Menggugat Tanggungjawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
MAKALAH AGAMA
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of MAKALAH AGAMA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI HUKUM, PERADILAN, DAN PERADILAN AGAMA
Definisi hukum
Hukum berasal dari bahasa Arab yaitu hukm (jamaknya
ahkam) yang artinya norma atau kaidah, yakni ukuran,
tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.
Hukum islam adalah hukum atau norma yang bersumber
dari dan menjadi bagian agama Islam. Di dalamnya
mengandung peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat. Dasar dan kerangka hukum islam ditetapkan
oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Al-hadits. Dalam
penerapannya, hukum islam bentuknya bisa berupa hukum
yang tidak tertulis seperti hukum adat dan ada yang
berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh penguasa.
Definisi Peradilan
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu
lembaga yang disebut Pengadilan. Pengadilan adalah
lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
1
kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan suatu
perkara” itulah terletak proses pemberian keadilan yang
dilakukan oleh hakim, baik tunggal maupun majelis. Oleh
karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting
dalam penyelenggaraan peradilan.
Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan
berdasarkan hukum agama islam kepada orang-orang islam
yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama. Peradilan agama, dalam sistem peradilan nasional
Indonesia, di samping peradilan umum, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman dalam negara Republik
Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai
kedudukan yang sama sederajat dengan kekuasaan yang
berbeda. Sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.
Pada UU No. 7 Th. 1989 di pasal 49 Pengadilan Agama hanya
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan,
kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah. UU tersebut
dirubah dengan UU No. 3 Th. 2006 di pasal 49 Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang
orang yang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris,
2
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari'ah.
2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM ISLAM
Hukum Islam sebagai sebagai sistem hukum yang
bersumber dari Dinul Islam merupakan salah satu legal system
yang eksis di samping legal system yang lain seperti Civil
Law System, Common Law System, Sosialist Law System, dan
sebagainya. Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain adalah
syari’at Islam atau fiqh Islam yaitu ”koleksi daya upaya para
fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan
kebutuhan masyarakat“
Syari’ah adalah peraturan yang telah ditetapkan
(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk
manusia yang mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-
din), yakni akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun
aturan-aturan hidup manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya. Syariah merupakan sumber atau landasan
fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap
syariah.
Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para
mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa
fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang
hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan
3
mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-
dalil (nash) secara pasti.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M – 632 M)
Proses penetapan hukum Islam ditemukan secara
bertahap yang pada mulanya sebuah koreksi terhadap
hukum jahiliyah. Hukum Islam tidak serta merta
menghilangkan hukum yang dahulu pernah berlaku di
zaman jahiliyah, akan tertapi lebih pada
menyempurnakan hukum yang dahulu sudah baik. Contohnya
mengenai hukum perkawinan. Jika dahulu pada zaman
jahiliyah mahar tersebut diberikan pada ayah atau wali
calon mempelai wanita. Dalam hal ini mahar dipandang
untuk membeli perempuan. Jadi perempuan ibarat sebuah
barang. Akan tetapi Islam menyempurnakan hal tersebut.
Mahar tetap ada, akan tetapi maknanya berbeda.
Sebagaimana yang dikehendaki dalam hukum Islam ialah
mahar tersebut harus dibayarkan kepada isteri. Dalam
hal ini calon isteri tidak dianggap sebagai barang
dagangan, akan tetapi ia juga menjadi pihak yang ikut
terlibat.
Sebab-sebab timbulnya keputusan hukum muncul
berdasarkan suatu peristiwa tertentu atau pertanyaan
para sahabat terhadap Rasul. Di masa Rasulullah segala
persoalan secara langsung diselesaikan oleh beliau
sendiri dan menjadi masa satu-satunya sumber hukum.
