puslitbang hukum dan peradilan badan litbang diklat kumdil ...

180
PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG RI 2018 KEWENANGAN PENGADILAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

Transcript of puslitbang hukum dan peradilan badan litbang diklat kumdil ...

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILANBADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI2018

KEWENANGAN PENGADILAN DALAMEKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM

EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

Disusun Oleh:

DR. ISMAIL RUMADAN, MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2018

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM

EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

Disusun Oleh:

DR. ISMAIL RUMADAN, MH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2018

Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk

Mendukung Kemudahan Berusaha

© Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Lantai 10

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 By Pass Jakarta Pusat

Hak Cipta terpelihara dan dilindungi Undang-Undang

All rights reserved

Cetakan Pertama, Oktober 2018

Penulis :

Ismail Rumadan

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan

Ismail Rumadan, MH.

Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk

Mendukung Kemudahan Berusaha

Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2018

xiv, 162 hlm; 16 x 23 cm

ISBN: 978-602-5700-16-3

v

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan

Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan

satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan yaitu:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara;

4. Peradilan Militer;

berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI.

Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat

Hukum dan Peradilan adalah meningkatkan kualitas SDM bagi seluruh

aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Juru

sita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.

Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang

Diklat Kumdil meliputi 4 (empat) unit kerja yakni:

1. Sekretariat Badan;

2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan;

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;

4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan

Kepemimpinan;

Berdasarkan DIPA 2018 Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai

macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah

Penelitian tentang "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi

vi

Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha" yang

merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut dilaksanakan di

wilayah Jabodetabeka. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk

Buku Penelitian.

Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas

ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan bahan-

bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah

Buku Penelitian "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan

Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha".

Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh di

hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

KEPALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

HUKUM DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI

DR. H. ZAROF RICAR, S.Sos., SH., M.Hum

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas

segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Badan Litbang

Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran

2018 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan

fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian.

Pada tahun 2018, Puslitbang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan

pengkajian sebanyak 13 judul. Salah satu di antaranya, Penelitian

Kepustakaan berjudul “Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi

Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha”,

sebagaimana saat ini telah berada di tangan pembaca.

Rangkaian kegiatan penelitian dan pengkajian diawali dengan

penyelenggaraan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan

Proposal yang disusun oleh Peneliti, dengan tujuan mendapatkan

masukan dan kritik dari peserta FGD, untuk menyempurnakan judul,

metode, pendekatan, tujuan, manfaat, serta pilihan bahan hukum

maupun referensi yang akan digunakan dalam Penelitian. FGD

Proposal berlangsung di Puslitbang Mahkamah Agung RI di Jakarta.

FGD dihadiri oleh beberapa Hakim Tinggi yang diperbantukan pada

Balitbang Diklat, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung,

maupun Dirbinganis Dirjen Badilag, Dirbinganis Militer, Dirjen

Badimiltun, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kabag

viii

Renprog Biro Perencanaan BUA MA, Hakim Yustisial, Biro Hukum,

Humas, serta pihak lain yang terkait.

Setelah dilakukan penyempurnaan terhadap proposal penelitian,

selanjutnya koordinator peneliti beserta pembantu peneliti serta staf

memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian. Dimulai dengan melakukan

Focus Grup Discussion dan observasi ke Pengadilan. Untuk

melengkapi analisis, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara

dengan beberapa narasumber yang dinilai kompeten di bidangnya.

Terhadap draf hasil penelitian yang disusun oleh peneliti,

dilakukan finalisasi koreksi melalui FGD Hasil Penelitian. Tahap

selanjutnya adalah proses pencetakan Buku Laporan Hasil Penelitian,

pengunggahan (uploading) ke Website Badan Litbang Diklat Hukum

dan Peradilan Mahkamah Agung RI, serta pengiriman ke Pimpinan

Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pejabat Struktural eselon 1 dan 2,

Pengadilan Tingkat Banding serta Pengadilan-Pengadilan tingkat

pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan, Kementerian/Lembaga,

Perguruan Tinggi, serta berbagai pihak yang terkait. Mengingat

keterbatasan anggaran, tidak semua pengadilan tingkat pertama

mendapatkan kiriman Buku Hasil Penelitian. Namun demikian softcopy

Buku Hasil Penelitian dapat diunduh (download) melalui

www.bldk.mahkamahagung.go.id c.q Puslitbang Hukum dan

Peradilan.

ix

Buku Hasil Penelitian ini disajikan sebagai bentuk

pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah

Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan

kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat

sebagaimana mestinya.

KEPALA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.

x

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT

KUMDIL ………………………………………………..…..... v

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL …....... vii

DAFTAR ISI …………………………………………..……... xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................ 10

C. Tujuan Penelitian ............................................. 11

D. Kerangka Pemikiran ......................................... 11

E. Metode Penelitian ............................................ 17

BAB II ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN

PERDATA OLEH PENGADILAN ..................... 23

A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks

Pelaksanaan Fungsi Pengadilan ....................... 23

1. Pengertian Eksekusi .................................. 23

2. Asas-asas Eksekusi ................................... 27

B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks

Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman .... 30

xii

C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang

Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara

Perdata............................................................... 33

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan

Hak dalam Perkara Perdata ....................... 33

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan

Pengadilan ................................................. 36

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ....................... 40

4. Tata Cara Umum Eksekusi ....................... 42

5. Eksekusi Pengosongan .............................. 45

6. Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi ... 46

D. Eksekusi Putusan Pengadilan sebagai

Rangkaian Tindakan Penegakan Hukum ......... 47

BAB III EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN ............ 53

A. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang

Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara

Perdata............................................................... 53

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan

Hak dalam Perkara Perdata ....................... 53

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan

Pengadilan ................................................. 56

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ....................... 60

4. Tata Cara Umum Eksekusi ....................... 62

5. Eksekusi Pengosongan .............................. 66

xiii

B. Eksekusi Jaminan Kredit .................................. 67

C. Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan ..... 72

1. Parate Eksekusi ......................................... 74

2. Titel Eksekutorial ...................................... 76

3. Eksekusi Dibawah Tangan ........................ 77

BAB IV EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA .. 83

A. Kebijakan Mahkamah Agung secara Umum

dalam Mendukung Kemudahan Berusaha ....... 83

B. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks

Kemudahan Berusaha ...................................... 87

1. Prosedur Eksekusi Putusan Perdata di

Pengadilan ................................................. 87

2. Proses Eksekusi Putusan Pengadilan

dalam Beberapa Sengketa Perdata ............ 103

C. Beberapa Permasalahan Hukum dalam

Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Sengketa

Perdata .............................................................. 124

D. Korelasi Eksekusi Putusan Perdata dengan

Kemudahan Berusaha ...................................... 147

1. Korelasi Eksekusi Putusan Pengadilan

dengan Kemudahan Berusaha ................... 147

xiv

2. Posisi dan Kewenangan Pengadilan Negeri

dalam Pelaksanaan Eksekusi untuk

Mendukung Kemudahan Berusaha ........... 151

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................. 159

A. Kesimpulan ...................................................... 159

B. Saran/Rekomendasi .......................................... 160

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan dan

perkembangan perekonomian global yang disertai dengan hadirnya

Indonesia dalam berbagai hubungan kerjasama internasional sudah

tentu memiliki peran dan tanggungjawab untuk mendorong terciptanya

iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian hukum, keadilan,

dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi

nasional.

Wujud dari peran serta pemerintah dalam mendukung

pelaksanaan perekonomian yang kondisif antara lain melalui perubahan

dan perbaikan terhadap berbagai regulasi dan aturan hukum yang

berkaitn dengan dunia bisnis dan dunia usaha. Perubahan ini dilakukan

dengan tujan untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business

(EoDB), terutama terkait dengan kegiatan memulai usaha (starting a

business), perlindungan investor minoritas (protecting minority

investor), dan penyelesaian sengketa di pengadilan.1

Sebagaimana diketahui, peningkatan peringkat kemudahan

berusaha (ease of doing business) merupakan arahan strategis

pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka

1 Berdasarkan hasil survey Ease of Doing Business (EoDB), peringkat EoDB

awal tahun 2017 dari hasil survey Word Bank Indonesia menempati peringkat ke 91

dari 190 negera di dunia, “Peringkatan yang dipublikasikan oleh Bank Dunia,

http://doingbusiness.org/rangkings.

2

Menengah Nasional 2015-2020. Untuk tahun 2016 ini Pemerintah telah

mencanangkan peningkatan peringkat kemudahan berusaha di

Indonesia dari peringkat 109 ke 40 dalam Survei Kemudahan Berusaha.

Hal ini tidak lain untuk menumbuhkembangkan sektor usaha kecil-

menengah dalam negeri sekaligus mendorong pertumbuhan

perekonomian melalui investasi.2

Data berikut menunjukan peringkat EoDB negara Asia Tenggara

Peran lembaga peradilan sangat penting dalm mendorong

kemajuan dan kemudahan usaha di Indonesia sebab Peradilan juga

terkena dampak globalisasi ekonomi. Sebagaimana diungkapkan oleh

2 Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha Di Indonesia,

http://pn-kepanjen.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/2015-05-31-00-18-

22/item/peran-peradilan-dalam-meningkatkan-kemudahan-berusaha-di-

indonesia.html. Diakses tanggal 20 2018, Pukul 10.00 WIB.

3

Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the

Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan.

Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai

peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga

mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan

itu sendiri.”3 Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus

menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena

desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-

perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah

satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara

berkembang, termasuk di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut di atas, kedudukan dan kewenangan

Pengadilan sebagaimana amanat Pasal 4 UU No. 39 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan akan terus bersikap proaktif

untuk mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan

yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Karena pencapaian tersebut

secara langsung maupun tidak langsung akan membantu masyarakat

dalam mencari keadilan, termasuk bagi para pelaku usaha yang

berupaya menyelesaikan sengketanya.

Untuk merespon tantangan perubahan tersebut Mahkamah Agung

sebagai Institusi tertinggi dalam lingkup kewenangan peradilan secara

3 Hilario G.Davide, Jr.,”Comments on the Paper of Hon. Andrew Kwok Nang

Li, Chief justice of the Court of Final Appeal of the Hongkong Special Administrative

Region of the People ‘ S Republic of China”, makalah pada Conference of Chief

Justices of Asia and Pacific, 18th Lawasia Conference, Seoul, 8 September 1999,

hlm.1

4

terus-menerus dalam melakukan pembaruan peradilan secara struktural

dan substansial, dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan

keyakinan publik sekaligus ikut andil dalam pembaruan hukum di

Indonesia.4 Dalam konteks ikut andil dalam meningkatkan kemudahan

berusaha, beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang mendorong hal

tersebut antara lain:

a. SEMA Nomor 2 Tahun 2014, yang memotong standar waktu

penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding,

dari 6 bulan menjadi 5 bulan dalam peradilan tingkat pertama dan 3

bulan bagi dalam peradilan tingkat banding.

b. SK KMA nomor 214 Tahun 2014, yang secara khusus mengatur

standar waktu penyelesaian perkara di tingkat kasasi yang

dipersingkat menjadi hanya 250 hari atau 8 bulan (sebelumnya 1

tahun), dengan juga memotong tahapan hingga 9 tahapan.

c. Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian

Gugatan Sederhana, yang pada intinya memberi jalan bagi

penyelesaian sengketa perdata yang nilai gugatannya di bawah Rp.

200 juta dalam waktu singkat dan proses beracara yang jauh

disederhanakan.

d. Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, yang

menyempurnakan kerangka hukum Mediasi sehingga diharapkan

agar sengketa yang terjadi dapat segera diselesaikan dalam waktu

4 Muhammad Hatta Ali, Pidato Kunci dalam Pelaksanaan Seminar Nasional

tentang “Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha di Indonesia”

kerja sama antara Mahkamah Agung (MA) dan Federal Court of Australia (FCA),

Hotel Borobudur Jakarta, 7 Maret 2016.

5

yang singkat, biaya yang murah serta hubungan baik para pihak tetap

terjaga. Dengan demikian kegiatan usaha dapat terus berlanjut

dengan baik.

e. Modernisasi bertahap pengadilan, misalnya meliputi modernisasi di

Mahkamah Agung, yang meliputi implementasi Database Putusan

sejak 2007, Informasi Perkara Online sejak 2008, e-Filing untuk

perkara Kasasi/ PK sejak 2014, dan bagi pengadilan tingkat pertama

dan banding, yang memungkinkan pencari keadilan untuk

memantau langsung jadual persidangan dan amar putusannya.

Beberapa perubahan yang telah dilakukan diatas menunjukkan

komitmen Mahkamah Agung untuk selalu mendukung pemerintah

dalam hal memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Namun

dukungan dan komitmen tersebut belum tuntas dan meyeluruh sampai

kepada persoalan eksekusi terhadap suatu putusan pengadilan. Sebab

dapat dipahami bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang

dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu

perkara merupakan bagian dari fungsi penegakan hukum dalam proses

acara peradilan pada pengadilan. Proses ini merupakan suatu tindakan

yang berkisinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.

Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari

pelaksanaan tata tertib beracara. Eksekusi atau pelaksanaan putusan

ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah

dalam perkara, biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah

apabila pihak yang kalah ialah pihak tergugat. Pada tahap eksekusi

kedudukan tergugat berubah menjadi “pihak tereksekusi”. Kalau pihak

6

yang kalah dalam perkara adalah pengguggat, lazimnya bahkan secara

logika, tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan

sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara.5

Realitasnya, proses eksekusi putusan pengadilan dalam suatu

sengketa perdata, di satu sisi, proses eksekusi tersebut menjadi waktu

yang ditunggu-tunggu oleh pihak yang menang dalam suatu perkara.

Namun di sisi yang lain, bagi pihak yang kalah, proses eksekusi menjadi

titik awal untuk memulai upaya-upaya untuk menggagalkan proses

eksekusi tersebut, terutama terhadap suatu putusan yang dianggap tidak

adil oleh pihak yang merasa dikalahkan dalam proses peradilan,

terutama para pihak (dalam hal ini pihak ketiga) yang tidak terlibat

secara langsung dalam proses perkara perdata di pengadilan, namun

mereka menerima kerugian secara langsung akibat dari putusan tersebut

oleh pengadilan.

Sehingga sering dalam setiap pelaksanaan eksekusi terhapa

putusan pengadilan menuai protes dari berbagai pihak, terutama para

pihak yang merasa dikorbankan (dikalahkan) dalam putusan majelis

hakim terhadap sengketa tersebut. Mahkamah Agung sendiri mengakui

banyak menerima surat-surat yang bernada tidak puas atas tindakan

yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tertentu atas proses

eksekusi di lapangan. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh Pihak yang

memenangkan perkara sebagai Pemohon Pelaksanaan Eksekusi, tetapi

5 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,

Sinar Grafika, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Jakarta, 2009, hlm. 6.

7

protes juga dilakukan oleh pihak yang kalah sebagai Termohon

Pelaksanaan Eksekusi.6

Secara umum, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang

kalah dalam suatu putusan perkara perdata dapat dipandang sebagai

bentuk-bentuk hambatan dalam eksekusi putusan pengadilan, antara

lain dapat berupa perlawanan pihak ketiga (orang/pihak yang sama

sekali tidak ada hubungannya dengan perkara yang akan dieksekusi)

atas dasar :

a. Barang yang akan dieksekusi adalah milik Pihak Ketiga;

b. Barang yang akan dieksekusi berada dalam penguasaan Pihak

Ketiga karena suatu perjanjian penjaminan;

c. Barang yang akan dieksekusi adalah milik negara atau bagian dari

milik negara/Pemerintah Daerah, atau dikuasai oleh negara/

Pemerintah Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas

pemerintahan;

d. Barang yang akan dieksekusi adalah barang-barang yang berkaitan

dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan lain, misalnya

Pengadilan Hubungan Industrial; dan

e. Barang yang akan dieksekusi ternyata sedang disewa oleh pihak

lain.

Hal-hal yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian dari

permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi. Masih

banyak permasalahan lain yang terkait dengan hambatan eksekusi

6 M. Yahya Harahap, ibid.

8

putusan pengadilan, hambatan-hambatan tersebut sudah tentu

menambah waktu yang sangat panjang dan membutuhkan biaya yang

sangat banyak pula, sehingga proses eksekusi ini menjadi suatu tahapan

dalam proses penegakan hukum yang turut mengganggu dan tidak

mendukung adanya kemudahan untuk berusaha melalui proses di

pengadilan pada tahan eksekusi yang merupakan tahapan akhir dari

suatu proses penegakan hukum di Pangadilan.

Selama ini belum ada suatu aturan hukum yang digunakan

sebagai sarana untuk memberikan kemudahan dalam hal eksekusi

putusan pengadilan. Sehingga yang terjadi adalah par pihak yang

bersengketa terutama pihak penggugat yang memenangi perkara, harus

mengunggu proses yang lama lagi untuk mendapatkan hanya atas

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sebagai salah satu contoh misalnya dalam pelaksanaan eksekusi

Hak Tanggungan biasanya atau seringnya upaya paksa

pengambilalihan aset dilakukan karena debitor tidak mau melepaskan

jaminan, sehingga pemenang lelang harus melakukan upaya

pengosongan paksa dan upaya itu hanya dapat dilakukan oleh

pengadilan. Proses di pengadilan akan membutuhkan waktu yang lama

dan biaya yang tidak sedikit, artinya pemenang lelang terpaksa

mengeluarkan biaya dua kali. Hal ini tentunya tidak memberikan

kepastian hukum terhadap pihak kreditor, dengan kata lain kasus

tersebut menyebabkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) hanya

menjadi macan kertas. Hal ini disebabkan karena SHT mempunyai hak

9

eksekutorial, akan tetapi masih diperlukan lembaga lain untuk

melakukannya.

Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,

memungkinkan kreditor untuk menjual aset yang diagunkan debitor

tanpa campur tangan peradilan sudah tepat. Hal tersebut untuk

menghindari jalur ”ajudikasi litigasi” (proses hukum di pengadilan)

yang prosesnya panjang dan memakan waktu, dan oleh sebab itu, ketika

debitor wanprestasi, maka pihak kreditor tidak perlu menggugat lagi ke

pengadilan untuk dapat menguasai haknya, tapi dapat diajukan ke

lembaga parate eksekusi yang dahulu bernama Kantor Lelang Negara

untuk dilelang di depan umum.

Parate executie yang diatur dalam Undang-undang Hak

Tanggungan, bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor

dalam pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, di mana

kreditor dapat menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri

tanpa harus melalui lembaga peradilan. Kemudahan yang dimiliki

kreditor tersebut kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi

kerancuan pengaturan mengenai parate executie dalam Undang-undang

Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996). Aturan dalam Undang-

undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak untuk menjual objek

Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop) lahir

karena undang-undang, tetapi di sisi lain pada KUHPerdata ditentukan

lahir dari perjanjian, sehingga hal ini menimbulkan makna ganda/kabur.

Demikian juga terhadap prosedur pelaksanaan parate executie terdapat

kontroversi, karena di satu sisi diatur bahwa penjualannya melalui

10

pelelangan umum, sedangkan pada sisi yang lain harus melalui fiat

pengadilan. Akibatnya prosedur pelaksanaan parate executie

menimbulkan konflik norma.7

Realita masih banyaknya kendala pada pengelolaan perbankan

nasional, dimana pihak bank seringkali menghadapi kredit macet yang

memiliki unsur kesengajaan dari pihak debitor (debitor wanpestasi),

selain juga masih banyaknya hambatan dalam pelaksanaan eksekusi

benda jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu,

parate executie tidak dapat dilaksanakan, sehingga hal ini merugikan

bagi pihak kreditor, selaku pihak yang menurut UUHT mendapatkan

hak istimewa yaitu berupa hak menjual atas kekuasaan sendiri. Apabila

kendala semacam ini terus berlanjut, maka selain merupakan masalah

yang merugikan bagi pihak bank, juga dapat menghambat

pengembalian dana pinjaman yang sangat dibutuhkan untuk percepatan

pembangunan ekonomi dan dunia usaha.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa masalah yang

diidentifikasi untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih

mendalam terkait dengan beberapahal atanra lain:

1. Bagaimana kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata

untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia?

7 Deasy Soeikromo, Kepastian Hukum Pemenuhan Hak Kreditor Dalam

Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Melalui Parate Eksekusi, De Lega Lata,

Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016, hlm. 33

11

2. Bagaimana sistem eksekusi yang tersedia untuk memberikan

jaminan dan kepastian hukum bagi kemudahan berusaha di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari

penelitian ini hendak mengetahui dan mengevaluasi tentag;

1. Kewenagan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata dalam

rangka mendukung kemudahan usaha

2. Mengetahui dan mengevaluasi sistem eksekusi yang tersedia dalam

rangka memberikan kemudahan berusaha di Indonesia.

D. Kerangka Pemikiran

Landasan teori yang digunakan dalam kajian ini adalah terkait

dengan aspek kepastian hukum dalam hal eksekusi putusan pengadilan

untuk mendukun kemudahan berusaha di Indonesia. Kepastian hukum

ini menjadi hal yang sangat penting bagi setiap pelaksanaan investasi

atau pengembangan usaha di suatu daerah atau negara. Horikawa Shuji,

salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan

investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling

tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis

selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha,

berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah di mana ia

berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan

lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik.

12

Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.814 Apa yang bisa

membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya

kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat

melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang

dilakukannya.

Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor

lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan

modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum.

Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez

sebagai berikut:9

“In making foreign investment a number of important points are to

be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with

the safety of his investment and, second, with the return which it

yields. The factors having a direct bearing on these considerations

may be classified as follows : (1). Political stability and financial

integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which

the investment is made; (3) laws pertaining to capital and taxation,

attitude towards foreign investment, and other aspects of the

investment climate of the host country; (4) future potential and

economic growth of the country where the investment is made; (5)

exchange restrictions pertaining to the remission of profits and

with-drawal of the initial investment.”

8 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Alia, Bandung, 2007, hlm. 52 9 Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices,

Fourth Edition, prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hlm. 261. Sebagaimana

dikutib juga oleh Sentosa Sembiring, ibid., hlm. 44-47

13

Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait

prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian.

Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian

mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian

hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik

asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment)

maupun portfolio investment.10

Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi

tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan

istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan

aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown

field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi

stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha,

hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai

dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi,

yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti

pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur,

ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di

pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang

terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas

kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer

10 Mahmul Siregar, Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan

Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia, Fakultas Hukum dan

Program Studi Ilmu Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

14

keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari

hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya

pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan

efektif hukum persaingan.11

Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di

Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal

ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak

Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun

pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan.

Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya

praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak

berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak

investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa

karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan.

Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat

sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak

dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of

contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.12 Investor sering

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan

pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka

11 Mohammad Ikhsan, “Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”,

Kompas 31 Mei 2004. 12 Hikmahanto Juwana, “Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007,

diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-

2.html, tanggal 25 September 2008.

15

keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan

bukti-bukti yang tersedia.13

Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri

dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan

isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam

sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga

peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu

memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan

reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk

Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia

Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan

ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi

komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini

menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar

modal internasional dan atas arus modal langsung.14

Terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia

mendorong terjadinya internasionalisasi aktifitas bisnis yang kemudian

menyebabkan beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku bisnis di

Indonesia akan berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan

mitra bisnis yang tidak saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi

juga berbeda kultur hukum.

Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada

kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak

13 Mahmul Siregar, Op.cit., hlm. 14 Mahmul Siregar, ibid.

16

yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap

ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut.

Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber

daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan

tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak

yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga

kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.21 Sebagai

konsekwensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh

mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.15

Bagi mitra bisnis yang berasal dari negara dengan kultur litigious

kontrak adalah sesuatu yang suci dan harus dihormati, karena secara

filosofis kontrak adalah perwujudan dari keinginan/ pilihan bebas

manusia bermartabat. Pembatalan kontrak oleh pihak lain yang

bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan yang tidak rasional

dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan bebas

manusia.16 Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability

hukum akan hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi

kegiatan investasi

Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan

secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan

bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap

pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional

15 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas

Hukum, Sekolah Pascasarjana, UI, Jakarta, 2004, hlm. 29. 16 P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford,

1981, hlm.6

17

dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.17 Bagi

kebanyakan pelaku usaha internasional, penyelesaian sengketa melalui

pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan

waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa

melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak

belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai

pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan

masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya

terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan.18

E. Metode Penelitian

Motode penelitian dalam kajian ini menggunakan pendekatan

yuridis-normatif, yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif

dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-

kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang

ada, dari peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan

hukum terutama yang berkaitan dengan masalah eksukusi putusan

pengadilan dalam hal memberikan dukuangan terhadap kemudahan

berusaha serta aturan-aturan hukum tentang fungsi dan kewenangan

pengadilan dalam pelasanaan eksekusi terhadap suatu putusan perkara

pedara yang telah berkekuatan hukum tetap.

