1. Sistem Peradilan di Indonesia. - Digilib UNS

140
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Sistem Peradilan di Indonesia. a. Sejarah Singkat Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. 1) Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat badan Peradilan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechtspraaken, peradilan yang dimaksud terdiri dari: 49 (1) Peradilan Gubernemen (Gouvernements rechtpraak) yang meliputi seluruh Hindia Belanda. (2) Peradilan Pribumi (Inheemscherecht-spraak) hanya terdapat di daerah langsung (administratif) daerah seberang. (3) Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rechtspraak) yang terdapat di daerah tidak langsung (otonom), kecuali daerah Swapraja Paku Alaman dan Pontianak. (4) Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), dengan catatan, di samping yang berdiri sendiri ada yang merupakan bagian dari Peradilan Gubernemen, Peradilan Swapraja, maupun Peradilan Adat. Pada masing-masing jenis Peradilan itu, dimungkinkan pula adanya sejenis kamar berupa Kamar Peradilan Agama (Godsdienstige Rechtspraak). 2) Masa Penjajahan Jepang Pertama-tama dibentuk oleh pemerintah militer Jepang adalah peradilan yang melindungi militer yang disebut Gunritukaigi. Pembentukannya didasarkan pada Osamu Gunrei Nomor 2/1942, 49 Koerniatmanto Soetoprawiro, Pemerintahan dan Peradilan Indonesia: Asal-Usul dan Perkembangannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 91-92 commit to user library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Transcript of 1. Sistem Peradilan di Indonesia. - Digilib UNS

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI.

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Sistem Peradilan di Indonesia.

a. Sejarah Singkat Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.

1) Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan

kehakiman dilaksanakan oleh empat badan Peradilan yang dalam

bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechtspraaken, peradilan

yang dimaksud terdiri dari:49

(1) Peradilan Gubernemen (Gouvernements rechtpraak) yang

meliputi seluruh Hindia Belanda.

(2) Peradilan Pribumi (Inheemscherecht-spraak) hanya terdapat di

daerah langsung (administratif) daerah seberang.

(3) Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rechtspraak) yang terdapat di

daerah tidak langsung (otonom), kecuali daerah Swapraja Paku

Alaman dan Pontianak.

(4) Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), dengan catatan, di

samping yang berdiri sendiri ada yang merupakan bagian dari

Peradilan Gubernemen, Peradilan Swapraja, maupun Peradilan

Adat.

Pada masing-masing jenis Peradilan itu, dimungkinkan pula

adanya sejenis kamar berupa Kamar Peradilan Agama

(Godsdienstige Rechtspraak).

2) Masa Penjajahan Jepang

Pertama-tama dibentuk oleh pemerintah militer Jepang adalah

peradilan yang melindungi militer yang disebut Gunritukaigi.

Pembentukannya didasarkan pada Osamu Gunrei Nomor 2/1942,

49 Koerniatmanto Soetoprawiro, Pemerintahan dan Peradilan Indonesia: Asal-Usul dan

Perkembangannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 91-92

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

sementara sebelumnya dengan Osamugunrei Nomor 1/1942 telah

diatur tentang jenis-jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

Seiring dengan itu Gunritukaigi berwenang mengadili tindak

pidana yang pada pokoknya dikualifisir sebagai kejahatan yang

bersifat menggangu, menghalang-halangi dan melawan Bala

tentara Jepang. Jenis hukuman dapat berupa: pidana penjara,

pidana pembuangan, pidana denda dan pidana mati. Osamu Gunrei

Nomor 1/1942 membenarkan penjatuhan pidana kumulatif yaitu

penjatuhan bersama-sama atau penggabungan antara pidana

penjara ditambah pembuangan. Juga dapat dikenakan hukuman

tambahan berupa perampasan. Dengan UU tanggal 2 Maret 1942

(UU Nomor Istimewa) pidana mati dapat juga dijatuhkan terhadap

perbuatan pidana yang berupa perusakan atau perampasan barang

atau alat maupun sarana yang dipergunakan oleh atau berhubungan

dengan tentara Jepang seperti parit-parit, perkebunan, sumber

minyak, jalan, telepon, pos dan lain-lain.50

Selain peradilan yang bersifat melindungi kepentingan milter,

dengan UU Nomor 14 Tahun 1942 kemudian diubah dengan UU

Nomor 34 tahun 1942 dibentuklah Gunsei Hoin yaitu Pengadilan

Pemerintah Balatentara dan Gunsei Kensatu Kyoku atau

Kejaksanaan Pemerintah Balatentara. Kedua Undang-undang itu

merupakan peraturan dasar bagi pembentukan organisasi peradilan

di Jawa dan Madura. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor

1 tahun 1942, pada prinsipnya organisasi dan struktur badan

peradilan sama dengan organisasi dan struktur badan peradilan

sebelumnya yang berlaku pada masa Hindia Belanda dengan di

sana sini diadakan perubahan seperlunya. Perubahan yang

mendasar adalah:

50 Mertokoesoemo, 1971, hlm. 11-13 dalam Bahder Johan Nasution, Sejarah Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III September 2014 ,

hlm. 23.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

(1) Dihapuskannya perbedaan antara peradilan Gubernemen dan

Peradilan Bumi Putera;

(2) Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan;

(3) Hakim untuk golongan Bumi Putera kekuasaannya diperluas

sehingga meliputi semua golongan;

(4) Penghapusan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dari

Raad van Justitie dan Hooggerechtshof;

(5) Penghapusan peradilan Residentiegerecht;

(6) Perubahan istilah-istilah badan peradilan seperti “Landraad”

menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri), “Landgrecht”

menjadi Keizei Hooin (Hakim Kepolisian), “Regent

Schapsgercht” menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kawedanan),

“Hof voor Islamietsche Zaken” menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin

(Mahkamah Islam tinggi), “Priesterraad” menjadi Sooryoo

Hooin (Rapat Agama).

Untuk daerah di luar Jawa dan Madura kondisi seperti itu

baru diberlakukan pelaksanaannya berupa Timo Seirei Otsu Nomor

40 Tahun 1943 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1944.51

3) Kekuasaan Kehakiman Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejak berlakunya UUD 1945 (tanggal 18 Agustus 1945) hingga

kini telah disahkan berikut perubahan Undang-undang yang

mengatur kekuasaan kehakiman, yaitu: UU Nomor 19 Tahun 1948,

UU Nomor 19 Tahun 1964 dan UU Nomor 14 Tahun 1970

sebagaimana dirobah dengan UU No.35 Tahun 1999, Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan

yang terakhir Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman adalah Ketiga UU itu diciptakan dalam

rangka untuk memenuhi perintah Pasal 20, 21, 24 dan Pasal 25

UUD 1945. Sebelum berlakunya UU Nomor 19 Tahun 1948

sepanjang menyangkut peraturan-peraturan dan badan-badan atau

51

Mertokoesoemo, Op.Cit. hlm. 24

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

institusi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman berlaku

peraturan-peraturan dan badan-badan sebelum kemerdekaan (masa

Jepang dan Belanda). Keberlakuan semacam itu didasarkan pada

ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang pada intinya

mengatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada

masih terus berlaku selama belum diadakan yang baru menurut

Undang-undang Dasar.

b. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen Keempat.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia menurut Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen keempat

merupakan kekuasaan merdeka yang dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan

Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata

Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Sebagai suatu perbandingan, perjalanan sejarah kekuasaan

kehakiman dalam Islam menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif

yang sudah dilaksanakan oleh beberapa lembaga—yang masing-

masing berkuasa dalam bidangnya, tetapi bersatu di bawah satu

kekuasaan umum. Pada dinasti Umayyah, kekuasaan kehakiman

menyebutnya lembaga pelaksana hukum (Nizam al-Qadha`),

sedangkan pada masa Dinasti Abbasiyah menyebutnya lembaga yang

bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum (Nizham al-

Mazhalim).52

Kesemuanya itu adalah untuk menegakkan ketertiban

umum, baik di lingkungan pemerintahan, maupun di lingkungan

masyarakat. Meskipun kedua dinasti tersebut berbeda penggunaan

peristilahan untuk pelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi

masing-masing badan yang berada di bawahnya sama-sama memiliki

52

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Fajar

Interpratama Offset, 2008, hlm 170.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

tiga badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni

Wilayah al-Qadha`, Wilayah al-Hisbah, dan Wilayah al-Mazhalim.

Bahkan pada Dinasti Mamluk terdapat satu pelaksana kekuasaan

kehakiman lagi, yakni Mahkamah Militer (Mahkamah al-

Asykariyah), dan kesemua lembaga tersebut berada di bawah naungan

al-Qadhi al-Qudha`-semacam Mahkamah Agung di Indonesia yang

membawahi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.53

c. Fungsi dan Peran Lembaga Pengadilan di Indonesia.

Pengadilan sesungguhnya merupakan suatu institusi dalam

masyarakat yang telah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat,

tidak hanya sebagai lembaga hukum yang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu

institusi ekonomi dan politik serta sebagai lambang harapan-harapan

masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan lain-lain. Pengadilan

tidak dapat dipandang hanya sebagai suatu institusi hukum saja sebab

sama sekali tidak tergambarkan secara lengkap.54

Pengadilan nasional

di negara berkembang seperti halnya Indonesia, dianggap identik

dengan sistem ekonomi, hukum, budaya dan politik dari negara-

negara tempat pengadilan tersebut berada.55

Pengadilan sebagai lembaga pelaksana dari kekuasaan

kehakiman sebenarnya memiliki fungsi yang sangat penting,

keberadaan lembaga pengadilan merupakan ciri utama dari sebuah

negara hukum. Barda Nawawi menyebutkan bahwa peranan

pengadilan jika dikelompokkan, ada peran yuridis formal dan peran

yuridis materiil. Undang- Undang Dasar membuka peluang untuk

kedua peranan ini sebab lembaga peradilan dalam tatapan konstitusi

53 Lomba Sultan, Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia, Jurnal Al-

Ulum, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013, hlm.437. 54

Satjipto Rahardjo, Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 Tahun XXXIV, 1994, hlm. 447. 55

Julian D.M. Lew, Applicable Law in International Commercial Arbitration, Netherlands

Sijthoff and Norhoff, 1978, hlm. 12.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

merupakan lembaga sentral yang tidak saja bertanggunjawab dalam

upaya penegakan hukum, melainkan Pula bertanggunjawab di dalam

melindungi, mendamaikan, mencerdaskan dan meningkatkan

kesejahteraan rakyat.56

Joseph Raz, menjelaskan bahwa dalam rangka melaksanakan

norma hukum secara efektif, maka diperlukan organ hukum, dalam

hal ini adalah lembaga peradilan.57

Sesuai dengan konstitusi,

pengadilan dapat berperan baik secara politis, yuridis maupun

sosiologis.

(1) Peran politis merupakan fungsi umum dari setiap lembaga negara.

Peran ini meliputi keterlibatan Mahkamah Agung yang secara

sadar membawa negara ini menuju pada tujuan seperti tercantum

dalam konstitusi.58

Peran Mahkamah Agung tersebut tentu saja

harus diikuti oleh lembaga-lembaga pengadilan di bawahnya;

(2) Peran yuridis merupakan fungsi utama dari pengadilan

sebagaimana sebagaimana dikehendaki oleh Pasal l Undang-

undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia;

(3) Peran sosiologis mempakan peran yang tidak kurang pentingnya

dalam menjalankan kehidupan pengadilan, karena peran ini

merupakan jiwa bagi peran-peran lainnya sebagaimana

dikehendaki oleh Pasal 28 ayat (l) Undang-undang No. 4 tahun

2004 di mana hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Semua peradilan di seluruh wilayah lndonesia adalah peradilan

negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang

56 Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebikjasanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 7 57

Joseph Raz, The Concept of Legal System, Oxford University Press, Oxford, 1997, hlm. 92 58

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 1

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

menduduki tempat yang tertinggi sistem peradilan kita adalah Mahkamah

Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Ada 4 (empat) lingkungan

peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung.

Empat lingkungan peradilan itu dapat bagi menjadi dua yang bersifat

umum yaitu lingkungan peradilan umum ( peradilan dengan general

jurisdiction) dan yang bersilat khusus (peradilan special jurisdiction)

yaitu lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan

lingkungan peradilan tata usaha negara. Disebut sebagai peradilan

umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga

masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama, yustisiabele atau

pencari keadilannya umum, setiap orang. Di dalam peradilan umum

masih dikenal spesialisasi seperti peradilan ekonomi. Peradilan khusus

disediakan bagi yustiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama

Islam atau militer) atau yang menggunakan hukum materiel khusus

(hukum pidana militer, hukum Islam).

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa Mahkamah Agung

sebagai lembaga pengadilan tertinggi mempunyai beberapa fungsi atau

tugas antara lain sebagai berikut.59

1) Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiel).

Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan

kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas

pokok menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan serta

menyelesaikan setiap perkara;

2) Kedua, yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan

pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum

Indonesia melalui putusan-putusannya ke arah kesatuan hukm dan

peradilan;

59

Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 9 No.6, Tahun 1997,

hlm. 5.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

3) Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah mengatur. Mahkamah

Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan

yang belum diatur acaranya;

4) Fungsi yang keempat adalah sebagai penasihat;

5) Fungsi yang kelima adalah fungsi pengawasan;

6) Fungsi yang keenam adalah fungsi administratif.60

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Mahkamah Agung memiliki

peranan yang sangat penting dalam penegakan keadilan di lingkungan

peradilan. Mahkamah Agung secara internal memiliki wewenang untuk

mengawasi tingkah laku para hakim, jalannya persidangan, pekerjaan

pengadilan, penasehat hukum dan notaris di semua lingkungan peradilan.

Dalam konteks pengawasan internal ini, maka tugas pengawasan MA

terhadap para hakim sangat nampak dalam pasal 32 Undang-Undang No. 3

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dijelaskan bahwa: Mahkamah

Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelengaraan

peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman (ayat (1); Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan

perbuatan para hakim di semua lingkungan lingkungan peradilan dalam

menjalankan tugasnya. Dalam konteks ini, MA juga memiliki wewenang

untuk meminta keterangan tentang hal – hal yang bersangkutan dengan

teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan ayat (2) dan (3) dan

Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan

60 Secara khusus, MA dalam konteks pengawasan tugas hakim, memiliki peran penting sebagai

pengawas internal. Dikatakan pengawas internal karena Mahkamah Agung juga adalah seorang

hakim yang diangkat melalui jalur karier kehakiman dan juga jalur non karier. Mahkamah

Agung adalah lembaga pengawasan internal yang memegang fungsi kontrol dari dalam

terhadap kinerja hakim agar sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar. Mahkamah Agung

adalah pengadilan tertinggi dan melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.

Sagala menjelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak hanya berfungsi di bidang peradilan

belaka, melainkan mempunyai fungsi-fungsi lain. Jadi jika disimpulkan maka Mahkamah

Agung mempunyai beberapa fungsi, yakni: Fungsi peradilan (justitiele functie); Fungsi

pengawasan (Toeziende functie); Fungsi mengatur (Regelende functie); Fungsi penasihat

(Advieserende functie); dan Fungsi administratif (Administratieve functie

Lihat:Budiman B. Sagala, Praktek Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Gahlia

Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 157-158.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

yang di pandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan

(ayat (4).

Terkait dengan perkembangan fungsi Mahkamah Agung di Amerika

Serikat (Supreme Court) Richard Pacelle menyebutkan bahwa Supreme

Court di era modern telah berfungsi sebagai pembuat kebijakan,

sebagaimana ditulis dalam bukunya “The Supreme Court in a Separation

of Powers System”:

The Supreme Court has become a major policy maker. The Court

made policy from its fi rst decision even when it wore the accurate

moniker, “the least dangerous branch.” But as the central

government increasingly grew in power and authority, its branches

had a concomitant growth of power.

The constitutional independence of the Court was predicated on a

passive, limited judiciary that filled in the gaps rather than an

activist policy leader. The modern Supreme Court is a policy

maker that is actively engaged in virtually every area of law, but it

is actually the dominant leader in the subset issues that involve

individual liberties and civil rights.61

Jeffrey A. Segal, Harold J. Spaeth, Sara C. Benesh juga

mengatakan hal sama sebagai berikut.

We live in a democracy, but within that democracy we give judges

broad discretion to determine, for instance, whether abortions should

be allowed, death penalties inflicted, homosexuality criminally

punished, and, every century or so, who should be president.4 All

judges make policy; at the top of the judicial policy-making pyramid

rests the United States Supreme Court.62

d. Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa permasalahan yang

timbul di dalam tubuh pengadilan di Indonesia adalah: (a) Masalah

penegakan hukum, bagi kepentingan pencari keadilan; (b) Masalah

penegakan hukum dalam ruang lingkup departemen; (c) Masalah

bertumpuknya perkara di Mahkamah Agung. Masalah di atas

61

Richard Pacelle, The Supreme Court in a Separated of Powers System, Routledge, New York,

2015, hlm. 252. 62

Jeffrey A. Segal, Harold J. Spaeth, Sara C. Benesh, The Supreme Court in American Legal

System, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, hlm. 4

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

memperlihatkan masih lemahnya penegakan hukum, sehingga perlu

mendapatkan perhatian yang khusus dari aparat penegak hukum,

karena melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi

kenyataan, yaitu tindakan nyata aparat penegak hukum terhadap

pejabat-pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi atau perbuatan

melanggar hukum lainnya.63

Sudikno Metokusumo menyatakan bahwa sebagai salah satu ciri

negara hukum, maka kekuasaan kehakiman harus dijamin secara

konstitusional.64

Negara Repblik Indonesia telah memberikan

jaminan konstitusional pada kekuasaan kehakiman yaitu pada Pasal

24 UUD RI 1945. Dalam konteks struktur pengadilan di Indonesia,

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menegaskan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Dengan menempatkan Mahkamah Agung sebagai puncak

peradilan, maka pembentuk Undang-Undang menghendaki adanya

kesatuan peradilan. Meskipun dengan adanya Mahkamah Konstitusi,

di samping Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan

kehakiman menyebabkan tejadinya dualisme kekuasaan kehakiman

di Indonesia, namun kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dan keempat lingkungan di bawahnya masih

terdapat kesatuan peradilan ( eenheid van rechtspraak).65

Membicarakan tentang sistem peradilan di Indonesia, tidak akan

mampu terlepas dari pembahasan tentang kekuasaan kehakiman yang

mandiri yang berujung kepaa kemandirian serta independensi hakim.

Mandiri atau tidaknya kekuasaan kehakiman mempunyai implikasi

yang besar terhadap penegakan hukum yang dilakukan di muka 63

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.145. 64

Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, dan

Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hlm. 2 65

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Sistem Peadilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum RI

Menurut UU No. 4 Tahun 2004, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 1, Februari 2010, hlm.

198.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

pengadilan. Kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam arti bebas

dari campur tangan dan pengaruh dari pihak-pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman. Putusan dijatuhkan relatif dapat diterima dan

lebih adil bagi para pihak yang berperkara. Sebaliknya kekuasaan

kehakiman yang tidak mandiri dalam proses peradilannya karena

pengaruh campur tangan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan

kehakiman, maka putusan-putusan yang dihasilkan cenderung

subjektif dan ada unsur keberpihakan kepada sala satu pihak yang

berperkara. Dengan demikian putusan-putusannya pun akan

dirasakan relatif kurang adil dan merugikan salah satu pihak. Bagi

hakim, implikasinya besar, karena sikap hakim dalam proses

persidangan akan amat menentukan objektivitas dalam memutuskan

suatu perkara dan berdampak kepada kualitas putusan.

M. Yahya Harahap menggunakan terminologi “kebebasan relatif

menerapkan hukum.” Terminologi tersebut bermakna kebebasan

hakim tidak mutlak, tetapi bersifat relatif. Untuk itu, langkah yang

ditempuh atau patokan yang dipakai, yaitu: 1) hakim terikat

mengutamakan penerapan ketentuan undang-undang (statute law

must prevalli); 2) boleh melakukan contra legem, 3) bebas

melakukan penasiran.66

Dalam hal kemandirian hakim, ada faktor-faktor yang

memperngaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsinya. Pada prinsipnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut

dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal.67

(1) Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi

kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan

66

M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 857-858 67

Michael Brayn Rompas, Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Lex

Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 hlm. 29.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

wewenangnya yang datangnya dari dalam diri hakim itu

sendiri. Jadi faktor internal di sini adalah segala hal yang

berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) hakim itu

sendiri, yaitu mulai dan rekrutmen/seleksi untuk diangkat

menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim.

Faktor ini berpengaruh, karena secara ungsopmal kekuasaan

kehakiman dilakukan terutama oleh para hakim.

(2) Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap proses penyelenggaraan peradilan yang datangnya

dari luar dari diri hakim, terutama berkaitan dengan sistem

peradilan atau sistem penegakan hukumnya. Adapun faktor-

faktor eksternal yang berpengaruh meliputi hal-hal sebagai

berikut :

(a) Peraturan perundang-undangan

Dalam perkembangannya UU No. 14 Tahun 1970 sekarang

digantikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang baru

yaitu UU No. 4 Tahun 2004 dan perubahannya dalam UU

No. 48 Tahun 2009. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman

baru pembinaan kekuasaan kehakiman sudah diletakkan

dibawah satu atap tetapi dengan puncak ganda, yaitu

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

(b) Adanya intervensi terhadap proses peradilan

Dalam praktek peradilan, memang sulit dihindarkan

adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain,

seperti pemerintah dan pihak ekstra yudisial lainnya.

Campur tangan juga dapat dilakukan oleh pengadilan

atasan, para pencari keadilan atau kuasanya serta

pendukungnya.

(c) Hubungan hakim dengan penegak hukum lain.

Hubungan yang terlalu akrab dan pribadi antara Hakim

dengan penegak hukum lain, seperti Jaksa dan Pengacara,

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

dapat menyulitkan hakim dalam menjaga obyektivitasnya,

ketika mereka dihadapkan dalam perkara yang sama.

Demikian pula hubungan hakim dengan pihak lainnya yang

terlalu akrab, dapat pula berakibat yang sama, yaitu sulit

untuk bersikap obyektif.

(d) Adanya berbagai tekanan

Tekanan yang dialami hakim dapat berupa tekanan mental,

fisik, ekonomi dan sebagainya. Sudikno Mertokusumo,

menyatakan sesudah tahun 1970 mulai terasa adanya

tekanan-tekanan pada hakim yang dibuktikan dengan

adanya surat sakti dan telepon sakti, sehingga

menghasilkan putusan-putusan yang bersifat memihak.68

(e) Faktor kesadaran hukum

Faktor kesadaran hukum dapat berpengaruh pula terhadap

jalannya proses peradilan. Kesadaran hukum di sini

meliputi kesadaran hukum masyarakat, pencari keadilan

dan penegak hukum. Apabila semua elemen masyarakat

tanpa kecuali mempunyai tingkat kesadaran hukum yang

tinggi, maka peristiwa rekayasa, kolusi, suap dan mafia

peradilan tidak akan terjadi. Dengan demikian kemandirian

hakim juga otomatis terjaga dengan baik.

(f) Faktor sistem pemerintahan (politik)

Faktor sistem pemerintahan (politik) yang dipakai dapat

juga berpengaruh terhadap institusi peradilan. Ketika sistem

politik Demokrasi Terpimpin berkuasa, maka sistem

peradilan yang dikehendaki juga “sistem peradilan

terpimpin”, sehingga sangat membelenggu

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang mandiri,

bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.

68 Sudikno Mertokusumo, Mewujudkan Sistem dan Proses Peradilan Indonesia yang Bersih dan

Berwibawa, diskusi panel di Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta, 16 Mei 1998

dalam Michael Brayn Rompas, Loc. Cit. hlm. 30.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

Di bawah sistem pemerintahan orde baru yang kemudian

digantikan sistem pemerintahan orde reformasi, UU No. 19

Tahun 1964 sudah dicabut dengan UU No. 14 Tahun 1970,

yang menjamin adanya kemerdekaan kekuasaan

kehakiman, meskipun harus diakui masih ada beberapa titik

kelemahan, seperti adanya dualisme kekuasaan kehakiman

dan masalah “judiciel review” (hak uji materiil terhadap

Undang-Undang). Dan sekarang UU No. 14 Tahun 1970

sudah digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan

perubahannya dalam UU No. 48 Tahun 2009. Hal di atas

membuktikan bahwa sistem politik/pemerintahan yang

berlaku akan berpengaruh terhadap kemandirian kekuasaan

kehakiman.

e. Tugas Hakim dalam Peradilan Perdata

Putusan Hakim sebagai perwujudan hukum dipengaruhi antara

lain oleh kaidah-kaidah hukum dan tafsirannya, terefleksi dalam

pertimbangan-pertimbangan atau penalaran (reasoning) hakim

sehingga sampai pada sebuah putusan hakim. Proses pengambilan

putusan oleh hakim senantiasa berada dalam situasi tarik menarik

antara dua tuntutan yang seringkali berlawanan, yaitu kehendak untuk

mewujudkan kepastian hukum dan kehendak untuk mewujudkan

keadilan.69

Dalam menjalankan tugasnya, pada hakekatnya dari seorang

hakim diharapkan memberi pertimbangan tentang salah tidaknya

seseorang atau benar tidaknya peristiwa yang disengketakan dan

kemudian memberikan atau menentukan hukumnya. Hal senada di

sebutkan oleh Paton, “the task of the court in actual litigation 1.1 to

discover the facts of the case, to declare the rule Qflaw that is

applicable, and then make a specific order which is the result of the

69 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Kualitas Putusan Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum Bisnis,

Volume 22 No. 4 Tahun 2003, hlm. 25.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

application of the law to such facts as are considered relevant. ”70

Bahkan demi terciptanya keadilan, hakim dapat bertindak contra

legem. Contra Legem merupakan putusan Hakim pengadilan yang

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada,

sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau

bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal

Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan

rasa keadilan masyarakat71

Pada peradilan perdata, tugas hakim adalah mempertahankan

tata hukum perdata, dan menetapkan apa yang telah ditentukan oleh

hukum dalam suatu perkara perdata.72

Hukum acara perdata

merupakan pegangan pokok atau aturan permainan sehari-hari bagi

hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan pekara perdata

di pengadilan. Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara, menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum tertulis tidak

selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengingat

kodifikasi undang-undang meskipun tampak lengkap tetapi tidak

pernah sempurna. Sebab ribuan permasalahan yang tidak terduga

akan diajukan kepada hakim.73

Maka seringkali hakim harus

menemukan sendiri hukum itu (rechtsvinding), untuk melengkapi

hukum yang sudah ada, dalam menyelesaikan perkara konkrit yang

dihadapkan kepadanya, untuk dijadikan dasar dalam memutus suatu

perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menggali dan menemukan

hukum dalam masyarakat.

Sudikno Mertokusumo bependapat bahwa kurangnya

pengetahuan hakim tentang hukum acara pada umumnya atau hukum

70

George W. Paton, A Text Book of Jurispudence, Clarendon Press, Oxfod, , 1975, hlm. 155. 71

Suyadi, Kemungkinan Kontra Legem dalam Pembagian Harta Bersama ( terhadap Pasal 97 KHI

)”, Makalah disampaikan untuk artikel Badilag, dibuat di Tulungangung, 31 Juli 2012. 72

R. Soepomo, Hukum Acara Pedata ( Cetakan Keenambelas), Pradnya Paramita, Jakarta, 2006,

hlm. 13. 73 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta,

1993, hlm. 10

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

acara perdata khususnya merupakan satu faktor penghambat jalannya

peradilan.74

Di samping itu, hukum acara perdata dapat berfungsi

sebagai alat untuk memberi perlindungan kepada para pencari

keadilan, seperti yang dikemukakan oleh Fauzan:75

“ jika hakim dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai

dengan hukum acara perdata, maka hakim akan terhindar dari

tindakan sewenang-wenang dalam mengendalikan dan

melaksanakan persidangan, karena pada dasarnya hukum acara

perdata ingin melindungi pencari keadilan dengan menempatkan

kedua belah pihak sama di hadapan hukum.”

Berdasarkan bunyi Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman, pengadilan perdata, memeriksa, mengadili dan

memutus perkara yang diajukan kepadanya harus dengan sekurang-

kurangnya tiga orang hakim, yang terdiri dari seorang hakim ketua

dan yang lainnya sebagai hakim anggota dan dibantu oleh seorang

panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan

panitera kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dilihat dari

tata letak atau susunan persidangan, maka pemeriksaan perkara

perdata mensyaratkan agar kedua belah pihak duduk saling

berhadapan , yaitu antara penguggat dengan tergugat. Dalam judul

gugatan, penggugat dan tergugat saling dilawankan yang dikenal

dengan sistem adversari (adversary system). Berbeda dengan

perkara pidana yang sifatnya aquisiator di mana terdakwa tidak

duduk saling berhadapan dengan jaksa penuntut umum. 76

Sistem adversari yang dikenal dalam perkara perdata ini

disebabkan karena dalam perkara perdata kedudukan para pihak

yang berperkara adalah sama, sehingga dalam beracara di

persidangan, para pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam

74

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Ketujuh), Liberty,

Yogyakarta, 2006, hlm. 6, 75

Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’yah di Indonesia

(Edisi Pertama), Kencana Penada Media, Jakarta, 2007, hlm. viii. 76

Elisabeth Nurhaini Butarbutar , Konsep Keadilan dalam Sistem Peradilan Perdata, Mimbar

Hukum Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, hlm. 364.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

proses jawab menjawab dan dalam proses pemeriksaan alat-alat

bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesempatan yang sama ini

juga berkaitan dengan kesempatan untuk dimenangkan dalam

perkara bergantung kepada pembuktian terhadap dalil-dalil yang

dikemukakan para pihak. Dalam perkara pidana yang

berkepentingan adalah penuntut umum sehingga yang harus

membuktikan adalah Jaksa Penuntut Umum.

Asas sidang terbuka untuk umum yang diterapkan di

Indonesia juga diterapkan di Amerika Serikat. Leonidas Ralp

Mecham dalam bukunya menyampaikan sebagai berikut.

“With certain very limited exceptions, each step of the federal

judicial process is open to the public. Federal courthouses are

designed to inspire in the public a respect for the tradition and

purpose of the American judicial process, and many courthouses

are historic buildings.

A citizen who wishes to observe a court in session may go

to a federal courthouse, check the court calendar, which is posted

on a bulletin board or television monitor, and watch any

proceeding. Anyone may review the file and papers in a case by

going to the clerk of court’s office and asking to review or copy the

appropriate case file.”77

2. Kompetensi Absolut Peradilan Agama.

a. Kompetensi dan Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia.

Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi

pembangunan hukum nasional akan tetapi juga bagi umat Islam di

Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, dengan disahkannya undang-

undang yang mengatur eksistensi peradilan agama, maka semakin

kokohlah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman di Indonesia yang mandiri dalam menegakkan

hukum Islam yang pada saat itu hanya berwenang untuk menangani

perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf

77

Leonidas Ralp Mecham, The Federal Court System in United States, Administrative Office of

the US Court, Washington, 2001, hlm. 11.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

dan sadaqah. Selain itu, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 19 Desember 1989

tersebut membuat perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam

lingkungan Peradilan Agama antara lain sebagai berikut:78

1) Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya

benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum,

Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

2) Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara

Peradilan Agama telah sama dan seragam di seluruh Indonesia.