Umat Islam wajib hukumnya untuk mengikuti petunjuk
4
Rasul sebagaimana diperintahkan dalam QS. Al-Hasyr
ayat 7 yang artinya:
“apa saja yang dibawa oleh Rasulullah hendaknya kamu ambil dan apa
saja yang dilarang olehnya hendaknya kamu tinggalkan”
Periode ini hanya berlangsung beberapa tahun
saja, walaupun demikian periode ini membawa pengaruh-
pengaruh atau kesan-kesan yang besar dan penting
sekali, sebab pada periode ini sudah meninggalkan
beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as-sunah,
dan juga sudah meninggalkan berbagai dasar atau pokok
tasyrik yang menyeluruh, disamping sudah menunjuk
berbagai sumber dan dalil hukum yang digunakan untuk
mengetaui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada
ketetapan hukumnya. Dengan demikian periode Rasul ini
sudah meninggalkan dasar pembentukan undang-undang
yang sempurna.
Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang
masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda, yaitu:
a. Fase Makkah
Fase pertama adalah Fase Makkah yakni semenjak
Rosulullah masih menetapkan di Makkah sampai beliau
berhijrah ke Madinah. Dalam fase ini umat Islam masih
sedikit, masih lemah keadaannya dan belum bisa membentuk
umat yang mempunyai pemerintahan yang kuat. Oleh karena
itu perhatian Rosulullah SAW hanya dicurahkan kepada
penyebaran da’wah untuk mengakui Allah serta berusaha
5
memalingkan perhatian manusia dari menyembah berhala dan
patung.
b. Fase Madinah
Fase kedua adalah fase Madinah, yakni semenjak
Rosulullah berhijrah ke Madinah sampai beliau wafat.
Pada fase ini Islam sudah kuat dan jumlah umat Islam pun
bertambah banyak. Sudah terbentuk suatu umat yang sudah
mempunyai suatu pemerintahan.
2. Masa Setalah Wafatnya Nabi Muhammad SAW (632 M – abad
ke 12)
a. Masa Khulafaur Rasyidin
Zaman khulafur rasyidin ditandai dengan wafatnya Nabi
yang berarti pula berhenti turunnya wahyu. Kepemimpinan
Nabi Muhammad diteruskan oleh:
- Abu Bakar Ash shidiq (632 M – 634 M)
- Umar bin Khatab (634 M – 644 M)
- Usman bin Affan (644 M – 656 M)
- Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)
Dalam periode inilah timbul perubahan atau
penghapusan (nash) ketetapan hukum yang dianggap kurang
sesuai dengan masanya.Para khalifah menggunakan Al-
Quran dan Al Hadits sebagai dasar menentukan peraturan,
apabila tidak menemukan jawabannya mereka menggunakan
Ijma’dan akal pikiran (Ar-ra’yu) yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Dalam periode ini Islam berkembang sangat
6
luas mulai dari timur ke barat serta utara ke selatan,
meliputi : Irak, Syiria, Mesir, Afrika, dan lain-lain.
b. Masa Tabi’in
Di akhir abad pertama, terdapat golongan tabi’in yang
selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian
dalam bidang fatwa dan tasyri’. Tasyri’ adalah
pembuatan atau pembentukan undang-undang untuk
mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan
ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi
dikalangan mereka.
c. Masa At-tabi’ut tabi’in
Kondisi hukum pada masa ini mulai berjalan pada
kekuatan yang komprehensif, Pada masa ini, dibukukan
ilmu-ilmu Al-Qur’an, Sunnah, Kalam, Bahasa dan
bermunculan ahli qori’, ahli hadits dan lain-lain.
Pembinaan hukum pada masa ini menjadi cabang ilmu
pengetahuan.
d. Masa Tarjih
Pada periode ini, wilayah kekuasaan Islam telah
terbagi-bagi dalam berbagai bagian dan setiap bagian
dipimpin oleh seorang gubernur (Amirul Mu’minin).
Akibat pembagian ini, umat Islam tertimpa kelemahan dan
kemerosotan karena negara-negara ini saling membantah,
banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut,
terputusnya berbagai sarana transportasi, permusuhan
dan perpecahan yang banyak terjadi.
7
Pada periode ini, tidak ada mujahid mustaqil dan
usaha para ulama ketika itu dapat diringakaskan pada
tiga hal, yaitu penta’lilan (mengeluarkan ilat-ilat
hukum), tarjih dan dukungan terhadap madzhab.
