M Ridho PLURALISME AGAMA NEGARA AGAMA SIPIL

16
PLURALISME AG Ditulis Dos O Program Studi Pascasarjana U GAMA, NEGARA DAN AGAM untuk tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu sen Pengampu: Adian Husaini, Ph.D Oleh, Muchamad Ridho Hidayat i Magister Ekonomi Islam (Konsentrasi Zakat) Universitas Ibn Khaldun (U Bogor MA SIPIL UIKA)

Transcript of M Ridho PLURALISME AGAMA NEGARA AGAMA SIPIL

PLURALISME AGAMA, NEGARA DAN AGAMA SIPIL

Ditulis untuk tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Adian Husaini, Ph.D

Oleh,

Program Studi Magister Ekonomi

Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA)

PLURALISME AGAMA, NEGARA DAN AGAMA SIPIL

Ditulis untuk tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Adian Husaini, Ph.D

Oleh, Muchamad Ridho Hidayat

Program Studi Magister Ekonomi Islam (Konsentrasi Zakat)

Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA)

Bogor

PLURALISME AGAMA, NEGARA DAN AGAMA SIPIL

Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA)

I. Pendahuluan

Gagasan pluralisme berasal dari peradaban Barat-Kristen. Kelahirannya memiliki kaitan erat

dengan sekularisme dan liberalime yang menjamur setelah berakhirnya era hegemoni gereja.

Menurut Adian Husaini, peradaban Barat menjadi sekular-liberal karena tiga hal, yaitu problem

sejarah Kristen, problem teks Bible, dan probel teologi Kristen1. Dalam kaitannya dengan agama,

problem ini meniscayakan tercampurnya agama (dalam hal ini Kitab Suci) dengan berbagai

ajaran buatan manusia. Hal itu dikarena agama –yang seharusnya menjadi solusi komprehensif –

membutuhkan tambahan elemen lain.

Hendrik Kraemer, seperti dikutip Djohan Efendi dalam pengantar Agama - Agama Manusia

(hlm. ix) menyatakan bahwa semua agama, entah disadari atau tidak oleh para penganutnya

sudah memasuki suatu priode krisis yang berlangsung terus dan mendasar. Dr. Malachi Martin,

seorang pastor Yesuit dan guru besar pada Pontifical Biblical Institute, Roma, menyimpulkan hal

yang sama. Dalam bukunya yang berjudul The Encounter ada topik Religions in Crisis Martin

menulis:

Apapun yang sekarang ini dilakukan oleh semua agama jelas tidak menjadi persoalan. Tak satu pun dari ketiga agama yang telah kita bicarakan (Yahudi, Kristen dan Islam, red) mampu mengendalikan perkembangan umat manusia dewasa ini. Manusia akan kehilangan harapan apabila kecenderungan satu-satunya digerogoti pada akarnya. Dalam keadaan ini, “Tuhan” benar-benar mati. Akhir dominasi agama-agama tersebut mulai mengila-ulangi cerita mengenai kepercayaan individu tentang semua hal yang tidak esensial, tentang semua hal yang diraih oleh peristiwa sejarah dan oleh regionalisme dalam berbagai bentuk. Gambaran di atas bsia diuji hanya pada masa belakangan ketika agama tersebut diguncangkan oleh kesulitan-kesulitan internal dan keterbatasan-keterbatasan eksternal. Kecuali beberapa perkembangan yang dialamai sukar untuk menyaksikan bagaimana ketiga agama itu melepaskan diri dari kemunduran total2.

Martin beranggapan bahwa periode keberhasilan agama-agama tersebut sudah berakhir. Semua

berada dalam keadaan krisis karena sudah tidak mampu memberi jawaban bagi manusia modern

terhadap persoalan-persoalan etis mereka. Agama-agama itu tidak mampu mempersatukan umat

manusia. Rumusan-rumusan ajaran dan pemecahan atas berbagai masalah yang dihadapi umat

manusia tidak digubris lagi. Prof. Rasjidi menjawab pertanyaan “Apakah agama masih

diperlukan?” dengan jawaban, agama masih diperlukan. Beliau menjelaskan bahwa manusia

1 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: 29 2 Seperti dikutip Djohan Efendi dalam pengantar Agama-Agama Manusia ix-x

yang mencapai kemajuan merasa lebih membutuhkan agama. Tanpa agama kemajuan kehidupan

manusia tidak akan memberikan kebahagiaan3.

Pada saat krisis seperti ini, pembicaraan tentang kebangkitan kembali agama-agama menjadi

penting. Lebih-lebih ketika ada anggapan bahwa ideologi-ideologi sekular menjanjikan

perbaikan nasib manusia. Toynbee pernah mengatakan, “Persoalan masa depan agama timbul

karena semua agama yang ada sekarang terbukti tidak lagi memuaskan. Agama di masa depan,

tidak mesti merupakan agama yang sama sekali baru”. Ia juga mengatakan bawah agama

tersebut, “bisa merupakan versi baru agama lama.” Namun bila agama lama harus dihidupkan

dalam bentuk yang mampu menjawab kebutuhan baru umat manusia, “bisa jadi agama itu

ditransformasikan begitu radikal hingga nyaris tak dikenal lagi.”4 Dari sinilah ide ‘campur-sari’

agama-agama atau pluralisme agama lahir dan berkembang. Agama-agama baru akan dibuat,

sedangkan agama-agama lama akan lahir dalam versi yang baru.

