Peradilan khusus pemilu

21
Minggu, 27 April 2014 Menakar Wacana Pengadilan Khusus Pemilu Oleh : Rahman Yasin Gagasan kemungkinan akan di bentuk Pengadilan Khusus Pemilihan Umum (election court) semakin mengemuka seiring pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mengatakan sependapat dengan rencana sikap pemerintah untuk mengembalikan fungsi Pengadilan Tinggi menangani persidangan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dengan efisiensi anggaran. Ketua MK, Mahfud MD, beralasan mengapa sidang sengketa Pimilu Kada dikembalikan ke PT, hal ini mengingat MK sebagai lembaga kehakiman secara konstitusi memiliki beban tugas dan tanggungjawab yang banyak. Kasus gugatan Penghitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) juga selalu monoton. Kasus-kasus sengketa Pemilu Kada yang ditangani MK, sebagian besar punya latar belakang yang sama yakni berkutat pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penyalahgunaan jabatan calon incumbent, kecurangan, dan politik uang yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif. Intinya, MK sepakat agar penyelesaian sengketa Pemilu Kada dikembalikan ke PT. Pertanyaan kemudian, relevankah apabila Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk, dan apakah dengan dibentuk pengadilan khusus pemilu kemudian penanganan gugatan PHPU Pemilu Kada bisa efektif? Gagasan diatas agak berbeda dengan sebelumnya, dimana Komisi II DPR RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang jauh sebelumnya mewacanakan agar perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu. Bawaslu memandang perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu dengan maksud setiap sengketa PHPU Pemilu Kada dapat diselesaikan dengan proporsional. Kehadiran Pengadilan Khusus Pemilu nanti juga diharapkan mampu menciptakan iklim rasa keadilan bagi setiap warga yang mencari keadilan. Dengan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu, maka secara otomatis, peran dan fungsi lembaga Pengawas Pemilu (Bawaslu dan Panwaslu Daerah diharapkan semakin menguat sehingga upaya-upaya ke depan dalam memperbaiki sistem penyelenggaraa dan penyelesaian sengketa Pemilu Kada dapat berjalan baik. Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, pengawasan terhadap penyelenggara Pemilu Kada tahap 2010 diagendakan

Transcript of Peradilan khusus pemilu

Minggu, 27 April 2014

Menakar Wacana Pengadilan Khusus Pemilu

Oleh : Rahman Yasin

Gagasan kemungkinan akan di bentuk Pengadilan Khusus PemilihanUmum (election court) semakin mengemuka seiring pernyataan KetuaMahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang mengatakan sependapatdengan rencana sikap pemerintah untuk mengembalikan fungsiPengadilan Tinggi menangani persidangan sengketa PemilihanUmum Kepala Daerah dengan efisiensi anggaran. Ketua MK, MahfudMD, beralasan mengapa sidang sengketa Pimilu Kada dikembalikanke PT, hal ini mengingat MK sebagai lembaga kehakiman secarakonstitusi memiliki beban tugas dan tanggungjawab yang banyak.

Kasus gugatan Penghitungan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)juga selalu monoton. Kasus-kasus sengketa Pemilu Kada yangditangani MK, sebagian besar punya latar belakang yang samayakni berkutat pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT),penyalahgunaan jabatan calon incumbent, kecurangan, dan politikuang yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, danmassif. Intinya, MK sepakat agar penyelesaian sengketa PemiluKada dikembalikan ke PT. Pertanyaan kemudian, relevankahapabila Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk, dan apakah dengandibentuk pengadilan khusus pemilu kemudian penanganan gugatanPHPU Pemilu Kada bisa efektif?

Gagasan diatas agak berbeda dengan sebelumnya, dimanaKomisi II DPR RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang jauhsebelumnya mewacanakan agar perlu dibentuk Pengadilan KhususPemilu. Bawaslu memandang perlu dibentuk Pengadilan KhususPemilu dengan maksud setiap sengketa PHPU Pemilu Kada dapatdiselesaikan dengan proporsional. Kehadiran Pengadilan KhususPemilu nanti juga diharapkan mampu menciptakan iklim rasakeadilan bagi setiap warga yang mencari keadilan. Denganpembentukan Pengadilan Khusus Pemilu, maka secara otomatis,peran dan fungsi lembaga Pengawas Pemilu (Bawaslu dan PanwasluDaerah diharapkan semakin menguat sehingga upaya-upaya kedepan dalam memperbaiki sistem penyelenggaraa dan penyelesaiansengketa Pemilu Kada dapat berjalan baik.

Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, pengawasanterhadap penyelenggara Pemilu Kada tahap 2010 diagendakan

sebanyak 244 Pemilu Kada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dansudah sekitar 100 lebih daerah yang telah digelar acapkalimenimbulkan persoalan baru. Kasus-kasus pelanggaran PemiluKada hanya diseputar itu-itu saja --- pelanggaran administrasidan pelanggaran tindak pidana yang ditemukan dan meski sudahdilaporkan ke pihak-pihak berwenang, baik KPU maupunKepolisian selalu saja mentok bahkan cenderung kabur sehinggatidak ada tindaklanjut yang serius. Kasus pelanggaran PemiluKada yang cukup heboh di publik ialah indikasi keterlibatanKPU/KPUD dalam proses tahapan Pemilu Kada. Intervensi, dankemungkinan keterlibatan aktor-aktor Pemilu Kada sangat rawandan rentan menimbulkan resistensi di masyarakat.

Kasus Pemilu Kada Kabupaten Tolitoili, Sulawesi Tengahyang menyeret nama mantan anggota KPU Andi Nurpati merupakancontoh nyata di mana kemungkinan intervensi ataupun ada motifkesengajaan untuk memenangkan calon Kada tertentu. KasusPemilu Kada Tolitoli, Sulawesi Tengah mendorong Bawaslumengeluarkan rekomendasi meminta mantan anggota KPU AndiNurpati dipecat dengan tidak hormat oleh DK- KPU karena yangbersangkutan dianggap melanggar peraturan dan perundang-undangan, dan berdasarkan hasil klarifikasi Bawaslu denganKetua dan Anggota KPU, Bawaslu menyimpulkan, Andi merupakanfaktor penentu keluarnya Surat KPU bernomor 320/KPU/V/2010untuk Pemilu Kada Tolitoli, dan dengan demikian yangbersangkutan oleh Bawaslu, dinyatakan melanggar Pasal 11 Hurufb dan Pasal 13 Peraturan KPU Nomor. 31 Tahun 2008 Tentang KodeEtik dan janji anggota KPU yang tertuang dalam Pasal 28 Ayat 2UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Kasus inilalu mendorong dikeluarkan rekomendasi DK KPU tertanggal 30Juni 2010, yang memberhentikan Andi Nurpati karena dengandalil yang sama yakni melanggar UU Nomor 22 Tahun 2007 TentangPenyelenggara Pemilu dan Kode Etik terkait Sumpah Janjianggota KPU.

Kasus lain, putusan MK memerintahkan KPUD KabupatenLamongan, Kota Surabaya untuk melakukan penghitungan ulangbahkan di empat wilayah kecamatan di Surabaya terpaksa harusdilakukan pencoblosan ulang. MK juga memerintahkan KPUD untuklakukan pencoblosan ulang seperti di Kabupaten Tolitoli,Sulawesi Tengah, Mandailing Natal, Sumatera Utara, danKabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Barat, dan masihbanyak daerah lain yang secara teknis pelanggaran modusnyahampir sama.

Dalam kerangka ini, maka muncul gagasan pembentukanPengadilan Khusus Pemilu disatu sisi memang melahirkan pro-kontra tetapi pada sisi lain, patut dijadikan bahan diskursusbagi semua pihak termasuk kalangan politisi, birokrasi,profesional, LSM, serta pakar dan ahli Pemilu dalam menyikapiproses revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 TentangPenyelenggara Pemilihan Umum yang tengah berlangsung di DPR.

Memang topik perdebatan yang lagi faktual mengenai perlutidaknya pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu mewarnai prosespembahasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang PenyelenggaraPemilu di DPR, tetapi titik tolak penting dari pembahasanrevisi UU ini semestinya dilandasi dengan i’tikda baik seluruhstakeholders dalam perbaikan sistem Pemilu yang lebih baik danrelevan sesuai tuntutan zaman, dan dengan menekankan perlunyamembangun formula baru penyelenggaraa pemilu yang kuatsehingga semua kemungkinan maupun potensi-potensi penyimpanganPemilu Kada akan bisa dihindari. Selama ini pelanggaran PemiluKada baik dalam proses tahapan pemilu, tahap pencalonan,verifikasi calon yang cenderung melahirkan pelanggaranadministrasi, praktek many politic dan penyimpangan kekuasaandalam bentuk yang sistematis, terstruktur, dan massif masihsaja terus terjadi, dan realitas ini tentu dibutuhkan sebuahpemikiran yang komprehensif. Peran dan fungsi KPU secaranormatif masih sangat monoton sehingga konsentrasipenyelesaian sengketa PHPU di MK seringkali menimbulkankejenuhan karena muatan perkara dan proses persidanganmelibatkan para aktor pemilu selalu berkutat pada persoalan-persoalan yang oleh ketua MK, itu-itu saja.