17 Eman Suparman, Pilihan Forum Abitrase dalam Sengketa Komersial untuk

Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 2 18 Ibid, hlm.3

18

Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif ini dengan

menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.19 Data

sekunder dimaksud meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian ini juga

merupakan upaya untuk menemukan hukum in concreto yang bertujuan

untuk menemukan hukum yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam

suatu permasalahan tertentu,20 terutama yang berkaitan dengan masalah

eksekusi putusan pertada. Sama halnya dengan penelitian hukum

terapan. Menurut Bagir Manan, penelitian hukum terapan adalah suatu

penelitian yang bertujuan untuk menjawab masalah hukum atau yang

berkaitan dengan hukum dalam suatu keadaan yang kongkrit. Lapangan

penelitian terapan di bidang hukum yang dipilih adalah penelitian

normatif (yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif dan asas

hukum), yang berupa penelitian evaluasi hukum.21 penelitian evaluasi

terhadap hukum positif ini dilakukan dengan cara mengevaluasi segi

kesesuaian dengan kaedah hukum lain, atau dengan asas-asas hukum

yang diakui dalam sistem yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan

berdasarkan atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan

pendapat para akhli.

19 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13 20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 22 21 Bagir Manan; Pnelitian Hukum Normatif adalah penelitian terhadap kaidah

dan asas hukum, lihat Jurnal Hukum Puslitbangkum Nomor Perdana; 1- 1999.

Lembaga Penelitian Perkembangan Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999,

hlm. 9

19

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,22 yaitu bertujuan untuk

memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh dan

sistematis, serta menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada, yaitu

tentang kewenangan Pengadilan dalam pelaksanaan eksekuti atas suatu

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan asas

keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum byang mengarah kepada

dukungan terhadap kemudahan berusaha. Kemudian gambaran umum

tersebut dianalisis dengan berlandaskan pada aturan perundang-

undangan serta pendapat para ahli dengan tujuan untuk mendapatkan

jawaban atas permasalahan yang teridentifikasi dalam kajian ini.

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk

mendapatkan data yang berbentuk dokumen atau tulisan, melalui

penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen

meupun literatur-literatur ilmiah dan penelitian para ahli dan pakar yang

sesui dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data

sekunder sebagai data utama, yang meliputi:23

a) Bahan Hukum Primer, yang meliputi peraturan perundang-

undangan, terutama yang berkaitan erat dengan masalah Eksekusi

b) Bahan Hukum Sekunder, berupa tulisan-tulisan ilmiah dari para

pakar, yang terdiri dari literatur-literatur, makalah-makalah, jurnal

22 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20,

Alumni, Bandung, 1994, hlm. 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar

Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, hlm. 9-

10 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,

hlm. 52

20

ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pokok

permasalahan yang diteliti.

c) Bahan Hukum Tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus

bahasa, artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta internet.

Studi lapangan (field research) juga dilakukan untuk

mendapatkan data primer sebagai data pendukung, pengumpulan data

primer dilakukan dengan wawancara maupun fokus group diskusi

(FGD), dengan terlebih dahulu melakukan penentuan kelompok pihak-

pihak yang dijadikan sumber informasi berdasarkan kewenangan,

pengetahuan, pengalaman, pemahaman hitoris dan pihak-pihak yang

terkena dampak kebijakan.

Data sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran, korelasi

dan perbandingan terhadap-bahan-bahan hukum dan perbandingan

konstruksi hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan

kajian ini.

Untuk bahan hukum primer, analisis dilakukan dengan menelaah

dasar ontologis dan ratio legis (mengapa ada ketentuan ini)24 dari

ketentuan perundang-undangan di terkait objek penelitian dan

24Apabila dasar ontologis dan landasn filosofis berkaitan dengan suatu undang-

undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari

suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti.

Lihat, Nanik Trihastuti, Tanggung Jawab Perusahaan Penanaman Modal Asing di

Sektor Pertambangan Mineral dalam Pembangunan Berkelanjutan Dihubungkan

dengan Tujuan Negara Kesejahteraan Indonesia, Disertasi, Program Doktor,

Universitas Padjadjaran, bandung, 2006, hlm. 44

21

peraturan perundang-undangan tentang Eksekusi secara khusus untuk

menangkap kandungan filosofis yang menjiwai adanya undang-undang

tersebut.

Untuk bahan hukum sekunder, oleh karena penelitian ini adalah

pada masalah kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum untuk mendukung

kemudahan berusaha, maka di samping akan ditelaah proses

identifikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan putusan

pengadilan dan juga ditekaah kondisi-kondisi aktual yang terjadi di

lapangan dari suatu proses eksekusi benrlangsung.

Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul

dilakukan dengan metoda analisis normatif kualitatif.25 Normatif

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada

sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang

berasal dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh

responden, yang disajikan secara deskriptif.

Untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan terties,

pengumpulan bahan dilakukan di beberapa lokasi, yang meliputi:

1. Perpustakaan Mahkamah Agung RI

2. Perpustakaan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI;

3. Perpustakaan Nasional di Jakarta;

4. Dan pengumpulan data secara imperik dapat dilakukan di beberapa

weilayah Pengadilan Tinggi; seperti di Pengadilan Negeri jakrta

25 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas

Hukum Universitas Gadja Mada, Yogyakarta, 1989, hlm. 25.

22

Pusat; Pengadilan di Wilayah Palu dan Pengadilan Tinggi Wilayah

Surabaya.

23

BAB II

ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA OLEH

PENGADILAN

A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi

Pengadilan

1. Pengertian Eksekusi

Eksekusi di dalam bahasa Inggris “Execution” adalah

pelaksanaan putusan hakim (KUHP pasal 270).26 Pengertian

ekseksi atau pelaksanaan putusan pengadilan,27 adalah

melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan

kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau

menjalankannya secara sukarela.28 Sementara itu Retno Wulan

Sutantio, mengartikannya dalam bahasa Indonesia dengan istilah

“pelaksanaan” putusan. Pendapat kedua pakar tersebut, dapat

dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan hampir semua penulis

telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata

ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah “pelaksanaan”

putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab

jika bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima

26 Zainul Bahri, Kamus Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, hlm. 61 27 Istilah “pelaksanaan putusan” terdapat di dalam buku Subekti. Hukum Acara

Perdata. Jakarta: BPHN, 1977. hlm. 128. serta Retnowulan Sutantio dan

Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Aumni, Bandung,

1979, hlm. 111. Sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup

Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. ed. II. cet. II, Sinar Grafika, Jakarta: 2006,

hlm. 5-6. 28 Yahya Harahap, Loc.cit.

24

HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBg, pengertian

eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten

uitvoer lagging van vonnissen).29 Istilah menjalankan putusan

mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Pelaksanaan

putusan adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang

dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk

melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Pengadilan hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara

dengan menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat

dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealisasilah prestasi

sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan. Dengan

demikian yang dimaksud dengan eksekusi adalah melaksanakan

secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum,

guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.30

Dapat dipahami juga bahwa, eksekusi adalah hal

menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum

tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan

Pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak

untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan

hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan

pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara

29 Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6 30 Yahya Harahap, Sebagaimana dikutp oleh Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi

Praktek, Kejurusitaan Pengadilan, Tata Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 60

25

sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk

melaksanakannya.31 Dengan demikian, pada prinsipnya lembaga

eksekusi tidak diperlukan andai pada suatu amar putusan

pengadilan pihak yang dikalahkan dan di hukum bersedia

memenuhinya dengan itikad baik dan secara sukarela.

Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan

yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang

memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan Pengadilan

terletak pada kepala putusan yang berbuyi “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan

Pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang

bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”, sedangkan

putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak

dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam

menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 201)

eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada

kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang

tercantum dalam putusan Pengadilan tersebut. Pihak yang menang

dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara

tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa

(execution force)

31 Abdul Manan. Eksekusi Lelang dalam Hukum Acara Perdata, Makalah ini

disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol

tanggal 18-22 September 2011 2005., hlm.1

26

Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu

putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya

hukum verzet, banding maupun kasasi? Begitu pula dalam

pelaksanaannya, harus menunggu sampai seluruh keputusan

mempunyai kekuatan hukum yang pasti, meskipun salah satu pihak

tidak naik banding atau kasasi lagi." Suatu putusan perkara perdata,

tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan tanpa

adanya eksekusi. Oleh karena itu, setiap putusan hakim haruslah

dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai

kekuatan eksekutoria132 yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara

paksa oleh alat- alat Negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada

putusan pengadilan adalah karena kepalanya berbunyi "Demi

keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa". Akan tetapi tidak

semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap memerlukan pelaksanaan secara paksa, melainkan

hanyalah putusan yang diktumnya bersifat Condemnatoir.33

Putusan pengadilan yang bersifat condeauuuoir juga tidak

selalu harus dilaksanakan dengan paksaan, melainkan hanya jika

putusan tersebut tidak dilaksanakan secara suka rela oleh pihak

yang dihukum. Apabila putusan tersebut dilaksanakan dengan

sukarela oleh pihak yang dihukum sesuai bunyi diktum putusan,

32 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam

Pembuktisa dau Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 120 33 Condemnstoir artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu,

menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya, Roihan A. Rasyid,

Hukum Acara Persdilsn Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994, hlm. 223

27

maka selesailah perkaranya tanpa perlu bantuan alat Negara untuk

melaks anakannya.34

Jadi tujuan dari paksaan terhadap pelaksanaan putusan

pengadilan, tidak lain adalah realisasi kewajiban dari pihak yang

dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak

dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam

putusan pengadilan. Dalam praktek terutama dalam hukum acara

perdata, pelaksanaan putusan pengadilan ini tidaklah semudah

seperti apa yang diatur dalam HIR, putusan pengadilan akan sulit

dilaksanakan apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara

sukarela menaati putusan tersebut.

2. Asas-asas Eksekusi

Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang

harus dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut :

a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap

Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah

tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat

pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan

kasasi. Sifat dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap

adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi

disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai

34 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdsts di Lingkungau Peradilsn Umum,

Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm. 105-106

28

kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli

waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau

mendapat hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan

jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara

sukarela.

Pengecualian terhadap asas ini adalah: (1) pelaksanaan

putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat

(1) R.Bg, dan Pasal 180 ayat (2) pelaksanaan putusan provisi

sesuai dengan Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) R.Bg.

dan Pasal 54 Rv. (3) pelaksanaan putusan perdamaian sesuai

dengan Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg. (4)

eksekusi berdasarkan Grose akte sesuai dengan Pasal 224 HIR.

dan Pasal 258 R.Bg.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal 207

R.Bg maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan

yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan

sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara

paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. Pelaksanaan

putusan Pengadilan secara paksa dilaksanakan dengan

bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1)

HIR.

29

c. Putusan mengandung amar Condemnatoir

Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya dilahirkan

dari perkara yang bersifat contensius dengan proses

pemeriksaan secara contradictoir. Para pihak yang berperkara

terdiri dari para pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat

partai. Ada pun ciri putusan yang bersifat condemnatoir

mengadung salah satu amar yang menyatakan :

(1) Menghukum atau memerintahkan

untuk menyerahkan”.

(2) Menghukum atau memerintahkan

untuk “pengosongan”

(3) Menghukum atau memerintahkan

untuk “membagi”

(4) Menghukum atau memerintahkan

untuk “melakukan sesuatu”

(5) Menghukum atau memerintahkan

untuk “menghentikan”

(6) Menghukum atau memerintahkan

untuk “membayar”

(7) Menghukum atau memerintahkan

untuk “membongkar”

(8) Menghukum atau memerintahkan

untuk “tidak melakukan sesuatu”

30

d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)

R.Bg yang berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan

yang memutus perkara yang di minta eksekusi tersebut sesuai

dengan kompetensi relatif. Pengadilan tingkat banding tidak

diperkenankan melaksanakan eksekusi. Sebelum melaksanakan

eksekusi. Ketua Pengadilan terlebih dahulu mengeluarkan

penetapan yang ditujukan kepada Pantiera/Jurusita untuk

melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut

dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.

B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks Pelaksanaan

Fungsi Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 10 November 2001

menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan

ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum

adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan

yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan baik

kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan ketertiban, keadilan,

kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan

pengayoman kepada masyarakat.

31

Berdasarkan perubahan tersebut di atas, ditegaskan bahwa

kekuasaan kehakiman35 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

Peradilan Umum, lingkungan Reradilan Agama, lingkungan Peradilan

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yakni peradilan

negara, eksistensi dan perannya ditetapkan dengan undang-undang.

Sebagai peradilan negara maka tugas dan fungsinya adalah menerapkan

dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD

Negara Republik Indonesia.

Independensi lembaga peradilan tidak lain adalah wujud dari

paham negara hukum yang memberikan kebebasan dan kemandirian

dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Kebebasan yang demikian

adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya

Negara hukum Republik Indonesia, dengan demikian maka kekuasaan

kehakiman tidak berarti hanya kekuasaan mengadili (kekuasaan

menegakkah hukum di badan-badan peradilan), tetapi mencakup

35 UUD 1945 menggunakan istilah “kekuasaan kehakiman” yang sepadan

dengan istilah “kekuasaan yudikatif”, rechtspraak atau judiciary (Pasal 24 UUD

1945). Sering dijumpai juga dalam berbagai tulisan istilah “kekuasaan peradilan,

“kekuasaan yudisial” atau “kekuasaan yustisial”. Namun istilah yang baku menurut

UUD 1945 adalah “kekuasaan kehakiman”. Lihat, Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu

Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 1

32

kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakkan

hukum.36

Pada konteks proses penegakan hukum, maka eksekusi putusan

pengadilan sebagai rangkian proses penegakan hukum di Pengadilan,

tentu harus didasarkan pada pemahaman akan kekuasaan kehakiman

dalam menegakkan kebenaran dan keadilan hukum melalui penalaran

dan intrepretasi terhadap aturan-aturan hukum.

Eksekusi pada dasarnya adalah suatu tindakan hukum untuk

melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan yang bersifat

mandiri dan merdeka tanpa dipengaruhi atau diinterfensi oleh kekuatan

manapun, sebab pada dasarnya eksekusi adalah menjalankan putusan

hakim oleh pengadilan. “Hak menjalankan putusan hakim”

sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata merupakan

keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentag yang dapat

dipergunakan untuk memaksa seseorang yang dikalahkan perkaranya

untuk melakukan apa yang diwajibkan kepadanya sesuai dengan amar

putusan hakim, bila mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya

secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan

dapat melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Menjalankan putusan pengadilan, tiadak lain daripada

melaksanakan isi putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum

apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau

36 Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang

Merdeka, Makalah dalam Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode

1998/1999, hlm. 3. Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mujahidin, Op.cit., hlm. 14

33

menjalankannya secara sukarela. Pada dasarnya bahwa eksekusi

merupakan pranata yang digunakan oleh sesorang dalam hal ini kreditor

untuk melindungi dirinya dari harta kekayaan yang telah dipinjam oleh

debitor. Dalam kontek ini maka eksekusi merupakan bagian dari upaya

hukum yang digunakan setiap individu yang merasa dirugikan haknya.

Pembelaan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak individual

dalam hungannya dengan sesama orang lain adalah ciri dari negara

hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Stahl, bahwa salah satu ciri

negara hukum dalam konsep rechtsstaat, adalah pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, demikian juga dalam

konsep the rule of law, Albert Venn Dicey, memberikan salah satu ciri

rul of law adalah adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, di

samping supermasi aturan hukum, dan kedudukan yang sama

dihadapan hukum (equality before the law).

C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi

Pengadilan terhadap Perkara Perdata

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara

Perdata

Pembagian yang umum menurut susbstansinya, Hukum

Perdata dibagi menjadi hukum materiel dan hukum formil. Hukum

Perdata materiel ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-

hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan

hukum perdata formil menentukan cara, bagaiman pemenuhan

hak-hak materiel tersebut dapat dijamin. Hukum perdata formil itu

34

sebagian besar adalah identik dengan yang disebut dengan Hukum

Acara Perdata.37

Apabila berbicara dalam kontek eksekusi, orang

berpandangan selalu dikaitkan dengan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau dikaitkan

dengan suatu akta dengan titel eksekutorial yang masuk dalam

kategori Hukum Perdata formil. Hal ini bisa dipahami bahwa pada

umumnya orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada

sangkut pautnya dengan eksekusi otomati merupakan wewenang

pengadilan. Hal tersebut tentunya tidak selalu benar jika diamati

dari pengertian eksekusi menurut ahli hukum.

Pengertian yang lain bahwa, eksekusi putusan perdata berarti

melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak

tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Pada

prinsipnya bahwa eksekusi merupakan realisasi pihak yang

dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang

tercantum di dalam putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi

terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap

merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata maupun

pidana di pengadilan.

37 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,

hlm. 4. Sebagaimana dikutp oleh Herawati Poesoko, Parate Executie, … Op.cit., hlm.

124.

35

Diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti

istilah eksekusi, maka tidak pada tempatnya kedua istlah itu

digabungkan dalam satu rangkaian penulisan, tentu akan

berlebihan apabila keduanya digunakan dalam satu rangkaian

tulisan, misalnya tertulis “pelaksanaan eksekusi” maka dari sudut

pandang bahasa tentu memiliki arti yang sama. Cukup dipilih salah

satunya, sebab keduanya memiliki arti yang sama. Boleh

digunakan “pelaksanaan” putusan atau cukum dipergunakan

“eksekusi” putusan. Namun pada umumnya belakangan ini

kecenderungan orang selalu menggunakan dalam istila hukum

(legal term) “eksekusi” atau menjalankan eksekusi.

Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau

menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR,

pegertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh

pengadilan. Hak menjalankan putusan hakim sebagaimana diatur

dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan-

ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk

memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan

apa yang diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim, bila

mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela,

maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat

melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana

perkara tersebut diajukan dengan bantuan alat-alat paksa.38

38 Herowati Poesoko, Op.cit., hlm. 126

36

Eksekusi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan

putusan pengadilan dan grosse acte melainkan istilah eksekusi juga

terdapat pada bidang Hukum Jaminan, eksekusi objek jaminan

merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan

terhadap objek jaminan, apabila debitor cidera janji dengan cara

penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya. Oleh karena

itu, Soedewi menyatakan hukum yang mengatur tentang

pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju

terhadap harta kekayaan debitor manakala perutangan itu tidak

dipenuhi secara sukarela oleh debitor.39

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan

Pada dasarnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur

kepentingan berkaitan antara warga negara perseorangan yang satu

dengan warga negara perseorangan yang lain.40 Demikian juga

bahwa, hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan

hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam

masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan

(pribadi).41 Sementara itu menurut Vollmar42, bahwa hukum

perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan

39 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op.cit., hlm. 31 40 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan II, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas

Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 1 41 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,

Bandung, 2004, hlm. 2 42 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,

hlm. 2

37

pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada

kepentingan-kepentingan perorangan dalam perbandingan yang

tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain

dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama

yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu-lintas.

Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa hukum

perdata adalah aturan-aturan, ketentuan-ketentuan atau norma-

norma dalam hubungannya antara orang yang satu dengan orang

yang lain yang memberikan pembatasan perlindungan akibat

timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang

berhubungan tersebut.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap

pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur tata caranya di

dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR

dan/atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 225

HIR dan Pasal 259 RBG mengatur tentang putusan yang

menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan

tertentu.

Ketentuan Pasal 195 HIR meyebutkan bahwa, dalam

menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang

mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas

perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang

mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam

ketentuan sebagaimana disebutkan di bawah ini:

Pasal 195 HIR ayat (1) sampai ayat (7) menyebutkan bahwa:

38

(1) Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam

perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan

negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan

Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa

perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal

di bawah ini:

(2) Jika dalam hal menjalankannya itu harus dikerjakan

sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum

pengadilan negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya

meminta pertolongan dengan surat ketua pengadilan

bangsa bumi putera yang berhak, begitu juga di luar

tanah Jawa dan Madura.

(3) Ketua Pengadilan Negeri yang diminta pertolongannya

berbuat sebagai ditentukan di pada ayat di atas ini juga,

jika nyata baginya, bahwa hal menjalankan keputusan

itu harus terjadi sama sekali atau sebaginya di luar

daerah hukumnya pula.

(4) Bagi Ketua Pengadlan Negeri, yang diminta

pertolongannya oleh teman sekerjanya dari luar tanah

Jawa dan Madura, berlaku segala peraturan dalam

bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan

dilakukan karena itu.

(5) Di dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang

diminta pertolongan itu memberitahukan segala daya

upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang

39

kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang

mula-mula memeriksa perkara itu.

(6) Jika hal menjalankan keputusan itu dibantah, dan juga

jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena

barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka

hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa

yang diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan

negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal

menjalankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh

pengadilan negeri itu.

(7) Perselisihan itu dan keputusan tentang perselisihan itu,

tiap-tiap kali dalam dua kali dua puluh empat jam

diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri

yang mula-mula memeriksa perkara itu.

Selain ketentuan tersebut di atas, eksekusi juga diatur dalam

ketentuan Pasal 1033 RV, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

Ayat (3) menyebutkan bahwa;

“Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata

dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua

Pengadilan”.

Sementara ayat (4) menyebutkan bahwa;

“Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan

supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara”.

40

Sedangkan eksekusi pengecualian terhadap putusan yang

belum berkekuatan hukum tetap yaitu putusan serta merta dan

provisi, diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat

(1) RBg.

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi

Pada dasarnya terdapat dua bentuk eksekusi apabila ditinjau

dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang

tercantum dalam putusan pengadilan. Biasanya sasaran hubungan

hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum

putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil,

sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Demikian

juga bahwa terkadang hubungan hukum yang hendak dicapai

sesuai dengan amar atau diktum putusan melakukan pembayaran

sejumlah uang, eksekusi semacam ini disebut dengan eksekusi

“pembayaran uang”.

Eksekusi rill yaitu penghukuman terhadap pihak yang kalah

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya penyerahan

barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,

menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil

ini dapat dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai

dengan amar putusan tanpa melakukan lelang. Menjalankan

eksekusi rill sangat mudah dan sederhana, misalnya melakukan

eksekusi terhadap pengosongan tanah, cara eksekusinya tentu

sangat sederhana, dengan memaksa tergugat keluar meninggalkan

tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eksekusi riil yang lain.

41

Pada dasarnya melakukan eksekusi secara riil secara teoritis

sangat mudah dan sederhana, tidak membutuhkan prosedur dan

formalitas rumit. Lain halnya dengan eksekusi terhadap

pembayaran sejumlah uang. Adakalanya tergugat sama sekali tidak

mempunyai uang tunai, yang ada hanya berupa harta benda, yang

pada akhirnya harus mewujudkannya dalam bentuk uang tunai,

sehingga membutuhkan berbagai persyaratan formal dan dilakukan

dengan cara-cara yang terperinci, agar tidak timbul kerugian baik

pada tergugat maupun kerugian terhadap penggugat akibat

penyalahgunaan benda tersebut yang dijadikan uang tunai. Di

sinilah letak kesulitan dalam melakukan eksekusi terhadap

pemabayaran sejumlah uang.

Dalam praktik biasanya eksekusi pembayaran sejumlah uang

pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap

harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang

cermat dalam melaksanakan eksekusi. Eksekusi harus melalui

tahap proses executoriale beslag (executory seizure); dan

kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan

jawatan lelang. Rumitnya eksekusi pembayaran terhadap sejumlah

uang maka diatur secara rinci dalam Pasal 195 sampai 208 HIR

atau Pasal 206 sampai Pasal 240 RBg mengenai aturan tata tertib

eksekusi pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara mualai

dari somasi (peringatan). Executoriale beslag, pengumuman

lelang, dan penjualan lelang (executoriale verkoop, sale under

execution).

42

4. Tata Cara Umum Eksekusi

Berdasarkan bentuk dan ciri eksekusi yang dikenal dengan

eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka

berikut ini dijelaskan tata cara dari kedua bentuk eksekusi tersebut.

a. Tata cara eksekusi riil

Menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang

menjadi wewenang pengadilan ditempuh melalui prosedur-

prosedur sebagai berikut:

(1) Permohonan Penggungat (pemenang perkara) kepada

Ketua Pengadilan Negeri apabila yang kalah tidak mau

melaksanakan putusan secara sukarela, sedangkan

penggugat menginginkan eksekusi, maka ia harus

mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

Negeri untuk menjalankan eksekusi.43 Jika penggugat

tidak mengajukan permohonan maka eksekusi tidak

dapat dilaksanakan

(2) Peringatan (aanmaning), tindakan dan upaya yang

dilakukan Ketua Pengadilan berupa “teguran” kepada

Tergugat (pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi

putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan

setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan

eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan kemudian

melakukan aanmaning kepada tergugat agar ia

43 Lihat Pasal 207 ayat (1) RBg

43

melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari

terhitung sejak aanmaning dilakukan.