Meskipun asal-usul paham ini berasal dari Barat, akan tetapi paham ini sudah berkembang

dengan sedemikian rupa hingga memiliki berbagai variasi bentuk dan model. Anis Malik Thoha

dalam disertasinya menyebutkan empat tren utama dalam pluralisme agama. Pertama, tren

humanisme sekular yang dibangun di atas konsep sentralisasi manusia dan sekularisasi.

Representatif tren ini kebanyakan dari kalangan politikus. Kedua, tren teologi global (global

theology), yang mengacu kepada rekonsepsi agama Wifred C. Smith dab teori ‘The Real’ John

Hick. Ketiga, tren sinkretisme (syncretic) dengan pondasi utama gagasan terbaginya kebenaran

dalam agama-agama dan oleh karena itu agama-agama tersebut saling melengkapi. Keempat,

tren hikmah abadi (perennial philosopy) yang berupaya membedakan antara hakikat transenden

dan hakikat keagamaan5.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, tren Teologi Global dan Kesatuan Transenden Agama-agama

(tren hikmah abadi, red) lahir dari motif yang berkebalikan, sehingga membangun gagasan dan

prinsip yang saling menyalahkan6. Aliran yang pertama pada umumnya diwarnai kajian

sosiologis, sedangkan aliran yang kedua diwarnai kajian filosofis dan teologis7. Berbeda dengan

3 Prof. H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam , hlm.17. 4 Lihat, Djohan Efendi dalam pengantar Agama-Agama Manusia xi 5 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hlm. 7-8 6 Majalah Islamia Thn.I, No.3, hlm.6 7 Ibid, hlm.6-7

dua tren tersebut, humanisme sekular lebih diwarnai oleh kajian politik. Tren ini lahir karena

krisis politik yang pada akhirnya mengakibatkan apa yang disebut sebagai krisis agama.

Makalah ini akan membahas seputar pluralisme agama dan kaitannya dengan politik (dan secara

khusus negara-bangsa). Untuk memahami lebih dalam tentang hal tersebut, akan dipaparkan

tentang konsep agama dan keterkaitannya dengan politik dan negara.

II. Konsepsi Agama

Agama merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan. Sebab ia memiliki peran penting

dalam kehidupan manusia. Tidak hanya para pengikut para Nabi, kaum athies pun rajin

mendiskusikan tema ini. Sebagaimana yang sudah dikenal dalam kajian sosiologi, agama adalah

bagian dari kebudayaan. Paling tidak hal ini diterima oleh siswa humaniora dan para budayawan.

Apa definisi agama? Seperti apakah konsepnya? Menurut KBBI, agama adalah ajaran, sistem yg

mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kpd Tuhan Yang Mahakuasa serta tata

kaidah yg berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya8. Sedangkan

pada tataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Hamid Fahmy

menyatakan bahwa para Sosiolog Barat mencoba mendefinisikan religion tetapi mereka gagal. F.

Schleiermacher mendefinisikan agama dengan “rasa ketergantungan yang absolut”. Demikian

pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Disini faktor-faktor

terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk

agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang

punya struktur keimanan, ide-ide dan doktirn-doktrin9.

Bagi sosiolog dan antropolog, religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau

pengalaman yang terpisah dari matriks kultural. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat

itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. Tapi

8 http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (‘agama’) 9 Hamid Fahmy dalam Agama. Majalah Islamia Thn.1 No.3, hlm. 115-116

bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia

ketimbang faktor faktor sosial dan intelektual10.

II.1. Agama dan Religion sebagai Sinonim Al-Diin

Religion (Inggris) dan Religie (Belanda) berasal dari kata Latin: relegere (to treat carefully),

relegare (to bind together), religare (to recover). Definisi-definisi tersebut berkembang ditangan

para Filsuf, Sosiolog, dan Psikolog Barat. Mereka semua tidak memiliki kata sepakat atau

menemukan rumusan yang tepat untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Religion atau

Religie. Padahal para Sosiolog tidak mempunyai definisi yang mumpuni untuk menjelaskan

konsep Religion11.