Terciptanya unifikasi Hukum Acara Peradilan Agama itu akan

memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum

yangberintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

3) Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan,

antara lain, memberikan hak yang sama kepada isteri dalam

berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan

Agama

4) Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah

hukum Islam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku

dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional. Disamping itu

dengan disahkannya Undang-undang Peradilan Agama ini.

5) Terlaksanalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman, terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat

(1) mengenai kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum)

acaranya.

6) Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan

nusantara sekaligus berwawasan bhinneka tunggal ika dalam

bentuk Undang-Undang Peradilan Agama.

78

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 77-278.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

Kompetensi absolut pengadilan agama diatur pada Bab III UU No.

7/1989 dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat dan hibah yang

dilakukan berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf dan shadaqah. Dalam

Penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, Pasal 49 ayat (1) di

atas dinyatakan cukup jelas.

Hukum acara yang dipergunakan oleh pengadilan agama diatur

dalam Bab IV Undang-undang Peradilan Agama. Bagian pertama

mengatur hal-hal yang bersifat umum. Di antaranya disebutkan bahwa

hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah

diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal yang diatur secara

khusus dalam UU No. 7/1989, disebutkan dalam bagian kedua yaitu

pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a) cerai talak

yang datang dari pihak suami, (b) cerai gugat yang datang baik dari

pihak isteri maupun dari pihak suami, dan (c) cerai dengan alasan

zina.

Kemudian, pada tanggal 20 Maret tahun 2006 diundangkan

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal I

angka 37 dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 49 (Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang 1) perkawinan, 2) waris, 3) wasiat, 4)

hibah, 5) wakaf, 6) zakat, 7) infak, 8) Sedekah; dan 9) ekonomi syari’ah.

Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara bidang ekonomi

syariah merupakan kewenangan baru di Pengadilan Agama. Pada

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

penjelasan Pasal I angka 37 huruf i. dijelaskan bahwa “yang dimaksud

dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : 1) bank

syariah, 2) lembaga keuangan mikrosyariah, 3) asuransi syariah, 4)

reasuransi syariah, 5) reksadana syariah, 6) obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah, 7) sekuritas syariah, 8)

pembiayaan syariah, 9) pegadaian syariah, 10) dana pensiun lembaga

keuangan syariah; dan 11) bisnis syariah.

Selain penambahan kewenangan absolut, asas personalitas

keIslaman pada peradilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mengalami ekstensi

makna. Maksud yang yang dikandung dalam asas ini semakin meluas

menjadi seperti berikut:79

1) Pihak-pihak yang bersengketa beragama Islam.

2) Pihak-pihak yang bersengketa juga termasuk orang atau badan

hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela

kepada hukum Islam.

3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan pihak-pihak

tersebut berdasarkan hukum Islam.

4) Perkara-perkara yang disengketakan terbatas pada bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan

ekonomi syariah

b. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama di Indonesia.

Eksistensi pengadilan agama di Indonesia berikut dengan

kewenangan mengadili perkara-perkaranya tidak bisa dilepaskan dari

pendekatan sejarah tentang keberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Ketika orang Belanda sampai di Nusantara abad ke 16 dan 17 Masehi,

mereka menemukan beberapa kerajaan besar atau kecil yang tersebar

di berbagai pelosok, terutama kerajaan-kerjaan Islam di wilayah

79

Abd. Shomad, Op.Cit., hlm. 209-210

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

pesisir.80

Sebuah negara bagaimanapun kecilnya pasti diatur

berdasarkan hukum tertentu, tidak terkecuali keadaan Indonesia pada

masa itu, dan sebuah kenyataan pula bahwa mayoritas penduduk

nusantara beragama Islam.

Berdasarkan kenyataan ini maka beranjak dari teori receptio in

complexu81

yang diramu oleh L.W.C. van den Berg, pemerintah

jajahan Belanda menyatakan bahwa hukum Islam tanpa membedakan

apakah mereka merupakan muslim yang taat atau bukan.

Kebijakan pemberlakuan hukum Islam kepada ummat Islam ini

masih diperhatikan oleh pemerintah jajahan sampai kemudian

80

Kerajaan-kerajaan Islam muncul di beberapa daerah di Nusantara. Di Sumatera muncul

kerajaan diantaranya: Samudra Pasai, Perlak, Siak Sriindrapura, Pidie, Aceh, Jambi, Deli

Serdang, Langkat, Tanjungpura. Di Jawa seperti di Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan

Banten. Di Madura di Arosbaya, Bangkalan, Sampang, dan Sumenep, sedang di Kalimantan

muncul Kerajaan Banjar dan Kutai. Di Sulawesi muncul kerajaan Gowa Tallo, Bone, Luwu

dan Sindereng, Wajo dan Sopeng. Di Maluku Kerajaan Ternate, Tidore, Hitu, Jailol, dan

Bacan, sedang di Nusa Tenggara muncul kerajaan Bima.

Lihat : Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam Katholik-Protestan di Indonesia,

Usaha Nasional,. Surabaya, 1987, hlm. 34-35 dalam Abd. Shomad, ibid.

Pengadilan agama pada tingkat pertama dan tingkat banding yang ada pada sekarang ini,

dahulu memiliki nama yang berbeda-beda, antara lain Pengadilan Agama, Mahkamah

Syar’iyah, Kerapakatan Qadi, Mahkamah Islam Tinggi, Mahkamah Syar’iah Propinsi dan

Kerapatan Qadi Besar. Untuk penyatuan nama yang berbeda-beda itu, dengan Surat Keputusan

Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980, dilakukan penyeragaman nama-

nama tersebut. Dengan demikian, Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan sebagian

Kalimantan Timur, Mahkamah Syari’ah di Luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan

Timur itu, disebut Pengadilan Agama, suatu nama yang sudah terkenal dalam lingkungan

peradilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama di Jawa dan Madura. Mahkamah Syari’ah

Propinsi dan Kerapatan Qadi Besar, diseragamkan pula namanya dengan Pengadilan Tinggi

Agama, nama baru sebagai pengganti nama Mahkamah Islam Tinggi yang berfungsi sebagai

pengadilan banding atas perkara-perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama, seperti

yang terdapat di Jawa.

Lihat: Mohammad Daud Ali, Op.Cit. hlm. 224-225 81 Teori Receptio in Complexu ini menyatakan bahwa selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,

hukum pribumi ikut agama, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukumhukum

agama itu dengan setia. Jika suatu masyarakat memeluk suatu agama tertentu, maka hukum

adat masyarakat itu adalah hukum agama yang dipeluknya. Iika ada hal-hal yang menyimpang,

maka dianggap sebagai perkecualian atau penyimpangan dari hukum agama yang telah

ditemukan dalam keseluruhan. Cikal bakal teori ini dari pendapat Solomon Keyzer dan

didukung oleh LWC Van den Berg. Lihat : Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan

Hukum Adat dan Hukum Islam, Academica, Jakarta, 1980 dalam Abd. Shomad, ibid, hlm. 211.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

Christian Snouck Hurgronje82

memperkenalkan istilah adat recht

(hukum adat) pada tahun 1983. Dari penelitiannya di Aceh, Snouck

berkesimpulan bahwa hukum Islam yang diberlakukan di Aceh

tidaklah hukum Islam murni, akan tetapi hukum Islam yang telah

diterima oleh hukum Adat. Dari sini kemudian ia terkenal dengan

teori receptie yang ia kemukakan bahwa hukum Islam yang dapat

diberlakukan oleh pemerintah hanyalah hukum Islam yang telah

diresepsi oleh hukum adat setempat.83

Teori receptie mendapat tanggapan serius dari Hazairin84

yang

menyatakan bahwa teori Snouck bersifat tendensius dengan maksud

82 Christian Snouck Hengronje, lahir pada tahun 1857 dan meninggal tahun 1936, adalah seorang

ahli bahasa, seorang doktor bahasa-bahasa timur dan Islam, pernah menjabat sebagai Adviseur

voor Arabische-en Islamitische Zaken, menggabungkan studi bahasa Arab dan Islam dengan

tekanan khusus pada Hukum Islam di satu pihak dengan perhatiannya pada Islam kontemporer

di Hindia Belanda, atau dalam arti luas, linguistik dan, antropologi Hindia Belanda bahkan

politik kolonialisme. Dia memasuki Makkah dengan nama samaran Abdul Gaffar untuk

mempelajari agama Islam pada tahun 1884-1885, dengan menyamar sebagai dokter mata dan

tukang potret. Pada saat belajar Islam di Makkah banyak bergaul dengan orang Jawa terutama

di sebuah Hotel Aceh di pusat kota Mekkah, yang membawa pada pengenalan tentang lembaga

hukum adat di Indonesia. Sesudah diusir dari Makkah kemudian ditempatkan di Hindia

Belanda. Dan berkeliling Pulau Jawa selama tahun 1889-1891 untuk mengumpulkan bahan-

bahan mengenai pendidikan agama Islam di Jawa, dan juga mendapatkan bahan-bahan tentang

hukum adat. Pada tahun 1875 muncul pemberontakan Aceh yang menyebabkan Christian

Snouck Hurgronje pada tahun 1889 diangkat menjad' kepala kantor yang baru didirikan, kantor

Penasihat Urusan Arab dan Islam (Adviseur voor Arabische-en Islamitische Zaken) hingga

tahun 1906, dan sekalipun ia telah kembali ke negeri Belanda ia tetap masih menjadi penasihat.

Lihat : Abd. Shomad, ibid. hlm. 214, 83

John Ball mengemukakan pendapat bahwa apa yang dimaksud hukum Adat tidak memiliki

makna tunggal. Ia kadang-kadang dimaksudkan sebagai “the native customs and uses” ( adat

istiadat dan kebiasaan asli), atau “ the religious law, institutions and customs” (adat istiadat,

kelembagaan dan hukum-hukum keagamaan), “the religious laws or customs” ( hukum-hukum

keagamaan dan adat istiadat) dan lain-lain.

Lihat : John Ball, Indonesian Law at the Crossroad: Commentary and Materials, Oughtershaw

Press, Sydney, 1996, hlm. 1,3.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum Adat yang dimaksud adalah hukum lokal

Nusantara yang dipengaruhi oleh berbagai unsur yang diberlakukan oleh penduduk bumi

putera sewaktu Belanda sampai di Indonesia. 84 Teori ini dikritik Hazairin dengan teori receptie exit, maksudnya adalah bahwa teori receptie

harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta

bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Pada tahun 1950 dalam Konferensi

Departemen Kehakiman di Salatiga, Hazairin, mengarahkan suatu analisa dan pandangan agar

hukum Islam itu berlaku di Indonesia, tidak berdasar pada hukum adat. Berlakunya hukum

Islam untuk orang Indonesia supaya disandarkan pada penunjukan peraturan perundang-

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

menelantarkan hukum Islam yang sudah berlaku di kalangan

penduduk pada masa itu. Sebagai seorang islamolog, Snouck tahu

betul tentang posisi hukum Adat dalam konteks hukum Islam, tetapi ia

sengaja menggunakan pengertian baru sama sekali untuk mengalihkan

perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk.

Karena itu, Hazairin sering menyebut teori receptie adalah teori iblis,

yaitu makhluk halus iblis yang mempunyai tabiat menyesatkan

manusia dengan tipu muslihatnya.85

Hazairin cukup beralasan karena

Snouck Hurgronje sebenarnya adalah seorang ateis yang pernah

menjadi intel Belanda dan menyamar sebagai seorang muslim di

Makkah dengan nama ‘Abdul Ghafar.86

Teori hukum Adat selanjutnya dikembangkan oleh Cornelis van

Vollenhoven yang membagi wilayah Nusantara kepada beberapa

wilayah Nusantara kepada beberapa wilayah hukum Adat. Ia telah

berusaha keras mengkodifikasi hukum Adat dari berbagai wilayah di

Indonesia dengan maksud akan menjadikannya sebagai hukum

penduduk bumi putera, tetapi bahkan sampai ke masa pendudukan

Jepang pada tahun 1942, upaya ini tidak pernah berhasil karena tidak

mendapatkan dukungan penuh pemerintahan jajahan.87

Sungguhpun

undangan sendiri. Sama seperti hukum adat selama ini yang dasar memperlakukan hukum adat

itu sendiri ialah berdasarkan sokongan peraturan perundang-undangan. Dalam bukunya tentang

Hukum Kekeluargaan Nasional, Hazairin berpandangan bahwa teori receptie Christian Snouck

Hurgronje itu sebagai teori iblis. Ungkapan Hazairin ditujukan pula kepada tidak sahnya lagi

Pasal 134 (2) IS, dijadikan dasar pengaturan hukum di Indonesia. Kritik lain diantaranya

dilakukan Sayuti Thalib melalui teori yang disebutnya Teori Receptio a Contrario-nya.

Lihat: Abd. Shomad, ibid, hlm. 218. 85

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 97 86

P.S.J. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam, terjemahan dari Acht artkelen over

leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, Grimukti Pustaka, Jakarta, 1989

dalam Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer: Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan,

Malaysia dan Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 2009, hlm. 113 87

Peter Burns dalam disertasinya mengupas secara luas tentang upaya Van Vallenhoven

memperjuangkan teorinya, yang oleh Burns disebut sebagai “The Leiden Legacy”. Ia antara

lain menyimpulkan : “The body of Von Vollenhoven, like that John Brown, may lie . . . a

moldering in the grave, but his influence, like the soul of the slave-saving rebel, still marches

on... ( despite his great personal values), Van Vallenhoven marches – as his latter day

followers still march – steadly and with great confidence, in a wrong direction.” ( Mayat Van

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

demikian, Van Vallenhoven, Ter Haar dan para penganjur hukum

hukum Adat yang lain dari kalangan bangsa Belanda mempunyai

murid-murid sampai ke zaman kemerdekaan dari kalangan orang-

orang Indonesia sendiri, dan sampai sekarang, hukum Adat masih

tetap dipandang sebagai salah satu unsur hukum nasional Indonesia.

Ini di samping unsur-unsur lain yang terdiri dari hukum Islam dan

hukum warisan kolonial Belanda. Malah di zaman kemerdekaan,

unsur-unsur hukum Indonesia tidak hanya terdiri dari perundang-

undangan warisan kolonial, hukum Islam dan hukum Adat, tetapi juga

perundang-undangan yang mengambil aspirasi dari perundang-

undangan Barat modern, terutama bidang hukum ekonomi dan HAM.

Sejarah tentang pembentukan pengadilan agama di Indonesia,

Mohammad Daud Ali menulis bahwa selain pemikiran dari LWC van

den Berg, pemikiran Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua

Komisi Penyesuaian Undang-Undang (kodifikasi hukum) Belanda

dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda sekitar pertengahan abad

XIX (1828) juga mempengaruhi lahirnya Pengadilan Agama dan

penentuan wewenang lainnya pada masa tersebut. Menurut pendapat

Paul Scholten, “Untuk mencegah perlawanan dari ummat Islam,

karena hukum anak negeri dan agama Islam dilanggar, haruslah

diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar orang-orang pribumi yang

beragama Islam dapat tetap tinggal di lingkungan hukum agama dan

adat istiadat mereka”.

Pendapat van den Berg dan Paul Scholten yang didasarkan pada

kenyataan yang ada dan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat bumiputera yang beragama Islam itulah yang mendorong

Vallenhoven adalah seperti mayat John Brown, barangkali terbaring ... hancur luluh di

kuburan, tetapi pengaruhnya adalah seperti pemberontak penyelamat budak masih

bergentayangan ... ( di samping nilai pribadinya yang agung). Van Vallenhoven

bergentayangan, seperti juga para pengikut terakhirnyta masih bergentayangan, dengan

tangguh dan percaya diri yang besar, dalam sebuah arah yang salah).

Lihat: Peter Burns, The Leiden Legacy: Concept of Law in Indonesia, KITLV Press, Leiden,

2004, hlm. 253.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

lahirnya Staatsblad 1882:152 yang memuat penetapan raja Belanda

tentang priesterrad atau raad agama atau pengadilan agama di Jawa

dan Madura. Karena dalam S. 1882: 152 itu tidak disebutkan dengan

jelas wewenang pengadilan agama, maka pengadilan agama itu sendiri

yang menetapkan perkara-perkara yang dipandangnya masuk ke

dalam lingkungan kekuasaannya yakni perkara-perkara yang

berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar,

nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sadaqah,

baitulmal dan waqaf. Dengan kata lain, pengadilan, yang menjadi

wewenang Pengadilan Agama pada waktu itu adalah hal-hal yang

berhubungan dengan hukum perkawinan dan hukum kewarisan dan

wakaf. Penentuan wewenang ini adalah kelanjutan praktek peradilan

dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam sejak zaman

kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya yang dilanjutkan terus di zaman

VOC. Dalam hubungan ini, dapat dikemukakan bahwa, menurut

perkiraan, peradilan agama (dalam bentuknya yang sederhana) telah

ada di Indonesia sejak agama Islam masuk dan membentuk

masyarakat Islam di Nusantara. Dilihat dari sudut pandang ini, S.

1882:152 yang mengatur pengadilan agama di Jawa dan Madura itu

sesungguhnya adalah pengakuan resmi dan pengukuhan sesuatu yang

telah ada dalam masyarakat. Ini berarti pula bahwa Pengadilan agama

pada waktu itu sengaja didirikan, untuk memenuhi kebutuhan hukum

orang Indonesia yang beragama Islam.88

Teori resepsi yang berusaha menyingkirkan eksistensi hukum

Islam dari kehidupan hukum orang Islam Indonesia, ketika Regerings

Reglement (RR) tahun 1854 diubah menjadi Indische Staatsregeling

(IS) atau Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda pada tahun 1925,

dimasukkan ke dalam “Undang-Undang Dasar Hindia Belanda” itu

dan dicantumkan dalam Pasal 134 ayat (2). Isi Pasal 134:2 IS ini ini

kemudian ditampung oleh S. 1937 No. 116 yang berisi peraturan yang

88

Mohammad Daud Ali, Op.Cit, hlm. 226-227

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

mencabut wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara warisan di

Jawa dan Madura. Mengenai lembaga pengadilan agamanya sendiri,

karena sudah terlanjur terbentuk, Snouck Hurgronje menasihatkan

kepada pemerintahnya agar dibiarkan saja berjalan sendiri, dengan

harapan kalau tidak kuat lagi akan berhenti dan mati.

Karena pengaruh teori dan penganut teori resepsi, pada tahun 1922,

pemerintah (Hindia) Belanda membentuk komisi yang bertugas

meninjau kembali kewenangan Raad atau pengadilan agama yang

didirikan tahun 1882 tersebut dalam hal kewenangan mengadili

perkara kewarisan menurut hukum Islam. Komisi yang dikuasai oleh

ter Haar, penganut berat teori resepsi, menyarankan kepada

pemerintah (Hindia) Belanda untuk meninjau kembali wewenang

Pengadilan Agama dengan membatasinya pada bagian-bagian hukum

Islam yang benar-benar telah diterima oleh dan menjadi hukum adat.

Oleh karena hanya hukum perkawinan Islam yang dianggap telah

diterima oleh hukum adat, maka wewenang pengadilan agama

hanyalah mengenai dan di sekitar hukum perkawinan saja. Karena

hukum kewarisan dipandang belum merupakan kenyataan hukum

dalam masyarakat bumiputra yang beragama Islam di Jawa dan

Madura, melalui S. 1937 No. 116 tersebut diatas dinyatakan bahwa

Pengadilan Agama tidak berwenang lagi mengadili perkara kewarisan

menurut hukum Islam. Kemudian sejak 1 April 1937 beralihnya

wewenang mengadili perkara kewarisan menurut hukum Islam dari

Raad Agama atau Pengadilan Agama ke Landraad atau Pengadilan

Negeri yang memeriksan dan memutus perkara kewarisan menurut

hukum adat (setempat). Sejak itu, pada masa itu wewenang

pengadilan agama di Jawa dan Madura hanyalah mengenai soal

perkawinan dan perceraian saja.

Walaupun secara resmi pengadilan agama telah kehilangan

kekuasaannya atas perkara kewarisan sejak tahun 1972, namun

demikian, menurut Daniel S. Lev, Pengadilan Agama di Jawa masih

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

tetap menyelesaikan perkara-perkara kewarisan dengan cara-cara yang

sangat mengesankan. Dalam kenyataannya, banyak pengadilan agama

menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu khusus untuk

menerima masalah-masalah kewarisan. Di beberapa daerah,

pengadilan agama bahkan menerima perkara kewarisan lebih banyak

dari pengadilan negeri. Sementara itu, perlu ditambahkan pula bahwa

sudah sejak lama (di Jawa) fatwa waris Pengadilan Agama diterima

oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat bukti sah

sebagai hak milik dan tuntutan berkenaan dengan hak milik itu.

Demikian pula dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.

Rifyal Ka’bah berpendapat bahwa dari sudut politik hukum Islam,

di Indonesia terdapat dua kecenderungan dari awal kemerdekaan

sampai sekarang di kalangan ahli hukum, terutama hukum Islam.

Kecenderungan pertama adalah hukum Islam berlaku untuk warga

yang beragama Islam, dan kecenderungan kedua adalah bahwa

substansi hukum Islam masuk ke dalam perundang-undangan

Indonesia tanpa label Islam sehingga mengikat kepada semua warga

negara tanpa melihat agamanya. Misalnya substansi hukum pidana,

perdata dan ekonomi Islam menjadi bagian yang integral dari hukum

pidana, perdata dan ekonomi Islam menjadi bagian yang integral dari

hukum pidana, perdata dan ekonomi nasional Indonesia tanpa

menyatakan bahwa substansi ini sebagai substansi hukum Islam.

Kedua kecenderungan ini mengemuka dalam perkembangan hukum

Islam di Indonesia sejak awal proklamasi kemerdekaan sampai

sekarang.89

89

Pendekatan seperti ini antara lain didukung oleh Padmo Wahjono. Beliau antara lain

menyatakan: “ Memasukkan budaya hukum Islam, maka kita dihadapkan kepada dua

kemungkinan : (a) mengenai hukum positif Islam, sehingga kita terbatas memasalahkan hukum

yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam, atau (b) mengenai nilai-nilai hukum Islam,

yang akan dapat berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk

termasuk yang bukan warga negara. Kedua alternatif ini dapat mempengaruhi pembentukan

hukum nasional di masa yang akan datang.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

Istilah syariah masuk pertama kali ke dalam khazanah hukum

Indonesia melalui UU No. Tahun 1998, Undang-Undang yang

merevisi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan di mana diyatakan

dalam Pasal 1 ayat (12) tentang pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah. Dalam pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang

dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum

Islam. Jadi istilah syariah disini disamakan dengan hukum Islam.

Istilah syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UU

No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh

sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal ini mengatur

tentang Peradilan Syariat Islam dengan nama Mahkamah Syariyah

dengan kewenangan berdasarkan Syariat Islam dalam sistem hukum

nasional yang diatur secara khusus dengan Qanun Aceh sebagai Perda

(Peraturan Daerah) khusus otonomi Aceh.

Mahkamah Syariah atau Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD

adalah Pengadilan Agama plus dengan kewenangan melebihi

pengadilan agama di propinsi-propinsi lain berdasarkan Qanun. Di

propinsi-propinsi lain, kewenangan pengadilan agama terbatas dalam

tujuh bidang seperti diatur dalam Pasal 49 UU No. 3/2006 jo. 50/2009,

tetapi sesuai UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, di

Aceh meliputi bidang yang luas sekali, yaitu ibadah, hukum keluarga

(al-ahwal ash-shakhsiyyah), hukum perdata (al-mu’amalah), hukum

pidana (al-jinayah), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan),

dakwah, syiar dan pembelaan Islam, yang akan diterapkan

berdasarkan Qanun (Pasal 125 ayat 1, 2 dan 3). Dengan berlakunya

Undang-Undang tersebut, pengertian Syariat Islam di Aceh kembali

kepada makna asalnya, yaitu sebagai agama Islam itu sendiri atau

sebagai the right way of religion menurut pemahaman Abdullah Yusuf

Lihat : “Padmo Wahjono,”Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di

Masa Datang”, dalam Amrullah Ahmad et. al. (eds), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka

Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama,

Jakarta, 1994, hlm. 241.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

Ali.90

Syariat dengan pengertian luas seperti ini tidak hanya

menyangkut aspek hukum dari agama Islam, sebagai fiqh dalam

pengertian yang lazim, tetapi keseluruhan agama Islam.

Kembali kepada kompetensi absolut pengadilan agama, Pasal 49

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU

No. 51 Tahun 2009 , menyatakan bahwa salah satu kewenangan

peradilan agama adalah memutus sengketa dalam bidang ekonomi

syariah. Hukum ekonomi syariah dimaksud meliputi sebelas jenis,

yaitu a. bank syariah; b. lembaga keuangan makro syariah; c. asuransi

syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah

dan surat berharga berjangka menengan syariah; g. sekuritas syariah,

h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga

keuangan syariah; dan k. Bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis

hukum ekonomi syariah ini berarti hampir seluruh cakupan fiqih

mu’amalat dalam syariat Islam telah menjadi hukum positif di

Indonesia.

3. Tinjauan tentang Kepailitan dan Pengadilan Niaga.

a. Definisi Kepailitan.

Berdasarkan tata bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal

yang berhubungan dengan pailit,91

sedangkan secara etimologi, istilah

kepailitan berasal dari kata “pailit”.92

Istilah “pailit” juga ada dalam

perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin, dan Inggris namun

dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda, pailit

berasal dari istilah “failiet” yang mempunyai arti ganda, yaitu selain

sebagai kata benda, juga sebagai kata sifat. Dalam bahasa Prancis,

90

Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary, Amana

Corporation, Maryland, 1409/1989 hlm. 1297 91

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2000, hlm. 11 92

Victor Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka

Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti pemogokan atau

kemacetan melakukan pembayaran, sehingga orang yang mogok atau

berhenti membayar utangnya dalam bahasa Prancis dinamakan “le

failit”,93

dalam bahasa Inggris diterjemahkan “failure” yang berarti

gagal, dan dalam bahasa Latin disebut “fallire”94

Pada negara–negara

yang menggunakan bahasa Inggris, pengertian pailit mempergunakan

istilah "bankrupt" atau "bankruptcy", yang dalam Black’s Law

Dictionary memiliki pengertian sebagai:95

.

"The state or condition of a person (individual, partnership,

corporation, municipality) who is unable to pay its debts as they are,

or became, due". The term includes a person against whom an

involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary

petition, or who has been adjudged a bankrupt."96

Black’s Law Dictionary tersebut, menjelaskan pailit sebagai

ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-

utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus

disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang

dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri maupun atas permintaan

pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke

pengadilan.97

Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia,

“pailit” artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya menderita kerugian

besar hingga jatuh (perusahaan, toko dan sebagainya). Secara normatif,

pengertian kepailitan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Kepailitan menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan 93

Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, Hak Kreditur Separatis Dalam Mengeksekusi

Benda Jaminan Debitur Pailit, LaksBang, Yogyakarta, 2011, hlm. 63 94

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1994, hlm. 28 95

Siti Soemaryati Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberti,

Yogyakarta, 1981, hlm. 4. Lihat juga Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di

Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 11 96

Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 100 97

Kartini Mulyadi, Hukum Kepailitan, Putra Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 143.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana

diatur dalam undang-undang ini.

Dalam hal debitur tidak membayar utang yang jatuh tempo, maka

perlu ada mekanisme yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan

efektif. Pada posisi ini, lembaga kepailitan berfungsi sehingga dapat

memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk

mengupayakan penyelesaian secara adil,98

yaitu perangkat hukum

yang melindungi kepentingan kreditur untuk mendapatkan kembali

hak-haknya sekaligus melindungi debitur dari cara-cara penyelesaian

yang tidak wajar dan bertentangan dengan ketentuan hukum dan

Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Demikian pula, Sri

Redjeki Hartono menyampaikan bahwa Lembaga Kepailitan

memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam

keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Lembaga

Kepailitan mencegah atau menghindari dua hal berikut, yang

keduanya merupakan tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat

merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi massal oleh

debitur atau kreditur dan mencegah terjadinya kecurangan oleh debitur

sendiri.99

.

Sesungguhnya KUHPerdata juga telah mengatur perihal kepailitan,

yaitu dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal

1131 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berhutang,

baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan, dan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan

bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua

orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-

benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar

98

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 2. 99

Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum

Bisnis Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hlm. 22

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua

Pasal tersebut pada dasarnya telah mengatur tentang pemberian

jaminan kepastian kepada kreditur bahwa debitur berkomitmen untuk

tetap memenuhi kewajibannya, dan komitmen tersebut dijamin dengan

kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada

di kemudian hari. Pasal 1131 KUHPerdata mengandung asas bahwa

setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab

mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun

benda tidak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya

(asas schuld dan haftung),100

sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata

mengandung asas bahwa dengan demikian setiap kreditur memiliki

kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya (asas paritas

creditorum), kecuali ditentukan undang-undang karena memiliki

alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur

lainnya.101

Sudut pandang sejarah menyatakan bahwa hukum kepailitan yang

semula berlaku di Indonesia adalah Faillissement Verordening atau

Peraturan Kepailitan yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No.

217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No.348. Pada saat terjadi krisis

moneter pada tanggal 22 April 1998, Pemerintah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

tentang Kepailitan atau Peraturan Kepailitan (selanjutnya disebut

Perpu PK) yang mulai berlaku tanggal 20 Agustus 1998, yaitu 120

hari sejak diundangkan. Kemudian pada tanggal 9 September 1998,

Perpu PK tersebut ditetapkan menjadi undang-undang melalui

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang

100

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 1998, hlm. 5. 101

Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 2000,

hlm. 32.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

Penetapan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, yang mana

dalam ketentuan Pasal 1 bagian akhir dari undang-undang ini,

dinyatakan bahwa Perpu PK selanjutnya dilampirkan dan menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini dan disebut

sebagai Undang-Undang Kepailitan. Selanjutnya, pada tanggal 18

Oktober 2004 Indonesia telah memiliki perangkat hukum terbaru

dibidang kepailitan yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dinyatakan mulai

berlaku pada tanggal diundangkan.

b. Konsep Kepailitan.

Konsep kepailitan didasari pada satu hal utama yang menjadi

pokok dapat terjadinya kepailitan yaitu mengenai utang. Tanpa

adanya utang, maka kepailitan akan kehilangan esensinya sebagai

pranata hukum untuk melikuidasi harta kekayaan debitur guna

membayar utang-utangnya kepada para krediturnya.102

Secara umum dapat diklasifikasikan konsep dasar kepailitan

sebagai berikut:103

1) Debt collection.

Debt collection merupakan konsep pembalasan dari kreditur

terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap

debitur atau harta debitur.

2) Debt forgiveness.

Debt forgiveness dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption

(beberapa harta debitur dikecualikan terhadap budel pailit), relief

from imprisonment (tidak dipenjara karena gagal membayar

102

M. Hadi Shubhan, Op.Cit, hlm. 34. 103

Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo, 2005, Undang – undang Kepailitan dan Perkembangannya

: Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah – masalah Kepailitan dan Wawasan

Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, (Cetakan 2 ), Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005, hlm.

xix.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

utang), moratorium (penundaan pembayaran untuk jangka waktu

tertentu), dan discharge of indebtedness (pembebasan debitur

atau harta debitur untuk membayar utang pembayaran yang

benar – benar tidak dapat dipenuhinya)

3) Debt adjusment.