Aanmaning dilakukan dengan melakukan

panggilan terhadap Tergugat (pihak yang kalah)

dengan menentukan hari/tanggal dan jam dalam surat

panggilan. Kemudian memberi peringatan dengan cara

diberikan pada waktu pelaksanaan sidang insidentil, di

mana dalam sidang insidentil ini dihadiri oleh Ketua

Pengadilan, Panitera, dan tergugat (pihak yang kalah).

Selanjutnya memberikan peringatan/teguran supaya ia

melaksanakan putusan dalam tempo 8 hari dan

membuat berita acara aanmaning, dengan mencatat

semua peristiwa yang terjadi dalam sidang tersebut,

sebagai bukti otentik bahwa aanmaning telah

dilakukan. Kemudian berita acara ini merupakan

landasan bagi perintah eksekusi selanjutnya.

Setelah tergugat (pihak yang kalah) dipanggil

secara patut namun tetap juga tidak hadir dengan alasan

yang bisa dipertanggung jawabkan, maka ketidak

hadiran tersebut bisa dibenarkan dan ia harus dipanggil

kembali. Namun jika ketidakhadirannya tersebut tanpa

alasan yang jelas/tidak bisa dipertanggungjawabkan,

maka tergugat harus menerima segala konsekuensi

berupa haknya untuk diaanmaning menjadi gugur,

tidak perlu dilakukan pemanggilan kembali dan Ketua

44

Pengadilan langsung mengeluarkan surat perintah

eksekusi berupa penetapan (besiching) terhitung sejak

Tergugat tidak memenuhi panggilan.

(3) Apabila dalam tenggang waktu 8 hari ternyata pihak

yang kalah tetap tidak mau melaksanakan putusan

hakim, maka Ketua Pengadilan membuat suatu

penetapan mengabulkan permohonan eksekusi, dengan

mengeluarkan surat perintah eksekusi. Surat perintah

eksekusi ini harus memenuhi ketentuan berupa;

Perintah harus merupakan penetapan (beschiking), dan

perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita dengan

menyebutkan namanya, serta isi perintah agar

menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

(4) Pelaksanaan eksekusi; setelah adanya penetapan

eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya

ketua Panitera menentukan kapan eksekusi akan

dilaksanakan. Panitera membuat surat pemberitahuan

tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan

diajukan kepada pemohon eksekusi, termohon

eksekusi, Kepala Desa setempat, Kecamatan dan

Kepolisian. Yang palin penting adalah setiap perintah

yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau Panitera

harus dalam bentuk tertulis dan memperhatikan

tenggang waktu yang patut sekurang-kurangnya 3

(tiga) hari sebelum dijalankan sesuatu tindakan

45

terhadap si tereksekusi. Perintah tersebut harus

disampaikan dan diketahui oleh pihak tereksekusi.

Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua

Pengadilan Negeri di atas, selanjutnya Panitera atau Jurusita

dapat menjalankan eksekusi.

b. Tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang

Pada dasarnya tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang

dalam perkara yang menjadi wewenang pengadilan sama halnya

dengan pelaksanaan eksekusi riil, namun karena biasanya pihak

tereksekusi tidak memiliki sejumlah uang yang mencukupi untuk

dieksekusi, maka eksekusi dilakukan terhadap benda yang

memiliki harga eknomis untuk dilelang, dan kemudia harga lelang

diserahkan untuk memberikan sejumlah uang hasil lelang.

5. Eksekusi Pengosongan

Eksekusi pengosongan merupakan salah satu bentuk

eksekusi riil, eksekusi model inilah yang sering terjadi.

Pengosongan adalah tindakan untuk meninggalkan objek

terperkara. Dalam hal ini adalah para pihak yang kalah dalam

gugatan segera mengosongkan benda atau objek yang menjadi

sengketa berupa tanah atau rumah, baik secara materiil maupun

secara formil, sehingga tidak terdapat lagi penguasaan hak pihak

yang kalah terhadap benda atau objek tersebut, termasuk di

dalamnya berupa penikmatan dan penguasaan atas hasil yang

timbul dari benda terperkara yang dikosongkan tersebut.

46

Ketentuan Pasal 218 ayat (2) RBg menyebutkan bahwa:

“Apabila pihak yang dikalahkan (geexecuteerde) ingkar

untuk mengosongkan barang yang tidak bergerak yang telah

dijual itu, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Magistraat yang

dikuasakan mengeluarkan surat perintah kepada seorang

pegawai yang berhak menjalankan exploit dengan tegas, jika

diperlukan dengan pertolongan polisi, barang tersebut

ditinggalkan dan dikosongkan oleh geexecuteerde bersama

semua orang yang ikut padanya dan segala barang-

barangnya…”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka objek eksekusi

pengosongan adalah berupa benda yang tidak bergerak, seperti

tanah, rumah dan sebagainya. Dan suatu tindakan berupa

pengosongan dengan meninggalkan objek tersebut, sehingga objek

tersebut benar-benar kosong dan diserahkan kepada pihak yang

menang dalam perkara tanpa adanya gangguan dikemudian hari.

6. Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi

Setiap eksekusi putusan pengadilan terhadap objek jaminan

dalam sengketa perkreditan selalu saja tidak berjalan mulus,

terutam objek yang disengketakan adalah berupa tanah, dan tanah

tersebut belum memilik status kepemilikan yang jelas. Dengan

demikian terkadang ada perlawanan dari pihak lain (dalam hal ini

pihak ketiga) yang merasa memiliki hak atas objek sengketa

tersebut. Pada dasarnya pihak ketiga memiliki hak untuk dapat

mengajuakan perlawanan terhadap eksekusi suatu putusan,

47

sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR

atau Pasal 206 RBg. Dalam hal ini perlawan pihak ketiga dapat

dibenarkan apabila barang yang hendak dieksekusi tersebut

merupakan hak milik pihak ketiga tersebut. Ketentuan ini

menunjukan bahwa selain bukan hak milik (seperti hak guna usaha,

hak sewa, maupun hak pakai) tidak bisa dijadikan alasan atau dasar

untuk mengajukan perlawanan.

Namun perlu dipertegaskan bahwa perlawanan pihak ketiga

tidak dapat menunda jalannya eksekusi. Kecuali apabila ada

perintah dari Ketua Pengadilan agar eksekusi tersebut ditunda

sampai dijatuhkan putusan pengadilan terhadap perlawanan pihak

ketiga tersebut, berdasarkan pada pendapat pihak ketiga sebagai

alasan yang memperkuat adanya bukti-bukti yang diajukan untuk

melakukan perlawanan tersebut, dan mendapat laporan dari

Majelis Hakim yang memeriksa perlawanan tersebut. Ketentuan ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 208 HIR dan Pasa 228 RBg.

Dipertegas disini bahwa hambatan terbesar dalam eksekusi

putusan pengadilan terhadap objek sengketa tanah adalah adanya

perlawan dari pihak ketiga yang mengklaim memiliki hak juga atas

objek tanah/rumah tersebut.

D. Eksekusi Putusan Pengadilan sebagai Rangkaian Tindakan

Penegakan Hukum

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh

pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara hukum

48

merupakan rangkaian dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan

perkara. Oleh karena itu, eksekusi diada lain daripada tindakan

penegakan hukum yang berkisinambungan dari keseluruhan proses

hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak

terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung

dalam HIR atau RBG. Pada dasarnya setiap orang yang ingin

mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk pada aturan

perundang-undangan dalam HIR dan RBG tersebut.44

Sering orang berbicara tentang eksekusi, tetapi tidak mengetahui

secara tepat di dalam aturan mana hal tersebut diatur. Akibatnya

terjadilah tindakan-tindakan hukum yang menyimpang dari aturan itu

sendiri, oleh karena pejabat yang melaksanakanya tidak berpedoman

pada ketentuan perundang-undangan. Padahal pedoman aturan tata cara

eksekusi sudah lama diatur sebagaimana yang terdapat dalam Bab

Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat

RBG. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri atau Panitera maupun

juru sita harus merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam bagian

dimaksud apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut

telah diatur pasal-pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan,

mulai dari tata cara peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executoriale

beslag) dan penyanderaan (gijzeling).

Cara-cara menjalankan eksekusi putusan pengadilan diatur mulai

dari ketentuan Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai

44 Lihat, Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi…, Op.cit.,

hlm.1

49

258 RBG. Namun setelah keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2000, tidak

semua ketentuan tersebut di atas berlaku efektif, yang masih berlaku

efektif terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau

Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG yang mengatur tentang

sandera tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitor yang

dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan

tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya

melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.

Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan

sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edara (SMA)

No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964.45 Isi surat edaran ini sangat

singkat, hanya terdiri dari lima baris berupa instruksi yang ditujukan

kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum yang

menegaskan bahwa; tidak boleh dipergunakan lagi pasal-pasal aturan

sandera (gijzeling), yakni Pasal 209-223 HIR atau Pasal 247-257 RBG.

Alasan larangan tersebut karena tindakan penyanderaan terhadap

seseorang debitor dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.

Pada ketentuan tersebut di atas, sudah barang tentu ada sikap pro

dan kontra terhadap surat edaran, di atas. Apalagi surat edaran itu secara

secara tegas menyatakan “menghapuskan pasal-pasal yang mengatur

sandera. Seolah-olah Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif

telah mengambil alih fungsi legislatif. Di sisi yang lain juga bahwa ada

kekhawatiran terhadap debitor yang memiliki itikad tidak baik, sebab

45 Dapat dilihat pada Himpunan SEMA dan PERMA Tahun 1951-1999, hlm. 93.

50

sering dijumpai dalam praktik kreditor yang mengambil kredit dari

bank pemerintah, selanjutnya uang tersebut dimanfaatkan untuk

kepentingan pribadi yang tidak produktif misalnya memberikan uang

tersebut kepasa sanak keluarga untuk berbisnis. Dalam kasus demikian,

apabila tidak dilakukan tindakan penyanderaan terhadap debitor yang

tidak mampu membayar utangnya kepada bank setelah harta kekayaan

secara sembunyi dilihkan kepada pihak lain. Dalam kasus yang

denikian sangat pantas untuk menyandera debitor yang demikian, guna

memaksa sanak keluarganya untuk menegmbalikan atau membayar

utang pinjamannya.

Untuk mengkaji dan mempertimbangkan suatu tindakan hukum

pada kontek upaya penegakan hukum dalam eksekusi putusan

pengadilan pada kasus perdata, apakah tindakan hukum itubertentangan

dengan peri kemanuasiaan atau tidak, tidak semata-mata bertitik tolak

pada segi kepentingan debitor saja. Perikemanusiaan sebagai nilai

universal bukan argumentasi sepihak yang hanya dipergunakan sebagai

alat dan upaya melindungi orang yang memiliki itikad tidak baik, dan

itikad yang tidak baik itu menimbulkan kerugian pada kepentingan

umum. Nilai perikemanusiaan harus juga diuji keseimbangannya

dengan nilai kepentingan umum berdasarkan prinsip “hak siapa yang

lebih diutamakan” atau “the theory of the priority right”.46

Menurut prinsip di atas, kepentingan umum harus diutamakan

dari kepentingan individu. Dengan kata lain kepentingan umum harus

46 Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 3

51

diprioritaskan dari kepentingan debitor. Sebagai contoh, seorang

debitor yang meminjam uang dari bank pemerintah dengan jaminan hak

atas tanah berdasarkan pengalihan hak karena hak milik tanah yang

sesungguhnya tidak mampu atau tidak memiliki pengetahuan tentang

masalah kredit atau pinjam meminjam uang melalui bank, sehingga hak

tersebut jatuh kepada rentenir atau pengusaha yang memiliki itikad

tidak baik. Atas dasar pengalihan hak tersebut dari pemilik tanah yang

sesungguhnya, pengusaha tersebut kemudian meminjam uang pada

bank dengan jaminan tanah yang ada di bawah kuasanya tersebut. Dan

pada saat jatuh tempo pembayaran utang pada bank, pengusaha tersebut

tidak mampu membaya utangnya sehingga terpaksa tanah tersebut

dieksekusi oleh pihak bank.

Sekalipun dalam putusan pengadilan dimenangkan oleh pihak

bank selaku kreditor namun pada kontek kasus tersebut putisan

eksekusi yang dijalankan tidak melihat aspek keadilan yang

sesungguhnya. Bukankah tanah yang menjadi objek jaminan tersebut

terdapat hak orang lain, bahkan orang yang memiliki hak yang

sesungguhnya atas tanah tersebut. Dengan demikian dalam kontek ini

kebujakan penegakan hukum sesungguhnya harus meliahat kondisi

ideal terutama dalam menghadapi sengketah hak atas tanah yang

melibatkan banyak orang. Disinilah perlu dipertimbangkan aspek

kemanusiaan dalam menerapkan aturan hukum.

Dalam hal seperti ini, pengadilan sebagai institusi penegak

hukum berdasarkan kepatutan dan keadilan, tidak boleh tergesa-gesa

untuk memutuskan suatu sengketa hukum terutama yang berkaitan

52

dengan objek hak jaminan yang melibatkan orang lain yang

sesungguhnya memiliki hak atas objek jaminan tersebut. Sehingga para

pihak merasa terlindungi oleh hukum dan mendapatkan kepastian

hukum dalam penyelesaian sengketa objek jaminan atas tanah tersebut.

53

BAB III

EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN

A. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi

Pengadilan terhadap Perkara Perdata

1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara

Perdata

Pembagian yang umum menurut susbstansinya, Hukum

Perdata dibagi menjadi hukum materiil dan hukum formil. Hukum

Perdata materiel ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-

hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan

hukum perdata formil menentukan cara, bagaiman pemenuhan

hak-hak materiel tersebut dapat dijamin. Hukum perdata formil itu

sebagian besar adalah identik dengan yang disebut dengan Hukum

Acara Perdata.47

Apabila berbicara dalam kontek eksekusi, orang

berpandangan selalu dikaitkan dengan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau dikaitkan

dengan suatu akta dengan titel eksekutorial yang masuk dalam

kategori Hukum Perdata formil. Hal ini bisa dipahami bahwa pada

umumnya orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada

sangkut pautnya dengan eksekusi otomati merupakan wewenang

47 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,

hlm. 4. Sebagaimana dikutp oleh Herawati Poesoko, Parate Executie, … Op.cit., hlm.

124.

54

pengadilan. Hal tersebut tentunya tidak selalu benar jika diamati

dari pengertian eksekusi menurut ahli hukum.

Eksekusi berasal dari kata “executie” artinya melaksanakan

putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Subekti,48

menyebutkannya dalam arti Bahasa Indonesia dengan istilah

“pelaksanaan” putusan. Sementara itu Retno Wulan Sutantio,

mengartikannya dalam bahasa Indonesia dengan istilah

“pelaksanaan” putusan. Pendapat kedua pakar tersebut, dapat

dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan hampir semua penulis

telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata

ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah “pelaksanaan”

putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab

jika bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima

HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBg, pengertian

eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten

uitvoer lagging van vonnissen).49 Dengan demikian yang dimaksud

dengan eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan

pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.50

Pengertian yang lain bahwa, eksekusi putusan perdata berarti

melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai

48 Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta BPHN, 1977, hlm. 128 49 Yahya Harahap, Ruang Lingkup …, Op.cit., hlm. 6 50 Yahya Harahap, Sebagaimana dikutp oleh Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi

Praktek, Kejurusitaan Pengadilan, Tata Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 60

55

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak

tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Pada

prinsipnya bahwa eksekusi merupakan realisasi pihak yang

dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang

tercantum di dalam putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi

terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap

merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata maupun

pidana di pengadilan.

Diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti

istilah eksekusi, maka tidak pada tempatnya kedua istlah itu

digabungkan dalam satu rangkaian penulisan, tentu akan

berlebihan apabila keduanya digunakan dalam satu rangkaian

tulisan, misalnya tertulis “pelaksanaan eksekusi” maka dari sudut

pandang bahasa tentu memiliki arti yang sama. Cukup dipilih salah

satunya, sebab keduanya memiliki arti yang sama. Boleh

digunakan “pelaksanaan” putusan atau cukum dipergunakan

“eksekusi” putusan. Namun pada umumnya belakangan ini

kecenderungan orang selalu menggunakan dalam istila hukum

(legal term) “eksekusi” atau menjalankan eksekusi.

Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau

menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR,

pegertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh

pengadilan. Hak menjalankan putusan hakim sebagaimana diatur

dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan-

ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk

56

memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan

apa yang diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim, bila

mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela,

maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat

melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana

perkara tersebut diajukan dengan bantuan alat-alat paksa.51

Eksekusi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan

putusan pengadilan dan grosse acte melainkan istilah eksekusi juga

terdapat pada bidang Hukum Jaminan, eksekusi objek jaminan

merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan

terhadap objek jaminan, apabila debitor cidera janji dengan cara

penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya. Oleh karena

itu, Soedewi menyatakan hukum yang mengatur tentang

pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju

terhadap harta kekayaan debitor manakala perutangan itu tidak

dipenuhi secara sukarela oleh debitor.52

2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan

Pada dasarnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur

kepentingan berkaitan antara warga negara perseorangan yang satu

dengan warga negara perseorangan yang lain.53 Demikian juga

bahwa, hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan

51 Herowati Poesoko, Op.cit., hlm. 126 52 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op.cit., hlm. 31 53 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan II, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas

Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 1

57

hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam

masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan

(pribadi).54 Sementara itu menurut Vollmar55, bahwa hukum

perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan

pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada

kepentingan-kepentingan perorangan dalam perbandingan yang

tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain

dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama

yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu-lintas.

Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa hukum

perdata adalah aturan-aturan, ketentuan-ketentuan atau norma-

norma dalam hubungannya antara orang yang satu dengan orang

yang lain yang memberikan pembatasan perlindungan akibat

timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang

berhubungan tersebut.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap

pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur tata caranya di

dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR

dan/atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 225

HIR dan Pasal 259 RBG mengatur tentang putusan yang

menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan

tertentu.

54 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,

Bandung, 2004, hlm. 2 55 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,

hlm. 2

58

Ketentuan Pasal 195 HIR meyebutkan bahwa, dalam

menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang

mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas

perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang

mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam

ketentuan sebagaimana disebutkan di bawah ini:

Pasal 195 HIR ayat (1) sampai ayat (7) menyebutkan bahwa:

(1) Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam

perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri,

dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua

Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara

itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal di bawah

ini:

(2) Jika dalam hal menjalankannya itu harus dikerjakan sama

sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan

negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya meminta

pertolongan dengan surat ketua pengadilan bangsa bumi

putera yang berhak, begitu juga di luar tanah Jawa dan

Madura.

(3) Ketua Pengadilan Negeri yang diminta pertolongannya

berbuat sebagai ditentukan di pada ayat di atas ini juga,

jika nyata baginya, bahwa hal menjalankan keputusan itu

harus terjadi sama sekali atau sebaginya di luar daerah

hukumnya pula.

59

(4) Bagi Ketua Pengadilan Negeri, yang diminta

pertolongannya oleh teman sekerjanya dari luar tanah

Jawa dan Madura, berlaku segala peraturan dalam

bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan

dilakukan karena itu.

(5) Di dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang

diminta pertolongan itu memberitahukan segala daya

upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang

kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang mula-

mula memeriksa perkara itu.

(6) Jika hal menjalankan keputusan itu dibantah, dan juga jika

yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang

yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal itu

serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang

diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan negeri,

yang dalam daerah hukumnya terjadi hal menjalankan

putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan negeri

itu.

(7) Perselisihan itu dan keputusan tentang perselisihan itu,

tiap-tiap kali dalam dua kali dua puluh empat jam

diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri

yang mula-mula memeriksa perkara itu.

Selain ketentuan tersebut di atas, eksekusi juga diatur dalam

ketentuan Pasal 1033 RV, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)

60

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

Ayat (3) menyebutkan bahwa;

“Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata

dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua

Pengadilan”.

Sementara ayat (4) menyebutkan bahwa;

“Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan

supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara”.

Sedangkan eksekusi pengecualian terhadap putusan yang

belum berkekuatan hukum tetap yaitu putusan serta merta dan

provisi, diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1)

RBg.

3. Bentuk atau Jenis Eksekusi

Pada dasarnya terdapat dua bentuk eksekusi apabila ditinjau

dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang

tercantum dalam putusan pengadilan. Biasanya sasaran hubungan

hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum

putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil,

sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Demikian

juga bahwa terkadang hubungan hukum yang hendak dicapai

sesuai dengan amar atau diktum putusan melakukan pembayaran

sejumlah uang, eksekusi semacam ini disebut dengan eksekusi

“pembayaran uang”.

61

Eksekusi rill yaitu penghukuman terhadap pihak yang kalah

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya penyerahan

barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,

menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil

ini dapat dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai

dengan amar putusan tanpa melakukan lelang. Menjalankan

eksekusi rill sangat mudah dan sederhana, misalnya melakukan

eksekusi terhadap pengosongan tanah, cara eksekusinya tentu

sangat sederhana, dengan memaksa tergugat keluar meninggalkan

tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eksekusi riil yang lain.

Pada dasarnya melakukan eksekusi secara riil secara teoritis

sangat mudah dan sederhana, tidak membutuhkan prosedur dan

formalitas rumit. Lain halnya dengan eksekusi terhadap

pembayaran sejumlah uang. Adakalanya tergugat sama sekali tidak

mempunyai uang tunai, yang ada hanya berupa harta benda, yang

pada akhirnya harus mewujudkannya dalam bentuk uang tunai,

sehingga membutuhkan berbagai persyaratan formal dan dilakukan

dengan cara-cara yang terperinci, agar tidak timbul kerugian baik

pada tergugat maupun kerugian terhadap penggugat akibat

penyalahgunaan benda tersebut yang dijadikan uang tunai. Di

sinilah letak kesulitan dalam melakukan eksekusi terhadap

pemabayaran sejumlah uang.

Dalam praktik biasanya eksekusi pembayaran sejumlah uang

pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap

harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang

62

cermat dalam melaksanakan eksekusi. Eksekusi harus melalui

tahap proses executoriale beslag (executory seizure); dan

kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan

jawatan lelang. Rumitnya eksekusi pembayaran terhadap sejumlah

uang maka diatur secara rinci dalam Pasal 195 sampai 208 HIR

atau Pasal 206 sampai Pasal 240 RBg mengenai aturan tata tertib

eksekusi pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara mualai

dari somasi (peringatan). Executoriale beslag, pengumuman

lelang, dan penjualan lelang (executoriale verkoop, sale under

execution).

4. Tata Cara Umum Eksekusi

Berdasarkan bentuk dan ciri eksekusi yang dikenal dengan

eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka

berikut ini dijelaskan tata cara dari kedua bentuk eksekusi tersebut.

a. Tata cara eksekusi riil

Menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang

menjadi wewenang pengadilan ditempuh melalui prosedur-

prosedur sebagai berikut:

(1) Permohonan Penggungat (pemenang perkara) kepada

Ketua Pengadilan Negeri apabila yang kalah tidak mau

melaksanakan putusan secara sukarela, sedangkan

penggugat menginginkan eksekusi, maka ia harus

mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

63

Negeri untuk menjalankan eksekusi.56 Jika penggugat

tidak mengajukan permohonan maka eksekusi tidak

dapat dilaksanakan

(2) Peringatan (aanmaning), tindakan dan upaya yang

dilakukan Ketua Pengadilan berupa “teguran” kepada

Tergugat (pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi

putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan

setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan

eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan kemudian

melakukan aanmaning kepada tergugat agar ia

melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari

terhitung sejak aanmaning dilakukan.

Aanmaning dilakukan dengan melakukan panggilan

terhadap Tergugat (pihak yang kalah) dengan

menentukan hari/tanggal dan jam dalam surat panggilan.

Kemudian memberi peringatan dengan cara diberikan

pada waktu pelaksanaan sidang insidentil, di mana

dalam sidang insidentil ini dihadiri oleh Ketua

Pengadilan, Panitera, dan tergugat (pihak yang kalah).

Selanjutnya memberikan peringatan/teguran supaya ia

melaksanakan putusan dalam tempo 8 hari dan membuat

berita acara aanmaning, dengan mencatat semua

peristiwa yang terjadi dalam sidang tersebut, sebagai

56 Lihat Pasal 207 ayat (1) RBg

64

bukti otentik bahwa aanmaning telah dilakukan.

Kemudian berita acara ini merupakan landasan bagi

perintah eksekusi selanjutnya.

Setelah tergugat (pihak yang kalah) dipanggil secara

patut namun tetap juga tidak hadir dengan alasan yang

bisa dipertanggung jawabkan, maka ketidak hadiran

tersebut bisa dibenarkan dan ia harus dipanggil kembali.

Namun jika ketidakhadirannya tersebut tanpa alasan

yang jelas/tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka

tergugat harus menerima segala konsekuensi berupa

haknya untuk diaanmaning menjadi gugur, tidak perlu

dilakukan pemanggilan kembali dan Ketua Pengadilan

langsung mengeluarkan surat perintah eksekusi berupa

penetapan (besiching) terhitung sejak Tergugat tidak

memenuhi panggilan.