Istilah Agama berasal dari kata Sansekerta: A-Gama (tidak kacau) atau Ã-Gam-a (jalan/ cara;

menuju Tuhan). Istilah ini awalnya digunakan oleh masyarakat Hindu di Nusantara bersamaan

dengan istilah ‘neraka’ dan ‘surga’. Setelah Islam masuk dan mengislamkan Nusantara-

Indonesia, istilah ini tetap digunakan oleh masyarakat. Hanya saja, makna istilah tersebut diganti

sesuai dengan keyakinan ummat Islam12. Sayangnya, ketika proses penggantian makna

(islamisasi bahasa) tersebut belum sempurna, Peradaban Barat menjajah Nusantara-Indonesia.

Mereka memperkenalkan istilah ‘religion’ yang kemudian digunakan oleh kaum terpelajar

dengan serapan ‘religi’13. Asimilasi ini menyebabkan istilah religion = agama = Diin.

Endang Saifudin Anshari berpendapat, arti teknis kata Diin (Arab), Religion (Inggris), Religie

(Belanda), Agama (Indonesia) adalah sama14. Sementara itu, menurut Naquib Al-Attas istilah

10 Hamid Fahmy dalam Agama. Majalah Islamia Thn.1 No.3, hlm. 116 11 M. Ridho, Meninjau Kembali Istilah “Agama”. http://komunitas-nuun.blogspot.com/2010/01/meninjau-kembali-istilah-agama.html (diakses 8 Agustus 2012) 12 Baca Selengkapnya, Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. -- Jakarta: Bulan Bintang, 1978 13 Bangsa Barat awalnya menyebut orang diluar Kristen sebagai penganut Animisme dan Paganisme sebagai bentuk penolakan atau penghinaan terhadap selain mereka. Lihat, Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, hlm.9-10. 14 Kesimpulan Anshari diatas lahir sebagai bentuk kritik beliau terhadap orang yang berusaha memisahkan dan memilih satu istilah untuk satu kebudayaan/ peradaban saja. Anshari menolak orang yang menyatakan bahwa “islam tidak bisa disebut sebagai agama atau religion, demikian juga sebutan ‘Diin’ hanya diperutukan bagi Islam saja”. Argumentasi beliau didasarkan bahwa agama selain Islam pun disebut sebagai Diin oleh Al-Qur`an.

Menurut Endang Saifudin Anshari, yang membedakan penyebutan bahwa yang dimaksud Diin itu adalah Islam atau bukan adalah kata yang menyertainya. Misalnya, Diin `l-Haqq, Diinu `l-Qayyim dan Diinu `lLah. Beliau juga menyanggah orang yang berpendapat bahwa artikel “al” pada kata “Diin” (isim ma`rifah) menunjukkan kepada Islam dengan alasan bahwa hanya ada satu disisi Allah (Surah 3:3). Beliau berdalil dengan surah as-Shaff ayat 9 dan

bahasa Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana dipahami dan dipraktikan di Barat dan

di timur adalah millah dan bukan Diin15. Istilah Diin dalam bahasa Arab kaya akan pengertian,

dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/ agama saja.

Islam, sebagaimana diperkenalkan oleh Al-Qur`an ialah sebuah al-Diin. Ada banyak ayat yang

menyebut istilah Diin dengan makna yang beragam. Dalam surah al-Fatihah istilah Diin

digunakan sebagai Pembalasan atau Akhirat. Sedangkan dalam surah Yusuf, istilah Diin

digunakan sebagai Undang-Undang/ Peraturan. Banyak ayat Al-Qur`an dan Hadith yang

menjelaskan kepada kita cakupan medan makna al-Diin. Kamus Al-Munjid, menerjemahkan

Ad-Diin (Jama`: Adyan) menjadi: (1) Al-Jaza wa `l-Mukafaah; (2) Al-Qadha; (3) Al-Malik/al-

Mulk wa `s-Sulthan; (4) At-Tadbir; (5) Al-Hisab. Moenawar Chalil dalam bukunya Definsi dan

Sendi Agama mengatakan:

Kata ‘Diin’ itu mashdar dari kata kerja ‘daana’ - ‘yaDiinu’. Menurut lughat, kata ‘Diin’ itu

mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: 1) Cara atau adat kebiasaan. 2)

Peraturan. 3) Undang-undang. 4) Tha`at atau patuh. 5) Menunggalkan ketuhanan. 6)

Pembalasan. 7) Perhitungan. 8) Hari Qiyamat. 9) Nasehat. 10) Agama.16

Menurut kitab Qamus al-Muhieth (karya Fairuzzabad) menerangkan, bahwa ‘Diin’ itu

mempunyai arti bermacam-macam, antara lain juga berarti: kemenangan, perjalanan, paksaan

dan peribadatan. Menurut Al-Attas, pengertian primer dari terma Diin dapat disarikan menjadi

empat konsepsi utama: keberhutangan (indebtedness), penyerahan diri (submissiveness),

kekuatan hukum (judicious power), dan kecenderungan atau tendensi alamiah.17 Lebih jelas lagi,

Al-Attas menjelaskan keterkaitan antara pengertian-pengertian tersebut secara konseptual:

Perkataan din berasal dari akar kata DYN dalam bahasa Arab yang memiliki banyak

pemaknaan yang walaupun sepertinya bertentangan satu sama lain, namun sebenarnya

memiliki hubungan secara konseptual, maka keseluruhan makna tersebut membentuk suatu

kesatuan makna yang tidak terpisahkan. ‘Keseluruhan’ yang saya maksud disini adalah apa

surah al-Kaafirun, bahwa kata “`ala `d-Diini kullihi” dan “lakum Diinukum waliya Diin” merujuk kepada Diin selain Islam14. Secara tidak langsung beliau mengatakan bahwa penggunaan istilah tidak ditunjukkan dengan asal usul sejarah kebudayaannya.