Dalam konteks ini, usulan Pengadilan Khusus Pemilu yangmeskipun masih memunculkan pro-kontra, namun harus dipikirkansecara serius dan matang oleh semua stakeholders yangmenginginkan pemilu dapat menjadi kontribusi positif dalammengembangkan demokrasi di Indonesia. Pemilu Kada tidaksemata-mata diartikulasikan sebagai momentum melakukanpergantian Kepala Daerah sehingga mengharuskan pertarunganpolitik kekuasaan dengan mengabaikan instrumen pokok mengenaitransformasi nilai-nilai demokrasi yang lebih beradab danbermartabat.

Pengawasan Pemilu Di Negara Lain Amerika Serikat negara yang mengklaim sebagai kampiumdemokrasi ternyata tidak memiliki lembaga Pengadilan Khusus

Pemilu, dan baik Amerika Serikat dan Inggris sebagai negaramodern, maju dan demokrasi cukup matang juga tidak mempunyaisistem atau UU Pemilu yang mengatur mengenai penyelesaiankasus-kasus Pemilu melalui sebuah pengadilan khusus pemilu,tetapi kedua negara ini memiliki persamaan yakni formatpenyelesaian sengketa Pemilu tetap dilakukan di PT namun tetapmengandalkan fatwa Mahkamah Agung. Sedangkan Jerman yang jugadikenal demokrasi modern menggunakan sistem pengadilan praktekkontrol frekuensi konstitusional yang sangat besar dansekaligus membuat sistem yang agak sedikit bersifat pasifterhadap PT dalam penanganan kasus Pemilu.

Kasus yang sedikit berbeda yakni di Myanmar, PT negaraMyanmar pernah menolak gugatan hukum dari partai politik yangmengusung calon kandidat Aung San Suu Kyi yang ketika itumengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk membatalkanperaturan yang melarang setiap pemimpin oposisi yang radikaluntuk tidak terlibat dalam pemilu, dan kasus ini bisamerupakan bentuk politik rezim yang berkuasa dalammemanfaatkan kewenangan, dan ini tentu menjadi tidak sehatbagi pengembangan iklim demokrasi. Penolakan MA Myanmar ataspermohonan tersebut bukan tanpa dasar tetapi melainkan karenasistem dan struktur ketatanegaraan negara ini yang tidakmenempatkan perangkat peraturan teknis mengenai pengadilankhusus pemilu.

Harus dipahami semua pihak, walaupun Indonesia kategorinegara demokrasi ketiga di dunia akan tetapi Indonesia tidaksemaju dan tidak semodern Amerika Serikat. Di AS, sistempengawasan pemilu yang digunakan adalah sistem pengawasansecara umum dengan melibatkan semua hak suara melaluiinstrument-instrumen yang super canggih. Dengan pendekatansistem besar, semua warga AS yang memiliki hak suara dapatmenentukan preferensi politik secara bebas dan terbuka dansekaligus mengontrol semua hasil pemilu atau dalamterminologinya disebut sebagai Under an at-alrage system, where allvoters can vote on all seats up for election, a bloc voting majority can control theoutcome of all elections. Tindakan masyarakat pemilih dalam Pemiludengan sendirinya aktif melakukan control terhadap prosespenyelenggara pemilu, dan metode pendekatan pengawasan besartersebut mampu menciptakan iklim pemilu yang langsung, bebas,jujur, dan adil.

Singkatnya, Pengadilan Khusus Pemilu dibentuk,harusdimantapkan dengan persiapan sistem dan instrumen

Penyelenggaraa Pemilu lebih matang lagi. Pembahasan revisi UUNomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu hendaknyadilakukan dengan cermat --- melibatkan seluruh kekuatanmasyarakat. Tetapi jika wacana pembentukan Pengadilan KhususPemilu dianggap tidak memiliki landasan konsepsional dalamkonteks sistem maupun teknis instrumen peraturan danperundang-undangan yang kuat, maka langkah-langkah taktis,strategis, dan konstruktif untuk mengantisipasi terjadinya“kriminalisasi pemilu” pun harus dilakukan pemerintah dan DPRserta lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU,Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri.

Cegah Kesenjangan KebijakanDalam konteks Indonesia, Pengadilan Khusus Pemilu sangatrelevan berdasarkan pengalaman pengawasan Pemilu Kada dandata-data mengenai tingkat pelanggaran pemilu danketidakberdayaan instrumen pemilu dalam mengatasi kasus pemiludalam waktu tertentu. Pengadilan Khusus Pemilu memang tidakditemukan dalam rumusan sistem pemilu di negara-negara majudan dan berkembang. Hampir di semua negara termasuk AS,Ingrris, Australia, dan Kanada juga masih menggunakanpengadilan umum yang sama seperti di Indonesia melalui MK.

