Makalah Pemikiran Agama dan Politik Said Nursi

38
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN AGAMA DAN SOSIAL BADIUZZAMAN SAID NURSI DAN CRITICAL REVIEW BUKU “THE HISTORY OF ISLAMIC POLITICAL THOUGHT” KARYA ANTONY BLACK oleh Rose Familia Octaviani 1306345365 Dosen Pengajar: Dr. Abdul Muta’ali UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM

Transcript of Makalah Pemikiran Agama dan Politik Said Nursi

PEMIKIRAN PEMBAHARUAN AGAMA DAN SOSIAL

BADIUZZAMAN SAID NURSI

DAN CRITICAL REVIEW BUKU “THE HISTORY OF ISLAMIC

POLITICAL THOUGHT” KARYA ANTONY BLACK

oleh

Rose Familia Octaviani1306345365

Dosen Pengajar:Dr. Abdul Muta’ali

UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM

POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL TIMUR TENGAH

JAKARTA

2014

1. PENDAHULUAN

Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960) adalah seorang

tokoh agama sekaligus pemikiran yang berbeda dengan

sosok lainnya di dunia Islam modern. Usahanya untuk

menandingi peradaban Islam dengan Barat tidaklah

melalui gerakan politik atau perjuangan membangun

negara Islam, tetapi melalui revitalisasi iman. Ia

menyadari faktor utama ketertinggalan Islam

dibandingkan Barat adalah kemundurannya di bidang

teknologi dan intelektual, yang selama berabad-abad

melemah dengan adanya pemikiran yang asing—dimana

menurutnya ancaman tersebut hadir dalam bentuk

filosofi materialisme. Bahaya terbesar itu kemudian

menyelusup kedalam iman umat Islam. Dalam pandangan

Nursi, mengobati penyakit iman dengan memperkuat dan

memperbaharui iman melalui metode-metode baru

merupakan perjuangan teratas untuk merekonstruksi

kemunduran yang diderita Islam1.

1 Sukran Vahide. 2006. Bediuzzaman Said Nursi’s Approach to Religious Renewal and Its Impact on Aspects of Contemporary Turkish Society. Essai bab 3 dari buku The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought oleh Ibrahim M. Abu Rabi’.Blackwell Reference Online, h. 55

Demi mencapai tujuan tersebut, Nursi berusaha

mengembalikan pandangan hidup umat Islam kembali

bersandarkan kepada Al-Qur’an, melawan Westernisasi

dan Sekulerisasi yang meruak setelah berdirinya

Republik Turki tahun 1923. Meskipun tulisan-tulisan

Nursi yang dikenal dengan Risalah An-Nur berisikan

ajaran-ajaran Islam fundamental yang menyanggah

prinsip-prinsip dasar materialisme, namun metode yang

ia rancang semenjak tahun 1950, kebanyakan

terimplementasi dalam sistem sekuler Turki.

Pemikirannya dalam Risalah An-Nur terus populer bagi

generasi-generasi setelahnya serta dikaji dengan

antusias. Begitupula gerakan Nursiyyah yang tumbuh

mengikuti ajaran Risalah An-Nur menjadi salah satu

gerakan agama terbesar di Turki dan juga gerakan

politik dalam Republik itu2.

Tulisan ini akan membahas kedua ranah pemikiran Said

Nursi yang ditujukan untuk pembaharuan agama dan

politik di Turki. Kedua ranah pemikirannya ini saling

berkaitan menimbang usaha gerakan politiknya bergerak

berdasarkan motivasi agama. Untuk menambah

pemahamannya di kedua ranah pemikiran ini, penulis

menganggap penting membahas usahanya dalam era-era

2 Hakan Yavuz. 2003. Islamic Political Identity in Turkey (Oxford: Oxford University Press) h. 11

awal kehidupannya di masa menjelang keruntuhan Turki

Utsmani.

Sejak dirinya muda, Badiuzzaman Said Nursi telah

berambisi mengembalikan kejayaan Islam sebagai “master of

sciences”, penguasa ilmu pengetahuan, sekaligus pionir

dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi, karena

dirinya begitu yakin bahwa Islam-lah sumber sejati

kemajuan peradaban manusia. Realisasi dari ambisi ini

terlihat dari langkahnya membangun dan mereformasi

pendidikan. Pada awalnya ia memfokuskan diri untuk

memahami ilmu kalam (Teologi), sebagai pertahanan

utama melawan skeptisisme rasionalis. Berikutnya

adalah ilmu Tafsir Qur’an sebagai sumber prinsip-

prinsip keimanan Islam. Pendidikan formal Nursi minim,

namun ia memiliki banyak pengalaman belajar dari

madrasah agama maupun madrasah sains, dan uniknya

lagi, ia juga giat mendalami ilmu Fisika dan

Matematika3. Ia berkata:

“Ilmu-ilmu agama adalah cahaya kesadaran; ilmu-lmu peradaban

adalah cahaya intelektual. Kebenaran termanifestasi dari kombinasi

keduanya. Aspirasi para penuntut ilmu haruslah merangkul kedua ilmu

itu. Ketika keduanya terpisah, hasilnya adalah kepicikan disatu sisi dan

skeptisisme disisi lain”4

3 Sukran Vahide, h. 56

Dalam hidupnya, ia juga seorang politisi. Terlibat

dengan usaha politik untuk mewujudkan pemerintahan

konstitusi selama tiga-empat tahun setelah Revolusi

Konstitusional tahun 1908. Selama tahun-tahun itu,

beliau banyak menghabiskan waktu di Istanbul,

menganalisa isu-isu yang ada di Timur Tengah sambil

mengumpulkan dukungan atas proyeknya (termasuk proyek

pendirian Madrasah Al-Zahra). Ia menyaksikan

perdebatan-perdebatan seputar isu-isu sosial politik

terbaru. Terdapat sejumlah pendukung materialisme dan

postivisme yang mengikuti perdebatan-perdebatan itu—

namun Nursi tidak ambil bagian. Meskipun dalam

tulisannya ia sering mengkritisi pemikiran

materialisme demi membantah keraguan mereka akan Al-

Qur’an dan masalah keimanan. Karena ia sering terlibat

dengan debat-debat ini, ia familiar dengan pemikiran

liberal akan konstitusionalisme dan postivisme5.

Nursi mendukung perjuangan kemerdekaan Turki dan

diundang ke Ankara oleh pemerintah nasional. Ia

akhirnya sampai pada waktu sekitar kemenangan Turki

pada Oktober 1922. Ia ditawari beragam posisi

keagamaan di Provinsi Timur oleh Mustafa Kemal yang

4 Badiuzzaman Said Nursi. 1977. Munazarat. Istanbul: Sozler Yayinevi, h. 725 Niyazi Berkes. 1998. The Development of Secularism in Turkey, New York: Routledge, h. 347

bermaksud memanfaatkan pengaruh Nursi. Nursi,

bagaimanapun juga, menolak tawaran Kemal Pasha

disebabkan oleh tabrakan pemikirannya dengan Bapak

Pendiri Turki modern itu. Kemal Pasha yang berkiblat

kepada sekulerisme sebagai landasan konstitusi negara

tidak sesuai dengan cita-cita Said Nursi yang hendak

menjadikan Turki sebagai pusat peradaban Islam. Pada

akhirnya ia berkesimpulan, menjadi oposisi politik

tidak akan membawanya kemanapun. Maka ia melepaskan

semua keterlibatan dengan kegiatan politik lalu

kembali ke Van dimana ia menghabiskan waktu untuk

menyendiri6.