3. Masa Taqlid atau Kelesuan Pemikiran (abad ke 13 M –
18 M)
Pada masa ini semua persoalan hukum sudah mempunyai
jawaban yang dapat dikaji dalam kitab fikih. Sejak itu,
mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli
sebelumnya. Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi
menggali hukum (fiqih) Islam dari sumbernya yang asli,
tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang
telah ada dalam mahzabnya masing-masing.
Pada masa ini ulama membatasi diri dalam mengikuti
acara yang telah dibentangkan oleh para mujtahidin yang
telah lalu dan pada masa ini ulama Islam dipengaruhi oleh
faktor-faktor politik dan pengaruh dari luar. Semua
pengaruh itu menolak kemerdekaan berfikir dan menyeret
kepada taqlid, menjadi pengikut madzhab-madzhab yang ada.
4. Masa Kebangkitan Kembali (Abad ke 19 – Sekarang)
Ditandai dengan lahirnya gerakan pembaruan fiqih
Islam diantaranya Ibnu Taimiyah, Abdul Wahab, Jamaluddin,
Muhammad Abduh, yang dilanjutkan oleh murid-murid mereka.
Pada Zaman inilah muncul anggapan bahwa persoalan hukum
8
yang muncul memerlukan produk hukum yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
2.3 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Islam diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad
ke 7 yang dibawa oleh saudagar-saudagar dari Jazirah Arab
dan China yang mengadakan kegiatan perdagangan dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara (Indonesia). Terdapat 3
teori proses masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia yaitu:1
a. Teori Gujarat, teori berpendapat bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya
berasal dari Gujarat (Cambay), India
b. Teori Makkah , Teori Makkah berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya
berasal dari Arab (Mesir)
c. Teori Persia, Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk
ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari
Persia (Iran).
1. Masa Kerajaan Islam
Sebelum masuknya agama Islam di Nusantara (Indonesia)
yang dibawa oleh saudagar-saudagar jazirah Arab yang
kemudian disebarluaskan oleh para wali pembawa dan
penyiar agama Islam , di Nusantara telah berdiri
1
9
kerajaan-kerajaan yang berdasar pada agama-agama dan
kepercayaan yang telah lebih dulu masuk ke wilayah
Nusantara, seperti kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan
Budha.
Menurut para ahli sejarah, Islam masuk ke wilayah
Nusantara sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8 Masehi,
yaitu dengan berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar
abad ke 13 yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak
di wilayah Aceh Utara yang dipimpin oleh Sultan Al
Malik Al Zahir. Dengan berdirinya kerajaan Samudera
Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan
berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka
yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang
ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan
cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang
ada kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia
dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan
sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung
dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan
peradilan yang bercorak Islam dilakukan dengan cara
mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat
di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada
pelaksanaannya ahli hokum Islam memliki tempat yang
terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu
di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga
menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan
10
kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di
selesaikan di masjid.
Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama,
permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak
bisa diselesaikan oleh perundang-undangan kerajaan maka
terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama
melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada
kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4
syafii’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di
Indonesia hingga saat ini. Sistem hokum Islam terus
berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia
hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh
Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari
Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan
Inggris.
2. Masa Penjajahan Kolonial
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial
terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu
dan periode receptie.
a. Periode Reciptio in Coplexu
Terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18, yaitu
pada saat awal pemerintahan VOC. Periode ini disebut
juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi
orang Islam. Teori Receptio in Coplexu menyatakan
bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam.
11
Orang Belanda yang memberlakukannya hukum Islam di
Indonesia adalah LWC Van Den Berg.
Dengan demikian VOC tidak hanya mengakui keberlakuan
hukum Islam, bahkan berusaha membukukan hukum Islam ke
dalam berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan
penduduk bumiputera di wilayah yang mereka kuasai.
b. Pereiode Receptie
Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang
mensubordinasikan hukum Islam di bawah Hukum adat.
Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa bagi orang
Islam Indonesia bukanlah diberlakukan hukum Islam,
melainkan hukum adat. Ia menyatakan bahwa sebenarnya yang
berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, hukum Islam
baru mempunyai kekuatan sebagai hukum apabila dikehendaki
dan diterima oleh hukum adat. Teori ini kemudian dikenal
dengan teroti Receptie. Bagi Snouck, musuh kolonialisme
bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai
doktrin politik
3. Masa Kemerdekaan (1945 – 1998)
Pada masa awal kemerdekaan, penerapan Hukum Islam
lebih kearah hokum keluarga seperti perkawinan dan hokum
terkait waris, yang mana berusaha diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Memasuki orde baru,
pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan,
termasuk dalam bidang hukum. Formatisasi hukum Islam
12
dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke
dalam aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-
undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas.
4. Masa Reformasi sampai dengan Sekarang
Masa reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim
orde baru tahun 1998 oleh kekuatan rakyat yang dimotori
para mahasiswa. Pada masa reformasi ini peranan Hukum
Islam wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya
dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk
dalam ranah hukum public.
Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di
berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan
sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhnya dapat dilihat
dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model
ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan
materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak
hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah
Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite
Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten
Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan
Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah
terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.
Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang
Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU
13
No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal,
diantaranya yaitu :
− Penerapan syari’at Islam diseluruh aspek kehidupan
beragama,
− Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at
Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.
− Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah desa,
dan
− Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan
daerah.
Serta munculnya perubahan dari Peradilan Agama yang
semakin memperluas kekuasaan peradilan Agama.
2.4 PEJABAT YANG BERWENANG DALAM PROSES PERADILAN
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim
yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus
pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan
keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-
keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau
membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim
ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib
seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka
14
ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi
dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal
itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa
dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara
pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada
4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih
adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka
seluruh kasus akan dibuang.
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan
perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah
sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil,
kecelakaan-kecelakaan, dsb.
2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan
perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa
orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak
dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara
masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para
penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
2.5 SUMBER DAN SISTEM HUKUM ISLAM
15
Sumber hukum pada ajaran islam telah diberikan
pedoman di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59 yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan
lebih baik akibatnya”.
Sumber Hukum menurut Ajaran Islam ada tiga, yaitu:
Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad. Sumber Hukum yang pertama
dan kedua disebut hukum syari’ah, dan sumber hukum ketiga
disebut Hukum fiqih. 2
a. Al-Qur’an.
Kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
pertama dan utama. Di dalam Al-Qur’an tersebut terdapat
kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang sangat
diperlukan manusia. 3 Menurut S.Hussein Nasr dalam
bukunya Islam dalam Cita dan Fakta, sebagai pedoman yang
abadi Al-Qur’an mempunyai tiga jenis petunjuk bagi
manusia : 4
2 Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia , Airlangga University Press, Surabaya, h. 15.
3 Ibid. h. 17.4 S. Hussein Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, Leppenas,Jakarta,
1981, h. 27.
16
− Sebagai ajaran yang memberi pengetahuan tentang
struktur kenyataan dan posisi manusia didalamnya.
− Al-Qur’an berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan
sejarah manusia, rakyat bisaa,raja-raja,orang-orang
suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan
yang menimpa mereka.
− Al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit untu dijelaskan
dalam bahasa bisaa.
Menurut Islam hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
adalah :
− Hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan kewajiban para subyek hukum untuk mempercayai
Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasul-Nya, dan hari pembalasan.
− Hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang
berhubungan dengan kewajiban seorang subyek hukum
untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan
dan menjauhkan diri dari sifat-sifatnya yang tercela.
− Hukum-hukum amaliyah, yaitu hukum-hukum yang
bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian
dan hubungan kerja sama antarsesama manusia. 5
Lebih lanjut, hukum amaliyah dibagi lagi ke dalam
hukum ibadah yang menagtur hubungan antar manusia dengan
Allah dan hukum mu’amalah yang mengatur hubungan antar
5 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Risalah, Bandung, 1983, h. 44-46.