Debt adjusment merupakan hak distribusi dari para kreditur

sebagai suatu grup, dengan menerapkan prinsip pro rata

distribution atau structured prorata (pembagian berdasarkan

kelas kreditur) serta reorganisasi serta Penundaan Kewajiban

Pembayaran utang (PKPU).

Dari pengklasifikasikan konsep dasar kepailitan tersebut,

maka pada dasarnya kepailitan berkenaan dengan

"ketidakmampuan untuk membayar" dari debitur atas utang-

utangnya yang jatuh tempo. Atas ketidakmampuan tersebut,

perlu dilakukan pengajuan permohonan pernyataan pailit ke

pengadilan niaga, baik oleh kreditur maupun secara sukarela

oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan orang lain atau

pihak ketiga.

Warren dalam bukunya Bankruptcy Policy mengemukakan sebagai

berikut:104

“In bankruptcy, with an inadequate pie to divide and the looming

discharge of unpaid debts, the disputes center on who is entitled to

shares of the debtor’s assets and how these shares are to be divided.

Distribution among creditors is no incidental to other concerns; it is

the center of the bankruptcy scheme.”

Berkenaan dengan pendapat tersebut, Emmy Yuhassarie dan Trie

Harwono berpendapat bahwa intinya hukum kepailitan (bankruptcy

law) adalah “a debt collective system”, walaupun bankruptcy bukan

satu-satunya “debt collection system.” Sehingga tujuan kepailitan

adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua

104

Epstein et al., Bankruptcy, St. Paul, West Publishing Co., Minnesota, 1993, hlm. 2

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.105

Hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding,

dalam rangka mengatasi collective action problem yang timbul dari

kepentingan masing-masing kreditur. Artinya, hukum kepailitan

memberikan suatu mekanisme bagi para kreditur agar secara bersama-

sama dapat menentukan apakah sebaiknya perusahaan atau harta

kekayaan debitur diteruskan kelangsungan usahanya atau tidak, dan

dapat memaksa kreditur minoritas mengikuti skim karena adanya

prosedur pemungutan suara.

Sejalan dengan konsep kepailitan, dapat dinyatakan bahwa

beberapa tujuan dari hukum kepailitan yaitu diantaranya untuk:106

1) Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka

sehubungan dengan berlakunya asas jaminan;

2) Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para

kreditur sesuai dengan asas pari passu;

3) Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan kepentingan para kreditur;

4) Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya

untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai

restrukturisasi utangutang debitur.

c. Asas-Asas Hukum Kepailitan Indonesia.

Asas-asas hukum kepailitan di Indonesia terdiri dari:107

asas

keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, asas integrasi.

Sesuai asas keseimbangan tersebut, maka Undang-Undang Kepailitan

harus mampu mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga

kepailitan baik oleh debitur yang tidak jujur maupun kreditur yang

105

Emmy Yuhassarie dan Tri Harwono, Op.Cit., h. 96 106

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 29 – 31. 107

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia; Dualisme Kewenangan

Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.

75-76.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

tidak beriktikad baik. Adrian Sutedi menyampaikan bahwa: Undang-

Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang

bagi kreditur dan debitur, menjunjung keadilan dan memperhatikan

kepentingan keduanya, meliputi segi-segi penting yang dinilai perlu

untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat,

adil, terbuka, dan efektif.108

Mengenai asas kelangsungan usaha, Undang-Undang Kepailitan

perlu mengatur agar perusahaan debitur yang prospektif

memungkinkan untuk tetap dilanjutkan. Oleh karena itu permohonan

pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan terhadap debitur

yang insolvent, yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada

para kreditur mayoritas. Berdasarkan asas keadilan, hukum kepailitan

harus memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, sehingga, putusan

pernyataan pailit seharusnya berdasarkan persetujuan para kreditur

mayoritas, dan Undang-Undang Kepailitan harus mengkriminalisasi

kecurangan menyangkut kepailitan debitur. Berdasarkan asas

integrasi, maka hukum kepailitan, baik sistem hukum formil dan

hukum materiilnya merupakan bagian yang menyatu secara utuh

dalam sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.109

d. Syarat-Syarat Permohonan Kepailitan.

Mengenai syarat-syarat pernyataan pailit, saat ini di Indonesia

masih mengikuti hukum acara yang berlaku di pengadilan niaga

adalah hukum acara perdata yang berdasarkan atas HIR/RBG, kecuali

untuk hal yang ditetapkan lain oleh Undang-Undang Kepailitan.

Pengajuan permohonan pernyataan pailit harus memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan, karena apabila syarat-syarat

tersebut tidakdipenuhi, maka permohonan pernyataan pailit tersebut

tidak dikabulkan oleh pengadilan niaga.110

108

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 30. 109

Loc.Cit, hlm. 31 110

Loc.Cit, hlm. 52.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Kepailitan, dapat disimpulkan syarat-syarat pengajuan permohonan

pernyataan pailit adalah sebagai berikut:111

1) debitur yang diajukan harus memiliki lebih dari satu kreditur;

2) debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah

satu krediturnya

3) utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah

dapat ditagih (due and payable).

Berdasarkan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit

tersebut, maka dapat diuraikan sebagai berikut:112

1) Memiliki Dua Kreditur

Syarat keharusan adanya minimal dua atau lebih kreditur

yang dikenal sebagai concursus creditorum, sesuai dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dan ketentuan Pasal 1132

KUHPerdata,113

yang menentukan pembagian harta pailit kepada

para krediturnya secara teratur berdasarkan prinsip pari passu pro

rata parte. Dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar

Piutang yang harus ditagih oleh seorang kreditur dari debitur yang

bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi

kreditur dari debitur yang bersangkutan.114

Perihal syarat

sekurangnya dua orang kreditur merupakan suatu syarat mutlak

sebab jika hanya ada satu kreditur tidak perlu kepailitan karena

tidak perlu pengaturan pembagian hasil eksekusi harta pailit

kepada beberapa kreditur.115

Apabila seorang debitur hanya

memiliki satu orang kreditur, maka eksistensi dari UUKPKPU

kehilangan raison d’être-nya, sebab apabila diperkenankan

111

Ibid, hlm. 52. 112

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 141 113

Ibid, hlm. 107 114

Rachmadi Usman, Op. Cit hlm. 15. 115

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 65.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang

hanya memiliki seorang kreditur, maka sesuai ketentuan Pasal

1131 KUHPerdata, tidak perlu ada pengaturan mengenai

pembagian hasil penjualan seluruh harta kekayaan debitur yang

merupakan jaminan utangnya karena seluruh hasil penjualan

tersebut merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya

itu, sehingga tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan dan

perebutan terhadap harta kekayaan debitur karena hanya ada satu

orang kreditur.116

Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat

(1) UUKPKPU, maka yang dimaksud dengan kreditur adalah baik

kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen.

2) Harus Ada Utang

Syarat keadaan dimana seorang debitur berhenti membayar

atau tidak dapat membayar utang, dengan memperhatikan

ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-undang Kepailitan mengenai

pengertian utang. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata,

kewajiban atau utang dapat timbul dari perjanjian atau dari

undang-undang. Ada kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.117

Syarat ini dapat diartikan sebagai keadaan di mana debitur

tidak berprestasi lagi pada saat permohonan pernyataan pailit

diajukan ke pengadilan niaga, sehingga apabila debitur masih

dapat berprestasi pada saat permohonan pernyataan pailit diajukan

ke pengadilan, maka debitur yang bersangkutan belum berada

dalam keadaan berhenti membayar. Sidang pengadilan harus dapat

membuktikan berdasarkan fakta atau keadaan bahwa debitur tidak

berprestasi lagi, sehingga dirinya dikatakan berada dalam keadaan

tidak dapat membayar utang-utangnya.

116

Rudhy A. Lontoh, et.al., Op.Cit., hlm. 122 117

Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan

Harta Pailit (edisi revisi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 25

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

3) Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih.

Mengenai syarat “jatuh waktu dan dapat ditagih” berdasarkan

penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan

adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu

baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya

sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh

instansi berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter

atau majelis arbiter.118

Dengan demikian, syarat ini mengenai

utang yang sudah waktunya untuk dibayar, berdasarkan undang-

undang maupun perjanjian. Ketentuan ini menyatukan syarat utang

yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih.

Penyatuan tersebut ternyata dari kata “dan” di antara kata “jatuh

waktu” dan “dapat ditagih”,119

walau sebenarnya kedua istilah

tersebut berbeda pengertian dan kejadiannya.

Dengan demikian, kepailitan merupakan suatu proses, di mana

seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

membayar utangnya, dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal

ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat

membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para

kreditur, sesuai dengan peraturan pemerintah.120

e. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang

Kepailitan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang

berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan niaga

adalah sebagai berikut:

1) Debitur sendiri.

2) Seorang atau lebih kreditur.

118

Imran Nating, ibid hlm. 26 119

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 57. 120

Rudhy A. Lontoh, et.al., Op.Cit., hlm. 23.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

3) Kejaksaan, kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit untuk kepentingan umum dengan syarat bahwa ketentuan

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan terpenuhi dan

tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit

atas debitur itu.

4) Bank Indonesia, apabila debitur merupakan bank maka

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank

Indonesia

5) Bapepam, permohonan pernyataan pailit yang debiturnya

merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya

dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

Menteri Keuangan.

6) Menteri Keuangan, apabila debitur merupakan Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan

Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang

Kepailitan.

f. Tata Cara Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit.

Tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan

niaga diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang

Kepailitan sebagai berikut.

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh seorang debitur,

kreditur atau pihak lain ke pengadilan niaga dengan memenuhi

syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Permohonan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga

kemudian Panitera Pengadilan Niaga mendaftarkan permohonan

pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan

diajukan. Setelah permohonan pernyataan pailit itu didaftarkan maka

Panitera Pengadilan Niaga akan menyampaikan permohonan

pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Setelah itu,

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

pengadilan akan mempelajari permohonan pernyataan pailit tersebut

dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan

pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari

setelah tanggal permohonan didaftarkan namun sebelumnya juru sita

pengadilan niaga wajib melakukan pemanggilan para pihak terlebih

dahulu yaitu :

1) Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh

kreditur, Kejaksaan, Bapepam, Bank Indonesia atau Menteri

Keuangan;

2) Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh

debitur dan terdapat keraguan jika syarat untuk dinyatakan pailit telah

terpenuhi.

Apabila dalam sidang pemeriksaan terdapat fakta atau keadaan

yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan

pailit telah terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit tersebut harus

dikabulkan. Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana tersebut

adalah fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh

waktu dan tidak dibayar. Selama putusan pernyataan pailit belum

diucapkan, setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam atau

Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan

untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan

debitur dan menunjuk Kurator sementara (Balai Harta Peninggalan atau

orang yang ditunjuk pengadilan untuk mengurus dan membereskan

harta pailit) untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, pembayaran

kepada kreditur dan pengalihan kekayaan debitur. Putusan pernyataan

pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah

tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Hal ini merupakan

perwujudan dari asas peradilan cepat, murah dan sederhana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan

yaitu putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara

lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan

terlebih dahulu meskipun terhadap putusan atas permohonan pernyataan

pailit tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Dari rumusan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa putusan atas

permohonan pernyataan pailit mempunyai sifat “dapat dilaksanakan

terlebih dahulu” yang sering disebut dengan putusan serta-merta

(uitvoerbaar bij voorraad). Putusan serta-merta yaitu suatu putusan

yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu meskipun

putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

4. Ekonomi Syariah.

a. Hubungan antara Ekonomi dan Hukum Islam.

Kegiatan ekonomi, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan

keuangan syariah, dalam sistem ajaran Islam masuk dalam kategori

muamalah, yang merupakan bagian dari ibadah dalam arti luas. Relasi

kegiatan ekonomi dengan hukum Islam dapat dilihat dalam tabel

berikut ini:121

Hukum Ekonomi Relasi

Ibadah mahdlah Zakat, infaq, dan sadaqah Pemerataan pendapatan

Munakahat Nafkah, dan harta bersama Memenuhi kebutuhan pokok

Mawaris Wasiat dan tirkah Takhaluf

Muamalah

maliyyah

Jual beli, sewa menyewa, dan

lain -lain

Akad/perikatan

Pidana Larangan mencuri, menipu, riba

dan lain-lain

Hifzh al-mal/memelihara

harta

Politik Sumber pendapatan negara;

ghanimah, fa’i, jizyah, dan ZIS

Pemerataan pendapatan dan

pengembangan masyarakat

Tabel 1.1. Relasi Kegiatan Ekonomi dengan Hukum Islam

121 Fathurrahman Djamil,Op. Cit. hlm. 22

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

Kegiatan ekonomi sebagai bagian dari muamalah menjadi objek

bahasan dalam hukum muamalah. Dalam fikih muamalah maliyah,

pembahasan utamanya meliputi: pertama, tentang hukum benda, yang

membahas tentang konsep harta, hak dan kepemilikan, dan kedua

tentang transaksi atau hukum akad, yang membahas masalah akad,

jenis - jenis akad dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaannya.

Bagi seorang muslim tujuan utama dalam berbisnis adalah

keberkahan, dimana ciri utamanya adalah kemaslahatan. Agar bisnis

yang mendapatkan keberkahan, Feddy Fabachrain berpendapat bahwa

setidaknyakita harus memenuhi tiga syarat.122

1) Pertama, bisnis yang dijalankan atas dasar ridha tanpa adanya

paksaan. Allah SWT berfirman,“Wahai orag-orang yang

beriman! janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan

perdagangan yang berlaku atas dasar suka diantara suka diantara

kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Alllah

Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

2) Kedua, produk yang ditransaksikan bisnis harus barang yang

bermanfaat, bukan produk haram dan hak milik penuh penjual atau

mendapatkan izin pemilik bila bukan miliknya.

3) Ketiga, pihak penjual tidak boleh menyembunyikan cacat dari

suatu produk atau berlaku curang dari segi kualitas ataupun

kuantitas. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : Saya mendengar

Rasulullah SAW bersabda, “Orang Islam adalah saudara orang

Islam yang lain. Tidak halal bagi orang Islam menjual suatu

barang yang ada cacatnya pada saudaranya kecuali dengan

menerangkan cacatnya”.123

122

Direktorat Pendidikan dan Riset Keuangan Syariah Komite Nasional Keuangan Syariah

(KNKS), Kumpulan Kultum Ekonomi Syariah, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS),

Jakarta, 2019, hlm. 47-48 123

Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 2, Pustaka, Azam, Jakarta,

2013, hlm. 755

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

Dunia saat ini sedang memasuki era budaya global dengan

kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan

nasionalisme dan spiritual di sisi lain. Budaya global juga ditandai

dengan era “ekonomi baru”, dan posisi hukum semakin diperlukan

guna mengaturnya.124 Budaya global juga antara lain disemarakkan

dengan perkembangan konsep “ekonomi Islam”. llmu ekonomi Islam

adalah ilmu tentang manusia yang menyakini nilai-nilai hidup Islam.

Ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu sosial

melainkan juga manusia dengan bakat religius manusia. Ilmu Ekonomi

Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam. Dalam aktivitas

ekonomi, individu harus memperhitungkan perintah Al Quran dan

Sunah, ekonomi Islam125 yang merupakan hasil serangkaian

“reaktualisasi” doktrin Islam tentang masalah ekonomi yang memasuki

fase aplikasi dalam beragam bidang ekonomi seperti keuangan lainnya.

126

Doktrin ekonomi Islam muncul pada abad XX, dimaksudkan untuk

membangun sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan wahyu

(Islamic scepture) dan tradisi yang melingkupinya. Diawali pada tahun

1940-an dan baru tiga dekade kemudian konsep hukum ekonomi islam

mulai muncul di berbagai negara.127

Saat ini pemerintah Pakistan,

Malaysia dan beberapa negara lain mulai menerapkan program

sentralisasi sistem redistribusi Islam, yaitu zakat. Lebih dari 60 negara

memulai Bank Islam dengan menawarkan sistem free interest yang

124

Abd. Shomad, Akad Mudharabah dalam Perbankan Syariah, Yuridika, Vol 16, No. 4, Juri-

Agustus, 2001, hlm. 343. 125

Periksa lebih lanjut dalam M. Abdul Manan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, terjemahan M.

Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 19-

21. 126 Abd. Shomad, Op.Cit, hlm. 72. 127

Eksistensi kajian hukum ekonomi Islam modern diulas dalam Yusuf Qardhawi, Norma dan

Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1987, hlm. 19-21 ;

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

disebut sebagai alternatif dari bank dengan sistem bunga.128

Perkembangan doktrin ini bermula dari benua India dan didukung

momen penting dalam kasus boming minyak di tahun 1970-an. Pada

tahun 1975 didirikan Islamic Development Bank dengan maksud untuk

memberikan bantuan bagi perkembangan negara berkembang muslim

dengan pinjaman tanpa bunga. Kemudian dimulailah perbaikan-

perbaikan infrastruktur ekonomi Islam, sekolah-sekolah bisnis Islam

didirikan di sejumlah negara Islam, begitu pula dengan penerbitan

jurnal-jurnal ekonomi Islam dan pertemuan reguler lembaga donor.

Sejak itu ekonomi Islam ditampilkan sebagai disiplin akademis. Riset

digalakkan tatkala muncul masalah dari berbagai model aplikasi dari

ekonomi Islam termasuk sistem redistribusi dan Bank Islam menjadi

diskursus baru.129

b. Prinsip Ekonomi Syari’ah

Zainul Arifin dalam tulisannya, Prinsip-prinsip Operasional Bank

Islam, prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar, antara lain:

1) Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang

sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia

harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam

produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia,

yaitu untuk diri sendiri dan orang lain. Namun yang terpenting

adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung jawabkannya di

akhirat nanti.

2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu,

termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama,

kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan

128

Perkembangan Perbankan Islam diulas dalam Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis,

Perbankan Syariah, Prinsip, Praktek dan Prospek, terjemahan Burhan Wirasubrata, Perbankan

Syariah, Prinsip, Praktek dan Prospek Serambi, Jakarta, 2003, hlm.14-29. 129

Lebih lanjut baca dalam Timur Kuran, Politik Indentitas Ekonomi Islam, Gerbang, Vol. S No.

02, Oktober-Desember, 1999.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak

sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.

Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima

upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada

tuntutan Allah SWT dalam Al-Qur'an.

4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital

produktif yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan

yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan

dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri

didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri

yang merupakan kepentingan umum. Islam menjamin kepemilikan

masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan

orang banyak.

5) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, oleh

karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan

yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk

diskriminasi dan penindasan.

6) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (nisab)

diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi

sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan

harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orangorang

yang membutuhkan.

7) Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai

bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman,

perusahaan perorangan, pemerintah maupun institusi lain.130

130

Zainul Arifin, Prinsip-prinsip Operasional Bank Islam, Tazkia.com, 22 November 2000., lihat

juga : Zainul Arifln, Mekanisme Kerja Perbankan Islam dan Permasalahannya, Jurnal Hukum

Bisnis, Vol. 11, 2000, hlm. 146.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Dalam sistem ekonomi Islam aktivitas keuangan dan perbankan

dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk

membawa mereka kepada pelaksanaan dua ajaran Qur'an, yaitu untuk

saling membantu dan bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk

kebaikan serta mengolah uang yang ada agar dapat berputar dalam

transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat misalnya dalam hal

perniagaan. Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, manusia dan

faktor kemanusiaan merupakan unsur utama. Faktor kemanusiaan

dalam ekonomi Islam terdapat dalam kumpulan etika yang terdapat di

dalam Alqur’an dan hadis serta tertulis di dalam buku-buku klasik

(turath) yang mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap

moderat, dan persaudaraan.131

Sjaichul Hadi Permono dalam salah satu bukunya “Formula Zakat,

Menuju Kesejahteraan Sosial”, mengidentifikasi beberapa prinsip

ekonomi Islam, yakni:132

1) Prinsip Keadilan, mencakup seluruh aspek kehidupan, merupakan

prinsip yang penting, sebagaimana Allah memerintahkan untuk

berbuat adil di antara sesama manusia dalam banyak ayat antara

lain:

a) QS. an-Nahl: 90, ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)

berlaku adil dan bebuat kebajikan, memberi bantuan kepada

kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,

kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.133

b) QS. Al-Maidah:8, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah

kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi

saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu

131

Maskur Rosyid, Dimensi Kemanusiaan dalam Sistem Ekonomi Islam ( Sebuah Kajian dengan

Pendekatan Filsafat Hukum Islam, Khazanah (Jurnal Studi Islam dan Humaniora) , Vol. 13,

No.1, Juni 2015, hlm. 61 132 Sjaichul Hadi Permono, Formula Zakat, Menuju Kesejahteraan Sosial, Aulia, Surabaya, 2005,

hlm. 46-49. 133

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 551.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.

Karena (adil) itu dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada

Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”.134

c) QS. al-Hasyr:7, “Harta rampasan fai' yang diberikan Allah

kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri,

adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,

orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam

perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang –

orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul

kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu

maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh,

Allah sangat keras hukuman-Nya ”.135

2) Prinsip Al Ihsan (berbuat kebaikan), pemberian manfaat kepada

orang lain lebih daripada hak orang lain itu.

3) Prinsip al mas'uliyah (accountability, pertanggungjawaban), yang

meliputi beragam aspek, yakni: pertanggung jawaban antara

individu dengan individu (Mas 'uliyah fil-afrad), pertanggung

jawaban dalam masyarakat (mas'uliyah al-mujtama'). Manusia

dalam masyarakat diwajibkan melaksanakan kewajibannya demi

terciptanya kesejahteraan anggota masyarakat secara keseluruhan,

serta tanggung jawab pemerintah (mas'uliyah al-daulah),

tangungjawab ini berkaitan dengan baitulmal.

4) Prinsip al kifayah (sufficiency), tujuan pokok dari prinsip ini

menurut Sjaichul Hadi Permono adalah untuk membasmi kefakiran

dan mencukupi kebutuhan primer seluruh anggota dalam

masyarakat.

5) Prinsip Keseimbangan, prinsip al-wasathiyah ( al-I’tidal, moderat,

keseimbangan), syariat Islam mengakui hak pribadi dengan batas-

batas tertentu. Syariat menentukan keseimbangan kepentingan

134

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 213. 135

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 1089

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

individu dan kepentingan masyarakat. Hal ini tampak dari beberapa

firman Allah antara lain:

a) QS. al-Isra’:29, “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu

terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu

mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela

dan menyesal.” ;136

b) QS. al-Furqan: 67, “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan yang

Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan

(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di

antara keduanya secara wajar.”137

c) QS. al-Isra’:27,”Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu

adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada

Tuhannya”. 138

d) QS. al-An’am:141, “Dan Dia-lah yang menjadikan tanaman-

tanaman yang merambat dan tidak merambat, pohon kurma,

tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang

serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya).

Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya

(zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah

berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berlebih-lebihan”. 139

6) Prinsip Kejujuran dan Kebenaran. Prinsip ini merupakan sendi

akhlak karimah.

a) Prinsip transaksi yang meragukan dilarang. akad transaksi harus

tegas, jelas, dan pasti. Baik benda yang menjadi objek akad.

maupun harga barang yang diakadkan itu.

b) Prinsip transaksi yang merugikan dilarang. Setiap transaksi yang

merugikan diri sendiri maupun pihak kedua dan pihak ketiga

136

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 567 137

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 727 138

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 565. 139

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 289

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

dilarang. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Tidak boleh

membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh

membahayakan (merugikan) pihak lain.”

c) Prinsip mengutamakan kepentingan sosial. Prinsip ini

menekankan pentingnya kepentingan bersama yang harus

didahulukan tanpa menyebabkan kerugian individu.

d) Prinsip manfaat. Objek transaksi harus memiliki manfaat,

transaksi terhadap objek yang tidak bermanfaat menurut syariat

dilarang.

e) Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang.

f) Prinsip suka sama suka (saling rela, an taradhin). Prinsip ini

berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa

ayat 29 : “Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu

saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak

benar), kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar

suka diantara suka diantara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang

kepadamu.”140

Prinsip ini juga berlandaskan hadits nabi: “tidak

lain jual beli harus melalui jalan suka sama suka” (HR. Ibnu

Majah). 141

g) Prinsip tiada paksaaan. Setiap orang memiliki kehendak yang

bebas dalam menetapkan akad, tanpa tunduk kepada paksanaan

transaksi apa pun, kebuali hal yang diharuskan oleh norma

keadilan dan kemaslahatan masyarakat.

140

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 163. 141

Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 2, Pustaka, Azam, Jakarta,

2013, hlm. 755

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

c. Dasar Hukum Kontrak Ekonomi Syariah (Akad Syariah)

Landasan syariah tentang kontrak142

selain terkait langsung dengan

kewajiban menunaikan akad dalam QS. Al-Maidah ayat 1143

dan QS.

Al-Isra ayat 34144

, juga memuat tentang adanya kewajiban membuat

catatan tertulis ketika menjalankan transaksi bisnis yang dilakukan

tidak secara tunai. Suatu transaksi yang dilakukan secara tunai

(naqdan) tidak ada keharusan untuk menuliskannya. Tetapi apabila

akad yang dibuat tidak secara tunai (ghairu naqdan) maka wajib untuk

menuliskannya, kerena penulisan perjanjian selain berfungsi sebagai

alat bukti, juga bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaannya.

Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah 282 :

“ Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu melakukan utang

piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya

dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya

sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia

menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan

hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia

mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika orang yang berutang itu

orang yang kurang akalnya atau lemah (keadannya), atau tidak mampu

mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan

benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara

kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang

laki-laki dan dua perempuan diantara orang – orang yang kamu sukai,

dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang

142 James Gordley menyebutkan bahwa belum ada teori tentang kontrak yang diakui secara

umum. Hal tersebut disampaikan dalam The Philosophical Origins of Modern Contract

Doctrine sebagai berikut.

“ Today, we have no generally recognized theory of contract. The objective theories have

lost even the limited support among jurists they once enjoyed. It is not helpful to define

contract as a series of consequences the law attaches to the outward conduct of the parties if

one cannot explain why the law attaches some consequences rather than others. There is

widespread agreement that any viable theory of contract will have to take the fairness of a

contract into account, yet there is no agreement as to how to do so.” Lihat : James Gordley, The Philosophical Origins of Modern Contract Doctrine, Clarendon

Press, Oxford, 1991, hlm. 230. 143

Q.S. al-Maidah ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah janji-janji.”

Janji di sini adalah janji setia hamba kepada Allahh dan perjanjian yang dibuat oleh manusia

dalam pergaulan sesamanya”.

Lihat Terjemahan :Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 207-208. 144

QS. al-Isra’ ayat 34 : “... dan penuhilah janji. Karena janji itu akan akan dimintai

pertanggungjawabannya”

Lihat Terjemahan :Kementrian Agama Republik Indonesia, ibid. hlm. 567

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak

apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk

batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian

itu, lebih adil disisi Allah lebih dapat menguatkan kesaksian,

mendekatkan kamu kepada ketidakraguann, kecuali jika hal itu

merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu,

maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan

ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis

dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian),

maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah

kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah

Maha Mengetahui segala sesuatu”.145

d. Tujuan Kontrak Syariah

Dalam pandangan Islam, suatu perbuatan harus senantiasa

diniatkan kepada Allah semata (lillahita’ala). Niat yang baik Allah

kemudian harus diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai

dengan ketentuan syariah yang telah ditetapkanNya. Ketentuan ini

mengacu pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh

Bukhari yang menegaskan bahwa sesungguhnya amalan itu tergantung

dari pada niatnya. Dan setiap amal perbuatan seseorang akan dinilai

sesuai dengan apa yang diniatkan. Berdasarkan hadits tersebut, berlaku

kaidah fiqh yang menyatakan bahwa segala perkara (perbuatan) akan

dinilai dengan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.

e. Asas-Asas Kontrak Syariah

Rumusan asas-asas dalam hukum kontrak syariah bersumber dari

Al-Qur’an dan Sunnah. Upaya ini dimaksudkan agar asas-asas yang

dijadikan sebagai dasar hukum penyusunan kontrak mengandung

kebenaran yang bersumber dari Allah. Apabila digali ari sumber syariat,

kebenaran asas-asas yang terkait dengan hukum kontrak jumlahnya

sangatlah beragam, antara lain:146

1) Asas Ibadah (Asas Diniatkan Ibadah)

145

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 93 146 Burhanuddin, Hukum Kontrak Syari’ah, BPFE, Yogyakarta, 2009, hlm. 41

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

Hakekat kehidupan manusia adalah untuk beribadah kepada

Allah147

. Dengan demikian adanya keyakinan terhadap unsur

ketuhanan dalam aspek Ibadah, merupakan hal yang prinsip dalam

Islam. Bentuk keyakinan ini harus diwujudkan melalui amalan niat

(aqidah) sebelum memulai perbuatan. Disamping aqidah, suatu

perbuatan akan bernilai ibadah apabila sesuai dengan hukum syara’

yang telah ditetapkan. Keberadaan asas inilah yang menjadi

perbedaan mendasar antara hukum kontrak syariah dengan hukum

kontrak lainnya.

2) Asas Harriyyah at-Ta’aqud (Asas Kebebasan Berkontrak)

Asas Harriyyah at-Ta’aqud merupakan wujud dari asas

kebebasan berkontrak. Masing-masing pihak yang akan mencapai

tujuan akad mempunyai kebebasan untuk mengadakan penyusunan

kontrak (freedom of making contract). Ruang lingkup kebebasan

berkontrak dapat berupa kebebasan: (1) menentukan objek perjanjian,

(2) mengajukan syarat-syarat dalam memutuskan hak dan kewajiban,

dan (3) menentukan cara penyelesaian apabila terjadi

perselisihan/sengketa.

Pengertian asas kebebasan berkontrak dalam Islam berbeda

dengan apa yang dimaksud kebebasan berkontrak dalam hukum

konvensional. Perbedaannya bahwa kebebasan berkontrak dalam

Islam ialah kebebasan yang bersifat terikat dengan hukum syara’.

Karena bersifat terikat maka kebebasan berkontrak itu akan

dibenarkan selama syarat-syarat yang dikemukakan tidak

bertentangan dengan ketentuan prinsip-prinsip syariah. Dasar hukum

kebebasan berkontrak yang bersifat mengikat antara lain :

a) “Kaum muslimin itu setia kepada syariat-syariat yang mereka

buat, kecuali syariat mengharamkan yang halal dan

menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi, Tabrani dan Baihaqi).

147 QS. Adz-Dzariyat ayat 56 : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka menyembah-Ku”

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

b) “Kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang mereka

sepakati, selama masih berada dalam lingkup kebenaran” (HR.

Bukhari)

c) “Bagaimana nasib kaum yang menyepakati syarat-syarat (dalam

bermuamalah) yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an? Barangsiapa

yang menyepakati sebuah syarat yang tidak sesuai dengan Al-

Qur’an, maka syarat tersebut tidak sah meskipun mereka

menyepakati hingga seratus kali” (Hadits Shahih).

