Makalah peradilan agama
Transcript of Makalah peradilan agama
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang........................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................... 2
C. Tujuan Pembahasan..................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan Agama............................ 4
B. Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia.. 4
C. Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama......... 5
D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama
...................................................... 7
E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama...... 12
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan............................................ 14
B. Saran................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di
Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman1
telah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama
Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena
memang Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta
(hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk
agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-
kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
(hablumminannas) dan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan
bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara
paripurna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan
hukum Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-
1 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm.
57.
1
pisahkan.2 Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh
pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3 Jabatan hakim dalam Islam
merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan
peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni
sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan
bagaimanapun juga.4
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan
Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika
Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah
muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu,
kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna
dalam kerajaan-kerajaan Islam.5 Hal ini karena masyarakat Islam
sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6
Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul
sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang
surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat
sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-
perkara yang diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu2 Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No.
634, Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990, hlm. 71.3 Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus
1989.4 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.5 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…6 Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
2
berkembang sesuai dengan kebutuhan hokum yang berkembang dalam
Masyarakat.7
sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan
atau eksistensi Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga
dengan pembahasan ini kita dapat memahami sejarah Peradilan Agama
pada masa orde lama, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua khususnya pemakalah pribadi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan
pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya
adalah
1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?
2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam
di Indonesia?
3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde
lama?
4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan
Agama pada masa orde lama?
5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa
orde lama?
C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan
pemakalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
7 Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.
3
1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.
2. Menjelaskan bentuk Peradilan Agama di Indonesia.
3. Menjelaskan kedudukan Peradilan Agama pada masa orde
lama.
4. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama
pada masa orde lama.
5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde
lama.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara
empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang
sah di Indonesia dan juga salah satu diantara tiga Peradilan
Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja
dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.
Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di
berbagai daerah di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia dengan beraneka ragam sebutan istilahnya,
5
seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’,
Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche
Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische Zaken,
Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8
Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi
pada tahun 1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan
Peradilan Agama yang dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi.
B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
Peradilan Agama adalah sebutan resmi yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, akan
timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang dimaksud merupakan
Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya Peradilan
Islam di Indonesia?
Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan
Madura yaitu stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a
menjelaskan bahwa Peradilan Agama berwenang untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara
tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-orang yang
beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.9
8 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hlm.17.9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.
6
Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
perkawinan dan pelaksanaannya, yang menyatakan bahwa bagi mereka
yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah
komplit mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang
universal.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum
dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara universal, karena
Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai
prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan
dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau
negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-
kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama
tersebut hidup di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu
menyelaraskan hukum Islam di satu pihak dengan hukum negara
Indonesia di pihak lainnya.
C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa
Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi
Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah,
hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat
sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena
saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang
berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik
7
antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik
ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di
Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje. 10
Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama),
teori receptie ternyata masih menguasai alam pikiran dari para
sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di legislatif maupun
yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum
adat dalam kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak
masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam UU No.
5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).
Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum
Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat
telah menerimanya.
Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama,
keberadaan peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal
ini disebabkan karena politik kaum kolonialisme yang tidak
mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap
diberlakukan, baik menyangkut kompetensi absolutnya maupun
menyangkut kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya,
sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih
tetap berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
19 Tahun 1964, eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas
dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 204.
8
di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata
usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan
adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah diterbitkan
suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama
diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45
Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui
sebagai salah satu dari 4 lingkungan Peradilan Negara.11
Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut
hingga awal dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah
dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti
Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi
pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak
berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan
dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu
sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi
kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, akan tetapi di
sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang dan
tidak sempurna.12
D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde
Lama11 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada tanggal 02Oktober 2013.
12 Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.
9
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping
sebagai Peradilan khusus yakni sebagai Peradilan Islam di
Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan
negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas
kekuasaannya.
Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal
yang perlu kita ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan
Agama yang bertujuan untuk mempertahankan keeksistensian
Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun 1957, PP No.
45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang akan
dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957.
a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957
Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah)
No.29 Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang
bertugas mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan
Agama Islam.
Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak
tanggal 1 Agustus 1946 atas tuntutan rakyat sebagai hasil
revolusi kemerdekaan yang sesuai dengan hasrat masyarakat di
Aceh, sehingga dibentuklah Mahkamah syar’iyyah yang diakui
sah oleh wakil Pemerintah Pusat di Pemantang Siantar.
Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya terdapat di Aceh, tetapi
10
juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu
Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13
Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan
kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,14 Mahkamah
Syar’iyyah di Aceh berjalan lancar. Akan tetapi, ketika
semua pegwai jawatan negara Republik Indonesia dipusatkan di
kementerian agama dan Perdana Menteri Pemerintah Darurat
meninggalkan Aceh, maka Mahkamah Syar’iyyah tidak ada lagi
yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai dasar hukum yang
kuat.
Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah
Syar’iyyah tersebut, menimbulkan pergejolakan di kalangan
masyarakat. Dalam rangka meredakan pergejolakan serta untuk
memberikan landasan yang kuat bagi eksistensi Peradilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura, maka
diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah tentang
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah untuk
daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957.
Menurut PP No. 29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang
ada Pengadilan Negeri di Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan
Agama yang susunannya terdiri dari sekurang-kurangnya
seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 813 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media, 2006),
hlm.73.
14 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.
11
orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan
Pemerintah No. 29 Tahun 1957.
Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi:
1) Perselisihan antara suami istri yang beragama
Islam.
2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup
diputus menurut menurut hukum agama Islam yang
berkenaan dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh,
serta hadhanah.