17
manusia baik secara individual, kelompok, atau antar
individu dalam kelompoknya.
b. Hadits atau as-Sunnah
Hadits atau as-Sunnah adalah sumber hukum kedua yang
berupa perkataan, perbuatan, dan sikap diam Nabi Muhammad
SAW. Fungsi dari hadits tersebut sebagai penjelasan resmi
ketentuan-ketentuan pokok yang ada didalam Al-Qur’an dan
untuk melengkapi apa yang belum disebut didalam Al-
Qur’an.6 Menurut M. Daud Ali oleh karena pentingnya
kedudukan sunnah itu sebagai sumber nilai dan norma Hukum
Islam, terjadilah gerakan untuk mencatat dan mengumpulkan
sunnah Nabi. 7
Terdapat 3 macam tipe sunnah yaitu :
− Sunnah Qawliyyah ; diambil dari firman atau ucapan
Nabi Muhammad SAW.
− Sunnah Fi’liyyah ; diambil tindakan atau perbuatan
Nabi Muhammad SAW.
− Sunnah Taqriyyah ; diambil dari sikap diam Nabi
Muhammad SAW yang tersampaikan dari perbuatan dan
perkataannya dimana hal tersebut merupakan bentuk
persetujuan secara diam-diam oleh Nabi Muhammad SAW.
6 Afdol, Op.Cit., h. 22.7 M.Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali, Jakarta, 1990, h.
94.
18
Menurut Bukhari dan Muslim mempergunakan lima
kategori dalam melakukan klasifikasi hadits-hadits,
diantaranya: 8
− Kekuatan ingatan dan ketelitian perawinya (orang yang
meriwayatkan).
− Integritas pribadi orang yang menyampaikannya
− Tidak terputus mata rantai penghubungannya dari
generasi ke generasi
− Tidak terdapat cacat mengenai isinya
− Tidak janggal dilihat dari susunannya bahasanya
c. Ijtihad
Sumber hukum ke tiga adalah ijtihad, yaitu hasil akal
fikiran ulama yang memenuhi syarat untuk berusaha,
beriktihar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya
untuk memahami kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum
yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang
bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi Muhammad
SAW dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang
dapat dilaksanakan pada suatu kasus tertentu.9
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan
ijtihad, antara lain : 10
− Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh mujtahid dari
kaum muslimin. Kesepakatan atas penetapan suatu hukum8 Afdol, Op.Cit., h. 26.9 Ibid, h. 2710 Ade Maman Suherman, Op.Cit. h. 170-173.
19
harus dicapai oleh sejumlah kelompok dan memiliki
persamaan pendapat. Kesepakatan ini pada dasarnya harus
disepakati oleh seluruh mujtahid Islam.
− Qiyas
Qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang
tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan
karena persamaan illat hukum.
− Istihsan
Istihsan berarti meninggalkan keharusan menggunakan
qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat dari
qiyas tadi.
− Al-Mashalih al Mursalah
Al-Mashalih al Mursalah berarti memberikan hukum
syara kepada suatu kasus yang tidak terdapat di dalam
nash dan ijma atas dasar memelihara kemaslahatan yang
terlepas, yaitu kemaslahatan yang tidak ditegaskan oleh
syara dan tidak pula ditolak.
− Urf atau Adat
Adat atau kebisaaan atau perbuatan-perbuatan manusia
yang telah bisaa dilakukan pada umumnya dilegalisasi
menjadi suatu yang sah secara syara dengan persyaratan
tertentu. Urf dibagi ke dalam 2 macam yaitu adat yang
baik dan adat yang disqualifikasikan atau tidak memenuhi
syarat-syarat. Hal yang menarik untuk ditarik sebuah
perbandingan, sistem hukum sipil menempatkan custom
sebagai hukum sekunder. Kebisaaan dapat diterima sebagai
hukum apabila sejalan dengan hukum sipil atau tertulis.
20
Perbedaannya dalam sistem hukum sipil tidak mengenal
metode istinbath sebagaimana dalam hukum islam.