15 Majalah ISLAMIA. Di Balik Paham Pluralisme Agama. -- Tahun I No.3, September – November 2004, hlm. 54 16 Lihat, http://komunitas-nuun.blogspot.com/2010/01/meninjau-kembali-istilah-agama.html (diakses 9 Des 2012) Lihat juga, Buku Ajar Agama Islam | Untuk Kalangan Mahasiswa STIKOM Banyuwangi., hlm.53 17 Majalah ISLAMIA Tahun I, No.3., hlm. 52

yang digambarkan sebagai agama Islam yang padanya terkandung segala makna yang

berkaitan, yang tidak dapat dipisahkan dengan konsep din. Oleh karena kita membahas

konsep Islam yang dihubungkan dengan realitas yang secara mendalam dan erat hidup

bersama-sama pengalaman dan kehidupan manusia, berbagai makna asa yang pada

zahirnya bertentangan sebenarnya bukan berasal dari kekaburan konsep, justru merupakan

gambaran pertentangan yang terdapat dalam kehidupan manusia, yang secara erat

tercermin dalam makna-makna tersebut. Kekuatan makna-makna ini untuk

menggambarkan hakikat manusa merupakan bukti yang jelas akan kejernihan, ketelitian

dan keasliannya dalam mengungkap kebenaran. [Islam dan Sekularisme: hlm.63-64]

Jika ditelusuri medan makna dari kata al-Diin, tentu akan didapati makna al-madinah yang

merupakan “ism makan” dari al-Diin (nama tempat –dari Diin). Sedangkan tamaddun yang

merupakan sinonim dari hadlarah (kebudayaan/ peradaban) juga merujuk pada al-Diin. Jika al-

madinah merupakan “sebutan untuk tempat diberlakukannya al-diin”, sangat penting melihat

hubungan antara kedua konsep ini. Al-Attas menjelaskan:

Kepentingan sedapat mungkin harus dilihat dalam makna perubahan nama kota yang

semula dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madinah: Kota-besar –atau lebih tepat,

Madinatu’l-Nabiy: Kota-besar Nabi –yang terwujud segera setelah Nabi Saw.

melakukan hijrah yang bersejarah dan bermukim disana. Masyarakat Muslim yang

pertama dibangun disana pada waktu itu, dan hijrah itulah yang menandai era baru

dalam sejarah manusia. Kita harus melihat hakikat bahwa al-Madinah disebut dan

dinamakan demikian karena disanalah din yang benar-benar tegak untuk umat manusia.

Disana orang yang berimana menghambakan diri dibawah otoritas dan kuasa hukum

Nabi Saw., dayyan-nya; disanalah kesadaran berhutang dengan Allah mengambil

bentuknya yang pasti, dan cara serta kaidah pembayarannya yang disetujui mulai

diterangkan dengan jelas. Kota Nabi memberi makna tempat dimana din yang

sebenarnya dilaksanakan dibawah otoritas dan kuasa hukumnya. [hlm.65 ; footnote

no.50]

Dengan demikian, jika penggunaan istilah Agama dirujuk kepada al-diin, dan istilah Negara

dirujuk kepada al-madinah, tentu kita akan mengerti apa yang dimaksud dengan istilah “agama

Islam” dan “negara Islam”. Demikian pula, problem pertentangan antara agama dan negara,

insya Allah tidak akan muncul.

III. Pluralisme Agama dan Negara

Para ahli dari berbagai disiplin ilmu di Barat cenderung menganggap agama sebagai entitas yang

komprehensif dan totalitarian, seperti definisi Greertz tentang agama atau Paul Tillich, seorang

filosof dan teolog Kristen, yang mendefinisikan agama sebagai the ultimate concern (pusat

perhatian)18. Dengan definisi yang all embracing ini, seluruh agama formal-tradisional yang

dikenal manusia, dan juga isme-isme modern yang dewasa ini tengah merebut lahan dan pasar

agama-agama tradisional dapat diakomodasinya.