Untuk itu, harus dipahami, kultur Indonesia yang majemuk,stratifikasi sosial, geografis, keterbatasan infrastruktursehingga hal-hal ini bisa jadi pertimbangan yang rasional.Fakta memperlihatkan Pemilu Kada di beberapa daerah berakhirdengan kerusuhan, dan kalau bukan kerusuhan sudah pasti harusberujung di MK. Ketidaksiapan dan ketidakdewasaan para calonKada menerima kekalahan apalagi mengakui kemenangan rivalselalu berimplikasi pada tindakan destruktif sehinggapenanganan sengketa Pemilu Kada memerlukan instrumen khusus.

Selama ini yang terjadi, hakim pengadilan umum kita jugaselalu terjebak pada konteks penafsiran UU secara normatifsehingga keputusan yang diambil pun kadang tidak berdasarkanacuan sistem yang ada, dan sebaliknya dalam konteks kebijakantertentu pun kadang harus menabrak kaidah-kaidah demokrasi itusendiri. Kasus Pemilu Kada Provinsi Maluku Utara tahun 2007dan Pemilu Kada Provinsi Lampung bisa jadi pelajaran mahal,dimana praktek kesenjangan kebijakan dan ketimpangankewenangan antara MK dan MA, dan kasus-kasus Pemilu Kada lainyang menyisahkan kontroversi di masyarakat yang disebabkanperbedaan antara keputusan MK dan fatwa MA. Realitas ini

menunjukkan bahwa pengadilan umum masih juga terjadi silangpenafsiran dan oleh karena itu, pengadilan khusus pemilu harusmenjadi jawaban atas berbagai ketimpangan dalam penyelesaiansengketa Pemilu Kada. Selain itu, sengketa PHPU di MKdilimpahkan ke peradilan khusus pemilu dan dengan demikian,konsentrasi tugas dan fungsi MK sebagai lembaga kehakiman bisalebih progresif menangani perkara-perkara lain yang memilikitingkat tantangan pembangunan karakter kesadaran hukum dimasyarakat.(*)http://jujuradil.blogspot.co.id/2014/04/menakar-wacana-pengadilan-khusus-pemilu.html (selasa 5 september 2015)

Kamis, 22 Juli 2010 Pengadilan Khusus Pemilu Tidak Hilangkan Peran MK Perlu peningkatan kemampuan aparat penegak hukum jika akan dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu. ASh Dibaca: 4327 Tanggapan: 0

Gagasan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu kembali mengemukadalam sebuah diskusi terbatas yang diselenggarakan KonsorsiumReformasi Hukum Nasional (KRHN) di Jakarta, Rabu (21/7).Gagasan itu kembali dilontarkan salah satu anggota BadanPengawas Pemilu (Bawaslu), Bambang Eka Cahya Widodo.

 

Munculnya gagasan ini berangkat dari keprihatinan yangmendalam terhadap lemahnya penegakan hukum pemilu. Pasalnya,banyak sekali kasus pelanggaran pemilu baik bersifatadministratif maupun mengandung unsur pidana. Menurut Bambang,sulitnya penegakan hukum ini disebabkan sering terjadiperbedaan persepsi antara Panwas, Kepolisian, Kejaksaan dalammenyelesaikan kasus tindak pidana Pemilu.    

 

Selain itu, lanjut Bambang, kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK)seolah-olah seperti “keranjang sampah” karena semua persoalansengketa pemilu bermuara ke sana. Hal ini adalah implikasidari tidak efektifnya mekanisme penanganan kasus-kasuspelanggaran pemilu pada tahap sebelum bergulir ke MK.

 

Belum lagi, putusan kasus pemilu/pemilukada yang dihasilkanPTUN tak bisa karena tahapan pemilu/pemilukada sudah selesai.Kasus ini kerap terjadi dalam hal pencalonan kepala daerah,

seperti Pemilukada di Kota Medan, Belitung Timur, danBanyuwangi. “Banyak kejadian putusan pengadilan seperti PTUNitu menjadi tak ada gunanya, KPU ini kayak sepur, jalan terus.”

 

Atas dasar itu, menurut Bambang, keberadaan Pengadilan KhususPemilu menjadi penting. Nantinya pengadilan ini bersifat adhocdengan komposisi dua hakim adhoc dan satu hakim karir di bawahMA.

 

“Pengadilan ini nantinya harus mempunyai kekuatan untukmemaksa KPU/KPUD tunduk mematuhi putusannya. Putusannya tidakbersifat final and binding untuk kasus-kasus tertentu, bisabanding dengan batasan waktu tertentu,” kata Bambang.

 

Bambang mengusulkan acara pengadilan ini bersifat singkat,cepat, sehingga tahapan pemilu tak bisa dihentikan atau takterganggu. Lain hal jika terjadi bencana alam dan kerusuhan.