(3) Apabila dalam tenggang waktu 8 hari ternyata pihak

yang kalah tetap tidak mau melaksanakan putusan

hakim, maka Ketua Pengadilan membuat suatu

penetapan mengabulkan permohonan eksekusi, dengan

mengeluarkan surat perintah eksekusi. Surat perintah

eksekusi ini harus memenuhi ketentuan berupa; Perintah

harus merupakan penetapan (beschiking), dan perintah

ditujukan kepada panitera atau jurusita dengan

menyebutkan namanya, serta isi perintah agar

menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

65

(4) Pelaksanaan eksekusi; setelah adanya penetapan

eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya

ketua Panitera menentukan kapan eksekusi akan

dilaksanakan. Panitera membuat surat pemberitahuan

tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan

diajukan kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi,

Kepala Desa setempat, Kecamatan dan Kepolisian.

Yang palin penting adalah setiap perintah yang

dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau Panitera harus

dalam bentuk tertulis dan memperhatikan tenggang

waktu yang patut sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari

sebelum dijalankan sesuatu tindakan terhadap si

tereksekusi. Perintah tersebut harus disampaikan dan

diketahui oleh pihak tereksekusi.

Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua

Pengadilan Negeri di atas, selanjutnya Panitera atau

Jurusita dapat menjalankan eksekusi.

b. Tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang

Pada dasarnya tata cara eksekusi pembayaran sejumlah

uang dalam perkara yang menjadi wewenang pengadilan sama

halnya dengan pelaksanaan eksekusi riil, namun karena

biasanya pihak tereksekusi tidak memiliki sejumlah uang yang

mencukupi untuk dieksekusi, maka eksekusi dilakukan terhadap

benda yang memiliki harga eknomis untuk dilelang, dan

66

kemudia harga lelang diserahkan untuk memberikan sejumlah

uang hasil lelang.

5. Eksekusi Pengosongan

Eksekusi pengosongan merupakan salah satu bentuk

eksekusi riil, eksekusi model inilah yang sering terjadi.

Pengosongan adalah tindakan untuk meninggalkan objek

terperkara. Dalam hal ini adalah para pihak yang kalah dalam

gugatan segera mengosongkan benda atau objek yang menjadi

sengketa berupa tanah atau rumah, baik secara materiil maupun

secara formil, sehingga tidak terdapat lagi penguasaan hak pihak

yang kalah terhadap benda atau objek tersebut, termasuk di

dalamnya berupa penikmatan dan penguasaan atas hasil yang

timbul dari benda terperkara yang dikosongkan tersebut.

Ketentuan Pasal 218 ayat (2) RBg menyebutkan bahwa:

“Apabila pihak yang dikalahkan (geexecuteerde) ingkar

untuk mengosongkan barang yang tidak bergerak yang telah

dijual itu, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Magistraat yang

dikuasakan mengeluarkan surat perintah kepada seorang

pegawai yang berhak menjalankan exploit dengan tegas, jika

diperlukan dengan pertolongan polisi, barang tersebut

ditinggalkan dan dikosongkan oleh geexecuteerde bersama

semua orang yang ikut padanya dan segala barang-

barangnya…”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka objek eksekusi

pengosongan adalah berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah,

67

rumah dan sebagainya. Dan suatu tindakan berupa pengosongan dengan

meninggalkan objek tersebut, sehingga objek tersebut benar-benar

kosong dan diserahkan kepada pihak yang menang dalam perkara tanpa

adanya gangguan dikemudian hari.

B. Eksekusi Jaminan Kredit

Terdapat dua jenis dalam pelaksanaan perjanjian kredit apabila

ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang pinjaman.

Pertama, transaksi kredit “tanpa jaminan” atau unsecured transaction,

yaitu tidak ada jaminan atau tidak ada perlindungan atas pemenuhan

pembayaran kembali utang. Dalam hal ini, pelunasan pembayaran

kembali utang tidak dijamin sesuatu barang yang mempunyai nilai atau

harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman. Sehingga dari

perspektif bisnis transaksi seperti ini dapat disebut dengan utang tanpa

jaminan. Sementara secara yuridis transaksi ini dikategorikan dalam

tuntutan tanpa jaminan, dan kreditornya dikategorikan keditor tanpa

jaminan.

Kedua, adalah transaksi kredit yang “dilindungi jaminan” atau

secured transaction” terhadap utang atau pinjaman, debitor memberi

barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada

kreditor. Apabila debitor ingkar janji atau lalai memnuhi pembayaran

utang sebagaimana diperjanjikan, pemenuhan dapat dipaksakan dengan

jalan eksekusi barang jaminan melalui penjualan lelang oleh kreditor

atau melaui pengadilan.

68

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, terdapat beberapa bentuk perjanjian kredit yang dilindungi

dengan jaminan yang memiliki hak preferensi dan separatis yaitu

berupa Hak Tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996, Jaminan

Fidusia berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999, Hak Gadai berdasarkan

Pasal 1150-1161 KUHPerdata, Hipotek Kapal berdasarkan Pasal 314

KUHD jo, Pasal 1162 – 1232 KUH Perdata, dan Hipotik Pesawat

Terbang berdasarkan pasal 12 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 jo Pasal

1162-1232 KUH Perdata.

Dalam kajian ini tentu tidak secara lebar mengkaji mengenai

berbagai bentuk jaminan tersebut di atas. Titik fokus pada kajian ini

adalah ada pada Jaminan Hak Tanggungan yang lazimnya dipakai

dalam setiap transaksi kredit pada perbankan.

Pada prinsipnya bahwa tidak ada utang debitor yang tidak

dijamin. Pasal 1131 KUH Perdata menegaskan bahwa; segala harta

benda kekayaan debitor, baik yang bergerak dan yang tidak bergerak,

baik yang ada sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari,

menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala perikatan perorangan

yang dibuatnya. Akan tetapi harta kekayaan debitor tersebut menjadi

jaminan utang bagi semua kreditor yang memberi pinjaman kepada

debitor, sehingga setiap kreditor memiliki hak atas hasil penjulan hatra

debitor dalamrangka pelunasan utang debitor.

Berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata bahwa, semua kebendaan

debitor menjadi jaminan bersama bagisemua kreditor, sehingga

walaupun semua benda atau harta kekayaan debitor menurut Pasal 1131

69

KUHPerdata menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang dibuat

debitor, namun kepada kreditor tidak diberikan hak preferan dan

separatis, akan tetapi hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren

bersama-sama dengan kreditor lain, dan masing-masing kreditor

mendapat pembagian yang sama sesuai asas pari pasu.

Tetang tata cara pemenuhan yang berbasis sistem pro rata (fond-

fond gewijs) ini ditegaskan lagi pada Pasal 1136 KUH Perdata yang

berbunyi bahwa: “semua orang berpiutang yang tingkatnya sama,

dibayar menurut keseimbangan”. Dapat dilihat, adanya risiko yang

dihadapi kreditor yang tidak dilindungi dengan jaminan yang bersifat

preferent. Apabiala pada saat yang bersamaan terdapat beberapa orang

kreditor terhadap seorang debitor, pemenuhan pengembalian uang yang

akan diterima sebagai kreditor konkuren hanya sebesar yang seimbang

dengan jumlah uang.57

Apabila debitor cidera janji atau wanprestasi, sedangkan transaksi

kredit tidak diikat secara asesor dengan perjanjian jaminan barang

tertentu, sehingga jaminan pemenuhannya tunduk pada ketentuan Pasal

1131 KUH Perdata, cara pemehuhan yang dapat ditempuh kreditor

adalah:

1. Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri

Jika upaya kompromi atau damai maupun strukturasi tidak

tercapai dan debitor tetap tidak memperbaiki kelalaiannya, maka jalan

satu-satunya yang dapat ditempuh ialah “proses litigasi” dengan jalan

57 Yahya Harahap, Ruang Lingkup…, Op.cit., hlm. 181

70

menggugat debitor untuk memenuhi pelaksanaan kewajibannya melalui

pengadilan, atau melalui arbitrase apabila dalam perjanjian kredit

disepakati oleh kedua belah pihak jika tibul sengketa dapat

diselesaiakan melalui Lembaga Arbitrase.

2. Meminta sita Jaminan atas harta kekayaan debitor

Agar tuntutan lebih efektif dan tidak hampa (illusoir), kreditor

dapat meminta kepada PN agar terhadap harta kekayaan debitor

diletakkan sita jaminan. Ketentuan mengenai sita jaminan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, dan Pasal 720 Rv, yang

membolehkan penyitaan barang debitor selama belum dijatuhkan

putusan akhir dengan tujuan agar barang tersebut tidak digelapkan atau

tidak dihilangkan debitor selama proses persidangan berlangsung.

Putusan MA No. 371 K/Pdt/1984, menyebutkan bahwa,

meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam

petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri,

jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak

bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang

membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya

sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu,

pengabulan sita dalam kasus persidang yang sementara berjalan tidak

bertentangan dengan ultra petitum partium, sebagaimana yang

ditegaskan dalam ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR.

Dengan demikian acuan penerapan pengajuan permintaan sita

berdasarkan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR dapat dilakukan, selama

proses pemeriksaan pada tingkat pengadilan pertama di PN, Penggugat

71

dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas

waktu ini secara tersurat disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) HIR yang

mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitor) dapat

diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan

permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui

cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan,

maka atas dasar demikian permintaan sita dapat diajukan sejak saat

penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan

perkataan lain bahwa, sejak perkara diregister di kepaniteraan, sita

dapat diminta, baik hal itu dikemukakan dalam gugatan atau dengan

surat permintaan yang berdiri sendiri.

Berdasarkan pada Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBg,

permohonan sita dapat diajukan dalam perkara utang piutang yang

timbul dari wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 jo Pasl 1246 KUH

Perdata dalam bentuk pengembalian utang pokok, bunga, biaya, dan

keuntungan yang akan diperoleh. Dapat pula dikembangkan juga atas

tuntutan yang timbul dari perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal

1365 KUH Perdata dalam bentuk tuntutan ganti rugi materiil (actual

loss) dan ganti rugi imateriil (ideal loss).58

Berdasarkan Pasal 195 dan Pasal 196 HIR, Pasal 206 dan Pasal

207 RBg, eksekusi atas pemenuhan pembayaran pemenuhan utang

dapat dilaksanakan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (res

judicate), yaitu telah tertutup segala upaya hukum berupa lewat waktu

58 Yahya Harahap, Ibid, hlm. 182

72

tenggang waktu yang ditentukan, atau tidak ada upaya hukum (banding,

maupun kasasi) dengan demikian putusan sudah memiliki kekuatan

eksekutorial.

Demikian pula bahwa, penyelesaian perkara melalui putusan

Perdamaian berdasarkan Pasal 130 HIR jo. Pasal 1828 KUH Perdata Jo.

PERMA No. 2 Tahun 2003 yang dituangkan dalam bentuk akta

perdamaian. Putusan perdamaian tersebut disamakan kedudukannya

dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Serta

mempunyai kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan upaya

banding. Putusan tersebut dapat dilaksnakan secara sukarela maupun

dapat dilaksnakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

C. Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan

Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (yaitu

memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak

Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Dengan

demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka Hak Tanggungan hanya

dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang

Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan

dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan

Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin

untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang

baru akan ada dikemudian hari.

73

Dalam praktik perbankan untuk lebih mengamankan dana yang

dipinjamkan bank kepada debitor diperlukan tambahan pengamanan

berupa jaminan khusus. Pada umumnya jaminan khusus yang banyak

digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah

sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit yang bersifat produktif maupun

kredit yang bersifat konsumtif, didasarkan pada pertimbangan bahwa

tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.

Lembaga jaminan oleh bank dianggap paling efektif dan aman

adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya

kemudahan dalam mengidentifikasi objek Hak Tanggungan, jelas dan

pasti eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak

Tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan

uang hasil pelelangan tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan. Dapat

dipahami bahwa, hal yang tidak dapat diabaikan dalam perjanjian kredit

adalah perlindungan hukum bagi kreditor manakala debitor wanprestasi,

apalagi kalo debitor sampai mengalami kemacetan dalam pelunasan

pembayaran hutang. Dengan demikian pemanfaatan lembaga eksekusi

Hak Tanggungan merupakan cara percepatan pelunasan piutang agar

dana yang telah dikeluarkan itu dapat segera kembali kepada kreditor

(bank), dan dana tersebut dapat digunakan dalam perputaran roda

perekonomian.59

59 Herowati Poesoko, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,

Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalan UUHT), LaksBang Press,

Yogyakarta, 2008, hlm. 4

74

Kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditor

pemegang Hak Tanggungan manakala debitor cidera janji, berdasarkan

Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT bahwa; eksekusi atas benda

jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu,

parate eksekusi, title executorial dan penjualan di bawah tangan.

1. Parate Eksekusi

Sita adalah suatu upaya untuk menjamin suatu hak dalam

proses perkara di pengadilan. Sita yang dimaksud termasuk sita

jaminan atau sita eksekusi, perbedaannya haya pada sista jaminan

(conservatoir) ialah sita yang diletakkan, baik terhadap harta yang

disengketakan, maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang

bergerak, maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang

piutang yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat

terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat

ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita

itu memberi jaminankepada Penggugat bahwa kelak gugatannya

“tidak illusoir” atau “tidak hampa” pada saat putusan dieksekusi.60

Pada dasarnya hukum memberikan jaminan pada setiap orang

yang memiliki itikad baik dalam bertransaksi dengan orang lain,

pada konteks transaksi kredit undang-undang memberikan jaminan

kepastian terhadap setiap transaksi pinjaman yang dilakukan antara

Kreditor dan Debitor. Salah satu bentuk jaminan kepastian hukum

ersebut adalah dengan adanya aturan hukum mengenai jaminan Hak

60 Herowati Poesko, Ibid, 220-221.

75

Tanggungan yang biasanya dilakukan antara Kreditor dan debitor

dengan berbagai kemudahan.

Pada dasarnya hukum eksekusi diatutr dalam KUHAPerdata

sebagai hukum perdata formil dari hukum perdata materiel. Namun

khususnya dalam eksekusi jaminan kebendaan khususnya Hak

Tanggungan, disini bagi pemegang Hak Tanggungan pertama

diberikan hak melaksanakan eksekusi di luar aturan main Hukum

Acara Perdata yang di kenal dengan parate executie. Menurut

sejarahnya parate executie timbul dari sifat-sifat dan keistimewaan

jaminan kebendaan seperti halnya pada gadai dan hipotiuk.

Parate executie menurut Subekti,61 adalah: “Menjalankan

sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti

tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang

jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut”.

Sedangkan menurut Tartib,62 bahwa : Parate executie adalah

eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan

(gadai dan hipotik) tanpa melalui bantuan atau campur tangan

Pengadilan Negeri, melainkan hanya melalui bantuan Kantor Lelang

Negara saja.

61 Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, dalam

Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis

Yustisial, MARI, Jakarta, 1990, hlm. 69 62 Tarib, Catatan Tentang Parate Executie, Artikel dalam Majalah Varia

Peradilan Th. XI, No. 124, Januari 1996, hlm. 149-150.

76

2. Titel Eksekutorial

Pelunasan kredit dilakukan melalui eksekusi barang jaminan

yang berarti atas dasar kekuatan eksekutorial (executoriale titel)

dari Sertifikat Hak Tanggungan, maka pelelangan objek jaminan

hanya dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan

Pengadilan Negeri. Sebagaimana diketehui Sertifikat Hak

Tanggungan mencantumkan irih-irih yang berbunyi “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang

menunjukan sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial

yang menunjukan alas hak bagi eksekusi.

Objek jaminan Hak Tanggungan pada dasarnya harus dijual

melalui penjualan umum, yaitu oleh Pejabat Kantor Lelang.

Pelelangan dilaksanakan menurut ketentuan dan tata cara yang

telah ditetapkan dalam vendu reglement, baik Kantor Lelang

Negara atau Balai Lelang Swasta yang telah mendapat izin.

Sebagaimana diketahui dengan Surat Keputusan Menteri

Keuangan RI No. 47/KMK.01/1996 Tanggal 25 Januari 1996

tentang Balai Lelang dan Surat Keputusan Kepala Badan Urusan

Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No.Kep.01/PN/1996 Tanggal

25 Januari 1996 ditetapkan ketentuan tentang Balai Lelang.

Penetapan dan pengaturan perihal Balai Lelang dimaksudkan untuk

memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat, khususnya

dunia usaha menyelenggarakan penjualan lelang. Penjualan lelang

dapat juga dilakukan oleh Balai Lelang Swasta yang didirikan dalam

bentuk badan usaha Perseroan Terbatas dengan izin Kepala BUPLN.

77

3. Eksekusi Dibawah Tangan

Pada dasarnya Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin

utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada Debitor.

Apabila Debitor cidera janji, tanah (hak milik atas tanah) yang

dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut berhak dijual oleh

pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak

Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat

menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.

Menurut Pasal 6 UUHT, apabila Debitor cidera janji,

pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk

menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan utangnya dari hasil

penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT ini memberikan hak bagi

pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi.

Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja

memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi

juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat

apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang

menjadi jaminan utang Debitor dalam hal Debitor cidera janji.

Pemegang Hak Tanggungan dapat secara langsung datang dan

meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan

pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Hak untuk menjual objek Hak Tanggunganatas kekuasaan

sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan

diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau

78

oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih

dari satu pemegang Hak Tanggungan.63

Dengan adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang

Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat

dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan

diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.64

Karena penjualan di bawah tangan dari objek Hak Tanggungan

hanya dapat dilaksanakan biala ada kesepakatan antara pemberi

dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin melakukan

penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau

agunan kredit tersebut apabila Debitor tidak menyetujuinya.

Apabila kredit sudah menjadi macet, sering bank

menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari

nasabah Debitor. Dalam keadaan-keadaan tertentu justeru menurut

pertimbangan bank lebih baik agunan itu dijual dibawah tangan

daripada dijual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan

agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk

membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk

memperoleh persetujuan nasabah tersebut dapat terjadi misalnya

karena nasabah Debitor yang tidak lagi beritikad baik tidak

bersedia ditemui oleh bank, atau telah tidak diketahui lagi di mana

keberadaannya. Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak

mengalami kesulitan yang demikian, bank pada waktu kredit

63 Lihat Penjelasan Pasal 6 UUHT

64 Lihat Pasal 20 ayat (2) UUHT

79

diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit

diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual

sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta

kepada Debitor untuk memberikan surat kuasa khusus yang

memberikan kekuasaan pada bank untuk dapat menjual sendiri

agunan tersebut secara di bawah tangan.

Hal ini berbeda dengan ketentuan hipotik, yang tidak secara

tegas menentukan penjualan di bawah tangan sebagai hal yang

dibolehkan. Namun, tidak pula ada ketentuan yang melarang

dilakukannya penjualan di bawah tangan. Mengingat ketentuan

hipotik tidak secara tegas menentuakan boleh atau tidak dilakukan

penjualan di bawah tangan atas objek hipotik telah timbul banyak

keraguan di kalangan masyarakat.65 Dikhawatirkan jual beli di

bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang melanggar

hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat

dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu

termasuk atas permintaan pemberi hipotik itu sendiri).

Dengan dicantumnya secara tegas dalam Pasal 20 ayat (2)

UUHT bahwa penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan

di bawah tangan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang

Hak Tanggungan, keragu-raguan itu akan lenyap. Penegasan ini

penting, karena di dalam praktik perbankan sering terjadi objek

Hipotik dijual di bawah tangan oleh bank, atas dasar kesepakatan

65 Sutan Remy, Sjahdeini, Hak Tanggungan, … Op. cit, hlm. 166

80

antara pemberi Hipotik dan bank sebagai pemegang Hipotik maupun

atas dasar kuasa untuk menjual di bawah tangan dari pemeberi

hipotik kepada bank.

Ketiga bentuk eksekusi Hak Tanggungan tersebut di atas

masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur

pelasanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan title

executorial berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan (sebelumnya

menggunakan Grosse Acte Hipotik), pelaksanaan penjualan benda

jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258

RBg, yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang

cukup lama. Sedangkan eksekusi secara di bawah tangan

pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan yang antara

lain adanya kesepakatan antara pemberi Hak Tanggungan (debitor)

dengan pemegang Hak Tanggungan (kreditor). Menurut Sutan

Remy Sjahdeini,66 dalam kaitannya dengan penjualan di bawah

tangan, masalah yang perlu dipecahkan adalah mengenai

keabsahan penjualan obyek Hak Tanggungan oleh bank,

berdasarkan surat kuasa untuk menjual di bawah tangan dari

pemberi Hak Tanggungan. Bagi para kreditor dan debitor untuk

menjual secara dibawah tangan adalah merupakan perkembangan

baru sebagai bentuk eksekusi dalam UUHT untuk perlindungan

66 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan

Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai

Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm. 67

81

hukum bagi para pihak, sebab pada saat berlakunya hipotik atas

tanah belum diatur secara jelas.

82

83

BAB IV

EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG

KEMUDAHAN BERUSAHA

A. Kebijakan Mahkamah Agung secara Umum dalam

Mendukung Kemudahan Berusaha

Peningkatan kemudahan berusaha (easy of doing business) di

Indonesia terus digalakkan seiring pelaksanaan program Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020. Sebab,

Pemerintah telah mencanangkan peningkatan rangking kemudahan

berusaha dari peringkat ke-109 menjadi peringkat ke-40. Survei

kemudahan berusaha dilakukan setiap tahun oleh World Bank.

Upaya peningkatan itu untuk menumbuhkembangkan sektor

usaha kecil-menengah dalam negeri sekaligus mendorong pertumbuhan

perekonomian dengan perangkat hukum memadai yang memberi

kepastian, keamanan, dan jaminan lebih baik dalam berusaha.

Misalnya, memberi kemudahan berbagai proses perizinan usaha,

pembebasan lahan, perpajakan. Lalu, bagaimana peran MA dan

pengadilan di bawahnya guna meningkatkan kemudahan berusaha?

Beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung Republik Indonesia

(MA RI) turut berperan meningkatkan kemudahan berusaha (easy of

doing business) di Indonesia. Realisasinya adalah, MA telah

menerbitkan sejumlah kebijakan dalam bentuk Surat Keputusan Ketua

MA (SK KMA), Peraturan MA (PERMA), atau Surat Edaran MA

84

(SEMA) sebagai perangkat hukum memadai yang memberi kepastian,

keamanan, dan jaminan lebih baik dalam berusaha.

Peran peradilan dalam kemudahan berusaha terutama ketika para

pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak melibatkan

pengadilan. Setidaknya, ada dua parameter kemudahan berusaha yang

beririsan dengan kewenangan peradilan yakni penegakan kontrak

(enforcing contract) dan penyelesaian kepailitan (resolving

insolvency). beberapa diantaranya SEMA No. 2 Tahun 2016 tentang

Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan. “Ini

sebagai tindak tindak lanjut dari regulasi sebelumnya yakni PERMA

No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana. Pada

prinsipnya, SEMA No. 2 Tahun 2016 ini untuk lebih mempercepat

proses penyelesaian perkara niaga. Sebab, selama ini proses

penyelesaian perkara niaga di Pengadilan Niaga masih memakan waktu

3-6 bulan. Tahapan dan jangka waktu penyelesaian perkara niaga lebih

disederhanakan, lebih cepat terutama dalam hal pemberesan boedel

pailit.

PERMA Gugatan Sederhana juga mempercepat proses

penyelesaian perkara perdata dan tahapannya lebih sederhana.

Penyelesaian gugatan perkara sederhana ini maksimal 25 hari sudah

diputus (putusan final) dengan hakim tunggal dan nilai objek

gugatannya di bawah Rp 200 juta. Seperti gugatan perdata biasa,

gugatan sederhana ini menetapkan kriteria sebagai perkara cidera janji

(wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH).

85

Sebelumnya, terbit pula SEMA No. 1 Tahun 2015 tentang Barang

Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan. SEMA No. 1 Tahun 2015

ini sebagai pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009

tentang Perikanan, mengatur teknis hukum pemusnahan kapal dalam

perkara pidana perikanan. Aturan ini juga merupakan bentuk dukungan

MA terhadap Pemerintah yang menginginkan adanya efek jera bagi

terdakwa, perusahaan pemilik kapal, atau operator kapal yang

melakukan pidana perikanan di wilayah Indonesia. Pemberian efek jera

ini dengan menenggelamkan atau pemusnahan barang bukti kapal yang

digunakan melakukan kejahatan pencurian ikan.

