puslitbang hukum dan peradilan badan litbang diklat kumdil ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of puslitbang hukum dan peradilan badan litbang diklat kumdil ...
PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILANBADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG RI2018
KEWENANGAN PENGADILAN DALAMEKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK
MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA
KEWENANGAN PENGADILAN DALAM
EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK
MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA
Disusun Oleh:
DR. ISMAIL RUMADAN, MH.
PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
2018
KEWENANGAN PENGADILAN DALAM
EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK
MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA
Disusun Oleh:
DR. ISMAIL RUMADAN, MH.
PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
2018
Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk
Mendukung Kemudahan Berusaha
© Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Lantai 10
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 By Pass Jakarta Pusat
Hak Cipta terpelihara dan dilindungi Undang-Undang
All rights reserved
Cetakan Pertama, Oktober 2018
Penulis :
Ismail Rumadan
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan
Ismail Rumadan, MH.
Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata untuk
Mendukung Kemudahan Berusaha
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2018
xiv, 162 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-602-5700-16-3
v
KATA PENGANTAR
Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan
Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan
satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan yaitu:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Peradilan Militer;
berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI.
Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat
Hukum dan Peradilan adalah meningkatkan kualitas SDM bagi seluruh
aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Juru
sita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.
Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang
Diklat Kumdil meliputi 4 (empat) unit kerja yakni:
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;
Berdasarkan DIPA 2018 Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai
macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah
Penelitian tentang "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi
vi
Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha" yang
merupakan Penelitian Kepustakaan. Penelitian tersebut dilaksanakan di
wilayah Jabodetabeka. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk
Buku Penelitian.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas
ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan bahan-
bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah
Buku Penelitian "Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Putusan
Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha".
Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh di
hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.
KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
& PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI
DR. H. ZAROF RICAR, S.Sos., SH., M.Hum
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Badan Litbang
Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran
2018 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan
fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian.
Pada tahun 2018, Puslitbang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan
pengkajian sebanyak 13 judul. Salah satu di antaranya, Penelitian
Kepustakaan berjudul “Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi
Putusan Perdata untuk Mendukung Kemudahan Berusaha”,
sebagaimana saat ini telah berada di tangan pembaca.
Rangkaian kegiatan penelitian dan pengkajian diawali dengan
penyelenggaraan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan
Proposal yang disusun oleh Peneliti, dengan tujuan mendapatkan
masukan dan kritik dari peserta FGD, untuk menyempurnakan judul,
metode, pendekatan, tujuan, manfaat, serta pilihan bahan hukum
maupun referensi yang akan digunakan dalam Penelitian. FGD
Proposal berlangsung di Puslitbang Mahkamah Agung RI di Jakarta.
FGD dihadiri oleh beberapa Hakim Tinggi yang diperbantukan pada
Balitbang Diklat, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung,
maupun Dirbinganis Dirjen Badilag, Dirbinganis Militer, Dirjen
Badimiltun, Wakil Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kabag
viii
Renprog Biro Perencanaan BUA MA, Hakim Yustisial, Biro Hukum,
Humas, serta pihak lain yang terkait.
Setelah dilakukan penyempurnaan terhadap proposal penelitian,
selanjutnya koordinator peneliti beserta pembantu peneliti serta staf
memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian. Dimulai dengan melakukan
Focus Grup Discussion dan observasi ke Pengadilan. Untuk
melengkapi analisis, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara
dengan beberapa narasumber yang dinilai kompeten di bidangnya.
Terhadap draf hasil penelitian yang disusun oleh peneliti,
dilakukan finalisasi koreksi melalui FGD Hasil Penelitian. Tahap
selanjutnya adalah proses pencetakan Buku Laporan Hasil Penelitian,
pengunggahan (uploading) ke Website Badan Litbang Diklat Hukum
dan Peradilan Mahkamah Agung RI, serta pengiriman ke Pimpinan
Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pejabat Struktural eselon 1 dan 2,
Pengadilan Tingkat Banding serta Pengadilan-Pengadilan tingkat
pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan, Kementerian/Lembaga,
Perguruan Tinggi, serta berbagai pihak yang terkait. Mengingat
keterbatasan anggaran, tidak semua pengadilan tingkat pertama
mendapatkan kiriman Buku Hasil Penelitian. Namun demikian softcopy
Buku Hasil Penelitian dapat diunduh (download) melalui
www.bldk.mahkamahagung.go.id c.q Puslitbang Hukum dan
Peradilan.
ix
Buku Hasil Penelitian ini disajikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah
Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan
kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat
sebagaimana mestinya.
KEPALA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
HUKUM DAN PERADILAN
BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI
Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT
KUMDIL ………………………………………………..…..... v
KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL …....... vii
DAFTAR ISI …………………………………………..……... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................ 10
C. Tujuan Penelitian ............................................. 11
D. Kerangka Pemikiran ......................................... 11
E. Metode Penelitian ............................................ 17
BAB II ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN
PERDATA OLEH PENGADILAN ..................... 23
A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks
Pelaksanaan Fungsi Pengadilan ....................... 23
1. Pengertian Eksekusi .................................. 23
2. Asas-asas Eksekusi ................................... 27
B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks
Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman .... 30
xii
C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang
Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara
Perdata............................................................... 33
1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan
Hak dalam Perkara Perdata ....................... 33
2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan
Pengadilan ................................................. 36
3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ....................... 40
4. Tata Cara Umum Eksekusi ....................... 42
5. Eksekusi Pengosongan .............................. 45
6. Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi ... 46
D. Eksekusi Putusan Pengadilan sebagai
Rangkaian Tindakan Penegakan Hukum ......... 47
BAB III EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN ............ 53
A. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang
Eksekusi Pengadilan terhadap Perkara
Perdata............................................................... 53
1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan
Hak dalam Perkara Perdata ....................... 53
2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan
Pengadilan ................................................. 56
3. Bentuk atau Jenis Eksekusi ....................... 60
4. Tata Cara Umum Eksekusi ....................... 62
5. Eksekusi Pengosongan .............................. 66
xiii
B. Eksekusi Jaminan Kredit .................................. 67
C. Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan ..... 72
1. Parate Eksekusi ......................................... 74
2. Titel Eksekutorial ...................................... 76
3. Eksekusi Dibawah Tangan ........................ 77
BAB IV EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK
MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA .. 83
A. Kebijakan Mahkamah Agung secara Umum
dalam Mendukung Kemudahan Berusaha ....... 83
B. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks
Kemudahan Berusaha ...................................... 87
1. Prosedur Eksekusi Putusan Perdata di
Pengadilan ................................................. 87
2. Proses Eksekusi Putusan Pengadilan
dalam Beberapa Sengketa Perdata ............ 103
C. Beberapa Permasalahan Hukum dalam
Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Sengketa
Perdata .............................................................. 124
D. Korelasi Eksekusi Putusan Perdata dengan
Kemudahan Berusaha ...................................... 147
1. Korelasi Eksekusi Putusan Pengadilan
dengan Kemudahan Berusaha ................... 147
xiv
2. Posisi dan Kewenangan Pengadilan Negeri
dalam Pelaksanaan Eksekusi untuk
Mendukung Kemudahan Berusaha ........... 151
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................. 159
A. Kesimpulan ...................................................... 159
B. Saran/Rekomendasi .......................................... 160
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan dan
perkembangan perekonomian global yang disertai dengan hadirnya
Indonesia dalam berbagai hubungan kerjasama internasional sudah
tentu memiliki peran dan tanggungjawab untuk mendorong terciptanya
iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian hukum, keadilan,
dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional.
Wujud dari peran serta pemerintah dalam mendukung
pelaksanaan perekonomian yang kondisif antara lain melalui perubahan
dan perbaikan terhadap berbagai regulasi dan aturan hukum yang
berkaitn dengan dunia bisnis dan dunia usaha. Perubahan ini dilakukan
dengan tujan untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business
(EoDB), terutama terkait dengan kegiatan memulai usaha (starting a
business), perlindungan investor minoritas (protecting minority
investor), dan penyelesaian sengketa di pengadilan.1
Sebagaimana diketahui, peningkatan peringkat kemudahan
berusaha (ease of doing business) merupakan arahan strategis
pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
1 Berdasarkan hasil survey Ease of Doing Business (EoDB), peringkat EoDB
awal tahun 2017 dari hasil survey Word Bank Indonesia menempati peringkat ke 91
dari 190 negera di dunia, “Peringkatan yang dipublikasikan oleh Bank Dunia,
http://doingbusiness.org/rangkings.
2
Menengah Nasional 2015-2020. Untuk tahun 2016 ini Pemerintah telah
mencanangkan peningkatan peringkat kemudahan berusaha di
Indonesia dari peringkat 109 ke 40 dalam Survei Kemudahan Berusaha.
Hal ini tidak lain untuk menumbuhkembangkan sektor usaha kecil-
menengah dalam negeri sekaligus mendorong pertumbuhan
perekonomian melalui investasi.2
Data berikut menunjukan peringkat EoDB negara Asia Tenggara
Peran lembaga peradilan sangat penting dalm mendorong
kemajuan dan kemudahan usaha di Indonesia sebab Peradilan juga
terkena dampak globalisasi ekonomi. Sebagaimana diungkapkan oleh
2 Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha Di Indonesia,
http://pn-kepanjen.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/2015-05-31-00-18-
22/item/peran-peradilan-dalam-meningkatkan-kemudahan-berusaha-di-
indonesia.html. Diakses tanggal 20 2018, Pukul 10.00 WIB.
3
Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the
Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan.
Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai
peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga
mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan
itu sendiri.”3 Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus
menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena
desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-
perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah
satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Terkait dengan hal tersebut di atas, kedudukan dan kewenangan
Pengadilan sebagaimana amanat Pasal 4 UU No. 39 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan akan terus bersikap proaktif
untuk mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Karena pencapaian tersebut
secara langsung maupun tidak langsung akan membantu masyarakat
dalam mencari keadilan, termasuk bagi para pelaku usaha yang
berupaya menyelesaikan sengketanya.
Untuk merespon tantangan perubahan tersebut Mahkamah Agung
sebagai Institusi tertinggi dalam lingkup kewenangan peradilan secara
3 Hilario G.Davide, Jr.,”Comments on the Paper of Hon. Andrew Kwok Nang
Li, Chief justice of the Court of Final Appeal of the Hongkong Special Administrative
Region of the People ‘ S Republic of China”, makalah pada Conference of Chief
Justices of Asia and Pacific, 18th Lawasia Conference, Seoul, 8 September 1999,
hlm.1
4
terus-menerus dalam melakukan pembaruan peradilan secara struktural
dan substansial, dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan
keyakinan publik sekaligus ikut andil dalam pembaruan hukum di
Indonesia.4 Dalam konteks ikut andil dalam meningkatkan kemudahan
berusaha, beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang mendorong hal
tersebut antara lain:
a. SEMA Nomor 2 Tahun 2014, yang memotong standar waktu
penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding,
dari 6 bulan menjadi 5 bulan dalam peradilan tingkat pertama dan 3
bulan bagi dalam peradilan tingkat banding.
b. SK KMA nomor 214 Tahun 2014, yang secara khusus mengatur
standar waktu penyelesaian perkara di tingkat kasasi yang
dipersingkat menjadi hanya 250 hari atau 8 bulan (sebelumnya 1
tahun), dengan juga memotong tahapan hingga 9 tahapan.
c. Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Gugatan Sederhana, yang pada intinya memberi jalan bagi
penyelesaian sengketa perdata yang nilai gugatannya di bawah Rp.
200 juta dalam waktu singkat dan proses beracara yang jauh
disederhanakan.
d. Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, yang
menyempurnakan kerangka hukum Mediasi sehingga diharapkan
agar sengketa yang terjadi dapat segera diselesaikan dalam waktu
4 Muhammad Hatta Ali, Pidato Kunci dalam Pelaksanaan Seminar Nasional
tentang “Peran Peradilan Dalam Meningkatkan Kemudahan Berusaha di Indonesia”
kerja sama antara Mahkamah Agung (MA) dan Federal Court of Australia (FCA),
Hotel Borobudur Jakarta, 7 Maret 2016.
5
yang singkat, biaya yang murah serta hubungan baik para pihak tetap
terjaga. Dengan demikian kegiatan usaha dapat terus berlanjut
dengan baik.
e. Modernisasi bertahap pengadilan, misalnya meliputi modernisasi di
Mahkamah Agung, yang meliputi implementasi Database Putusan
sejak 2007, Informasi Perkara Online sejak 2008, e-Filing untuk
perkara Kasasi/ PK sejak 2014, dan bagi pengadilan tingkat pertama
dan banding, yang memungkinkan pencari keadilan untuk
memantau langsung jadual persidangan dan amar putusannya.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan diatas menunjukkan
komitmen Mahkamah Agung untuk selalu mendukung pemerintah
dalam hal memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Namun
dukungan dan komitmen tersebut belum tuntas dan meyeluruh sampai
kepada persoalan eksekusi terhadap suatu putusan pengadilan. Sebab
dapat dipahami bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara merupakan bagian dari fungsi penegakan hukum dalam proses
acara peradilan pada pengadilan. Proses ini merupakan suatu tindakan
yang berkisinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.
Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan tata tertib beracara. Eksekusi atau pelaksanaan putusan
ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah
dalam perkara, biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah
apabila pihak yang kalah ialah pihak tergugat. Pada tahap eksekusi
kedudukan tergugat berubah menjadi “pihak tereksekusi”. Kalau pihak
6
yang kalah dalam perkara adalah pengguggat, lazimnya bahkan secara
logika, tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan
sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara.5
Realitasnya, proses eksekusi putusan pengadilan dalam suatu
sengketa perdata, di satu sisi, proses eksekusi tersebut menjadi waktu
yang ditunggu-tunggu oleh pihak yang menang dalam suatu perkara.
Namun di sisi yang lain, bagi pihak yang kalah, proses eksekusi menjadi
titik awal untuk memulai upaya-upaya untuk menggagalkan proses
eksekusi tersebut, terutama terhadap suatu putusan yang dianggap tidak
adil oleh pihak yang merasa dikalahkan dalam proses peradilan,
terutama para pihak (dalam hal ini pihak ketiga) yang tidak terlibat
secara langsung dalam proses perkara perdata di pengadilan, namun
mereka menerima kerugian secara langsung akibat dari putusan tersebut
oleh pengadilan.
Sehingga sering dalam setiap pelaksanaan eksekusi terhapa
putusan pengadilan menuai protes dari berbagai pihak, terutama para
pihak yang merasa dikorbankan (dikalahkan) dalam putusan majelis
hakim terhadap sengketa tersebut. Mahkamah Agung sendiri mengakui
banyak menerima surat-surat yang bernada tidak puas atas tindakan
yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tertentu atas proses
eksekusi di lapangan. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh Pihak yang
memenangkan perkara sebagai Pemohon Pelaksanaan Eksekusi, tetapi
5 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Sinar Grafika, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Jakarta, 2009, hlm. 6.
7
protes juga dilakukan oleh pihak yang kalah sebagai Termohon
Pelaksanaan Eksekusi.6
Secara umum, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang
kalah dalam suatu putusan perkara perdata dapat dipandang sebagai
bentuk-bentuk hambatan dalam eksekusi putusan pengadilan, antara
lain dapat berupa perlawanan pihak ketiga (orang/pihak yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan perkara yang akan dieksekusi)
atas dasar :
a. Barang yang akan dieksekusi adalah milik Pihak Ketiga;
b. Barang yang akan dieksekusi berada dalam penguasaan Pihak
Ketiga karena suatu perjanjian penjaminan;
c. Barang yang akan dieksekusi adalah milik negara atau bagian dari
milik negara/Pemerintah Daerah, atau dikuasai oleh negara/
Pemerintah Daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
d. Barang yang akan dieksekusi adalah barang-barang yang berkaitan
dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan lain, misalnya
Pengadilan Hubungan Industrial; dan
e. Barang yang akan dieksekusi ternyata sedang disewa oleh pihak
lain.