 

Soal formatnya, Bambang mengaku tengah mempelajari pengadilansejenis ini di beberapa negara sebagai pembanding, seperti diVenezuela dan Meksiko. “Tidak banyak peradilan khusus pemiluini, tetapi saya kira pembentukan pengadilan khusus inisebagai upaya memberikan rasa keadilan terutama kepada merekayang dirugikan dalam proses Pemilu yang tidak lancar,”ujarnya.

 

Bambang berpendapat keberadaan pengadilan khusus ini tidakakan menghilangkan peran  MK dalam memutus sengketa Pemilu.“Diharapkan pengadilan khusus ini menyelesaikan sengketa diawal (pelanggaran administrasi dan pidana) sebelum adanyakeputusan hasil pemilu, sementara MK tetap fokus menanganisengketa hasil Pemilu. Dia memiliki dua rumah yang berbeda,yang satu domainnya MA, yang satu lagi tetap di MK.”

 

Membingungkan

Di tempat yang sama Staf pengajar FHUI, Topo Santosomengatakan bahwa ide Pengadilan Khusus Pemilu sebenarnya sudahdigagas sejak lama. Ide ini bahkan sebenarnya sudah pernahmasuk dalam draft terakhir RUU No 10 Tahun 2008 tentang PemiluLegislatif. “Di draft terakhir RUU itu sebelum dicoret adatulisan Pengadilan Khusus Pemilu, waktu saya telepon dan smsbeberapa teman di DPR untuk mencoret tulisan itu. Sebab, kalautulisan itu tetap ada akan membingungkan orang,” kata Topo.

 

Di beberapa negara, kata Topo, istilah election court menunjukpada pengadilan yang menangani sengketa hasil Pemilu. “Ketikapemilu berakhir hasilnya diputuskan oleh election commission,orang maju ke election court untuk memprotes hasil Pemilu. Konsepitu di seluruh negara seperti itu.”

 

Ia menjelaskan konsep pengadilan khusus yang sebelumnya adadalam draft itu ada beberapa hal kekhususan. Seperti hukumacara lebih singkat, penyidik khusus, penuntut khusus, hakimkhusus. “Dibuat khusus nggak apa-apa, tetapi istilahnya bukanelection court. Saya juga pernah minta teman-teman di Depdagriyang membahas terakhir di DPR untuk mencoret istilah itukarena kalau tidak akan membingungkan orang,” tegasnya.

 

Lantaran konsep Pengadilan Khusus Pemilu ini termasukmenangani kasus pidana Pemilu – berbeda dengan negara lainyang ditangani pengadilan biasa – Topo mengkritik lemahnyakemampuan aparat penegak hukum yang menangani kasus tindakpidana Pemilu. “Saya lihat mereka tak menguasai UU Pemilu, adakasus dimana mereka baru megang UU Pemilu satu hari sebelumsidang,” kritiknya.

 

Bahkan, ketika ia menjadi ahli dalam kasus Pemilu, dirinyapernah berdebat dengan hakim. “Karena hakimnya nggak bacaPeraturan KPU terkait salah satu pasal dalam UU, jadi debatnyanggak nyambung, sementara pasal itu harus ditafsirkansistematis dengan Peraturan KPU terkait. Kalau hakimnya nggakpegang peraturan KPU jadi debat kusir,” katanya.

 

Karena itu, jika aparat penegak hukum telah menguasai selukbeluk hukum Pemilu, Topo mengaku setuju jika akan dibentukpengadilan khusus Pemilu. “Misalnya, aparat penegak hukumtelah menguasai UU Pemilu, UU Parpol, peraturan KPU/Bawasluterkait, saya setuju ide itu,” kata Topo. “Kalau mau disebutpengadilan khusus Pemilu ya silahkan, tentunya aparat penegakitu harus dididik.”  

 

Perjelas kompetensi

Sementara itu, Plt Panitera MA, Suhadi menyatakan idepembentukan Pengadilan Khusus Pemilu ini perlu diperjelasapakah pengadilan khusus menangani Pemilu Legislatif, Pilpres,atau Pemilukada. “Kalau termasuk pemilukada, barangkali bukanadhoc lagi karena hampir tiap hari ada pemilukada di seluruhIndonesia. Apakah nanti akan dibentuk cukup di Jakarta atau diPengadilan Tinggi seluruh Indonesia,” katanya.          

 

Ia menegaskan bahwa sebelumnya pemilukada diputus diPengadilan Tinggi dan MA yang putusannya final and binding. Namun,kewenangan itu sudah dialihkan ke MK. “Saya juga hadir saatpengalihan kewenangan itu di gedung MK,” akunya. “BarangkaliMK sekarang over load karena hampir tiap hari ada sengketapemilukada dan pengujian UU, wah barangkali ini perludialihkan lagi ke PT atau MA.”            

