunnah Taqriyyah ; diambil dari sikap diam Nabi

Muhammad SAW yang tersampaikan dari perbuatan dan

perkataannya dimana hal tersebut merupakan bentuk

persetujuan secara diam-diam oleh Nabi Muhammad SAW.

6 Afdol, Op.Cit., h. 22.7 M.Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali, Jakarta, 1990, h.

94.

18

Menurut Bukhari dan Muslim mempergunakan lima

kategori dalam melakukan klasifikasi hadits-hadits,

diantaranya: 8

− Kekuatan ingatan dan ketelitian perawinya (orang yang

meriwayatkan).

− Integritas pribadi orang yang menyampaikannya

− Tidak terputus mata rantai penghubungannya dari

generasi ke generasi

− Tidak terdapat cacat mengenai isinya

− Tidak janggal dilihat dari susunannya bahasanya

c. Ijtihad

Sumber hukum ke tiga adalah ijtihad, yaitu hasil akal

fikiran ulama yang memenuhi syarat untuk berusaha,

beriktihar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya

untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum

yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang

bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi Muhammad

SAW dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang

dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu.9

Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan

ijtihad, antara lain : 10

− Ijma’

Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh mujtahid dari

kaum muslimin. Kesepakatan atas penetapan suatu hukum8 Afdol, Op.Cit., h. 26.9 Ibid, h. 2710 Ade Maman Suherman, Op.Cit. h. 170-173.

19

harus dicapai oleh sejumlah kelompok dan memiliki

persamaan pendapat. Kesepakatan ini pada dasarnya harus

disepakati oleh seluruh mujtahid Islam.

− Qiyas

Qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang

tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan

karena persamaan illat hukum.

− Istihsan

Istihsan berarti meninggalkan keharusan menggunakan

qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat dari

qiyas tadi.

− Al-Mashalih al Mursalah

Al-Mashalih al Mursalah berarti memberikan hukum

syara kepada suatu kasus yang tidak terdapat di dalam

nash dan ijma atas dasar memelihara kemaslahatan yang

terlepas, yaitu kemaslahatan yang tidak ditegaskan oleh

syara dan tidak pula ditolak.

− Urf atau Adat

Adat atau kebisaaan atau perbuatan-perbuatan manusia

yang telah bisaa dilakukan pada umumnya dilegalisasi

menjadi suatu yang sah secara syara dengan persyaratan

tertentu. Urf dibagi ke dalam 2 macam yaitu adat yang

baik dan adat yang disqualifikasikan atau tidak memenuhi

syarat-syarat. Hal yang menarik untuk ditarik sebuah

perbandingan, sistem hukum sipil menempatkan custom

sebagai hukum sekunder. Kebisaaan dapat diterima sebagai

hukum apabila sejalan dengan hukum sipil atau tertulis.

20

Perbedaannya dalam sistem hukum sipil tidak mengenal

metode istinbath sebagaimana dalam hukum islam.

− Al-Istishhab

Al-Istishhab adalah mengekalkan apa yang telah ada

(kekekalan sesuatu selama tidak ada yang mengubahnya)

dengan kata lain, apa yang telah ditetapkan pada masa

lalu, maka tetap demikian keadaannya pada masa kini dan

nanti selama tidak ada dalil yang mengubahnya.

Al-Istishhab zatnya adalah bukan dalil fiqh dan

bukan merupakan sumber istinbath, tetapi menerapkan dalil

yang telah ada dan menetapkan hukum terus berlaku sebelum

ada yang mengubahnya. Berikut ini kaidah-kaidah yang ada

dalam istishhab 11 :

a. Sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang karean

adanya sesuatu yang merugikan.

b. Sesuatu yang ditetapkan dengan meyakinitidak bisa

dihilangkan kecuali dengan cara yang meyakinkan pula.

c. Hukum ashal ialah tetapnya hukum atas apa yang telah

ada hingga datang sesuatu yang mengubahnya.

d. Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan

(muamalah).

e. Hukum ashal dalam ibadah adalah menunggu dan

mengikuti.

f. Sebelum ada nash tidak ada hukum bagi orang-orang

yang berakal sehat.

11 Ibid.

21

g. Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman tanpa

adanya nash.

h. Hukum ashal dalam perikatan adalah kebolehan dan

kewajiban melaksanakannya sehingga datang mash yang

melarangnya.

i. Apa yang ditetapkan pada suatu waktu, ketetapan hukum

tersebut terus berlangsung.

Prinsip-prinsip tersebut apaabila dikaitkan dengan

sistem hukum Barat yang tertuang dalam asas-asas hukum

pidana terdeapat beberapa kesamaan yaitu :

a. Asas legalitas.

b. Noela crimen sine lege, tidak ada kejahatan tanpa

hukum atau nash.

c. Sistem hukum perikatan yang terbuka, asas kebebasan

berkontrak dan dibatasi hal-hal tertentu.