Dalam bidang penegakan hukum pidana korporasi, MA juga

menerbitkan PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. PERMA ini

sebagai pedoman penanganan (hukum acara) bagi aparat penegak

hukum menjerat entitas korporasi. Sebab, selama ini maraknya

kejahatan yang melibatkan korporasi sangat minim diproses hingga ke

pengadilan. Padahal, berbagai UU telah menempatkan korporasi

sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara

dan atau masyarakat, mulai pidana denda, uang pengganti, ganti rugi,

hingga penutupan korporasi.

Di tengah pesatnya industri ekonomi syariah, MA juga

menerbitkan PERMA No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Aturan ini mengatur prosedur

penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama di antara

para pelaku ekonomi syariah yang terikat perjanjian akad syariah atas

86

dasar prinsip-prinsip syariah. Perkara sengketa ekonomi syariah

ditangani hakim peradilan agama yang telah mengantongi sertifikat

hakim ekonomi syariah sesuai syarat-syarat yang ditentukan Perma No.

5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Aturan ini

mengatur prosedur sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana,

cepat, dan biaya ringan.

Hal terpenting dari substansi PERMA ini, perkara ekonomi

syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana (small claim

court) atau gugatan acara biasa baik secara lisan maupun tertulis ke

Kepaniteraan Pengadilan Agama yang berwenang. Adapun prosedur

hukum acara gugatan sederhana mengacu Perma No. 2 Tahun 2015

tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Tenggang waktu

penyelesaian perkara ekonomi syariah ini mengacu SEMA No. 2 Tahun

2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan

Tingkat Banding. Untuk penyelesaian perkara tingkat pertama dan

banding paling lambat masing-masing 5 bulan dan 3 bulan.

Berdasarkan beberapa kebijakan tersebut yang dilakukan oleh

MA secara garis besar dapat dikatakan bahwa MA berkomitmen secara

kelembagaan untuk mendukung upaya pemerintah dalam

meningkatkan kemudahan berusaha, namun dukungan tersebut tentu

disedusikan dengan fungsi daan tugas pokok Mahkamah agung dan

peradilan di bawahnya dalam menyelesaikan suatu sengketa. Namun

ada beberpa hal yang perlu disoroti dan dikaji kembali terkait dengan

kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan terutama dalam sengketa perdata. Permasalahan eksekusi

87

ini tidak kalah rumitnya dengan proses penyelesaian perkara itu sendiri.

Banyak putusan-putusan pengadilan dalam perkara perdata yang tidak

mudah untuk diesksekusi. Banyak putusan perdata yang sudah

memiliki kekuatan hukum tetap, namun sulit untuk dieksekusioleh

Pengadilan. Hal ini tentu menjadi persolan penting dan perlu mendapat

perhatian khusus dari MA agar dukungan terhadap kebijakan

pemerintah dalam meningkatkan kemudahan berusaha harus dilakukan

secara total sampai pada tahapan akhir pelaksanaan putusan pengadilan

agar para pihak mendapatkan haknya setelah adanya putusan

pengadilan.

B. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Kemudahan

Berusaha

1. Prosedur Eksekusi Putusan Perdata di Pengadilan

a. Eksekusi riil

Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-

perkara yang menjadi wewenang Pengadilan dapat

ditempuh tahapan-tahapan sebagai berikut :

(1) Pengajuan Permohonan pihak yang menang.

Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan

putusan Pengadilan secara sukarela, maka pihak yang

menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk

dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam

amar putusan.

88

Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua

Pengadilan merupakan suatu keharusan yang harus

dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan tersebut

dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam

Pasal 207 ayat (1) R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak

yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan

secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan

yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memutus

perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara

paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi

putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut

maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan.

(2) Penaksiran biaya eksekusi

Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan

eksekusi dari pihak yang berkepentingan, maka segera

memerintahkan meja satu untuk menaksir biaya eksekusi

yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi yang

dilaksanakannya. Biaya yang diperlukan meliputi biaya

pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya

pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah

biaya eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang

menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang

ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah

permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register

eksekusi.

89

(3) Melaksanakan peringatan (Aan maning)

Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang

dilakukan oleh Ketua Pengadilan berupa teguran kepada

pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara

sukarela. Aanmaning dilakukan dengan melakukan

panggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan

hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan

tersebut.

Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara:

a. melakukan sidang insidentil yang dihadiri oleh Ketua

Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah;

b. memberikan peringatan atau tegoran supaya ia

menjalankan putusan Hakim dalam waktu delapan hari;

c. membuat berita acara Aan maning dengan mencatat

semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut

sebagai bukti othentik, bahwa Aan maning telah

dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi

perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang

Aanmaning, dan ketidakhadirannya dapat

dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu dapat

dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil

kembali untuk Aanmaning yang kedua kalinya. Jika

ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara

resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka

90

gugur haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses

sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan.

Secara ext officio Ketua Pengadilan dapat langsung

mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada

Panitera/Jurusita.

(4) Mengeluarkan surat perintah eksekusi

Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan

(Aan maning) sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah

tidak menjalankan putusan, dan tidak mau menghadiri

panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka

Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan

ketentuan;

a. Perintah eksekusi itu berupa penetapan;

b. Perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang

namanya harus disebut dengan jelas;

c. harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak

dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi;

d. perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan

tidak boleh di belakang meja;

e. isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan

amar putusan.

Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan

surat perintah eksekusi dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan,

apakah surat perintah eksekusi tersebut dikeluarkan

terhitung sejak panggilan tidak dipenuhi oleh pihak yang

91

kalah, atau setelah pihak yang menghendaki eksekusi

mengajukan permohonan kembali setelah pihak yang kalah

tidak mau mengindahkan peringatan sesuai dengan waktu

yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang

terakhir ini banyak dipergunakan oleh Pengadilan dalam

melaksanakan eksekusi riil dengan pertimbangan bahwa

pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada pendapat

yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting

untuk kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu

permohonan pelaksanaan eksekusi diperlukan untuk adanya

kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri, sebab tidak

sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan

putusan setelah diadakan peringatan bersedia melaksanakan

putusan tersebut secara sukarela, sehingga tidak perlu

dilaksanakan eksekusi lagi.

Selain dari hal tersebut di atas, maka praktisi hukum

masih mempersoalkan kepada siapa perintah eksekusi

diberikan, apakah kepada Panitera atau Jurusita, atau juga

kepada kedua-duanya secara bersamaan. Terhadap hal ini

sebenarnya dapat diketahui lewat beberapa ketentuan

perundang-undangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-

undang Nomor : 14 Tahun 1970 dikemukakan bahwa

pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata

dilakukan oleh Panitera dan Jurusita yang dipimpin oleh

Ketua Pengadilan. Kemudian dalam Pasal 57 Undang-

92

undang Nomor 13 Tahun 1965 ditentukan dalam perkara

perdata, Panitera melaksanakan keputusan Pengadilan

bertindak pula sebagai Jurusita. Dalam Pasal 197 ayat (2)

dan ayat (6) HIR, Pasal 209 ayat (1), Pasal 210 ayat (1)

R.Bg. penyitaan dilakukan oleh Panitera dengan dibantu

oleh dua orang saksi. Kemudian dalam Pasal 197 ayat (3)

HIR. dan Pasal 209 ayat (2) R.Bg. ditentukan apabila

Panitera berhalangan, ia dapat diganti oleh orang ditunjuk

untuk itu.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang

diberi wewenang untuk melaksanakan eksekusi adalah

Panitera. Apabila Panitera berhalangan maka dilakukan oleh

Jurusita. Jadi tidak dilaksanakan bersama-sama, melainkan

Panitera sendiri atau Jurusita sendiri dengan dibantu oleh

dua orang saksi.

b. Pelaksanaan eksekusi riil

Perintah eksekusi yang dibuat Ketua Pengadilan,

Panitera atau apabila ia berhalangan dapat diwakilkan

kepada Jurusita dengan ketentuan harus menyebut dengan

jelas nama petugas dan jabatannya yang bertugas

melaksanakan eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 197

ayat (1) HIR dan Pasal 209 R.Bg. Dalam pelaksanaan

eksekusi tersebut, Panitera atau Jurusita dibantu dua orang

saksi berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang

93

berfungsi membantu Panitera atau Jurusita yang

melaksanakan eksekusi, sebagaimana diatur dalam Pasal

197 ayat (6) HIR dan Pasal 210 R.Bg.

Panitera atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi

harus datang ke tempat objek barang yang di eksekusi, tidak

dibenarkan mengeksekusi barang-barang hanya di belakang

meja atau dengan cara jarak jauh. Eksekusi harus

dilaksanakan sesuai dengan bunyi amar putusan, apabila

barang-barang yang dieksekusi secara nyata berbeda dengan

amar putusan, maka Panitera atau Jurusita yang melakukan

eksekusi harus menghentikan eksekusi tersebut, dan

membuat berita acara bahwa eksekusi tidak dapat

dilaksanakan karena amar putusan dengan objek yang akan

dieksekusi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Berita acara eksekusi harus memuat hal-hal : (1) jenis

barang-barang yang dieksekusi, (2) letak, ukuran dan luas

barang tetap yang dieksekusi, (3) hadir tidaknya pihak yang

tereksekusi, (4) penegasan dan keterangan pengawasan

barang, (5) penjelasan non bavinding bagi yang tidak sesuai

dengan amar putusan, (6) penjelasan dapat atau tidaknya

eksekusi dijalankan, (7) hari, tanggal, jam, bulan dan tahun

pelaksanaan eksekusi. (8) berita acara eksekusi ditanda

tangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi,

Kepala Desa/Lurah setempat dan tereksekusi.

Kepala Desa/Lurah, Camat dan tereksekusi secara

94

yuridis formal tidak diwajibkan menandatangani berita

acara. Namun untuk menghindari hal-hal yang mungkin

timbul di belakang hari, sebaiknya kepada mereka ini

diharuskan menandatangani berita acara eksekusi yang

dibuat oleh Panitera atau Jurusita yang melaksanakan

eksekusi tersebut.

Berdasarkan Pasal 197 ayat (5) HIR, Panitera atau

orang yang ditunjuk sebagai penggantinya membuat berita

acara eksekusi yang dilakukannya, dan kepada tereksekusi

supaya diberitahukan tentang eksekusi tersebut jika ia hadir

pada waktu eksekusi dilaksanakan maka pemberitahuan itu

dilaksanakan dengan cara menyerahkan salinan/fotokopi

berita acara eksekusi tersebut.

c. Eksekusi pembayaran sejumlah uang

Dasar hukum pelaksanaan eksekusi sejumlah uang

diatur dalam Pasal 197-200 HIR dan Pasal 208-218 R.Bg.

Apabila amar putusan berisi penghukuman pembayaran

sejumlah uang, berarti Tergugat dipaksa untuk melunasi

sejumlah uang kepada Penggugat dengan jalan menjual lelang

harta kekayaan Tergugat. Objeknya adalah sejumlah uang

yang dilunasi Tergugat kepada Penggugat. Eksekusi ini dapat

dilaksanakan berulang-ulang sampai pembayaran sejumlah

uang selesai pembayarannya.

Dalam praktek Peradilan, eksekusi pembayaran

sejumlah uang dilaksanakan dalam beberapa tahapan sebagai

95

berikut :

(1) Mengeluarkan penetapan sita eksekusi

Setelah Pengadilan menerima permohonan eksekusi

dari pihak yang menang, segera mengeluarkan surat

panggilan kepada pihak yang kalah untuk menghadiri sidang

Aan maning (tegoran) agar pihak yang kalah itu mau

melaksanakan putusan secara sukarela, sebagaimana diatur

dalam Pasal 207 ayat (1) dan (2) R.Bg. dan Pasal 196 HIR.

Apabila pihak yang kalah tidak bersedia

melaksanakan putusan Pengadilan, padahal sudah

dilaksanakan peringatan, maka Ketua Pengadilan

mengeluarkan penetapan sita eksekusi sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 208 R.Bg. dan Pasal 197 HIR dan Pasal

439 Rv. Bentuk surat sita eksekusi adalah berupa penetapan

yang ditujukan kepada Pantiera atau Jurusita dengan

menyebutkan namanya secara jelas.

Jika dalam surat putusan Pengadilan sudah ada

diletakkan sita jaminan (CB), maka sita eksekusi tidak

diperlukan lagi, sita jaminan (CB) tersebut dengan

sendirinya menjadi sita eksekusi, cukup dikeluarkan surat

penegasan bahwa sita jaminan (CB) itu menjadi sita

eksekusi. Seluruh ketentuan dan tata cara sita jaminan (CB)

berlaku sepenuhnya terhadap sita eksekusi.

96

(2) Mengeluarkan perintah eksekusi

Setelah penetapan sita eksekusi dilaksanakan, maka

proses selanjutnya adalah mengeluarkan surat perintah

eksekusi yang dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan. Surat

perintah eksekusi tersebut berisi perintah penjualan lelang

barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya

dengan menyebut jelas objek yang akan dieksekusi serta

menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.

(3) Pengumuman lelang

Tahap berikutnya adalah melaksanakan pengumuman

melalui surat kabar dan mass media terhadap barang-barang

yang akan dieksekusi lelang sesuai dengan Pasal 200 ayat

(6) HIR dan Pasal 217 ayat (1) R.Bg. Pengumuman lelang

barang bergerak dilakukan menurut kebiasaan setempat

dengan cara menempelkan pemberitahuan lelang pada

papan pengumuman Pengadilan atau pengumuman melalui

surat kabar dan mass media lainnya. Saat pengumuman ini

boleh dilaksanakan sesaat setelah sita eksekusi

diperintahkan, atau sesaat setelah lewat peringatan bila telah

ada sita jaminan (CB) sebelumnya.

Penjualan lelang dapat dilakukan paling cepat delapan

hari dari tanggal sita eksekusi atau paling cepat delapan hari

dari peringatan apabila barang yang hendak dilelang telah

diletakkan dalam sita jaminan (CB) sebelumnya. Jika barang

yang akan dilelang meliputi barang yang tidak bergerak,

97

pengumumannya disamakan dengan barang yang tidak

bergerak yakni melalui mass media, pengumuman cukup

satukali dan dilaksanakan paling lambat 14 hari dari tanggal

penjulan lelang.

(4) Permintaan lelang

Jika pengumuman telah dilaksanakan sebagaimana

ketentuan tersebut di atas, Ketua Pengadilan meminta

bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang

barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusi.

Surat permintaan lelang yang ditujukan kepada Kantor

Lelang Negara itu dilampiri surat-surat sebagai berikut :

a) Salinan surat putusan Pengadilan.

b) Salinan penetapan eksekusi.

c) Salinan berita acara sita.

d) Salinan penetapan lelang.

e) Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang

berkepentingan.

f) Perincian besarnya jumlah tagihan.

g) Bukti pemilikan (sertifikat tanah) barang lelang.

h) Syarat-syarat lelang.

i) Bukti pengumuman lelang.

(5) Pendaftaran permintaan lelang

Kewajiban pendaftaran permintaan lelang pada Kantor

Lelang sesuai Pasal 5 Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189.

98

Kantor Lelang mendaftarkan permintaan lelang itu dalam

buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran itu terbuka

untuk umum. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan kepada siapa saja supaya melihat pendaftaran

tersebut, sehingga bagi yang berminat untuk ikut dalam

pelelangan tersebut dapat menentukan sikapnya.

(6) Penetapan hari lelang

Kantor Lelang Negera yang berwenang menetapkan

hari lelang. Ketua Pengadilan boleh mengusulkan hari

lelang agar dilaksanakan pada hari yang ditentukan oleh

Pengadilan, tetapi sepenuhnya terserah kepada Kantor

Lelang Negara untuk menetapkannya dan Kantor Lelang

Negara tidak terikat dengan permintaan Ketua Pengadilan,

dia dapat menentukan waktu lelang dilaksanakan sendiri

tenpa dipengaruhi oleh pihak lain.

(7) Penentuan syarat lelang dan floor price

Berdasarkan Pasal 1b dan Pasal 21 Peraturan Lelang

Stb. 1908 No. 189 ditentukan bahwa yang menetapkan dan

yang menentukan syarat lelang adalah Ketua Pengadilan

yang bertindak sebagai pihak penjual untuk dan atas nama

tereksekusi. Kewenangan ini meliputi juga berubah syarat

lelang yang sudah ditentukan sebelumnya.

Syarat yang paling penting dalam pelaksanaan lelang

adalah tata cara penawaran dan tata cara pembayaran.

99

Syarat-syarat ini harus dilampirkan pada permintaan lelang

agar umum mengetahuinya. Penggugat atau Tergugat dapat

mengusulkan syarat, tetapi usul tersebut dapat

dipertimbangkan, dan tidak berpengaruh pada pelaksanaan

lelang sebab yang menentukan adalah Ketua Pengadilan

yang melaksanakan lelang.

Pasal 9 Peraturan Lelang Stb, 1908 No. 189 ditetapkan

pula bahwa patokan harga terendah merupakan harga yang

disetujui untuk membenarkan penjualan lelang. Dalam hal

ini yang berwenang adalah Kantor Lelang Negera, bukan

pihak Penggugat atau tereksekusi. Ukuran floor price adalah

sesuai dengan harga pasaran dengan memperhatikan nilai

ekonomis barang.

(8) Tata cara penawaran

Bagi pihak-pihak yang berminat ikut dalam acara

lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara,

maka pihak tersebut harus mengajukan penawaran secara

tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebut nama dan

alamat penawar secara jelas dan terang, menyebutkan harga

yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak penawar.

Penawaran harus dilaksanakan secara sendiri-sendiri, tidak

boleh dilakukan secara bersama-sama. Juru lelang harus

menolak penawaran yang lebih dari satu orang dalam satu

surat penawaran.

Penawaran lisan dapat dibenarkan jika dalam

100

penawaran tertulis tidak berhasil. Jadi penawaran lisan ini

merupakan lanjutan dari penawaran tertulis, maksudnya

apabila tidak satu pun surat penawaran yang mencapai

patokan harga (floor price), maka penawaran dapat

dilanjutkan secara lisan. Tetapi kebolehan tersebut terlebih

dahulu harus ada persetujuan pihak penjual dalam hal ini

Pengadilan. Sehubungan dengan hal ini, jika penawaran

tertulis gagal, maka Ketua Pengadilan sebaiknya segera

menetapkan penawaran secara lisan.

Pendaftaran penawaran diajukan oleh pihak yang ikut

lelang kepada Kantor Lelang dengan cara memasukkan

kertas penawaran itu dalam amplop tertutup. Selanjutnya

Kantor Lelang Negara segera mendaftarkan penawaran itu

dalam buku yang telah disediakan untuk itu.

(9) Pembeli lelang dan menentukan pemenang

Pembeli lelang adalah penawar tertinggi dan tawaran

itu minimal sesuai dengan floor price. Untuk mendukung

kemenangannya diperlukan syarat yaitu penelitian secara

seksama tentang keabsahan pendaftaran, disamping itu perlu

diteliti kemampuan pembayaran sehingga jangan sampai

terjadi hal-hal yang merugikan pihak pelaksana lelang dan

pemohon eksekusi.

Setelah hal tersebut di atas dilaksanakan, maka

barulah juru lelang mengumumkan atau menentukan

pemenangnya. Jika terjadi beberapa penawaran yang sama

101

nilai penawarannya, maka pihak yang berkepentingan dapat

mengajukan keberatan atas penentuan pemenang lelang

tersebut, keberatan tersebut diajukan kepada Pengadilan

yang melaksanakan lelang (penjual), namun terserah

Pengadilan untuk menerima atau menolak keberatan

tersebut.

Dalam praktek Peradilan, biasanya juru lelang

mengajukan pemenang kepada Pengadian dengan tujuan

untuk mendapatkan pengesahan, setelah mendapat

pengesahan dari Pengadilan maka barulah juru lelang

mengeluarkan penetapan pemenang.

(10) Pembayaran harga lelang

Pengadilan berhak menentukan syarat-syarat

pembayaran lelang. Ketentuan ini harus berpedoman kepada

Pasal 26 Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Apabila

harga relatif kecil, maka pembayaran harga lelang harus

dilakukan secara tunai, karena hal ini tidak sulit bagi

pembeli untuk melunasinya. Jika telah ditetapkan

pembayaran harus dilaksanakan secara tunai, tetapi para

pemenang lelang tidak melunasi secara tunai sebagaimana

yang telah ditetapkan, maka gugur haknya sebagai

pemenang lelang, atau pembeli.

Jika pemenang lelang membayar sebahagian dan

menunda sebahagian, dapat dibenarkan dalam jangka waktu

beberapa hari saja (tidak terlalu lama), inipun harus

102

dilaksanakan dengan memberikan jaminan kepada pihak

penjual (Pengadilan). Dalam hal ini pembayaran mesti

langsung dilunasi sesaat setelah penawar dinyatakan sebagai

pemenang, sisanya dilunasi pada jangka waktu yang

ditentukan.

Apabila pembayaran ditunda keseluruhan, dapat

dibenarkan apabila harga lelang dalam jumlah besar.

Ketentuan ini dapat dibenarkan apabila ditentuakan terlebih

dahulu dalam syarat lelang atau ada izin dari pengawas

kantor lelang. Hal ini dengan pertimbangan, bahwa

pemenang lelang itu tidak mungkin menyiapkan segera

pembayaran dalam waktu singkat, dengan ketentuan harus

memberikan jaminan yang sama nilainya dengan harga

pembayaran lelang. Apabila dalam waktu yang ditetapkan

pemenang lelang belum membayar harga lelang

sebagaimana yang ditentukan maka atas kelalaian itu

dikenakan denda sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal

22 ayat (7) Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Jika

melunasi tepat waktu, didenda 2 % dari jumlah yang belum

dibayar dan jika kelalaian pembayaran melampaui satu

bulan, denda dinaikan menjadi 5 % dari jumlah yang belum

dibayar. Hal ini analog dengan Pasal 1246 KUH Perdata.

103

2. Proses Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Beberapa Sengketa

Perdata

Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan

cara-cara mudah, sederhana, dan biaya yang ringan, sebagaimana

asas peradilan yang menyatakan bahwa proses peradilan

dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini

seharusnyapun dapat diterapkan dalam penyelesaian akhir dari

suatu putusan pengadilan yaitu pada tahap eksekusi putusan

pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun

dalam realitanya, masih terdapat beberapa putusan pengadilan

dalam sengketa perdata yang sangat sulit dan memakan waktu yang

cukup lama untuk dieksekusi. Proses eksekusi yang begitu lama

tentu dapat merugikan para pihak dalam memperoleh haknya

setelah adanya putusan pengadilan yang memenangkan

perkaranya. Beberapa contoh putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap namun sulit untuk dieksekusi dapat di jelaskan berikut

ini, sebagai suatu gambaran rill bahwa seseorang mendapatkan

haknya dalam peneyelesaian sengketa tidak hanya sebatas adanya

putusan pengadilan yang memenangkannya naumun hak itu harus

diperolehnya sampai pada tahap akhir pelaksanaan putusan

tersebut oleh ketua Pengadilan negeri.

a. Permohonan Eksekusi Pelelangan No.1649/Pdt.G/2007/

PN.Jak.Sel

ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA (APHI),

Sebagai Penggugat/Terbanding I/Termohon Kasasi/Pemohon

104

Eksekusin; melawan PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK.,

cq. PT. BANK MANDIIRI (Persero) Tbk. Cabang Panglima

Polim, Tergugat/Pembanding/Pemohon Kasasi/Termohon

Eksekusi; GATOT CAHYANTO, Turut Tergugat I/Turut

Terbanding/Turut Termohon Kasasi; Alm. YULIANUS

INDRAYANA cq. H. PERWITA SARI, Turut Tergugat II Turut

Terbanding/Turut Termohon Kasasi; Ir. ISMAIL P. SYAFUDIN,

Turut Tergugat III/Turut Terbanding/Turut Termohon Kasasi;

RAHADIAN TAREKAT, Turut Tergugat IV / Turut Terbanding /

Turut Termohon Kasasi; dan KUNCORO HARYOMUKTI, Turut

Tergugat V / Turut Terbanding / Turut Termohon Kasasi.