3) Asas Al-Musawah (Asas Persamaan)

Muamalah merupakan ketentuan hukum yang mengatur hubungan

sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam

memenuhi kebutuhan hidup, Allah telah melebihkan sebagian karna

dari sebagian yang lain dalam hal rezeki148

. Namun hikmah yang

dapat diambil dari adanya perbedaan tersebut ialah agar diantara

mereka saling membutuhkan kerja sama149

. Dengan adanya perilaku

saling membutuhkan, maka setiap manusia memiliki kesamaan hak

untuk mengadakan perikatan. Dikatakan demikian, karena pada

prinsipnya manusia adalah sama. Sedangkan yang membedakan

hanya ketakwaannya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat

ayat 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami

jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling

mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

148

QS. An-Nahl ayat 71, “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam

hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki

mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu.

Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?.” 149

QS. Az-Zukhruf ayat 32, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah

menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah

meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian

mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa

yang mereka kumpulkan.”

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha

Mengetahui, Mahateliti.150

4) Asas At-Tawazun (Asas Keseimbangan)

Meskipun secara faktual masing-masing pihak yang akan

mengadakan kontrak memiliki berbagai latar belakang yang berbeda,

namun dalam hukum Islam tetap menekankan perlunya berpegang

pada asas keseimbangan. Karena asas keseimbangan dalam akad

terkait dengan pembagian hak dan kewajiban. Misalnya adanya hak

mendapatkan keuntungan dalam investasi, berarti harus disertai

dengan kewajiban menanggung resiko. Ketentuan ini merujuk pada

kaidah fiqh yang menyatakan keuntungan muncul bersama resiko dan

hasil usaha muncul bersama tanggungan yang dikeluarkan.

5) Asas Maslahah (Asas Kemaslahatan)

Pada hakekatnya, tujuan mengadakan akad ialah untuk

mencapai kemaslahatan bagi masing-masing pihak. Pengertian

maslahat dalam Islam meliputi dimensi kehidupan dunia dan akhirat.

Dan untuk menjamin tercapainya kemaslahatan maka kaidah fiqh

yang berlaku yaitu apabila hukum syara’ dilaksanakan maka pastilah

tercipta kemaslahatan.

Namun apabila dalam pelaksanaan akad ternyata terjadi suatu

perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kemudharatan

pihak lain, maka kaidah fiqh yang berlaku adalah segala apa yang

menyebutkan terjadinya kemudharatan (bahaya) maka hukumnya

haram 151

Untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah timbulnya

kemudharatan dalam fiqh dijumpai adanya hak khiyar. Maksud hak

khiyar ialah hak yang memberikan opsi para pihak untuk meneruskan

atau membatalkan akad karena adanya sebab yang dapat merusak

keridhaan. Hak khiyar berlaku pada akad yang bersifat belum pasti.

150

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 1031 151

Burhanuddin, Hukum Kontrak Syari’ah, BPFE, Yogyakarta, 2009, hlm. 44

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

Sedangkan apabila pelanggaran terjadi setelah perikatan yang bersifat

pasti (luzum), maka yang berlaku bukan lagi hak khiyar, melainkan

pemberian hak berupa tuntutan mendapatkan ganti rugi kepada para

pihak yang merasa dirugikan.

6) Asas Al-Amanah (Asas Kepercayaan)

Asas amanah merupakan bentuk kepercayaan yang timbul

karena adanya iktikad baik dari masing-masing pihak untuk

mengadakan akad. Dalam hukum kontrak syariah, terdapat bentuk

akad yang bersifat amanah. Maksud amanah disini dapat diartikan

sebagai kepercayaan kepada pihak lain untuk menjalin kerja sama.

Asas kepercayaan dapat berlaku baik dalam akad yang bersifat

tijarah maupun tabbaru’. Dalam akad tijarah misalnya kepercayaan

shahibul maal kepada mudharib untuk menjalankan usaha melalui

akad mudharabah.

Sedangkan akad yang bersifat taharru’ misalnya memberikan

kepercayaan kepada orang lain untuk memelihara barang titipan

melalui akad wadiah. Dasar hukumnya ialah firman Allah:

a) QS. An-Nisa ayat 58, ”Sungguh, Allah menyuruhmu

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya , dan

apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya

kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik

yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha

Mendengar, Maha Melihat. ”;152

b) QS. Al-Baqarah ayat 283, “Dan jika kamu dalam perjalanan

sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah

ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu

memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu

menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa

kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan

kesaksian karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh

152

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 171

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”; 153

c) QS. Al-Anfal ayat 27, “Wahai orang – orang yang beriman!

Janganlah kamu mengkhianati Allah dan rasul dan (juga)

janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan

kepadamu, sedang kamu mengetahui.”154

7) Asas Al-‘Adalah (Asas Keadilan)

Para pihak yang melakukan akad penyusunan kontrak, wajib

berpegang teguh pada asas keadilan, Pengertian asas keadilan ialah

suatu asas yang menempatkan segala hak dan kewajiban berdasarkan

pada prinsip kebenaran hukum syara’. Karena itu dengan berbuat

adil, maka seseorang tidak akan berlaku zalim terhadap yang lain,

Untuk itu Allah berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 8 sebagai

berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak

keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan

janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu

untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih

dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh,

Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”.155

8) Asas Al-Ridha (Asas Keridhaan)

Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan keridhaan

diantara masing-masing pihak. Apabila dalam transaksi tidak

terpenuhi asas ini, maka sama artinya dengan memakan harta dengan

cara batil. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 29 :

“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),

kecuali dengan perdagangan yang berlaku atas dasar suka

153

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 95 154

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 157 155

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 213

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

diantara suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh

dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.”156

Berdasarkan ayat tersebut jelas, bahwa segala kontrak perjanjian

hendaklah berdasarkan pada asas keridhaan. Dengan demikian tanpa

adanya unsur keridhaan, maka suatu kontrak perjanjian masuk dalam

kategori batil.

9) Asas Al-Kitabah (Asas Tertulis)

Kontrak merupakan perjanjian/perikatan yang dibuat secara

tertulis. Namun perlu dipahami bahwa dalam Islam asas tertulis (al-

kitabah) tidak hanya berlaku dalam hukum kontrak, melainkan juga

berlaku pada semua akad muamalah yang dilakukan tidak secara

tunai ( utang) Allah WST berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 282:

“Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu melakukan utang

piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya dengan benar.”

10) Asas As-Shiddiq (Asas Kejujuran)

Kejujuran merupakan hal yang prinsip bagi manusia dalam

segala bidang kehidupan, termasuk dalam penyusunan kontrak

muamalah. Jika kejujuran tidak diamalkan dalam penyusunan

kontrak, maka akan merusak keridhaan (‘uyub al-ridha). Disamping

itu, ketidakjujuran dalam penyusunan kontrak akan berakibat

perselisihan diantara para pihak. Allah berfirman dalam QS. Al-

Ahzab ayat 70 : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah

kamu kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang benar”.157

Demikian pula Rasulullah SAW bersabda :

a) “Apabila engkau melakukan jual beli, maka katakanlah,” Tidak

ada tipu-menipu”158

;

156

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 163 157

Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 851 158

Arif Rahman Hakim (Penerjemah), Kumpulan Hadits Shahih Bukhari-Muslim (cetakan ke-12),

Insan Kamil, Surakarta, 2014, hlm. 443. Buku asli ditulis oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi

dengan judul Al-Lu’lu’ wal Marjan.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

b) “Barangsiapa yang melakukan penipuan, maka dia tidak

termasuk golongan kami” (HR. Ibnu Majah)159

11) Asas Iktikad Baik

Untuk mengadakan kontrak perjanjian harus dilaksanakn

berdasarkan iktikad baik. Asas iktikad baik muncul dari pribadi

seseorang sebagaimana apa yang telah diniatkannya. Dalam

pandangan Islam, niat merupakan prinsip mendasar terkait dengan

unsur kepercayaan(aqidah) sebelum melakukan suatu amal

perbuatan. Dalil syariah yang menjadi dasar hukum berlakunya asas

itikad adalah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa

sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat dan

sesungguhnya tiap-tiap orang tergantung dari apa yang diniatkannya

(HR. Bukhari)

f. Rukun-Rukun Akad

Rukun dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang menentukan

terbentuknya akad. Tanpa keberadaan rukun, suatu akad tidak akan

terjadi. Namun agar akad menjadi sah, maka unsur-unsur pembentuk

akad harus memenuhi syarat sebagai rukun. Carron-Ann Russell

menyebutkan ada 3 unsur yang harus ada dalam suatu kontrak agar

kontrak dapat ditegakkan secara hukum yaitu 1) kesepakatan antara

para pihak (penawaran dan penerimaan), 2) tawar-menawar

(pertimbangan); dan 3) niat kontrak.160

Menurut kalangan fuqaha, terdapat keragaman pendapat berkenaan

dengan rukun akad. Namun menurut pendapat jumhur fuqaha, rukun-

rukun akad terbagi menjadi:161

1) Aqidain (Para Pihak)

159

Muhammad Nashiruddin Al-Abani, Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 2, Pustaka, Azam, Jakarta,

2013, hlm. 755 160 Carron-Ann Russell, Opinion Writing and Drafting in Contract Law, Cavendish Publishing

Limited, London, 1996, hlm. 8. Lihat juga : Max Young, Understanding Contract Law,

Routledge, London, 2010, hlm. 8. 161 Burhanuddin, Op.Cit., hlm. 23

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

Aqidain (para pihak yang berakad) dipandang sebagai rukun

kontrak karena merupakan salah satu pilar utama tegaknya akad.

Tanpa aqidain sebagai subjek hukum, suatu kontrak tidak mungkin

dapat terwujud. Pengertian subjek hukum berarti perbuatan

manusia yang dituntut oleh Allah berdasarkan ketentuan hukum

syara’. Subjek hukum merupakan pelaku perbuatan menurut syara’

dapat menjalankan hak dan kewajiban.

Subjek hukum terdiri dari dua macam, yaitu manusia dan badan

hukum. dalam rukun akad, kedua subjek hukum tersebut

berkedudukan sebagai aqidain. Namun agar aqidain dapat

mengadakan kontrak perjanjian secara sah, maka harus memenuhi

syarat kecakapan (ahliyah) dan kewenangan (wilayah) bertindak di

hadapan hukum..

a) Manusia.

Manusia (syakhshiah thabi’iyah) dikatakan sebagai subjek

hukum karena memang fitrah perbuatan manusia terikat oleh

hukum syara’162

, keterikatan perbuatan manusia pada hukum

syara’ dimaksudkan untuk selalu beribadah mengharap

keridhaan Allah163

. Karena keabsahan ibadah seseorang selain

162 QS. Al-Jatsiyah ayat 18, “Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengiuti syariat (

peraturan) dari agama itu, maka ikutilah ( syariat iu) dan janganlah engkau ikuti keinginan

orang-orang yang tidak mengetahui.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. 997 163

QS. Al-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya

untuk mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. 91

QS. Al-Baqarah ayat 265, “Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk

mencari ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak

di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua

kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah Maha

Melihat apa yang kamu kerja.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. 87

QS. An-Nisa ayat 114, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka

kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat

kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian

karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi nya pahala yang besar.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. 191

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

ditentukan oleh unsur kebenaran niat (aqidah), juga ditentukan

oleh kesesuaian antara perbuatan dengan hukum syara’.

Perbuatan seseorang dikatakan memiliki kecakapan sebagai

subjek hukum apabila memenuhi dua kriteria persyaratan,

yaitu:

Pertama, memiliki kecakapan (ahliyah). Dalam hukum Islam,

seseorang dapat menjadi subjek hukum ialah karena memenuhi

syarat kecakapan. Menurut fiqh, syarat kecakapan terbagi

menjadi dua :

(1) Ahliyah al-wujub, merupakan kecakapan seseorang untuk

menerima hukum. maksud dari menerima hukum disini

ialah menerima hak dan memikul kewajiban. Dalam

menerima hukum, suatu kecakapan bersifat pasif sehingga

dapat berlaku bagi semua manusia secara keseluruhan,

mulai dari kondisi dalam kandungan hingga manusia

meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan fiqh, syarat

kecakapan menerima hukum (ahliyat al-wujub) dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

(a) Kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyah

al-wujub an-naqishah) ialah kecakapan menerima

hukum yang berlaku bagi subjek hukum yang masih

dalam kandungan.

(b) Kecakapan menerima hukum secara sempurna (ahliyah

al-wujub al-kamilah). Kecakapan ini berlaku bagi

subjek hukum setelah dilahirkan hingga meninggal

dunia. Dikatakan sempurna karena subjek hukum selain

mampu menerima hak juga dapat memikul

kewajiban164

.

(2) Ahliyah al-ada, merupakan kecakapan untuk bertindak

hukum secara aktif. Karena bersifat aktif, kecakapan ini

164

Syamsul Anwar, Op.Cit. hlm. 111

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

berlaku hanya bagi subjek hukum yang secara alamiah telah

memiliki kemampuan bertindak hukum. Untuk dapat

bertindak hukum, subjek akad harus memenuhi syarat

kecakapan al-ada. Dalam fiqh kecakapan al-ada dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

(a) Kecakapan bertindak hukum secara tidak sempurna

(ahliyah al-ada an-naqishah) ialah kecakapan yang

berlaku bagi subjek hukum ketika berada pada usia

tamyiz. Usia tamyis merupakan syarat kecakapan

minimal bagi para pihak yang akan mengadakan akad.

Namun dalam akad tertentu, usia tamyiz dianggap tidak

memenuhi syarat kecakapan sebelum mencapai usia

kedewasaan.

(b) Kecakapan bertindak hukum sempurna (ahliyah al-ada

al-kamilah) ialah kecakapan yang berlaku bagi subjek

hukum sejak memasuki dewasa hingga meninggal

dunia.

Syarat kecakapan al-ada dimiliki oleh subjek hukum

sejak memasuki usia tamyiz dan berlangsung terus

hingga meninggal dunia. Namun kecakapan bertindak

hukum pada usia tamyiz ini tidaklah sempurna sebelum

seseorang memiliki kematangan akal (aqil) dan

mencapai usia kedewasaan (baligh). Menurut pendapat

jumhur fuqaha, kedewasaan itu pada pokoknya

diketahui dari tanda-tanda fisik berupa ihtilam atau

haid. Namun bilamana tanda-tanda itu tidak muncul,

maka kedewasaan ditandai dengan usia yang telah

mencapai 15 tahun.

b) Badan Hukum Syariah.

Istilah badan hukum (syakhshiah i’tibariyahhukmiyah)

tidak disebutkan secara khusus dalam pandangan fiqh. Namun

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

keberadaan badan hukum dibenarkan dalam fiqh, meskipun

istilah itu belum ada pada masa lalu165

. Badan hukum dikatakan

sebagai subjek hukum karena terdiri dari kumpuln oramg-orang

yang melakukan perbuatan hukum (tasharruf). Badan hukum

merupakan hasil analogi dari keberadaan manusia sebagai

subjek hukum. Ketentuan menjadikan badan hukum sebagai

subjek hukum, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip

akad yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Keberadaan

badan hukum terkait dengan adanya penerapan akad wakalah

dalam pembagian tugas ( job discription) dari suatu manajemen

perusahaan. Dalam hal ini manusia bertindak sebagai wakil

dari organ lembaga atau perusahaan tersebut. Meskipun atas

nama badan hukum seseorang menjalankan amanah

perusahaan, namun sebagai pertanggungjawaban vertikal tetap

dikembalikan kepada amalan individu masing-masing.166

Dalam sejarah peradaban Islam, lembaga-lembaga yang

pernah disebut sebagai badan hukum ialah baitul mal, badan

waqaf, dan institusi negara167

. Sedangkan dalam konteks

kehidupan sekarang, keberadaan badan hukum dapat

diwujudkan dalam bentuk kelembagaan tertentu seperti:

peradilan agama, badan arbitrase syariah, perusahaan atau

lembaga ekonomi keuangan yang beroperasi berdasarkan

prinsip syari’ah. Karena badan hukum tersebut beroperasi

berdasarkan prinsip-prinsip syariah, maka dapat disebut badan

hukum syariah.

165

Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah (Cet. Ke-4), Pustaka

Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm. 205 166

QS. Al-Muddatsir ayat 38,“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. 1149 167

Djazuli, Pengantar Edisi Terjemahan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, Kiblat

Umat Press, Bandung, 2002, hlm. xxxi

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

Manusia yang bertindak atas nama diri sendiri maupun

badan hukum merupakan para pihak (aqidain) dalam

penyusunan kontrak. Karena itu agar para pihak dapat

melakukan penyusunan kontrak secara sah, maka para pihak

harus memenuhi syarat sebagai aqidain yang merupakan rukun

akad

2) Mahal al-‘Aqd (Obyek Akad)

Sebelum ijab qabul, rukun kedua yang harus dipenuhi dalam

penyusunan kontrak syariah adalah menentukan jenis objek akad

(mahal al-‘aqd). Pengertian objek akad ialah sesuatu yang oleh

syara dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang

ditimbulkan168

. Dengan kata lain, istilah objek akad dapat pula

diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan

manusia ketika akan melakukan akad.

Dari pengertian tersebut, pada dasarnya objek akad dapat

terbagi menjadi dua, yaitu (a) harta benda; dan (b) manfaat

perbuatan itu sendiri. Karena melalui kedua objek akad tersebut,

seseorang akan dapat mencapai tujuan akad sesuai dengan yang

dikehendakinya. Apabila objek berupa benda, maka syaratnya

harus halal dari segi zatnya (mal mutaqawim). Sedangkan apabila

objeknya berupa manfaat perbuatan, maka caranya harus

disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah (masyru).

Dalam penyusunan kontrak syariah, keberadaan objek akad

yang dimiliki para pihak sangat menentukan jenis akad yang akan

digunakan. Misalnya orang yang ingin mendapatkan sesuatu, maka

harapannya akan tercapai segera setelah memenuhi rukun dan

syarat akad yang digunakan. Misalnya: apabila objeknya berupa

kepemilikan benda, maka akad yang digunakan jual beli.

Kemudian apabila objeknya berupa manfaat, berarti akad yang

168

Gufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlm. 86.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

digunakan ijarah. Dan suatu manfaat dapat dihasilkan baik melalui

objek benda maupun perbuatan.

Sedangkan bagi yang tidak mampu, kebutuhan terhadap objek

tertentu yang bersifat dharurat dapat diperoleh melalui akad

tabarru. Apabila objek kebutuhannya berupa manfaat/kepemilikan

benda, maka dapat dicapai dengan cara: (a) meminjamkan sesuatu

atau (b) memberikan sesuatu. Sedangkan apabila objeknya berupa

manfaat perbuatan, maka hanya dapat dilakukan dengan cara

memberikan pertolongan untuk melakukan sesuatu.

Menurut para fuqaha, agar sesuatu dapat dijadikan sebagai

objek akad yang merupakan bagian rukun akad maka harus

memenuhi persyarakatn sebagai berikut:

a) Sesuatu yang menjadi objek akad harus sesuai dengan prinsip

syariah (masyru’).

Karenanya apabila objek akad sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah, keberadaan objek akad akan memberi kemashlahatan

bagi manusia. Begitu pula sebaliknya apabila objek akad

bertentangan dengan prinsip syariah, pasti akan menimbulkan

kemudharatan. Dan segala sesuatu yang menimbulkan

kemudharatan menurut kaidah fiqh hukumnya diharamkan, baik

ditinjau dari keharaman zatnya (haram li dzatihi) maupun selain

zatnya (haram li ghairihi)

(1) Keharaman yang terkandung di dalam zatnya (haram li

dzatihi) misalnya: bangkai, darah, daging babi.169

Begitupula

169

QS. An-Nahl ayat 115, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,

daging babi dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang

siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui

batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 557

QS.Al maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,

berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji

dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu mendapat

keberuntungan.”

Lihat : Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 243

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

dalam hadits riwayat Jabir bin Abdullah disebutkan bahwa

sesungguhnya Allah SWT mengharamkan jual beli khamar,

bangkai, babi, dan patung-patung.170

(2) Keharaman selain zatnya (haram li ghairihi) misalnya riba,

gharar, tadlis, ihtikar, ba’i najasy, perjudian (maisir), riswah,

perzinaan, pencurian dan lain-lain yang terkait dengan cara

pelaksanaannya.

b) Adanya kejelasan objek akad sehingga dapat diserah terimakan.

Dasar hukum kejelasan objek akad mengacu pada sabda

Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad r.a,

“janganlah kaliyan membeli ikan yang masih dalam air, karena

merupakan penipuan (gharar)”.

Selain gharar, ketidakjelasan objek akad akan menjadi

penghalang terjadinya serah terima kepemilikan. Dalam suatu

riwayat, Hakim bin Hizam berkata: “Wahai Rasullulah,

sesungguhnya aku membeli barang dagangan, apa yang

dihalalkan dan diharamkan darinya?” Jika engkau membeli

sesuatu, maka janganlah engkau jual lagi sebelum barang

tersebut berada di tanganmu.” (HR. Ahmad Baihaqi dan Ibnu

Hibban). Demikian pula, Rasulullah bersabda dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Muslim r.a. “Barangsiapa yang membeli

makanan, maka dia tidak boleh menjualnya sebelum dia

menerima barang tersebut.”171

Berdasarkan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa mengaitkan sesuatu yang belum diketahui, maka

hukumnya batal. Tetapi ada pengecualian terhadap akad-akad

tertentu seperti salam dan istishna, dengan syarat sebelum

pembuatan barang harus dijelaskan klarifikasinya. Dalam akad,

keberadaan objek merupakan sesuatu yang menjadi tujuan

170

Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Arif Rahman Hakim (penerjemah)),Op.Cit., hlm. 457. 171

Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Arif Rahman Hakim (penerjemah)), Op.Cit., hlm. 441

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

diadakannya akad. Keberadaan objek akad disyaratkan harus

jelas sehingga dapat diserah terimakan. Ditinjau dari segi

kejelasan objek yang dapat diserah terimakan, objek akad dapat

dibedakan menjadi dua macam yaitu:

(1) Bentuk objek akad berupa harta benda. Apabila objek

tersebut berupa harta bergerak (mal al-manqul), maka akad

dilakukan dengan cara penyerahan harta tersebut. Sedangkan

apabila bentuk objek akad berupa harta benda yang tidak

bergerak (mal al-‘uqar/mal ghairu munqul), maka

penyerahan cukup dilakukan dengan cara pengalihan hak

(sertifikat) kepemilikan bendanya.

(2) Apabila objek akad berupa manfaat, maka penyerahannya

dilakukan dengan cara menggunakan benda tersebut.

Sedangkan apabila objek akad berupa perbuatan, maka

penyerahannya dilakukan dengan cara menjalankan amanah

pekerjaan tersebut sesuai dengan manfaat yang diharapkan

pihak lain.

c) Adanya syarat kepemilikan sempurna terhadap objek akad.

Ketentuan ini mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh

Hakim bin Hizam r.a ketika mengadu kepada Rasulullah SAW,

hadist sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi ra, “Wahai

Rasululah, ada seorang yang datang kepadaku kemudian dia

menanyakan apakah saya ingin menjual barang, di mana barang

tersebut bukan milik saya”. Kemudian setelah mendengar

pengaduan tersebut Rasulullah SAW bersabda:“ Janganlah

menjual suatu barang yang bukan milikmu”

Dari keterangan hadits tersebut jelas bahwa pada dasarnya

Islam melarang transaksi terhadap objek akad yang bukan

menjadi kewenangannya. Mengadakan sesuatu tanpa

sepengatahuan pemiliknya dinamakan dengan akad fudhuli.

Dengan akad fudhuli menyebabkan keabsahan hukum akad

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

(mahal al-‘aqd) yang akan ditransaksikan, kemudian rukun

selanjutnya adalah sighat akad. Sighat akad merupakan hasil ijab

dan qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan

akibat hukum terhadap objeknya. Pernyataan ijab dan qabul

bertujuan untuk menunjukkan terjadinya kesepakatan akad. Ijab

ialah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah satu pihak

yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan perikatan.

Sedangkan qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab

yang mencerminkan persetujuan/kesepakatan terhadap akad.

Dengan demikian, ijab-qabul merupakan pernyataan kehendak

(al-iradah) yang menunjukkan adanya suatu keridhaan antara

dua orang atau lebih sesuai dengan ketentuan syara’.

3) Kesesuaian antara ijab dan qabul (Tathabuqbaina al-ijabwa al-

abul).

Tanpa adanya kesesuaian antara ijab dan qabul maka dengan

sendirinya akad tidak mungkin terjadi. Misalnya dalam transaksi

penyusunan kontrak jual beli (al-ba’i) ada seseorang pengusaha

yang menyatakan ingin membeli suatu barang sebagai penawaran

harganya dianggap belum sesuai. Ketidaksesuaian antara ijab dan

qabul inilah yang mengakibatkan penyusunan kontrak jual beli

tidak jadi terlaksana.

4) Para pihak hadir dalam suatu majelis akad (majlis al-‘aqd).

Sebagian fuqaha menembahkan persyaratan bahwa akad harus

dilakukan dalam satu majelis.172

Tetapi perlu waktu, mengingat

perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan seseorang

untuk melakukan transaksi bisnis jarak jauh, misalnya e-commerce.

Namun dalam hukum kontrak, adanya sudah cukup beralasan.

Karena pada bagian penutup penyusunan kontrak, selalu memuat

tempat yang harus ditandatangani para pihak.

172

Gufron A. Masadi, Op.Cit, hlm. 94

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

5. Kepailitan dalam Perspektif Islam (Taflis)

a. Pengertian Taflis.

Terkait kompetensi Pengadilan Agama yang memiliki

kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah, dalam hal kepailitan, sesungguhnya dalam agama

Islam juga mengenal kepailitan dengan istilah taflis. Taflis satu akar

dengan fulūs yang berarti uang.173

Dalam arti bahasa adalah tidak

mempunya harta atau pekerjaan yang bisa menutupi

kebutuhannnya.174

Dalam bahasa fiqh digunakan kata iflās yang

berarti tidak mempunyai harta atau fulūs.175

Seseorang yang

dinyatakan pailit disebut muflis. Biasanya muflis dianggap sebagai

orang yang tidak memiliki harta, orang yang kapitalnya habis dan

kefakirannya ini mencapai pada keadaan dimana dimana ia dikatakan

sebagai orang yang tidak mempunyai uang. Hal tersebut sebagaimana

Hadits nabi :

Artinya: Dari Abi Hurairah bahwa Rasulallah SAW. Berkata:

tahukah kamu apa muflis itu? Mereka menjawab: Muflis menurut

kami adalah mereka yang tidak mempunyai dirham (uang) dan

kapitalnya habis (HR. Muslim).176

Iflas, sebagaimana Penulis sampaikan sebelumnya yang juga

merupakan padanan kata pailit, mengandung pengertian bahwa iflas

ialah jumlah nominal utang seseorang lebih besar dari harta yang

dimilikinya, meskipun orang tersebut semula tergolong mampu atau

mempunyai harta tetapi jumlahnya lebih kecil dari utangnya. Dalam

173

Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 90 174 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madhab, Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 700 175 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 191-192 176

Abi Khusain Muslim, Shahih Muslim (Juz IV), Dar Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Tanpa

Tahun, hlm. 45.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

hukum al-Iflas, jika utang yang dimiliki oleh debitur lebih besar dari

harta yang dimilikinya, sementara pihak kreditor meminta agar orang

tersebut dilarang untuk membelanjakan hartanya (hajr), maka hakim

wajib menyatakan pailit terhadap debitor itu.177

Ruang lingkup taflis sebagai suatu kebangkrutan dalam

penelitian ini adalah dalam bidang mualamah atau ekonomi. Hal ini

perlu ditegaskan mengingat terdapat Hadist Rasulullah yang

diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dan Ahmad tentang

bangkrut.

Bahwa Rasulullah Saw pernah berdiskusi dengan para

sahabatnya tentang definisi orang yang merugi. "Tahukah kalian

siapa orang yang bangkrut?" tanya Rasulullah. Para sahabat

berpendapat, orang bangkrut adalah mereka yang tidak

mempunyai dirham maupun dinar. Ada juga yang berpendapat

mereka yang rugi dalam perdagangan. Rasulullah SAW

bersabda:

"Orang yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang

pada Hari Kiamat dengan banyak pahala shalat, puasa, zakat,

dan haji. Tapi di sisi lain, ia juga mencaci orang, menyakiti

orang, memakan harta orang (secara bathil), menumpahkan

darah, dan memukul orang lain. Ia kemudian diadili dengan

cara membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang pernah

dizaliminya. Ketika telah habis pahalanya, sementara masih ada

yang menuntutnya maka dosa orang yang menuntutnya

diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun dilemparkan ke dalam

neraka." (HR. Muslim, no. 2581)178

177

Ali bin Muhammad, Mu’jam al-Isthilahaat al-Iqtishadiyyah wa al-Islamiyyah, Maktabat al-

“Abiikan, 2000, hlm. 63. Dalam Siti Anisah, Op.Cit, hlm 398 178

Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim , Darus Sunnah, Jakarta, 2012, no. 2581

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

Para ulama fiqh sepakat mendefinisikan taflis dengan rumusan

keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak secara hukum

atas hartanya karena terlilit hutang yang meliputi atau bahkan

melebihi hartanya. Apabila seseorang pedagang (debitur)

meminjamkan modal dari orang lain (kreditur) dan ternyata usaha

perdagang tidak lancar, sehingga seluruh dagangannya habis maka

atas permintaan kreditur kepada hakim, debitur dapat dinyatakan

pailit sehingga segala tindakan hukumnya terhadap sisa harta

miliknya dapat dicegah. Pencegahan tindakan hukum debitur pailit

ini bertujuan untuk menjamin hutangnya pada kreditur.179

Para ulama sepakat bahwa seorang muflis tidak dilarang

menggunakan hartanya sebesar apapun hutangnya kecuali sesudah

adanya larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh

hartanya sebelum adanya larang dari hakim, maka tindakannya itu

dinyatakan berlaku. Para piutang dan siapa saja tidak berhak

melarangnya sepanjang hal itu tidak dimaksudkan untuk melarikan

diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak orang lain yang ada

pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk bertambahnya

penghasilan berdasarkan kenyataan yang ada.180

Hakim tidak boleh melarang muflis untuk membelanjakan

hartanya kecuali dengan syarat-syarat berikut ini:181

(a) Orang tersebut betul-betul berhutang dan hutangnya telah

terbukti secara syar’i;

(b) Disepakati bahwa hartanya tidak melebihi jumlah hutangnya;

(c) Hutangnya tersebut sudah saatnya dibayar, bukan yang masih

mempunyai tenggang;

(d) Hendaknya pelarangan itu berdasarkan permintaan seluruh atau

sebagian dari orang-orang yang mempunyai hutang.