Pada Maret 1925 pasca pemberontakan Sheikh Said yang

bertujuan untuk mengembalikan kekhalifahan Islam dan

nasionalisme Kurdi, ia dikirim ke pengasingan beserta

ratusan pemuka agama lainnya ke daerah Barat Anatolia

setelah dituduh oleh pemerintah mendukung

pemberontakan itu. Pemerintah menjatuhkan hukuman

pengasingan dan penjara kepadanya berikut pengikut

beliau. Dibawah kondisi seperti inilah, Said Nursi

menulis Risalah An-Nur—kumpulan penjelasan ayat-ayat

Qur’an yang bertujuan untuk menandingi asumsi dasar

6 Sukran Vahide, h. 57

filosofi Positivisme, salah satu filosofi yang menjadi

dasar negara Republik Turki7.

Tujuan Mustafa Kemal Pasha tak lain adalah

mewujudkan transformasi kearah peradaban Barat dalam

bentuk negara modern dari sisa-sisa Dinasti Turki

Utsmani8. Sebauh proyek yang membutuhkan adanya

modernisasi radikal, Westernisasi, dan sekulerisasi

Turki. Proses modernisasi ini dikenal sebagai Tanzimat

(1839-1876) yaitu reformasi yang mencakup berbagai

bidang seperti birokrasi, reformasi pendidikan, dan

militer dimana dalam perjalanannya juga mengurangi

pengaruh hukum-hukum syari’ah Islam. Namun, terlepas

dari perubahan besar-besaran ini, budaya, karakter,

dan identitas populasi Muslim Turki masa itu tidak

tersentuh. Setelah keberhasilan penggulingan Sultan

pada 1 November 1922 dan kemudian menyusul

kekhalifahan Turki Utsmani pada 3 Maret 1924, usaha

Mustafa Kemal Pasha berfokus pada reformasi institusi

budaya dan sosial yang berujung pada penghilangan

atribut-atribut Islam. Sebagai tambahan, Kemal Pasha

berusaha mereformasi sistem pendidikan nasional yang

berdasarkan pada prinsip universal, humanis, sekuler,

7 Ibid, h. 588 Niyazi Berkez, Development of Secularism in Turkey, h. 464

dan positivis dalam 6 Prinsip Kemalisme9. Niat

sejatinya adalah untuk menghapuskan semua identitas

keagamaan dan menciptakan identitas negara yang baru,

identitas Nasionalis.

2. Revitalisasi Iman dan Pembaharuan Agama

Dalam pembahasan mengenai pemikiran politik

Badiuzzaman Said Nursi, tentu saja tidak terlepas dari

ranah pemikiran agamanya. Ia adalah seorang ulama

Islam dimana buah pikirannya banyak terpengaruh oleh

pemikiran Sunni yang berkaitan dengan prinsip-prinsip

teologis dengan mengutip argumen-argumen dari

Mu’tazilah dan Jabariyyah10. Jika dilihat dari sini,

dapat kita simpulkan pemikirannya tidaklah orisinal.

Kontribusi utamanya, revitalisasi iman, sekilas

terdengar inovatif namun sebenarnya banyak mendapatkan

pengaruh dari pemikiran-pemikiran terdahulu, termasuk

adanya pengaruh modern dalam pembahasan tentang sains

dan akal. Terlihat dari penjelasannya untuk

membuktikan mukjizat Al-Qur’an sebagai sumber ilmu

pengetahuan. Ia mengakui, untuk mengalahkan para

filsuf materialis adalah dengan menggunakan ‘senjata

9 Lihat Dietrich Jung dan Wolfgango Piccoli. 2001. Turkey at the Crossroads: Ottoman Legacies and a Greater Middle East, London: Zed Books, h. 75-7810 Sukran Vahide, h. 58

mereka sendiri’, yang mungkin mengacu pada metode

rasionalis, namun gagal11.

Elemen utama metode ajaran Nursi adalah pemikiran

reflektif (tafakkur) dalam merenungi makhluk ciptaan

dan alam semesta melalui kacamata Qur’an. Membaca

tanda-tanda kekuasaan Pencipta yang berada di alam.

Ini kontradiktif terhadap filosofi sains

materialistis. Metode tafakkur ini ditempuh melalui

cara “argumentasi deduktif dalam bentuk bukti-bukti”12.

Makhluq (ciptaan) adalah bukti nyata keberadaan Tuhan.

Dengan cara ini, Nursi menawarkan berbagai penjelasan

yang membuktikan adanya pencipta, kebangkitan Hari

Akhir, dan rukun-rukun Iman lainnya.

Ketika ia berada dalam pengasingan dan memulai

penulisan Risalah An-Nur, beliau memperluas metode

penjelasan Tafsirnya dengan cara alegori

(perumpamaan). Seperti ia mengumpamakan Al-Qur’an

seperti “teleskop” yang bermanfaat untuk memperjelas

pandangan kita akan “kebenaran yang jauh” dan sulit

11 Nursi mengatakan “pintu ijtihad “ itu terbuka kecuali dalam kondisi darurat dimana Islam diserang oleh adat Eropa dan berbagai penemuan modern, maka ijtihad harus ditutup segera. Lihat chapter Risale-I Nur “The Words” terjemahan Inggris oleh Sizler Yayinevi. 1993. The Words. Sizler Publications, h. 49612 Badiuzzaman Said Nursi, Mesnevi-I Nuriye. 1998. Terjemahan Inggrisoleh Abdulkadir Badili, h.236

terjangkau akal13. Nursi seringkali menggunakan cara

ini untuk menggambarkan superioritas Al Qur’an dan

ajarannya dengan “filsafat”. Sesuai dengan ucapannya

yang terkenal; “akan saya buktikan dan tunjukkan pada

dunia bahwa Al-Qur’an adalah matahari yang tidak akan

mati!”14

Usaha Nursi dalam menafsirkan Qur’an dalam Risalah

An-Nur dikenal akan kombinasi pendekatannya lewat

berbagai jenis disiplin ilmu. Tujuannya adalah

membangkitkan kembali keimanan melalui metode

pengajaran baru yang sesuai dengan kondisi dunia abad

ke-20. Sebagai hasil karya yang populer, Risalah An-

Nur memiliki fungsi sebagai tafsir (interpretasi Al-

Qur’an) sekaligus juga sebagai karya Ilmu Mantiq,

Aqidah, Ushuluddin, dan Ilmu Kalam. Nursi sendiri

menyebutnya “karya ilmu Kalam”15 dan selalu disebut-

sebut sebagai pembaharu di bidang tersebut. Ia

menganggap karyanya ditujukan untuk jiwa manusia

disamping akal manusia, sehingga bisa dikatakan Nursi

bermaksud untuk meyajikan fungsi tasawuf (Sufisme)