− Al-Istishhab
Al-Istishhab adalah mengekalkan apa yang telah ada
(kekekalan sesuatu selama tidak ada yang mengubahnya)
dengan kata lain, apa yang telah ditetapkan pada masa
lalu, maka tetap demikian keadaannya pada masa kini dan
nanti selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
Al-Istishhab zatnya adalah bukan dalil fiqh dan
bukan merupakan sumber istinbath, tetapi menerapkan dalil
yang telah ada dan menetapkan hukum terus berlaku sebelum
ada yang mengubahnya. Berikut ini kaidah-kaidah yang ada
dalam istishhab 11 :
a. Sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang karean
adanya sesuatu yang merugikan.
b. Sesuatu yang ditetapkan dengan meyakinitidak bisa
dihilangkan kecuali dengan cara yang meyakinkan pula.
c. Hukum ashal ialah tetapnya hukum atas apa yang telah
ada hingga datang sesuatu yang mengubahnya.
d. Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan
(muamalah).
e. Hukum ashal dalam ibadah adalah menunggu dan
mengikuti.
f. Sebelum ada nash tidak ada hukum bagi orang-orang
yang berakal sehat.
11 Ibid.
21
g. Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman tanpa
adanya nash.
h. Hukum ashal dalam perikatan adalah kebolehan dan
kewajiban melaksanakannya sehingga datang mash yang
melarangnya.
i. Apa yang ditetapkan pada suatu waktu, ketetapan hukum
tersebut terus berlangsung.
Prinsip-prinsip tersebut apaabila dikaitkan dengan
sistem hukum Barat yang tertuang dalam asas-asas hukum
pidana terdeapat beberapa kesamaan yaitu :
a. Asas legalitas.
b. Noela crimen sine lege, tidak ada kejahatan tanpa
hukum atau nash.
c. Sistem hukum perikatan yang terbuka, asas kebebasan
berkontrak dan dibatasi hal-hal tertentu.
Negara dengan menggunakan campuran sistem hukum lain
dengan sistem hukum Islam antara lain :
a. Mixed systems of civil law and muslim law :
Algeria, Brunei, Comoros, Egypt, Iraq, Kuwait,
Lebanon, Libya, Morocco, Mauritinia, Syiria, Tunisia.
b. Mixed system of civil law, muslim law, and customary
law :
Djibouti, Eritrea, Indonesia, Timor Leste.
c. Mixed system of civil law, common law, and muslim law
:
Iran, Jordan, Saudi Arabia, Somalia, Yemen.
22
d. Mixed system of muslim law, common law, and customary
law :
Brunei, Gambia, Kenya, India, Malaysia, Nigeria.
e. Mixed system of common law, and muslim law :
Bahrain, Bangladesh, Oman, Pakistan, Qatar,
Singapore, Sudan, United Arab Emirates.
1. Pembagian Kejahatan
Salah satu pranata yang khas dalam hukum pidana Islam
adalah adanya pembagian kejahatan menurut berat /
ringannya hukuman atas kejahatan. Pembagian tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kejahatan Hudud.
Antara lain zina, tuduhan zina, pencurian,
perampokan, minum khamr dan murtad. Hukuman yang
diberikan pada pelaku kejahatan ini terbatas pada apa
yang telah ditentukan dalam Qur’an dan tradisi dari Nabi
Muhammad S.A.W. Kejahatan dalam kategori ini dapat
didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan
hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan kadarnya
sebagai hak Tuhan Kejahatan hudud adalah kejahatan paling
serius dan berat dan merupakan kejahatan terhadap
kepentingan publik.12 Hukuman atas kejahatan hudud tidak
dapat dibatalkan (dimaafkan) oleh individu atau12 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syariah Islam
dalam Konteks Modernitas, Penerbit Asy Syaamil Press dan GrafikaBandung, h. 143.
23
masyarakat, khususnya korban dan dalam penjatuhan hukuman
tidak boleh bila tidak ada cukup bukti.
2. Kejahatan Qisas dan Diyya
Antara lain pembunuhan dan penganiayaan, pembunuhan
dengan sengaja, menimbulkan luka karena kesalahan. Konsep
dari hukuman atas kejahatan ini memiliki konsep yang
hampir sama dengan restorative justice yang dikenal dalam
sistem hukum Common Law dan Civil Law.
