Makalah peradilan agama

25
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang........................................ 1 B. Rumusan Masalah....................................... 2 C. Tujuan Pembahasan..................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Peradilan Agama............................ 4 B. Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia.. 4 C. Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama......... 5 D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama ...................................................... 7 E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama...... 12 BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan............................................ 14 B. Saran................................................. 14 DAFTAR PUSTAKA 0

Transcript of Makalah peradilan agama

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang........................................ 1

B. Rumusan Masalah....................................... 2

C. Tujuan Pembahasan..................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama............................ 4

B. Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia.. 4

C. Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama......... 5

D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama

...................................................... 7

E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama...... 12

BAB III PENUTUPAN

A. Kesimpulan............................................ 14

B. Saran................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

0

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di

Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman1

telah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama

Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena

memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang

mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta

(hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk

agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-

kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain

(hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan

bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara

paripurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan

hukum Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-

1 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan

Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm.

57.

1

pisahkan.2 Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh

pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3 Jabatan hakim dalam Islam

merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan

peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni

sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan

bagaimanapun juga.4

Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan

Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika

Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah

muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu,

kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna

dalam kerajaan-kerajaan Islam.5 Hal ini karena masyarakat Islam

sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati

hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6

Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul

sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang

surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat

sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-

perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu2 Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No.

634, Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990, hlm. 71.3 Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus

1989.4 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di

Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.5 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…6 Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.

2

berkembang sesuai dengan kebutuhan hokum yang berkembang dalam

Masyarakat.7

sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan

atau eksistensi Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga

dengan pembahasan ini kita dapat memahami sejarah Peradilan Agama

pada masa orde lama, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi

kita semua khususnya pemakalah pribadi.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan

pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya

adalah

1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?

2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam

di Indonesia?

3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde

lama?

4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan

Agama pada masa orde lama?

5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa

orde lama?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan

pemakalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

7 Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.

3

1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.

2. Menjelaskan bentuk Peradilan Agama di Indonesia.

3. Menjelaskan kedudukan Peradilan Agama pada masa orde

lama.

4. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama

pada masa orde lama.

5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde

lama.

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara

empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang

sah di Indonesia dan juga salah satu diantara tiga Peradilan

Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-

perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini,

Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja

dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.

Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di

berbagai daerah di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan

Republik Indonesia dengan beraneka ragam sebutan istilahnya,

5

seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’,

Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche

Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische Zaken,

Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi

pada tahun 1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan

Peradilan Agama yang dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/ Mahkamah

Syar’iyyah Provinsi.

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

Peradilan Agama adalah sebutan resmi yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, akan

timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang dimaksud merupakan

Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya Peradilan

Islam di Indonesia?

Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan

Madura yaitu stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a

menjelaskan bahwa Peradilan Agama berwenang untuk menerima,

memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara

tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-orang yang

beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.9

8 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1995), hlm.17.9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.

6

Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

perkawinan dan pelaksanaannya, yang menyatakan bahwa bagi mereka

yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah

komplit mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang

universal.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa

Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum

dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara universal, karena

Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai

prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan

dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau

negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-

kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama

tersebut hidup di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu

menyelaraskan hukum Islam di satu pihak dengan hukum negara

Indonesia di pihak lainnya.

C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa

Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi

Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah,

hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat

sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena

saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang

berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik

7

antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik

ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di

Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje. 10

Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama),

teori receptie ternyata masih menguasai alam pikiran dari para

sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di legislatif maupun

yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum

adat dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak

masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam UU No.

5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).

Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum

Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat

telah menerimanya.

Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama,

keberadaan peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal

ini disebabkan karena politik kaum kolonialisme yang tidak

mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap

diberlakukan, baik menyangkut kompetensi absolutnya maupun

menyangkut kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya,

sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih

tetap berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.

19 Tahun 1964, eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas

dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 204.