Dalam perspektif Islam –sebagaimana dijelaskan dalam konsep al-diin, tak ada perbedaan

mendasar antara agama teistik dan non-teistik. Sebab konsep theos (tuhan atau ilah) menurut

perspektif Al-Quran adalah obyek sesembahan (al-ma’luh) dan penghambaan atau ibadah (al-

ma’bud). Dan manusia tidak akan pernah bisa lepas dari yang satu ini di mana saja dan kapan

saja, hatta ketika dia secara terang-terangan mengingkarinya dan menafikan wujudnya (dalam

hal ini, ateis). Dalam kondisi seperti ini, pada hakikatnya para ateis umumnya telah meng-ilah-

kan apa yang Al-Quran menyebutnya: al-hawa mereka sendiri. Begitu juga tak ada bedanya

antara mengklasifikasi agama ke dalam personal dan ecclesial, atau agama alternatif, quasi-

religion (semi-agama), falsafah hidup (worldview atau weltanchauung) dan sebagainya19.

Demikian juga tidak ada bedanya, antara mencampur dua doktrin teologi atau mengabungkannya

dengan ideologi politik atau falsafah tertentu.

III.1. Agama dan Politik

Setelah kita mengetahui sifat dan karakteristik agama, bahwa ia mencakup segala sesuatu dan

mengatur segala aspek kehidupan. Tentu saja kehidupan publik atau yang sering disebut dengan

politik ada didalam cakupan agama. Senanda dengan hal itu adalah apa yang ditulis oleh seorang

pastur, Algernon Sidney Crapsey pada buku Religion and Politics20:

18 Anis Malik, hlm. 146 19 Ibid 20 Ibid, 147

In the great majority of American minds this assertion that politics is not religion

would have the force of self-evidant axiom; and yet the whole history of the world

proves that while religion is much more than politics yet politics is religion.

(Dalam pikiran mayoritas bangsa Amerika penegasan bahwa politik bukan agama

adalah diyakini sebagai suatu aksioma; akan tetapi sejarah dunia secara keseluruhan

membuktikan bahwa sementara agama lebih dari sekedar politik namun politik

adalah agama)

Crapsey juga menguatkankan pendapatnya dengan ucapan Woodrow Wilson yang menganggap

seluruh kehidupan politis pemerintahan polis Yunani kuno sebagai agama21. Bahwa politik atau

ideologi politis adalah agama ternyata bukan monopoli pendapat Crapsey. Teolog Kristen,

Dewick, menyebutkan dalam The Christian Attitude to Other Religion bahwa ideologi-ideologi

politik modern seperti komunisme, Fasisme, nasionalisme dan imperialisme sebagai “agama

politik” (polical religion)22.

Brevard Hand dalam artikel berjudul Smith v. Board of Education: Secular Humanism and

Religious Establishment menyebut “humanisme sekular” sebagai agama. Alasannya, humanisme

sekular merefleksikan seluruh karakteristik dasar agama: seperti totalitarian dan komprehensif,

yang mana tak satupun aspek kehidupan yang luput dari otoritasnya23. Ketika menyanggah kaum

kaum humanis sekular Hand, seperti dikutip oleh Anis Malik Thoha dalam Tren Pluralisme

Agama mengatakan24:

“... Bagaimanapun, mengklain bahwa tidak ada sesuatu yang riil di luar data yang bisa

diamati adalah membuat suatu asumsi berdasarkan bukan pada ilmu pengatahuan akan tetapi

pada keimanan, yaitu keimanan bahwa data yang dapat diamati adalah segala sesuatu yang

riil. Suatu pernyataan bahwa tidak terdapat hakikat yang transenden dan supernatural adalah

sebuah pernyataan religius.

Tuntutan bahwa harus ada bukti fisik mengenai supernatural, dan klaim bahwa tak adanya

suatu bukti berarti supernatural tidak bsia diterima, adalah menciptakan suatu kredo

21 Ibid 22 Ibid, 148 23 Ibid 24 Ibid, 149

keagamaan. Adalah tidak saintifik untuk mengatakan bawha karena tidak ada bukti fisik

mengenai supernatural, maka kita mesti mendasarkan teori-teori moral pada ketidakimanan

(disbelief) dan skeptisisme.” [Lihat, Arthur, Joh, dan Shaw, William H. (eds), Social &

Political Philosophy, hal 267]

Tokoh pengusung humanisme-sekular juga menyebut ideologi mereka sebagai Religon without

Revelation atau agama yang bisa eksis tanpa wahyu. Agama ini bersandarkan pada pengetahuan

saintifik dan kekuatan rasional yang empiris. Julian Huxley bahkan dengan penuh keyakinan

berpendapat bahwa “Evolutionary Humanism” adalah agama universal yang mungkin bisa

mempertemukan seluruh kepentingan manusia yang saling bertentangan25.

Menurut Anis Malik, humanisme-sekular sebagai agama baru telah menjadi ruh bagi agama-

agama baru lainnya seperti, agama sipil (civil religion) dan agama mitos (mythological

religion)26. Konsep agama sipil ini adalah contoh “agama tanpa wahyu” yang berusaha mengatur

seluruh kehidupan manusia, mulai dari keyakinan sampai persoalan hubungan antara bangsa.