dalam karyanya dengan beliau mengutip perkataan Shaikh

Ahmad Sirhindi (tokoh aliran Naqsabandiyah); “Titik13 Said Nursi, Risale-I Nur, terjemahan Inggris oleh Sukran Vahide (The Rays Collection) bab Letters. 2002. Istanbul: Sozler Publications, h.443-44414 15 Lihat Nursi, Emirdag Lahikast, Istanbul: Envar Nesriyat, 1992, h.90

akhir semua jalan Sufi adalah mengklarifikasi serta

menyingkap kebenaran iman”16. Namun meski karyanya

memiliki fungsi yang sama dengan Sufisme, ia

menyangkal adanya kaitan dengan aliran Sufi apapun,

meski pemerintah kerap menuduh beliau menciptakan

tarikat Sufi baru. Nursi tidak melawan Sufisme, namun

ia menyatakan Sufisme tidak sesuai dengan zaman modern

karena ia tidak cukup untuk memberikan respon yang

tepat dalam mendebat filsafat materialisme dan sains

modern17.

Selain itu, ia dikenal menggunakan bantuan sains

modern dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Ia

mengatakan “sains menjadi pengetahuan Tuhan”18. Seperti

dalam contoh berikut ketika ia menjelaskan proses alam

yang membuktikan “kebenaran iman Islam”:

“Seakan tiap partikel materi memiliki kesadaran akan tugasnya

masing-masing…. taat dengan komando yang dijalankan lewat udara.

Membantu semua hewan bernapas dan hidup, membantu semua

tumbuhan untuk melakukan penyerbukan serta menyediakan semua

kebutuhan mereka agar bertahan hidup. Udara yang bergerak dapat

menggerakkan awan, melayarkan perahu-perahu, memungkinkan kita

mendengar suara, termasuk komunikasi nirkabel seperti telegraf, radio,

16 Nursi, Letters, h. 4017 Lihat Nursi, Letters, h. 388-389 untuk membandingkan metode Risalah An-Nur miliknya dengan Ilmu Kalam dan Sufisme.18 Nursi, Mesnevi-I Nuriye (terjemahan Inggris oleh Badili), h. 86

dan berbagai alat lainnya. Maka atom-atom ini, atom sederhana yang

tersusun atas hidrogen dan oksigen, eksis dalam berbagai bentuk

disemua belahan dunia. Saya simpulkan dari cara mereka berfungsi tidak

lain adalah bukti adanya hand of wisdom (Tuhan)19”.

Ada banyak sekali dalam Risalah An-Nur Nursi

berbagai contoh bagaimana beliau menggambarkan

(mengumpamakan) alam semesta dengan pandangan

Newtonian atau gambaran mekanis seperti “mesin”,

“pabrik”, atau “jam” yang tersusun atas banyak unsur.

Tujuan utama Nursi disini sangatlah edukatif, dengan

memperbarui tafsiran Al-Qur’an dengan

mendemonstrasikan betapa sains modern dapat

membuktikan kebenaran agama, bukannya malah

menafikannya. Lebih jauh lagi, terlihat usahanya untuk

menyingkirkan benturan antara agama dengan sains yang

mengundang keraguan serta merendahkan Islam, ini

berbeda dengan pandangan Barat yang memisahkan antara

akal dan jiwa, sains dan agama, dan seterusnya. Nursi

berusaha menyajikan kesatuan epistemologi, sebuah

hubungan organik harmonis antara berbagai kategori

sains dengan seni, etika, dan iman20. Ini juga

merupakan sebuah prinsip yang mendasari hubungan

harmonis antara manusia, masyarakat, peradaban, dan

19 Nursi, Rays, h. 13320 Mehmet S. Aydin. 2003, Islam at Crossroads: On The Life and Thoughts of Bediuzzaman Said Nursi, New York: SUNY Press, h. 219

alam semesta seperti yang diajarkan Qur’an dengan

hasil pemikiran manusia, Filsafat. Usaha Nursi dalam

magnum opus-nya tidak terlepas dari ilustrasi gambaran

antara kedua hal tersebut.

3. Usaha Politik Said Nursi Dalam Gerakkan Nursiyyah

Pada bagian tulisan ini, fokus akan ditujukan kepada

usaha-usaha politik Said Nursi yang merupakan hasil

refleksi pemikiran-pemikiran sebelumnya. Diskusi ini

akan penulis batasi untuk membahas kegiatan utama

gerakan Nursiyyah beserta paham yang dijadikan

sandaran gerakan ini.

Karakteristik yang cukup unik dari Gerakan Nursiyyah

(Nurcu Movement) ini adalah pengikutnya yang lebih

mengacu kepada tulisan-tulisan karya pendirinya

daripada karisma Badiuzzaman sendiri. Ini dapat

dianggap sebagai transformasi dari cara tradisional

Sufisme dimana ‘shaikh’ atau sosok agamawan adalah

acuan sebuah gerakan/tarikat menjadi gerakan yang

pengembangannya dilakukan oleh berbagai grup Islam

secara umum. Para pengikut Nursiyyah adalah pionir

tranformasi ini21. Aspek ini membuat Gerakan Nursiyyah

mampu terus bertahan dalam melakukan revitalisasi21 Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey, h. 327-328

gerakan Islam di Turki pada akhir abad ke-20, bahkan

hingga sekarang setelah sosok Badiuzzaman sendiri

telah tiada.

Sebagai sebuah gerakan pembaharuan agama, gerakan

ini berorientasi pada teks Risalah An Nur. Namun

orientasi ini memang pilihan Said Nursi sendiri.

Karena beliau selalu menekankan bahwa dirinya juga

seorang murid Risalah An-Nur seperti murid lainnya,

para Pengikut Cahaya (sebutan untuk anggota gerakan

Nursiyyah). Salah satu alasannya adalah ia tidak ingin

menodai kesakralan Qur’an dan mengalihkan ajarannya

kepada sosok dirinya sendiri22. Risalah An-Nur adalah

raison d’etre gerakan ini, dimana karya itu disusun oleh

pengikut Nursiyyah dalam kondisi yang memprihatinkan,

pemenjaraan massal (mass imprisonment) di masa-masa awal

berdirinya Republik sekuler Turki. Angka pengikut

gerakan Nursiyyah tetap bertambah dalam situasi

tersebut sebagaimana menyebarnya tulisan-tulisan

Nursi. Wanita dan anak-anak sama giatnya

berpartisipasi menyebarkan “cahaya Qur’an” meskipun

saat itu tingkat buta hurug di Turki sangat tinggi.