Hal-hal yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian dari
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi. Masih
banyak permasalahan lain yang terkait dengan hambatan eksekusi
6 M. Yahya Harahap, ibid.
8
putusan pengadilan, hambatan-hambatan tersebut sudah tentu
menambah waktu yang sangat panjang dan membutuhkan biaya yang
sangat banyak pula, sehingga proses eksekusi ini menjadi suatu tahapan
dalam proses penegakan hukum yang turut mengganggu dan tidak
mendukung adanya kemudahan untuk berusaha melalui proses di
pengadilan pada tahan eksekusi yang merupakan tahapan akhir dari
suatu proses penegakan hukum di Pangadilan.
Selama ini belum ada suatu aturan hukum yang digunakan
sebagai sarana untuk memberikan kemudahan dalam hal eksekusi
putusan pengadilan. Sehingga yang terjadi adalah par pihak yang
bersengketa terutama pihak penggugat yang memenangi perkara, harus
mengunggu proses yang lama lagi untuk mendapatkan hanya atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sebagai salah satu contoh misalnya dalam pelaksanaan eksekusi
Hak Tanggungan biasanya atau seringnya upaya paksa
pengambilalihan aset dilakukan karena debitor tidak mau melepaskan
jaminan, sehingga pemenang lelang harus melakukan upaya
pengosongan paksa dan upaya itu hanya dapat dilakukan oleh
pengadilan. Proses di pengadilan akan membutuhkan waktu yang lama
dan biaya yang tidak sedikit, artinya pemenang lelang terpaksa
mengeluarkan biaya dua kali. Hal ini tentunya tidak memberikan
kepastian hukum terhadap pihak kreditor, dengan kata lain kasus
tersebut menyebabkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) hanya
menjadi macan kertas. Hal ini disebabkan karena SHT mempunyai hak
9
eksekutorial, akan tetapi masih diperlukan lembaga lain untuk
melakukannya.
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
memungkinkan kreditor untuk menjual aset yang diagunkan debitor
tanpa campur tangan peradilan sudah tepat. Hal tersebut untuk
menghindari jalur ”ajudikasi litigasi” (proses hukum di pengadilan)
yang prosesnya panjang dan memakan waktu, dan oleh sebab itu, ketika
debitor wanprestasi, maka pihak kreditor tidak perlu menggugat lagi ke
pengadilan untuk dapat menguasai haknya, tapi dapat diajukan ke
lembaga parate eksekusi yang dahulu bernama Kantor Lelang Negara
untuk dilelang di depan umum.
Parate executie yang diatur dalam Undang-undang Hak
Tanggungan, bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor
dalam pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, di mana
kreditor dapat menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
tanpa harus melalui lembaga peradilan. Kemudahan yang dimiliki
kreditor tersebut kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi
kerancuan pengaturan mengenai parate executie dalam Undang-undang
Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996). Aturan dalam Undang-
undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop) lahir
karena undang-undang, tetapi di sisi lain pada KUHPerdata ditentukan
lahir dari perjanjian, sehingga hal ini menimbulkan makna ganda/kabur.
Demikian juga terhadap prosedur pelaksanaan parate executie terdapat
kontroversi, karena di satu sisi diatur bahwa penjualannya melalui
10
pelelangan umum, sedangkan pada sisi yang lain harus melalui fiat
pengadilan. Akibatnya prosedur pelaksanaan parate executie
menimbulkan konflik norma.7
Realita masih banyaknya kendala pada pengelolaan perbankan
nasional, dimana pihak bank seringkali menghadapi kredit macet yang
memiliki unsur kesengajaan dari pihak debitor (debitor wanpestasi),
selain juga masih banyaknya hambatan dalam pelaksanaan eksekusi
benda jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu,
parate executie tidak dapat dilaksanakan, sehingga hal ini merugikan
bagi pihak kreditor, selaku pihak yang menurut UUHT mendapatkan
hak istimewa yaitu berupa hak menjual atas kekuasaan sendiri. Apabila
kendala semacam ini terus berlanjut, maka selain merupakan masalah
yang merugikan bagi pihak bank, juga dapat menghambat
pengembalian dana pinjaman yang sangat dibutuhkan untuk percepatan
pembangunan ekonomi dan dunia usaha.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa masalah yang
diidentifikasi untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih
mendalam terkait dengan beberapahal atanra lain:
1. Bagaimana kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata
untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia?
7 Deasy Soeikromo, Kepastian Hukum Pemenuhan Hak Kreditor Dalam
Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Melalui Parate Eksekusi, De Lega Lata,
Volume I, Nomor 1, Januari – Juni 2016, hlm. 33
11
2. Bagaimana sistem eksekusi yang tersedia untuk memberikan
jaminan dan kepastian hukum bagi kemudahan berusaha di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini hendak mengetahui dan mengevaluasi tentag;
1. Kewenagan pengadilan dalam eksekusi putusan perdata dalam
rangka mendukung kemudahan usaha
2. Mengetahui dan mengevaluasi sistem eksekusi yang tersedia dalam
rangka memberikan kemudahan berusaha di Indonesia.
D. Kerangka Pemikiran
Landasan teori yang digunakan dalam kajian ini adalah terkait
dengan aspek kepastian hukum dalam hal eksekusi putusan pengadilan
untuk mendukun kemudahan berusaha di Indonesia. Kepastian hukum
ini menjadi hal yang sangat penting bagi setiap pelaksanaan investasi
atau pengembangan usaha di suatu daerah atau negara. Horikawa Shuji,
salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan
investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling
tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis
selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha,
berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah di mana ia
berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan
lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik.
12
Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.814 Apa yang bisa
membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya
kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat
melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang
dilakukannya.
Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor
lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan
modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum.
Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez
sebagai berikut:9
“In making foreign investment a number of important points are to
be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with
the safety of his investment and, second, with the return which it
yields. The factors having a direct bearing on these considerations
may be classified as follows : (1). Political stability and financial
integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which
the investment is made; (3) laws pertaining to capital and taxation,
attitude towards foreign investment, and other aspects of the
investment climate of the host country; (4) future potential and
economic growth of the country where the investment is made; (5)
exchange restrictions pertaining to the remission of profits and
with-drawal of the initial investment.”
8 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Alia, Bandung, 2007, hlm. 52 9 Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices,
Fourth Edition, prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hlm. 261. Sebagaimana
dikutib juga oleh Sentosa Sembiring, ibid., hlm. 44-47
13
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait
prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian.
Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian
mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian
hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik
asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment)
maupun portfolio investment.10
Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi
tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan
istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan
aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown
field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi
stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha,
hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai
dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi,
yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti
pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur,
ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di
pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang
terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas
kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer
10 Mahmul Siregar, Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia, Fakultas Hukum dan
Program Studi Ilmu Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
14
keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari
hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya
pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan
efektif hukum persaingan.11
Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di
Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal
ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak
Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun
pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan.
Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya
praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak
berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak
investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa
karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan.
Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat
sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak
dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of
contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.12 Investor sering
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan
pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka
11 Mohammad Ikhsan, “Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”,
Kompas 31 Mei 2004. 12 Hikmahanto Juwana, “Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007,
diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-
2.html, tanggal 25 September 2008.
15
keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan
bukti-bukti yang tersedia.13
Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan
isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam
sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga
peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu
memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan
reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk
Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia
Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan
ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi
komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini
menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar
modal internasional dan atas arus modal langsung.14
Terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia
mendorong terjadinya internasionalisasi aktifitas bisnis yang kemudian
menyebabkan beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku bisnis di
Indonesia akan berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan
mitra bisnis yang tidak saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi
juga berbeda kultur hukum.
Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada
kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak
13 Mahmul Siregar, Op.cit., hlm. 14 Mahmul Siregar, ibid.
16
yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap
ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut.
Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber
daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan
tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak
yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga
kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.21 Sebagai
konsekwensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh
mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.15
Bagi mitra bisnis yang berasal dari negara dengan kultur litigious
kontrak adalah sesuatu yang suci dan harus dihormati, karena secara
filosofis kontrak adalah perwujudan dari keinginan/ pilihan bebas
manusia bermartabat. Pembatalan kontrak oleh pihak lain yang
bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan yang tidak rasional
dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan bebas
manusia.16 Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability
hukum akan hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi
kegiatan investasi
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan
secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan
bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap
pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional
15 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas
Hukum, Sekolah Pascasarjana, UI, Jakarta, 2004, hlm. 29. 16 P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford,
1981, hlm.6
17
dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.17 Bagi
kebanyakan pelaku usaha internasional, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan
waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa
melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak
belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai
pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan
masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya
terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan.18
E. Metode Penelitian
Motode penelitian dalam kajian ini menggunakan pendekatan
yuridis-normatif, yaitu suatu metode dalam penelitian hukum normatif
dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-
kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang
ada, dari peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan
hukum terutama yang berkaitan dengan masalah eksukusi putusan
pengadilan dalam hal memberikan dukuangan terhadap kemudahan
berusaha serta aturan-aturan hukum tentang fungsi dan kewenangan
pengadilan dalam pelasanaan eksekusi terhadap suatu putusan perkara
pedara yang telah berkekuatan hukum tetap.
17 Eman Suparman, Pilihan Forum Abitrase dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 2 18 Ibid, hlm.3
18
Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif ini dengan
menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.19 Data
sekunder dimaksud meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian ini juga
merupakan upaya untuk menemukan hukum in concreto yang bertujuan
untuk menemukan hukum yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam
suatu permasalahan tertentu,20 terutama yang berkaitan dengan masalah
eksekusi putusan pertada. Sama halnya dengan penelitian hukum
terapan. Menurut Bagir Manan, penelitian hukum terapan adalah suatu
penelitian yang bertujuan untuk menjawab masalah hukum atau yang
berkaitan dengan hukum dalam suatu keadaan yang kongkrit. Lapangan
penelitian terapan di bidang hukum yang dipilih adalah penelitian
normatif (yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif dan asas
hukum), yang berupa penelitian evaluasi hukum.21 penelitian evaluasi
terhadap hukum positif ini dilakukan dengan cara mengevaluasi segi
kesesuaian dengan kaedah hukum lain, atau dengan asas-asas hukum
yang diakui dalam sistem yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan
berdasarkan atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan
pendapat para akhli.
19 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13 20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 22 21 Bagir Manan; Pnelitian Hukum Normatif adalah penelitian terhadap kaidah
dan asas hukum, lihat Jurnal Hukum Puslitbangkum Nomor Perdana; 1- 1999.
Lembaga Penelitian Perkembangan Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999,
hlm. 9
19
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,22 yaitu bertujuan untuk
memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh dan
sistematis, serta menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada, yaitu
tentang kewenangan Pengadilan dalam pelaksanaan eksekuti atas suatu
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan asas
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum byang mengarah kepada
dukungan terhadap kemudahan berusaha. Kemudian gambaran umum
tersebut dianalisis dengan berlandaskan pada aturan perundang-
undangan serta pendapat para ahli dengan tujuan untuk mendapatkan
jawaban atas permasalahan yang teridentifikasi dalam kajian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk
mendapatkan data yang berbentuk dokumen atau tulisan, melalui
penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen
meupun literatur-literatur ilmiah dan penelitian para ahli dan pakar yang
sesui dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data
sekunder sebagai data utama, yang meliputi:23
a) Bahan Hukum Primer, yang meliputi peraturan perundang-
undangan, terutama yang berkaitan erat dengan masalah Eksekusi
b) Bahan Hukum Sekunder, berupa tulisan-tulisan ilmiah dari para
pakar, yang terdiri dari literatur-literatur, makalah-makalah, jurnal
22 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20,
Alumni, Bandung, 1994, hlm. 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, hlm. 9-
10 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,
hlm. 52
20
ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pokok
permasalahan yang diteliti.
c) Bahan Hukum Tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus
bahasa, artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta internet.
Studi lapangan (field research) juga dilakukan untuk
mendapatkan data primer sebagai data pendukung, pengumpulan data
primer dilakukan dengan wawancara maupun fokus group diskusi
(FGD), dengan terlebih dahulu melakukan penentuan kelompok pihak-
pihak yang dijadikan sumber informasi berdasarkan kewenangan,
pengetahuan, pengalaman, pemahaman hitoris dan pihak-pihak yang
terkena dampak kebijakan.
Data sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran, korelasi
dan perbandingan terhadap-bahan-bahan hukum dan perbandingan
konstruksi hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan
kajian ini.
Untuk bahan hukum primer, analisis dilakukan dengan menelaah
dasar ontologis dan ratio legis (mengapa ada ketentuan ini)24 dari
ketentuan perundang-undangan di terkait objek penelitian dan
24Apabila dasar ontologis dan landasn filosofis berkaitan dengan suatu undang-
undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari
suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti.
Lihat, Nanik Trihastuti, Tanggung Jawab Perusahaan Penanaman Modal Asing di
Sektor Pertambangan Mineral dalam Pembangunan Berkelanjutan Dihubungkan
dengan Tujuan Negara Kesejahteraan Indonesia, Disertasi, Program Doktor,
Universitas Padjadjaran, bandung, 2006, hlm. 44
21
peraturan perundang-undangan tentang Eksekusi secara khusus untuk
menangkap kandungan filosofis yang menjiwai adanya undang-undang
tersebut.
Untuk bahan hukum sekunder, oleh karena penelitian ini adalah
pada masalah kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum untuk mendukung
kemudahan berusaha, maka di samping akan ditelaah proses
identifikasi adanya permasalahan dalam pelaksanaan putusan
pengadilan dan juga ditekaah kondisi-kondisi aktual yang terjadi di
lapangan dari suatu proses eksekusi benrlangsung.
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dilakukan dengan metoda analisis normatif kualitatif.25 Normatif
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada
sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang
berasal dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh
responden, yang disajikan secara deskriptif.
Untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan terties,
pengumpulan bahan dilakukan di beberapa lokasi, yang meliputi:
1. Perpustakaan Mahkamah Agung RI
2. Perpustakaan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI;
3. Perpustakaan Nasional di Jakarta;
4. Dan pengumpulan data secara imperik dapat dilakukan di beberapa
weilayah Pengadilan Tinggi; seperti di Pengadilan Negeri jakrta
25 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas
Hukum Universitas Gadja Mada, Yogyakarta, 1989, hlm. 25.
23
BAB II
ASPEK TEORITIS EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA OLEH
PENGADILAN
A. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi
Pengadilan
1. Pengertian Eksekusi
Eksekusi di dalam bahasa Inggris “Execution” adalah
pelaksanaan putusan hakim (KUHP pasal 270).26 Pengertian
ekseksi atau pelaksanaan putusan pengadilan,27 adalah
melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan
kekuatan umum apabila pihak yang kalah tidak mau
menjalankannya secara sukarela.28 Sementara itu Retno Wulan
Sutantio, mengartikannya dalam bahasa Indonesia dengan istilah
“pelaksanaan” putusan. Pendapat kedua pakar tersebut, dapat
dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan hampir semua penulis
telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata
ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah “pelaksanaan”
putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab
jika bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima
26 Zainul Bahri, Kamus Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, hlm. 61 27 Istilah “pelaksanaan putusan” terdapat di dalam buku Subekti. Hukum Acara
Perdata. Jakarta: BPHN, 1977. hlm. 128. serta Retnowulan Sutantio dan
Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Aumni, Bandung,
1979, hlm. 111. Sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. ed. II. cet. II, Sinar Grafika, Jakarta: 2006,
hlm. 5-6. 28 Yahya Harahap, Loc.cit.
24
HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBg, pengertian
eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten
uitvoer lagging van vonnissen).29 Istilah menjalankan putusan
mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Pelaksanaan
putusan adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk
melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Pengadilan hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara
dengan menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat
dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealisasilah prestasi
sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan. Dengan
demikian yang dimaksud dengan eksekusi adalah melaksanakan
secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum,
guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.30
Dapat dipahami juga bahwa, eksekusi adalah hal
menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan
Pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak
untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan
hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara
29 Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6 30 Yahya Harahap, Sebagaimana dikutp oleh Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi
Praktek, Kejurusitaan Pengadilan, Tata Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 60
25
sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk
melaksanakannya.31 Dengan demikian, pada prinsipnya lembaga
eksekusi tidak diperlukan andai pada suatu amar putusan
pengadilan pihak yang dikalahkan dan di hukum bersedia
memenuhinya dengan itikad baik dan secara sukarela.