Negara dengan menggunakan campuran sistem hukum lain

dengan sistem hukum Islam antara lain :

a. Mixed systems of civil law and muslim law :

Algeria, Brunei, Comoros, Egypt, Iraq, Kuwait,

Lebanon, Libya, Morocco, Mauritinia, Syiria, Tunisia.

b. Mixed system of civil law, muslim law, and customary

law :

Djibouti, Eritrea, Indonesia, Timor Leste.

c. Mixed system of civil law, common law, and muslim law

:

Iran, Jordan, Saudi Arabia, Somalia, Yemen.

22

d. Mixed system of muslim law, common law, and customary

law :

Brunei, Gambia, Kenya, India, Malaysia, Nigeria.

e. Mixed system of common law, and muslim law :

Bahrain, Bangladesh, Oman, Pakistan, Qatar,

Singapore, Sudan, United Arab Emirates.

1. Pembagian Kejahatan

Salah satu pranata yang khas dalam hukum pidana Islam

adalah adanya pembagian kejahatan menurut berat /

ringannya hukuman atas kejahatan. Pembagian tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Kejahatan Hudud.

Antara lain zina, tuduhan zina, pencurian,

perampokan, minum khamr dan murtad. Hukuman yang

diberikan pada pelaku kejahatan ini terbatas pada apa

yang telah ditentukan dalam Qur’an dan tradisi dari Nabi

Muhammad S.A.W. Kejahatan dalam kategori ini dapat

didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan

hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan kadarnya

sebagai hak Tuhan Kejahatan hudud adalah kejahatan paling

serius dan berat dan merupakan kejahatan terhadap

kepentingan publik.12 Hukuman atas kejahatan hudud tidak

dapat dibatalkan (dimaafkan) oleh individu atau12 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syariah Islam

dalam Konteks Modernitas, Penerbit Asy Syaamil Press dan GrafikaBandung, h. 143.

23

masyarakat, khususnya korban dan dalam penjatuhan hukuman

tidak boleh bila tidak ada cukup bukti.

2. Kejahatan Qisas dan Diyya

Antara lain pembunuhan dan penganiayaan, pembunuhan

dengan sengaja, menimbulkan luka karena kesalahan. Konsep

dari hukuman atas kejahatan ini memiliki konsep yang

hampir sama dengan restorative justice yang dikenal dalam

sistem hukum Common Law dan Civil Law.

3. Kejahatan Kifarat

Antara lain pembunuhan karena kesalahan, melanggar

sumpah, menggauli istri sewaktu menstruasi, perusakan

ihram.

4. Kejahatan Tazir

Antara lain semua tindak pidana yang tidak tergolong

dalam dua jenis kejahatan diatas. Kejahatan tazir

meliputi kejahatan yang mengancam kehidupan manusia,

harta benda dan perdamaian masyarakat. Hukuman atas

kejahatan tazir diberikan pada kasus manakala hukuman

tersebut tidak ditetapkan dalam Hadd.13 Landasan dan

ketentuan hukumnya didasarkan pada Ijma (konsensus) dan

wewenang hakim.14

Arti Qisas yakni memberikan penderitaan yang seimbang

dari bahaya tubuh terhadap orang yang melakukan oleh

korban/keluarganya (=pembalasan yang setimpal).15

13Alhaji A.D. Ajijola, Introduction to Isalmic Law First Edition, S.M.Shahid for International Islamic Publishers Delhi-17 India, 1989, h.129

14Topo Santoso, Op.Cit. h. 145, lihat juga Ibid, h.12815Ibid, h. 144.

24

Sedangkan menurut Pakistan Penal Code 1860, pengertian

qisas terjemahkan sebagai berikut : “Qisas berarti hukuman

dengan menyebabkan derita yang hampir sama pada bagian

tubuh yang sama milik terpidana seperti yang telah

dilakukan terpidana kepada korban atau dengan kematian

terpidana, dalam hal terpidana melakukan qatl-i-amd

(pembunuhan) berdasarkan hak dari korban atau wali.”16

Hal yang dianggap paling penting dalam Islam adalah

keadilan.17 Dalam Teori Hukum Islam, hukum dan keadilan,

dapat dan harus melengkapi dalam lingkup yang seluas

mungkin.18 Dalam Qur’an dan Sunnah, keadilan mewajibkan

pelaku untuk bertanggung jawab secara pribadi atas

perbuatannya. Perbuatan seseorang disebut adil atau baik

apabila sesuai dengan kehendak Tuhan yang tercermin dalam

Qur’an dan Sunnah. Dalam lingkup Keadilan Islam (Islamic

Justice) terdapat dua konsep yang penting, khususnya dalam

hukum pidana, yakni martabat manusia dan masyarakat

penganut Islam, atau ummat.19 Perlu digarisbawahi juga

bahwa salah satu tujuan diberikannya hukuman dalam Hukum16Sec.299(k) Pakistan Penal Code (PPC) 1860. Teks asli yakni

“Qisas means punishment by causing similar hurt at the same part of the body of theconvict as he has caused to the victim or by causing his death if he has committed qatl-i-amd in exercise of the right of the victim or a wali.”