Maka dalam proses penyebaran itu, Risalah An-Nur tak

diragukan ikut menjaga eksistensi teks dalam bahasa

Arab (yang dilarang pada akhir tahun 1928) selain

22 Sukran Vahide, h. 10

meningkatkan level melek huruf sejumlah besar

manusia23.

Konsep utama pemikiran Said Nursi adalah bagaimana

iman dan ajaran Qur’an secara efektif tertanam dalam

masyarakat kontemporer dalam bentuk sahs-I manevi atau

kepribadian kolektif24. Menurut Nursi zaman modern

adalah masa kolektivitas sosial (lawan dari konsep

individualisme) yang terdiri atas sejumlah

personalitas. Konsep kolektivisme ini dapat

membangkitkan semangat individu-individu didalamnya

dan lebih efektif dan powerful dibandingkan mewakili

pemikiran satu individu saja dengan menyamakan seluruh

pemikiran individu tersebut daripada hanya mengikuti

satu sosok tertentu. Karena satu tokoh (figur) lebih

mudah dikalahkan oleh “penyelewengan yang dilakukan

oleh kepribadian kolektif agresif”25. Maka, strategi

utama Nursi adalah mengajarkan para pengikut Nursiyyah

pentingnya konsep kolektivisme tersebut sambil memandu

mereka dengan ajaran-ajaran moral yang mendukung

konsepnya. Dengan pemikiran yang tertuang dalam23 Ibid, h.1124 Konsep dari kepribadian kolektif ini dikenalkan oleh Namuk Kemal yang mengambilnya dari Jean Jacques Rousseau. Lihat Serif Mardin. 2000. The Genesis of Young Ottoman Thought, Syracuse: Syracuse University Press, h. 333-334. Nursi mengadopsi ide ini ketika muda bersama Namuk Kemal (tokoh gerakan Utsmani Muda) meskipun pemikiran Rousseautersebut tidak melibatkan peranan syariah.25 Said Nursi, Mesnevi-I Nuriye, terjemahan bahasa Inggris oleh Abdulmecid Nursi. 1994. Istanbul: Envar Nesriyat, h. 102

Risalah An-Nur yang menafikan ego individu dan merubah

kata “saya” menjadi “kami”, dengan demikian Said Nursi

berhasil menghancurkan individualisme menjadi

kolektivisme yang bersandarkan Risalah An-Nur. Ia

berkata: “…agar memiliki kolam luas, dimana blok-blok

es ego dan individualisme tercebur dan meleleh bersama

didalamnya”26. Ide kolektivisme ini agar terwujud

membutuhkan keikhlasan yang tidak mengharap apapun

kecuali keridhaan Tuhan dalam setiap perbuatan mereka

dan mendahulukan kepentingan saudara sesama muslim

dibandingkan kepentingan pribadi.

Konsep Kolektivisme yang dipakai oleh Said Nursi

seperti yang telah disampaikan, memiliki pengaruh dari

pemikiran JJ Rousseau. Solusi yang ditawarkan oleh

Rousseau adalah dengan sebuah entitas yang ia namakan

“sovereign” (kedaulatan, kekuasaan). Sovereign ini

terbentuk atas anggota-anggota individu sebuah

masyarakat (society) yang mengikuti satu otoritas dalam

membentuk hukum, yaitu “general will” atau keinginan

bersama masyarakat—yang bisa diterjemahkan menjadi

negara (state). Karena sovereign itu terbentuk dari

individu-individu, Rousseau menyatakan kedaulatan

(sovereign) itu tidak terlepas dari keinginan para

26 Said Nursi, A Guide for Youth, 1994, Istanbul: Sozler Publications, h.79

individu didalamnya27. Namun, tujuan fundamental yang

ia maksud, bagaimanapun juga (sama seperti Said Nursi)

adalah eliminasi manusia egosentris—individualisme.

Kolektivisme sovereign seharusnya melampaui keinginan

pribadi semua individu yang direduksi menjadi

“kekuatan universal untuk menggerakkan dan menyusun

tiap individu dengan cara yang paling sesuai bagi

mereka”28, sepanjang keputusan itu sendiri adalah

common interest dan semua anggota sovereign terikat oleh

hukum yang sama, maka Rousseau menilai hukum itu

valid29. J.J Rousseau mendeklarasikan bahwa

egosentrisme itu sangat berbahaya bagi umat manusia

secara keseluruhan—maka ia berkata “siapapun yang

menolak untuk taat kepada keinginan bersama (general will)

maka ia dibatasi melakukannya oleh satu tubuh

masyarakat yang artinya ia terpaksa harus bebas

berbuat sendirian”30. Ia meyakini jika semua individu

saling bergantung satu sama lain, maka tidak mungkin

terbersit niat untuk menjatuhkan sesamanya, karena

artinya itu akan menjatuhkan diri sendiri sebagai satu

tubuh.

27 Jean Jacques Rousseau, On The Social Contract with Geneva manuscript and Political Economy, terjemahan Inggris oleh Judith R. Masters. 1978. NewYork: St. Martin’s Press, h. 5528 Ibid, h. 6229 Ibid. h. 62-6330 Ibid, h. 55

Said Nursi menambahkan pemikirannya sendiri kedalam

pemahaman Kolektivisme sovereign yaitu ridha dari

Tuhan dalam bentuk taqwa sebagai common interest . Rasa

takut pada Tuhan dan amal shaleh haruslah menjadi

dasar semua perbuatan dan keinginan bersama sebuah

masyarakat. Dengan menghindari dosa dan berbuat dalam

batasan-batasan sah Syari’ah. Fungsi inilah yang

merupakan inti ajaran Risalah An-Nur walaupun ia tidak

menjelaskannya secara detail. Maka pengaruh yang

hendak gerakan Nursiyyah tawarkan pada masyarakat

Turki adalah reformasi masyarakat melalui reformasi

individu31. Berlawanan dengan pandangan yang mengatakan

bahwa masyarakat terbentuk atas individu-individu

tanpa jiwa seperti “atom tak bernyawa”, beliau

mengikuti pandangannya sendiri dalam Risalah An-Nur

bahwa alam semesta bekerja dengan adanya hukum Tuhan

yang mengatur tiap partikel/atom. Tiap partikel dan

atom memiliki nilai berharga sebagaimana kategori

ayah, ibu, anak, lansia, pemuda, yang sehat, dan sakit

akan dilayani dengan etika yang sama32. Individu

barulah berfungsi jika ia telah berubah fungsinya

menjadi masyarakat dan berkepribadian kolektif (dalam

hal ini terbentuk oleh falsafah hidup Qur’ani).