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan
yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang
memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan Pengadilan
terletak pada kepala putusan yang berbuyi “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan
Pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang
bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”, sedangkan
putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak
dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam
menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 201)
eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada
kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang
tercantum dalam putusan Pengadilan tersebut. Pihak yang menang
dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara
tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa
(execution force)
31 Abdul Manan. Eksekusi Lelang dalam Hukum Acara Perdata, Makalah ini
disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol
tanggal 18-22 September 2011 2005., hlm.1
26
Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya
hukum verzet, banding maupun kasasi? Begitu pula dalam
pelaksanaannya, harus menunggu sampai seluruh keputusan
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, meskipun salah satu pihak
tidak naik banding atau kasasi lagi." Suatu putusan perkara perdata,
tidaklah mempunyai arti bagi pihak yang dimenangkan tanpa
adanya eksekusi. Oleh karena itu, setiap putusan hakim haruslah
dapat dilaksanakan atau dengan kata lain harus mempunyai
kekuatan eksekutoria132 yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara
paksa oleh alat- alat Negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada
putusan pengadilan adalah karena kepalanya berbunyi "Demi
keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa". Akan tetapi tidak
semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap memerlukan pelaksanaan secara paksa, melainkan
hanyalah putusan yang diktumnya bersifat Condemnatoir.33
Putusan pengadilan yang bersifat condeauuuoir juga tidak
selalu harus dilaksanakan dengan paksaan, melainkan hanya jika
putusan tersebut tidak dilaksanakan secara suka rela oleh pihak
yang dihukum. Apabila putusan tersebut dilaksanakan dengan
sukarela oleh pihak yang dihukum sesuai bunyi diktum putusan,
32 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam
Pembuktisa dau Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 120 33 Condemnstoir artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu,
menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya, Roihan A. Rasyid,
Hukum Acara Persdilsn Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1994, hlm. 223
27
maka selesailah perkaranya tanpa perlu bantuan alat Negara untuk
melaks anakannya.34
Jadi tujuan dari paksaan terhadap pelaksanaan putusan
pengadilan, tidak lain adalah realisasi kewajiban dari pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak
dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam
putusan pengadilan. Dalam praktek terutama dalam hukum acara
perdata, pelaksanaan putusan pengadilan ini tidaklah semudah
seperti apa yang diatur dalam HIR, putusan pengadilan akan sulit
dilaksanakan apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara
sukarela menaati putusan tersebut.
2. Asas-asas Eksekusi
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang
harus dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut :
a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap
Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah
tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat
pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan
kasasi. Sifat dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap
adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi
disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
34 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdsts di Lingkungau Peradilsn Umum,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm. 105-106
28
kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli
waris serta pihak-pihak yang mengambil manfaat atau
mendapat hak dari mereka. Putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan
jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara
sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini adalah: (1) pelaksanaan
putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat
(1) R.Bg, dan Pasal 180 ayat (2) pelaksanaan putusan provisi
sesuai dengan Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) R.Bg.
dan Pasal 54 Rv. (3) pelaksanaan putusan perdamaian sesuai
dengan Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg. (4)
eksekusi berdasarkan Grose akte sesuai dengan Pasal 224 HIR.
dan Pasal 258 R.Bg.
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal 207
R.Bg maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan
yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan
sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara
paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. Pelaksanaan
putusan Pengadilan secara paksa dilaksanakan dengan
bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1)
HIR.
29
c. Putusan mengandung amar Condemnatoir
Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya dilahirkan
dari perkara yang bersifat contensius dengan proses
pemeriksaan secara contradictoir. Para pihak yang berperkara
terdiri dari para pihak Penggugat dan Tergugat yang bersifat
partai. Ada pun ciri putusan yang bersifat condemnatoir
mengadung salah satu amar yang menyatakan :
(1) Menghukum atau memerintahkan
untuk menyerahkan”.
(2) Menghukum atau memerintahkan
untuk “pengosongan”
(3) Menghukum atau memerintahkan
untuk “membagi”
(4) Menghukum atau memerintahkan
untuk “melakukan sesuatu”
(5) Menghukum atau memerintahkan
untuk “menghentikan”
(6) Menghukum atau memerintahkan
untuk “membayar”
(7) Menghukum atau memerintahkan
untuk “membongkar”
(8) Menghukum atau memerintahkan
untuk “tidak melakukan sesuatu”
30
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)
R.Bg yang berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan
yang memutus perkara yang di minta eksekusi tersebut sesuai
dengan kompetensi relatif. Pengadilan tingkat banding tidak
diperkenankan melaksanakan eksekusi. Sebelum melaksanakan
eksekusi. Ketua Pengadilan terlebih dahulu mengeluarkan
penetapan yang ditujukan kepada Pantiera/Jurusita untuk
melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut
dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.
B. Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Konteks Pelaksanaan
Fungsi Kekuasaan Kehakiman
Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 10 November 2001
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan baik
kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan ketertiban, keadilan,
kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat.
31
Berdasarkan perubahan tersebut di atas, ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman35 dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Reradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yakni peradilan
negara, eksistensi dan perannya ditetapkan dengan undang-undang.
Sebagai peradilan negara maka tugas dan fungsinya adalah menerapkan
dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia.
Independensi lembaga peradilan tidak lain adalah wujud dari
paham negara hukum yang memberikan kebebasan dan kemandirian
dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Kebebasan yang demikian
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya
Negara hukum Republik Indonesia, dengan demikian maka kekuasaan
kehakiman tidak berarti hanya kekuasaan mengadili (kekuasaan
menegakkah hukum di badan-badan peradilan), tetapi mencakup
35 UUD 1945 menggunakan istilah “kekuasaan kehakiman” yang sepadan
dengan istilah “kekuasaan yudikatif”, rechtspraak atau judiciary (Pasal 24 UUD
1945). Sering dijumpai juga dalam berbagai tulisan istilah “kekuasaan peradilan,
“kekuasaan yudisial” atau “kekuasaan yustisial”. Namun istilah yang baku menurut
UUD 1945 adalah “kekuasaan kehakiman”. Lihat, Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu
Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 1
32
kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakkan
hukum.36
Pada konteks proses penegakan hukum, maka eksekusi putusan
pengadilan sebagai rangkian proses penegakan hukum di Pengadilan,
tentu harus didasarkan pada pemahaman akan kekuasaan kehakiman
dalam menegakkan kebenaran dan keadilan hukum melalui penalaran
dan intrepretasi terhadap aturan-aturan hukum.
Eksekusi pada dasarnya adalah suatu tindakan hukum untuk
melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan yang bersifat
mandiri dan merdeka tanpa dipengaruhi atau diinterfensi oleh kekuatan
manapun, sebab pada dasarnya eksekusi adalah menjalankan putusan
hakim oleh pengadilan. “Hak menjalankan putusan hakim”
sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata merupakan
keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentag yang dapat
dipergunakan untuk memaksa seseorang yang dikalahkan perkaranya
untuk melakukan apa yang diwajibkan kepadanya sesuai dengan amar
putusan hakim, bila mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya
secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan
dapat melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Menjalankan putusan pengadilan, tiadak lain daripada
melaksanakan isi putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum
apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau
36 Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang
Merdeka, Makalah dalam Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode
1998/1999, hlm. 3. Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Mujahidin, Op.cit., hlm. 14
33
menjalankannya secara sukarela. Pada dasarnya bahwa eksekusi
merupakan pranata yang digunakan oleh sesorang dalam hal ini kreditor
untuk melindungi dirinya dari harta kekayaan yang telah dipinjam oleh
debitor. Dalam kontek ini maka eksekusi merupakan bagian dari upaya
hukum yang digunakan setiap individu yang merasa dirugikan haknya.
Pembelaan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak individual
dalam hungannya dengan sesama orang lain adalah ciri dari negara
hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Stahl, bahwa salah satu ciri
negara hukum dalam konsep rechtsstaat, adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, demikian juga dalam
konsep the rule of law, Albert Venn Dicey, memberikan salah satu ciri
rul of law adalah adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, di
samping supermasi aturan hukum, dan kedudukan yang sama
dihadapan hukum (equality before the law).
C. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi
Pengadilan terhadap Perkara Perdata
1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara
Perdata
Pembagian yang umum menurut susbstansinya, Hukum
Perdata dibagi menjadi hukum materiel dan hukum formil. Hukum
Perdata materiel ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-
hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan
hukum perdata formil menentukan cara, bagaiman pemenuhan
hak-hak materiel tersebut dapat dijamin. Hukum perdata formil itu
34
sebagian besar adalah identik dengan yang disebut dengan Hukum
Acara Perdata.37
Apabila berbicara dalam kontek eksekusi, orang
berpandangan selalu dikaitkan dengan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau dikaitkan
dengan suatu akta dengan titel eksekutorial yang masuk dalam
kategori Hukum Perdata formil. Hal ini bisa dipahami bahwa pada
umumnya orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan eksekusi otomati merupakan wewenang
pengadilan. Hal tersebut tentunya tidak selalu benar jika diamati
dari pengertian eksekusi menurut ahli hukum.
Pengertian yang lain bahwa, eksekusi putusan perdata berarti
melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak
tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Pada
prinsipnya bahwa eksekusi merupakan realisasi pihak yang
dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang
tercantum di dalam putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi
terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap
merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata maupun
pidana di pengadilan.
37 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,
hlm. 4. Sebagaimana dikutp oleh Herawati Poesoko, Parate Executie, … Op.cit., hlm.
124.
35
Diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti
istilah eksekusi, maka tidak pada tempatnya kedua istlah itu
digabungkan dalam satu rangkaian penulisan, tentu akan
berlebihan apabila keduanya digunakan dalam satu rangkaian
tulisan, misalnya tertulis “pelaksanaan eksekusi” maka dari sudut
pandang bahasa tentu memiliki arti yang sama. Cukup dipilih salah
satunya, sebab keduanya memiliki arti yang sama. Boleh
digunakan “pelaksanaan” putusan atau cukum dipergunakan
“eksekusi” putusan. Namun pada umumnya belakangan ini
kecenderungan orang selalu menggunakan dalam istila hukum
(legal term) “eksekusi” atau menjalankan eksekusi.
Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau
menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR,
pegertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh
pengadilan. Hak menjalankan putusan hakim sebagaimana diatur
dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk
memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan
apa yang diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim, bila
mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela,
maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat
melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana
perkara tersebut diajukan dengan bantuan alat-alat paksa.38
38 Herowati Poesoko, Op.cit., hlm. 126
36
Eksekusi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan
putusan pengadilan dan grosse acte melainkan istilah eksekusi juga
terdapat pada bidang Hukum Jaminan, eksekusi objek jaminan
merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan
terhadap objek jaminan, apabila debitor cidera janji dengan cara
penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya. Oleh karena
itu, Soedewi menyatakan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju
terhadap harta kekayaan debitor manakala perutangan itu tidak
dipenuhi secara sukarela oleh debitor.39
2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan
Pada dasarnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan berkaitan antara warga negara perseorangan yang satu
dengan warga negara perseorangan yang lain.40 Demikian juga
bahwa, hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam
masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan
(pribadi).41 Sementara itu menurut Vollmar42, bahwa hukum
perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
39 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op.cit., hlm. 31 40 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan II, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas
Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 1 41 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 2 42 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,
hlm. 2
37
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perorangan dalam perbandingan yang
tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain
dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu-lintas.
Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa hukum
perdata adalah aturan-aturan, ketentuan-ketentuan atau norma-
norma dalam hubungannya antara orang yang satu dengan orang
yang lain yang memberikan pembatasan perlindungan akibat
timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang
berhubungan tersebut.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap
pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur tata caranya di
dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR
dan/atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 225
HIR dan Pasal 259 RBG mengatur tentang putusan yang
menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu.
Ketentuan Pasal 195 HIR meyebutkan bahwa, dalam
menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang
mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas
perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang
mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam
ketentuan sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pasal 195 HIR ayat (1) sampai ayat (7) menyebutkan bahwa:
38
(1) Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam
perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan
negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa
perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal
di bawah ini:
(2) Jika dalam hal menjalankannya itu harus dikerjakan
sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum
pengadilan negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya
meminta pertolongan dengan surat ketua pengadilan
bangsa bumi putera yang berhak, begitu juga di luar
tanah Jawa dan Madura.
(3) Ketua Pengadilan Negeri yang diminta pertolongannya
berbuat sebagai ditentukan di pada ayat di atas ini juga,
jika nyata baginya, bahwa hal menjalankan keputusan
itu harus terjadi sama sekali atau sebaginya di luar
daerah hukumnya pula.
(4) Bagi Ketua Pengadlan Negeri, yang diminta
pertolongannya oleh teman sekerjanya dari luar tanah
Jawa dan Madura, berlaku segala peraturan dalam
bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan
dilakukan karena itu.
(5) Di dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang
diminta pertolongan itu memberitahukan segala daya
upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang
39
kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang
mula-mula memeriksa perkara itu.
(6) Jika hal menjalankan keputusan itu dibantah, dan juga
jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena
barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka
hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa
yang diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan
negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal
menjalankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh
pengadilan negeri itu.
(7) Perselisihan itu dan keputusan tentang perselisihan itu,
tiap-tiap kali dalam dua kali dua puluh empat jam
diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri
yang mula-mula memeriksa perkara itu.
Selain ketentuan tersebut di atas, eksekusi juga diatur dalam
ketentuan Pasal 1033 RV, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Ayat (3) menyebutkan bahwa;
“Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata
dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua
Pengadilan”.
Sementara ayat (4) menyebutkan bahwa;
“Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan
supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara”.
40
Sedangkan eksekusi pengecualian terhadap putusan yang
belum berkekuatan hukum tetap yaitu putusan serta merta dan
provisi, diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat
(1) RBg.
3. Bentuk atau Jenis Eksekusi
Pada dasarnya terdapat dua bentuk eksekusi apabila ditinjau
dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang
tercantum dalam putusan pengadilan. Biasanya sasaran hubungan
hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum
putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil,
sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Demikian
juga bahwa terkadang hubungan hukum yang hendak dicapai
sesuai dengan amar atau diktum putusan melakukan pembayaran
sejumlah uang, eksekusi semacam ini disebut dengan eksekusi
“pembayaran uang”.
Eksekusi rill yaitu penghukuman terhadap pihak yang kalah
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya penyerahan
barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,
menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil
ini dapat dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai
dengan amar putusan tanpa melakukan lelang. Menjalankan
eksekusi rill sangat mudah dan sederhana, misalnya melakukan
eksekusi terhadap pengosongan tanah, cara eksekusinya tentu
sangat sederhana, dengan memaksa tergugat keluar meninggalkan
tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eksekusi riil yang lain.
41
Pada dasarnya melakukan eksekusi secara riil secara teoritis
sangat mudah dan sederhana, tidak membutuhkan prosedur dan
formalitas rumit. Lain halnya dengan eksekusi terhadap
pembayaran sejumlah uang. Adakalanya tergugat sama sekali tidak
mempunyai uang tunai, yang ada hanya berupa harta benda, yang
pada akhirnya harus mewujudkannya dalam bentuk uang tunai,
sehingga membutuhkan berbagai persyaratan formal dan dilakukan
dengan cara-cara yang terperinci, agar tidak timbul kerugian baik
pada tergugat maupun kerugian terhadap penggugat akibat
penyalahgunaan benda tersebut yang dijadikan uang tunai. Di
sinilah letak kesulitan dalam melakukan eksekusi terhadap
pemabayaran sejumlah uang.
Dalam praktik biasanya eksekusi pembayaran sejumlah uang
pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap
harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang
cermat dalam melaksanakan eksekusi. Eksekusi harus melalui
tahap proses executoriale beslag (executory seizure); dan
kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan
jawatan lelang. Rumitnya eksekusi pembayaran terhadap sejumlah
uang maka diatur secara rinci dalam Pasal 195 sampai 208 HIR
atau Pasal 206 sampai Pasal 240 RBg mengenai aturan tata tertib
eksekusi pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara mualai
dari somasi (peringatan). Executoriale beslag, pengumuman
lelang, dan penjualan lelang (executoriale verkoop, sale under
execution).