8

di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata

usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan

adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah diterbitkan

suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama

diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45

Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui

sebagai salah satu dari 4 lingkungan Peradilan Negara.11

Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut

hingga awal dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah

dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti

Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi

pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak

berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan

dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu

sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi

kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, akan tetapi di

sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang dan

tidak sempurna.12

D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde

Lama11 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum

perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada tanggal 02Oktober 2013.

12 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.

9

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping

sebagai Peradilan khusus yakni sebagai Peradilan Islam di

Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan

negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas

kekuasaannya.

Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal

yang perlu kita ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan

Agama yang bertujuan untuk mempertahankan keeksistensian

Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun 1957, PP No.

45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang akan

dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957.

a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957

Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah)

No.29 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang

bertugas mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan

Agama Islam.

Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak

tanggal 1 Agustus 1946 atas tuntutan rakyat sebagai hasil

revolusi kemerdekaan yang sesuai dengan hasrat masyarakat di

Aceh, sehingga dibentuklah Mahkamah syar’iyyah yang diakui

sah oleh wakil Pemerintah Pusat di Pemantang Siantar.

Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya terdapat di Aceh, tetapi

10

juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu

Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13

Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan

kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,14 Mahkamah

Syar’iyyah di Aceh berjalan lancar. Akan tetapi, ketika

semua pegwai jawatan negara Republik Indonesia dipusatkan di

kementerian agama dan Perdana Menteri Pemerintah Darurat

meninggalkan Aceh, maka Mahkamah Syar’iyyah tidak ada lagi

yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai dasar hukum yang

kuat.

Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah

Syar’iyyah tersebut, menimbulkan pergejolakan di kalangan

masyarakat. Dalam rangka meredakan pergejolakan serta untuk

memberikan landasan yang kuat bagi eksistensi Peradilan

Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura, maka

diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah tentang

pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah untuk

daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957.

Menurut PP No. 29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang

ada Pengadilan Negeri di Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan

Agama yang susunannya terdiri dari sekurang-kurangnya

seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 813 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum

Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media, 2006),

hlm.73.

14 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.

11

orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Agama.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan

Pemerintah No. 29 Tahun 1957.

Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi:

1) Perselisihan antara suami istri yang beragama

Islam.

2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup

diputus menurut menurut hukum agama Islam yang

berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh,

serta hadhanah.

3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah,

baitulmal, dan lain-lain berhubungan dengan itu.

4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik

talak sudah berlaku.15

Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan

dasar hukum Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat

beragam.

1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957.

2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut

Majelis Agama Islam didasarkan ketetapan Wali

Negara Sumatera Timur tanggal 1 Agustus 1950 No.

15 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

12

350 yang telah diaktivir dengan Peraturan Menteri

Agama No. 2 Tahun 1953.

3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama

No. 15 Tahun 1952.16

Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan

serta ditambah dengan penampungan banyak pejabat-pejabat

Badan Peradilan Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama

sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No.

32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk,

sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus,

sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan

tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga,

untuk melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun

1951, maka daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No. 45

Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan

Agama (Mahkamah Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama

dengan PP No. 29 Tahun 1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957

ternyata tidak dapat memberikan penyelesaian bagi daerah-

daerah yang lain secara integratif, maka PP No. 29 Tahun

1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga

digantikan oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan

Madura.17

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.16 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.17 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

13

a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan

tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di

daerah luar Jawa dan Madura. Peraturan Pemerintah ini

menjelaskan bahwa pelaksanaan dari peraturan ini diatur oleh

Menteri Agama sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 12.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan

memerhatikan Surat Penetapan Menteri Kehakiman pada tanggal

27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6 tentang Kedudukan Pengadilan

Negeri dan Kejaksaan Pengadilan Negeri, pada 13 November

1957 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri Agama No.58

Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah

Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan

Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi,

kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/

Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan

Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi di Banjarmasin dan 34

Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah

Provinsi di Makassar.18

Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan

Agama di daerah-daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-

cabang kantor Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah, tidak

18 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.