31 Serif Mardin. 1989. Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Badiuzzaman Said Nursi. Albany: SUNY Press, h. 10-1332 Sukran Vahide, h. 11

Maka dapat dikatakan gerakan Nursiyyah Said Nursi

melalui Risalah An-Nur berniat untuk membuktikan

kebenaran iman Islam dan Al-Qur’an dan dapat digunakan

untuk melawan kekuatan merusak yang dilepaskan oleh

modernisasi. Yaitu terlihat dari tujuan paham

liberalisme dalam reformasi pendidikan Turki sekuler:

“pembebasan individu dari batasan kolektif komunitas

Muslim” dan “mengganti ikatan personal tadi dengan

peraturan yang meniadakan batasan kontrol33” serta

mengganti etika Islami dengan etika positivisme.

Ketakutan Nursi, terutama dengan bangkitnya

Komunisme, adalah jika muncul pelanggaran norma-norma

Islami yang mengarah pada kemunduran moral dan

anarkisme, karena, ia berargumen “Muslim itu tidak

seperti kaum lain, jika para muslim melepaskan agama

dan menjauhkan diri dari karakter Islami, mereka akan

jatuh dalam lembah kesesatan, menjadi anarkis, dan

tidak bisa lagi diatur”. Meskipun tugas Nursi dan para

pengikutnya adalah menyelamatkan iman para umat Islam

dengan revitalisasi keimanan, namun tugas kedua mereka

adalah “menyelamatkan negara ini (Turki) dari bahaya

anarkisme”34.

33 Serif Mardin 1993. Religion and Secularism, London: I.B Tauris, h. 368 dan 37334 Perkataan Said Nursi dalam Emirdag Lahikasi, ii, 231. Dari Sukran Vahide (2006) h. 12

Berkali-kali Said Nursi menegaskan fungsi Risalah

An-Nur, termasuk ketika ia berhadapan dengan

pengadilan atas tuduhan pemberontakan, adalah

bahwasanya dengan memperkuat 5 prinsip dari “respek,

kasih sayang, menghindari yang haram, keamanan, dan

taat pada ulil amri” dapat menciptakan suasana

keteraturan negara dan menyelamatkan masyarakat dari

anarkisme35. Ia lalu menambahkan pemerintah seharusnya

sadar negara Turki membutuhkan Risalah An-Nur, bukan

sebaliknya Risalah An-Nur membutuhkan negara36. Ini

mengimplikasikan Badiuzzaman Said Nursi—seperti yang

telah dikatakan sebelumnya—tidak berniat menciptakan

negara baru namun bercita-cita menjadikan Risalah An-

Nur sebagai falsafah negara sebagaimana Pancasila

menjadi falsafah negara Republik Indonesia. Ini tidak

serupa dengan usaha mendirikan sebuah kedaulatan

negara Islam yang sistematis seperti yang disarankan

oleh konsep Khilafah milik Taqiyuddin An-Nabhani.

Dalam konteks pemikiran Hasan Al-Banna, Said Nursi

memang menginginkan adanya hubungan erat ukhuwwah

Islamiyyah yang tercermin lewat strategi Kolektivisme-

nya yang mengedepankan gerakan kebersamaan

(solidaritas) antar muslim. Dibandingkan dengan Hizbut

35 Said Nursi, A Guide of Youth, h. 137 dan 24136 Ibid, h. 241

Tahrir, Gerakan Nursiyyah memiliki lebih banyak

kesamaan dengan Ikhwanul Muslimin.

Kenyataannya memang Said Nursi menaruh perhatian

besar kepada gerakan Ikhwanul Muslimin. Nursiyyah dan

IM diekspresikan oelh Badiuzzaman Said Nursi dengan

cara yang spesial, beliau berkata: “…keduanya adalah

kebetulan yang mutual dan 2 komunitas yang

bersahabat”37. Dapat dipahami dari perkataannya bahwa

kedua gerakan ini ia melihat adanya kesamaan kedua

gerakan ini dan adanya rasa respek terhadap IM.

Kedua gerakan lahir seperti dua saudara kembar.

Musim semi tahun1928, bagian pertama karya Risalah An-

Nur berhasil dikumpulkan disuatu tempat di Anatolia

dan murid-murid Nursi baru mulai berkumpul bersama,

disaat bersamaan, Ikhwanul Muslimin muncul di Mesir.

Baik Said Nursi maupun Hasan Al-Banna sama-sama

melihat adanya problem yang mengancam nilai-nilai

keislaman. Sebagaimana Said Nursi yang berjuang

menyelamatkan iman umat Islam, Hasan Al-Banna

melakukan dakwah dari lingkaran-lingkaran kecil;

individu (lewat kafe-ke-kafe), keluarga (usroh) lalu

menuju lingkaran yang lebih besar yaitu masyarakat38.

37 Said Nursi. 1992. Emirdag Lehikasi, Istanbul: Envar Nesriyat, h. 3438 Umit Simsek, Islam Aleminin Ikiz Kardeslri, artikel online diterjemahkan ke bahasa Inggris berjudul Twin Brothers of the Muslim World, artikel diakses

Represi agama oleh Republik sekuler Turki terus

berlanjut sampai munculnya kekuatan baru Partai Demokrat

pada pemilu tahun 1950, dengan dimulainya sistem multi

partai. Setelah PD II berakhir, pemerintah nampak

memberikan kelonggaran kepada para pemeluk agama.

Dominasi USSR di Eropa Timur dan ajakan perang di Selat

Istanbul—yang dapat dipandang sebagai penyebaran pengaruh

Komunis di Timur Tengah—membantu Turki mengikuti aliansi

Barat yang kini dipimpin oleh Amerika Serikat39.

Perjuangan tanpa lelah Badiuzzaman berakibat kepada

kemunduran kesehatan beliau, dampak dari 20 bulan

penyekapan penjara di Ayfon (1948-1949). Nursi menjadi

tersangka utama dalam tiga pengadilan mayor yang berujung

pada pemenjaraan masal bersama pengikut beliau. Dalam

setiap pengadilan, tuduhan yang sama selalu ditimpakan

kepada beliau: mendirikan organisasi politik rahasia,

menjalankan tarikat Sufi baru, terlibat dalam berbagai

kegiatan yang “bisa jadi” mengganggu ketertiban publik,

serta eksploitasi agama demi mencapai tujuan politik40 dan

seterusnya. Namun Nursi selalu dengan cerdik menyangkal

tuduhan-tuduhan itu. Lebih jauh lagi, semua bentuk

perlakuan tak adil yang demikian memberikan pengaruh

pada 2 Juni 2014 dari http://www.malaysianur.com/twin-brothers-of-the-muslim-world/39 Sukran Vahide, h. 1240 Lihat Nursi, Emirdag Lehikasi, h. 127-128

kepada para Pengikut Cahaya latihan disiplin, jihad, dan

pengorbanan untuk meraih cita-cita mereka bersama.