179

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Intermasa, Jakarta, 1997, hlm. 1361 180

Mughniyah, FiqhLima Madhab, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 1996, Jakarta, hlm.700. 181

Ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

b. Dasar Hukum Taflis

Menurut ulama fiqh, seseorang debitur atas pengaduan kreditur

dapat diajukan sebagai Tergugat ke pengadilan sehingga ia dikatakan

pailit. Pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh as-

Daruqurutni dan al-Hakim yang berbunyi182

:

Dalam hadits tersebut diatas diriwayatkan bahwa nabi Muhammad

SAW menyatakan Mu’adh sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak

mampu melunasinya. Kemudian Rasulullah melunasi hutang tersebut

dengan sisa harta yang dimiliki Mu’adh. Karena para pemberi hutang

merasa piutangnya tidak sepenuhnya terlunasi, maka mereka melakukan

protes terhadap Rasulullah. Protes tersebut kemudian dijawab oleh

Rasulullah dengan mengatakan tidak ada yang bisa diberikan kepada

kamu selain itu.

Berdasarkan hadits diatas, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa

seorang hakim berhak menetapkan pernyataan pailit seorang debitur

karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Oleh sebab itu, hakim

yang menyatakan seorang debitur jatuh pailit berhak melarang debitur

pailit bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya dan hakim berhak

pula melunasi hutang debitur pailit dari sisa hartanya sesuai dengan

prosentase hutangnya.

182

Sayyid Shabiq, Op.Cit., hlm. 456.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

Ulama fiqh juga menyatakan bahwa dalam soal hutang-piutang,

sebagai hakim tidak boleh melakukan intervensi terhadap orang lain,

karena kaidah umum dalam shari’at Islam menyatakan bahwa hak orang

lain dipelihara oleh shara’.183

Akan tetapi, dalam kasus debitur tidak

mampu lagi membayar hutangnya karena hartanya tidak ada lagi atau

hartanya tidak cukup untuk membayar seluruh hutang, maka ulama fiqh

sepakat membolehkan hakim melakukan intervensi untuk menyelesaikan

hutang. Salah satu pertimbangannya menurut para ahli Fiqh adalah

banyaknya pihak kreditur yang mengajukan tunututan kepada hakim.

Dalam riwayat lain, yang juga menjadi salah satu dasar hukum taflis

adalah hadits nabi Muhammad SAW tersebut berbunyi:

“Dari Ibnu Kaab bin Malik dari Ayahnya r.a. bahwa sesungguhnya

Rasulullah SAW. Menahan barang kepunyaan Mu’adh dan beliau

menjualnya untuk melunasi hutangnya yang menjadi bebannya”.184

Artinya: ...Amma ba’du, wahai sekalian manusia sesungguhnya Usafi’

adalah Usafi’ dari Juhainah. Ia telah merelakan agama dan kejujurannya

untuk dikatakan bahwa ia mendahulukan semua kebutuhan dan bahwa ia

telah berhutang tanpa melunasinya sehingga menjadi dua periuk atasnya.

Maka barang siapa mempunyai hutang atasnya, hendaknya mereka datang

kepada kami.185

183

Nasrun Haroen, Op.Cit. 192 184

Ali Ibnu Umar at-Daruqutni, Sunan at-Daruqutni (J.II), Dar al-Fikr, Beriut, tanpa tahun, hlm.

125. 185

Malik bin Anas, Muwatto( J.II), Al-Kutub, Beirut. Tanpa Tahun, hlm. 70.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

Selain hadits sebagaimana tersebut diatas, beberapa hadits

meriwayatkan tentang taflis :186

1) Diriwayatkan dari Abu Huraihah, ia berkata : “Aku mendengar

Rasulullah SAW, bersabda : “Barang siapa yang mendapati hartanya

yang benar-benar miliknya pada seorang yang telah pailit, maka ia

lebih berhak untuk mengambilnya daripada orang lain” (Hadits

disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim)187

2) Diriwayatkan Amr putera Syarid, ra., dari ayahnya, ia berkata

:”Bersabda Rasulullah SAW.: “ Orang yang mengundur-ngundur

pembayaran hutang, padahal ia mampu membayarnya, maka halal

diambil barangnya atau didera” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Abu

Dawud dan Imam Nasa’i).

3) Dari Abu Sa’id Al Khudri, ra., ia berkata: “ Seorang lelaki pada

zaman Rasulullah SAW. merasa rugi dalam berjualan buah-buahan

yang ia jual, sehingga mengakibatkan banyak hutangnya. Maka

bersabda Rasulullah SAW.: “Berilah dia sedekah (zakat), lalu orang-

orangpun memberinya, tetapi tidak cukup untuk membayar

hutangnya sampai lunas.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda

kepada orang-orang yang mengutangkannya: “Ambillah apa-apa

yang ada pada dia, tetapi tidak ada sedikitpun padanya selain itu”

(Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim).188

Berdasarkan pada Q.S. An-Nisa ayat 5189

dan ayat 6190

, Mohsen

Alhamad berpendapat tentang pembekuan aset sebagai berikut :191

186 Moh. Machfuddin Aladip, Terjemahan Bulughul Maram, Karya Besar Al-Hafizh Ibn Hajar

Al-Asqalani, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, hlm. 427-430. 187

Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Arif Rahman Hakim (penerjemah)),Op.Cit., hlm. 457. 188 Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim (Jilid 7), Darus Sunnah, Jakarta, 2012, 189 “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akal sehatnya, harta

(mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.

Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka

perkataan yang baik.”

Terjemahan firman Allah pada QS. An-Nisa ayat 5 tersebut diatas, dan seterusnya Penulis

menggunakan terjemahan dari Kementrian Agama Republik Indonesia, Syaamil Al-Qur’an

Miracle The Preference, Sygma Publishing, Bandung, 2010, hlm. 151.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

The freezing of assets is two kinds:

1) The freezing for the benefit of others ( as freezing someone's

money who is bankrupt for his debtors).

2) The freezing for his own protection so he does not waste it, that is

in the cases of the minor, absent minded, and the mentally ill.

Kemudian Mohsen Alhamad berpendapat bahwa:

There are two forms of debtors:

1) The first case is if the debt is due and he is not to pay until the debt

is due, and if his net worth is less than his debt his assets will not

be frozen ,nor he will be prohibited from using his money.

2) If the debt is due now, there are two cases:

a) when his net worth is more than the debt: in this case no

withholding of his money,but he is told to pay his debtors, and

if he refuses he is punished and jailed. If he endured the

punishment and prison and refuses to pay, then the ruler is to

pay his debts from telling his assets enough to cover the debt.

b) if his net worth is less than his debt, then his assets are frozen

and it is published that his assets are withheld so people do not

deal with him.

If after selling his assets and it was not enough to cover the debt,

he still owes this money until he is able to pay , this remaining debt

does not vanish due to his bankruptcy.

c. Pernyataan Pailit (Taflis) dalam Islam.

Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh tentang pernyataan

pailitnya seseorang dan statusnya di bawah pengampuan, apakah

perlu ditetapkan melalui keputusan hakim atau tidak. Ulama madhab

Maliki dalam persoalan ini memberikan pendapat secara terperinci,

sebagai berikut:

190

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika

menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada

mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas

kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa.

Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari

memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu

menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,

maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi.”

Lihat: Ibid., hal. 151 191

Mohsen Almahad, Bankruptcy in Islamic Law

(Syaria)https://www.linkedin.com/pulse/20141113092630-314687442-bankruptcy-in-islamic-

law-sharia, diakses 25 Juni 2018.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

(1) Sebelum seseorang dinyatakan pailit, para kreditur berhak

melarang debitur bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya

dan hak mereka, seperti mewariskan dan menghadiakan

hartanya, dan melakukan akad mudharabah dengan orang lain.

Tindakan hukum yang bersifat jual beli dapat dibenarkan.

(2) Persoalan hutang piutang ini tidak diajukan kepada hakim, pihak

debitur dan pihak kreditur dapat melakukan as-sulh

(perdamaian). Dalam kaitannya dengan ini, debitur pailit tidak

diperbolehkan bertindak secara hukum yang sifatnya

memindahkan hak milik atas sisa hartanya, seperti wasiat, hibah,

dan kawin. Apabila tercapai perdamaian, maka para kreditur

berhak membagi sisa harta pihak debitur pailit sesuai dengan

prosentase piutangnya.

(3) Pihak kreditur mengajukan gugatan (seluruh atau sebagian)

kepada hakim agar pihak debiturdinyatakan pailit, serta

mengambil sisa hartanya untuk membayar hutang-hutangnya.

Gugatan yang diajukan harus disertai dengan bukti bahwa hutang

pihak debitur melebihi sisa hartanya dan waktu pembayaran

hutang telah jatuh tempo.apabila hakim telah menetapkan

pernyataan pailit kepada pihak debitur, maka pihak kreditur

berhak mengambil sisa harta pihak debitur dan membagi-baginya

sesuai dengan prosentase piutang masing-masing.

Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa seseorang

dinyatakan pailit hanya berdasarkan ketetapan hakim, sehingga

apabilah belum ada keputusan hakim tentang statusnya sebagai

debitur pailit, maka segala bentuk tindakan hukumnya dinyatakan

masih tetap sah. Sebaliknya, apabila debitur telah dinyatakan oleh

hakim, maka hakim berhak melarangnya untuk tidak bertindak

secara hukum terhadap sisa hartanya, apabila perbuatannya akan

membawa mudharat kepada hak-hak pihak kreditur, dan hakim juga

berhak menjadikannya di bawah pengampuan serta menahannya.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

Dalam masa tahanan, hakim boleh menjual sisa harta debitur pailit

dan membagi-bagikannya kepada kreditur, sesuai dengan prosentase

piutang masing-masing.192

d. Akibat Hukum Taflis ( Kepailitan) bagi Debitor Pailit.

1) Dibawah Pengampuan

Ulama fiqh mengemukakan beberapa akibat hukum tentang

dinyatakan seseorang jatuh pailit dan statusnya di bawah

pengampuan. Akibat hukumnya antara lain:

a) Sisa harta debitur pailit menjadi hak para kreditur. Oleh karena

itu, debitur pailit tidak dibenarkan bertindak secara hukum atas

sisa hartanya. Hal ini kesepakatan para ulama fiqh.

b) Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa debitur yang telah

dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dikenakan tahanan sementara

sampai hutangnya dibayar. Akan tetapi, mereka berbeda

pendapat dalam pengawasan terus-menerus terhadap debitur

pailit. Ulama Madhab Hanafi berpendapat bahwa para kreditur

boleh mengawasi tindak tanduk pailit secara terus-menerus193

Menurut Madhab Maliki, Madhab Shafi’i dan Madhab

Hambali, apabila hakim berpendapat bahwa debitur pailit berada

dalam kesulitan, maka para kreditur tidak menuntutnya dan

mengawasinya terus-menerus. Menurut mereka, debitur pailit

seperti ini harus dibebaskan untuk mencari rezeki sampai ia

berkelapangan untuk membayar hutangnya.194

e. Penyitaan Harta Muflis (Debitor Pailit)

Para ulama Madhab Maliki berpendapat bahwa penetapan pailit

pada seseorng hanya dapat diterima jika diterapkan melalui putusan

hakim. Jika keputusan hakim belum ada, orang tersebut bebas

192

Abdun Nashir, Nadhariyah al-Ajal Fi al-Litizam Fi ash-shari’ah al-Islamiyah Wa al-

Qawaanun al-Arabiyah, TP, Mathba’ as-Sa’adah, 1978, hlm. 260. 193

Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, ash-Shifa’,

Semarang, 1990, 333-334. 194

Ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

melakukan tindakan hukum terhadap hartanya. Madhab Maliki

mengemukakan pendapat tentang seseorang yang jatuh pailit sebagai

berikut:195

a) Sebelum seseorang dinyatakan pailit, para pemberi hutang

berhak melarangnya untuk bertindak hukum terhadap harta yang

masih dimiliki serta membatalkan segala tindakan hukum yang

membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti melakukan

hibah, wakaf, dan sedekah terhadap hartanya, namun jika bersifat

jual beli, boleh dilakukan.

b) Jika persoalan tidak sampai diajukan kepada hakim, maka orang

yang pailit bisa melakukan perdamaian dengan pemberi hutang.

Para pemberi hutang dibolehkan mengambil hartanya serta

membagi-bagikan kepada pemberi hutang lainnya sesuai dengan

prosentase piutangnya Dalam hal ini al-Shaukani membolehkan

menyita harta orang yang pailit untuk membayar hutangnya,

sekalipun harta tersebut tidak memadai untuk membayar

hutangnya secara keseluruhan.196

Menurut al-Shaukani yang

boleh disita hanya selain pakaian yang dipakainya, rumah tempat

tinggalnya, dan hajat hidup yang primer. Jika segenap hartanya

disita, hal demikian termasuk sebagai tindakan penganiayaan

atas dirinya.

c) Adanya ketetapan hakim bahwa seseorang itu dinyatakan pailit.

Untuk mendapatkan ketetapan hakim bahwa seseorang itu

dinyatakan pailit perlu adanya gugatan dari pemberi hutang

(sebagai atau seluruhnya) kepada hakim dengan syarat hutangnya

melebihi harta yang dimiliki orang tersebut dan sudah jatuh

tempo pembayaran. Jika ketetapan hakim telah ada, maka

pemberi hutang berhak atas harta orang yang pailit tersebut

sesuai dengan prosentase piutang masing-masing.

195

Ibid. 196

Nasrun Rusli,Konsep Ijtihad al-Shaukani, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 191.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

2) Penyanderaan

Kelompok yang berpendapat bahwa debitur dalam hal ini

disandera (bukan disita kekayaannya) menurut Ibnu Rushd,

berpedoman pada hadith Nabi SAW sebagai berikut:

Artinya: Mangkirnya orang yang mampu menghalalkan

kehormatan dan penghukumannya.197

Dalam syarah kitab Sunan an-Nasai oleh Jalaluddin as-Suyuti

yang dimaksudkan hukum penghukuman, menurut para ulama

adalah penyanderaan.198

Tetapi dua sahabat Imam Abu Hanifah

yang utama, yaitu Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari dan

Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani

Artinya: “Jika kreditur si bangkrut (yaitu debitur) meminta

pelarangan membelanjakan kekayaan maka hakim mengabulkan

dan melarang berniaga, membelanjakan dan menyatakan (adanya

kreditur lain selain para kreditur yang memohonkan pelarangan)

sehingga tidak merugikan para kreditur. Dan hakim menjual

kekayaan si pailit jika si pailit menolak menjualnya sendiri dan

membaginya (hasil penjualan) untuk para kreditur sesuai

perbandingan piutang masing-masing.’’199

f. Berakhirnya Kepailitan (Taflis)

Mengenai hal ini, ulama Madhab Syafi’I dan Hambali

mengemukakan dua pendapat:

197

Ibn Rusyd, Op.Cit., 333 198

Mughniyah, Op.Cit., 700 199

Muhammad Abu Zahrah, Muhaadlorot fi Taarikh al-Madzaahib al-Fiqhiyah, Dar-alKutub al-

Ilmiyah, Beirut, 1996, 185.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

1) Apabila harta muflis telah dibagi-bagikan kepada para pemberi

hutang sesuai dengan prosentasenya (sekalipun tidak lunas), maka

status di bawah pengampuan dinyatakan hapus, karena sebab yang

menjadikan ia berada di bawah pengampuan telah hilang. Mereka

menganalogikan antara orang yang berada di pengampuan

disebabkan gila. Bagi orang gila yang telah sembuh dari

penyakitnya, maka statusnya sebagai orang yang berada di bawah

pengampuan gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan oleh

putusan hakim. Demikian juga dengan muflis. Hal ini sejalan

dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan: hukum itu beredar

sesuai dengan penyebabnya, apabila ada penyebabnya maka ada

hukumnya, dan apabila penyebabnya sudah hilang, keadaannya

kembali seperti semula.

2) Pembatalan status orang yang berada di bawah pengampuan harus

dilakukan dengan keputusan hakim, karena penetapan ia berada di

bawah pengampuan juga berdasarkan keputusan hakim. Dalam hal

ini, Wahbah az-Zuhaili (guru besar Fiqh dan Ushul fiqh)

menyatakan bahwa ketetapan hakim dalam menentukan status

seseorang berada di bahwa pengampuan harus mempunyai syarat.

Apabilah syarat tersebut syarat tersebut terpenuhi oleh orang yang

dinyatakan pailit, maka secara otomatis statusnya bebas dari

pengampuan tanpa harus melalui ketetapan hakim terlebih dahulu.

Namun kebebasan statusnya ini perlu disebarluaskan agar

masyarakat mengetehauinya, sehingga tidak merugikan dirinya

dalam melakukan transaksi ekonomi.

Mazhab Hanafi berpendapat apabila ternyata tidak ada lagi harta

untuk membayar hutang kepada kreditur, maka debitur dibebaskan

sejalan dengan surat al- Baqarah ayat 280

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 280 :

(e)

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguh sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu

menyedekahkan itu, lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui.”200

Madhab Syafi'I, Malik, Abu Yusuf dan Muhammad,

membolehkan penjualan harta debitur atas permintaan

krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak boleh

dilakukan pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak

boleh menjual kekayaannya. Al-Syaukani membolehkan menyita

harta orang yang bangkrut (pailit) untuk membayar hutangnya,

sekalipun harta tersebut tidak memadai untuk membayar

hutangnya secara keseluruhan.

6. Pemeriksaan dan Putusan Pengadilan dengan Pendekatan Maqashid

Al- Syari’ah.

a. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah.

Secara etimologi, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni

maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshud

yang berarti kesengajaan, atau tujuan. Adapu syari’ah artinya jalan

menuju air, atau bisa dikatakan dengan jalan menuju ke arah sumber

kehidupan.

Adapun secara terminologi, beberapa pengertian tentang maqashid

al-syari’ah yang dikemukakan oleh beberapa ulama terdahulu antara

lain :

200

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 91

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

1) Al-Imam al-Ghazali, penjagaan terhadap maksud dan tujuan

syari’ah adalah upaya mendasar untuk bertahan hidup, menahan

faktor-faktor kerusakan dan mendorong terjadinya kesejahteraan.201

2) Al-Imam al-Syatibi, Al-Maqashid terbagi menjadi dua: yang

pertama, berkaitan dengan maksud Tuhan selaku pembuat Syari’ah,

dan kedua, berkaitan dengan maksud mukallaf.202

3) ‘Alal al-Fasi, maqashid al-syari’ah merupakan tujuan pokok

syari’ah dan rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan oleh

Tuhan.203

4) Ahmad al-Rasyuni, maqashid al-syari’ah merupakan tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan oleh syari’ah untuk dicapai demi

kemaslahatan manusia.204

5) Abdul Wahab Khallaf, tujuan umum ketika Allah menetapkan

hukum-hukumNya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan

manusia dengan terpenuhinya keutuhan yang dlaruriyah, hajiyah,

dan tahsiniyah.205

b. Pendekatan Maqashid Al- Syari’ah dalam Memutus dan Memeriksa

Perkara.

Pendekatan maqashid al Syari’ah dalam memeriksa dan

memutuskan perkara sangat perlu dilakukan oleh hakim karena dengan

menggunakan pendekatan maqashid al Syari’ah, akan terwujud hukum

yang berkeadilan dan berdasarkan kepada kebenaran, yang semuanya

201

Al-Ghazali, Shifa al-Ghalil, Tahqiq Hamdi Ubaid al-Kabisi, Mathna’ah al-Irshad, Baghdad,

1971, hlm. 159 dalam Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi

Islam: Perspektif Maqhasid al-syari’ah, Kencana PrenadaMedia, Jakarta, 2014, hlm. 41 202

Jamal al-Din “athiyyah, Al-Nadzariyah al-Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyah, 1988, hlm. 102

dalam Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, ibid hlm. 42 203

Bin Zaghibah Izz al-Din, Al-Maqashid al-Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyah, Dar al-Shafwah

li al-Thaba’ah wa al-Tauzi, Kairo, 1996, hlm. 44 dalam Dalam Ika Yunia Fauzia dan Abdul

Kadir Riyadi, ibid hlm. 42 204

Ahmad al-Raysuni, Nadzariyah al-Maqashid Inda al-Imam al-Syathibi, AlMa’had al-Ali al

Fikr al-Islami, al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nashr wa-alTawzi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 45

dalam Dalam Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, ibid hlm. 43 205

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Qalam li al-Nashr wa al-Tawzi, 1990, hlm.

171 dalam Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, ibid hlm. 43

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

bermuara kepada terwujudnya kemashlahatan bagi masyarakat.

Terwujudnya kemashlahatan yang ditandai dengan lahirnya putusan

yang adil dan benar merupakan tujuan Allah dalam menetapkan

hukum.

Teori tentang Maqashid al Syari’ah adalah teori yang perlu

dikuasai dan dipahami oleh hakim (terutama hakim pada Pengadilan

Agama) dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan. Artinya,

bagaimana seorang hakim bisa melakukan analisis filosofis terhadap

perkara yang sedang dihadapinya. Maka pertanyaan-pertanyaan yang

muncul ketika memeriksa perkara adalah pertanyaan yang betul-betul

menjurus kepada inti dari kasus yang sedang diperiksa. Begitu juga

dalam memutuskan perkara tersebut, yaitu bagaimana hakim

mengunakan landasan pemikiran hukum yang berdasarkan kepada

maqashid al Syari’ah. Sehingga putusan hukum yang diambil oleh

hakim bisa mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemudharatan

bagi kedua belah pihak yang berpekara.206

Hal tersebut diatas pada prinsipnya telah diatur dalam Pasal 27 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman :

“ Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”

Demikian pula dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam

dinyatakan bahwa:

“Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang

diajukan kepadanya, wajib mempertahankan dengan sungguh-

sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat”

206

Doni Dermawan, Pendekatan Maqashid Al Syari'ah Dalam Memeriksa Dan Memutuskan

Perkara, http://www.pa-muarasabak.go.id/home/arsip-berita/arsip-berita/pendekatan-

maqashid-al-syariah-dalam-memeriksa-dan-memutuskan-perkara1, diakses tanggal 1

September 2018.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

Inti dari maqashid al Syari’ah adalah untuk mencapai

kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah

untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-

tujuan syara’. Adapun tujuan syara’ yang harus dipelihara itu adalah

1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga

keturunan dan 5) menjaga harta.207

Berdasarkan hal tersebut, dapat

dikatakan bahwa seseorang mukallaf akan bisa memperoleh

kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk menjaga lima

prinsip di atas, dan sebaliknya ia akan mendapatkan kemudharatan

jika ia tidak bisa menjaga lima hal tersebut.208

Upaya yang harus ditempuh dalam rangka mewujudkan

kemashlahatan itu, menurut Muhammad Said Ramadhan al Buthi

ada lima kriteria yang harus dipenuhi, yaitu209

, pertama

mempriotaskan tujuan-tujuan Syara’, kedua tidak bertentangan

dengan al Qur’an, ketiga tidak bertentangan dengan al Sunnah,

keempat tidak bertentangan dengan prinsip qiyas karena qiyas

merupakan salah satu cara dalam menggali hukum yang intinya

adalah untuk memberikan kemashlahatan bagi mukallaf. Dan kelima,

memperhatikan kemashlahatan yang lebih besar.

Penerapan teori maqashid al Syari’ah dalam proses memeriksa

dan memutus perkara-perkara pada Pengadilan Agama, secara

praktik digunakan dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan

yang berkaitan dengan inti kasus yang sedang diperiksa. Artinya,

bagaimana seorang hakim bisa menemukan fakta-fakta yang

sebenarnya dari kasus tersebut, melalui pertanyaan-pertanyaan yang

berdasarkan kepada analisis filosofis terhadap kasus yang sedang

dihadapi. Untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan tersebut,

207

Al Gazhali, Abu Hamid, al Mustashfa Min Ilm al Ushul, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut,1983

hlm. 286-287 208 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,Logos Wacana Ilmu,

Jakarta, 1995, hlm. 38 209

Muhammad Said Ramadhan al Buthi, al Dawabit al Mashlahat fri al Syari’ah al Islamiyah,

Muasasah al Risalah, Beirut, 1977, hlm. 140-141

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

maka yang harus dilakukan oleh hakim adalah merumuskan masalah

pada perkara yang sedang dihadapi. Perumusan pokok masalah

dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan oleh hakim

merupakan kunci dari proses penerapan hukum yang tepat dan benar.

Penerapan maqashid al Syari’ah dalam memutuskan perkara,

maka yang menjadi pertimbangan hakim adalah teori kemashlahatan

hukum, dalam artian, hakim sebagai penterjemah atau pemberi

makna melalui penemuan hukum (rechtschepping) dan menciptakan

hukum baru melalui putusan-putusannya (judge made law), harus

bisa mewujudkan kemashlahatan bagi masyarakat (terutama pihak

yang berpekara) dalam setiap putusannya. Sehingga tidak ada pihak-

pihak yang merasa menang dan yang merasa kalah, karena putusan

hakim sudah memberikan kemashlahatan dan menolak

kemudharatan bagi pihak-pihak yang berpekara.

Adapun pertimbangan kemashlahatan yang perlu diperhatikan

adalah asas kulliyah al Khamsah, yaitu 1) menjaga agama, 2)

menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan dan 5)

menjaga harta. Khusus untuk Pengadilan Agama, maka

pertimbangan kemashlahatan yang perlu dijaga adalah 1) menjaga

agama, 2) menjaga keturunan, dan 3) menjaga harta, karena perkara

yang dihadapi Pengadilan Agama berkaitan dengan hukum keluarga

Islam yang lebih menekankan tiga aspek ini, yaitu agama, keturunan

dan harta sedangkan untuk Pengadilan Niaga Syari’ah yang hendak

digagas oleh Penulis, kemaslahatan yang perlu dijaga adalah

menjaga agama dan harta benda.

c. Perlindungan terhadap Agama.

Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama

adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk agama

berhak atas agamanya dan mazhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk

meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain, juga tidak boleh

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.210

Dasar hak ini sesuai firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 :

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang

sesat”.211

Tujuan menjaga agama ini mempunyai kekuatan hukum syar’i,

yaitu dengan adanya wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun

Hadits, hal ini dikarenakan muatan sumber hukum utama tersebut

pada intinya menjaga agama dan aplikasinya pada segala aspek

kehidupan manusia, ketentuan Q.S. Al-Baqarah ayat 256 mengenai

tiada paksan dalam Islam merupakan norma hukum fundamental yang

harus ditaati, karena disinilah letak jati diri dan kewibawaan agama

Islam di mata umat manusia.212

Terhadap maqashid syari’ah memelihara agama dapat

dikategorikan menjadi tiga peringkat antara lain:213

1) Hifz al din daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan

kewajiban agama yang bersifat primer, seperti melaksanakan lima

rukun Islam.

2) Hifzh al din hajjiyat, yaitu melaksankan ketentuan agama dengan

menghindari kesulitan-kesulitan yang muncul dalam

pelaksanaannya atau dengan kata lain ada suatu kemudahan dalam

210

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 1 211

Kementrian Agama Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 81. 212

Prawitra Thalib, Syariah: Konsep dan Hermeneutika, Sharia Research and Training Unit (

SHAREAT) Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Lutfansah Mediatama, Surabaya,

2013, hlm. 71. 213

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia (Cetakan Ketiga), Sinar

Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 18 dalam Prawitra Thalib, ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

menjalankan kewajiban-kewajiban bersifat primer tersebut. Hal ini

dapat dicontohkan adanya kebolehan bagi seseorang untuk

menjama’ ataupun mengqhasarkan shalat lima waktu karena

adanya alasan-alasan tertentu, atau adanya kebolehan untuk

mengganti puasa dihari lain atau membayar sejumlah fidyah bagi

orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa dibulan ramadhan;

3) Hifzh al din tahsiniyyat, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban

agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, artinya dalam

melaksanakan perintah agama tidak hanya melengkapi kewajiban

kepada Allah SWT, melainkan juga sebagai pemenuhan kewajiban

terhadap sesama manusia, sebagai contoh muslim diharuskan

untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan tempat demi

mewujudkan kesempurnaan shalat, hal ini juga sebagaimana yang

disabdakan oleh Rasulullah SAW,”bahwa sesungguhnya

kebersihan itu adalah sebagian dari Iman”.

d. Perlindungan terhadap Harta Benda.

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan,

dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Manusia termotivasi

untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah

kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai

penghalang antara dirinya dengan harta. Namun semua motivasi ini

dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara

yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini

harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.214

Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan

mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain

dengan cara batil. Allah juga mengharamkan riba. Apabila seseorang

meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang, maka

dia bisa memilih salah satu diantara tiga kemungkinan berikut.

1) Meminta kembali hartanya tanpa imbalan,

214

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Op.Cit, hlm. 167-169.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

2) Apabila tidak bisa mendapatkan maka dia harus bersabar dan tidak

membebaninya dengan melakukan tagihan,

3) Apabila orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia

dapat menyedekahkan pinjaman tersebut kepada peminjam yang

dalam keadaan miskin atau payah, karena nikmat harta harus

menjadi motivator untuk saling mengasihi, tidak untuk bersikap

antipati.

Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal.

Pertama, memiliki hak untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari

tindak pidana pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta

orang lain ( baik dilakukan kaum muslimin atau non muslim) dengan

cara yang batil, seperti merampok, menipu atau memonopoli. Kedua,

harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur

mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah.215

Selanjutnya, dilihat dari segi kepentingannya maka upaya

memelihara harta ini juga dapat dikategorikan menjadi tiga peringkat

yang antara lain adalah:216

a) Hifzh al mal daruriyyat, yaitu upaya pemeliharaan harta melalui

larangan untuk mendapatkan harta dengan cara yang tidak sah

atau melalui riba.

b) Hifzh mal hajjiyat, yaitu upaya pemeliharaan harta melalui

anjuran untuk mendapatkan harta melalui jalan yang halal

termasuk tata caranya, seperti contoh kebolehan unuk melakukan

kegiatan jual beli dan adab serta tata cara dalam melakukan jual

beli tersebut.

c) Hifz al mal tahsiniyyat, yaitu pemeliharaan harta melalui

kejujuran harta kekayaan dan menghindari musligat dalam

mendapatkan dalam harta kekayaan.

215

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, ibid. hlm. 171. 216

Uswatun Hasanah, Human Rights In The Perspective of Islamic Law, Jurnal Hukum

International, Indonesian Journal of International Law, Volume 7 No. 4, Juli 2010, hlm. 727

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

113

7. Perbandingan Hukum.

a. Pengertian Perbandingan Hukum.

Perbandingan hukum adalah suatu pengetahuan dan metode

mempelajari ilmu hukum dengan meninjau lebih dari satu sistem

hukum, dengan meninjau kaidah dan/atau aturan hukum dan/atau

yurisprudensi seta pendapat ahli yang kompeten dalam berbagai

sistem hukum tersebut, untuk menemukan persamaan-persamaan dan

perbedaan-perbedaan, sehingga dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan

dan konsep-konsep tertentu, dan kemudian dicari sebab-sebab

timbulnya persamaan dan perbedaan secara historis, sosiologis,

analitis, analitis, dan normatif.217

Selain itu, ada juga yang memberikan arti kepada perbandingan

hukum sebagai suatu perbandingan terhadap semangat, model, atau

institusi hukum dari sistem hukum yang berbeda, untuk mencari

solusi terhadap berbagai persoalan hukum serupa yang terjadi di

berbagai sistem hukum.218

Roger Cotterel menyebutkan bahwa pada prinsipnya

perbandingan hukum tidak hanya sebatas pada hukum doktrinal saja,

akan tetapi juga dapat berfokus pada fungsi hukum dan perubahan-

perubahan sosial. Hal tersebut ditulis dalam buku Law, Culture and

Society sebagai berikut.219

Because the focus of comparative law is not restricted to the law

of any nation state it is better fitted than other doctrinal legal

studies to take full account of the dynamics of social change

represented by the conflicts of globalization and localization.