14

hanya di luar Jawa dan Madura tetapi juga di daerah Jawa dan

Madura.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan

Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-

perkara yang dijelaskan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun

1957 yang berbunyi:

“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara

suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang

hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah,

talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan

sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah,

baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga

memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah

berlaku.”19

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada

hakikatnya isi dan wewenang Pengadilan Agama Peraturan

Pemerintah No. 45 Tahun 1957 sama dengan Peraturan

Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan peraturan

sebelumnya, akan tetapi, pembentukan Peraturan Pemerintah

No. 45 Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara

efektif dan integratif, dengan pembentukan Pengadilan Agama

yang semakin meluas di seluruh penjuru wilayah di Indonesia19 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

15

dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak hanya di Aceh

saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah

lainnya.

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No.

14 Tahun 1970

a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang

Dasar 1945, maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan

pokok kekuasaan kehakiman. Menurut undang undang ini,

Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan

melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang

dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan

Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan

disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan

Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak

sesuai lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2)

dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan:

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer

16

d. Peradilan Tata Usaha Negara

(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara

Tertinggi.20

Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan

Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan Negara

atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia, di samping

tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan Peradilan

Negara yang sah lainnya. Mahkamah Agung dan keempat

lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah kekuasaan yang

merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh

lainnya. Dalam undang undang baru ini ditegaskan bahwa

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena

sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas

bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan di

sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan lain.

Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di

dalam pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:

“Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa,

mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain

daripada yang tersebut di ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan

peraturan perundang-undangan.”21

20 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 1989), hlm. 5.21 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.

17

Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama

Peradilan Agama adalah di bidang yudikatif sama seperti 3

pengadilan yang lain. Adapun hubungan Peradilan Agama dengan

Departemen Agama sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan

Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang organisatoris,

administratif, dan keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di

dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:

“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1),

organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-

masing departemen yang bersangkutan.”22

E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun

1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

keberadaan Peradilan Agama semakin kuat. Pada tahun 1972

berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 34 Tahun 1972 terbentuk 4

kantor Peradilan Agama dan 6 cabang kantor Peradilan Agama/

Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah Provinsi Riau, Jambi, Aceh,

dan Sumatera Utara.23

Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama

dalam suratnya tanggal 15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972

secara kuantitas jumlah Pengadilan Agama di seluruh Indonesia

sampai dengan Tahun 1972 adalah sebagai berikut:

a. Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah22 UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).23 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.

18

b. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa,

Madura 152 buah

c. Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah

d. Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding

untuk luar Jawa 60 buah

e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding

untuk wilayah Jawa 1 buah

f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah

g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan

Agama 11 buah.24

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada

masa orde lama kekuasaan Peradilan Agama sudah mulai kuat

keberadaannya, hal ini disebabkan oleh adanya kekuasaan yang

merdeka dalam menjalankan tugasnya tanpa ada pengaruh dari

kekuasaan pemerintah. Selain itu juga dapat kita liat

perkembangan Peradilan Agama yang cukup pesat dengan

ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan

Indonesia.

24 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

19

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan

Peraadilan Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah

Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika yang

berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama

membutuhkan proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di

Negara Indonesia, khususnya pada masa orde lama yang melahirkan

UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang Peradilan Agama,

dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni

Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha

Negara.

Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir

pada masa orde lama, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964

4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

B. Saran

20

Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai

Peradilan Agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai

Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan

masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan

Agama.

Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang

lebih baik, maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara

maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk

menghindari adanya penyelewengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

______, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634,

Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990.

Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum

perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html,

diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

21

Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.

Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,

(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta:

Prenada Media, 2006.

Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan

Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1995.

______, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya, 1989.

Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan

Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali

Press, 2004.

Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5

Agustus 1989.

22

PERADILAN AGAMA

PADA MASA ORDE LAMA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara

Islam

Dosen Pengampu: Bapak Malik Ibrahim.

Disusun oleh:

1. Zuni Syafitri 11350059 085643097964

2. Khoirun Nisa 11350065 085296319659

JURUSAN AL AHWAL AL- SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

23

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

2013

24