Interpretasi Nursi akan pemahaman istilah

‘Sekularisme’ adalah bahwasanya konsep tersebut berusaha

menghapuskan agama karena dianggap sebagai batu

penghalang utama atau setidaknya menghapus dominasi agama

dari negara sepenuhnya. Namun kemudian di pengadilan,

Said Nursi selalu menyangkal tuduhan yang mengatakan

dirinya melanggar prinsip-prinsip sekulerisme. Ia

berargumen “freedom of conscience (kebebasan berpikir dari

berbagai paksaan pengaruh) mengatur berbagai aspek

kehidupan di era penuh kebebasan ini”41 dan melanjutkan

berdasarkan pernyataannya, “sekularisme berarti

‘pemisahan’ agama dan negara… dengan demikian pemerintah

seharusnya tidak turut campur mempengaruhi pikiran orang-

orang saleh yang beriman begitupula pikiran orang-orang

non-agamis”42.

Said Nursi pada akhir-akhir masa hidupnya semakin

menjauhkan diri dari kancah politik Republik. Beliau

berkata. “iman yang suci dan dedikasi sakral kepada

Risale-I Nur tidak boleh menjadi alat untuk apapun…. Dan

tidak bertujuan mencapai apapun kecuali ridha Tuhan

41 Nursi, Letters, h. 50342 Nursi, Rays, 386

semata43”. Keterlibatan politik maka akan mengarahkannya

kepada kemunduran, eksploitasi, dan pengkhianatan akan

kebenaran Qur’an44. Menurutnya juga, di zaman ketika

banyak manusia terekspos oleh kesesatan sains, umat Islam

membutuhkan “cahaya Qur’an” sehingga kalbu mereka

tersembuhkan dan iman mereka terselamatkan. Jika

berkonfrontasi dengan kubu-kubu politik, umat akan merasa

takut bahkan ragu. Mereka harus ditunjukkan kepada cahaya

yang akan membimbing mereka45.

Pada akhirnya semua aksi-aksi positif komunitas

gerakan Nursiyyah dan usahanya untuk memperkuat

masyarakat dihadapan wajah “kehancuran agama” dan

dukungan Nursiyyah kepada Partai Demokrat mendapatkan

sambutan baik dari pemerintah. Seperti yang dikatakan

oleh salah satu sejahrawan, dengan memberikan dukungan

nyata, Demokrat secara implisit melegitimasi gerakan

tersebut46. Itu merupakan suatu kemenangan besar bagi

Badiuzzaman Said Nursi, buah usaha tanpa hentinya selama

30 tahun kesabaran, perjuangan diam-diam, dan jihad suci

murid-muridnya. Meskipun para pengikutnya masih menjadi

subjek penyergapan polisi militer pemerintah dan harus

beraksi hati-hati, mereka diperbolehkan dengan bebas43 Nursi, Emirdag Lahikasi, I 38-3944 Nursi, A Guide of Youth, h. 117-118 dan 14645 Ibid, Letters, 68-7046 Erik J. Zurcher. 2001. Turkey: A Modern History, London: I.B. Tauris, h.245

menerbitkan Risalah An-Nur. Untuk pertama kalinya,

chapter-chapter Risalah An-Nur dicetak lewat percetakan

modern. Gerakan Nursiyyah tidak lagi ditekan dan pusat-

pusat studi Nursi (dershanes) dibuka diseluruh penjuru

negeri. Nursi juga mendorong murid-muridnya untuk

mengubah rumah-rumah mereka menjadi “madrasah rumah”,

menyempatkan waktu untuk mengkaji Risalah An Nur, sumber

utama ideologi Nursiyyah47. Dekade-dekade setelah beliau

wafat, pengaruh Nursi masih terasa hingga kini dalam

republik Turki, seperti gerakan Gulen yang diprakarsai

oleh Fethullah Gulen48.

4. KESIMPULAN

Perjuangan mulia Badiuzzaman Said Nursi dalam

pembaharuan agama diarahkan pada revitalisasi iman

berdasarkan 6 rukun Iman yang fundamental. Menurutnya,

melalui revitalisasi ini, umat Islam dapat berdiri tegak

melawan gempuran pemikiran materialisme Barat yang

merusak nilai-nilai moral Islam. Dengan menjadikan

Risalah An-Nur poros gerakan Nursiyyah, ia berharap

dengan demikian memperkuat rasa persatuan umat Islam

melalui strategi kepribadian kolektifnya yang

terinspirasi dari gerakan politik Utsmani Muda. Sebuah

47 Sukran Vahide, h. 7048 Lihat The Gulen Movement: Communicating Modernization, Tolerance, and Dialogue in the Islamic World, Jurnal Internasional Kemanusiaan vol. 6 (12) h. 67-78

konsep kolektivisme, melawan individualisme, yang aksi-

aksinya lebih dilakukan oleh pengikut Nursi tanpa

bermaksud menggulingkan pemerintahan yang ada secara

anarkis. Kebangkitan Turki sebagai pusat peradaban Islam

modern dengan demikian, meski perlahan, akhirnya mulai

menunjukkan hasil di era modern ini.

***

CRITICAL REVIEW BUKU “THE HISTORY OF ISLAMIC POLITICAL

THOUGHT” OLEH ANTONY BLACK

Oleh: Rose Familia Octaviani

1. PENDAHULUAN

Buku yang hendak penulis kritik dalam tulisan ini

adalah buah tangan dari Antony Black, seorang profesor

bidang Sejarah Pemikiran Politik Universitas Dundee.

Sesuai dengan judulnya; The History of Islamic Political

Thought From the Prophet to the Present, Antony Black

menawarkan gambaran deskriptif beserta interpretasi

filsafat politik semenjak era awal Islam hingga era

Fundamentalis terkini (622 M-2000 M)—setidaknya hingga

edisi awal buku ini diterbitkan, yaitu tahun 2011 oleh

Edinburgh University Press Ltd. Antony Black mengambil

pendekatan yang sama seperti yang biasa dilakukan para

sarjana yang menulis sejarah pemikiran politik Barat,

meneliti mentalitas, budaya setempat, dan latar belakang

politik para pemikir dan negarawannya. Ia juga menulis

hubungan antara politik, agama, falsafah, nilai etika,

dan institusi kenegaraan yang terekspresi dalam slogan-

slogan populer, tulisan-tulisan karya para tokoh

pemikiran, retorika, dan bukti-bukti sejarah lain yang

terkait dengan tema pemikiran politik Islam.

2. ULASAN SINGKAT

“The History of Islamic Political Thought From

the Prophet to the Present” seperti yang telah

disampaikan berisikan narasi historis pemikiran politik

Islam yang dimulai sejak tahun 600 Masehi ketika wahyu

pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW hingga pemikiran

Islam era terkini yaitu tahun 2000. Isi buku ini

terbagi menjadi 5 bab, yaitu:

Bab I berjudul Rasul dan Hukum (tahun 622-1000M),

Prof. Black menyajikan rentetan fase-fase sejarah

politik Islam yang dimulai dari masa Nabi Muhammad

SAW menerima wahyu lalu melompat ke peristiwa

Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah ketika

kegiatan politik Islam yang nyata mulai terbentuk,

kemudian ke era kekhalifahan Dinasti Umayyah dan

Abbasiyyah. Bab ini terbagi atas enam subbab.