42
4. Tata Cara Umum Eksekusi
Berdasarkan bentuk dan ciri eksekusi yang dikenal dengan
eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka
berikut ini dijelaskan tata cara dari kedua bentuk eksekusi tersebut.
a. Tata cara eksekusi riil
Menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang
menjadi wewenang pengadilan ditempuh melalui prosedur-
prosedur sebagai berikut:
(1) Permohonan Penggungat (pemenang perkara) kepada
Ketua Pengadilan Negeri apabila yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela, sedangkan
penggugat menginginkan eksekusi, maka ia harus
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menjalankan eksekusi.43 Jika penggugat
tidak mengajukan permohonan maka eksekusi tidak
dapat dilaksanakan
(2) Peringatan (aanmaning), tindakan dan upaya yang
dilakukan Ketua Pengadilan berupa “teguran” kepada
Tergugat (pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi
putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan
setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan
eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan kemudian
melakukan aanmaning kepada tergugat agar ia
43 Lihat Pasal 207 ayat (1) RBg
43
melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari
terhitung sejak aanmaning dilakukan.
Aanmaning dilakukan dengan melakukan
panggilan terhadap Tergugat (pihak yang kalah)
dengan menentukan hari/tanggal dan jam dalam surat
panggilan. Kemudian memberi peringatan dengan cara
diberikan pada waktu pelaksanaan sidang insidentil, di
mana dalam sidang insidentil ini dihadiri oleh Ketua
Pengadilan, Panitera, dan tergugat (pihak yang kalah).
Selanjutnya memberikan peringatan/teguran supaya ia
melaksanakan putusan dalam tempo 8 hari dan
membuat berita acara aanmaning, dengan mencatat
semua peristiwa yang terjadi dalam sidang tersebut,
sebagai bukti otentik bahwa aanmaning telah
dilakukan. Kemudian berita acara ini merupakan
landasan bagi perintah eksekusi selanjutnya.
Setelah tergugat (pihak yang kalah) dipanggil
secara patut namun tetap juga tidak hadir dengan alasan
yang bisa dipertanggung jawabkan, maka ketidak
hadiran tersebut bisa dibenarkan dan ia harus dipanggil
kembali. Namun jika ketidakhadirannya tersebut tanpa
alasan yang jelas/tidak bisa dipertanggungjawabkan,
maka tergugat harus menerima segala konsekuensi
berupa haknya untuk diaanmaning menjadi gugur,
tidak perlu dilakukan pemanggilan kembali dan Ketua
44
Pengadilan langsung mengeluarkan surat perintah
eksekusi berupa penetapan (besiching) terhitung sejak
Tergugat tidak memenuhi panggilan.
(3) Apabila dalam tenggang waktu 8 hari ternyata pihak
yang kalah tetap tidak mau melaksanakan putusan
hakim, maka Ketua Pengadilan membuat suatu
penetapan mengabulkan permohonan eksekusi, dengan
mengeluarkan surat perintah eksekusi. Surat perintah
eksekusi ini harus memenuhi ketentuan berupa;
Perintah harus merupakan penetapan (beschiking), dan
perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita dengan
menyebutkan namanya, serta isi perintah agar
menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
(4) Pelaksanaan eksekusi; setelah adanya penetapan
eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya
ketua Panitera menentukan kapan eksekusi akan
dilaksanakan. Panitera membuat surat pemberitahuan
tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan
diajukan kepada pemohon eksekusi, termohon
eksekusi, Kepala Desa setempat, Kecamatan dan
Kepolisian. Yang palin penting adalah setiap perintah
yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau Panitera
harus dalam bentuk tertulis dan memperhatikan
tenggang waktu yang patut sekurang-kurangnya 3
(tiga) hari sebelum dijalankan sesuatu tindakan
45
terhadap si tereksekusi. Perintah tersebut harus
disampaikan dan diketahui oleh pihak tereksekusi.
Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua
Pengadilan Negeri di atas, selanjutnya Panitera atau Jurusita
dapat menjalankan eksekusi.
b. Tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang
Pada dasarnya tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang
dalam perkara yang menjadi wewenang pengadilan sama halnya
dengan pelaksanaan eksekusi riil, namun karena biasanya pihak
tereksekusi tidak memiliki sejumlah uang yang mencukupi untuk
dieksekusi, maka eksekusi dilakukan terhadap benda yang
memiliki harga eknomis untuk dilelang, dan kemudia harga lelang
diserahkan untuk memberikan sejumlah uang hasil lelang.
5. Eksekusi Pengosongan
Eksekusi pengosongan merupakan salah satu bentuk
eksekusi riil, eksekusi model inilah yang sering terjadi.
Pengosongan adalah tindakan untuk meninggalkan objek
terperkara. Dalam hal ini adalah para pihak yang kalah dalam
gugatan segera mengosongkan benda atau objek yang menjadi
sengketa berupa tanah atau rumah, baik secara materiil maupun
secara formil, sehingga tidak terdapat lagi penguasaan hak pihak
yang kalah terhadap benda atau objek tersebut, termasuk di
dalamnya berupa penikmatan dan penguasaan atas hasil yang
timbul dari benda terperkara yang dikosongkan tersebut.
46
Ketentuan Pasal 218 ayat (2) RBg menyebutkan bahwa:
“Apabila pihak yang dikalahkan (geexecuteerde) ingkar
untuk mengosongkan barang yang tidak bergerak yang telah
dijual itu, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Magistraat yang
dikuasakan mengeluarkan surat perintah kepada seorang
pegawai yang berhak menjalankan exploit dengan tegas, jika
diperlukan dengan pertolongan polisi, barang tersebut
ditinggalkan dan dikosongkan oleh geexecuteerde bersama
semua orang yang ikut padanya dan segala barang-
barangnya…”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka objek eksekusi
pengosongan adalah berupa benda yang tidak bergerak, seperti
tanah, rumah dan sebagainya. Dan suatu tindakan berupa
pengosongan dengan meninggalkan objek tersebut, sehingga objek
tersebut benar-benar kosong dan diserahkan kepada pihak yang
menang dalam perkara tanpa adanya gangguan dikemudian hari.
6. Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi
Setiap eksekusi putusan pengadilan terhadap objek jaminan
dalam sengketa perkreditan selalu saja tidak berjalan mulus,
terutam objek yang disengketakan adalah berupa tanah, dan tanah
tersebut belum memilik status kepemilikan yang jelas. Dengan
demikian terkadang ada perlawanan dari pihak lain (dalam hal ini
pihak ketiga) yang merasa memiliki hak atas objek sengketa
tersebut. Pada dasarnya pihak ketiga memiliki hak untuk dapat
mengajuakan perlawanan terhadap eksekusi suatu putusan,
47
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR
atau Pasal 206 RBg. Dalam hal ini perlawan pihak ketiga dapat
dibenarkan apabila barang yang hendak dieksekusi tersebut
merupakan hak milik pihak ketiga tersebut. Ketentuan ini
menunjukan bahwa selain bukan hak milik (seperti hak guna usaha,
hak sewa, maupun hak pakai) tidak bisa dijadikan alasan atau dasar
untuk mengajukan perlawanan.
Namun perlu dipertegaskan bahwa perlawanan pihak ketiga
tidak dapat menunda jalannya eksekusi. Kecuali apabila ada
perintah dari Ketua Pengadilan agar eksekusi tersebut ditunda
sampai dijatuhkan putusan pengadilan terhadap perlawanan pihak
ketiga tersebut, berdasarkan pada pendapat pihak ketiga sebagai
alasan yang memperkuat adanya bukti-bukti yang diajukan untuk
melakukan perlawanan tersebut, dan mendapat laporan dari
Majelis Hakim yang memeriksa perlawanan tersebut. Ketentuan ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 208 HIR dan Pasa 228 RBg.
Dipertegas disini bahwa hambatan terbesar dalam eksekusi
putusan pengadilan terhadap objek sengketa tanah adalah adanya
perlawan dari pihak ketiga yang mengklaim memiliki hak juga atas
objek tanah/rumah tersebut.
D. Eksekusi Putusan Pengadilan sebagai Rangkaian Tindakan
Penegakan Hukum
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara hukum
48
merupakan rangkaian dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
perkara. Oleh karena itu, eksekusi diada lain daripada tindakan
penegakan hukum yang berkisinambungan dari keseluruhan proses
hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung
dalam HIR atau RBG. Pada dasarnya setiap orang yang ingin
mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk pada aturan
perundang-undangan dalam HIR dan RBG tersebut.44
Sering orang berbicara tentang eksekusi, tetapi tidak mengetahui
secara tepat di dalam aturan mana hal tersebut diatur. Akibatnya
terjadilah tindakan-tindakan hukum yang menyimpang dari aturan itu
sendiri, oleh karena pejabat yang melaksanakanya tidak berpedoman
pada ketentuan perundang-undangan. Padahal pedoman aturan tata cara
eksekusi sudah lama diatur sebagaimana yang terdapat dalam Bab
Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat
RBG. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri atau Panitera maupun
juru sita harus merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam bagian
dimaksud apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut
telah diatur pasal-pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan,
mulai dari tata cara peringatan (aanmaning), sita eksekusi (executoriale
beslag) dan penyanderaan (gijzeling).
Cara-cara menjalankan eksekusi putusan pengadilan diatur mulai
dari ketentuan Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai
44 Lihat, Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi…, Op.cit.,
hlm.1
49
258 RBG. Namun setelah keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2000, tidak
semua ketentuan tersebut di atas berlaku efektif, yang masih berlaku
efektif terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau
Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG yang mengatur tentang
sandera tidak lagi diberlakukan secara efektif. Seorang debitor yang
dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan
tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya
melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.
Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan
sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edara (SMA)
No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964.45 Isi surat edaran ini sangat
singkat, hanya terdiri dari lima baris berupa instruksi yang ditujukan
kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum yang
menegaskan bahwa; tidak boleh dipergunakan lagi pasal-pasal aturan
sandera (gijzeling), yakni Pasal 209-223 HIR atau Pasal 247-257 RBG.
Alasan larangan tersebut karena tindakan penyanderaan terhadap
seseorang debitor dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.
Pada ketentuan tersebut di atas, sudah barang tentu ada sikap pro
dan kontra terhadap surat edaran, di atas. Apalagi surat edaran itu secara
secara tegas menyatakan “menghapuskan pasal-pasal yang mengatur
sandera. Seolah-olah Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif
telah mengambil alih fungsi legislatif. Di sisi yang lain juga bahwa ada
kekhawatiran terhadap debitor yang memiliki itikad tidak baik, sebab
45 Dapat dilihat pada Himpunan SEMA dan PERMA Tahun 1951-1999, hlm. 93.
50
sering dijumpai dalam praktik kreditor yang mengambil kredit dari
bank pemerintah, selanjutnya uang tersebut dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi yang tidak produktif misalnya memberikan uang
tersebut kepasa sanak keluarga untuk berbisnis. Dalam kasus demikian,
apabila tidak dilakukan tindakan penyanderaan terhadap debitor yang
tidak mampu membayar utangnya kepada bank setelah harta kekayaan
secara sembunyi dilihkan kepada pihak lain. Dalam kasus yang
denikian sangat pantas untuk menyandera debitor yang demikian, guna
memaksa sanak keluarganya untuk menegmbalikan atau membayar
utang pinjamannya.
Untuk mengkaji dan mempertimbangkan suatu tindakan hukum
pada kontek upaya penegakan hukum dalam eksekusi putusan
pengadilan pada kasus perdata, apakah tindakan hukum itubertentangan
dengan peri kemanuasiaan atau tidak, tidak semata-mata bertitik tolak
pada segi kepentingan debitor saja. Perikemanusiaan sebagai nilai
universal bukan argumentasi sepihak yang hanya dipergunakan sebagai
alat dan upaya melindungi orang yang memiliki itikad tidak baik, dan
itikad yang tidak baik itu menimbulkan kerugian pada kepentingan
umum. Nilai perikemanusiaan harus juga diuji keseimbangannya
dengan nilai kepentingan umum berdasarkan prinsip “hak siapa yang
lebih diutamakan” atau “the theory of the priority right”.46
Menurut prinsip di atas, kepentingan umum harus diutamakan
dari kepentingan individu. Dengan kata lain kepentingan umum harus
46 Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 3
51
diprioritaskan dari kepentingan debitor. Sebagai contoh, seorang
debitor yang meminjam uang dari bank pemerintah dengan jaminan hak
atas tanah berdasarkan pengalihan hak karena hak milik tanah yang
sesungguhnya tidak mampu atau tidak memiliki pengetahuan tentang
masalah kredit atau pinjam meminjam uang melalui bank, sehingga hak
tersebut jatuh kepada rentenir atau pengusaha yang memiliki itikad
tidak baik. Atas dasar pengalihan hak tersebut dari pemilik tanah yang
sesungguhnya, pengusaha tersebut kemudian meminjam uang pada
bank dengan jaminan tanah yang ada di bawah kuasanya tersebut. Dan
pada saat jatuh tempo pembayaran utang pada bank, pengusaha tersebut
tidak mampu membaya utangnya sehingga terpaksa tanah tersebut
dieksekusi oleh pihak bank.
Sekalipun dalam putusan pengadilan dimenangkan oleh pihak
bank selaku kreditor namun pada kontek kasus tersebut putisan
eksekusi yang dijalankan tidak melihat aspek keadilan yang
sesungguhnya. Bukankah tanah yang menjadi objek jaminan tersebut
terdapat hak orang lain, bahkan orang yang memiliki hak yang
sesungguhnya atas tanah tersebut. Dengan demikian dalam kontek ini
kebujakan penegakan hukum sesungguhnya harus meliahat kondisi
ideal terutama dalam menghadapi sengketah hak atas tanah yang
melibatkan banyak orang. Disinilah perlu dipertimbangkan aspek
kemanusiaan dalam menerapkan aturan hukum.
Dalam hal seperti ini, pengadilan sebagai institusi penegak
hukum berdasarkan kepatutan dan keadilan, tidak boleh tergesa-gesa
untuk memutuskan suatu sengketa hukum terutama yang berkaitan
52
dengan objek hak jaminan yang melibatkan orang lain yang
sesungguhnya memiliki hak atas objek jaminan tersebut. Sehingga para
pihak merasa terlindungi oleh hukum dan mendapatkan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa objek jaminan atas tanah tersebut.
53
BAB III
EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN
A. Ketentuan Hukum Acara Perdata tentang Eksekusi
Pengadilan terhadap Perkara Perdata
1. Eksekusi sebagai Upaya Paksa Pemenuhan Hak dalam Perkara
Perdata
Pembagian yang umum menurut susbstansinya, Hukum
Perdata dibagi menjadi hukum materiil dan hukum formil. Hukum
Perdata materiel ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-
hak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan
hukum perdata formil menentukan cara, bagaiman pemenuhan
hak-hak materiel tersebut dapat dijamin. Hukum perdata formil itu
sebagian besar adalah identik dengan yang disebut dengan Hukum
Acara Perdata.47
Apabila berbicara dalam kontek eksekusi, orang
berpandangan selalu dikaitkan dengan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau dikaitkan
dengan suatu akta dengan titel eksekutorial yang masuk dalam
kategori Hukum Perdata formil. Hal ini bisa dipahami bahwa pada
umumnya orang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan eksekusi otomati merupakan wewenang
47 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,
hlm. 4. Sebagaimana dikutp oleh Herawati Poesoko, Parate Executie, … Op.cit., hlm.
124.
54
pengadilan. Hal tersebut tentunya tidak selalu benar jika diamati
dari pengertian eksekusi menurut ahli hukum.
Eksekusi berasal dari kata “executie” artinya melaksanakan
putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen). Subekti,48
menyebutkannya dalam arti Bahasa Indonesia dengan istilah
“pelaksanaan” putusan. Sementara itu Retno Wulan Sutantio,
mengartikannya dalam bahasa Indonesia dengan istilah
“pelaksanaan” putusan. Pendapat kedua pakar tersebut, dapat
dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan hampir semua penulis
telah membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata
ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah “pelaksanaan”
putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab
jika bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima
HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBg, pengertian
eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten
uitvoer lagging van vonnissen).49 Dengan demikian yang dimaksud
dengan eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.50
Pengertian yang lain bahwa, eksekusi putusan perdata berarti
melaksanakan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai
48 Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta BPHN, 1977, hlm. 128 49 Yahya Harahap, Ruang Lingkup …, Op.cit., hlm. 6 50 Yahya Harahap, Sebagaimana dikutp oleh Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi
Praktek, Kejurusitaan Pengadilan, Tata Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 60
55
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak
tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Pada
prinsipnya bahwa eksekusi merupakan realisasi pihak yang
dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang
tercantum di dalam putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi
terhadap putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap
merupakan proses terakhir dari proses perkara perdata maupun
pidana di pengadilan.
Diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti
istilah eksekusi, maka tidak pada tempatnya kedua istlah itu
digabungkan dalam satu rangkaian penulisan, tentu akan
berlebihan apabila keduanya digunakan dalam satu rangkaian
tulisan, misalnya tertulis “pelaksanaan eksekusi” maka dari sudut
pandang bahasa tentu memiliki arti yang sama. Cukup dipilih salah
satunya, sebab keduanya memiliki arti yang sama. Boleh
digunakan “pelaksanaan” putusan atau cukum dipergunakan
“eksekusi” putusan. Namun pada umumnya belakangan ini
kecenderungan orang selalu menggunakan dalam istila hukum
(legal term) “eksekusi” atau menjalankan eksekusi.
Eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau
menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR,
pegertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh
pengadilan. Hak menjalankan putusan hakim sebagaimana diatur
dalam Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk
56
memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan
apa yang diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim, bila
mana pihak yang dikalahkan tidak melakukannya secara sukarela,
maka pihak yang dimenangkan dengan mengajukan dapat
melaksanakan isi putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana
perkara tersebut diajukan dengan bantuan alat-alat paksa.51
Eksekusi pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan
putusan pengadilan dan grosse acte melainkan istilah eksekusi juga
terdapat pada bidang Hukum Jaminan, eksekusi objek jaminan
merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan
terhadap objek jaminan, apabila debitor cidera janji dengan cara
penjualan objek jaminan untuk pelunasan piutangnya. Oleh karena
itu, Soedewi menyatakan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju
terhadap harta kekayaan debitor manakala perutangan itu tidak
dipenuhi secara sukarela oleh debitor.52
2. Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan
Pada dasarnya hukum perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan berkaitan antara warga negara perseorangan yang satu
dengan warga negara perseorangan yang lain.53 Demikian juga
bahwa, hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan
51 Herowati Poesoko, Op.cit., hlm. 126 52 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op.cit., hlm. 31 53 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan II, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas
Tanah, Liberty, Yogyakarta, 1974, hlm. 1
57
hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam
masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perorangan
(pribadi).54 Sementara itu menurut Vollmar55, bahwa hukum
perdata ialah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perorangan dalam perbandingan yang
tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain
dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu-lintas.
Dengan demikian dapat disebutkan di sini bahwa hukum
perdata adalah aturan-aturan, ketentuan-ketentuan atau norma-
norma dalam hubungannya antara orang yang satu dengan orang
yang lain yang memberikan pembatasan perlindungan akibat
timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang
berhubungan tersebut.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap
pihak yang kalah dalam suatu perkara, telah diatur tata caranya di
dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR
dan/atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBG, sedangkan Pasal 225
HIR dan Pasal 259 RBG mengatur tentang putusan yang
menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu.
54 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 2 55 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1983,
hlm. 2
58
Ketentuan Pasal 195 HIR meyebutkan bahwa, dalam
menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang
mula-mula diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dilakukan atas
perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang
mula-mula memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam
ketentuan sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pasal 195 HIR ayat (1) sampai ayat (7) menyebutkan bahwa:
(1) Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam
perkara yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri,
dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara
itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal di bawah
ini:
(2) Jika dalam hal menjalankannya itu harus dikerjakan sama
sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan
negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya meminta
pertolongan dengan surat ketua pengadilan bangsa bumi
putera yang berhak, begitu juga di luar tanah Jawa dan
Madura.
(3) Ketua Pengadilan Negeri yang diminta pertolongannya
berbuat sebagai ditentukan di pada ayat di atas ini juga,
jika nyata baginya, bahwa hal menjalankan keputusan itu
harus terjadi sama sekali atau sebaginya di luar daerah
hukumnya pula.
59
(4) Bagi Ketua Pengadilan Negeri, yang diminta
pertolongannya oleh teman sekerjanya dari luar tanah
Jawa dan Madura, berlaku segala peraturan dalam
bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan
dilakukan karena itu.
(5) Di dalam dua kali dua puluh empat jam, ketua yang
diminta pertolongan itu memberitahukan segala daya
upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang
kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang mula-
mula memeriksa perkara itu.
(6) Jika hal menjalankan keputusan itu dibantah, dan juga jika
yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang
yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal itu
serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang
diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan negeri,
yang dalam daerah hukumnya terjadi hal menjalankan
putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan negeri
itu.
(7) Perselisihan itu dan keputusan tentang perselisihan itu,
tiap-tiap kali dalam dua kali dua puluh empat jam
diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri
yang mula-mula memeriksa perkara itu.
Selain ketentuan tersebut di atas, eksekusi juga diatur dalam
ketentuan Pasal 1033 RV, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)
60
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Ayat (3) menyebutkan bahwa;
“Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata
dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua
Pengadilan”.
Sementara ayat (4) menyebutkan bahwa;
“Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan
supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara”.
Sedangkan eksekusi pengecualian terhadap putusan yang
belum berkekuatan hukum tetap yaitu putusan serta merta dan
provisi, diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1)
RBg.
3. Bentuk atau Jenis Eksekusi
Pada dasarnya terdapat dua bentuk eksekusi apabila ditinjau
dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang
tercantum dalam putusan pengadilan. Biasanya sasaran hubungan
hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum
putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil,
sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Demikian
juga bahwa terkadang hubungan hukum yang hendak dicapai
sesuai dengan amar atau diktum putusan melakukan pembayaran
sejumlah uang, eksekusi semacam ini disebut dengan eksekusi
“pembayaran uang”.
61
Eksekusi rill yaitu penghukuman terhadap pihak yang kalah
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya penyerahan
barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,
menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil
ini dapat dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai
dengan amar putusan tanpa melakukan lelang. Menjalankan
eksekusi rill sangat mudah dan sederhana, misalnya melakukan
eksekusi terhadap pengosongan tanah, cara eksekusinya tentu
sangat sederhana, dengan memaksa tergugat keluar meninggalkan
tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eksekusi riil yang lain.
Pada dasarnya melakukan eksekusi secara riil secara teoritis
sangat mudah dan sederhana, tidak membutuhkan prosedur dan
formalitas rumit. Lain halnya dengan eksekusi terhadap
pembayaran sejumlah uang. Adakalanya tergugat sama sekali tidak
mempunyai uang tunai, yang ada hanya berupa harta benda, yang
pada akhirnya harus mewujudkannya dalam bentuk uang tunai,
sehingga membutuhkan berbagai persyaratan formal dan dilakukan
dengan cara-cara yang terperinci, agar tidak timbul kerugian baik
pada tergugat maupun kerugian terhadap penggugat akibat
penyalahgunaan benda tersebut yang dijadikan uang tunai. Di
sinilah letak kesulitan dalam melakukan eksekusi terhadap
pemabayaran sejumlah uang.
Dalam praktik biasanya eksekusi pembayaran sejumlah uang
pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap
harta benda kekayaan tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang
62
cermat dalam melaksanakan eksekusi. Eksekusi harus melalui
tahap proses executoriale beslag (executory seizure); dan
kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan
jawatan lelang. Rumitnya eksekusi pembayaran terhadap sejumlah
uang maka diatur secara rinci dalam Pasal 195 sampai 208 HIR
atau Pasal 206 sampai Pasal 240 RBg mengenai aturan tata tertib
eksekusi pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara mualai
dari somasi (peringatan). Executoriale beslag, pengumuman
lelang, dan penjualan lelang (executoriale verkoop, sale under
execution).
4. Tata Cara Umum Eksekusi
Berdasarkan bentuk dan ciri eksekusi yang dikenal dengan
eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka
berikut ini dijelaskan tata cara dari kedua bentuk eksekusi tersebut.
a. Tata cara eksekusi riil
Menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara yang
menjadi wewenang pengadilan ditempuh melalui prosedur-
prosedur sebagai berikut:
(1) Permohonan Penggungat (pemenang perkara) kepada
Ketua Pengadilan Negeri apabila yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela, sedangkan
penggugat menginginkan eksekusi, maka ia harus
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
63
Negeri untuk menjalankan eksekusi.56 Jika penggugat
tidak mengajukan permohonan maka eksekusi tidak
dapat dilaksanakan
(2) Peringatan (aanmaning), tindakan dan upaya yang
dilakukan Ketua Pengadilan berupa “teguran” kepada
Tergugat (pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi
putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan
setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan
eksekusi dari Penggugat. Ketua Pengadilan kemudian
melakukan aanmaning kepada tergugat agar ia
melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari
terhitung sejak aanmaning dilakukan.
Aanmaning dilakukan dengan melakukan panggilan
terhadap Tergugat (pihak yang kalah) dengan
menentukan hari/tanggal dan jam dalam surat panggilan.
Kemudian memberi peringatan dengan cara diberikan
pada waktu pelaksanaan sidang insidentil, di mana
dalam sidang insidentil ini dihadiri oleh Ketua
Pengadilan, Panitera, dan tergugat (pihak yang kalah).
Selanjutnya memberikan peringatan/teguran supaya ia
melaksanakan putusan dalam tempo 8 hari dan membuat
berita acara aanmaning, dengan mencatat semua
peristiwa yang terjadi dalam sidang tersebut, sebagai
56 Lihat Pasal 207 ayat (1) RBg
64
bukti otentik bahwa aanmaning telah dilakukan.
Kemudian berita acara ini merupakan landasan bagi
perintah eksekusi selanjutnya.
Setelah tergugat (pihak yang kalah) dipanggil secara
patut namun tetap juga tidak hadir dengan alasan yang
bisa dipertanggung jawabkan, maka ketidak hadiran
tersebut bisa dibenarkan dan ia harus dipanggil kembali.
Namun jika ketidakhadirannya tersebut tanpa alasan
yang jelas/tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka
tergugat harus menerima segala konsekuensi berupa
haknya untuk diaanmaning menjadi gugur, tidak perlu
dilakukan pemanggilan kembali dan Ketua Pengadilan
langsung mengeluarkan surat perintah eksekusi berupa
penetapan (besiching) terhitung sejak Tergugat tidak
memenuhi panggilan.
(3) Apabila dalam tenggang waktu 8 hari ternyata pihak
yang kalah tetap tidak mau melaksanakan putusan
hakim, maka Ketua Pengadilan membuat suatu
penetapan mengabulkan permohonan eksekusi, dengan
mengeluarkan surat perintah eksekusi. Surat perintah
eksekusi ini harus memenuhi ketentuan berupa; Perintah
harus merupakan penetapan (beschiking), dan perintah
ditujukan kepada panitera atau jurusita dengan
menyebutkan namanya, serta isi perintah agar
menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
65
(4) Pelaksanaan eksekusi; setelah adanya penetapan
eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya
ketua Panitera menentukan kapan eksekusi akan
dilaksanakan. Panitera membuat surat pemberitahuan
tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan
diajukan kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi,
Kepala Desa setempat, Kecamatan dan Kepolisian.
Yang palin penting adalah setiap perintah yang
dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau Panitera harus
dalam bentuk tertulis dan memperhatikan tenggang
waktu yang patut sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari
sebelum dijalankan sesuatu tindakan terhadap si
tereksekusi. Perintah tersebut harus disampaikan dan
diketahui oleh pihak tereksekusi.
Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua
Pengadilan Negeri di atas, selanjutnya Panitera atau
Jurusita dapat menjalankan eksekusi.
b. Tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang
Pada dasarnya tata cara eksekusi pembayaran sejumlah
uang dalam perkara yang menjadi wewenang pengadilan sama
halnya dengan pelaksanaan eksekusi riil, namun karena
biasanya pihak tereksekusi tidak memiliki sejumlah uang yang
mencukupi untuk dieksekusi, maka eksekusi dilakukan terhadap
benda yang memiliki harga eknomis untuk dilelang, dan
66
kemudia harga lelang diserahkan untuk memberikan sejumlah
uang hasil lelang.
5. Eksekusi Pengosongan
Eksekusi pengosongan merupakan salah satu bentuk
eksekusi riil, eksekusi model inilah yang sering terjadi.
Pengosongan adalah tindakan untuk meninggalkan objek
terperkara. Dalam hal ini adalah para pihak yang kalah dalam
gugatan segera mengosongkan benda atau objek yang menjadi
sengketa berupa tanah atau rumah, baik secara materiil maupun
secara formil, sehingga tidak terdapat lagi penguasaan hak pihak
yang kalah terhadap benda atau objek tersebut, termasuk di
dalamnya berupa penikmatan dan penguasaan atas hasil yang
timbul dari benda terperkara yang dikosongkan tersebut.
Ketentuan Pasal 218 ayat (2) RBg menyebutkan bahwa:
“Apabila pihak yang dikalahkan (geexecuteerde) ingkar
untuk mengosongkan barang yang tidak bergerak yang telah
dijual itu, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Magistraat yang
dikuasakan mengeluarkan surat perintah kepada seorang
pegawai yang berhak menjalankan exploit dengan tegas, jika
diperlukan dengan pertolongan polisi, barang tersebut
ditinggalkan dan dikosongkan oleh geexecuteerde bersama
semua orang yang ikut padanya dan segala barang-
barangnya…”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka objek eksekusi
pengosongan adalah berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah,
67
rumah dan sebagainya. Dan suatu tindakan berupa pengosongan dengan
meninggalkan objek tersebut, sehingga objek tersebut benar-benar
kosong dan diserahkan kepada pihak yang menang dalam perkara tanpa
adanya gangguan dikemudian hari.
B. Eksekusi Jaminan Kredit
Terdapat dua jenis dalam pelaksanaan perjanjian kredit apabila
ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang pinjaman.
Pertama, transaksi kredit “tanpa jaminan” atau unsecured transaction,
yaitu tidak ada jaminan atau tidak ada perlindungan atas pemenuhan
pembayaran kembali utang. Dalam hal ini, pelunasan pembayaran
kembali utang tidak dijamin sesuatu barang yang mempunyai nilai atau
harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman. Sehingga dari
perspektif bisnis transaksi seperti ini dapat disebut dengan utang tanpa
jaminan. Sementara secara yuridis transaksi ini dikategorikan dalam
tuntutan tanpa jaminan, dan kreditornya dikategorikan keditor tanpa
jaminan.
Kedua, adalah transaksi kredit yang “dilindungi jaminan” atau
secured transaction” terhadap utang atau pinjaman, debitor memberi
barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada
kreditor. Apabila debitor ingkar janji atau lalai memnuhi pembayaran
utang sebagaimana diperjanjikan, pemenuhan dapat dipaksakan dengan
jalan eksekusi barang jaminan melalui penjualan lelang oleh kreditor
atau melaui pengadilan.
68
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, terdapat beberapa bentuk perjanjian kredit yang dilindungi
dengan jaminan yang memiliki hak preferensi dan separatis yaitu
berupa Hak Tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996, Jaminan
Fidusia berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999, Hak Gadai berdasarkan
Pasal 1150-1161 KUHPerdata, Hipotek Kapal berdasarkan Pasal 314
KUHD jo, Pasal 1162 – 1232 KUH Perdata, dan Hipotik Pesawat
Terbang berdasarkan pasal 12 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 jo Pasal
1162-1232 KUH Perdata.
Dalam kajian ini tentu tidak secara lebar mengkaji mengenai
berbagai bentuk jaminan tersebut di atas. Titik fokus pada kajian ini
adalah ada pada Jaminan Hak Tanggungan yang lazimnya dipakai
dalam setiap transaksi kredit pada perbankan.
Pada prinsipnya bahwa tidak ada utang debitor yang tidak
dijamin. Pasal 1131 KUH Perdata menegaskan bahwa; segala harta
benda kekayaan debitor, baik yang bergerak dan yang tidak bergerak,
baik yang ada sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala perikatan perorangan
yang dibuatnya. Akan tetapi harta kekayaan debitor tersebut menjadi
jaminan utang bagi semua kreditor yang memberi pinjaman kepada
debitor, sehingga setiap kreditor memiliki hak atas hasil penjulan hatra
debitor dalamrangka pelunasan utang debitor.
Berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata bahwa, semua kebendaan
debitor menjadi jaminan bersama bagisemua kreditor, sehingga
walaupun semua benda atau harta kekayaan debitor menurut Pasal 1131
69
KUHPerdata menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang dibuat
debitor, namun kepada kreditor tidak diberikan hak preferan dan
separatis, akan tetapi hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren
bersama-sama dengan kreditor lain, dan masing-masing kreditor
mendapat pembagian yang sama sesuai asas pari pasu.
Tetang tata cara pemenuhan yang berbasis sistem pro rata (fond-
fond gewijs) ini ditegaskan lagi pada Pasal 1136 KUH Perdata yang
berbunyi bahwa: “semua orang berpiutang yang tingkatnya sama,
dibayar menurut keseimbangan”. Dapat dilihat, adanya risiko yang
dihadapi kreditor yang tidak dilindungi dengan jaminan yang bersifat
preferent. Apabiala pada saat yang bersamaan terdapat beberapa orang
kreditor terhadap seorang debitor, pemenuhan pengembalian uang yang
akan diterima sebagai kreditor konkuren hanya sebesar yang seimbang
dengan jumlah uang.57
Apabila debitor cidera janji atau wanprestasi, sedangkan transaksi
kredit tidak diikat secara asesor dengan perjanjian jaminan barang
tertentu, sehingga jaminan pemenuhannya tunduk pada ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata, cara pemehuhan yang dapat ditempuh kreditor
adalah:
1. Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
Jika upaya kompromi atau damai maupun strukturasi tidak
tercapai dan debitor tetap tidak memperbaiki kelalaiannya, maka jalan
satu-satunya yang dapat ditempuh ialah “proses litigasi” dengan jalan
57 Yahya Harahap, Ruang Lingkup…, Op.cit., hlm. 181
70
menggugat debitor untuk memenuhi pelaksanaan kewajibannya melalui
pengadilan, atau melalui arbitrase apabila dalam perjanjian kredit
disepakati oleh kedua belah pihak jika tibul sengketa dapat
diselesaiakan melalui Lembaga Arbitrase.
2. Meminta sita Jaminan atas harta kekayaan debitor
Agar tuntutan lebih efektif dan tidak hampa (illusoir), kreditor
dapat meminta kepada PN agar terhadap harta kekayaan debitor
diletakkan sita jaminan. Ketentuan mengenai sita jaminan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, dan Pasal 720 Rv, yang
membolehkan penyitaan barang debitor selama belum dijatuhkan
putusan akhir dengan tujuan agar barang tersebut tidak digelapkan atau
tidak dihilangkan debitor selama proses persidangan berlangsung.
Putusan MA No. 371 K/Pdt/1984, menyebutkan bahwa,
meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam
petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri,
jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak
bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang
membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya
sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu,
pengabulan sita dalam kasus persidang yang sementara berjalan tidak
bertentangan dengan ultra petitum partium, sebagaimana yang
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR.
Dengan demikian acuan penerapan pengajuan permintaan sita
berdasarkan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR dapat dilakukan, selama
proses pemeriksaan pada tingkat pengadilan pertama di PN, Penggugat
71
dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas
waktu ini secara tersurat disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) HIR yang
mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitor) dapat
diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan
permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui
cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan,
maka atas dasar demikian permintaan sita dapat diajukan sejak saat
penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan
perkataan lain bahwa, sejak perkara diregister di kepaniteraan, sita
dapat diminta, baik hal itu dikemukakan dalam gugatan atau dengan
surat permintaan yang berdiri sendiri.
Berdasarkan pada Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 ayat (1) RBg,
permohonan sita dapat diajukan dalam perkara utang piutang yang
timbul dari wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 jo Pasl 1246 KUH
Perdata dalam bentuk pengembalian utang pokok, bunga, biaya, dan
keuntungan yang akan diperoleh. Dapat pula dikembangkan juga atas
tuntutan yang timbul dari perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal
1365 KUH Perdata dalam bentuk tuntutan ganti rugi materiil (actual
loss) dan ganti rugi imateriil (ideal loss).58
Berdasarkan Pasal 195 dan Pasal 196 HIR, Pasal 206 dan Pasal
207 RBg, eksekusi atas pemenuhan pembayaran pemenuhan utang
dapat dilaksanakan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (res
judicate), yaitu telah tertutup segala upaya hukum berupa lewat waktu
58 Yahya Harahap, Ibid, hlm. 182
72
tenggang waktu yang ditentukan, atau tidak ada upaya hukum (banding,
maupun kasasi) dengan demikian putusan sudah memiliki kekuatan
eksekutorial.
Demikian pula bahwa, penyelesaian perkara melalui putusan
Perdamaian berdasarkan Pasal 130 HIR jo. Pasal 1828 KUH Perdata Jo.
PERMA No. 2 Tahun 2003 yang dituangkan dalam bentuk akta
perdamaian. Putusan perdamaian tersebut disamakan kedudukannya
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Serta
mempunyai kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan upaya
banding. Putusan tersebut dapat dilaksnakan secara sukarela maupun
dapat dilaksnakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
C. Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan
Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (yaitu
memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak
Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka Hak Tanggungan hanya
dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang
Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan
dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan
Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin
untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang
baru akan ada dikemudian hari.
73
Dalam praktik perbankan untuk lebih mengamankan dana yang
dipinjamkan bank kepada debitor diperlukan tambahan pengamanan
berupa jaminan khusus. Pada umumnya jaminan khusus yang banyak
digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Penggunaan tanah
sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit yang bersifat produktif maupun
kredit yang bersifat konsumtif, didasarkan pada pertimbangan bahwa
tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.
Lembaga jaminan oleh bank dianggap paling efektif dan aman
adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya
kemudahan dalam mengidentifikasi objek Hak Tanggungan, jelas dan
pasti eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan
uang hasil pelelangan tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan. Dapat
dipahami bahwa, hal yang tidak dapat diabaikan dalam perjanjian kredit
adalah perlindungan hukum bagi kreditor manakala debitor wanprestasi,
apalagi kalo debitor sampai mengalami kemacetan dalam pelunasan
pembayaran hutang. Dengan demikian pemanfaatan lembaga eksekusi
Hak Tanggungan merupakan cara percepatan pelunasan piutang agar
dana yang telah dikeluarkan itu dapat segera kembali kepada kreditor
(bank), dan dana tersebut dapat digunakan dalam perputaran roda
perekonomian.59
59 Herowati Poesoko, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,
Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalan UUHT), LaksBang Press,
Yogyakarta, 2008, hlm. 4
74
Kemudahan yang disediakan oleh UUHT bagi para kreditor
pemegang Hak Tanggungan manakala debitor cidera janji, berdasarkan
Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT bahwa; eksekusi atas benda
jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu,
parate eksekusi, title executorial dan penjualan di bawah tangan.
1. Parate Eksekusi
Sita adalah suatu upaya untuk menjamin suatu hak dalam
proses perkara di pengadilan. Sita yang dimaksud termasuk sita
jaminan atau sita eksekusi, perbedaannya haya pada sista jaminan
(conservatoir) ialah sita yang diletakkan, baik terhadap harta yang
disengketakan, maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang
bergerak, maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang
piutang yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat
terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat
ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita
itu memberi jaminankepada Penggugat bahwa kelak gugatannya
“tidak illusoir” atau “tidak hampa” pada saat putusan dieksekusi.60
Pada dasarnya hukum memberikan jaminan pada setiap orang
yang memiliki itikad baik dalam bertransaksi dengan orang lain,
pada konteks transaksi kredit undang-undang memberikan jaminan
kepastian terhadap setiap transaksi pinjaman yang dilakukan antara
Kreditor dan Debitor. Salah satu bentuk jaminan kepastian hukum
ersebut adalah dengan adanya aturan hukum mengenai jaminan Hak
60 Herowati Poesko, Ibid, 220-221.
75
Tanggungan yang biasanya dilakukan antara Kreditor dan debitor
dengan berbagai kemudahan.
Pada dasarnya hukum eksekusi diatutr dalam KUHAPerdata
sebagai hukum perdata formil dari hukum perdata materiel. Namun
khususnya dalam eksekusi jaminan kebendaan khususnya Hak
Tanggungan, disini bagi pemegang Hak Tanggungan pertama
diberikan hak melaksanakan eksekusi di luar aturan main Hukum
Acara Perdata yang di kenal dengan parate executie. Menurut
sejarahnya parate executie timbul dari sifat-sifat dan keistimewaan
jaminan kebendaan seperti halnya pada gadai dan hipotiuk.
Parate executie menurut Subekti,61 adalah: “Menjalankan
sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti
tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang
jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut”.
Sedangkan menurut Tartib,62 bahwa : Parate executie adalah
eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan
(gadai dan hipotik) tanpa melalui bantuan atau campur tangan
Pengadilan Negeri, melainkan hanya melalui bantuan Kantor Lelang
Negara saja.
61 Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, dalam
Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis
Yustisial, MARI, Jakarta, 1990, hlm. 69 62 Tarib, Catatan Tentang Parate Executie, Artikel dalam Majalah Varia
Peradilan Th. XI, No. 124, Januari 1996, hlm. 149-150.
76
2. Titel Eksekutorial
Pelunasan kredit dilakukan melalui eksekusi barang jaminan
yang berarti atas dasar kekuatan eksekutorial (executoriale titel)
dari Sertifikat Hak Tanggungan, maka pelelangan objek jaminan
hanya dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
Pengadilan Negeri. Sebagaimana diketehui Sertifikat Hak
Tanggungan mencantumkan irih-irih yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menunjukan sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial
yang menunjukan alas hak bagi eksekusi.
Objek jaminan Hak Tanggungan pada dasarnya harus dijual
melalui penjualan umum, yaitu oleh Pejabat Kantor Lelang.
Pelelangan dilaksanakan menurut ketentuan dan tata cara yang
telah ditetapkan dalam vendu reglement, baik Kantor Lelang
Negara atau Balai Lelang Swasta yang telah mendapat izin.
Sebagaimana diketahui dengan Surat Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 47/KMK.01/1996 Tanggal 25 Januari 1996
tentang Balai Lelang dan Surat Keputusan Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No.Kep.01/PN/1996 Tanggal
25 Januari 1996 ditetapkan ketentuan tentang Balai Lelang.
Penetapan dan pengaturan perihal Balai Lelang dimaksudkan untuk
memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat, khususnya
dunia usaha menyelenggarakan penjualan lelang. Penjualan lelang
dapat juga dilakukan oleh Balai Lelang Swasta yang didirikan dalam
bentuk badan usaha Perseroan Terbatas dengan izin Kepala BUPLN.
77
3. Eksekusi Dibawah Tangan
Pada dasarnya Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin
utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada Debitor.
Apabila Debitor cidera janji, tanah (hak milik atas tanah) yang
dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut berhak dijual oleh
pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak
Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat
menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Menurut Pasal 6 UUHT, apabila Debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan utangnya dari hasil
penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT ini memberikan hak bagi
pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi.
Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja
memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi
juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat
apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang
menjadi jaminan utang Debitor dalam hal Debitor cidera janji.
Pemegang Hak Tanggungan dapat secara langsung datang dan
meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan
pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Hak untuk menjual objek Hak Tanggunganatas kekuasaan
sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan
diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau
78
oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih
dari satu pemegang Hak Tanggungan.63
Dengan adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang
Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat
dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.64
Karena penjualan di bawah tangan dari objek Hak Tanggungan
hanya dapat dilaksanakan biala ada kesepakatan antara pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin melakukan
penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau
agunan kredit tersebut apabila Debitor tidak menyetujuinya.
Apabila kredit sudah menjadi macet, sering bank
menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari
nasabah Debitor. Dalam keadaan-keadaan tertentu justeru menurut
pertimbangan bank lebih baik agunan itu dijual dibawah tangan
daripada dijual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan
agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk
membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk
memperoleh persetujuan nasabah tersebut dapat terjadi misalnya
karena nasabah Debitor yang tidak lagi beritikad baik tidak
bersedia ditemui oleh bank, atau telah tidak diketahui lagi di mana
keberadaannya. Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak
mengalami kesulitan yang demikian, bank pada waktu kredit
63 Lihat Penjelasan Pasal 6 UUHT
64 Lihat Pasal 20 ayat (2) UUHT
79
diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit
diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual
sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta
kepada Debitor untuk memberikan surat kuasa khusus yang
memberikan kekuasaan pada bank untuk dapat menjual sendiri
agunan tersebut secara di bawah tangan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan hipotik, yang tidak secara
tegas menentukan penjualan di bawah tangan sebagai hal yang
dibolehkan. Namun, tidak pula ada ketentuan yang melarang
dilakukannya penjualan di bawah tangan. Mengingat ketentuan
hipotik tidak secara tegas menentuakan boleh atau tidak dilakukan
penjualan di bawah tangan atas objek hipotik telah timbul banyak
keraguan di kalangan masyarakat.65 Dikhawatirkan jual beli di
bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang melanggar
hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat
dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu
termasuk atas permintaan pemberi hipotik itu sendiri).
Dengan dicantumnya secara tegas dalam Pasal 20 ayat (2)
UUHT bahwa penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan
di bawah tangan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang
Hak Tanggungan, keragu-raguan itu akan lenyap. Penegasan ini
penting, karena di dalam praktik perbankan sering terjadi objek
Hipotik dijual di bawah tangan oleh bank, atas dasar kesepakatan
65 Sutan Remy, Sjahdeini, Hak Tanggungan, … Op. cit, hlm. 166
80
antara pemberi Hipotik dan bank sebagai pemegang Hipotik maupun
atas dasar kuasa untuk menjual di bawah tangan dari pemeberi
hipotik kepada bank.
Ketiga bentuk eksekusi Hak Tanggungan tersebut di atas
masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur
pelasanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan title
executorial berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan (sebelumnya
menggunakan Grosse Acte Hipotik), pelaksanaan penjualan benda
jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258
RBg, yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang
cukup lama. Sedangkan eksekusi secara di bawah tangan
pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan yang antara
lain adanya kesepakatan antara pemberi Hak Tanggungan (debitor)
dengan pemegang Hak Tanggungan (kreditor). Menurut Sutan
Remy Sjahdeini,66 dalam kaitannya dengan penjualan di bawah
tangan, masalah yang perlu dipecahkan adalah mengenai
keabsahan penjualan obyek Hak Tanggungan oleh bank,
berdasarkan surat kuasa untuk menjual di bawah tangan dari
pemberi Hak Tanggungan. Bagi para kreditor dan debitor untuk
menjual secara dibawah tangan adalah merupakan perkembangan
baru sebagai bentuk eksekusi dalam UUHT untuk perlindungan
66 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan
Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm. 67
83
BAB IV
EKSEKUSI PUTUSAN PERDATA UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA
A. Kebijakan Mahkamah Agung secara Umum dalam
Mendukung Kemudahan Berusaha
Peningkatan kemudahan berusaha (easy of doing business) di
Indonesia terus digalakkan seiring pelaksanaan program Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020. Sebab,
Pemerintah telah mencanangkan peningkatan rangking kemudahan
berusaha dari peringkat ke-109 menjadi peringkat ke-40. Survei
kemudahan berusaha dilakukan setiap tahun oleh World Bank.
Upaya peningkatan itu untuk menumbuhkembangkan sektor
usaha kecil-menengah dalam negeri sekaligus mendorong pertumbuhan
perekonomian dengan perangkat hukum memadai yang memberi
kepastian, keamanan, dan jaminan lebih baik dalam berusaha.
Misalnya, memberi kemudahan berbagai proses perizinan usaha,
pembebasan lahan, perpajakan. Lalu, bagaimana peran MA dan
pengadilan di bawahnya guna meningkatkan kemudahan berusaha?
Beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung Republik Indonesia
(MA RI) turut berperan meningkatkan kemudahan berusaha (easy of
doing business) di Indonesia. Realisasinya adalah, MA telah
menerbitkan sejumlah kebijakan dalam bentuk Surat Keputusan Ketua
MA (SK KMA), Peraturan MA (PERMA), atau Surat Edaran MA
84
(SEMA) sebagai perangkat hukum memadai yang memberi kepastian,
keamanan, dan jaminan lebih baik dalam berusaha.