Dasar pelaksanaan eksekusi adalah Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tanggal 13 Mei 2008 No.1649/Pdt.G/

2007/PN.Jkt.Sel., jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta

tanggal 24 Pebruari 2009 No.65/Pdt/2009/PT.DKI., jo. Putusan

Mahkamah Agung R.I tanggal 30 Nopember 2009 No.1849

K/Pdt/2009. Dengan data-data sebagai berikut:

Bahwa yang menjadi dasar permohonan eksekusi adalah

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tertanggal 24 Pebruari 2009

No.65/Pdt/2009/PT.DKI., yang amarnya bersifat Condemnatoir

adalah ad.5, 6 dan ad 7 berbunyi sebagai berikut :

a. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar

kerugian yang dialami oleh Terbanding semula Penggugat

akibat perbuatan cidera janji/Wanprestasi tersebut sebanyak

Rp.50.000.000.000,- + Rp.39.083.333.333,- =

105

Rp.89.083.333.333,- (delapan puluh sembilan milyar delapan

puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu tiga ratus tiga puluh

tiga rupiah);

b. Menghukum Turut Terbanding I, II, III, IV dan V semula Turut

Terugat I, II, III, IV dan V untuk tunduk dan mematuhi putusan

ini;

c. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar

ongkos perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam

tingkat banding sebanyak Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu

rupiah);

Bahwa sebagaimana uraian tersebut di atas, Pemohon

mengajukan permohonan eksekusi Putusan yang dimaksud dengan

suratnya tanggal 4 Maret 2010;

Bahwa atas dasar permohonan Pemohon Eksekusi

sebagaimana termaksud di atas, telah ditindak lanjuti dengan surat

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 10 Juni

2010 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., tentang perintah untuk

melakukan pemanggilan terhadap Termohon Eksekusi/PT. BANK

MANDIRI (PERSERO) TBK., cq. PT. BANK MANDIIRI

(Persero) Tbk., Cabang Panglima Polim, agar dalam waktu yang

telah tentukan oleh Undang-Undang melaksanakan Putusan

Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta tanggal 24 Pebruari 2009

No.65/Pdt/2009/PT.DKI.,

Bahwa Termohon Eksekusi PT. BANK MANDIRI

(PERSERO) TBK., cq. PT. BANK MANDIIRI (Persero) Tbk.,

106

Cabang Panglima Polim, telah diberi tegoran sebagaimana

mestinya yang dituangkan dalam Berita Acara Teguran/Peringatan

tanggal 7 Juli 2010 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel.;

Bahwa tenggang waktu menurut Undang-Undang telah

berakhir, sehingga Pemohon Eksekusi dengan suratnya tanggal 22

Juli 2010 mengajukan permohonan untuk melakukan sita eksekusi

terhadap asset milik Termohon Eksekusi, berupa:

“Tanah berikut bangunan di atasnya yang terletak di Jl.

Jenderal Gatot Subroto Kav.36-38 Jakarta Selatan, Sertipikat

Hak Guna Bangunan No.346/Senayan seluas 39,470 (tiga puluh

sembilan ribu empat ratus tujuh puluh) M2, tertulis atas nama

PT. BANK MANDIRI;

Bahwa terhadap permohonan sita eksekusi tersebut telah

dimintakan petunjuk kepada Ketua Mahkamah Agung R.I., dengan

surat tanggal 24 Agustus 2010 No.W10.U2/308/

Hk.02.01/VIII/2001 perihal penyitaan eksekusi barang Milik

BUMN dalam rangka eksekusi putusan Pengadilan Tinggi DKI.

Jakarta tanggal 24 Pebruari 2009 No.65/Pdt/2009/PT.DKI.,

berkekuatan hukum tetap;

Bahwa dengan adanya surat Panitera Mahkamah Agung R.I.,

tanggal 31 Agustus 2010 Nomor:322/PAN/VIII/2010, perihal

pelaksanaan sita eksekusi, yang ditujukan kepada Christofel

Butarbutar, SH. MH., kuasa Pemohon Eksekusi, maka Pemohon

Eksekusi dengan suratnya tanggal 22 Oktober 2010 memohon

107

untuk dilakukan sita eksekusi terhadap asset PT. BANK

MANDIRI (Persero) Tbk.;

Bahwa Ketua MARI dengan suratnya tertanggal 28

Desember 2010 No.182/KMA/XII/-2010, telah memberikan

petunjuk kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;

Bahwa ternyata permohonan PK telah ditolak sebagaimana

putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 18 Oktober 2010 No.399

PK/Pdt/2010, yang amarnya sebagai berikut:

“Menolak permohonan peninjauan kembali dari : PT. BANK

MANDIRI (PERSERO) Tbk., Cq. PT. BANK MANDIRI

(PERSERO) Tbk., Cabang Panglima Polim tersebut;

Bahwa sesuai dengan Catatan Bapak Ketua Nomor:

1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel, pada poin ke 4 menyebutkan “ bahwa

sebelum adanya permohonan penundaan eksekusi dari Termohon

Eksekusi (PT. Bank Mandiri) kiranya tidak ada alasan untuk

menunda”;

Bahwa pihak Termohon Eksekusi /PT. BANK MANDIRI

dalam hal ini kuasanya Sdr. SENTOT PANCA WARDANA,SH,

dengan surat permohonan tertanggal 25 April 2011 No.025/SAS-

BMI/APHI-EKS/IV/2011, mengajukan permohonan penundaan

pelaksanaan putusan /eksekusi putusan No.399 PK/PDT/2010 jo.

1849 K/Pdt/2009 jo. No. 65/Pdt/2009/PT.DKI. jo.

No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel, dengan alasan telah mengajukan

gugatan baru yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan yaitu perkara:

108

a. No.116/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

b. No.117/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

c. No.118/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

d. No.119/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

Mohon agar eksekusi ditunda sampai dengan perkara

gugatan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkracht);

Bahwa atas permohonan Termohon Eksekusi / PT. BANK

MANDIRI Tbk., telah diterbitkan surat Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 8 Juni 2011, tentang

penundaan Eksekusi perkara tersebut sampai perkara gugatan :

a. No.116/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

b. No.117/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

c. No.118/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

d. No.119/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;

Diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Bahwa telah

diputusnya perkara-perkara tersebut di atas Pemohon kembali

mengajukan permohonan sita eksekusi terhadap asset Termohon

Eksekusi/Tergugat dengan suratnya tanggal 23 Desember 2011;

Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut telah ditindak

lanjuti dengan surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan tanggal 5 Maret 2012 No.1649/Pdt.G/2007/-PN.Jkt.Sel.,

tentang perintah untuk dilakukan teguran kembali terhadap

Termohon eksekusi/Tergugat;

109

Bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditentukan yakni

hari: Rabu, tanggal 4 April 2012 telah dilakukan teguran

sebagaimana mestinya terhadap Termohon Eksekusi yang

dituangkan dalam Berita Acara Teguran/Peringatan Lanjutan

tanggal 4 April 2012 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., yang

memberikan keterangan sebagai berikut :

a. Bahwa pihak kami ada upaya banding terhadap perkara yang

baru;

b. Bahwa klien kami sangat berat pertanggung jawabannya kepada

BPKP;

c. Bahwa terhadap yang 4 (empat) orang juga dibebankan kepada

klien kami Bank Mandiri;

d. Bahwa soal wacana untuk menitipkan uang yang pernah

disinggung pada prinsipnya Bank Mandiri tidak menyetujui;

e. Apabila dari jumlah putusan tersebut Bank Mandiri bersedia

untuk melaksanakan dari 1/5 (seperlima) jumlah putusan;

f. Kami mohon kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan.

Bahwa Termohon Eksekusi/Bank Mandiri dengan suratnya

tanggal 4 April 2012 memohon kepada Pengadilan untuk

membatalkan rencana eksekusi Putusan perkara

No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., terhadap Kantor Pusat PT.

BANK MANDIRI (Persero) Tbk.;

110

Bahwa Pemohon eksekusi dengan surat permohonannya

tanggal 9 April 2012 memohon kepada Pengadilan untuk

melakukan sita eksekusi, berupa:

1. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Panglima Polim Raya No.192, Jakarta Selatan;

2. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Mampang Prapatan Raya No.61, Jakarta Selatan;

3. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Ruko Veteran Raya Permai Jl. RC. Veteran No.17E.

Jakarta Selatan;

4. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda No.8A, Jakarta Selatan;

5. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Burung Gereja Blok B2 HS2 No.6 Sektor II,

Bintaro Jaya, Jakarta Selatan;

6. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. KH. Abdul Syafie No.45E, Tebet, Jakarta Selatan;

7. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.115, Jakarta Selatan;

8. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Jl. Wijaya II Komplek Grand Wijaya Center Blok B

1-3, Jakarta Selatan;

9. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,

terletak di Ruko ITC Fatmawati No.17, Jl. RS. Fatmawati,

Jakarta Selatan.

111

Bahwa atas permohonan Pemohon Eksekusi termaksud telah

ditindak lanjuti dengan surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tanggal 9 Agustus 2012

No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., telah diperintahkan untuk

melakukan penyitaan eksekusi hanya terhadap :

Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya,

seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan

No.686, No.197, No. 659 dan No.430, tertulis atas nama PT.

BANK MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Thamrin No.5,

Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat;

yang berada di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat;

Bahwa terhadap tanah berikut bangunan termaksud telah

diletakkan penyitaan persamaan oleh Jurusita Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat sebagaimana Berita Acara Sita Persamaan tanggl 3

Oktober 2012 No.012/Del/2012/PN.Jkt.Pst. jo. No.1649/Pdt.G/

2007/PN.Jkt.Sel., atas dasar surat Penetapan Ketua Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tanggal 18 September 2012

No.012/Del/2012/PN.Jkt.Pst. jo. No.1649/Pdt.G/2007/ PN.Jkt.Sel;

Bahwa terhadap tanah berikut bangunan termaksud

diletakkan sita persamaan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat oleh karena sebelumnya telah diletakkan penyitaan eksekusi

atas permintaan Pengadilan Negeri Surabaya;

Bahwa Pemohon Eksekusi melalui kuasa hukumnya CHRIS

BUTAR BUTAR & PARTNERS dengan suratnya tanggal 16

112

Oktober 2012 memohon kepada Pengadilan untuk melakukan

eksekusi pelelangan terhadap :

Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya,

seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan

No.686, No.197, No. 659 dan No.430, tertulis atas nama PT.

BANK MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Thamrin No.5,

Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta

Pusat;yang sebelumnya telah diletakkan sita persamaan oleh

Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

Selanjutnya bahwa Termohon Eksekusi/PT. BANK

MANDIRI (Persero) Tbk., melalui kuasa hukumnya SENTOT,

SH. & Associates Law Firm dengan suratnya tanggal 29 Nopember

2012 memohon kepada Pengadilan untuk menunda pelaksanaan

eksekusi dengan alasan :

1. adanya perkara Bantahan eksekusi

No.461/Pdt.Bth/2012/PN.Jkt.Pst.;

2. objek tersebut sebelumnya telah diletakkan penyitaan eksekusi

atas permintaan Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara

No.77/Eks/2010/PN.Sby. jo. No.215/ Pdt.G/2007/PN.Sby.

Bahwa sebagaimana disposisi Bpk. Ketua tanggal 21 Januari

2013 pada Resume tanggal 15 Januari 2013 “Agar ditunggu proses

perkara bantahannya terlebih dahulu “

Bahwa Pemohon Eksekusi/Penggugat dengan suratnya

tanggal 23 Agustus 2013 memohon kembali kepada Pengadilan

untuk dilaksanakan eksekusi pelelangan atas asset Termohon

113

Eksekusi / PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., yang telah

diletakkan sita Persamaan, berupa :

“sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya

seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan

No.686, No.197, No.659 dan 430 tertulis atas nama PT. BANK

MANDIRI (Persero), terletak di Jalan Thamrin No.5

Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat,

setempat dikenal dengan Gedung Bank Mandiri Jalan MH.

Thamrin No.5 Jakarta;

Dengan alasan bahwa perkara bantahan

No.461/Pdt.Bth/2012/PN.Jkt.Pst., telah diputus Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 23 Juli 2013, yang

amarnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Pembantah adalah Pembantah yang tidak benar;

2. Menolak bantahan Pembantah untuk seluruhnya;

3. Menghukum Pembantah untuk membayar biaya-biaya yang

timbul dalam perkara ini yang hingga sekarang berjumlah

Rp.8.016.000,- (delapan juta enam belas ribu rupiah);

Disposisi Ketua PN.Jak.Sel., pada Resume tanggal 7 Oktober

2013 memberi pendapat sebagai berikut :

a. Bahwa oleh karena penyitaan yang telah dilaksanakan terhadap

objek eksekusi adalah sita persamaan, terhadap penyitaan yang

telah lebih dahulu dilakukan atas permintaan PN. Surabaya

maka PN.Jakarta Selatan harus menunggu pelaksanaan eksekusi

PN.Surabaya, atau Sitanya harus diangkat terlebih dahulu oleh

114

yang bersangkutan, atau Pemohon mengajukan objek eksekusi

yang belum dibebani sesuatu hak lain atau penyitaan lain

sebelumnya;

b. Bahwa Pemohon eksekusi kembali mengajukan permohonan

ulang sita eksekusi dengan suratnya tanggal 24 Desember 2013,

terhadap Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di

atasnya seluas 2.326 M2 dengan Sertipikat Hak Milik

No.387/Mampamg Prapatan tertulis atas nama PT. BANK

MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Buncit Raya No.61,

Kelurahan Mampang Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan,

Jakarta Selatan;

Atas permohonan Pemohon Eksekusi telah diterbitkan

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 4 April

2014 No.1649/Pdt.G/2007/-PN.Jkt.Sel., diperintahkan untuk

dilakukan sita eksekusi terhadap objek termaksud.

Bahwa objek termaksud tidak dapat dilaksanakan oleh

Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Berita

Acara Sita Eksekusi tanggal 21 April 2014

No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel. Bahwa Pemohon eksekusi

dengan suratnya tanggal 22 April 2014 mengajukan permohonan

ulang sita eksekusi, dan atas permohonan Pemohon Eksekusi

termaksud telah ditindak Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tanggal 7 Mei 2014

No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., diperintahkan untuk dilakukan

sita eksekusi terhadap:

115

Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya

seluas 2.326 M2 dengan Sertipikat Hak Milik No.387/Mampamg

Prapatan tertulis atas nama PT. BANK MANDIRI (Persero) yang

dahulu terletak di Jalan Buncit Raya No.61, Kelurahan Mampang

Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,

sekarang di Jalan Mampang Prapatan Raya No.61, Kelurahan

Mampang Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta

Selatan yang telah diletakkan sita eksekusi oleh Jurusita

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Berita Acara Sita

Eksekusi tanggal 20 Mei 2014 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel.

Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkirim surat

kepada Ketua Mahkamah Agung RI dengan surat tanggal 28

Desember 2010 No.W10.U3/308/HK.02.01/VIII/2010 perihal

Penyitaan Eksekusi barang milik BUMN dalam rangka eksekusi.

Bahwa sehubungan dengan surat diatas, Ketua Mahkamah

Agung telah menjawab surat tersebut pada tanggal 28 Desember

2010 No.182/KMA/XII/2010. Atas dasar petunjuk Ketua

Mahkamah Agung RI tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan menerbitkan Penetapan No. 1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel

tanggal 8 Junin 2011 yang menetapkan menunda Pelaksanaan

Eksekusi;

b. Eksekusi Yang Tidak Dapat Dilaksanakan Putusan

No.09/Eks.Pdt/2016 jo.No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel

PT. ACSET INDONUSA, sebagai Penggugat/Terbanding/

Termohon Kasasi/selaku Pemohon Eksekusi melawan PEM.RI

116

CQ. KEMENTRIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA CQ.

PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA, sebagai Tergugat

/Pembanding/Pemohon Kasasi/Termohon Eksekusi;

Dasar permohonan eksekusi adalah perkara para pihak

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah memberikan Putusan

No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012 jo.

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.236/PDT/2013/PT.DKI,

tertanggal 19 Agustus 2013, Jo. Putusan Mahkamah Agung RI

No.254 K/Pdt/2014, tertanggal 19 Desember 2014;

Terhadap Putusan-Putusan tersebut yang dapat

dilaksanakan eksekusinya adalah Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan, No.15/Pdt.G/2012/PN.JKt.Sel, tertanggal 15

Agustus 2012, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH

Perdata;

3. Menyatakan tidak berlaku Tagihan Susulan (TS) yang

dikenakan kepada Penggugat yang masing-masing sebesar

Rp.1.180.856.880 (aratu milyar seratus delapan puluh juta

delapan ratus lima puluh enam ribu delpan ratus delapan puluh

rupiah);

4. Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses

pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner

bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar

117

Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta

tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh rupiah);

Bahwa putusan tersebut dalam tingkat banding

DIKUATKAN, oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

No.236/PDT/2013/PT.DKI, tertanggal 19 Agustus 2013, dan

permohonan Kasasinya DITOLAK, sebagaimana Putusan

Mahkamah Agung RI No.254 K/Pdt/2014, tertanggal 19 Desember

2014;

Terhadap isi putusan Kasasi tersebut para pihak telah

diberitahukan dengan sah dan patut sebagai berikut :

a. Kepada Pemohon Kasasi diberitahukan pada tanggal 17

November 2015;

b. Kepada Termohon Kasasi diberitahukan pada tanggal 13

November 2015;

Bahwa pihak Penggugat melalui kuasanya Sdr. POLTAK

HUTAJULU, SH, MBA, MH dengan suratnya tertanggal 27

November 2015, mengajukan permohonan Aanmaning/ Teguran

kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bahwa amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

No.15/Pdt.G/2012/PN. JKt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012,

Dalam Pokok Perkara diktum ke - 4, bersifat Condemnatoir yang

berbunyi sebagai berikut :

“Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses

pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner

bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar

118

Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu

juta tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh

rupiah) “;

Terhadap permohonan tersebut telah diterbitkan Penetapan

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.09/Eks.Pdt/2016 jo.

No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 17 Februari 2016,

tentang teguran/Aanmaning terhadap Termohon Eksekusi;

Bahwa Termohon Eksekusi telah dipanggil sebanyak 2 (dua)

kali untuk diberi peringatan, akan tetapi tidak pernah hadir

sebagaimana Berita Acra Teguran/Peringatan Pertama tertanggal 2

Maret 2016 dan Berita Acra Teguran/Peringatan Kedua tertanggal

16 Maret 2016, masing-masing bernomor: 09/Eks.Pdt/2016 jo.

No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel.

Bahwa oleh karena Termohon Eksekusi belum juga

melaksanakan kewajibannya pihak Pemohon Eksekusi via

Kuasanya dengan surat tertanggal 21 September mengajukan

permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar

dilakukan/diletakkan sita eksekusi terhadap asset Termohon

Eksekusi berupa :

Tanah dan bangunan milik Termohon Eksekusi yang terletak

di Jln. Trunojoyo Blok M 1/35, Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan;

Oleh karena Termohon merupakan Badan Usaha Milik

Negara, maka menurut ketentuan Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004,

119

tentang Perbendaharaan Negara, maka sita eksekusi belum dapat

ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.

Selanjutya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bersurat

kepada Termohon Eksekusi/PLN, yang pada pokoknya

memerintahakan agar melaksanakan putusan dengan memasukkan

dalam usulan anggaran tahun depan untuk pengembaliannya

kepada Pemohon Eksekusi/PT. Acset Indonusa Tbk.

c. Permasalahan Eksekusi Grosse Acte

Berdasarkan Pasal 224 HIR, Grosse Akta merupakan

perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam

praktik eksekusi grosse akta tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi grosse akta

menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu

dengan mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak

ketiga, kesalahan pihak bank dalam membuat grosse akta dan

Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.

a) Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga

Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah

debitur atau pihak ketiga yang melakukan upaya hukum untuk

menghambat proses eksekusi grosse akta yang hendak dijalankan

oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang menyebabkan nasabah

debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan (verzet)

yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk

menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh

120

kecurangan kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh

kasus adanya perlawanan pihak ketiga yang disebabkan karena

pihak bank lalai untuk meniliti dokumen-dokumen yang dibuat

antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara antara

PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru

Tupang, PT. Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta

dengan jaminan grosse akta pemberian jaminan. Nasabah debitur

wanprestasi sehingga bank mengajukan permohonan eksekusi pada

ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak bank

kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar

pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan

dengan alasan tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik

pelawan. Mahkamh Agung mengeluarkan putusan yang pada

pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan menyatakan

menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan

Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali

sita eksekusi atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses

peralihan hak yang dijadikan anggunan antara Pelawan dan

nasabah debitur cacat hukum.

b) Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta

Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang

dipercaya oleh bank untuk membuat dokumen-dokumen tersebut.

Kesalahan ini disebabkan perbedaan penafsiran mengenai grosse

akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk grosse akta

yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang

121

masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang

berbeda. MA hanya membolehkan kalangan perbankan memilih

salah satu dari grosse akta tersebut. Apabila nasabah debitur telah

diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka nasabah debitur

tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.

Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta

menjadi satu, kalangan perbankan dan notaris sering juga

melakukan kesalahan dalam pembuatan akta pengakuan utang.

Akta pengakuan utang yang dibuat oleh perbankan dan notaris

kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari nasabah

debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah

debitur yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta

pengakuan utang. Dalam perkara PT Waringin Metal Printing &

Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. & Takegawa Co, MA

menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang

dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai

dengan perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada

hakekatnya surat pengakuan utang hanya dapat memuat suatu

pengakuan utang dengan kewajiban untuk membayar utang

tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang berutang tidak

lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank

Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987

tanggal 12 Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan

pengakuan utang dengan pemberian jamian, dimana diperjanjikan

pula mengenai barang-barang yang akan dijaminkan dan syarat-

122

syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian grosse akta

semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat

dieksekusi sesuai Pasal 224 HIR.

Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan

Trisnawati Sudarto, MA mengabulkan bantahan Trisnawati dengan

pertimbangan antara lain Akta Pernyataan yang dibuat tanggal 15

Januari 1984 hanyalah merupakan akta di bawah tangan yang tidak

berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah

tidak ada dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang

berisi loan agreement dan Akta Noratis No. 148 yang berisi

acknowledgement of indebtedness and security agreement adalah

bukan grosse akta. Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering

juga ditemui jumlah utang nasabah debitur belum dapat dipastikan

jumlahnya. MA berpendapat akta pengakuan utang seperti ini tidak

dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak bersedia

menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan

bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu

hal yang merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa

grosse akta perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sama dengan

grosse akta pengakuan utang. Dengan bekal pemahaman ini.

Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan

dicantumkannya kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” pada grosse akta perjanjian kredit,

maka grosse akta tersebut telah mempunyai kekuatan eksekutorial.

123

MA tidak mengakui grosse akta perjanjian kreidt sebagai grosse

akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam Keputusan MA

No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank

melawan PT Ripe Indonesia.

c) Agunan Harta Bersama

Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996

tanggal 23 Pebruari 1998 menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara

telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian yang mengharuskan

manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah

usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan

tersebut. Pembebanan tanah harta bersama tersebut harus

dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar pertimbangan

adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah

Sumatera Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah

adanya penjaminan utang yang dibuat dalam grosse akta.

Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum lain,

dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan

eksekusi tersebut. Penggugat merasa dirugikan karena objek yang

dimohonkan eksekusi adalah harta bersama. Harta bersama dapat

dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak milik

bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda

yang sama. Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya

harta milik bersama yang disebut sebagai harta bersama. Hak milik

bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang bebas dan

hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena

124

diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda.

Hak milik bersama yang terkait terjadi karena ketentuan undang-

undang dan sebagai akibat hubungan hukum yang sudah ada lebih

dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat adanya

perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya

pewarisan. Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan

berbuat apa saja tanpa izin dari pemilik bersama lainnya.

C. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Eksekusi Putusan

Pengadilan dalam Sengketa Perdata

Berdasarkan realitas pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan

dalam kasus atau sengketa perdata sebagaimana di jelaskan dalam

beberapa contoh kasus di atas, dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan hukum dalam eksekusi putusan perdata tersebut sebagai

berikut:

1. Eksekusi tidak dapat dijalankan

Banyak hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan eksekusi

oleh Panitera atau Jurusita dilapangan, sehingga eksekusi tidak dapat

dijalankan sebagaimana mestinya. Di antara hambatan yang sering

ditemukan di lapangan adalah sebagai berikut :

a. Objek Eksekusi merupakan Harta BUMN

Salah satu penyebab eksekusi tidak dapat dijalankan adalah

terkait dengan eksekusi terhadap harta benda milik Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), dua contoh kasus yang dijelaskan di atas

menunjukkan secara jelas bahwa, walaupun putusan pengadilan

125

sudah memiliki kekuatan hukum tertap dan diktum putusannya

bersifat comdennatoir, sebagaimana disebutkan bahwa amar

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, No.15/Pdt.G/2012/PN.

JKt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012, Dalam Pokok Perkara diktum

ke - 4, bersifat Condemnatoir yang berbunyi sebagai berikut :

“Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses

pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner

bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar

Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu

juta tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh

rupiah)“

Terhadap permohonan tersebut telah diterbitkan Penetapan

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.09/Eks.Pdt/2016 jo.

No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 17 Februari 2016,

tentang teguran/Aanmaning terhadap Termohon Eksekusi;

Termohon Eksekusi telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali

untuk diberi peringatan, akan tetapi tidak pernah hadir

sebagaimana Berita Acra Teguran/Peringatan Pertama tertanggal 2

Maret 2016 dan Berita Acra Teguran/Peringatan Kedua tertanggal

16 Maret 2016, masing-masing bernomor: 09/Eks.Pdt/2016 jo.

No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel.