III.2. Agama Sipil (Civil Religion) dan Sekularisme

Istilah Civil Religion atau Agama Sipil dipopulerkan oleh seorang Sosiolog Amerika, Robert N.

Bellah melalui artikelnya yang berjudul ‘Civil Religion in America’. Menurut Anis Malik, yang

meluncurkan istilah ini dan menteorikannya adalah J.J. Rousseau, seorang filsuf berkebangsaan

Perancis. Rousseau membuat teori tentang keyakinan agama sipil yang sederhana (eksistensi

tuhan, kehidupan masa depan, pahala dan siksa, dan penolakan intoleransi)27.

Bentuk dari Agama Sipil ini sangat beragam. Secara teknis, para pemerhati dan peneliti berbeda

pendapat dalam rumusannya. Akan tetapi secara umum, istilah ini menunjuk pada fenomena

yang mereka sebut “a new kind of national religiousness”. Didalam diskursus ini muncul istilah

“American Way of Life (oleh Will Herberg),”Religion of the Republic (oleh Sidney E. Meat),

“Public Religion” (oleh Benjamin Franklin), dan sebagainya. Untuk mencakup seluruh istilah

25 Ibid, 148 26 Ibid, 149 27 Teks aslinya tertulis: The phrase "civil religion" is, of course, Rousseau's. In chapter 8, book 4 of The Social Contract, he outlines the simple dogmas of the civil religion: the existence of God, the life to come, the reward of virtue and the punishment of vice, and the exclusion of religious intolerance. All other religious opinions are outside the cognizance of the state and may be freely held by citizens. [Lihat, Biblical Religion and Civil Religion in America by Robert N. Bellah. http://hirr.hartsem.edu/Bellah/articles_5.htm]

tersebut berikut pengertiannya, maka Robert Nisbert mendefiniskan Agama Sipil sebagai “the

religious or quasi-religious regard for certain civic values and traditions found recurrently in

the history of the political state.” (penghormatan religius atau semi-religius terhadap nilai dan

tradisi ketatanegaraan yang ditemukan berulangkali terjadi dalam sejarah negara politik)28.

Menurut Donald Jones, Agama Sipil mewujud ketika mayoritas penduduk suatu negara atau

daerah mendeskripsikan the ultimate reality pada dimensi-dimensi masyarakat politis mereka,

seperti nilai-nilai sosial atau pranata pemerintahan; dan ketika mereka meyakini bahwa sumber

makna bagi sejarah dan tata sosial mereka adalah sakral; dan ketika keyakinan ini diekspresikan

melalui ritual-ritual kerakyatan, mitos, simbol, dan sejumlah keyakinan yang disakralkan29.

Adanya kontroversi dan perbedaan pendapat seputar hakikat Agama Sipil, menurut Anis Malik

menggambarkan dengan jelas betapa kompleksnya fenomena agama sipil ini, sekaligus

menegaskan secara meyakinkan bahwa fenomena ini memang benar-benar ada. Bellah dalam

artikelnya mengatakan:

“Sementara sebagian orang berargumen, bahwa Kristen adalah agama nasional, dan

yang lain (berargumen), bahwa gereja dan sinagog hanyalah meramaikan agama

yang digeneralisasi (kedalam) “Pandangan Hidup Amerika),” sedikit sekali orang

yang merasakan bahwa secara aktual bersama gereja ada pula agama sipil – yang

cukup jelas perbedaannya – yang terejawantah dan terlembagakan dengan baik di

Amerika.” [Lihat, Bellah, Robert N. Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-

Traditonal World , hlm. 168, seperti dikutip oleh Anis Malik: hlm. 152]

Dalam artikel tersebut Bellah mengukuhkan keberadaan Agama Sipil di Amerika. Jika

pengertian “a new kind of national religiousness” dapat diterima, maka akan dengan mudah

menemukan genealogi dan titik tolak munculnya agama ini, yakni paham pluralisme agama dan

politik30. Tumbuh dan berkembangnya pluralisme agama dalam aspek politik mendapat

momentum ketika merebaknya revolusi sosial dan konflik yang memunculkan krisis religious

disorientation. Sementara itu, disaat yang bersamaan agama-agama yang ada tidak mampu

memainkan perannya dalam kontestasi persatuan bangsa dan perjuangan rakyat. Akhirnya,

28 Anis Malik, 151 29 Ibid, 151-152 30 Ibid, 153

revolusi politik merumuskan dasar-dasar kehidupan yang baru berupa nasionalisme (nation-

state). Setelah itu, kehidupan masyarakat diatur sepenuhnya oleh sistem dan pranata yang lahir

dari ideologi politik, lengkap dengan segala atribut, simbol-simbol sakral, ritual upacara dan teks

suci yang menjadi acuan hukum. Orang-orang yang mengalami religious disorientation akan

dengan mudah berpaling kepada agama baru ini. Kemudian mereka akan membuang sedikit-

sedikit (atau sekaligus) agama lama mereka. Hal itu, karena tradisi dan keyakinan lama mereka

dianggap telah out of date atau usang serta mampun menyulut perpecahan (tidak mampu

mempersatukan masyarakat).