Comparative law’s long-professed but still inchoate relationship

with legal sociology can be exploited and developed to enable it

to observe and interpret the changing economic and social

contexts of regulation. Certainly, the epistemological and

ontological problems of comparative law should force it, in

217

Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007,hlm. 1-2. 218

Zweigert Konrad dan Hein Kotz, An introduction to Comparative Law ,Volume I, North

Hollan Publishing Company, Amsterdam, 1977. 219

Roger Cotterell, Law, Culture, and Society : Legal Ideas in The Mirror of Social Theory,

Ashgate, Hampshire, 2006, hlm. 151

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

114

seeking to solve them, to take account of these contexts in

pursuing many, though not all, of its aims. Comparative law’s

commonly adopted focus on legal and social ‘functions’,

‘problems’ or ‘interests’ as bases of comparison ought to point it

towards serious concern with analysis of the social environments

in relation to which legal doctrine must establish its meaning.

For example, comparatists have long recognized that power

relations between nation states can strongly affect legal change220

and legal sociologists have begun to demonstrate some

mechanisms of this infl uence. Indeed, power relations in and

between regulated groups and communities should be a major

focus of attention.

Dalam melakukan suatu perbandingan hukum, metode yang

dipakai adalah adalah membanding-bandingkan salah satu lembaga

hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan

lembaga hukum, yang kurang lebih sama dari sistem hukum yang

lain. Dengan membanding-bandingkan itu maka kita dapat

menemukan unsur persamaan, tetapi juga unsur perbedaan dari kedua

sistim hukum itu.221

Perbandingan hukum itu dapat dilakukan baik di

bidang hukum perdata, maupun bidang hukum publik. Bahkan dapat

pula dilakukan dengan membanding-bandingkan suatu lembaga

hukum dimasa yang lampau dengan sifat/corak lembaga hukum yang

sama itu dimasa sekarang.

Johny Ibrahim berpendapat bahwa pendekatan perbandingan

dalam penelitian normatif digunakan untuk membandingkan salah

satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu

dengan lembaga hukum yang lain. Persamaan-persamaan yang ada

akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang diteliti dan

perbedaan-perbedaan dapat disebabkan oleh perbedaan iklim, suasana

dan sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan.222

Hug telah mengusulkan lima kelompok studi komparatif yang

mungkin bisa digunakan untuk dapat dikelompokkan sebagai hukum

220

H. Gutteridge, Comparative Law 2nd edn, Wildy Reprint, London, 1971, hlm. 160. dalam ibid. 221 Sunarjati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum. Alumni, Bandung, 1982, hlm 1 222

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia Publishing,

Jawa Timur, 2006, hlm. 313

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

115

komparatif, antara lain: (1) memperbandingkan sistem asing dengan

sistem domestik dalam rangka menemukan persamaan dan

perbedaan; (2) studi yang menganalisis berbagai solusi secara

obyektif dan sistematis yang ditawarkan oleh berbagai sistem untuk

suatu masalah hukum tertentu; (3) studi yang mengidentifikasi

hubungan kausal antara sistem-sistem hukum berbeda; (4) studi-studi

yang membandingkan tahap-tahap dari beberapa sistem hukum; dan

(5) studi yang berusaha menemukan atau mengkaji evolusi hukum

secara umum berdasarkan sistem dan periodenya.223

Kunci untuk melakukan analisis komparatif yang efektif adalah

dengan mengumpulkan berbagai materi dan informasi yang sesuai

yang memungkingkan para komparatis untuk menempatkan peraturan

hukum atau institusi hukum cabang hukum tertentu pada konteksnya.

Norma-norma dan pola-pola perilaku yang oleh suatu masyarakat

dianggap biasa dan legal mungkin saja dikategorikan sebagai sangat

tidak layak dan tidak dapat diterima oleh masyarakat lainnya.224

Hakikat hukum komparatif adalah pembandingan. Ini berarti

meletakkan unsur-unsur yang dapat diperbandingkan dari dua sistem

hukum atau lebih terhadap satu sama lain dan mementukan

persamaan dan perbedaannya. Sistem hukum dan unsur mana yang

hendak dipilih untuk dibandingkan, dengan sendirinya tergantung

pada tujuan pembandingan itu dan minat-minat pengguna metode

pembandingan.225

Pembandingan dapat bersifat bilateral (diantara dua sistem

hukum) atau multilateral (lebih dari dua sistem hukum).

Pembandingan dapat berupa pembandingan hukum substantif atau

223

Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law, dan Socialist Law),

Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 10 diterjemahkan oleh Narulita Yusron dari Peter de Cruz,

Comparative Law in a Changing World, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 1999. 224

Ibid., hlm 25. 225

Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung,, 2010, hlm

61 diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie dari Michael Bogdan, Comparative Law, Kluwer

and Taxation Publishers, 1994.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

116

pembandingan formal (diantara ciri-ciri formal sistem-sistem hukum,

misalnya, cara menafsirkan undang-undang dan keputusan-keputusan

pengadilan). Lebih jauh lagi ada pembandingan mikro (antara

aturan-aturan hukum individual atau lembaga-lembaga hukum) dan

pembanding makro (antara sistem-sistem hukum secara menyeluruh

atau antara keluarga-keluarga lengkap sistem-sistem hukum).226

Pembandingan mikro pun termasuk membandingkan aturan-aturan

dalam lingkungan hukum dan non hukum.

Unsur sentral dalam perbandingan atau komparatif adalah

pembanding tersebut (the comparison). Pembanding berarti

menghadapkan unsur-unsur yang dapat diperbandingkan dari dua

sistem hukum atau lebih terhadap satu sama lain untuk menemukan

persamaan dan perbedaan diantara sistem-sistem itu.227

Persamaan

dan perbedaan dapat menjadi subyek untuk studi lanjutan mengenai

karaktek teoritis. Penjelasan persamaan dan perbedaan yang

ditemukan dapat menambah pemahaman pengguna metode

pembandingan (comparist) akan hukum negaranya sendiri. Evaluasi

komparatif dari berbagai negara terkait dengan isu yang sama akan

sangat bermanfaat untuk pembuatan draft legislasi atau pekerjaan de

lege ferenda lainnya.228

Salah satu tugas hukum komparatif yang paling menarik dan

paling penting ialah berupaya menjelaskan persamaan dan perbedaan

seperti itu. Saat mencari penjelasan yang dapat dimengerti itulah akan

diketahui faktor-faktor mana yang memengaruhi strukur,

perkembangan, dan muatan-muatan substantif sistem hukum tersebut:

persamaan dan perbedaan di antara faktor-faktor inilah yang

menciptakan persamaan dan perbedaan di bidang hukum.229

226

Rheinstein, Einfuhrung in die Rectvergleichung,, Munchen, 1974, dikutip dari Michael

Bogdan, ibid, hlm, 62. 227

Michael Bogdan, Op.Cit.,, hlm. 8 228

Ibid, hlm. 9 229

Ibid, hlm. 77.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

117

Persamaan dan perbedaan diantara sistem-sistem hukum adalah

dua sisi mata uang yang sama. Persamaan menunjukkan kurangnya

perbedaan, sementara perbedaan menunjukkan kurangnya persamaan.

Karena itu baik persamaan maupun perbedaan dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang sama, walaupun arahnya berlawanan. Misalnya,

jika persamaan-persamaan diantara sistem-sistem ekonomi dianggap

menimbulkan persamaan diantara sistem-sistem hukum, maka

perbedaan diantara sistem-sistem ekonomi harus dianggap turut

menyumbang perbedaan-perbedaan di bidang hukum. Maka

penjelasan tentang persamaan dan perbedaan itu pasti dapat

ditemukan dalam sekumpulan faktor relevan yang sama.230

b. Tujuan Perbandingan Hukum

Menurut Sunarjati Hartono, dengan melakukan perbandingan

hukum akan menghasilkan kesimpulan :231

1) Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan

cara-cara pengaturan yang sama pula;

2) Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasan dan

sejarah menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.

Itulah sebabnya, antara dua sisem hukum mungkin terdapat

persamaan-persamaan (karena adanya kebutuhan yang universal itu),

dan mungkin pula terdapat perbedaan-perbedaan (yang disebabkan

oleh perbedaan suasana dan sejarah).232

Konsekuensi logis studi perbandingan hukum akan membawa

seorang Penulis pada sejarah hukum233

, sebagaimana yang dikatakan

230

Ibid, hlm. 78 231

Sunarjati Hartono. 1982. Op.Cit. hlm 2 232

Ibid. 233

Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah

hukum satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Sejarah hukum merupakan bagian dari

penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala

hukum, di mana penulisan secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah secarah

hukum sekaligus meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai

akibat peletakan tekanan pada gejala-gejala hukum. Namun tujuan akhir sejarah hukum, yakni

menunjang dan bermuara di dalam penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

118

F. Pringsheim bahwa “comparative law without the history law is an

imposible task”. Perbandingan hukum memiliki dimensi empiris yang

digunakan sebagai alat bantu (hulp wetenschap) dalam analisis dan

eksplanasi hukum. Penelitian normatif dapat dan memanfaatkan hasil-

hasil penelitian ilmu empiris, namun hanya berstatus sebagai imu

bantu sehingga tidak mengubah hakekat ilmu hukum sebagai ilmu

normatif.234

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kegunaan perbandingan

hukum adalah sebagai berikut :235

1) Memberikan pemahaman tentang persamaan dan perbedaan di antara

pengertian dasar dari berbagai bidang tata hukum.

2) Mempermudah untuk mengadakan keseragaman hukum (unifikasi).

Kepastian hukum dan kesederhanaan hukum

3) Memberikan pegangan atau pedoman tentang keanekawarnaan hukum

yang harus diterapkan.

4) Memberikan bahan-bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang

perlu dikembangkan atau dihapuskan berangsur-angsur demi integrasi

masyarakat.

5) Memberikan bahan tentang hal-hal apa yang diperlukan untuk

mengembangkan hukum antar tata hukum pada bidang-bidang dimana

kodifikasi dan unifikasi terlalu sulit untuk diwujudkan.

6) Untuk memecahkan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat, jadi

bukan hanya sekedar menemukan persamaan atau dan/atau

perbedaannya saja.

tujuan parsiil yang spesifik dan perlu ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni penemuan

dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan hukum.

Lihat. John Gilissen & Frits Gorle. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar. Refika Aditama,

Bandung, hlm. 11-12. Edisi terjemahan dari : Historiche Inleiding tot het brecht. Kluwer

Rechtswetenschappen-Anwerpent. Belgium. 1991 oleh Freddy Tengker. 234

Ibid, Hlm. 314 235

Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 1 dalam Munir

Fuady, Op.Cit, hlm. 21.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

119

7) Memberikan kemungkinan untuk mengadakan pendekatan fungsional,

yakni pendekatan dari sudut masalah hukum yang dihadapi dengan

terlebih dahulu menemukan hakikatnya.

8) Mendapatkan bahan untuk dianalisis tentang motif-motif politis,

ekonomi, sosial dan psikologis yang menjadi latar belakang suatu

aturan, traktat, kebiasaan dan yurisprudensi.

9) Berguna bagi pelaksanaan pembaharuan hukum.

10) Untuk mempertajam dan mengarahkan proses penelitian hukum.

11) Memperluas kemampuan untuk memahami sistem hukum yang ada

serta penegakan hukum yang adil dan tepat.

Perbandingan hukum diterapkan oleh Penulis dengan membandingkan

UU Kepailitan nasional ( yang banyak mengadopsi hukum kepailitan barat

) dan hukum kepailitan Islam serta hukum kepailitan di Negara Arab Saudi

(Saudi Arabia Bankruptcy Law - Saudi Arabia Cabinet Decision No.

264/1439, Royal Decree No. M.5/1439 tanggal 28/05/1439 H atau

13/02/2018). Negara Arab Saudi dipilih karena selain merupakan salah

satu negara Islam terbesar juga memiliki Undang-Undang Kepailitan yang

relatif baru dibentuk (perubahan).

Pembandingan antara hukum kepailitan Islam dengan UU Kepailitan

yang bernuansa hukum barat (civil law) menurut Penulis merupakan suatu

hal yang penting dilakukan, hal tersebut Penulis angkat dari pemikiran Siti

Anisah yang berpendapat bahwa sedikitnya terdapat tiga alasan, antara

lain adanya persinggugan antara hukum kepailitan Islam dengan hukum

kepailitan barat, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan

berkembangannya ekonomi syariah di Indonesia.236

Siti Anisah, dalam disertasinya yang berjudul Perlindungan

Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan Indonesia,

mengemukakan bahwa perbedaan antara hukum kepailitan Islam dan Barat

antara lain meninggalnya debitor dapat mempercepat jatuh tempo utang-

236

Siti Anisah, Op.Cit. 390.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

120

utang yang dimilikinya, dan pernyataan pailit terhadap debitor dapat

mempengaruhi rencana pernikahannya.

Berkaitan dengan meninggalnya debitor pailit, menurut Imam Ibn

Hazm, seseorang yang meninggal dalam keadaan pailit, maka utang-utang

yang pembayarannya diangsur, seketika itu juga harus dilunasi. Sebab,

kematian menyebabkan jatuh tempo utang pelunasaannya dengan

angsuran dan ditangguhkan itu menjadi gugur karena gugur atau hilangnya

tanggungan bagi orang yang meninggal. Sumber hukumnya adalah firman

Allah yang menyatakan : “... (turun waris hanya dapat terjadi) setelah

ditunaikannya wasiat dan pelunasan utang-utang orang yang meninggal.”

Akibatnya, tidak ada pewarisan kecuali setelah ditunaikannya wasiat dan

pelunasan utang. Dengan demikian wajib hukumnya untuk menghilangkan

beban orang meninggal berupa pembayarann utang itu kepada kreditornya

dan wasita kepada orang yang berhak menerimanya sesuai wasiat. Setelah

itu, sisa harta yang dipergunakan untuk menunaikan wasiat dan melunasi

hutang diberikan kepada ahli waris.237

.

Menurut mazhab Hambali, jatuh tempo pelunasan piutang kreditor

akibat meninggalnya debitor di dasarkan kepada dua riwayat.238

Pertama,

utang yang pelunasannya ditangguhkan dan dibayar secara angsuran tidak

langsung jatuh tempo karena meninggalnya debitor, sebagaimana

Rasullulah bersabda : “Barang siapa meninggal dan meninggalkan hak

juga harta, maka hak dan harta itu adalah untuk para ahli warisnya.”

Tempo pelunasan hutang adalah hak almarhum sehingga hak tersebut

berpindah dari almarhum kepada ahli warisnya. Ketentuan ini berlaku

hanya jika para hali waris percaya dengan kreditor. Apabila ahli waris

tidak mempercayainya, maka jatuh tempo pelunaan hutangnya saat itu.

Kecuali apabila almarhum tidak meninggalkan satu harta pun bagi ahli

237

Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn abb, Al-Muhalla, juz 8, hal. 171, dalam

Siti Anisah, Op. Cit, hlm. 455. 238 Ahmad Azam Othman, The Concept of Bankruptcy (Al-Iflas Under Islamic Law : A

Comparison with English and Malaysian Personal Bankruptcy Laws, Lampeter, University of

Wales, 2000, hlm. 61. Dalam Siti Anisah, Op.Cit. hlm. 455.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

121

waris, maka jatuh tempo pelunasannya terjadi saat itu juga, meskipn Imam

(penguasa) membebankannya kepada kreditor. Hal ini perlu agar para

kreditor tidak “menghilangkan sendiri” hak mereka. Selain itu,

meninggalnya seseorang merupakan suatu peristiwa hukum yang tidak

menjadikan hak-hak mereka batal, tetapi menjadi batas waktu pengganti

dan petunjuk bagi ahli waris. Menurut Hanabilah, apa yang telah

dikemukakan oleh mereka yang berselisih pendapat dalam hal jatuhnya

tempo pelunasan utang akibat kematian, ditetapkan hukum mengenainya

dengan pertimbangan mashlahah mursalah, tidak dipandang dalam sudut

pandang syarak.239

Dengan pertimbangan ini, maka status utang

tetapmenjadi tanggungan almarhum sebagaimana seharusnya. Utang

tersebut dapat dikaitkan dengan barang atau harta milik debitor (yang

meninggal dunia) sebagaimana berkaitannya hak-hak kreditor atas harta

seorang muflis yang mendapatkan putusan hajr.

Menurut mazhab Hambali, apabila ahli waris lebih tertarik untuk

melunasi utang dan kewajiban yang dibebankan kepadanya untuk kreditor,

atau membelanjakan harta tersebut, maka hal semacam itu tidak boleh

dilakukan. Kecuali apabila kreditor rela, atau diperjanjikan hak nya dalam

sebuaah akta tertulis perihal penanggungan di mana para ahli waris

bersedia untuk menunaikannya, atau pegadaian yang juga dengan akta

tertulis untuk dapat ditunaikannya hak piutang kreditor. Namun,

adakalanya para ahli waris tidak cukup mampu, sedangkan kreditor tidak

rela apabila haknya tidak ditunaikan oleh ahli waris, sehingga hak piutang

kreditor itu harus tetap ditunaikan, meskipun diundur sesuai dengan masa

jatuh tempo yang telah disepakati oleh kreditor dan debitor.

Kedua, pelunasan utang langsung jatuh tempo akibat

kematian.Pendapat itu dikemukakan oleh as-Syabi’i, an-Nakha’i, Suwar,

Malik, ats-Tsauri, as-Syafi’i, dan beberapa ahli hukum Islam. Ahli waris

harus mengikhlaskan harta peninggalan pewaris untuk memenuhi utang

dari kreditor yang piutangnya berupa piutang yang pembayarannya

239

ibid

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

122

bertempo dan diangsung, maupun utang dari kreditor lain yang tidak

diangsur.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat tidak dapat ditemukan

ketentuan yang sama dengan hukum kepailitan Islam sebagaimana

dipaparkan sebelumnya. Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat

mengatur hal-hal yang berkaitan dengan meninggalnya seorang debitor

yang dalam proses kepailitan dan bagaimana pembagian harta pailit

kepada para kreditor serta pembagian warisan dari bagian harta kekayaan

debitor melalui putusan pengadilan.

Meninggalnya seorang debitor tidak menghentikan kasus kepailitan.

Alasannya adalah permohonan pernyataan pailit menimbulkan suatu hak

atas semua kepentingan yang sah dan wajar terhadap harta kekayaan

debitor. Setelah adanya putusan pailit, terdapat dua hal yang berbeda

berkaitan dengan harta kekayaan debitor: harta pailit, dan harta yang

dikecualikan dari harta pailit. Pengadilan mempunyai kewenangan ekslusif

berkaitan dengan harta pailit, dan kematian debitor tidak menyebabkan

pengadilan kehilangan kewenangan tersebut.240

Berkaitan dengan rencana perkawinan, dalam hukum Islam,

pernyataan pailit terhadap debitor ternyata mempengaruhi rencana

perkawinan debitor, baik rencana perkawinan atau pun perceraian yang

akan dilakukan oleh debitor. Sebagian besar ahli hukum Islam

memperbolehkan pernikahan, namun melarang debitor untuk membayar

mahar, karena akan mengurangi harta paiit yang seharusnya dibagikan

kepada para kreditor.

Mazhab Maliki memperbolehkan pernikahan, namun melarangnya

membayar mahar dari bagian harta yang dibagi yang diterima oleh debitor

setelah adanya pernyataan pailit.241

Namin demikian, Mazhab Maliki juga

memiliki pandangan lain, yaitu pernikahan yang dilakukan setelah adanya

240

David B. Young, “The Intersection of Bankruptcy and Probate,” 49 S. Tex L. Rev. 351,

20117, hlm. 367-368, dalam Siti Anisah, Op.Cit, hlm. 457 241

Malik Anas, Al-Mudawwanah al-Khubra wa ma’aha Muqaddimat ibn Rushd, vol.4, Dar al-

Fikr, n.d., hlm. 122 dalam Siti Anisah,Op. Cit. hlm. 459

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

123

pernyataan pailit adalah dilarang. Apabila pernikahan dilakukan pada masa

debitor pailit, maka harta yang diperoleh dari pernikahan itu dapat

merupakan bagian dari harta yang dibagi kepada para kreditor.242

Pandangan yang melarang debitor pailit untuk menikah merupakan

pendapat yang banyak diikuti. Hal ini karena pernikahan dapat dilakukan

oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk menghidupi istrinya,

sebagaimana hadis yang menyatakan : “ Wahai pemuda yang diantara

kamu telah mampu, menikahlah, dengan begitu akan lebih menjaga

pandanganmu dan mencegahmu dari maksiat.”243

Secara relatif, seseorang

yang memiliki masalah keuangan dilarang untuk menikah. Hal ini juga

akan menyebabkan penderitaan bagi suatu atau istri karena

ketidakmampuan debitor pailit untuk mengatur seluruh hartanya.

Diberikannya hak debitor untuk menikah juga berlaku untuk hak-hak

yang lain seperti diperbolehkannya debitor untuk cerai al-khul’, cerai

thalaq mau pun rujuk. Cerai khul diperbolehkan karena debitor pailit

menerima sesuatu atau kompensasi dari istrinya atau diambil dari mahar

istri.244

Pengeluaran suami dapat dikurangi karena suami berkewajiban

untuk melindungi istirnya sebagaimana hadits yang menyatakan :” Nabi

Muhammad telah mengizinkan istrinya ( yang telah dicerainya dengan

cerai khul” yaitu dengan memberikan kompensasi pada suaminya) untuk

tinggal bersama di rumah orang tuanya.245

Hukum ini tidak berlaku pada

istri karena perceraian. Hal ini terjadi dengan memberikan kompesasi

242

Shams al-Din Muhamad ‘Arfah al-Dasuqi, Hashiyyat al-Dasuqi ‘ala Sharh al-Kabir, vol.3, Dar

Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, n.d., hlm. 264. Siti Anisah,Op. Cit. hlm. 459 243 Ahmad Azam Othman, The Concept of Bankruptcy (Al-Iflas Under Islamic Law : A

Comparison with English and Malaysian Personal Bankruptcy Laws, Lampeter, University of

Wales, 2000, hlm. 66. Dalam Siti Anisah, Op.Cit. hlm. 495. 244

Abu Barakat Ahmad ibn Ahmad al-Dardir, Al-Sharh al-Saghir, vol. 3, Daulat al Amariyyah

al-“Arabiyyah al-Muttahidah, 1989, hlm. 352 ; Ahmad ibn Muhammad al-Sawi, Bulghah al-

Salik li Aqrab al-Masalik ila Madhhab al-Imam Malik ‘ala al-Sharh al-Shagir, vol. 2, Dar al-

Ma’rifah, 1988, hlm. 127 dalam Siti Anisah, Op.Cit., hlm. 461. 245

Malik Anas, Al-Muwatta’, (no. 1990), 11th

ed. Dar al-Fikr, n.d., Beirut, hlm. 384-385; Abu

‘Abd Allah Muhammad ibn Idris al-Shafi’i, Musnad al-Imam al-Syafi’i, 1st ed., Dar al-Rayyan

li al-Turath, Kairo, 1987, hlm. 262-263, dalam Siti Anisah, ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

124

kepada suami yang menyebabkannya menggunakan hartanya. Dengan

begitu, hal ini mengganggu para kreditornya.246

Mazhab Maliki mempunyai pandangan bahwa perceraian dapat

dilakukan, dengan demikian penangguhan pembayaran mahar menjadi

jatuh tempo. Akhirnya, istri membagi mahar yang belu dibayar kepada

para kreditor.

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, harta

kekayaan yang diperoleh dalam suatu proses perceraian termasuk sebagai

harta pailit pada saat debitor mengajukan permohonan pailit. Asumsinya

adalah pembagian harta pernikahan akan terjadi sebelum proses kepailitan

selesai.247

Ada pun tujuan perbandingan ini adalah untuk menemukan persamaan

dan perbedaan serta kelebihan dan mungkin kekurangan (bila ada) dalam

sistem hukum tersebut di atas.

B. LANDASAN TEORI

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke berpendapat bahwa tugas teori hukum

adalah percobaan mencapai integrasi interdisipliner. Berbeda dengan

dogmatika hukum, teori hukum berupaya untuk menjelaskan hukum secara

mendasar atau dengan kata lain, untuk memberikan jawaban atas pertanyaan

ilmiah “mengapa hukum itu adalah sebagaimana ia adanya”, dengan suatu

penelitian yang tidak membatasi diri, seperti dogmatika hukum, pada apa yang

dapat ditemukan “sesuai dengan hukum” (“in rechte”), melainkan menerobos

lebih dalam sebab maupun motif-motifnya. Sebab-sebab dan motif-motif dari

hukum, telah kami kelompokkan, sebagai faktor-faktor pembentukan hukum,

246 Abu Barakat Ahmad ibn Ahmad al-Dardir, Al-Sharh al-Saghir, vol. 3, Daulat al Amariyyah al-

“Arabiyyah al-Muttahidah, 1989, hlm. 352 ; Ahmad ibn Muhammad al-Sawi, Bulghah al-Salik

li Aqrab al-Masalik ila Madhhab al-Imam Malik ‘ala al-Sharh al-Shagir, vol. 2, Dar al-

Ma’rifah, 1988, hlm. 127 dalam Siti Anisah, ibid.

Wanita yang pailit juga berhak untuk meminta cerai dengan memberikan kompensasi

pada suaminya sama dengan hak wanita untuk menikah, 247

Steven J. Schwartz, “ Marital Dissolution and Bankruptcy: The Rights of the Bankruptcy

Trustee to Administer Community Property and To Avoid and To Recover Property Divisions,

“ 28 Cal. Bankr. J. 523, 2006, hlm. 528 dalam Siti Anisah, Op.Cit., hlm. 462.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

125

ke dalam dua kelompok pengertian yang mengglobal : “keterberian-

keterberian faktual” dan “keyakinan-keyakinan idiil”.248

Menggunakan ilmu hukum sebagai salah satu ilmu sosial, maka teori

hukum juga merupakan bagian dari teori sosial yang diperlukan supaya ilmu

tersebut dapat berkembang. Mengenai hal tersebut, Bryan S. Turner

menyebutkan, “Social theory provides the necessary analytical and

philosophical framework withinwhich the social sciences can develop. Social

theory both sustains the achievementsof the past, notes the needs and

limitations of the present, and points the way tofuture research issues and

questions.”249

Sedangkan M.A. Loth berpendapat bahwa teori hukum itu menyibukkan

diri dengan hubungan antara hukum dan logika. Selain itu, teori hukum juga

menyibukkan diri dengan metodologi. Ia menyangkut dua aspek. Teori hukum

meneliti objek dan metode di satu pihak dari ilmu hukum (teoretikal) dan di

pihak lain dari pengembangan hukum (praktikal) seperti perundang-undangan

dan peradilan. Jadi, pada satu sisi, teori hukum itu mengandung filsafat ilmu

dari ilmu hukum. Pada sisi lain, teori hukum itu adalah suatu “ajaran metode”

untuk praktek hukum. Di dalamnya ia mengarahkan perhatiannya pada

pembentukan hukum (perundang-undangan) dan penemuan hukum (ajaran

interprestasi). Ajaran metode ini dalam penerbitan yang lalu dari buku ini

ditunjuk dengan istilah “kesenian hukum” (rechtkunst).250

Golding menjelaskan perbedaan antara filsafat ilmu dengan teori hukum.

Filsafat ilmu menekankan pembahasan sebagian besar dari sudut studi filsafat,

dan oleh karena itu menekankan penelitian dan penyelidikan dari sudut tradisi

filsafat. Sedangkan teori hukum cenderung kepada bentuk operasional

berdasarkan legal academy, yang cenderung mengkonsentrasikan diri kepada

248 Jan Gijssels dan Mark van Hoecke ( diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), Apakah Teori

Hukum itu ? (Penerbitan Tidak Berkala No.3), Laboratorium Hukum Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 26. 249 Bryan S. Turner (editor), The New Blackwell Companion to Social Theory, Blackwell, West-

Sussex, 2009, hlm. 1. 250 B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum, (Cetakan Keempat) Refika Utama, Bandung, 2013, hlm.29.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

126

rasionalisasi dan legitimasi dari legal doctrine seperti perbuatan melawan

hukum dan kontrak. Tentu dalam pembahasan filsafat hukum tidak dapat

dihindarkan membicarakan teori hukum yang bersumber dari filsafat

hukum.251

Selanjutnya, Golding menjelaskan teori hukum sekadar memberikan

deskripsi (informasi) yang positif teoritikal, sama sekali tidak melakukan

penilaian normatif (baik -buruk). Hal tersebut serupa dengan yang

disampaikan oleh, Aleksander Peczenik, “In general, law theorists say many

things, but it is not always clear what they talk about, and even less clear

why.”252

Ian McLeod juga memiliki pendapat yang sama,”One immediately

apparent difference is that legal theory is painted on a larger canvas; or, to

change the metaphor into a more appropriately verbal one, it asks bigger

questions. ... In a nutshell, therefore, legal theory involves a progression from

the study of laws to the study of law.253

Teori hukum dengan demikian berfungsi untuk mengolah produk dari

ilmu- ilmu lain yang juga berobjekkan hukum, lalu mengubahnya menjadi

teknik hukum untuk kepentingan ilmu hukum. Di samping itu, teori hukum

melakukan pembentukan, pengolahan, pengembangan, dan pemantapan

(pembakuan) konsep-konsep yuridis. Sebagai disiplin hukum yang berada di

antara tingkat abstraksi ilmu hukum dan filsafat hukum, maka teori hukum

juga difungsikan untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang akan

diajukan kepada filsafat hukum. Sebaliknya, jawaban-jawaban yang diberikan

filsafat hukum merupakan porsi teori hukum untuk kembali mengolahnya

secara deskriptif.254

251

Martin P. Golding and William A. Edmundson (Eds), Philosophy of Law and Legal Theory,

Blackwell Publishing Ltd, Oxford, 2005, dalam Sobirin Malian, Perkembangan Filsafat Ilmu

Serta Kaitannya dengan Teori Hukum, Jurnal UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010, hlm. 67 252 Aleksander Peczenik, Theory Choice in Jurisprudence, Stockholm Institute for Scandianvian

Law 1957-2010, hlm. 292. 253 Ian McLeod, Legal Theory, Macmillan, London, 1999, hlm.2 254 Ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

127

Edy Faishal Muttaqin menyebutkan eksistensi ilmu hukum ditinjau dari

filsafat ilmu mencakup 3 (tiga) landasan pengembangan, yaitu :255

1) Ontologi, obyek kajian dalam ilmu hukum adalah norma-norma, seperti,

norma perilaku dan norma kewenangan, termasuk norma-norma yang

telah hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Dalam hubungan

antara subyek dengan obyek, posisi subyek berada di luar obyek sebagai

pemerhati (touschouwer).