Black memaparkan di tiap-tiap subbab sejumlah

peristiwa penting secara singkat beserta

interpretasinya yang bersumber dari perbandingan

dengan beberapa pemikiran politik Barat. Bahkan

ketika menjelaskan dalil-dalil normatif dari

Qur’an dan Hadits, Antony Black membandingkannya

dengan dalil-dalil dari Injil (lihat hal. 14).

Dalam bab ini, dipaparkannya latar belakang budaya

bangsa Arab pra-Islam secara umum lalu membuat

gambaran baru yang berbeda ketika Islam hadir di

jazirah Arab tanpa luput menjelaskan definisi

Islam, prinsip-prinsip teologis Islam yang umum,

dan aliran-aliran pemikiran yang mendasari sebuah

kekuasaan. Seperti contoh, ketika ia membahas

Daulah Abbasiyyah, ia menjelaskan adanya pengaruh

Persia dalam pemerintahan monarki Islam dan

pemikiran Ibnu Muqaffa (seorang sekretaris Daulah

Umayyah dan Abbasiyyah keturunan Persia) yang

melakukan penerjemahan dari bahasa Persia ke Arab.

Black kemudian membahas karya tokoh tersebut

(Risalah fi Shahabah) mengenai aplikasi model

pemerintahan patrimonial yang berkembang di Iran

kuno kepada Khilafah (lihat hal. 21-23). Tak lupa

juga pemikiran dari Abu Yusuf (ulama mazhab

Hanafi), Al Jahiz, dan pemikiran sang sultan

sendiri, Khalifah Al-Ma’mun. Antony Black kemudian

memberikan subbab-subbab khusus untuk membahas

mengenai Syari’ah dan aliran paham Syi’ah secara

terpisah, tak lupa implementasinya dengan sejumlah

Dinasti Islam yang mempraktekkan ajaran aliran

tersebut (seperti Dinasti Fatimiyyah), pemikiran

beberapa tokoh seperti Al Farabi dan Ibnu Qutaibah

beserta perbandingannya dengan beberapa pemikiran

politik Barat.

Bab II berjudul Agama dan Kekuasaan Negara:

Doktrin Sunni untuk Negara. Bagian buku kedua ini

berisi 6 subbab yang temanya berkaitan dengan

paham politik Sunni seperti subbab pertama yang

berjudul Teori Khilafah dimana Black memaparkan

narasi historis selanjutnya yang dimulai semenjak

zaman Dinasti Turki Seljuk atau apa yang ia sebut

sebagai era kesultanan Sunni (lihat h. 81). Ia

juga menyebutkan mazhab-mazhab pemikiran Sunni

seperti mazhab Asy’ariyyah juga tokoh pemikiran

politik Sunni seperti Al-Mawardi. Perbandingan

yang ia ajukan disini adalah antara konsep Imamah

dan Khilafah (hal. 84). Subbab-subbab selanjutnya

membahas gambaran hubungan agama dan negara

dibawah daulah Seljuk, pemikiran politik Al-

Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin yang

mempengaruhi pemikiran Ibnu Rushd pada era Islam

di Spanyol berikut perbandingan pemikirannya

dengan Thomas Aquinas (kedua tokoh, Ibnu Rushd dan

Al Ghazali, dibahas dalam 2 subbab terpisah) serta

subbab khusus membahas Sufisme dan Politik. Antony

Black dalam membahas kaitan keduanya juga

memasukkan perbandingan dengan hubungan antara

Kristen dan Romawi Timur

Bab III berjudul Syari’ah dan Pedang (1220 M-1500

M), berisikan 7 subbab yang dimulai dari

pembahasan invasi Mongol kepada Turki Seljuk.

Dalam subbab ini ia menceritakan peristiwa tragis

tersebut sambil menjelaskan dampaknya terhadap

peta politik Islam dan budaya popular (seperti

semakin merebaknya Sufisme dengan ditandai

kemunculan tarikat Naqsbandiyyah). Setelah

pembahasan Black tentang era Turki Seljuq

berakhir, subbab berikutnya kemudian khusus

membahas ideologi Dinasti Mamluk (yaitu

aristokrasi militer) dan hubungan Sultan-Khalifah

berikut perbandingannya dengan pemikiran relijius-

politis Kristen Eropa mengenai kekuatan politik

gereja. Pembahasan Antony Black berikutnya yang

tidak kalah pennting berada dalam subbab khusus

yang membahas pemikiran Nasir al-Din Tusi, Ibnu

Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun beserta pengaruh

mereka terhadap pemikiran politik Barat. Subbab

terakhir kemudian membahas mengenai kemunduran

pemikiran politik Islam klasik.

Bab IV berjudul Ideologi Agama dan Kontrol Politik

di Negara-Negara Modern Awal. Terdiri atas 5

subbab, dimulai dari awal abad ke-19 dimana daulah

Islam yang tersisa masih memiliki kekuatan

meskipun tidak sebesar dahulu. Satu subbab khusus

membahas mengenai Dinasti Turki Utsmani sambil

menjelaskan pula kondisi sosial, budaya, dan agama

pada masa tersebut. Antony Black juga menganggap

perlu membahas hubungan antara Turki Utsmani dan

Eropa sebagai dua kekuatan yang bersaing sekaligus

saling mempengaruhi. Dua subbab lain membahas dua

kekuatan politik Islam yang juga tidak kalah kuat,

yaitu Dinasti Mughal di India dan Dinasti Safawi

di Iran sekaligus ideologi politik masing-masing

(contoh, pembahasan tentang kombinasi antara

Sufisme, Imamah, dan patrimonial yang diusung oleh

Dinasti Safawi. Dalam membahas Dinasti Safawi dan

Dinasti Turki Utsmani, Black menjelaskan bagaimana

keduanya akan mempengaruhi pembentukan negara

modern yang dikenal sebagai Turki dan Iran dengan

menyandingkan pemikiran tokoh-tokoh era tersebut

dan tokoh era baru (seperti Mustafa Kemal dan

Ayatollah Khomeini). Subbab terakhir dari bab ini

membahas tentang keruntuhan Dinasti Turki Utsmani

sebagai akhir dari supremasi politik Islam di

dunia.

Bab terakhir yang berjudul Islam dan Barat terdiri

atas 4 subbab. Semua subbab itu memasukkan

peristiwa-peristiwa penting di kedua negara Turki

dan Iran beserta pengaruh ideologi Barat yang

berkontribusi mengubah ideology politik keduanya.

Pada kasus Turki, Antony Black membahasnya dalam

subbab pertama tentang modernisme dan Revolusi

Turki, bersamaan dengan adanya pembahasan tentang

pemikiran tokoh pembaharu yang mempengaruhi adanya

revolusi itu (contohnya Antony Black mengupas

pemikiran Khayruddin At-Tunisi, Jamaluddin Al-

Afghani dan Muhammad Abduh) termasuk gerakan

politik Utsmani Muda. Setelah itu, Black beralih

membahas paham Konservatisme dan Modernisme di

Iran, Islamisme dan tokoh-tokoh pemikirannya

(Sayyid Quthb, Al Maududi, dan Khomeini), Ikhwanul

Muslimin, lalu terakhir analisis Black tentang

Islamisme, Modernisme, dan Negara Sekuler.