3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah,
baitulmal, dan lain-lain berhubungan dengan itu.
4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik
talak sudah berlaku.15
Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan
dasar hukum Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat
beragam.
1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957.
2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut
Majelis Agama Islam didasarkan ketetapan Wali
Negara Sumatera Timur tanggal 1 Agustus 1950 No.
15 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
12
350 yang telah diaktivir dengan Peraturan Menteri
Agama No. 2 Tahun 1953.
3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama
No. 15 Tahun 1952.16
Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan
serta ditambah dengan penampungan banyak pejabat-pejabat
Badan Peradilan Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama
sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No.
32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk,
sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus,
sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan
tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga,
untuk melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun
1951, maka daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No. 45
Tahun 1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan
Agama (Mahkamah Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama
dengan PP No. 29 Tahun 1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957
ternyata tidak dapat memberikan penyelesaian bagi daerah-
daerah yang lain secara integratif, maka PP No. 29 Tahun
1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga
digantikan oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan
Madura.17
2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.16 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.17 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
13
a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan
tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di
daerah luar Jawa dan Madura. Peraturan Pemerintah ini
menjelaskan bahwa pelaksanaan dari peraturan ini diatur oleh
Menteri Agama sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 12.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan
memerhatikan Surat Penetapan Menteri Kehakiman pada tanggal
27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6 tentang Kedudukan Pengadilan
Negeri dan Kejaksaan Pengadilan Negeri, pada 13 November
1957 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri Agama No.58
Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan
Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi,
kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi di Banjarmasin dan 34
Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah
Provinsi di Makassar.18
Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan
Agama di daerah-daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-
cabang kantor Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah, tidak
18 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.
14
hanya di luar Jawa dan Madura tetapi juga di daerah Jawa dan
Madura.
b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1957.
Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-
perkara yang dijelaskan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1957 yang berbunyi:
“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara
suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang
hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah,
talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan
sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah,
baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Demikian juga
memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah
berlaku.”19
Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada
hakikatnya isi dan wewenang Pengadilan Agama Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1957 sama dengan Peraturan
Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan peraturan
sebelumnya, akan tetapi, pembentukan Peraturan Pemerintah
No. 45 Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara
efektif dan integratif, dengan pembentukan Pengadilan Agama
yang semakin meluas di seluruh penjuru wilayah di Indonesia19 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.
15
dapat menyelesaikan masalah-masalah yang tidak hanya di Aceh
saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah
lainnya.
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No.
14 Tahun 1970
a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945, maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman. Menurut undang undang ini,
Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan
melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang
dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan
disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak
sesuai lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2)
dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
16
d. Peradilan Tata Usaha Negara
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara
Tertinggi.20
Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan
Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan Negara
atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia, di samping
tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan Peradilan
Negara yang sah lainnya. Mahkamah Agung dan keempat
lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah kekuasaan yang
merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh
lainnya. Dalam undang undang baru ini ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena
sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan di atas
bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan di
sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan lain.
Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di
dalam pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:
“Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa,
mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain
daripada yang tersebut di ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan
peraturan perundang-undangan.”21
20 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1989), hlm. 5.21 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.
17
Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama
Peradilan Agama adalah di bidang yudikatif sama seperti 3
pengadilan yang lain. Adapun hubungan Peradilan Agama dengan
Departemen Agama sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan
Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang organisatoris,
administratif, dan keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di
dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:
“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1),
organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-
masing departemen yang bersangkutan.”22
E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama
Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
keberadaan Peradilan Agama semakin kuat. Pada tahun 1972
berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 34 Tahun 1972 terbentuk 4
kantor Peradilan Agama dan 6 cabang kantor Peradilan Agama/
Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah Provinsi Riau, Jambi, Aceh,
dan Sumatera Utara.23
Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
dalam suratnya tanggal 15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972
secara kuantitas jumlah Pengadilan Agama di seluruh Indonesia
sampai dengan Tahun 1972 adalah sebagai berikut:
a. Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah22 UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).23 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.
18
b. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa,
Madura 152 buah
c. Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah
d. Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding
untuk luar Jawa 60 buah
e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding
untuk wilayah Jawa 1 buah
f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah
g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan
Agama 11 buah.24
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada
masa orde lama kekuasaan Peradilan Agama sudah mulai kuat
keberadaannya, hal ini disebabkan oleh adanya kekuasaan yang
merdeka dalam menjalankan tugasnya tanpa ada pengaruh dari
kekuasaan pemerintah. Selain itu juga dapat kita liat
perkembangan Peradilan Agama yang cukup pesat dengan
ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan
Indonesia.
24 H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
19
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan
Peraadilan Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah
Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika yang
berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama
membutuhkan proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di
Negara Indonesia, khususnya pada masa orde lama yang melahirkan
UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang Peradilan Agama,
dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir
pada masa orde lama, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957
2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
B. Saran
20
Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai
Peradilan Agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai
Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan
masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan
Agama.
Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang
lebih baik, maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara
maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk
menghindari adanya penyelewengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
______, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634,
Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990.
Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html,
diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
21
Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.
Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta:
Prenada Media, 2006.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan
Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
______, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1989.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5
Agustus 1989.
22
PERADILAN AGAMA
PADA MASA ORDE LAMA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara
Islam
Dosen Pengampu: Bapak Malik Ibrahim.
Disusun oleh:
1. Zuni Syafitri 11350059 085643097964
2. Khoirun Nisa 11350065 085296319659
JURUSAN AL AHWAL AL- SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
23