2) Epistemologi, metodologi yang dipergunakan adalah secara induksi dan

deduksi, dengan criteria kebenaran secara preskriptif atau seyogianya.

3) Aksiologi, ilmu hukum dalam pengembangannya memiliki manfaat

berupa penyelesaian terhadap semua masalah hukum konkret

(problemsolving) yang terjadi dalam masyarakat. Pengembangan Ilmu

Hukum bertujuan untuk menciptakan, menjaga dan mengendalikan

keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan

relevansi Ilmu Hukum dengan nilai adalah hukum merupakan nilai,

sehingga Ilmu Hukum kemudian merumuskan dan menerapkan nilai-nilai

tersebut.

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan, teori lingkar konsentris, teori

kepastian hukum, teori penyelesaian sengketa dan teori kewenangan, sebagai

berikut.

1. Teori Lingkar Konsentris.

Teori lingkar konsentris dikembangkan oleh H.M. Tahir Azhary.

Teori ini menggambarkan hubungan erat antara agama, hukum dan

negara. Ketiga komponen ini apabila disatukan akan membentuk

lingkaran konsentris yang merupakan satu kesatuan dan berkaitan erat

antara yang satu dengan yang lain. Agama sebagai komponen pertama

berada pada posisi lingkaran terdalam, karena merupakan inti dari

lingkaran tersebut, baru kemudian disusul hukum pada lingkaran kedua

dan lingkaran berikutnya adalah negara. Teori ini digunakan untuk

255 Edy Faishal Muttaqin, Eksistensi Ilmu Hukum Terhadap Ilmu-Ilmu Lain Ditinjau dari Filsafat

Ilmu, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Riau, Edisi I No. 1 Agustus 2010, hlm. 5

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

128

menjelaskan hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum nasional

Republik Indonesia. Negara dan hukum Islam merupakan produk atau

bagian (derivasi) dari Agama Islam itu sendiri. Ketiganya adalah satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.256

Menurut teori ini, agama, hukum, dan negara apabila disatukan akan

membentuk lingkaran konsentris yang merupakan suatu kesatuan dan

berkaitan erat satu dengan lainnya. Antar ketiganya membentuk relasi

yang saling berhubungan. Agama berada pada posisi lingkaran pertama

yang terdalam menunjukkan pengaruh agama sangat besar sekali terhadap

hukum yang berada pada lingkaran kedua sekaligus pula, agama

merupakan sumber utama dari hukum disamping rasio sebagai

pertimbangan komplementer. Ditinjau dari perspektif kaidah-kaidah “al-

din al-Islami” yang terdiri dari tiga komponen, yaitu akidah dengan tauhid

(Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai titik sentral, syariah dan akhlak

harus tercermin dalam struktur dan substansi hukum, sehingga konsep

hukum dalam lingkungan itu berisi, bukan hanya semata-mata hukum

dalam arti normatif saja, tetapi juga hukum dan kesusilaan.

Negara sebagai komponen ketiga berada dalam lingkaran

terakhir.Tegasnya posisi negara pada lingkaran ketiga setelah hukum

dimaksudkan dalam teori lingkaran konsentris ini, negara mencakup kedua

komponen yang terdahulu yakni agama dan hukum.257

Karena agama

merupakan inti dari lingkaran konsentris ini, maka pengaruh dan peran

agama sangat besar sekali terhadap hukum dan negara. Dengan gambaran

ini, sekaligus pula memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara agama,

hukum dan negara, karena komponen-komponen itu berada dalam satu

kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Perlu ditegaskan, bahwa harus

256

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 67. 257

Abdul Chair Ramadhan, Teori Solvanisasi Hukum: Mempertemukan Kepentingan Agama dan

Negara. https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2017/06/19/118861/teori-

solvanisasi-hukum-mempertemukan-kepentingan-agama-dan-negara.html, diakses 28

September 2019.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

129

dipahami kalau negara diletakkan pada lingkaran yang terakhir, maka hal

itu tidak berarti negara “mengungkung” atau “mengurung” hukum

agama.258

Muhammad Tahir Azhary menggambarkan diagram teori lingkaran

konsentris sebagai berikut.

Teori lingkar konsentris digunakan Penulis untuk melakukan analisa

kompetensi absolut dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan di

bidang ekonomi syariah antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Niaga

dalam perspektif persaingan hukum antara hukum Islam dan hukum Barat.

2. Teori Kepastian Hukum.

Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order).

Tujuan tersebut sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur.

Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat.

Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi

setiap masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif

menyatakan ‘kepastian hukum’ sebagai tujuan hukum, dimana ketertiban

atau keteraturan, tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis

perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada

kepastian dan untuk adanya kepastian hukum harus dibuat bentuk yang

pasti pula (tertulis).259

Terkait dengan pembentukan hukum tertulis yang

258

Muhammad Tahir Azhary, Loc. Cit., hlm.68 259 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,

Bandung, 1993, hlm. 22 dalam Zulfi Diane Zaini, Perspektif Hukum Sebagai Landasan

Pembangunan Ekonomi di Indonesia (Sebuah Pendekatan Filsafat), Jurnal Hukum, Vol XXVIII,

No. 2, Desember 2012, hlm. 391.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

130

menjamin kepastian hukum pada masa kini, Wojciech Cyrul berpendapat

bahwa fokus hasil pembentukan undang-undang adalah kepada kualitas

teks undang-undang tersebut. Secara lebih jelas, Wojciech Cyrul

menerangkan sebagai berikut.

”As we can see, contemporary reflection on lawmaking to much

extent is focused on the outcome of lawmaking: the quality of legal

texts. Therefore, the final decision on the selection of optimal

regulation depends both on the costs and effectiveness of the specific

solution as well as on its compatibility with already binding legal

texts.”260

Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori kepastian hukum

yang dikemukakan oleh L.A. Hart dikombinasikan dengan teori Gustav

Radbruch. H.L.A Hart memecah hukum (dalam hal ini adalah hukum

positif ) menjadi dua bagian. Pertama, primary rules yaitu aturan-aturan

hukum yang secara langsung memberikan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban kepada orang per orang. Aturan-aturan itu meliputi hukum

perdata dan hukum pidana. Kedua, secondary rules, yaitu aturan-aturan

hukum yang memberikan hak dan kewajiban kepada penguasa negara.261

Hart mengatakan oleh karena hukum harus konkret maka harus ada

pihak yang menuliskan. Pengertian ‘yang menuliskan’ itu menunjuk

pengertian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suatu pribadi ( subjek )

yang mempunyai otoritas untuk menerbitkan dan menuliskannya. Otoritas

tersebut adalah negara. otoritas negara ditunjukkan dengan adanya atribut

negara, berupa kedaulatan negara. berdasarkan kedaulatannya, secara

internal negara berwenang untuk mengeluarkan dan memberlakukan apa

yang disebut sebagai hukum positif. Selanjutnya Hart menyatakan

“pertama, hukum ( yang sudah dikonkretisasi dalam bentuk hukum

positif) harus mengandung perintah “ dan kedua, tidak selalu harus ada

kaitan antara hukum dengan moral dan dibedakan dengan hukum yang

260 Luc J. Wingents (editor), Legislation in Context: Essays in Legisprudence, Ashgate,

Hampshire, 2007, hlm. 43 261 FX. Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal,

Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm. 81. Lihat juga : Torben Spaak,

Kelsen and Hart on the Normativity of Law, Stockholm Institute for Scandianvian Law 1957-

2010, hlm. 408.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

131

seharusnya diciptakan ( there is no necessary connection between law and

morals or law as it ought to be).262

Meminjam pendapat HLA Hart

tersebut Penulis berpendapat bahwa sudah sangat tepat apabila negara

memberikan perintah melalui Undang-Undang yang memerintahkan

penyelesaian perkara kepailitan di bidang ekonomi syariah melalui

Pengadilan Niaga Syariah yang berkedudukan di lingkungan peradilan

agama.

Hart, dalam melihat hukum, memposisikan diri sebagai social

observer of law. Hart menjelaskan hukum dari pandangan eksternal agar

terbebas dari bias dan inward looking.263

Kepastian hukum dalam the

concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum dalam

undang-undang.264

Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata

dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang

tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang

mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu

262 FX. Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal,

Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012, hlm. 80 263

Achmad Gunaryo, “Beberapa Catatan tentang Konsep Hukum HLA Hart dalam Buku The

Concept of Law,dimuat dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol.3, No. 1. Tahun 2007 (online)

dalam Adji Samekto, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju Postmodernisme,

KONpres, Jakarta, 2015, hlm. 83.

Inti dari deskripsi Hart tentang hukum dan sistem hukum adalah sebagai berikut.

At the core of Hart’s description of law and the legal system is the existence of

fundamental rules accepted by officials as stipulating these law-making procedures. In

particular, the ‘rule of recognition’ which is the essential constitutional rule of a legal system,

acknowledged by those officials who administer the law as specifying the conditions or criteria

of legal validity which certify whether or not a rule is indeed a rule.

Lihat : Raymond Wack, Understanding Jurisprudence: An Introduction of Legal Theory (Third

Edition) , Oxford University Press, New York, 2012, hlm. 80

264

Mengenai kepastian hukum, Jimly Assidiqie berpendapat bahwa fungsi utama hukum dapat

dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai instrumen yang mengatur dan membatasi

(limitating function) sehingga dapat diwujudkan adanya kepastian (legal certainty) dan

keadilan (justice) bagi setiap individu, tetapi dapat pula dilihat sebagai instrumen yang

membebaskan (liberating function) sehingga dapat diwujudkan adanya struktur sosial yang adil

dan pasti yang bebas dari penindasan dan kekerasan struktural.

Lihat : Komisi Yudisial Republik Indonesia, Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (

Bunga Rampai ), Sekretariat Jenderal Komis Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm.

20

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

132

terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum

lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian

(legal uncertainty) hukum.265

Bagi Hart, hubungan bahasa dan hukum

memiliki posisi yang penting dan menjadi suatu hal yang layak diberikan

perhatian lebih.

Hart berpendapat mengenai sebuah bahasa dalam hukum sebagai

berikut.

“ ... we cannot properly understand law unless we understand the

conceptual context in which it emerges and develops. He argues, for

instance, that language has an ‘open texture’: words (and hence

rules) have a number of clear meanings, but there are always several

‘penumbral’ cases where it is uncertain whether the word applies or

not.”266

Sebagaimana dikutip oleh Torben Spaak, Gustav Radbruch lebih

mengutamakan kepastian hukum (legal certainty) daripada keadilan dan

kepastian.267

“Radbruch also reckons with a third element of the idea of law, in

addition to justice and expediency, namely legal certainty

(Rechtssicherheit). We need legal certainty, he explains, because there

is no non-relativistic answer to the question ‘‘justice or expediency?’’.

It is more important that the strife of legal views be ended than that

it be determined justly and expediently. The existence of a legal order

is more important than its justice and expediency, which constitute the

second great task of law, while the first, equally approved by all, is

legal certainty, that is, order, or peace.”

Demikian pula dengan Reza Banakar, mengutip pendapat Gustav

Radbruch bahwa tidak akan terwujud keadilan tanpa tatanan sosial.

Keadilan merupakan inti dari nilai hukum, akan tetapi supaya terwujud

keadilan, tatanan sosial harus diprioritaskan. Secara lebih jelas, Reza

Banakar menyatakan sebagai berikut.

265

Lihat : H.L.A Hart, The Concept of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997

diterjemahkan oleh M. Khozim,Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, 2010, hal. 230 266

Raymond Wack, Loc. Cit. hlm. 80 267 Torben Spaak, Meta-Ethic and Legal Theory: The Case of Gustav Radbruch, Springer :Law

and Philosophy, 28, 2009, hlm. 269

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

133

According to Radbruch, when conflict arises between the principle

of justice and positive law, the court should maintain legal certainty

and security (ultimately opting for social order) by applying the rules

of law, even when their application results in injustice. The logic

underpinning this position is deceptively simple: there can be no

justice without social order. For Radbruch justice is the core value of

law, which means that positive law cannot be granted total primacy

over the requirement of justice and yet, paradoxically, social order

must be prioritised if justice is to be realised.268

Demikian pula dengan Brian Brix, menyatakan bahwa Gustav

Radbruch lebih menekankan kepada kepastian hukum, sebagai berikut.269

In those writings, Radbruch seemed to assert that it was the third

element, legal certainty, which was the most important, at least

within the idea of law: "It is more important that the strife of legal

views be ended than that it be determined justly and expediently.

The existence of a legal order is more important than its justice

and expediency”

Robert Alexy juga mengutip hal yang sama dari terkait sikap Gustav

Radbruch yang lebih mengutamakan kepastian hukum tersebut diatas,

akan tetapi jika undang-undangnya cacat maka terjadi pengecualian

sebagai berikut.

‘the positive law, secured by legislation and power, takes

precedence even when its content is unjust and fails to benefit the

people, unless the conflict between statute and justice reaches such

an intolerable degree that the statute, as “flawed law,” must yield

to justice.270

Sedangkan dalam konteks pembentukan Undang-Undang,

Darmodiharjo berpendapat bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan

keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum

(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).271

268 Reza Banakar, Normativity in Legal Sociology : Methodological Refl ections on Law and

Regulation in Late Modernity, Springer, London, 2015, hlm. 63. 269

Brian Bix, Radbruch Formula and Conceptual Analysis, The American Journal of

Jurisprudence Vol. 56, 2011, hlm. 47 270

Radbruch, Gustav. 2006. Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law. Trans. Bonnie

Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford Journal of Legal Studies 26, 2006, 7, (1st

ed. in German 1946.) dalam Robert Alexy, On The Concept and the Nature of Law, Ratio

Juris. Vol. 21 No. 3 September 2008, hlm. 282. 271

Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 5

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

134

Terkait dengan kepastian hukum, Mochtar Kusumaatmadja

mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal

saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya

masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan

yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.

Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian

hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin

manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan

Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan

ketertiban.272

Dalam konteks kepastian hukum dan peradilan, Frans

Magnis Suseno berpendapat bahwa kepastian hukum berarti norma-norma

hukum yang telah diundangkan oleh negara dilaksanakan dengan

konsisten sesuai dengan rumusan hukum normatif hukum tersebut.

Kepastian hukum menghendaki pengadilan sebagai institusi negara dalam

mengambil keputusan terhadap suatu perkara, senantiasa mengedepankan

norma-norma hukum yang mengaturnya.273

Selanjutnya, Gustav Radburch274

berpendapat bahwa ada dua

pengertian tentang kepastian hukum di negara berkembang yaitu

kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau dari hukum.

Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum.

Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan-

272 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun, hlm. 13. 273 Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Modal Dasar Kenegaraan Modern,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 100 dalam Harjono, Konsistensi Hakim

Pengadilan Niaga dalam Mengadili Perkara Kepailitan dengan Klausula Arbitrase, Yustisia

Edisi Nomor 65 April-Juni 2004 hlm. 835 274

Gustav Radbruch terkenal dengan 3 formula nilai hukum yaitu kepastian, keadilan dan

kemanfaatan sebagaimana dijelaskan oleh F. Saliger bahwa kepastian hukum cenderung

berkonflik dengan keadilan :

The formula’s statement in fact is threefold: First of all that the conflict of justice and

legal certainty (Rechtssicherheit) could not be solved absolutely, thus allowing only a

conditional priority. Secondly, that this conditional priority operates in favor of legal

certainty; thirdly, that the primacy of legal certainty is revoked, when injustice becomes

intolerable (unerträglicher Gerechtigkeitsverstoß).

Lihat : F. Saliger, Content and Practical Significance of Radbruch’s Formula, КЛАСИКИ

ФІЛОСОФІЇ ПРАВА: ГУСТАВ РАДБРУХ, Vol. 2, 2004, hlm.68

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

135

hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang berguna. Sedangkan

kepastian dalam atau dari hukum tercapai apabila hukum itu sebanyak-

banyaknya hukum undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak

ada ketentuan yang saling bertentangan (undang-undang berdasarkan pada

sistem logis dan pasti). Undang-undang tersebut dibuat berdasarkan

kenyataan hukum (rechtswerkelijheid) dan undang-undang tersebut tidak

ada istilah-istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.275

Mark Fenwick and Stefan Wrbka berpendapat bahwa dalam konteks

modernitas hukum, prinsip kepastian hukum – gagasan bahwa hukum

harus cukup jelas untuk memberi mereka norma-norma hukum dengan

sarana untuk mengatur perilaku mereka sendiri dan untuk melindungi

terhadap pelaksanaan sewenang-wenang kekuasaan publik – telah

beroperasi sebagai nilai dasar aturan hukum. Selama beberapa dekade

terakhir, kepastian hukum semakin mendapat tekanan dari sejumlah

tuntutan yang saling bersaing yang dibuat oleh hukum kontemporer,

khususnya tuntutan agar hukum tersebut lebih fleksibel dan responsif

terhadap lingkungan sosial yang ditandai oleh perubahan ekonomi, sosial,

dan teknologi yang pesat. Secara khusus, harapan bahwa hukum

beroperasi dalam konteks transnasional baru dan mengatur ruang lingkup

kehidupan sosial yang semakin meluas telah menciptakan tingkat

ketidakpastian baru tentang kepastian hukum.276

Jan Michiel Otto berpendapat bahwa kepastian hukum nyata

sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, namun

sekaligus lebih dari itu. Jan Michiel Otto mendefinisikannya sebagai

kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a) tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah

diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena

(kekuasaan) negara;

275

E. Utrecht, 1959, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Cetakan Keenam,) Penerbit Balai Buku

Ichtiar, Jakarta, 1959, hlm. 26 276 Mark Fenwick & Stefan Wrebka, Legal Certainty in a Contemporary Context, Springer,

Singapore, 2016, hlm. 1-2.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

136

b) bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum

itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;

c) bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-

negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku

mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

d) bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

(independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum

tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa

hukum yang dibawa kehadapan mereka;

e) bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.277

Berdasarkan teori kepastian hukum sebagaimana tersebut diatas,

selain untuk mengkaji validitas norma dan kepastian hukum mengenai

kompetensi absolut pengadilan niaga maupun pengadilan agama dalam

memeriksa dan memutus perkara kepailitan di bidang ekonomi syari’ah

dengan mengkaji rumusan dari pasal-pasal undang-undang terkait. Tujuan

utama dari penerapan teori kepastian hukum adalah untuk mengetahui

apakah di dalam kedua undang-undang yang mengatur tentang

kewenangan untuk memeriksa perkara kepailitan di bidang ekonomi

syari’ah yaitu Undang-Undang Kepailitan untuk Pengadilan Niaga

maupun Pengadilan Agama yaitu UU No. 3/2006 jo. UU No. 50/2009

secara jelas dan pasti.

3. Teori Penyelesaian Sengketa.

Thomas J. Miceli menyebutkan bahwa ada tiga alasan para ekonom

atau pelaku bisnis menyukai penyelesaian sengketa melalui jalur hukum

salah satunya adalah teori-teori ekonomi dapat berguna untuk

menjelaskan dan memberikan prediksi bagaimana para pihak secara

rasional akan menyelesaikan masalahnya dan dapat menawarkan saran

277 Adriaan E. Bedner, dkk (editor), Kajian Sosio Legal : Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan

Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hlm. 122.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

137

untuk menurunkan biaya persidangan. Secara lebih lengkap, Thomas J.

Miceli menyatakan sebagai berikut.278

First, the manner in which they are resolved has an important effect

on the cost of operating the legal system. Second, economic theory is

useful in explaining and predicting how rational litigants will resolve

disputes and can therefore offer suggestions for lowering the cost of

litigation. Finally, the manner in which parties resolve disputes has

implications for the structure of legal rules, which in. turn affects

investments in the future by individuals to avoid disputes in the first

place.

Menurut Hoebel, hukum dapat berperan: pertama, merumuskan

hubungan-hubungan di antara anggota masyarakat, mana yang wajib,

haram, mubah dan seterusnya, sebagaimana dalam hukum taklîfî. Kedua,

siapa yang boleh atas kekuasan atas siapa berikut prosedurnya. Ketiga,

penyelesaian konflik-konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Keempat,

mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur

kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat apabila keadaan

berubah.279

Lawrence M. Friedman juga menyebutkan bahwa yang

terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol

sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema

distribusi barang dan jasa (good distributing scheme), dan pemeliharaan

sosial (social maintenance).280

Berangkat dari pernyataan Hoebel dan Lawrence M. Friedman

tersebut di atas terutama pada peran penyelesaian konflik atau sengketa,

maka peran hukum dalam menyelesaiakan sengketa harus dioptimalkan

salah satunya adalah dengan mengoptimalkan fungsi dan peran

Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

278 Thomas J. Miceli, Economics of The Law : Tort, Contract, Property, Litigation, Oxford

University Press, Oxford, 1997, hlm. 156 279 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-

Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 35. 280 Lawrence M. Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton & Company, New

York, 1984, hlm. 5 – 14.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

138

Mather dan Yngvesson menyebutkan, “ a dispute can be defined as a

particular stage of a social relationship in which conflict between two

parties (individuals or groups) is asserted before a third party, who may

be a family member, neighbour, the police, a community organization, an

administrative tribunal or court .”281

Sharyn L. Roach Anleu kemudian menambahkan, “Third parties vary

in their level of independence from the claims being asserted by either

disputant, their role in the management of the dispute and the level of

formality or public accountability that they provide. The third party

usually defines the nature of the dispute and specifies how it should be

resolved or settled.”282

Sengketa adalah salah satu risiko dari transaksi (akad) bisnis,

termasuk bisnis dengan sistem syariah; dan risiko dimaksud berupa ingkar

janji (wanprestasi)/melanggar hukum, atau adanya perbuatan melawan

hukum (onrechmatige daad).283

Wanprestasi diartikan sebagai keadaan pihak (atau pihak-pihak) yang

tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban seperti yang telah

ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak. Subekti

menjelaskan bahwa wanprestasi (lalai) adalah: a) tidak melakukan apa

yang disanggupi akan dilakukannya; b) melaksanakan apa yang

dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c) melakukan apa

yang dijanjikannya tetapi terlambat; atau (d) melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.284

Sedangkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) meliputi:

a) perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku; b) perbuatan

281

Lynn Mather and Barbara Yngvesson, 'Language, Audience, and the Transformation of

Disputes', Law & Society Review Vol. 15, 1980-1981, hlm. 775-82l . 282 Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Change, Sage Publication, London, 2000, hlm. 108 283

Sengketa/perselisihan lahir antara lain karena perbuatan curang dalam berbisnis.

Lihat : Soedjono Dirdjosisworo, Antisipasi terhadap Bisnis Curang: Pengalaman Negara Maju

dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property) dan pengaturan E-

Commerce serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia, ( cetakan ke 1) CV Utomo,

Bandung, 2005 dalam Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 4. 284

R. Subekti, Hukum Perjanjian (cetakan ke 20), Intermasa, Jakarta, 2004, hlm. 45.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

139

yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum; c) perbuatan

yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; d) perbuatan yang

bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden); atau e) perbuatan yang

bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk

memperhatikan kepentingan orang lain285

Penyelesaian sengketa, secara filosofis merupakan upaya untuk

mengembalikan hubungan pada pihak yang bersengketa dalam keadaan

seperti semula. Istilah teori penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan

bahasa Inggris, yaitu dispute settlement theory, bahasa Belandanya, yaitu

theorie van de beslecthing van geschillen, sedangkan dalam bahasa

Jerman disebut theorie der streitbeilegung. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z.

Rubin mengemukakan pengertian sengketa, sebagai berikut.

“Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of

interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang

bersengketa tidak dicapai secara simultan (secara serentak) “286

Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, mengartikan sengketa sebagai

keadaan dimana sengketa tersebut dinyatakan di muka atau dengan

melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya mereka mengemukakan istilah pra

konflik dan konflik. Pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak

puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak

menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas

tersebut”.287

Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani mengemukakan bahwa

sengketa adalah :

285

Fuadi menjelaskan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah: a) adanya suatu

perbuatan, b) pcrbuatan tersebut melawan hukum; c) adanya kesalahan dari pihak pelaku: d)

adanya kerugian bagi korban; dan e) adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan

kerugian.

Lihat Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya

Bakti, Jakarta, 2005, hlm. 10-11 286

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 9-

10. 287

Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum), dalam Antropologi

Hukum : Sebuah Bunga Rampai oleh T.O. Ihromi, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hlm. 225.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

140

“Pertentangan, perselisihan atau percekcokan yang terjadi antara yang

satu dengan pihak yang lainnya dan / atau antara pihak yang satu dengan

berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik berupa

uang maupun benda”.

Berdasarkan rumusan diatas, Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani

merumuskan teori penyelesaian sengketa, yaitu teori yang mengkaji dan

menganalisis tentang :

“Kategori atau penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul

dalam masyarakat, faktor terjadinya sengketa dan cara-cara atau strategi

yang digunakan untuk mengakhiri sengketa tersebut”.288

Laura Nader dan Harry F. Todd Jr menerangkan 7 (tujuh) cara

penyelesaian sengketa dalam masyarakat, yaitu:289

1) Lumpingit (membiarkan saja), oleh pihak yang merasakan

perlakuan tidak adil, gagal dalam mengupayakan tuntutannya. Dia

mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalahnya atau

isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan

hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakan

merugikannya. Ini dilakukan karena berbagai kemungkinan seperti

kurangnya faktor informasi tentang bagaimana proses mengajukan

keluhan ke peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan atau

sengaja tidak diproses ke pengadilan karena diperkirakan bahwa

kerugiannya lebih besar dari keuntungannya baik diprediksi dari

sisi materi maupun pisikologis.

2) Avoidance (mengelak), yaitu pihak yang merasa dirugikan,

memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak

yang merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan

hubungan tersebut, misalkan dalam hubungan bisnis hal serupa

288

Salim H.S. & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 137 289

Laura Nader & Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, Columbia

Univerity Press, New York, 1978, hlm. 9-11

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

141

bisa saja terjadi. Dengan mengelak, maka masalah yang

menimbulkan keluhan dielakkan saja.

Berbeda dengan pemecahan pertama (lumping it), dimana

hubungan-hubungan berlangsung terus, hanya isunya saja yang

dianggap selesai. Sementara dalam hal bentuk kedua (avoidance),

yaitu pihak yang merasa dirugikan mengelakannya. Pada bentuk

penyelesaian pertama hubungan pihak yang besengketa tetap

diteruskan, namun pada bentuk kedua hubungan kedua belak

pihak yang bersengketa dapat dihentikan untuk sebagian atau

untuk keseluruhan.

3) Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan

kepada pihak lain, ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat

memaksakan atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada

umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaiaan secara damai.

4) Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan

merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang

dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa

adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua belah

pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat

aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik

tolak dari aturan-aturan yang ada.

5) Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah

pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.

Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang

bersengketa, atau ditunjukan oleh pihak yang berwenang untuk itu.

Apakah mediator hasil pilihan kedua belah pihak, atau karena

ditunjuk oleh orang yang mempunyai kekuasaan, kedua belah

pihak yang bersengketa harus setuju bahwa jasa-jasa seorang

mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Dalam

masyarakat kecil (paguyuban) bisa saja tokoh-tokoh yang berperan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

142

sebagai mediator juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai

hakim.

6) Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa

sepakat untuk meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator

dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima

keputusan dari arbitrator tersebut.

7) Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai

wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari

keinginan para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga itu juga

berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya

pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan.

Ketujuh cara ini dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian

sengketa yaitu tradisonal, alternative disputeresolution (ADR) dan

pengadilan. Cara tradisional adalah lumping it (membiarkan saja),

avoidance (mengelak) dan coercion (paksaan). Ketiga cara tersebut

tidak dapat ditemukan dalam perundang-undangan. Yang termasuk

dalam penyelesaian sengketa dengan menggunakan ADR adalah

perundingan (negotiation), mediasi dan arbitrase. Ketiga cara ini

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, sedangkan

penyelesaian sengketa di pengadilan dikenal dengan hukum acara.

Dalam hukum perdata diperkenalkan dua jalur penyelesaian

sengketa: a) jalur pengadilan; dan b) jalur musyawarah. Akan tetapi,

dalam ilmu hukum juga diperkenalkan alternatif lain, yaitu jalur

arbitrase (perwasitan).290

Jalur pengadilan disebut juga dengan jalur

litigasi, danjalur selain jalur pengadilan disebutjalur nonlitigasi. Jalur

nonlitigasi dapat ditempuh melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrasi291

290

Richard Burton Simatupang. Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 41 291

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar,

Fikahati Aneska dan BANI, Jakarta, 2002, hlm. 2l-27

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

143

Mengenai penyelesaian sengketa di pengadilan (litigasi),

Robert Cooter menyatakan sebagai berikut.292

“ A legal dispute arises when someone claims to have been

illegally harmed at the hands of another. It is possible that

the victim and the injurer can resolve their dispute

themselves, but sometimes they cannot. The person who

feels injured may have a cause of action, that is, a valid

legal claim, against another person or organization. To

assert that action, he files a complaint and is, therefore,

referred to as the plaintiff. The complaint must state what

has happened, why the plaintiff feels that he has been

injured, what area of law is involved, what statute or other

law is relevant, and what relief he wishes the court to give

him. The complaint and the management of the subsequent

aspects of the dispute are complicated matters; typically,

private citizens retain the services of a lawyer, who usually

has far more experience in these matters than does the

citizen, to help them in all this.”

Penyelesaian perselisihan kontrak syari’ah telah

diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, di dalam undang-undang ini

ditetapkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a)

perkawinan; b) waris; e) wasiat; d) hibah; e) wakaf; t) zakat; g)

infaq; h) shadaqah; dan i) ekonomi syri’ah.

Pembahasan pada rumusan masalah pertama akan

mengaplikasikan teori penyelesaian sengketa yang mengarah

kepada hukum manakah yang digunakan dan dalam situasi apa

hukum tersebut digunakan oleh hakim yang memeriksa dan

memutus perkara kepailitan di bidang ekonomi syaria’ah. Teori

aanknopingspunten (pertautan/titik-titik pertalian hukum)

adalah menyangkut hal-hal dan keadaan-keadaan yang

292

Roger Cooter & Thomas Ulen, Law and Economics ( 6th edition), Addison-Wesley, Boston,

2012, hlm. 62

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

144

menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum. Secara umum,

pertautan hukum dibedakan menjadi dua: pertautan hukum

yang bersifat primer dan pertautan hukum yang bersifat

sekunder.293

Pertautan primer merupakan alat-alat utama guna

pelaksanaan hukum, terutama hakim-untuk mengetahui apakah

(kedudukan/posisi) suatu perselisihan hukum merupakan

masalah hukum antar tata hukum sehingga melahirkan

hubungan hukum antar tata hukum. Pertautan primer

mencakup: a) para pihak (partijen) atau subyek hukum; b)

tanah; c) pilihan hukum (rechtskeuze); d) hakim sebagai titik-

pertalian mengenai hukum acara.

Titik pertautan sekunder (secunadaire aanknopingspunten)

mencakup: a) maksud para pihak (bedoiing van partiej); b)

lingkungan dan suasana tempat dilakukannya perjanjian; c)

kedudukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian; d) masuk

dalam suasana hukum pihak yang lain (zich begeven in de

rechttssfeer van den ander); dan e) tanah pada perjanjian

obligatoir (niet zakelijke overeenkomten) merupakan salah satu

pertautan hukum sekunder.