Oleh karena Termohon Eksekusi belum juga melaksanakan

kewajibannya pihak Pemohon Eksekusi via Kuasanya dengan surat

tertanggal 21 September mengajukan permohonan kepada Ketua

126

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar dilakukan/diletakkan sita

eksekusi terhadap asset Termohon Eksekusi berupa :

Tanah dan bangunan milik Termohon Eksekusi yang terletak

di Jln. Trunojoyo Blok M 1/35, Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan;

Namun karena Termohon merupakan Badan Usaha Milik

Negara, maka menurut ketentuan Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004,

tentang Perbendaharaan Negara, maka sita eksekusi belum dapat

ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. Selanjutya Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan bersurat kepada Termohon Eksekusi/PLN,

yang pada pokoknya memerintahakan agar melaksanakan putusan

dengan memasukkan dalam usulan anggaran tahun depan untuk

pengembaliannya kepada Pemohon Eksekusi/PT. Acset Indonusa

Tbk. namun sampai saat ini pengembalian uang milik pemohon

eksekusi belum juga diproses, sehingga dalam kasus ini eksekusi

yang dilakukan belum memiliki kepastian hukum bagi pemohon

eksekusi.

b. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada

Secara mutlak barang yang dieksekusi tidak ada, mungkin

sudah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan, atau telah

musnah karena adanya bencana alam. Tidak ditemuinya harta

yang akan dieksekusi bisa juga terjadi karena tidak jelas letak

barang-barang yang akan dieksekusi itu, tidak jelas batas-

batasnya, ukurannya dan mungkin juga karena adanya perubahan

alamat, pada waktu gugatan diajukan terletak di jalan Fatmawati

127

No. 10 Rt.112/04 ternyata setelah perkara diputus ada

perubahan, terletak di jalan Argamulya No.21 Rt.14/02 sehingga

pada waktu eksekusi dilaksanakan, letak barang tersebut sudah

tidak sesuai lagi dengan apa yang tersebut dalam amar putusan.

Apabila secara nyata barang-barang yang akan dieksekusi

tidak dapat ditunjukkan oleh pemohon eksekusi maka dengan

sendirinya eksekusi tidak dapat dijalankan. Sedangkan karena

perubahan alamat sebagaimana tersebut di atas, maka untuk

dapat dilaksanakan eksekusi, pemohon eksekusi harus

mengajukan perkara baru, dengan nomor perkara baru dan

dengan petitum perbaikan amar putusan.

Jika tanah yang akan dieksekusi tidak jelas batasnya atau

belum jelas ukurannya, eksekusi dengan sendirinya juga tidak

dapat dilaksanakan. Pernyataan non eksekutabel ini bersifat

temporer sampai batas dan ukurannya dapat diketahui dengan

jelas. Mengatasi hal ini sebaiknya diadakan pengecekan atau

pemeriksaan setempat terlebih dahulu dengan dihadiri oleh

pihak-pihak yang berperkara. Jika berhasil ditemukan maka

eksekusi dapat dijalankan. Jika ternyata tidak diketemukan sama

sekali, maka eksekusi tidak dapat dijalankan.

c. Putusan bersifat deklaratoir

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa

putusan yang bersifat condemnatoir yaitu putusan yang amarnya

mempunyai sifat menghukum atau memerintahkan kepada pihak

yang kalah untuk berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,

128

membayar, membagi, membongkar dan mengosongkan benda

tetap. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela

oleh pihak yang kalah, maka pihak yang menang dapat minta

Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk

menjalankan putusan tersebut secara paksa.

Jika hakim lalai atau lupa mencantumkan amar yang

bersifat condemnatoir sebagaimana tersebut di atas, maka pihak

yang ingin agar putusan itu dijalankan harus mengajukan

gugatan baru kepada Pengadilan yang memutuskan perkara

semula, dengan dalil gugat berdasarkan putusan deklaratif dan

minta dalam petitum agar barang-barang yang telah diputus

dalam perkara terdahulu supaya dieksekusi dan kalau perlu dapat

diminta putusan Uitvoerbaar bij voorraad (putusan yang dapat

dilaksanakan terlebih dahulu) meskipun ada banding dan kasasi.

Yang dimaksud dengan perkara baru adalah putusan yang

berdiri sendiri dengan nomor perkara lain dengan perkara yang

terdahulu. Penggugat juga harus membayar biaya perkara secara

tersendiri posita dalam perkara baru tersebut dikaitkan dengan

perkara yang terdahulu dengan petitum mohon agar putusan

yang terdahulu supaya dapat dijalankan dan dapat dieksekusi

sebagaimana mestinya.

Ada sementara para praktisi hukum yang berpendapat

bahwa pemberian jalan keluar terhadap putusan deklaratoir dan

tidak mencantumkan amar yang bersifat comdemnatoir tidak

dilaksanakan dengan gugat baru dengan petitum perubahan amar

129

dan mohon dapat dieksekusi merupakan jalan keluar yang

kurang tepat, sebab sangat merugikan Penggugat dan juga akan

terjadi Nebis in idem.

Dalam praktek Peradilan hal ini sudah sangat sering

dilaksanakan meskipun secara realita memang pihak Penggugat

sangat dirugikan. Jika putusan yang bersifat deklaratif itu

dibiarkan, maka akan illusoir (hampa) dan tidak ada manfaat

serta tidak ada kepastian hukum.

Daripada putusan demikian hampa, maka sudah

selayaknyalah Penggugat dianjurkan untuk mengajukan gugat

lagi dengan petitum perubahan amar agar putusan yang terdahulu

dapat dijalankan atau dieksekusi, meskipun mungkin dengan

sedikit menanggung kerugian. Oleh karena itu kepada para

hakim diharapkan agar berhati-hati dalam membuat amar

putusan ini sehingga putusan yang dijatuhkan itu terhindar dari

kehampaan (illusoir).

Dalam hal gugat baru dengan petitum perubahan amar

putusan, tidak akan terjadi Nebis in idem karena hakim tidak

memeriksa pokok perkara yang telah diputus dalam putusan

sebelumnya. Lagipula ada para pakar hukum yang berpendapat

bahwa dalam hukum perdata tidak dikenal Nebis in idem, yang

ada hanya dalam bidang hukum pidana.

2. Pendelegasian eksekusi

Ada kemungkinan bahwa barang-barang yang dimohonkan

130

eksekusi itu berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan yang memutus

perkaranya. Persoalannya adalah bagaiana cara melaksanakan

eksekusinya? Dalam hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan

lembaga “pendelegasian eksekusi” sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 206 R.Bg dan Pasal 195 HIR. yaitu pelaksanaan eksekusi harus

dilakukan melalui pendelegasian atau permintaan bantuan kepada

Pengadilan lain, untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan surat

penetapan yang disampaikan kepadanya.

Tata cara pelaksanaan pendelegasian eksekusi terhadap objek

yang berada di luar yurisdiksi Pengadilan yang memutus perkara,

adalah sebagai berikut :

a. Membuat surat penetapan eksekusi

Ketua Pengadilan membuat surat penetapan yang isinya

memerintahkan kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan yang

memutuskan perkara melalui Panitera atau Jurusita Pengadilan

tempat objek yang akan dilaksanakan eksekusinya. Dalam surat

penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal yang dieksekusi

secara jelas, kalau hal yang menyangkut benda tetap harus jelas

ukurannya, luas dan batas-batasnya. Kalau barang-barang

bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang

diperlukan. Surat penetapan eksekusi itu dikirim kepada

Pengadilan tempat objek eksekusi berada dengan surat pengantar

Ketua Pengadilan atau Panitera atas nama Ketua Pengadilan.

b. Berita acara eksekusi

Pengadilan Agama yang menerima permintaan eksekusi

131

segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi

Pengadilan yang meminta pelaksanaan eksekusi Pengadilan

yang menerima permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi

penetapan eksekusi yang dikirim oleh Pengadilan yang meminta

eksekusi.

Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan

yang melaksanakan eksekusi tersebut segera membuat berita

acara eksekusi berita acara eksekusi dan segera pula

mengirimkannya kepada Pengadilan yang meminta pelaksanaan

eksekusi dalam tempo dua kali dua puluh empat jam.

c. Tentang biaya eksekusi

Pengadilan menaksir biaya pelaksanaan eksekusi kepada

yang meminta eksekusi dilaksanakan. Tentang berapa besar

biaya eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di

lapangan. Teknis pengirimannya kepada Pengadilan yang

diminta bantuan eksekusi bisa dilakukan sebelum eksekusi

dilaksanakan, atau bersama-sama dengan surat permintaan

eksekusi dikirimkan, atau bisa juga setelah eksekusi

dilaksanakan sesuai dengan konsensus antar Pengadilan tersebut.

Jika biaya eksekusi ternyata kurang dari kebutuhan riil dalam

pelaksanaan eksekusi tersebut, Pengadilan yang menerima

permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya eksekusi

kepada Pengadilan yang meminta eksekusi dilaksanakan dengan

melampirkan kebutuhan riil yang telah dikeluarkan atau yang

dibutuhkan.

132

3. Perlawanan terhadap eksekusi yang obyeknya berada di luar

wilayah yurisdiksi Pengadilan

Apabila terjadi perlawanan pihak ketiga (derden verzet)

terhadap objek eksekusi yang terletak diluar wilayah Pengadilan yang

memutus perkara maka ke Pengadilan mana perlawanan pihak ketiga

itu diajukan, apakah kepada Pengadilan yang memutus perkara atau

kepada Pengadilan yang melaksanakan eksekusi?

Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) R.Bg. dan Pasal 195 ayat (6)

HIR dikemukakan bahwa perlawanan pihak ketiga atas pelaksanaan

putusan hakim (derden verzet) dilaksanakan dan diadili oleh

Pengadilan yang melaksanakan putusan hakim tersebut atau pada

Pengadilan dimana eksekusi dijalankan. Tetapi menurut Pasal 379 Rv

perlawanan pihak ketiga tersebut harus diajukan di Pengadilan yang

memutus perkaranya, bukan di tempat Pengadilan yang menjalankan

eksekusinya. Dua pendapat yang saling bertentangan ini dalam

praktek sangat membingungkan para praktisi hukum dalam

menjalankan eksekusi putusan yang objeknya berada di luar wilayah

Pengadilan yang memutus perkara.

Terhadap dua pendapat yang saling bertentangan tersebut,

biasanya para praktisi hukum mengambil jalan tengah di antara dua

pendapat tersebut. Pengajuan pihak ketiga (derden verzet) diajukan

ditempat atau Pengadilan yang memutuskan perkara, melalui

Pengadilan tempat eksekusi dijalankan. Hal ini lebih logis, sebab

Pengadilan yang memutuskan perkara lebih tahu permasalahannya,

lebih lengkap dokumen-dokumen perkaranya dan memiliki nomor

133

perkaranya.

Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut, diputus

oleh Pengadilan yang memeriksa pokok perkaranya dan dikirim

kepada pihak pelawan melalui Pengadilan yang menjalankan

eksekusi. Yang menaksir biaya adalah Pengadilan yang memeriksa

pokok perkara, dan yang membukukan dalam buku register perkara

juga Pengadilan yang memeriksa pokok perkara.

4. Objek eksekusi di tangan pihak ketiga

Eksekusi tidak dapat dijalankan terhadap barang yang ada di

tangan pihak ketiga, apabila penguasaan barang tersebut

dilaksanakan berdasarkan atas alas hak yang sah. Eksekusi dapat

dijalankan apabila penguasaan barang oleh pihak ketiga itu secara

tidak sah atau tanpa alas hak. Terhadap hal ini apabila amar putusan

menegaskan bahwa objek perkara yang akan dieksekusi dapat saja

dilaksanakan meskipun barang berada di tangan siapapun. Maka

eksekusi dapat dijalankan meskipun barang berada di tangan pihak

ketiga.

Jika barang yang dieksekusi sedang disewa oleh pihak ketiga

maka pelaksanaan eksekusi harus dihentikan, sebab perjanjian sewa

menyewa terus berlanjut meskipun pemilik barang itu diganti.

Eksekusi pengosongan atau penyerahan terhadap diri penyewa tidak

dapat dijalankan.

Demikian juga dalam hal barang yang akan dieksekusi sedang

diagunkan. Eksekusi tidak dapat dilaksanakan selama barang yang

menjadi objek eksekusi itu sedang diagunkan. Selama barang

134

tersebut diagunkan, maka barang objek eksekusi terikat kepada

pemegang agunan. Eksekusi baru dapat dilaksanakan kalau barang

objek eksekusi itu sudah tidak lagi menjadi objek agunan Tergugat.

Barang objek eksekusi yang diagunkan itu biasanya pada Bank,

Perkumpulan Koperasi atau pada pihak ketiga secara perorangan.

5. Status tanah milik negara

Jika status tanah yang disengketakan pada mulanya milik

pribadi, kemudian karena sesuatu hal berubah jadi milik negara dan

perubahan itu statusnya jelas, maka terhadap objek tersebut tidak

dapat dijalankan eksekusinya. Sekiranya perubahan status tanah tidak

jelas, maka eksekusi dapat dijalankan selama tidak ada perlawanan

dari pihak penguasa. Jika ada perlawanan dari pihak penguasa, maka

eksekusi harus dihentikan.

6. Objek eksekusi berada di luar negeri

Jangkauan hukum Indonesia hanya berlaku dalam wilayah

Indonesia saja, hal ini karena hukum Indonesia menganut asas

nasionalitas. Sehubungan dengan hal ini daya kekuatan putusan

Pengadilan hanya meliputi wawasan Nasional Indonesia, tidak

menjangkau di luar wilayah Indonesia. Oleh karena itu, eksekusi

tidak dapat dijalankan jika letak objek eksekusi berada di luar

Indonesia. Jika objek eksekusi berada di luar wilayah Indonesia, dan

pihak yang menang bermaksud untuk memohon eksekusi kepada

Pengadilan, maka Pengadilan harus menolaknya.

135

7. Dua putusan yang saling bertentangan

Secara teoritis mungkin tidak masuk akal apabila ada putusan

Pengadilan yang bunyinya saling bertentangan satu sama lain,

padahal pokok permasalahannya adalah sama. Dalam praktek sering

ditemukan dua putusan yang saling bertentangan padahal pokok

permasalahannya adalah sama.

Suatu putusan dapat dijalankan lebih dahulu mungkin saja

menjadi bertentangan dengan putusan dalam tingkat banding atau

putusan kasasi. Jika putusan tersebut sudah terlanjur dieksekusi,

maka untuk memenuhi putusan banding atau kasasi menjadi batal dan

harus diikuti dengan tindakan pemulihan, berupa penggantian

kerugian atau penyerahan uang atau juga barang jaminan lainnya.

Selain dari hal tersebut di atas, yang dimaksud dengan putusan

yang saling bertentangan adalah pertentangan antara dua putusan

yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik putusan dalam

tingkat peradilan yang sama ataupun dapat terjadi dalam tingkat yang

berlainan. Umpamanya ada dua putusan mengenai keahliwarisan dan

pembahagian warisan dengan objek gugatan yang sama, tetapi

masing-masing Penggugat maupun Tergugat-Tergugatnya berbeda.

Keadaan seperti ini mustahil bisa terjadi, akan tetapi karena pewaris

sudah lama sekali meninggal dan mempunyai keturunan banyak dan

bercerai-berai tempat tinggalnya, hal yang semula dianggap mustahil

tersebut bisa menjadi kenyataan. (Djazuli Bachar, SH : 1994:125).

Jadi apabila ada dua putusan yang sama-sama telah

berkekuatan hukum tetap, tapi isinya saling bertentangan dan objek

136

persengketaannya sama, maka secara permanen tidak dapat

dieksekusi sampai pertentangan itu dihilangkan. Cara menghilangkan

saling pertentangan tersebut dapat dilaksanakan melalui gugatan

apabila pihaknya tidak sama atau melalui peninjauan kembali apabila

pihaknya sama.

8. Pengulangan eksekusi

Dalam pelaksanaan eksekusi, mungkin terjadi hal-hal yang

tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan karena objek-objek

yang akan dieksekusi ternyata keliru, atau mungkin juga tidak sesuai

dengan amar yang ditetapkan dalam putusan. Kekeliruan ini mungkin

ada kesalahan tehnis di lapangan atau karena ada kecerobohan dari

Panitera atau Jurusita dalam menjalankan eksekusi tersebut. Jika hal

ini terjadi, maka eksekusi yang telah dilaksanakan itu harus diulang

kembali.

Pengulangan eksekusi tidak perlu dengan gugatan baru, tetapi

Ketua Pengadilan harus meneliti dengan seksama tentang kebenaran

adanya penyimpangan atau adanya kesalahan. Jika hasil penelitian

yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan, ternyata ada kebenarannya,

maka ketua Pengadilan membuat surat penetapan eksekusi baru yang

isinya membatalkan penetapan yang lama termasuk berita acara

eksekusinya, serta memerintahkan eksekusi ulang. Tentang biaya

eksekusi ulang ini, tetap dibebanknan kepada pemohon eksekusi,

sebab merekalah yang mempunyai kepentingan.

Para praktisi hukum harus berhati-hati dalam melaksanakan

eksekusi ulang, sebab tidak sedikit permohonan eksekusi ulang ini,

137

setelah diteliti dengan seksama dan cermat ternyata akal-akalan dari

pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan eksekusi yang

dilaksanakan itu.

9. Penundaan eksekusi

Pada prinsipnya, tidak ada dasar untuk menunda eksekusi

setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan

mengandung amar comdemnatoir serta mengandung titel

eksekutorial, maka putusan tersebut harus dijalankan. Oleh karena itu

jika pihak yang menang dalam suatu perkara yang telah diputus oleh

Pengadilan dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

lalu dimohonkan eksekusi kepada Pengadilan yang memutuskan

perkara itu harus segera melaksanakannya. Yang dapat

mengesampingkan eksekusi hanya perdamaian antara para pihak

yang berperkara.

Perdamaian itu dapat berupa atas kehendak kedua belah pihak

sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata, atau

berdasarkan kesukarelaan dari pihak tereksekusi bahwa ia akan

melaksanakan amar putusan dalam jangka waktu tertentu, dan dalam

hal ini pemohon eksekusi menyetujui permintaan dari pihak

tereksekusi. Dalam hal ini pelaksanaan eksekusi dapat ditunda

sampai betul-betul perdamaian yang disepakati oleh kedua belah

pihak dapat dilaksanakan. Apabila pihak tereksekusi tidak

melaksanakan perdamaian sebagaimana yang telah disepakati, maka

pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi kembali.

Pengadilan yang menerima permohonan eksekusi tersebut dapat

138

melaksanakan eksekusi sebagaimana mestinya sesuai dengan

prosedur yang berlaku.

Mengenai penundaan eksekusi yang bersifat kasuistik

merupakan hal yang bersifat konsepsional dari prinsip yang bersifat

umum. Tentang bagaimana suatu alasan dapat dianggap bersifat

kasuistik, hal ini sangat tergantung pada pendapat dan pertimbangan

Ketua Pengadilan. Secara umum hal-hal yang bersifat kasuistik dapat

terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

10. Alasan kemanusiaan

Penerapan alasan kemanusiaan dalam pelaksanaan eksekusi

hanya bersifat sementara, biasanya terbatas dalam jangka waktu tiga

atau enam bulan, atau juga dalam jangka waktu yang patut menurut

keadaan yang terjadi. Tujuannya hanya memberikan kelonggaran

kepada pihak tereksekusi agar terlepas dari himpitan yang

menyedihkan. Jadi penundaan eksekusi tersebut tidak boleh bersifat

permanen, hanya terbatas dalam waktu yang relatif pendek. Jika batas

waktu yang telah ditentukan sudah lewat, eksekusi harus dijalankan

tanpa memerlukan peringatan lagi.

11. Alasan derden verzet

Berdasarkan pasal 195 HIR pihak ketiga diberi hak

mengajuakn perlawanan terhadap eksekusi yang dijalankan oleh

Pengadilan. Dalil derden verzet ini dilaksanakan dengan dasar

kepada “hak milik” bahwa yang hendak dieksekusi itu adalah milik

pihak yang mengajukan perlawanan. Eksekusi dilarang terhadap

139

milik pihak ketiga.

Penundaan eksekusi baru dapat dilaksanakan apabila

perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga itu telah diperiksa

dengan cara seksama dan seteliti mungkin. Jika hasil pemeriksaan

terbukti benar bahwa barang yang akan dieksekusi itu barang milik

pelawan, maka eksekusi harus ditunda sampai perlawanan

memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun tujuan

penundaan ini agar jangan sampai terjadi saling bertentangan antara

eksekusi dengan putusan perlawanan dari pihak ketiga.

Di samping itu, jika objek eksekusi masih diproses dalam

perkara lain, pemeriksaannya masih dalam tingkat pertama, banding

atau kasasi, maka lebih baik menunda eksekusi sampai putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuan agar tidak terjadi putusan

yang saling bertentangan. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 66 ayat (2)

Undang-undang No. 14 Tahun 1985, peninjauan kembali (PK) tidak

menangguhkan atau menghentikan eksekusi.

12. Lelang eksekusi putusan pengadilan

Lelang eksekusi Peradilan diatur dalam Vendu Reglement Stb.

1980 No. 189 Jo. Stb. 1940 No. 56, Vendu Instructie Stb. 190, Peraturan

Pemungutan Bea Lelang Stb. 1949 No. 390, HIR (Stb.1914 No. 44),

R.Bg (Stb.1927 No. 227) dan Keputusan Menteri Keuangan No.

295/KMA.09/1993 tanggal 27 Februari 1993. Lelang eksekusi adalah

lelang yang dilakukan untuk melaksanakan putusan hakim sesuai

dengan amar yang telah ditetapkan, termasuk lelang dalam rangka

eksekusi grose akta.

140

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ruang lingkup

lelang eksekusi kebanyakan berasal dari eksekusi pembayaran sejumlah

uang. Di samping itu ruang lingkup eksekusi bisa juga terjadi dalam hal

pembahagian seluruh harta kekayaan sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam amar putusan, tetapi pembayaran secara natura tidak

dapat dilaksanakan karena sulit untuk membaginya, seperti sebuah

rumah, sebuah mobil, sebuah televisi dan sebagainya.

Dalam praktek Peradilan, barang tersebut dijual dulu kemudian

hasil penjualan itu dibagi sesuai dengan amar putusan Pengadilan. Jika

secara musyawarah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, maka

pembahagiannya dilaksanakan secara lelang dimuka umum. Hasil

penjualan lelang dibagi lagi sesuai dengan porsi yang ditentuakn dalam

putusan.

Dilihat dari fungsinya, lelang adalah institusi pasar yang

mempertemukan penjual dengan pembeli pada suatu saat dan tempat

tertentu dengan cara pembentukan harga yang kompetitif. Fungsi lelang

ini bermanfaat untuk :

a. Memberikan pelayanan penjualan barang secara lelang yang

bersifat cepat, effisien, aman dan dapat mewujudkan harga yang

wajar kepada masyarakat atau penguasa yang bermaksud

barangnya dilelang, atau juga kepada peserta lelang lainnya.

b. Memberikan pelayanan penjualan barang yang bersifat paksa atau

eksekusi baik menyangkut bidang pidana, perdata, ataupun

perpajakan dalam rangka mendukung terwujudnya keadilan dalam

masyarakat.

141

c. Memberikan pelayanan penjualan dalam rangka mengamankan

barang-barang yang dimiliki atau dikuasai oleh negara termasuk

barang-barang milik BUMN atau BUMD.

d. Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk bea lelang dan

uang miskin.

Lembaga lelang merupakan lembaga penjualan di muka umum

yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan cara penawaran harga

secara terbuka atau lisan dan atau tertutup/tertulis yang didahului

dengan pengumuman lelang kepada seluruh masyarakat.

Penjualan secara lelang mempunyai beberapa kebaikan jika

dibandingkan dengan penjualan biasa. Adapun kebaikan lelang

adalah sebagai berikut:

a. Adil, karena penjualan lelang bersifat terbuka (transparan dan

objektif).

b. Aman, karena penjualan lelang disaksikan, dipimpin dan

dilaksanakan oleh pemerintah yang bersifat independent. Pembeli

lelang cukup terlindungi, sistem lelang mengharuskan pejabat lelang

meneliti lebih dahulu keabsahan penjualan barang-barang yang

dijual.

c. Tepat dan effisien, karena lelang didahului dengan pengumuman

lelang sehingga peserta lelang dapat berkumpul pada saat hari lelang

dan pembayarannya secara tunai.

d. Mewujudkan harga yang wajar, karena pembentukan harga lelang

pada dasarnya menggunakan sistem penawaran yang bersifat

kompetitif.

142

e. Memberikan kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang oleh

pejabat lelang dibuat berita acara pelaksanaan lelang yang disebut

risalah lelang sebagai akta otentik.

Dalam pelaksanaan lelang ditetapkan hak-hak dan kewajiban

pemohon lelang (penjual). Yang dimaksud dengan pemohon lelang

(penjual) adalah orang atau badan yang mengajukan permohonan

kepada kantor lelang negara untuk menjual barang secara lelang.