3. Kejahatan Kifarat
Antara lain pembunuhan karena kesalahan, melanggar
sumpah, menggauli istri sewaktu menstruasi, perusakan
ihram.
4. Kejahatan Tazir
Antara lain semua tindak pidana yang tidak tergolong
dalam dua jenis kejahatan diatas. Kejahatan tazir
meliputi kejahatan yang mengancam kehidupan manusia,
harta benda dan perdamaian masyarakat. Hukuman atas
kejahatan tazir diberikan pada kasus manakala hukuman
tersebut tidak ditetapkan dalam Hadd.13 Landasan dan
ketentuan hukumnya didasarkan pada Ijma (konsensus) dan
wewenang hakim.14
Arti Qisas yakni memberikan penderitaan yang seimbang
dari bahaya tubuh terhadap orang yang melakukan oleh
korban/keluarganya (=pembalasan yang setimpal).15
13Alhaji A.D. Ajijola, Introduction to Isalmic Law First Edition, S.M.Shahid for International Islamic Publishers Delhi-17 India, 1989, h.129
14Topo Santoso, Op.Cit. h. 145, lihat juga Ibid, h.12815Ibid, h. 144.
24
Sedangkan menurut Pakistan Penal Code 1860, pengertian
qisas terjemahkan sebagai berikut : “Qisas berarti hukuman
dengan menyebabkan derita yang hampir sama pada bagian
tubuh yang sama milik terpidana seperti yang telah
dilakukan terpidana kepada korban atau dengan kematian
terpidana, dalam hal terpidana melakukan qatl-i-amd
(pembunuhan) berdasarkan hak dari korban atau wali.”16
Hal yang dianggap paling penting dalam Islam adalah
keadilan.17 Dalam Teori Hukum Islam, hukum dan keadilan,
dapat dan harus melengkapi dalam lingkup yang seluas
mungkin.18 Dalam Qur’an dan Sunnah, keadilan mewajibkan
pelaku untuk bertanggung jawab secara pribadi atas
perbuatannya. Perbuatan seseorang disebut adil atau baik
apabila sesuai dengan kehendak Tuhan yang tercermin dalam
Qur’an dan Sunnah. Dalam lingkup Keadilan Islam (Islamic
Justice) terdapat dua konsep yang penting, khususnya dalam
hukum pidana, yakni martabat manusia dan masyarakat
penganut Islam, atau ummat.19 Perlu digarisbawahi juga
bahwa salah satu tujuan diberikannya hukuman dalam Hukum16Sec.299(k) Pakistan Penal Code (PPC) 1860. Teks asli yakni
“Qisas means punishment by causing similar hurt at the same part of the body of theconvict as he has caused to the victim or by causing his death if he has committed qatl-i-amd in exercise of the right of the victim or a wali.”
17Susan C. Hascall , Restorative Justice in Islam: Should Qisas beConsidered a Form of Restorative Justice, Duquesne University School of LawResearch Paper No. 2012-11, h. 11, dikutip dari Lawrence Rosen, TheJustice of Islam: Comparative Perspective on Islamic Law and Society 154, OxfordUniversity Press 2000.
18Ibid, h. 13, dikutip dari Majid Khadduri, The Islamic Conception ofJustice 10, The John Hopkins University Press 1984, h.135.
19Ibid.
25
Islam yakni untuk memberikan rehabilitasi terhadap
terdakwa. Hukuman yang diberikan harus dapat
“menyembuhkan” terdakwa dan membuat dia berguna dan
produktif kembali bagi semua anggota masyarakat.20 Oleh
karena itu, qisas memenuhi semua unsur dalam keadilan yang
diharapkan, baik terhadap korban maupun terdakwa. Korban
tentunya memperoleh keadilan dengan hak yang ia miliki
dalam pelaksanaan qisas, namun ia juga diberi kesempatan
untuk memaafkan pelaku. Hal ini juga merupakan perwujudan
dari ajaran untuk menghargai martabat manusia. Sedangkan
bagi pelaku yakni memberikan kesempatan pada pelaku untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya langsung pada korban
untuk memperbaiki relasi dengan korban dan umat lainnya.