 

Karenanya, jika ada ide pembentukan pengadilan khusus Pemilusemestinya perlu dibenahi dulu dari hulu hingga hilir agar

terjawab semua masalahnya. “Jenis pemilu harus ditentukan dankewenangannya juga ditentukan apakah pidana, perdata, atauPTUN. Kalau kombinasi dari itu, mana yang bisa memutuskanmenang atau kalahnya peserta Pemilu, jadi harus detail,”sarannya.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c478511d7141/pengadilan-khusus-pemilu-tidak-eliminir-peran-mk (selasa 5 september 2015)

 

http://www.academia.edu/6376727/MAHKAMAH_KONSTITUSI_DALAM_SISTEM_CHECKS_AND_BALANCES (5 september 2015)

Tanggapan Terhadap Ide Peradilan Khusus Pemilu30 Maret 2015 08:22:51 Dibaca : 380

oleh : Yuniar Riza Hakiki

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia - 2014

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk implementasi dari teori kedaulatan rakyat yang dicetuskan oleh JJ.Rousseau. Rousseau adalah salah seorang peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau untuk menyesuaikannya dengan keadaan pada waktu ini, ajaran Rousseau menghasilkan jenis negara yang demokratis, dimana rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat. Dalam bukunya “Le Contract Social”, Jean Jacques Rousseau memaparkan bahwa penguasa/pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial. Kontraksosial tersebut menimbulkan adanya hak konstitusional rakyat sipil yaitu Hak untuk memilih dan dipilih dalam pelaksanaan Pemilu. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia terwujud seiring dengan bentuk ketatanegaraan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan sistem pemerintahan demokrasi pancasila.

Dasar yuridis konstitusional pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah Pasal 22E UUD 1945 dan diatur lebih lanjut ketentuannyamelalui undang-undang. Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat. Berdasarkan dasar hukum tersebut terutama Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Teori dan dasar hukum tersebut melandasi urgensi pelaksanaan Pemilu dalam Negara Demokrasi seperti di Indonesia untuk menentukan keberlangsungan roda pemerintahan selanjutnya. Sehingga mengharuskan peran aktif dari seluruh elemen bangsa Indonesia baik pemerintah maupun rakyat. Berdasar urgensi tersebut maka perwujudan Pemilu harus benar-benar dilaksanakansecara terstruktur, sistematis dan bertanggungjawab disertai pengawalan yang konsisten. Mengingat Negara Indonesia terdiri atas berbagai ragam budaya sosial (social culture) yang tersebar diberbagai daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai bentuk implementasinya beberapa lembaga/komisi negara dibentuk untuk menyelenggarakan pemilu mulai dari pra pemilu, proses pemilu, hingga pasca pemilu. Terdapat satu hal yang sangat rentan terjadi selama pelaksanaan pemilu tersebut yakniperselisihan hasil pemilu. Lembaga tinggi negara sebagaimana Pasal 24 C UUD 1945 yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H. salah satu fungsi MK adalah sebagai pengawal demokrasi. Sebagai pengawal demokrasi, MK antara lain berperanmenyelesaikan berbagai sengketa politik, terutama sengketa yang terkait dengan perselisihan hasil pemilu. Kurang lebih seperti itu alasan yang mendasari MK berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.

Seiring berjalannya waktu terdapat pergulatan argumen ketika muncul gagasan/ide untuk membentuk Pengadilan khusus Pemilu. Gagasan ini menuai pro dan kontra dikalangan praktisi dan akademisi.

Beberapa alasan mendasar mengenai ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu diungkapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo yakni banyak sekali kasus pelanggaran pemilu baik bersifat administratif

maupun mengandung unsur pidana dan kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah seperti “keranjang sampah” karena semua persoalan sengketa pemilu bermuara ke sana. Hal ini adalah implikasi dari tidak efektifnya mekanisme penanganan kasus-kasus pelanggaran pemilu pada tahap sebelum bergulir ke MK. Sementara itu, Plt Panitera MA, Suhadi menyatakan ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu ini perlu diperjelas apakah pengadilan khusus menangani Pemilu Legislatif, Pilpres, atau Pemilukada. “Kalau termasuk pemilukada, barangkali bukanhakim ad hoc lagi karena hampir tiap hari ada pemilukada di seluruh Indonesia. Apakah nanti akan dibentuk cukup di Jakarta atau di Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia,” katanya. Ide pembentukan pengadilan khusus Pemilu semestinya perlu dibenahi dulu dari hulu hingga hilir agar terjawab semua masalahnya. “Jenis pemilu harus ditentukan dan kewenangannya juga ditentukan apakah pidana, perdata, atau PTUN,” imbuhnya.