Peran peradilan dalam kemudahan berusaha terutama ketika para
pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak melibatkan
pengadilan. Setidaknya, ada dua parameter kemudahan berusaha yang
beririsan dengan kewenangan peradilan yakni penegakan kontrak
(enforcing contract) dan penyelesaian kepailitan (resolving
insolvency). beberapa diantaranya SEMA No. 2 Tahun 2016 tentang
Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan. “Ini
sebagai tindak tindak lanjut dari regulasi sebelumnya yakni PERMA
No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana. Pada
prinsipnya, SEMA No. 2 Tahun 2016 ini untuk lebih mempercepat
proses penyelesaian perkara niaga. Sebab, selama ini proses
penyelesaian perkara niaga di Pengadilan Niaga masih memakan waktu
3-6 bulan. Tahapan dan jangka waktu penyelesaian perkara niaga lebih
disederhanakan, lebih cepat terutama dalam hal pemberesan boedel
pailit.
PERMA Gugatan Sederhana juga mempercepat proses
penyelesaian perkara perdata dan tahapannya lebih sederhana.
Penyelesaian gugatan perkara sederhana ini maksimal 25 hari sudah
diputus (putusan final) dengan hakim tunggal dan nilai objek
gugatannya di bawah Rp 200 juta. Seperti gugatan perdata biasa,
gugatan sederhana ini menetapkan kriteria sebagai perkara cidera janji
(wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH).
85
Sebelumnya, terbit pula SEMA No. 1 Tahun 2015 tentang Barang
Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan. SEMA No. 1 Tahun 2015
ini sebagai pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009
tentang Perikanan, mengatur teknis hukum pemusnahan kapal dalam
perkara pidana perikanan. Aturan ini juga merupakan bentuk dukungan
MA terhadap Pemerintah yang menginginkan adanya efek jera bagi
terdakwa, perusahaan pemilik kapal, atau operator kapal yang
melakukan pidana perikanan di wilayah Indonesia. Pemberian efek jera
ini dengan menenggelamkan atau pemusnahan barang bukti kapal yang
digunakan melakukan kejahatan pencurian ikan.
Dalam bidang penegakan hukum pidana korporasi, MA juga
menerbitkan PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. PERMA ini
sebagai pedoman penanganan (hukum acara) bagi aparat penegak
hukum menjerat entitas korporasi. Sebab, selama ini maraknya
kejahatan yang melibatkan korporasi sangat minim diproses hingga ke
pengadilan. Padahal, berbagai UU telah menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara
dan atau masyarakat, mulai pidana denda, uang pengganti, ganti rugi,
hingga penutupan korporasi.
Di tengah pesatnya industri ekonomi syariah, MA juga
menerbitkan PERMA No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Aturan ini mengatur prosedur
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama di antara
para pelaku ekonomi syariah yang terikat perjanjian akad syariah atas
86
dasar prinsip-prinsip syariah. Perkara sengketa ekonomi syariah
ditangani hakim peradilan agama yang telah mengantongi sertifikat
hakim ekonomi syariah sesuai syarat-syarat yang ditentukan Perma No.
5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Aturan ini
mengatur prosedur sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Hal terpenting dari substansi PERMA ini, perkara ekonomi
syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana (small claim
court) atau gugatan acara biasa baik secara lisan maupun tertulis ke
Kepaniteraan Pengadilan Agama yang berwenang. Adapun prosedur
hukum acara gugatan sederhana mengacu Perma No. 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Tenggang waktu
penyelesaian perkara ekonomi syariah ini mengacu SEMA No. 2 Tahun
2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan
Tingkat Banding. Untuk penyelesaian perkara tingkat pertama dan
banding paling lambat masing-masing 5 bulan dan 3 bulan.
Berdasarkan beberapa kebijakan tersebut yang dilakukan oleh
MA secara garis besar dapat dikatakan bahwa MA berkomitmen secara
kelembagaan untuk mendukung upaya pemerintah dalam
meningkatkan kemudahan berusaha, namun dukungan tersebut tentu
disedusikan dengan fungsi daan tugas pokok Mahkamah agung dan
peradilan di bawahnya dalam menyelesaikan suatu sengketa. Namun
ada beberpa hal yang perlu disoroti dan dikaji kembali terkait dengan
kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan terutama dalam sengketa perdata. Permasalahan eksekusi
87
ini tidak kalah rumitnya dengan proses penyelesaian perkara itu sendiri.
Banyak putusan-putusan pengadilan dalam perkara perdata yang tidak
mudah untuk diesksekusi. Banyak putusan perdata yang sudah
memiliki kekuatan hukum tetap, namun sulit untuk dieksekusioleh
Pengadilan. Hal ini tentu menjadi persolan penting dan perlu mendapat
perhatian khusus dari MA agar dukungan terhadap kebijakan
pemerintah dalam meningkatkan kemudahan berusaha harus dilakukan
secara total sampai pada tahapan akhir pelaksanaan putusan pengadilan
agar para pihak mendapatkan haknya setelah adanya putusan
pengadilan.
B. Eksekusi Putusan Perdata dalam Konteks Kemudahan
Berusaha
1. Prosedur Eksekusi Putusan Perdata di Pengadilan
a. Eksekusi riil
Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-
perkara yang menjadi wewenang Pengadilan dapat
ditempuh tahapan-tahapan sebagai berikut :
(1) Pengajuan Permohonan pihak yang menang.
Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan
putusan Pengadilan secara sukarela, maka pihak yang
menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk
dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam
amar putusan.
88
Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan merupakan suatu keharusan yang harus
dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan tersebut
dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam
Pasal 207 ayat (1) R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak
yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan
secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan
yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memutus
perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara
paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi
putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut
maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan.
(2) Penaksiran biaya eksekusi
Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan
eksekusi dari pihak yang berkepentingan, maka segera
memerintahkan meja satu untuk menaksir biaya eksekusi
yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi yang
dilaksanakannya. Biaya yang diperlukan meliputi biaya
pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya
pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah
biaya eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang
menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang
ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah
permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register
eksekusi.
89
(3) Melaksanakan peringatan (Aan maning)
Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan berupa teguran kepada
pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara
sukarela. Aanmaning dilakukan dengan melakukan
panggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan
hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan
tersebut.
Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara:
a. melakukan sidang insidentil yang dihadiri oleh Ketua
Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah;
b. memberikan peringatan atau tegoran supaya ia
menjalankan putusan Hakim dalam waktu delapan hari;
c. membuat berita acara Aan maning dengan mencatat
semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut
sebagai bukti othentik, bahwa Aan maning telah
dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi
perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang
Aanmaning, dan ketidakhadirannya dapat
dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu dapat
dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil
kembali untuk Aanmaning yang kedua kalinya. Jika
ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara
resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka
90
gugur haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses
sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan.
Secara ext officio Ketua Pengadilan dapat langsung
mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada
Panitera/Jurusita.
(4) Mengeluarkan surat perintah eksekusi
Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan
(Aan maning) sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah
tidak menjalankan putusan, dan tidak mau menghadiri
panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka
Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan
ketentuan;
a. Perintah eksekusi itu berupa penetapan;
b. Perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang
namanya harus disebut dengan jelas;
c. harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak
dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi;
d. perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan
tidak boleh di belakang meja;
e. isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan
amar putusan.
Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan
surat perintah eksekusi dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan,
apakah surat perintah eksekusi tersebut dikeluarkan
terhitung sejak panggilan tidak dipenuhi oleh pihak yang
91
kalah, atau setelah pihak yang menghendaki eksekusi
mengajukan permohonan kembali setelah pihak yang kalah
tidak mau mengindahkan peringatan sesuai dengan waktu
yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang
terakhir ini banyak dipergunakan oleh Pengadilan dalam
melaksanakan eksekusi riil dengan pertimbangan bahwa
pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada pendapat
yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting
untuk kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu
permohonan pelaksanaan eksekusi diperlukan untuk adanya
kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri, sebab tidak
sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan
putusan setelah diadakan peringatan bersedia melaksanakan
putusan tersebut secara sukarela, sehingga tidak perlu
dilaksanakan eksekusi lagi.
Selain dari hal tersebut di atas, maka praktisi hukum
masih mempersoalkan kepada siapa perintah eksekusi
diberikan, apakah kepada Panitera atau Jurusita, atau juga
kepada kedua-duanya secara bersamaan. Terhadap hal ini
sebenarnya dapat diketahui lewat beberapa ketentuan
perundang-undangan. Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Nomor : 14 Tahun 1970 dikemukakan bahwa
pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata
dilakukan oleh Panitera dan Jurusita yang dipimpin oleh
Ketua Pengadilan. Kemudian dalam Pasal 57 Undang-
92
undang Nomor 13 Tahun 1965 ditentukan dalam perkara
perdata, Panitera melaksanakan keputusan Pengadilan
bertindak pula sebagai Jurusita. Dalam Pasal 197 ayat (2)
dan ayat (6) HIR, Pasal 209 ayat (1), Pasal 210 ayat (1)
R.Bg. penyitaan dilakukan oleh Panitera dengan dibantu
oleh dua orang saksi. Kemudian dalam Pasal 197 ayat (3)
HIR. dan Pasal 209 ayat (2) R.Bg. ditentukan apabila
Panitera berhalangan, ia dapat diganti oleh orang ditunjuk
untuk itu.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang
diberi wewenang untuk melaksanakan eksekusi adalah
Panitera. Apabila Panitera berhalangan maka dilakukan oleh
Jurusita. Jadi tidak dilaksanakan bersama-sama, melainkan
Panitera sendiri atau Jurusita sendiri dengan dibantu oleh
dua orang saksi.
b. Pelaksanaan eksekusi riil
Perintah eksekusi yang dibuat Ketua Pengadilan,
Panitera atau apabila ia berhalangan dapat diwakilkan
kepada Jurusita dengan ketentuan harus menyebut dengan
jelas nama petugas dan jabatannya yang bertugas
melaksanakan eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 197
ayat (1) HIR dan Pasal 209 R.Bg. Dalam pelaksanaan
eksekusi tersebut, Panitera atau Jurusita dibantu dua orang
saksi berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang
93
berfungsi membantu Panitera atau Jurusita yang
melaksanakan eksekusi, sebagaimana diatur dalam Pasal
197 ayat (6) HIR dan Pasal 210 R.Bg.
Panitera atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi
harus datang ke tempat objek barang yang di eksekusi, tidak
dibenarkan mengeksekusi barang-barang hanya di belakang
meja atau dengan cara jarak jauh. Eksekusi harus
dilaksanakan sesuai dengan bunyi amar putusan, apabila
barang-barang yang dieksekusi secara nyata berbeda dengan
amar putusan, maka Panitera atau Jurusita yang melakukan
eksekusi harus menghentikan eksekusi tersebut, dan
membuat berita acara bahwa eksekusi tidak dapat
dilaksanakan karena amar putusan dengan objek yang akan
dieksekusi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Berita acara eksekusi harus memuat hal-hal : (1) jenis
barang-barang yang dieksekusi, (2) letak, ukuran dan luas
barang tetap yang dieksekusi, (3) hadir tidaknya pihak yang
tereksekusi, (4) penegasan dan keterangan pengawasan
barang, (5) penjelasan non bavinding bagi yang tidak sesuai
dengan amar putusan, (6) penjelasan dapat atau tidaknya
eksekusi dijalankan, (7) hari, tanggal, jam, bulan dan tahun
pelaksanaan eksekusi. (8) berita acara eksekusi ditanda
tangani oleh pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi,
Kepala Desa/Lurah setempat dan tereksekusi.
Kepala Desa/Lurah, Camat dan tereksekusi secara
94
yuridis formal tidak diwajibkan menandatangani berita
acara. Namun untuk menghindari hal-hal yang mungkin
timbul di belakang hari, sebaiknya kepada mereka ini
diharuskan menandatangani berita acara eksekusi yang
dibuat oleh Panitera atau Jurusita yang melaksanakan
eksekusi tersebut.
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5) HIR, Panitera atau
orang yang ditunjuk sebagai penggantinya membuat berita
acara eksekusi yang dilakukannya, dan kepada tereksekusi
supaya diberitahukan tentang eksekusi tersebut jika ia hadir
pada waktu eksekusi dilaksanakan maka pemberitahuan itu
dilaksanakan dengan cara menyerahkan salinan/fotokopi
berita acara eksekusi tersebut.
c. Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi sejumlah uang
diatur dalam Pasal 197-200 HIR dan Pasal 208-218 R.Bg.
Apabila amar putusan berisi penghukuman pembayaran
sejumlah uang, berarti Tergugat dipaksa untuk melunasi
sejumlah uang kepada Penggugat dengan jalan menjual lelang
harta kekayaan Tergugat. Objeknya adalah sejumlah uang
yang dilunasi Tergugat kepada Penggugat. Eksekusi ini dapat
dilaksanakan berulang-ulang sampai pembayaran sejumlah
uang selesai pembayarannya.
Dalam praktek Peradilan, eksekusi pembayaran
sejumlah uang dilaksanakan dalam beberapa tahapan sebagai
95
berikut :
(1) Mengeluarkan penetapan sita eksekusi
Setelah Pengadilan menerima permohonan eksekusi
dari pihak yang menang, segera mengeluarkan surat
panggilan kepada pihak yang kalah untuk menghadiri sidang
Aan maning (tegoran) agar pihak yang kalah itu mau
melaksanakan putusan secara sukarela, sebagaimana diatur
dalam Pasal 207 ayat (1) dan (2) R.Bg. dan Pasal 196 HIR.
Apabila pihak yang kalah tidak bersedia
melaksanakan putusan Pengadilan, padahal sudah
dilaksanakan peringatan, maka Ketua Pengadilan
mengeluarkan penetapan sita eksekusi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 208 R.Bg. dan Pasal 197 HIR dan Pasal
439 Rv. Bentuk surat sita eksekusi adalah berupa penetapan
yang ditujukan kepada Pantiera atau Jurusita dengan
menyebutkan namanya secara jelas.
Jika dalam surat putusan Pengadilan sudah ada
diletakkan sita jaminan (CB), maka sita eksekusi tidak
diperlukan lagi, sita jaminan (CB) tersebut dengan
sendirinya menjadi sita eksekusi, cukup dikeluarkan surat
penegasan bahwa sita jaminan (CB) itu menjadi sita
eksekusi. Seluruh ketentuan dan tata cara sita jaminan (CB)
berlaku sepenuhnya terhadap sita eksekusi.
96
(2) Mengeluarkan perintah eksekusi
Setelah penetapan sita eksekusi dilaksanakan, maka
proses selanjutnya adalah mengeluarkan surat perintah
eksekusi yang dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan. Surat
perintah eksekusi tersebut berisi perintah penjualan lelang
barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya
dengan menyebut jelas objek yang akan dieksekusi serta
menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.
(3) Pengumuman lelang
Tahap berikutnya adalah melaksanakan pengumuman
melalui surat kabar dan mass media terhadap barang-barang
yang akan dieksekusi lelang sesuai dengan Pasal 200 ayat
(6) HIR dan Pasal 217 ayat (1) R.Bg. Pengumuman lelang
barang bergerak dilakukan menurut kebiasaan setempat
dengan cara menempelkan pemberitahuan lelang pada
papan pengumuman Pengadilan atau pengumuman melalui
surat kabar dan mass media lainnya. Saat pengumuman ini
boleh dilaksanakan sesaat setelah sita eksekusi
diperintahkan, atau sesaat setelah lewat peringatan bila telah
ada sita jaminan (CB) sebelumnya.
Penjualan lelang dapat dilakukan paling cepat delapan
hari dari tanggal sita eksekusi atau paling cepat delapan hari
dari peringatan apabila barang yang hendak dilelang telah
diletakkan dalam sita jaminan (CB) sebelumnya. Jika barang
yang akan dilelang meliputi barang yang tidak bergerak,
97
pengumumannya disamakan dengan barang yang tidak
bergerak yakni melalui mass media, pengumuman cukup
satukali dan dilaksanakan paling lambat 14 hari dari tanggal
penjulan lelang.
(4) Permintaan lelang
Jika pengumuman telah dilaksanakan sebagaimana
ketentuan tersebut di atas, Ketua Pengadilan meminta
bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang
barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusi.