Berdasarkan pemaparan diatas, Ernest Gellner berkesimpulan bahwa civil religion merupakan

saingan agama-agama tradisional dan menggantikan kedudukannya31. Oleh karena itu,

pluralisme politik seperti ini disebut juga sebagai “a normative doctrine”, karena ia telah menjadi

referensi utama bagi semua perilaku manusia, dan strandar atau ukuran baik dan buruk, benar

dan salah, haq dan batil, boleh dan dilarang, dan nilai-nilai lainnya.

Agama sipil yang sinkretik semacam ini agaknya lebih diterima di negara yang menggunakan

sistem demokrasi hasil import dari Amerika. Paling tidak, inilah yang ada di Indonesia. Adanya

indikasi kuat marjinalisasi agama-agama tradisional secara massif dan sistemik dari pentas

politik adalah wujud dari upaya menggantikan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat

dengan Agama Sipil yang diadopsi oleh negara. Dalam hal ini, Pancasila pernah diusung oleh

para penganjur pluralisme dan humanisme-sekular sebagai agama sipil di Indonesia. Melalui

lembaga BP – 7, pancasila pernah di-ideologisasi, glorifikasi dan didakwahkan sebagai ‘the

ultimate concern’.32 Secara singkat dapat disebutkan bahwa agama sipil di Indonesia ini sangat

mirip dengan agama sipil di Amerika33. Perdebatan (atau lebih tepatnya penyelewengan)

mengenai sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kasus ideologisasi Pancasila merupakan

31 Ibid, 154 32 Kita bisa melihat upaya ini dalam buku PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI (dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Buku ini merupakan kumpulan makalah yang disampaikan dalam seminar “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara” yang dilaksanakan oleh Kelompok Studi Pengembangan Pemikiran Pancasila dan UUD 1945 BP-7 Pusat tanggal 24 – 26 Oktober 1989 di Jakarta. Dalam buku ini Pancasila diposisikan sebagai paham intergralistik, ideologi terbuka dan pandangan-hidup.

fenomena perkembangan agama sipil di Indonesia. Nurcholish Madjid dalam salahsatu

artikelnya pernah menyatakan bahwa Pancasila adalah kalimah sawa yang harus didakwahkan34.

Anis Malik Thoha menyimpulkan bahwa agama lokal (mayoritas yang dominan) merupakan

unsur utama dalam komposisi agama sipil35. Oleh karena itu warna dan aroma Islam dalam

agama sipil di Indonesia akan tampak dominan, persis seperti dominannya warna dan aroma

Protestan dalam agama sipil Amerika. Agama sipil yang lahir dan berkembang di Amerika

Serikat hanyalah satu contoh soal. Agama model ini dapat lahir dan berkembang di belahan

dunia mana pun yang mengadopsi demokrasi. Bentuk variasi agama sipil memang berbeda-beda,

tapi hakikat dan esensinya tetap sama, khususnya dalam menuhankan (apoteosisasi) kehidupan

politik kebangsaan dan menganggapnya di atas segala-galanya. Dalam perspektif keagamaan

tradisional, menurut beberapa pengamat merupakan bentuk lain dari “paganisme”.

Jika kita membahas demokratisasi sebagai upaya penyebaran paham pluralisme agama dan

secara khusus Agama Sipil, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kedua hal tersebut persoalan

sekularisme. Sebab, demokrasi merupakan wujud sistem politik akibat dari sekularisme.

Demikian juga, sekularisme sangat terkait erat dengan pluralisme agama. Sekularisme menuntut

dimarjinalkannya agama tradisional dalam ruang publik. Disaat yang bersamaan diciptakanlah

ideologi politik untuk mengatur kehidupan publik. dan Lantas, apakah sekluarisme yang

menyebabkan timbulnya teori pluralisme agama, atau sebaliknya?

Menurut Anis Malik, pluralisme agama, pluralisme politik (demokrasi) dan globalisasi adalah

akibat dan sekaligus bagian dari proses sekularisasi36. Hal ini akan semakin tanpak jelas jika kita

menyandingkan konsep ‘Public Religion’ Benjamin Franklin, ‘Republican Banquet’ William

James, ‘Common Faith’ John Dewey dan ‘Secular City’ Harvey Cox37.