Menyikapi pernyataan tersebut penulis mengutip pernyataan lagidari buku berjudul “UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang” yangditulis oleh Dr.Ni’matul Huda,S.H.,M.Hum. dosen Fakultas HukumUniversitas Islam Indonesia. Pernyataan tersebut bersumber dari Artikel yang berjudul “Kegalauan Seorang Bagir Manan” Kompas, edisi 23 September 2004 mengenai rencana pembentukan peradilan khusus sebagai berikut :

Menurut Todung Mulya Lubis, kelatahan dalam pembentukan peradilan khusus adalah karena kekecewaan masyarakat atas kinerja lembaga peradilan fungsional yang selama ini ada. Pengembangan peradilan khusus yang tidak terkendali akan merusak sistem dan tertib peradilan itu sendiri. Kritik senada juga dilontarkan oleh ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munawarman, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, dan Koordinator Badan Pekerja Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin. Menurut mereka pembentukan Peradilan khusus hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi atas penyatuatapan. Selain itu, juga melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (pengadilan tertinggi), dan juga akan mengacaukan sistem hukum tata negara Indonesia.

Menganalisa berbagai pernyataan tersebut, gagasan pembentukan Peradilan Khusus Pemilu harus melalui berbagai pertimbangan

sistem ketatanegaraan. Sebab maraknya pembentukan peradilan khusus ternyata bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang telah membuat kebijakan (politik) satu atap. Oleh karena itu, ide pembentukan peradilan khusus pemilu inipun harus jelas jenis pemilu yang akan diselesaikan perkaranya beserta kewenangan perkaranya termasuk pidana, perdata, atau tata usaha negara. Sehingga akan lebih jelas pula dimana perkara tersebut pada akhirnya bermuara.

Sementara Adhy Aman seorang Programme Officer,  Asia and the Pacific Regional Programme, International IDEA dalam Acara Konferensi “Memperbarui Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia dan Pengalaman Internasional" di Hotel Nikko, Kamis, 6Oktober 2011 menyatakan bahwa sistem penyelesaian sengketa pemilu alternatif yang dapat dilakukan contohnya dengan memanfaatkan jasa ketua adat atau kepala desa yang biasa menyelesaikan sengketa-sengketa pada level desa. Tidak harus penyelesaian masalah pemilu harus dibawa ke lembaga formal.  Untuk hal-hal tertentu dapat diselesaikan pada level itu saja.  Hal itu dapat membantu untuk mencegah meluasnya dampak dari konflik-konflik yang terjadi.

Dari beberapa argumentasi yang telah penulis paparkan tersebutpenulis juga ingin mengungkapkan pernyataan terkait ide/gagasan pembentukan peradilan khusus pemilu. Pada dasarnyaruang lingkup Pemilu yang dimaksud pada pembahasan ini mengacuPasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yakni Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden. Sehingga pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang sebagaimana telah mengakibatkan saling lempar siapa yang berwenang menyelesaikan perkara antara MK dengan MA ini jika mengacu dasar yuridis normatif Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 tersebut pemilukada bukan merupakan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal. Sehingga seharusnya bukan menjadi ranah MK sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilukepala daerah tersebut.

Oleh karena itu, menurut penulis akan lebih baik jika sebelum terlalu jauh mematangkan ide/gagasan pembentukan peradilan

pemilu perlu ditinjau ulang muatan materi pengaturan Pemilu dalam UUD 1945 dan Undang-undang yang mengaturnya (UU No. 12 Tahun 2003). Hal ini sebagai upaya menyusun ketatanegaraan yang ideal melalui penggalian filosofis,yuridis dan sosiologisdengan disertai pertimbangan-pertimbangan akademis sehingga pada nantinya juga tidak akan menimbulkan kesimpangsiuran lembaga mana yang berewenang untuk melaksanakan Job description masing-masing. Apabila mengutip pernyataan sastrawan sekaligusbudayawan Emha Ainun Nadjib atau yang biasa disapa Cak Nun dalam acara “Sarasehan Budaya” Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 22 Maret 2015 bahwa sistem ketatanegaraan yang diatur oleh hukum itu menempati posisi yang terakhir dimana sebelumnya harus diperkuat landasan-landasan ruh-nya (filosofis) kemudian disertai energi (pertimbangan-pertimbangan/kajian akademis) dan kemudian direalisasikan dalam bentuk materi (hukum) yang mendasari terbentuknya sistem ketatanegaraan.