3. KRITIK

Antony Black dalam karya ini memang bermaksud untuk

menawarkan gambaran lengkap sejarah pemikiran politik

Islam karena menurutnya “sejarah pemikiran Islam sampai

sekarang masih diabaikan oleh sebagian besar spesialis.

Padahal Islam selalu dan masih menjadi penjelas kehidupan

manusia yang kuat dan memberikan makna pada kehidupan

kita” (hal. 16). Rasa respeknya yang besar terhadap

warisan peradaban Islam inilah yang membuat Black

beraspirasi untuk menulis buku ini. Ia mengakui sebagai

sebuah ideologi politik, Islam masih dianggap sebagai

tokoh antagonis bagi ideologi politik Barat. Disamping

motivasi tersebut, ia mengatakan “lebih sedikit lagi

perhatian ditujukan kepada sejarah pemikiran politik

Islam. Padahal seseorang tidak akan dapat memahami

politik Islam masa kini tanpa memahami dari mana

asalnya. Gerakan politik dan sosial dalam Islam

kontemporer adalah seputar ide, dimana ide itu

berdasarkan model historis era sebelumnya” (hal. 17).

Karenanya Black memulai timeline sejarah dari titik paling

awal yaitu turunnya wahyu kepada Muhammad SAW serta usaha

beliau SAW menyatukan tribalisme yang memecah belah

kabilah-kabilah Arab. Disamping itu, untuk memberikan

pemahaman yang lebih mendalam akan istilah-istilah yang

sering dipakai dalam pemikiran politik Islam, Antony

Black menjelaskan secara umum pengertian Syari’ah dan

unsur-unsur yang menyusunnya (Istilah-istilah seperti

Ulama, Hadits, Qiyas, dsb.)

Pembahasan itu dirasa perlu untuk memahami latar

belakang pemikiran para tokoh-tokoh yang buah

pemikirannya Black jelaskan. Sebab bagaimanapun untuk

membahas sejarah pemikiran politik Islam, pemahaman akan

apa itu Islam serta adanya apresiasi iman Islam dari

penulis terhadap agama ini merupakan kewajiban. Antony

Black menyatakan memahami sejarah ide politik Islam dapat

membantu kita memahami sejarah politik Eropa sebab

keduanya memiliki kesamaan sumber; monoteisme Abraham

(lihat hal. 2).

Namun mungkin karena adanya keharusan memahami Islam

secara total selain memahami konsep politik yang lahir

darinya, menjadikan penulisan buku Antony Black kurang

detail. Memang ia menuliskan subbab khusus tentang

Syari’ah, namun itu hanyalah gambaran umum saja yang

disadurnya dari tulisan-tulisan yang bukan berasal dari

ulama melainkan dari penulis Barat lainnya seperti

Hodgson, Guillaume, dan Gibb. Padahal untuk memahami

Syari’ah (dan juga karya-karya pemikir Islam), dibutuhkan

pemahaman secara mendetail dan langsung dari sumber-

sumber kitab aslinya. Black sendiri memang mengakui

demikian, ia mengatakan keterbatasannya memahami bahasa

asli teks-teks sumber yang orisinal; “saya mengandalkan

hampir sepenuhnya kepada translasi teks yang asli.

Dikarenakan saya tidak memahami bahasa Arab, Persia, dan

Turki, maka saya berhutang kepada para sarjana lain”

(lihat halaman terakhir Pendahuluan). Maka, pemahaman

penulis akan sumber utama pemikiran politik Islam, yaitu

Qur’an dan Hadits, dapat dikatakan minim. Memahami dua

wahyu tersebut mewajibkan adanya pengetahuan gramatikal

Arab yang memadai agar memahami maksud eksplisit dan

implisit suatu ayat Qur’an atau Hadith, Antony Black

seringkali merujukkan interpretasi keduanya kepada

penulis lain yang bukan pakar muslim (ulama Islam klasik)

disamping membandingkannya dengan pemahaman Injil

Kristen. Selain itu ia dirasakan kurang detail mengupas

benturan paham aliran Sunni dan Syi’ah selain hanya

menjelaskan keduanya secara terpisah dan sekilas asal

mula munculnya kedua aliran itu. Padahal tema perseteruan

Sunni dan Syi’ah terus menjadi isu hangat politik Timur

Tengah hingga hari ini.

Namun tentu saja kepiawaian Black membandingkan

pemikiran politik Islam dengan pemikiran politik Barat

serta interpretasinya yang berdasarkan latar belakang

budaya dan sosial menjadikan bukunya adalah karya yang

berharga. Dengan menyandingkan kedua pemikiran politik

yang berbeda itu, Black berhasil menghadirkan perspektif

baru bagi pembaca, baik yang berasal dari latar belakang

pemikiran Barat maupun Islam. Tak lupa menjelaskan poin-

poin dimana pemikiran politik Islam tumbuh dan muncul

sebagai pionir dalam konteks tertentu lalu pengaruhnya

terhadap pemikiran politik Barat. Mulai dari pemikiran

Barat klasik zaman Yunani (seperti pemikiran Plato dan

Aristotles) hingga pemikiran Karl Marx dan Thomas Hobbes.

Antony Black dalam melakukannya menggunakan bahasa yang

mudah dipahami. Ia juga menyajikan gambaran Islam dengan

cara yang walaupun kurang detail namun penuh respek dan

objektif. Ini adalah hal yang sangat dibutuhkan siapapun

yang ingin memahami konsep politik Islam dengan kacamata

yang fair tanpa prasangka buruk seperti fenomena yang

terjadi di Barat saat ini. Lebih jauh lagi, buku ini

dapat dijadikan pegangan bagi siapapun yang ingin

mengetahui atau sedang mempelajari sejarah pemikiran

politik Timur Tengah secara komprehensif.

4. KESIMPULAN

Pada era dimana Islam dan Barat dipandang sebagai dua

kubu kekuatan yang saling betentangan dan bukannya saling

mempengaruhi, adanya karya luar biasa seperti buku yang

ditulis Antony Black ini adalah wujud itikad positif

untuk menjembatani pengertian yang baik antar keduanya.

Gambaran komprehensif lewat narasi sejarah politik Islam

yang disusunnya memberikan pemahaman yang menyeluruh akan

sejarah pemikiran politik Islam. Walaupun bersifat

seperti rangkuman perjalanan sejarah politik Islam dalam

kacamata pemikiran Barat (berdasarkan referensi-referensi

yang Antony Black pakai) dan bukan dari segi kacamata

Islam, namun buku ini tetaplah memiliki kelebihan

tersendiri seperti yang telah disinggung sebelumnya

dimana karya-karya serupa dari pihak pemikir Islam belum

ditemukan padanannya dengan karya Antony Black ini.