Sekularisme, seperti juga Pluralisme Agama bisa saja dianggap tidak bertentangan atau tidak

memusuhi agama-agama yang ada. Karena setiap dalam sebuah negara yang mewujudkan

Agama Sipil, agama-agama tradisional masih bisa tumbuh (meskipun terbatas). Bahkan beberapa

agama yang beruntung bisa menjadi agama resmi/ legal yang boleh dianut oleh warga negara

33 Anis Malik, 160 34 Ibid, 160 - 161 35 Ibid, 161 36 Ibid, 134 37 Ibid

tersebut. Demikian juga dalam negara yang sekular aktivitas peribadatan agama-agama

tradisional masih bisa berjalan dengan baik di tempat ibadah. Bahkan seorang pengusung

sekularisme radikal sekalipun, bisa saja ia merupakan orang yang rajin beribadah di masjid atau

gereja. Masyarakat yang sekular pun masih bisa meramaikan tempat-tempat ibadah agama

formal mereka. Oleh karena itu, Ninian Smart mengatakan bahwa pluralisme agama adalah

merupakan salah satu arti sekularisme.

IV. Penutup

Hubungan antara agama dan negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis

tentunya akan selalu mendasarkan setiap persoalan -termasuk negara pada- pijakan agama.

Sementara kalangan Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa membuang agama dalam

kehidupannya. Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk agama yang diberikan oleh kalangan

Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah) tetap membutuhkan agama dan ketuhanan untuk

mengambil kesaksian atau sumpah jabatan kepala negaranya. Hal ini menunjukan bahwa

manusia tidak bisa meninggalkan ghorizah taddayun (hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan

agama.

Dalam perspektif Islam, posisi agama terhadap keberadaan negara adalah mabda` (dasar/

ideology) dan ma`ad (tujuan/ vision) secara sekaligus. Negara diadakan karena keimanan kepada

Allah SWT dan kepatuhan kita terhadap Undang-undang-Nya. Demikian pula, ‘negara’

diselenggarakan untuk mencapai mendapatkan pahala (ajr-l hasanah) dan keridhoan Allah SWT.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I`tiqad menyimpulkan bahwa nidzam al-diin tidak

akan baik kecuali dengan nidzam al-dunya. Bahkan beliau menjadikan nidzamu al-dunya sebagai

syarat (shartun) kepada nizdami al-diin. Betapa erat dan terkaitnya hubungan diantara agama dan

negara.

Perdebatan yang sering muncul adalah masalah penerjemahan istilah Madinah secara kontekstual

dan politis. Sebagian menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Madinah adalah sebuah

‘negara modern’ dalam pengertian kekuasaan konstitusional. Sementara sebagian lagi

mengusung istilah ‘masyarakat madani’ dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil society’.

Jika kita ingin memahami istilah ‘Madinah’ dengan baik, kita bisa merujuk kepada perspektif

bahasa, sejarah, dan tentu saja al-Qur’an dan al-Hadith.

Dalam konteks hijrah, Yastrib adalah mahjar (tempat tujuan hijrah), sedangkan tujuan hijrah

mereka menuju mahjar adalah untuk iqamatud-diin. Oleh karena itu menjadi tepatlah ketetapan

Nabi Muhammad SAW untuk menamakan mahjar mereka sebagai al-Madinah.

Kesimpulannya, paham pluralisme agama dalam hal ini mazhab humanisme-sekular

menganggap bahwa agama dilahirkan dari kebudayaan nasional suatu negara-bangsa. Agama ini

adalah agama nasional yang bersifat politis dan dianggap bisa eksis tanpa wahyu. Sedangkan

dalam perpsektif Islam, ketika agama (diin) diterapkan secara sempurna di suatu tempat atau

wilayah maka tempat tersebut adalah negaranya (madinah). Mafhum mukhalafah-nya, negara

adalah sebutan atau lambang dari kesempuraan penerapannya suatu agama. Oleh karena itu,

setiap negara lahir dari penerapan agama dan penyempurnaannya disuatu tempat. Jika demikian

persoalannya, agama apakah yang diterapkan di Indonesia? Waallahu a`lam!

BIBLIOGRAFI

BP – 7 Pusat, Pancasila Sebagai Ideologi (Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa Dan Bernegara). 1992

Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005.

Dr. Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, dan Aksi Sosial.

Jakarta: Kencana, 2010.

Huston Smith, Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

KBBI Online. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php

M. Ridho, Meninjau Kembali Istilah “Agama”. http://komunitas-

nuun.blogspot.com/2010/01/meninjau-kembali-istilah-agama.html (diakses 9 Desember

2012)

M. Ridho, Perspektif Hubungan Negara dan Agama. http://komunitas-

nuun.blogspot.com/2010/01/perspektif-hubungan-negara-dan-agama.html (diakses 9

Desember 2012)

Majalah Islamia, Di Balik Paham Pluralisme Agama. Thn. 1 No.3, September – November 2004

Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Depok: Kalam Ilmu

Indoneisa, 1432/2001.

Robert N. Bellah, Biblical Religion and Social Science in the Modern World.

http://www.robertbellah.com/articles_1.htm (diakses 9 Desember 2012)

Robert N. Bellah, Civil Religion in America. http://www.robertbellah.com/articles_5.htm

(diakses 9 Desember 2012)

Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. -- Jakarta: Bulan Bintang,

1978

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN, 2010.