Gautama dengan mengutip pendapat Klein menyajikan tiga

bentuk pernyataan yang menunjukan berlakunya hukum bagi

pihak yang melakukan perbuatan hukum yang berupa: a)

pernyataan berlaku secara langsung (rechtstreekse

toepasselijkverklaring), b) pernyataan berlaku secara tidak

langsung (middelijke toepasselzjkverklaring), dan e) peraturan-

peraturan khusus untuk masalah-masalah hukum

antargolongan.294

293

Sudargo Gautama, Hukum Antargolongan: Suatu Pengantar (Cetakan Ke-6) , PT Ichtiar Baru-

Van Hoeve, Jakarta, 1983, hlm. 47. 294

ibid

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

145

4. Teori Kewenangan.

Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu

authority of theory, istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu

theorie van het gezag, sedangkan dalam bahasa Jermannya, yaitu theorie

der autorität. Menurut H.D Stoud wewenang adalah pengertian yang

berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan

sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum

publik di dalam hubungan hukum publik.295

Dalam kepustakaan hukum

administrasi Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan

bagian awal dari hukum administrasi karena obyek administrasi adalah

wewenang pemerintahan ( bestuursbevoegdheid ). Dalam konsep hukum

publik, wewenang merupakan suatu suatu konsep inti dalam hukum tata

negara dan hukum administrasi.296

Dalam hukum tata negara, wewenang

(bevogheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht). Jadi

dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.297

Hench van Maarseveen menyebutkan bahwa sebagai suatu konsep

hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen,

yaitu :

1) Pengaruh;

2) Dasar hukum; dan

3) Konformitas hukum.298

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksud

untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. komponen dasar hukum

ialah bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk dasar hukumnya 295

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 71. 296 F.A.M. Stroink-J.G. Steenbeek, Inlelding in Het Staats Administratie Recht, Samson, 1983,

hlm. 26 dalam Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal Yuridika, hlm. 1 297 Henc van Maarseveen, Bevoegdheid, dimuat dalam P.W. C. Akkermans et al., Algemene

Begrippen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, 1985, hlm. 47 dalam Philipus M. Hadjon, ibid. 298

Henc van Maarseveen, Bevoegdheid, dimuat dalam P.W. C. Akkermans et al., Algemene

Begrippen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, 1985, hlm. 49 dalam Philipus M. Hadjon,

“Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, Pro Justisia Tahun XVI Nomor 1

Januari 1998, hlm. 94.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

146

dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar

wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar

khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan

yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu:

1) Adanya aturan-aturan hukum; dan

2) Sifat hubungan hukum.

Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang

melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan, apakah dalam bentuk undang-undang, peraturan

pemerintah maupun aturan yang lebih rendah tingkatannya. Sifat

hubungan hukum adalah sifat yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut

atau ikatan atau pertalian atau berkaitan dengan hukum. Hubungan

hukumnya ada yang bersifat publik dan privat.

Ateng Syarifudin menyajikan pengertian wewenang, mengemukakan

bahwa :

“Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kita

harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan

wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang

disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya

mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang ( rechtsbe

voegdheden). Wewenang merupakan ruang lingkup tindakan hukum

publik, lingkup wewenang pemerintah, tidak hanya meliputi

wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi

wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan”.299

Ateng Syafrudin, tidak hanya menyajikan konsep kewenangan, tetapi

juga konsep tentang wewenang. Unsur-unsur yang tercantum dalam

kewenangan, meliputi :

299

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000,

hlm. 22.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

147

1) Adanya kekuasaan formal; dan

2) Kekuaasaan diberikan oleh undang-undang.

Indroharto menyajikan pengertian wewenang. Wewenang dalam arti

yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat

hukum”.300

Sementara itu, pengertian kewenangan ditemukan dalam Black Law

Dictionary. Kewenangan atau authority adalah :

“Right to exercise power; to implement and enforce laws; to exact

obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often

synonymous with power”.301

Konstruksi tersebut diatas, kewenangan tidaknya diartikan sebagai hak

untuk melakukan praktik kekuasaan, namun kewenangan juga diartikan:

1) Untuk menerapkan dan menegakkan hukum;

2) Ketaatan yang pasti;

3) Perintah;

4) Memutuskan;

5) Pengawasan;

6) Yurisdiksi;

7) Kekuasaan

Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani mendefiniskan teori

kewenangan (authority theory) sebagai teori yang mengkaji dan

menganalisis tentang :

“ Kekuasaan organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya,

baik dalam lapangan hukum publik maupun lapangan hukum privat

“. Unsur-unsur yang tercantum dalam teori kewenangan meliputi

kekuasaan, organ pemerintah dan sifat hubungan hukumnya.

Kewenangan dapat dilihat dibedakan menurut sumber,

kepentingannya, teritoria, ruang lingkupnya dan menurut urusan

300

Indroharto dalam Salim HS dan Erlies Septiana, Op.Cit, hlm. 185 301

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Op.Cit. hlm 121.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

148

pemerintah. Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi dua

macam, yaitu wewenang personal dan wewenang official. Wewenang

personal yaitu wewenang yang bersumber pada intelegensi, pengalaman,

nilai, atau norma dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan

wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari

wewenang yang berada diatasnya.

Max Weber membagi kewenangan menjadi empat macam, yang

meliput:

1) Wewenang kharismatis, traditional dan rasional (legal);

2) Wewenang resmi dan tidak resmi;

3) Wewenang pribadi dan teritorial; dan

4) Wewenang terbatas dan menyeluruh.

Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan

pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang

melekat pada diri seseorang, kemampuan mana yang diyakini sebagai

pembawaan seorang sejak lahir. Wewenang tradisional merupakan

wewenang yang dapat dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang.

Ciri-ciri wewenang tradisional, meliputi:

1) Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa

yang mempunyai wewenang, serta orang-orang lainnya dalam

masyarakat;

2) Adanya wewenang yang lebih tinggi daripada kedudukan seorang

diri hadir secara pribadi;

3) Selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan

tradisional, orang-orang dapat bertindak secara bebas.

Wewenang rasional atau legal, yaitu wewenang yang disandarkan

pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat, sistem hukum

mana dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta

ditaati oleh masyarakat, dan bahkan telah diperkuat oleh negara.

Wewenang tidak resmi merupakan hubungan-hubungan yang

timbul antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sifatnya sangat

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

149

ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tadi. Wewenang

resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasional. Biasanya

wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang

memerlukan aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap.

Wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi, dan/atau

kharisma. Wewenang teritorial merupakan wewenang dilihat dari

wilayah tempat tinggal. Wewenang terbatas adalah wewenang yang

sifatnya terbatas, dalam arti tidak mencakup semua sektor atau bidang

kehidupan, akan tetapi hanya terbatas pada salah satu sektor atau

bidang saja. Misalnya, seorang jaksa di Indonesia mempunyai

wewenang atas nama negara menuntut seorang warga negara yang

melakukan tindak pidana, akan tetapi jaksa tersebut tidak berwenang

untuk mengadilinya. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang

yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Sebagai

contoh adalah, bahwa setiap negara mempunyai wewenang yang

menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan

wilayahnya.

Fokus Penulis dalam menerapkan teori kewenangan adalah untuk

mengkaji sumber kewenangan dari pengadilan agama dan pengadilan

niaga dalam memutus perkara kepailitan di bidang ekonomi syari’ah

dengan mendasarkan pada pendapat Philipus M. Hadjon. Philipus M.

Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara utama,

yaitu 1) atribusi dan 2) delegasi dan kadang-kadang juga mandat.302

1) Atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh

wewenang pemerintahan.303

Atribusi merupakan wewenang untuk

membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada

undang-undang dalam arti materiil.304

Sebagaimana telah

302 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal Yuridika, hlm. 2 303 Van Wijk/Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratitief Recht, vijfde druk, Vuga, 1984,

hlm. 51 dalam Philipus M. Hadjon, ibid. 304

Rapport v.d. Commissie inzake algene bepalingen van administratief recht, Algemene

Bepalingen van Administratie Recht, Samson, 1984, hlm. 11 dalam Philipus M. Hadjon, ibid.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

150

disampaikan bahwa sebagai suatu cara normal untuk memperoleh

wewenang pemerintahan, kewenangan yang didapat melalui

atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena

kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-

undangan (utamanya UUD 1945). Dengan kata lain, atribusi

berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan

itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintahan yang bersangkutan.

Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan

pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ

tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang

berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2) Delegasi, dalam artikel 10:3 Algemene Wet Bestuursrecht (AWB)

diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit)

oleh pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha Negara) kepada

pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak

lain tersebut. Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut

delegans dan yang menerima disebut delegataris.305

Dengan kata

penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari

yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima

(delegataris).

Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara

lain:306

(1) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

(2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan, artinya delegasi hanya dimungkingkan kalau ada

ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan

(3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan

hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

305 J. B. J. M. Ten Berge., Besturen Door de Overheid, Netherlands Algemeen Bertuursrecht 1,

Tweede druk, Tjeenk Willink, 1985, hlm. 89 dalam Philipus M. Hadjon, ibid. hlm. 3 306

ibid. hlm. 3

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

151

(4) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan

wewenang tersebut;

(5) Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan

instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.307

Seperti telah diuraikan di atas, delegasi tidak dilakukan kepada

bawahan. Dalam kepustakaan digunakan istilah dekonsentrasi,

yaitu kemungkinan terjadinya pemberian wewenang dalam

hubungan kepada bawahan. Dekonsentrasi diartikan sebagai

atribusi wewenang kepada para pegawai (bawahan). Tujuan

diadakannya dekonsentrasi ialah :

a) Adanya sejumlah besar permohonan keputusan dan

dibutuhkannya keahlian khusus dalam pembuatan keputusan;

b) Kebutuhan akan penegakan hukum dan pengawasan;

c) Kebutuhan koordinasi.

3) Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.

Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan

untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang

memberi mandat. Tanggung jawab tidak pindah ke mandataris,

melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat,

hal ini dapat dilihat dari kata a.n. (atas nama). Dengan demikian,

semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan

yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si

pemberi mandat.

Berdasarkan landasan teori yang Penulis uraikan sebagaimana

tersebut diatas, melalui penelitian disertasi ini Penulis hendak merancang

Teori Pembangunan Hukum Ekonomi Islam dengan bertitik tumpu pada

penguatan fungsi institusi peradilan agama sebagai lembaga penyelesaian

sengketa yang adil dan efektif

307

Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, Pro Justisia

Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hlm. 94.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

152

C. PENELITIAN YANG RELEVAN

Penulis telah melakukan penelusuran untuk mendapatkan penelitian-

penelitian guna menghindarkan Penulis dari plagiasi dan menunjukkan

kebaruan (novelty) penelitan. Penelitian Disertasi yang menurut Penulis masih

memiliki sedikit relevansi dengan penelitian Penulis antara lain:

No. Nama dan Instansi

Perguruan Tinggi

Judul dan Ruang Lingkup Penelitian Perbedaan dengan

Penelitian Penulis

1 Nasrudin

(Universitas Islam

Negeri Alauddin

Makassar)

Disertasi, 2014, Peradilan Agama dan

Sengketa Ekonomi Syariah.

Ruang lingkup :

Disertasi ini membahas tentang Peradilan

Agama dalam kaitannya dengan Sengketa

Ekonomi Syariah.

Nasrudin dalam penelitiannya mengkaji

tentang hakikat peradilan agama dan

ekonomi syariah, peluang dan hambatan

yang muncul dalam menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah di Indonesia,

termasuk ketika dikaitkan dengan posisi

dan fungsi hakim pengadilan agama dan

korelasi peradilan agama dengan sengketa

ekonomi syariah.

Penelitian Nasrudin

membahas mengenai

eksistensi Peradilan

Agama dan

kewenangannya dalam

menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah serta

peluang dan hambatan

yang muncul dalam

melaksanakan

kewenangannya tersebut.

Penelitian Penulis tidak

hanya mengkaji eksistensi

Peradilan Agama dan

kewenangannya dalam

menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah, akan

tetapi juga mengkaji

tentang kewenangan dalam

memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara

kepailitan di bidang

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

153

ekonomi syari’ah.

2. Asep Iwan Iriawan

(Universitas

Padjajaran, Bandung)

Disertasi, 2010, Kajian Atas Kewenangan

Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian

Sengketa Bisnis Dihubungkan dengan Asas

Kepastian Hukum sebagai Upaya

Pengembangan Sistem Peradilan

Indonesia.

Ruang lingkup :

Tema utama Penelitian ini adalah objek

pengadilan niaga dikaitkan dengan asas

kepastian hukum.

Asep Iwan Iriawan berpendapat dalam

disertasinya bahwa Undang-Undang

Kepailitan yang mencantumkan kata-kata

‘perniagaan lainnya’ hal ini bertentangan

dengan asas hukum yang berlaku, dimana

dalam membuat undang-undang harus

tegas, rinci, dan absolut. Undang-undang

Kepailitan menimbulkan adanya

ketidakpastian.

Demikian pula, Asep Iwan Iriawan

berpendapat bahwa sengketa bisnis yang

diajukan ke Pengadilan Niaga pun berbagai

macam kasus, akan tetapi kewenangan

Pengadilan Niaga ini tidak jelas dan tegas

disebutkan dalam Undang-Undang

Kepailitan.

Asep Iwan Iriawan pun berpendapat bahwa

sebaiknya kedudukan dan kewenangan

Pengadilan Niaga dilakukan dalam “kamar

Penelitian yang dilakukan

oleh Asep Iwan Iriawan

mengkaji tentang obyek

sengketa, atau kompetensi

absolut Pengadilan Niaga

yang tidak jelas definisi

dan ruang lingkupnya

sehingga melanggar asas

kepastian hukum.

Penelitian penulis,

meskipun sama-sama

mengkaji kompeteni

absolut dan kepastian

hukum, lebih berfoku

kepada penyeleaian

perkara-perkara kepailitan

di bidang ekonomi syariah

dengan membandingkan

kewenangannya dengan

Peradilan Agama,

sehingga luarannya pun

berbeda.

Penulis memiliki luaran

penelitian (novelty) yaitu

dibentuknya Pengadilan

Niaga Syariah di bawah

Peradilan Agama.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

154

khusus” secara terspesialisasi dalam

Pengadilan Negeri. Hal ini dilakukan guna

mencapai kepastian hukum dalam

pengembangan sistem peradilan untuk

mewujudkan tujuan negara kesejahteraan

yang diimplementasikan dengan landasan

hukum yang jelas, tegas, dan rinci sesuai

dengan asas peradilan sederhana, cepat,

dan biaya ringan.

3. Gunardi

(Univeritas

Tarumanegara,

Jakarta)

Disertasi, 2016, Penalaran Hukum Hakim

Pengadilan Niaga Menurut Sistem

Peradilan Indonesia

Ruang Lingkup :

Penelitian Gunardi berfokus pola penalaran

hakim pengadilan niaga. Gunardi

menyimpulkan tiga asas dan prinsip hukum

yang diterapkan hakim dalam

pertimbangan hakim.

Pertama, pada tingkat pertama di

Pengadilan Niaga, asas dan prinsip hukum

yang diterapkan hakim tentang persyaratan

utang, putusan pailit tidak dapat dijatuhkan

terhadap debitor yang masih solven,

putusan pailit harus disetujui oleh para

kreditor mayoritas, dan keadaan diam.

Selain itu dipakai juga asas pengakuan hak

separatis kreditor pemegang hak jaminan,

proses pailit tidak panjang, dan proses

pailit terbuka untuk umum.

Relevansi penelitian

Gunardi dengan penelitian

Penulis adalah sama-sama

mengkaji pola penalaran

hakim pengadilan niaga

yang tercerin dalam

pertimbangan putusan-

putusan.

Perbedaannya adalah,

Penulis lebih berfokus

kepada putusan-putusan

perkara kepailitan di

bidang ekonomi syari’ah.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

155

Kedua, pada tingkat kasasi, hakim lebih

mempertimbangkan asas keseimbangan,

keadilan, restrukturisasi utang bagi debitor

prospektif, paritas creditorium, pari passu

prorate parte, dan structural creditors.

Ketiga, di tingkat PK, hakim agung banyak

mempertimbangkan prinsip kelangsungan

usaha, integrasi, mendorong investasi dan

bisnis, memberikan manfaat dan

perlindungan, dan pengurus perusahaan

pailit harus bertanggung jawab secara

pribadi. Prinsip lain yang dipakai adalah

perbuatan merugikan harta pailit adalah

tindak pidana, debt collection, debt

pooling, debt forgiveness, serta asas

universal dan teritorial.

4. Asasriwarni

(Universitas Islam

Negeri Sunan

Kalijaga, Yogyakarta)

Disertasi, 2008, Studi Tentang Putusan-

Putusan Pengadilan Agama sebagai Produk

Pemikiran Hukum Islam (Kasus Wilayah

Pengadilan Tinggi Agama Padang Tahun

1989-1997)

Ruang Lingkup :

Penelitian Aswinarni berfokus pada

karakteristik putusan-putusan Pengadilan

Agama dan putusan-putusan Pengadilan

Agama sebagai pembaruan hukum Islam.

Aswinarni berpendapat bahwa :

a. Ada 3 (tiga) karakteristik putusan

pengadilan agama oleh hakim-

Relevansi dengan

penelitian Penulis adalah

sama-sama menggunakan

pendekatan historis,

mengkaji eksistensi

pengadilan agama dan

meneliti potensi

pembaruan hukum Islam

melalui putusan-putusan

pengadilan.

Perbedaannya adalah

Penulis mengkaji filosofi

pembentukan pengadilan

agama dan pengadilan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

156

hakim pengadilan agama di wilayah

Pengadilan Tinggi Agama Padang

tahun 1989-1997 yaitu berperan 1)

sebagai corong undang-undang, 2)

berpaling pada ketentuan fiqih dan

3) aspiratif terhadap urf.

b. Putusan pengadilan agama oleh

hakim-hakim pengadilan agama di

wilayah Pengadilan Tinggi Agama

Padang sebagian telah beranjak dari

imam mazhab-mazhab yang ada;

c. Putusan pengadilan agama oleh

hakim-hakim pengadilan agama di

wilayah Pengadilan Tinggi Agama

Padang sebagian memberikan

pembaharuan terhadap hukum

Islam.

niaga dan eksistensinya,

putusan-putusan perkara

kepailitan di bidang

ekonomi syariah serta

implikasinya pada

pembaruan hukum Islam

di Indonesia.

5. Siti Anisah

( Universitas

Indonesia )

Disertasi, 2008, Perlindungan Kepentingan

Kreditor dan Debitor dalam Hukum

Kepailitan di Indonesia.

Ruang Lingkup :

Penelitian Siti Anisah berfokus pada

perkembangan perlindungan terhadap

kepentingan kreditor dan debitor dalam

hukum kepailitan di Indonesia, sikap

pengadilan dalam usaha melindungi

kepentingan kreditor, debitor, dan

stakeholder, serta persamaan dan

perbedaan antara hukum kepailitan Barat

Relevansinya dengan

penelitian Penulis adalah

sama-sama mengkaji

kepailitan dalam perspektif

Islam.

Perbedaannya adalah pada

outputnya, Penulis

berfokus pada

pembentukan pengadilan

niaga syari’ah sedangkan

penelitian Siti Anisa

berfokus pada

perlindungan hukum

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

157

dengan hukum kepailitan Islam yang

melindungi kepentingan kreditor dan

debitor.

Siti Anisah menyimpulkan bahwa :

1. Perlindungan terhadap kepentingan

kreditor semakin bertambah tegas

dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004;

2. Implementasi Undang-Undang

Kepailitan lebih berpihak terhadap

debitor. Buktinya adalah jumlah

debitor yang dinyatakan pailit

kurang dari 50% dari jumlah

permohonan pernyataan pailit yang

diajukan ke Pengadilan Niaga.

3. Persamaan antara hukum kepailitan

Islam dan hukum kepailitan Barat

terdapat sedikitnya di dalam tujuh

hal, yaitu mengenai pengertian dasar

dalam pailit, para pihak yang berhak

mengajukan pailit, persyaratan

pailit, pernyataan pailit diputuskan

oleh Pengadilan, ketidakcakapan

debitor setelah adanya putusan

pailit, perdamaian, dan pembebasan

utang.

Salah satu perbedaannya antara lain

adalah dalam hukum kepailitan Islam

debitor dapat saja secara gradual

diberikan status dalam keadaan tidak

kepada kepentingan

debitor, kreditor.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

158

mampu membayar utangnya (mu’sir).

Status ini dapat berubah menjadi pailit

(muflis) apabila ternyata utang debitor

melebihi jumlah harta yang

dimilikinya.

6.

Aden Rosadi.

(Universitas Islam

Negeri Sunan Gunung

Jati)

Disertasi, 2012, Nazhariyyat al-Tanzhimi

al- Qadhai ( Teori dan Sistem

Pembentukan Hukum Peradilan Agama)

dan Transformasinya dalam Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia.

Ruang Lingkup :

Penelitian Aden Rosadi berfokus pada

perubahan Undang-Undang yang mengatur

tentang Peradilan Agama di Indonesia.

Aden Rosadi berpendapat bahwa :

1. Perubahan nazhariyyat al-tanzhīmi al-

qadhāī dilatarbelakangi oleh faktor

filosofis, yuridis, sosiologis, dan

politis; Perubahan undang-undang

tentang Peradilan Agama pada tahun

2009 disebabkan oleh perubahan iklim

politik secara nasional melalui

reformasi yang bergulir sejak tahun

1998.

2. Implementasi nazhāriyyat al-tanzhīmi

al-qadhāī dalam Undang-Undang

No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan

Agama diarahkan pada aspek substansi,

Relevansinya dengan

penelitian Penulis adalah

sama-sama meneliti

dengan pendekatan historis

pembentukan Peradilan

Agama serta perubahan-

perubahannya.

Perbedaannya, penelitian

Penulis hanya terfokus

pada kewenangan

pengadilan agama dalam

memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa

ekonomi syarah, tidak

sampai pada ranah

implementasi.

Kedua, Penulis juga

menkaji eksistensi

Pengadilan Niaga.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

159

struktur, dan kultur hukum Peradilan

Agama;

3. Undang-Undang No.50 Tahun 2009

Tentang Peradilan Agama memiliki

keserasian dan keselarasan, baik

vertikal (undang-undang yang lebih

tinggi) maupun horisontal (undang-

undang yang sejajar).

7.

Wakhidun

Abdurrakhman

( Universitas Sebelas

Maret, Surakarta )

Disertasi, 2018, Politik Hukum Dalam

Pembinaan Peradilan Agama di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian :

Penelitian Wakhidun Abdurrakhman

berfokus kepada politik hukum

pembinanaan Peradilan Agama di

Indonesia.

Hasil Penelitian :

1) Selama masa pemerintahan orde lama,

keberadaan Peradilan Agama tidak jauh

berubah sebagaimana di masa Pra

Kemerdekaan, sebab ternyata politik

kaum kolonialisme yang tidak

mensejajarkan Peradilan Agama

dengan Peradilan Umum masih tetap

diberlakukan.

2) Politik hukum dalam membina

Peradilan Agama di Indonesia : terjadi

pergeseran kekuasan dari rezim orde

baru ke orde reformasi membawa

Relevansi dengan

penelitian Penulis adalah

sama sama terdapat kajian

tentang politik hukum dan

ada gagasan tentang

Pengadilan Niaga Syariah.

Perbedaan :

1) Penelitian Wakhidun

Abdurrakhman

seluruhnya adalah

tentang politik hukum

pembinaan Peradilan

Agama, sedangkan

dalam penelitian

Penulis, politik hukum

pembentukan peradilan

agama hanya dijadikan

sub bab pembahasan

saja dan

diperbandingkan

dengan pengadilan

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

160

berbagai perubahan dalam ranah sosial,

politik, dan hukum, serta lahirnya

peradilan khusus di daerah Propinsi

Aceh Darussalam.

3) Politik hukum dalam pembinaan

Peradilan Agama yaitu perlu diperkuat

dan dipercepat lahirnya Peradilan

Ekonomi Syariah (Niaga Syariah)

karena keberadaannya sangat

dibutuhkan dalam menyelesaikan

adanya sengketa ekonomi syariah.

niaga.

2) Pengadilan Ekonomi

Syariah yang digagas

oleh Wakhidun

Abdurrakhman

memiliki kompetensi

memeriksa seluruh

perkara ekonomi

syariah, sedangkan

Pengadilan Niaga

Syariah memiliki

kewenangan

memeriksa kepailitan

di bidang ekonomi

syariah saja.

Tabel 3. Penelitian yang relevan.

Berdasarkan tabel 3 sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian Penulis

belum ditulis oleh penulis-penulis sebelumnya karena tema juga berbeda. Ada pun

tema atau rumusan yang Penulis angkat dalam disertasi ini antara lain 1)

implikasi dari diperiksa dan diadilinya perkara kepailitan di bidang ekonomi

syariah oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum 2)

dasar pembenaran pemeriksaan perkara kepailitan di bidang ekonomi syariah oleh

Pengadilan Niaga pasca berlakunya UU No. 3/2006 jo. UU No. 50/2009 yang

telah memperluas kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah dan 3) kebijakan hukum

yang ideal terkait kewenangan absolut untuk memeriksa, mengadili serta

menyelesaikan perkara kepailitan di bidang ekonomi Syariah antara Pengadilan

Niaga dan Pengadilan Agama (ius constituendum).

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

161

Demikian pula dengan kebaruan penelitian Penulis sangat berbeda dengan

penelitian-penelitian sebelimnya sebagaimana tersebut di atas. Penulis

mengemukakan model penyelesaian perkara kepailitan di bidang ekonomi

syari’ah yaitu dengan pembentukan pengadilan niaga syari’ah. Demikian pula

Penulis merancang teori pembangunan hukum ekonomi Islam dengan bertitik

tumpu pada penguatan fungsi peradilan agama.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

162

D. KERANGKA BERPIKIR

UUD RI 1945

Ps. 24 ayat (2) UUD RI 1945 jo. UU

No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman

Peradilan Militer

Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah

Konstitusi

Mahkamah

Agung

Peradilan Umum Peradilan Agama

Teori Lingkaran

Konsentris UU No. 49 /2009

tentang Peradilan

Umum

UU No. 50 /2009

tentang Peradilan

Agama Teori Kepastian

Hukum

Teori Kewenangan

Hukum

Islam

(Al-

Qur’an,

Hadits\,

KHI,

KHES,

dll

Pengadilan

Negeri KUHPerdata Pengadilan

Agama Teori Penyelesaian

Sengketa ( Pertautan )

Pengadilan Niaga

UU No. 37 / 2004

tentang

Kepailitan dan PKPU

Ps. 49 UU No.

50/2009 :

Sengketa

Ekonomi Syariah

Merupakan

Kewenangan

Pengadilan

Agama

Perkara Kepailitan

yang timbul

berdasarkan akad-

akad berdasarkan

prinsip Islam

(ekonomi Syariah)

Implikasi

Novelty

Teori Sistem TOPPIKU

(Sistem Peradilan yang

Terpadu dengan

Orientasi Peradilan

pada Pembangunan

Perekonomian dengan

upaya penerapan Islam

secara Kaffah dan

berparadigma Ulul

Albab)

Pembentukan

Pengadilan Niaga

Syarah di bawah

lingkungan Peradilan

Agama

Ius Constituendum:

Pengadilan Agama

diberikan kewenangan

mengadili perkara

kepailitan di bidang

ekonomi syari’ah

Dasar Pembenaran

Kebijakan yang Ideal

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

163

Bagan 1. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Pengadilan Niaga berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memiliki

kewenangan absolut untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-

perkara kepailitan. Pengadilan Niaga yang secara kelembagaan berada di

lingkungan peradilan umum dalam menjalankan kewenangan absolutnya untuk

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kepailitan tidak

membedaka-bedakan antara perkara kepailitan yang timbul dari kontrak-kontrak

konvensional mau pun kontra-kontrak (akad) syariah, dengan kata lain Pengadilan

Niaga tidak mengenal pembedaan antara kontrak konvesional dengan akad

syariah. Setiap perkara kepailitan yang diajukan, selama memenuhi unsur terdapat

lebih dari dua kreditur, hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta

memenuhi asas pembuktian yang sederhana, akan diterima oleh Pengadilan Niaga

untuk selanjutnya diperiksa dan diadili, tidak perlu diperhatikan apakah perkara

kepailitan tersebut timbul dari kontrak-kontrak konvensional atau akad-akad

syariah yang kemudian dikenal dengan istilah sengketa ekonomi syariah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59 “Wahai orang-

orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri

di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Firman Allah SWT tersebut diatas

merupakan pedoman bagi orang-orang yang beragama Islam dalam

menyelesaiakan perkara-perkara yang timbul termasuk perkara ekonomi syariah.

Demikian pula, dalam hukum positif di Indonesia, sengketa ekonomi syariah

berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana telah

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

164

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah

menjadi kewenangan absolut dari Pegadilan Agama di bawah lingkungan

Peradilan Agama. Artinya, setiap perkara-perkara yang berkaitan dengan ekonomi

syariah merupakan kompetensi absolut dari pengadilan agama dan harus

diselesaikan di Pengadilan Agama dengan berlandaskan syariat Islam.

Isu hukum utama yang dalam penelitian ini adalah dasar pembenaran

kewenangan mengadili Pengadilan Niaga apabila terdapat sengketa kepailitan

yang timbul berdasarkan kepada akad-akad yang menggunakan prinsip syariah.

Sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU, maka Pengadilan Niaga di bawah

Peradilan Umum berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara, akan tetapi

berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama, perkara-perkara dalam ruang

lingkup kontrak syariah di bidang ekonomi menjadi kompetensi absolut

Pengadilan Agama di bawah lingkungan Peradilan Agama. Artinya, apabila sudah

dibentuk Pengadilan Agama, seharusnya semua perkara terkait ekonomi syariah,

termasuk kepailitan di bidang ekonomi syariah menjai kewenangan Pengadilan

Agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan. Kewenangan memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah di bidang kepailitan oleh

pengadilan niaga tentu memberikan implikasi bagi penegakan hukum Islam di

bidang muamalah.

Teori yang Penulis gunakan adalah teori lingkaran konsentris, teori kepastian

hukum, teori kewenangan dan dilengkapi dengan teori pertautan. Teori tersebut

sangat relevan untuk mengalisis isu-isu hukum yang Penulis angkat ke dalam

disertasi mengingat pokok-pokok bahasan Penulis secara garis besar adalah

mengenai kepastian hukum dan kewenangan mengadili antara lembaga

pengadilan.

Novelty yang Penulis ajukan adalah mengajukan suatu model sistem peradilan

yang terpadu dengan orientasi peradilan pada pembangunan perekonomian

dengan upaya penerapan Islam secara kaffah dan berparadigma ulul albab (

Teori TOPPIKU ) dengan cara membentuk Pengadilan Niaga Syariah yang

berkedudukan di lingkungan Peradilan Agama yang memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan di bidang ekonomi syariah.

commit to user

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id