Qisas diberikan untuk kejahatan yang melibatkan
penderitaan badan seperti pembunuhan dan penganiayaan
dengan kesengajaan. Korban dari kejahatan qisas memegang
peranan penting dalam proses penuntutan dan penjatuhan
hukuman terhadap terdakwa. Dalam Hukum Islam klasik,
penuntutan terhadap kejahatan qisas harus berdasarkan
perintah dari korban. Korban juga diberi hak untuk
memilih hukuman yang akan diberikan, atau memaafkan
korban atau dapat menuntut “diyya” sebagai kompensasi
atas kejahatan yang dilakukan.21 Diyya ialah kompensasi
dari pelaku pada korban dan keluarganya, terutama untuk
20Ibid, dikutip dari Yahaya Yunusa Bamabale, Crimes andPunishments Under Islamic Law 110, Malthouse Press Limited 2d ed. 2003, h.16.
21 Ibid, h.3
26
perbuatan yang tidak disengaja, dapat juga dengan sengaja
tetapi dimaafkan korban/keluarganya.22
Hukuman qisas dapat diberikan dengan mempertimbangkan
beberapa faktor. Misalnya, dalam penuntutan harus dapat
dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa
dilakukan karena kesengajaan. Kedua, jika hanya terdapat
sedikit bukti atas kesalahan terdakwa atau kasus bila
kejahatan tersebut diragukan kebenarannya, qisas atau
hukuman lain yang mengakibatkan luka badan tidak dapat
dilaksanakan.23
Dalam hukum barat, dikenal konsep restorative Justice.
Ketentuan dari qisas memenuhi salah satu dari restorative
justice, yakni memberi kesempatan pada korban untuk ikut
berperan dalam penjatuhan hukuman atau memberi
pengampunan dan perdamaian Apakah ini berarti qisas sama
dengan restorative justice?
Dalam hukum pidana Islam, qisas melibatkan pihak
terdakwa, korban dan juga keluarga masing-masing pihak
dan masyarakat. Terdakwa diharuskan untuk bertobat.
Hal ini sebagai langkah untuk memperbaiki hubungan
antara terdakwa dengan Tuhan dan juga merupakan langkah
bagi korban dan umat untuk memberikan pengampunan.
Walaupun korban dari kejahatan qisas mempunyai hak untuk
menuntut pembalasan, mereka juga diperintahkan untuk
22 Topo Santoso, Loc. Cit.23 Susan C. Hascall, Op. Cit., h.19-20, lihat juga Alhaji A.D.
Ajijola, Op.Cit., h. 128
27
“memperhalus permingaan ganti rugi dengan memperhatikan
belas kasihan.” 24
Nilai-nilai penghargaan terhadap martabat manusia,
penghargaan terhadap orang dan kepentingan masyarakat
memang menjadi “jiwa” bagi gerakan restorative justice
dan ketentuan mengenai qisas. Namun, nilai tersebut
berasal dari sumber yang berbeda. Dalam Islam, martabat
manusia berasal dari kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan
serta dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam
restorative justice, martabat manusia berasal dari ajaran
barat mengenai hak asasi manusia dan hak individu untuk
diperlakukan dengan hormat.25
2. Pengadilan
Terdapat 3 level atau tahap peradilan, yaitu peradilan
pertama, peradilan banding, dan mahkamah agung. Praktik
peradilan yang representasi ada pada suatu causel telah
berjalan dengan weel-established atau mapan. Di negara-negara
seperti Saudia Arabia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab dan
negara-negara teluk lainnya telah mendasarkan pada hukum
syatiah yang terkodifikasi dan hukum-hukum kebiasaan yang
berkurang. Islam membedakan adanya muslim dan nonn
muslim, sehingga dalam perkaran pengadilan, sumpah muslim
lebih diutamakan daripada nonmuslim.
24
25
28