Pemohon lelang ini bisa berstatus pemilik barang yang dikuasakan

atau yang karena Undang-undang diberi wewenang untuk menjual

barang yang bersangkutan.

a. Hak-hak pemohon penjual barang:

1) Memilih cara penawaran lelang.

2) Menetapkan syarat-syarat lelang jika dianggap perlu.

3) Menerima uang hasil lelang (pokok lelang).

4) Menerima uang jaminan dalam hal pemenang lelang

mengundurkan diri.

5) Meminta kutipan atau salinan risalah lelang.

b. Kewajiban-kewajiban pemohon lelang.

1) Mengajukan permohonan atau permintaan lelang kepada kantor

lelang negara.

2) Melengkapi syarat-syarat atau dokumen-dokumen yang

diperlukan.

3) Mengadakan pengumuman lelang di surat kabar setempat dan

atau di media cetak/elektronik, atau juga melalui selebaran

dan undangan lelang negara.

143

4) Menetapkan harga limit yang wajar atas barang-barang yang

dilelang. Dalam hal ini sebaiknya memperhatikan saran dari

kantor lelang negara.

5) Membayar bea lelang penjualan, dalam hal penjualannya

adalah pemerintah (tidak termasuk BUMN/BUMD) tidak

dipungut bea lelang.

6) Menyerahkan barang dan dokumennya kepada pemenang lelang

melalui Kantor Lelang Negara.

7) Memabayar PPh Pasal 25 (pajak penghasilan 25%) sepanjang

barang yang dilelang berupa barang dan bangunan dengan

ketentuan : (1) dalam hal barang tersebut milik perorangan maka

PPh dikenakan apabila tanggungan hasil lelangnya pada saat itu

berjumlah Rp.60.000.000,- atau lebih, (2) dasar hukumnya

adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994)

8) Mentaati tata tertib lelang.

Hak-hak dan kewajiban peserta lelang atau pembeli juga diatur

dalam pelaksanaan lelang, sehingga pelaksanaan lelang dapat

dilaksanakan secara tertib dan transparan sebagaimana yang diatur

dalam peraturan yang berlaku:

a. Hak-hak peserta atau pembeli lelang :

- Melihat dokumen-dokumen tentang kepemilikan barang dan

meminta keterangan dan penjelasan tambahan.

- Melihat atau meneliti barang yang akan dilelang.

- Meminta salinan risalah lelang dalam hal yang bersangkutan

menjadi pemenang lelang.

144

- Meminta kembali uang jaminan lelang atau kelebihan uang

jaminan.

- Mendapatkan barang dan bukti pelunasan serta dokumen-

dokumennya apabila ditunjuk sebagai pemenang lelang.

b. Kewajiban-kewajiban peserta lelang atau pembeli :

- Menyetor uang jaminan lelang kepada Kantor Lelang Negara atau

PL Kelas II apabila disyaratkan untuk itu.

- Hadir dalam pelaksanaan lelang atau kuasanya.

- Mengisi surat penawaran di atas kertas bermeterai dengan

huruf yang jelas dan tidak ada coretan dalam hal penawaran

lelang secara tertutup atau tertulis.

- Membayar pokok lelang, bea lelang, uang jaminan secara tunai,

dalam menjadi, pemenang lelang.

- Mentaati tata tertib pelaksanaan lelang.

Agar pelaksanaan lelang eksekusi dapat berjalan dengan lancar

sebagaimana yang diharapkan maka lelang eksekusi harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harus ada surat permintaan lelang

Dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi agar permintaan

lelang eksekusi dapat dilaksanakan antara lain :

1) Salinan atau fotocopy surat putusan Pengadilan yang telah

mempunyai hukum tetap.

2) Salinan penetapan Pengadilan untuk melaksanakan

penyitaan.

3) Salinan berita acara penyitaan.

145

4) Salinan atau fotocopy surat teguran (Aan maning) kepada

termohon eksekusi.

5) Salinan atau fotocopy surat permohonan lelang kepada

termohon eksekusi yang dibuat oleh Pengadilan.

6) Perincian hutang, termasuk biaya yang harus dibayar oleh

termohon eksekusi yang dibuat oleh Pengadilan setempat.

7) Bukti kepemilikan atas barang yang dilelang. Dalam hal

barang yang dilelang berupa tanah diperlukan adanya SKPT

dari kantor Pertanahan Nasional.

8) Apabila tanah belum bersertifikat maka perlu dimintakan

SKPT dengan dilampiri surat keterangan riwayat tanah yang

dibuat oleh Lurah atau Kepala Desa dan disahkan oleh Camat

setempat. Dalam hal bukti kepemilikan tidak ada maka

dipakai surat-surat seperti surat yang tersebut di atas.

9) Syarat-syarat lelang dari penjual apabila ada.

10) Bukti pengumuman lelang oleh Pengadlan di surat kabar

setempat. Khusus barang tidak bergerak wajib diumukan 2

(dua) kali selang 15 (lima belas) hari, dan untuk barang

bergerak diumumkan 1 (satu) kali.

b. Harus ada foto copy grose akta

Dalam hal lelang karena hipotik, pihak pemohon lelang

harus melengkapi fotocopy, sertifikat hipotik dan sertifikat tanah.

Dalam kaitan dengan tugas-tugas eksekusi yang dijalankan

Pengadilan secara umum prosedur lelang dilaksanakan sebagai

berikut:

146

1) Pengadilan yang bersangkutan mengajukan permohonan

lelang kepada Kantor Lelang Negara atau Pejabat Kantor

Lelang Kelas II setempat dengan melengkapi syarat-syarat

sebagaimana tersebut di atas.

2) Kantor Lelang Negara atau Pejabat Kantor Lelang Kelas II

menetapkan tanggal dan waktu lelang dengan

memperlihatkan keinginan-keinginan pemohon lelang.

3) Pengadilan menetapkan harga limit dari barang yang dilelang.

Harga limit sifatnya rahasia. Dalam hal penawaran secara

tertulis dalam amplop tertutup, harga limit diserahkan kepada

Pejabat Kantor Lelang dalam amplop tertutup sesaat sebelum

pelaksanaan lelang.

4) Pelaksanaan lelang dilakukan oleh pejabat lelang bersama-

sama dengan pejabat penjual. Atas pelaksanaan lelang

tersebut oleh pejabat lelang dibuat berita acara yang disebut

risalah lelang.

5) Pembayaran hasil lelang dilakukan secara tunai segera setelah

pelaksanaan lelang kepada pejabat lelang, dan selanjutnya

segera disetor kepada yang berhak.

Pelaksanaan lelang, dapat ditahan apabila penawaran tertinggi

belum mencapai harga limit yang dikehendaki oleh penjual, biaya

penahanan lelang dikenakan kepada penjual. Dalam hal lelang

dibatalkan oleh pemohon yang kurang dari 8 (delapan) hari sebelum

pelaksanaan, maka kepada pemohon lelang akan dikenakan biaya

pembatalan sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

147

Jika dalam daerah hukum Pengadilan tidak terdapat Kantor

Lelang Negara yang dapat dimintakan bantuan untuk melaksanakan

penjualan lelang di muka umum, maka penjualan lelang dapat

dimintakan bantuan pada Panitera Pengadilan, dengan ketentuan

batasnya maksimal hingga Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

D. Korelasi Eksekusi Putusan Perdata dengan Kemudahan

Berusaha

1. Korelasi Eksekusi Putusan Pengadilan dengan Kemudahan

Berusaha

Beberpa indikator kemudahan berusaha yang dilansir oleh

bank, salah satu dari indikator tersebut adalah pengenakan

hukum. Penegakan hukum ini tentu meliputu penanganan

peyelesain suatu sengketa perdata di Pengadilan, dari proses

pengajuan perkara melalui registrasi perkara hingga proses

persidangan sampai pada tahap akhir penjatuhan putusan oleh

hakim di pengadilan. Pada tahapan ini pada dasarnya Mahkamah

Agung dan lingkungan pengadilan yang berada dibawahnya

sangat mendukung proses penyelesaian suatu perkara dengan

cepat, mudah dan tidak memakan waktu yang lama, dalam

rangkaian memberikan dukungan untuk kemudahan berusaha

bagi pelaku bisnis, bahkan jika dikaji lebih mendalam terkait

dengan asas peradilan yang selama ini dikenal dalam proses

penyelesaian perkara di Pengadilan yaitu proses peradilan yang

sederhana, cepat, dan biaya murah, hal ini sangat relefan dengan

148

kondisi bisnis atau dunia usaha yang tentu sangat membutuhkan

adanya berbagai kemudahan dalam hal prosedur yang singkat,

sehingga tidak memakan waktu yang lama, dan pada akhirnya

iplikasinya kemudian terhadap cost atau biaya yang dikeluarkan

sedekit. Lebih tegasnya bahwa dunia usaha atau pelaku bisnis

tentu sangat membutuhkan kemudahan dalam berusaha dari segi

prosedur tentu menginginkan jumlah prosedur yang lebih pendek,

lebih singkat, dan biaya yang rendah.

Namun berdasarkan pada beberapa persoalan yang muncul

dalam pelasanaan eksekusi sebagaiamana dijelaskan di atas jika

dihubungkan dengan kemudahan untuk melakukan usaha di

Indonesia dengan salah satu tolak ukur adalah proses

penyelesaian sengketa di pengadilan, terutama dalam tahapan

eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa perdata yang telah

berkekuatan hukum tetap, maka perlu dikaji kembali

permasalahan eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa

perdata tersebut, apakah sudah mendukung kebijakan Mahkamah

Agung dalam memberikan jaminan kemudahan berusahan bagi

pelaku bisnis atau dunia usaha. Sebab pada kenyataannya dalam

beberapa kasus sebagaimana dijelaskan di atas banyak sekali

permasalahan yang muncul pada saat eksekusi putusan

pengadilan dalam sengketa perdata tersebut, sehingga dapat

dipastikan bahwa proses eksekusi yang dilakukan memakan

waktu yang cukup lama dan tentu sangat berkolerasi dengan

149

penggunaan biaya yang besar jumlahnya yang harus dikeluarkan

oleh para pihak.

Sementara itu, efisiensi pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan dalam sengketa perdata, pelaksanaannya diukur dari

biaya dan waktu serta hasil dari proses eksekusi yang dijaklankan

oleh ketua pengadilan. Pada satu sisi, biaya diukur dari biaya-

biaya yang dibayar dalam rangka pelaksanaan eksekusi mulai dari

biaya registrasi, biaya pengamanan, serta biaya-biaya lain yang

muncul tak terduga, sampai proses eksekusi tersebut selesai,

termasuk di dalamnya adalah kerugian yang terbentuk dari

turunnya nilai pengembalian atas objek yang dieksekusi.

Sementara pada sisi lain, waktu diukur mulai dari permohonan

pengajuan eksekusi sampai dengan proses pemberesan objek

eksekusi. Hasil dari proses eksekusi tersebut akan mengukur

apakah sistem eksekusi mendorong/mendukung agar suatu

bisnis/usaha yang mengalami kendala dapat tetap berjalan dengan

baik dan lancar sehingga pelaku usaha tersebut tetap bertahan

untuk melanjutkan bisnisnya.

Oleh karenanya, untuk tetap dapat mendorong agar para

pihak terutama pelaku usaha atau pelaku bisnis yang mengalami

kesulitan dalam memperoleh haknya setelah adanya putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat mengambil dan

memiliki haknya, agar haknya atas objek yang dieksekusi tersebut

berjalan dengan lancar dan mudah, sehingga tidak menggangu

aktifitas usahanya, pada konteks ini tentu Mahkamah Agung

150

harus menyediakan berbagai perangkat hukum yang lebih teknis

lagi soal eksekusi putusan pengadilan tersebut. Sebab kebijakan

Mahkamah Agung dalam upaya mendukung kemudahan

berusahan masih hanya terbatas pada beberapa kebijakan yang

ada pada level atau tahapan proses penyelesaian perkara, namun

tidak sampai kepada pelaksanaan putusan, melalui eksekusi di

Pengadilan Negeri.

Dalam beberapa kebijakan terbaru terkait dengan small

clime court misalnya, masih menyisahkan beberapa persoalan

pada tahapan eksekusi putusan gugatan sederhana tersebut. Sebab

tidak semua putusan gugatan sederhana yang telah diputus oleh

pengadilan serta merta dapat dilaksanakan oleh pihak yang kalah,

sehingga perlu lagi ada uapaya pengadilan melalui eksekusi, dan

eksekusinya sendiri tidak sesederhana proses penyelesaian

perkaranya, bahkan biaya eksekusinyapun melebihi objek

sengketa yang telah diputus. Oleh karena itu perlu ada perangkat

aturan yang mengatur mengenai eksekusi putusan pengadilan

terutama eksekusi putusan perdata yang mendukung kemudahan

bagi pelaku usaha untuk mendapatkan haknya dengan mudah,

cepat dan biaya murah, sehingga dapat menyelamatkan usaha

atau bisnis yang masih memiliki harapan untuk hidup (viable),

yang pada akhirnya akan mendorong tingkat pertumbuhan

ekonomi nasional.

Perangkat hukum yang disediakan harus memberikan

perlindungan atas hak-hak para pihak terutama bagi pihak pelaku

151

usaha yang telah mendapatkan haknya melalui putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun masih

menghadapi kendala dalam eksekusi putusannya. Perangkat

hukum tersebut tentu dalam menyikapi dan mengantisipasi

berbagai permaslahan yang dihadapi dalam eksekusi putusan

tersebut, permasalahan-permasalahan tersebut sebagaimna

diuraikan diatas diantaranya adalah;

a. Adanya diktum putusan yang tidak jelas amarnya

b. Adanya perlawanan pihak ketiga

c. Adanya perbedaan objek yang dieksekusi

d. Mengenai delegai eksekusi

e. Masalah biaya eksekui

f. Masalah pengamanan

g. Masalah kewenangan jurusita dalam pelaksanaan eksekusi

h. Masalah bantuan dan dukungan pihak lain dalam mendukung

pelaksanaan eksekusi

2. Posisi dan Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Pelaksanaan

Eksekusi untuk Mendukung Kemudahan Berusaha

Untuk menjaga tegaknya kepastian hukum, undang-undang

telah menentukan kewenangan menjalankan putusan terhadap

suatu putusan pengadilan. Pedoman menentukan kewenangan

menurut ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 2006 ayat (1)

RGg, didasarkan atas faktor Pengadilan Negeri mana perkara

152

(gugatan) diajukan, dan di Pengadilan Negeri mana perkara

diperiksa dan diputus pada tingkat pertama.

Dari pedoman menentukan kewenangan menjalankan

putusan atau eksekusi, tidak perlu dipermasalahkan pemeriksaan

banding atau kasasi. Sekalipun, misalnya suatu perkara melalui

taraf pemeriksaan banding atau kasasi, hal tersebut tidak turut

menjadi faktor menentukan kewenangan eksekusi. Satu-satunya

faktor penentu kewenangan eksekusi semata-mata didasarkan pada

pengajuan dan penjatuhan putusan pada tingkat pertama.

Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus suatu perkara

dalam tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri yang berwenang

untuk menjalankan eksekusi atas putusan yang bersangkutan, tanpa

mengurangi hak dan wewenangnya untuk melimpahkan delegasi

eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lain, apabila objek yang

hendak dieksekusi terletak di luar daerah hukumnya.

Manfaat dari ketentuan kepastian kewenangan eksekusi,

bertujuan menghindari saling rebutan di antara Pengadilan Negeri.

Masing-masing pengadilan sudah tahu diri batas kewenangan

eksekusi yang dapat dijangkau sehingga terbina tata tertib

kewenangan eksekusi yang pasti apabila tiba saatnya diperlukan

upaya eksekusi terhadap suatu putusan.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau

Pasal 206 ayat (1) RBg, untuk menjalankan eksekusi terhadap

putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi

peradilan tingkat pertama, yakni pada Pengadilan Negeri.

153

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai

wewenang menjalankan eksekusi. Tidak menjadi soal apakah

putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, eksekusinya tepat

berada di bawah kewenangan Pengadilan Negeri yang

memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Ketentuan ini

bermaksud untuk menentukan ketentuan eksekusi tidak dibagi-bagi

tetapi terkonsentrasi pada Pengadilan Negeri. Ketentuan tersebut

sebagai tujuan untuk mewujudkan tata tertib dalam penegakan dan

pelayanan hukum.

Penertiban pemusatan eksekusi di tanggan instansi

Pengadilan Negeri sangat berdaya guna menghindari saling adu

kekuasaan di antara instansi peradilan. Pengadilan Tinggi atau

Mahkamah Agung tidak dapat mencampuri eksekusi putusan yang

dilakukan Pengadilan Negeri. Instansi tingkat banding atau kasasi

paling-paling untuk turut mengawasi jalannya eksekusi agar tidak

terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.

Sepanjang eksekusi yang dilaksanakan berjalan sesuai aturan dan

ketentuan hukum maka instasi peradilan banding maupun kasasi

tidak memiliki kewenangan untuk mencapuri urusan eksekusi

tersebut.

Pada dasarnya bahwa, eksekusi putusan pengadilan

dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Negeri (op last en onder leiding van den voorzitter van den

landraad). Bersamaan dengan kewenangan menjalankan eksekusi

154

yang pelimpahannya menurut undang-undang kepada Pengadilan

Negeri, kewenangan tersebut secara formal berada di tangan Ketua

Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan untuk

memerintahkan eksekusi dan sekaligus memimpin jalannya

eksekusi.

Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan

memimpin eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex

officio. Kewenagan secara ex officio dapat ditemukan dalam

ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan

demikian dalam konteks kewenangan Ketua Pengadilan Negeri

menjalankan eksekusi, Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat

(1) RBg, tidak lepas kaitannya dengan Pasal 197 ayat (1) HIR atau

Pasal 208 RBg. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat

diketahui secara jelas bahwa:

a. Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin

jalannya eksekusi;

b. Kewenangan memerintah dan memimpin eksekusi yang ada

pada Ketua Pengadilan adalah ex officio;

c. Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah “panitera” atau

“juru sita” Pengadilan Negeri.

Di sini dapat dilihat secara jelas bahwa, eksekusi secara nyata

dilakukan oleh panitera atau juru sita berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan.

Surat penetapan merupakan landasan yuridis tindakan eksekusi yang

dilakukan panitera atau juru sita. Tanpa suarat penetapan, syarat formal

155

eksekusi belum memadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1)

HIR atau Pasal 208 RBg mesti dengan surat penetapan, tidak

diperkenankan perintah eksekusi secara lisan. Ketentuan syarat ini

imperatif. Bentuk penetapan perintah eksekusi secara tertulis sesuai

dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum pada satu pihak, serta

pertanggungjawaban yang jelas pada pihak lain. Dengan adanya

perintah eksekusi yang berbentuk surat penetapan, panitera atau juru

sita mengetahui secara terinci batas-batas eksekusi yang akan

dijalankan.

Jika melihat pada kenyataannya bahwa kewenangan eksekusi

putusan pengadilan dalam sengketa perdata yang dijalankan oleh ketua

Pengadilan sesungguhnya masih banyak menyisikahkan permasalahan.

Kewenangan tersebut belum sepenuhnya dapat dijalankan sebagaimana

mestinya, sebaba realitasnya dalam beberapa kasus pelaksanaan

putusan pengadilan dalam sengketa perdata, ketua pengadilan masih

mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk

meminta petunjuk teknis lebih lanut lagi soal eksekusi dalam beberapa

kasus tertentu. Padahal mekanisme semacam ini belum ada atrannya

yang jelas.

Selanjutnya dalam beberapa kasus eksekusi pengadilan juga tidak

berwenang dalam menentukan biaya pengamanan, sebab tugas

pengawanan biasanya dimintakan oleh pihak kepolisian. Faktor

pengamanan dan biaya pengamanan inilah menjadi salah satu kendala

atau faktor penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan. Dalam bebrapa diskusi melalui fokus group diskusi dalam

156

rangka pelaksanaan penelitian ini, banyak peserta yang menyarankan

sekiranya tugas pengamana ini diserahkan kepada pihak pengadilan

dengan jalan menambah jumlah jurusita, atau mengangkat tenangan

pengamanan pengadilan dalam rangka mendukung kemudahan

pelaksanaan eksekusi di lapang, akan lebih efektif, ketimbang

melibatkan pihak lain di luar pengadilan, seperti Polisi, atau satpol PP.

Sebab biasanya dengan melibatkan pihak kepolisian atau pihak lain,

kedala uatama adalah soal koordinasi dan soal jumlah personil yang

melakukan tugas pengamanan, tidak ada taksiran pasti soal jumlah

personil pengamanan, sehingga berakibat pada ketidakpastian dalam

menentukan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pihak

keamanan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.

Pada posisi dan kesempatan yang lain, Pengadilan sebaiknya

diberikan porsi atau ruang untuk melakukan perdamaian dengan para

pihak untuk berdamai melalui forum mediasi. Jadi forum mediasi yang

berada di pengadilan tidak hanya disediakan pada tahap awal proses

penyelesaian perkara saja, namun ruang mediasi seyogianya disediakan

juga pada tahap eksekusi putusan pengadilan. Terutama mediasi

dilakukan terhadap para pihak yang tidak mau menerima putusan

pengadilan dengan sukarela.

Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa ada ketuan pengadilan

yang berani untuk memberikan ruang bagi pelaksanaan mediasi dalam

tahap pelasanaan putusan pengadilan, dan apa yang dilakukan tersebut

nampaknya berhasil mendamaikan para pihak yang terlibat dalam

eksekusi putusan pengadilan, walaupun belum ada ketentuan yang

157

mengatur soal mediasi dalam tahapan akhir pelaksanaan ekseusi

putusan pengadilan.

Pada prinsipnya bahwa penyelesaian sengketa yang paling efektif

dan efisien di antara para pihak adalah melalui upaya perdamaian. Atau

dapat dikatakan dengan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Cara

semacam ini yang dianggap paling tepat, karena sengketa dapat

diselesaikan secara kekeluargaan dan masing-masing pihak memiliki

posisi yang sama yang saling menghargai di antara para pihak. Apabila

jalur yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah tersebut melalu

musyawarah untuk mencapai kemufakatan dalam menentukan

perdamaian di antara para pihak, di sinilah letak penyelesaian sengketa

yang sesungguhnya khususnya di bidang perdata, sebab para pihak

tidak ada yang merasa dikalahkan, dan tidak ada yang merasa menang,

sama-sama mencari win-win solutin.

Demikian juga terhadap pihak ketiga merasa terlindungi, sebab

pada posisi ini pihak ketiga bisa mengetahui secara jelas status tanah

yang menjadi objek jaminan debotor (salah satu pihak dalam sengketa),

dan selanjutnya bisa dieksekusi untuk memenuhi hutang debitor pada

bank.

158

159

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa catatan yang dirampung dalam laporan

penelitian ini, terkait kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan

perdata untuk mendukung kemudahan berusaha, maka dapat

disampaikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

1. Kebijakan Mahkamah Agung RI dalam upaya mendukung

kemudahan berusahan sudah berjalan dengan baik, namun

kebijakan tersebut masih terbatas pada beberapa kebijakan

yang ada pada level atau tahapan proses penyelesaian perkara,

kebijakan tesebut tidak sampai kepada pelaksanaan putusan,

melalui eksekusi di Pengadilan Negeri, sehingga

permasalahan yang terjadi dalam tahapan eksekusi putusan

pengadilan dalam sengketa perdata masih menyisahkan

permasalahan terutama terkait dengan dukungan pengadilan

untuk kemudahan berusaha.

2. Belum ada rumusan khusus dalam bentuk peraturan

Mahkamah Agung yang mengatur mengenai kemudahan

eksekusi putusan dalam sengketa perdata yang dijalankan oleh

ketua pengadilan negeri untuk mendukung kemudahan

berusahan. Eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa

perdata masih merujuk kepada ketenytuan hukum acara biasa,

sengga masih banyak kendala teknis yang dihadapi oleh ketua

160

pengadilan dalam mejalankan eksekusi putusan pengadilan

tersebut.

B. Saran/Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka, beberapa

rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Mahkamah Agung sebaiknya mengkaji ulang aturan hukum

tentang pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan dalam

sengketa perdata, terutama berkaitan dengan posisi dan

kewenangan Ketua Pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi,

terutama memberikan petunjuk praktis untuk memudahkan

tugas dan kewenangan pengadilan negeri dalam menjalankan

eksekusi putusan pengadilan dengan tujuan untuk mendorong

kemudahan berusahan.

2. Sebaiknya diterbitkan aturan khusus berupa peraturan

Mahakamah Agung untuk memperluas ruang mediasi tidak

hanya sampai pada tahapan proses awal pengajuan gugatan

pada pengadilan, namun mediasi diperluas sampai pada

tahapan eksekusi putusan, terutama terhadap putusan

pengadilan yang sulit dilaksanakan.

161

3. Salah satu faktor kendala terbesar dalam menjalankan

eksekusi adalah maslah keamanan, oleh karena itu sebaiknya

perlu untuk didorong adanya polisi keamana pengadilan secara

khusus, agar memudahkan dalam pelaksanaan putusan

pengadilan.

162