Berdasar logika cak nun tersebut, penulis menyimpulkan bahwa akan lebih tepat jika tidak terlalu terburu-buru merealisasikan ide/gagasan peradilan khusus pemilu sebab apabila landasan konstitusionalnya saja belum jelas peradilan khusus pun tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien, justru langkah ini akan membebani anggaran negara. Sehingga sebelum ada sistem ketatanegaraan yang jelas dengan diatur dalam Konstitusi maka lebih tepat jika segala sengketa/perkarapidana,perdata maupun yang bersifat administratif mengenai Pemilu Kepala Daerah maupun Pemilu Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden diselesaikan oleh peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung (MA) baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang kemudian jika perselisihan tersebut pada akhirnya merupakan perselisihan mengenai hasil pemilu yang berwenang memutuskan sebagaimana UUD 1945 adalah tetap Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telahditegaskan, bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalamsalah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. “Peradilan Khusus”

yang dimaksud dalam pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tersebut antara lain pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada dilingkungan peradilan umum dan peradilan pajak dilingkungan peradilan tata usaha negara. Hal inilah yang memperkuat bahwa belum tepat apabila PeradilanKhusus Pemilu dibentuk jika mekanisme peradilan khusus ini belum memiliki kejelasan kategori perkara apa yang tepat untukdinaungi peradilan pelaksana “Kekuasaan Kehakiman”.

Sebagai pernyataan penutup (closing statement) dalam penulisan essay ini penulis menegaskan cenderung berpihak pada pernyataan bahwa “Peradilan Khusus Pemilu” di Indonesia belum tepat dibentuk. Hal ini secara pokok dilandasi belum jelasnya sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilu yang menimbulkan belum adanya kejelasan mengenai penentuan jenis pemilu (Pemilukada atau Pemilu Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden) serta kewenangannya apakah Pidana, Perdata, atau Tata Usaha Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2014

C, Anwar. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang : Intrans Publishing, 2011

Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta : Rajawali Pers, 2008

Berita www.hukumonline.com , Pengadilan Khusus Pemilu Tidak Hilangkan Peran MK, (22 Juli 2010)

Rizky Argama, Makalah “Pemilihan Umum sebagai Penerapan Konsep Kedaulatan Rakyat”, Universitas Indonesia, 2004

Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hlm.43

Rizky Argama, Makalah “Pemilihan Umum sebagai Penerapan Konsep Kedaulatan Rakyat”, (Universitas Indonesia, 2004), hlm.11

Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, (Malang : Intrans Publishing,2011), hlm.263

Berita www.hukumonline.com , Pengadilan Khusus Pemilu Tidak Hilangkan Peran MK, (22 Juli 2010)

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hlm.251

Ibid. hlm.249

Pengadilan Khusus Pemilu Kada Kembali Diusulkan Rubrikasi - Nasional

JAKARTA, publiknasional.comBanyaknya pelanggaran dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) sudah seharusnya mendapat perhatian dari penyelenggara negara.Usulan pembentukan  pengadilan khusus untuk menangani perkara pidana pemilu kada pun kembali mencuat.

Usulan itu dikemukakan oleh Profesor Syamsuddin Haris dalam diskusi terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu Kada di Jakarta, Jumat (25/3/2011).

Usulan pembentukan pengadilan khusus, dinilai Syamsuddin sebagai solusi agar pelanggaran yang terjadi selama ini bisa diselesaikan tuntas. "Tidak tuntasnya pelanggaran dalam pemilukada karena lemahnya fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)," tandas Syamsuddin.

 

"Selama ini, Bawaslu memiliki fungsi pengawasan yang belum optimal. Bawaslu diberikan kewenangan untuk mengawasi, tapi tidak ada kewenangan untuk mengeksekusi. “Bawaslu tidak punya otoritas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan lainnya. Bawaslu tidak punya fungsi eksekusi," tambah Syamsuddin.

Syamsuddin berpendapat, jika nantinya dibentuk pengadilan khusus pemilu kada, maka ke depan tidak perlu lagi ada Bawaslu.  "Meski Bawaslu yang bersifat permanen tidak dibutuhkan, tetap saja masih dibutuhkan panwas (panitia pengawas), yang dibentuk sebelum pemilu digelar," terang Syamsuddin.

Syamsuddin juga menerangkan,  jika tidak memungkinkan dibentukpengadilan khusus pemilu kada, pilihan lainnya bisa dengan membentuk pengadilan ad hoc pemilu. "Hakimnya ya hakim ad hoc pemilu. Lebih simpel. Secara pendanaan tak terlalu berat," pungkasnya.

Awal Februari lalu, pemerintah pernah mengusulkan pembentukan peradilan khusus untuk menangani perkara pidana dalam pemilihan kepala daerah. Aturan itu dimasukkan dalam RUU Pemilu Kada. Keberadaan pengadilan khusus pemilu kada diharapkan bisa menyelesaikan pelanggaran, seperti politisasi birokrasi, suap-menyuap atau politik uang