17Susan C. Hascall , Restorative Justice in Islam: Should Qisas beConsidered a Form of Restorative Justice, Duquesne University School of LawResearch Paper No. 2012-11, h. 11, dikutip dari Lawrence Rosen, TheJustice of Islam: Comparative Perspective on Islamic Law and Society 154, OxfordUniversity Press 2000.

18Ibid, h. 13, dikutip dari Majid Khadduri, The Islamic Conception ofJustice 10, The John Hopkins University Press 1984, h.135.

19Ibid.

25

Islam yakni untuk memberikan rehabilitasi terhadap

terdakwa. Hukuman yang diberikan harus dapat

“menyembuhkan” terdakwa dan membuat dia berguna dan

produktif kembali bagi semua anggota masyarakat.20 Oleh

karena itu, qisas memenuhi semua unsur dalam keadilan yang

diharapkan, baik terhadap korban maupun terdakwa. Korban

tentunya memperoleh keadilan dengan hak yang ia miliki

dalam pelaksanaan qisas, namun ia juga diberi kesempatan

untuk memaafkan pelaku. Hal ini juga merupakan perwujudan

dari ajaran untuk menghargai martabat manusia. Sedangkan

bagi pelaku yakni memberikan kesempatan pada pelaku untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya langsung pada korban

untuk memperbaiki relasi dengan korban dan umat lainnya.

Qisas diberikan untuk kejahatan yang melibatkan

penderitaan badan seperti pembunuhan dan penganiayaan

dengan kesengajaan. Korban dari kejahatan qisas memegang

peranan penting dalam proses penuntutan dan penjatuhan

hukuman terhadap terdakwa. Dalam Hukum Islam klasik,

penuntutan terhadap kejahatan qisas harus berdasarkan

perintah dari korban. Korban juga diberi hak untuk

memilih hukuman yang akan diberikan, atau memaafkan

korban atau dapat menuntut “diyya” sebagai kompensasi

atas kejahatan yang dilakukan.21 Diyya ialah kompensasi

dari pelaku pada korban dan keluarganya, terutama untuk

20Ibid, dikutip dari Yahaya Yunusa Bamabale, Crimes andPunishments Under Islamic Law 110, Malthouse Press Limited 2d ed. 2003, h.16.

21 Ibid, h.3

26

perbuatan yang tidak disengaja, dapat juga dengan sengaja

tetapi dimaafkan korban/keluarganya.22

Hukuman qisas dapat diberikan dengan mempertimbangkan

beberapa faktor. Misalnya, dalam penuntutan harus dapat

dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa

dilakukan karena kesengajaan. Kedua, jika hanya terdapat

sedikit bukti atas kesalahan terdakwa atau kasus bila

kejahatan tersebut diragukan kebenarannya, qisas atau

hukuman lain yang mengakibatkan luka badan tidak dapat

dilaksanakan.23

Dalam hukum barat, dikenal konsep restorative Justice.

Ketentuan dari qisas memenuhi salah satu dari restorative

justice, yakni memberi kesempatan pada korban untuk ikut

berperan dalam penjatuhan hukuman atau memberi

pengampunan dan perdamaian Apakah ini berarti qisas sama

dengan restorative justice?

Dalam hukum pidana Islam, qisas melibatkan pihak

terdakwa, korban dan juga keluarga masing-masing pihak

dan masyarakat. Terdakwa diharuskan untuk bertobat.

Hal ini sebagai langkah untuk memperbaiki hubungan

antara terdakwa dengan Tuhan dan juga merupakan langkah

bagi korban dan umat untuk memberikan pengampunan.

Walaupun korban dari kejahatan qisas mempunyai hak untuk

menuntut pembalasan, mereka juga diperintahkan untuk

22 Topo Santoso, Loc. Cit.23 Susan C. Hascall, Op. Cit., h.19-20, lihat juga Alhaji A.D.

Ajijola, Op.Cit., h. 128

27

“memperhalus permingaan ganti rugi dengan memperhatikan

belas kasihan.” 24

Nilai-nilai penghargaan terhadap martabat manusia,

penghargaan terhadap orang dan kepentingan masyarakat

memang menjadi “jiwa” bagi gerakan restorative justice

dan ketentuan mengenai qisas. Namun, nilai tersebut

berasal dari sumber yang berbeda. Dalam Islam, martabat

manusia berasal dari kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan

serta dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam

restorative justice, martabat manusia berasal dari ajaran

barat mengenai hak asasi manusia dan hak individu untuk

diperlakukan dengan hormat.25

2. Pengadilan

Terdapat 3 level atau tahap peradilan, yaitu peradilan

pertama, peradilan banding, dan mahkamah agung. Praktik

peradilan yang representasi ada pada suatu causel telah

berjalan dengan weel-established atau mapan. Di negara-negara

seperti Saudia Arabia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab dan

negara-negara teluk lainnya telah mendasarkan pada hukum

syatiah yang terkodifikasi dan hukum-hukum kebiasaan yang

berkurang. Islam membedakan adanya muslim dan nonn

muslim, sehingga dalam perkaran pengadilan, sumpah muslim

lebih diutamakan daripada nonmuslim.

24

25

28