Surat permintaan lelang yang ditujukan kepada Kantor
Lelang Negara itu dilampiri surat-surat sebagai berikut :
a) Salinan surat putusan Pengadilan.
b) Salinan penetapan eksekusi.
c) Salinan berita acara sita.
d) Salinan penetapan lelang.
e) Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang
berkepentingan.
f) Perincian besarnya jumlah tagihan.
g) Bukti pemilikan (sertifikat tanah) barang lelang.
h) Syarat-syarat lelang.
i) Bukti pengumuman lelang.
(5) Pendaftaran permintaan lelang
Kewajiban pendaftaran permintaan lelang pada Kantor
Lelang sesuai Pasal 5 Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189.
98
Kantor Lelang mendaftarkan permintaan lelang itu dalam
buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran itu terbuka
untuk umum. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada siapa saja supaya melihat pendaftaran
tersebut, sehingga bagi yang berminat untuk ikut dalam
pelelangan tersebut dapat menentukan sikapnya.
(6) Penetapan hari lelang
Kantor Lelang Negera yang berwenang menetapkan
hari lelang. Ketua Pengadilan boleh mengusulkan hari
lelang agar dilaksanakan pada hari yang ditentukan oleh
Pengadilan, tetapi sepenuhnya terserah kepada Kantor
Lelang Negara untuk menetapkannya dan Kantor Lelang
Negara tidak terikat dengan permintaan Ketua Pengadilan,
dia dapat menentukan waktu lelang dilaksanakan sendiri
tenpa dipengaruhi oleh pihak lain.
(7) Penentuan syarat lelang dan floor price
Berdasarkan Pasal 1b dan Pasal 21 Peraturan Lelang
Stb. 1908 No. 189 ditentukan bahwa yang menetapkan dan
yang menentukan syarat lelang adalah Ketua Pengadilan
yang bertindak sebagai pihak penjual untuk dan atas nama
tereksekusi. Kewenangan ini meliputi juga berubah syarat
lelang yang sudah ditentukan sebelumnya.
Syarat yang paling penting dalam pelaksanaan lelang
adalah tata cara penawaran dan tata cara pembayaran.
99
Syarat-syarat ini harus dilampirkan pada permintaan lelang
agar umum mengetahuinya. Penggugat atau Tergugat dapat
mengusulkan syarat, tetapi usul tersebut dapat
dipertimbangkan, dan tidak berpengaruh pada pelaksanaan
lelang sebab yang menentukan adalah Ketua Pengadilan
yang melaksanakan lelang.
Pasal 9 Peraturan Lelang Stb, 1908 No. 189 ditetapkan
pula bahwa patokan harga terendah merupakan harga yang
disetujui untuk membenarkan penjualan lelang. Dalam hal
ini yang berwenang adalah Kantor Lelang Negera, bukan
pihak Penggugat atau tereksekusi. Ukuran floor price adalah
sesuai dengan harga pasaran dengan memperhatikan nilai
ekonomis barang.
(8) Tata cara penawaran
Bagi pihak-pihak yang berminat ikut dalam acara
lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara,
maka pihak tersebut harus mengajukan penawaran secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebut nama dan
alamat penawar secara jelas dan terang, menyebutkan harga
yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak penawar.
Penawaran harus dilaksanakan secara sendiri-sendiri, tidak
boleh dilakukan secara bersama-sama. Juru lelang harus
menolak penawaran yang lebih dari satu orang dalam satu
surat penawaran.
Penawaran lisan dapat dibenarkan jika dalam
100
penawaran tertulis tidak berhasil. Jadi penawaran lisan ini
merupakan lanjutan dari penawaran tertulis, maksudnya
apabila tidak satu pun surat penawaran yang mencapai
patokan harga (floor price), maka penawaran dapat
dilanjutkan secara lisan. Tetapi kebolehan tersebut terlebih
dahulu harus ada persetujuan pihak penjual dalam hal ini
Pengadilan. Sehubungan dengan hal ini, jika penawaran
tertulis gagal, maka Ketua Pengadilan sebaiknya segera
menetapkan penawaran secara lisan.
Pendaftaran penawaran diajukan oleh pihak yang ikut
lelang kepada Kantor Lelang dengan cara memasukkan
kertas penawaran itu dalam amplop tertutup. Selanjutnya
Kantor Lelang Negara segera mendaftarkan penawaran itu
dalam buku yang telah disediakan untuk itu.
(9) Pembeli lelang dan menentukan pemenang
Pembeli lelang adalah penawar tertinggi dan tawaran
itu minimal sesuai dengan floor price. Untuk mendukung
kemenangannya diperlukan syarat yaitu penelitian secara
seksama tentang keabsahan pendaftaran, disamping itu perlu
diteliti kemampuan pembayaran sehingga jangan sampai
terjadi hal-hal yang merugikan pihak pelaksana lelang dan
pemohon eksekusi.
Setelah hal tersebut di atas dilaksanakan, maka
barulah juru lelang mengumumkan atau menentukan
pemenangnya. Jika terjadi beberapa penawaran yang sama
101
nilai penawarannya, maka pihak yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan atas penentuan pemenang lelang
tersebut, keberatan tersebut diajukan kepada Pengadilan
yang melaksanakan lelang (penjual), namun terserah
Pengadilan untuk menerima atau menolak keberatan
tersebut.
Dalam praktek Peradilan, biasanya juru lelang
mengajukan pemenang kepada Pengadian dengan tujuan
untuk mendapatkan pengesahan, setelah mendapat
pengesahan dari Pengadilan maka barulah juru lelang
mengeluarkan penetapan pemenang.
(10) Pembayaran harga lelang
Pengadilan berhak menentukan syarat-syarat
pembayaran lelang. Ketentuan ini harus berpedoman kepada
Pasal 26 Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Apabila
harga relatif kecil, maka pembayaran harga lelang harus
dilakukan secara tunai, karena hal ini tidak sulit bagi
pembeli untuk melunasinya. Jika telah ditetapkan
pembayaran harus dilaksanakan secara tunai, tetapi para
pemenang lelang tidak melunasi secara tunai sebagaimana
yang telah ditetapkan, maka gugur haknya sebagai
pemenang lelang, atau pembeli.
Jika pemenang lelang membayar sebahagian dan
menunda sebahagian, dapat dibenarkan dalam jangka waktu
beberapa hari saja (tidak terlalu lama), inipun harus
102
dilaksanakan dengan memberikan jaminan kepada pihak
penjual (Pengadilan). Dalam hal ini pembayaran mesti
langsung dilunasi sesaat setelah penawar dinyatakan sebagai
pemenang, sisanya dilunasi pada jangka waktu yang
ditentukan.
Apabila pembayaran ditunda keseluruhan, dapat
dibenarkan apabila harga lelang dalam jumlah besar.
Ketentuan ini dapat dibenarkan apabila ditentuakan terlebih
dahulu dalam syarat lelang atau ada izin dari pengawas
kantor lelang. Hal ini dengan pertimbangan, bahwa
pemenang lelang itu tidak mungkin menyiapkan segera
pembayaran dalam waktu singkat, dengan ketentuan harus
memberikan jaminan yang sama nilainya dengan harga
pembayaran lelang. Apabila dalam waktu yang ditetapkan
pemenang lelang belum membayar harga lelang
sebagaimana yang ditentukan maka atas kelalaian itu
dikenakan denda sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
22 ayat (7) Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Jika
melunasi tepat waktu, didenda 2 % dari jumlah yang belum
dibayar dan jika kelalaian pembayaran melampaui satu
bulan, denda dinaikan menjadi 5 % dari jumlah yang belum
dibayar. Hal ini analog dengan Pasal 1246 KUH Perdata.
103
2. Proses Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Beberapa Sengketa
Perdata
Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan
cara-cara mudah, sederhana, dan biaya yang ringan, sebagaimana
asas peradilan yang menyatakan bahwa proses peradilan
dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini
seharusnyapun dapat diterapkan dalam penyelesaian akhir dari
suatu putusan pengadilan yaitu pada tahap eksekusi putusan
pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun
dalam realitanya, masih terdapat beberapa putusan pengadilan
dalam sengketa perdata yang sangat sulit dan memakan waktu yang
cukup lama untuk dieksekusi. Proses eksekusi yang begitu lama
tentu dapat merugikan para pihak dalam memperoleh haknya
setelah adanya putusan pengadilan yang memenangkan
perkaranya. Beberapa contoh putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap namun sulit untuk dieksekusi dapat di jelaskan berikut
ini, sebagai suatu gambaran rill bahwa seseorang mendapatkan
haknya dalam peneyelesaian sengketa tidak hanya sebatas adanya
putusan pengadilan yang memenangkannya naumun hak itu harus
diperolehnya sampai pada tahap akhir pelaksanaan putusan
tersebut oleh ketua Pengadilan negeri.
a. Permohonan Eksekusi Pelelangan No.1649/Pdt.G/2007/
PN.Jak.Sel
ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA (APHI),
Sebagai Penggugat/Terbanding I/Termohon Kasasi/Pemohon
104
Eksekusin; melawan PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK.,
cq. PT. BANK MANDIIRI (Persero) Tbk. Cabang Panglima
Polim, Tergugat/Pembanding/Pemohon Kasasi/Termohon
Eksekusi; GATOT CAHYANTO, Turut Tergugat I/Turut
Terbanding/Turut Termohon Kasasi; Alm. YULIANUS
INDRAYANA cq. H. PERWITA SARI, Turut Tergugat II Turut
Terbanding/Turut Termohon Kasasi; Ir. ISMAIL P. SYAFUDIN,
Turut Tergugat III/Turut Terbanding/Turut Termohon Kasasi;
RAHADIAN TAREKAT, Turut Tergugat IV / Turut Terbanding /
Turut Termohon Kasasi; dan KUNCORO HARYOMUKTI, Turut
Tergugat V / Turut Terbanding / Turut Termohon Kasasi.
Dasar pelaksanaan eksekusi adalah Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tanggal 13 Mei 2008 No.1649/Pdt.G/
2007/PN.Jkt.Sel., jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta
tanggal 24 Pebruari 2009 No.65/Pdt/2009/PT.DKI., jo. Putusan
Mahkamah Agung R.I tanggal 30 Nopember 2009 No.1849
K/Pdt/2009. Dengan data-data sebagai berikut:
Bahwa yang menjadi dasar permohonan eksekusi adalah
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tertanggal 24 Pebruari 2009
No.65/Pdt/2009/PT.DKI., yang amarnya bersifat Condemnatoir
adalah ad.5, 6 dan ad 7 berbunyi sebagai berikut :
a. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar
kerugian yang dialami oleh Terbanding semula Penggugat
akibat perbuatan cidera janji/Wanprestasi tersebut sebanyak
Rp.50.000.000.000,- + Rp.39.083.333.333,- =
105
Rp.89.083.333.333,- (delapan puluh sembilan milyar delapan
puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh tiga ribu tiga ratus tiga puluh
tiga rupiah);
b. Menghukum Turut Terbanding I, II, III, IV dan V semula Turut
Terugat I, II, III, IV dan V untuk tunduk dan mematuhi putusan
ini;
c. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar
ongkos perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam
tingkat banding sebanyak Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah);
Bahwa sebagaimana uraian tersebut di atas, Pemohon
mengajukan permohonan eksekusi Putusan yang dimaksud dengan
suratnya tanggal 4 Maret 2010;
Bahwa atas dasar permohonan Pemohon Eksekusi
sebagaimana termaksud di atas, telah ditindak lanjuti dengan surat
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 10 Juni
2010 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., tentang perintah untuk
melakukan pemanggilan terhadap Termohon Eksekusi/PT. BANK
MANDIRI (PERSERO) TBK., cq. PT. BANK MANDIIRI
(Persero) Tbk., Cabang Panglima Polim, agar dalam waktu yang
telah tentukan oleh Undang-Undang melaksanakan Putusan
Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta tanggal 24 Pebruari 2009
No.65/Pdt/2009/PT.DKI.,
Bahwa Termohon Eksekusi PT. BANK MANDIRI
(PERSERO) TBK., cq. PT. BANK MANDIIRI (Persero) Tbk.,
106
Cabang Panglima Polim, telah diberi tegoran sebagaimana
mestinya yang dituangkan dalam Berita Acara Teguran/Peringatan
tanggal 7 Juli 2010 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel.;
Bahwa tenggang waktu menurut Undang-Undang telah
berakhir, sehingga Pemohon Eksekusi dengan suratnya tanggal 22
Juli 2010 mengajukan permohonan untuk melakukan sita eksekusi
terhadap asset milik Termohon Eksekusi, berupa:
“Tanah berikut bangunan di atasnya yang terletak di Jl.
Jenderal Gatot Subroto Kav.36-38 Jakarta Selatan, Sertipikat
Hak Guna Bangunan No.346/Senayan seluas 39,470 (tiga puluh
sembilan ribu empat ratus tujuh puluh) M2, tertulis atas nama
PT. BANK MANDIRI;
Bahwa terhadap permohonan sita eksekusi tersebut telah
dimintakan petunjuk kepada Ketua Mahkamah Agung R.I., dengan
surat tanggal 24 Agustus 2010 No.W10.U2/308/
Hk.02.01/VIII/2001 perihal penyitaan eksekusi barang Milik
BUMN dalam rangka eksekusi putusan Pengadilan Tinggi DKI.
Jakarta tanggal 24 Pebruari 2009 No.65/Pdt/2009/PT.DKI.,
berkekuatan hukum tetap;
Bahwa dengan adanya surat Panitera Mahkamah Agung R.I.,
tanggal 31 Agustus 2010 Nomor:322/PAN/VIII/2010, perihal
pelaksanaan sita eksekusi, yang ditujukan kepada Christofel
Butarbutar, SH. MH., kuasa Pemohon Eksekusi, maka Pemohon
Eksekusi dengan suratnya tanggal 22 Oktober 2010 memohon
107
untuk dilakukan sita eksekusi terhadap asset PT. BANK
MANDIRI (Persero) Tbk.;
Bahwa Ketua MARI dengan suratnya tertanggal 28
Desember 2010 No.182/KMA/XII/-2010, telah memberikan
petunjuk kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bahwa ternyata permohonan PK telah ditolak sebagaimana
putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 18 Oktober 2010 No.399
PK/Pdt/2010, yang amarnya sebagai berikut:
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari : PT. BANK
MANDIRI (PERSERO) Tbk., Cq. PT. BANK MANDIRI
(PERSERO) Tbk., Cabang Panglima Polim tersebut;
Bahwa sesuai dengan Catatan Bapak Ketua Nomor:
1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel, pada poin ke 4 menyebutkan “ bahwa
sebelum adanya permohonan penundaan eksekusi dari Termohon
Eksekusi (PT. Bank Mandiri) kiranya tidak ada alasan untuk
menunda”;
Bahwa pihak Termohon Eksekusi /PT. BANK MANDIRI
dalam hal ini kuasanya Sdr. SENTOT PANCA WARDANA,SH,
dengan surat permohonan tertanggal 25 April 2011 No.025/SAS-
BMI/APHI-EKS/IV/2011, mengajukan permohonan penundaan
pelaksanaan putusan /eksekusi putusan No.399 PK/PDT/2010 jo.
1849 K/Pdt/2009 jo. No. 65/Pdt/2009/PT.DKI. jo.
No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel, dengan alasan telah mengajukan
gugatan baru yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yaitu perkara:
108
a. No.116/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
b. No.117/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
c. No.118/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
d. No.119/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
Mohon agar eksekusi ditunda sampai dengan perkara
gugatan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht);
Bahwa atas permohonan Termohon Eksekusi / PT. BANK
MANDIRI Tbk., telah diterbitkan surat Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 8 Juni 2011, tentang
penundaan Eksekusi perkara tersebut sampai perkara gugatan :
a. No.116/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
b. No.117/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
c. No.118/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
d. No.119/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel;
Diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Bahwa telah
diputusnya perkara-perkara tersebut di atas Pemohon kembali
mengajukan permohonan sita eksekusi terhadap asset Termohon
Eksekusi/Tergugat dengan suratnya tanggal 23 Desember 2011;
Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut telah ditindak
lanjuti dengan surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan tanggal 5 Maret 2012 No.1649/Pdt.G/2007/-PN.Jkt.Sel.,
tentang perintah untuk dilakukan teguran kembali terhadap
Termohon eksekusi/Tergugat;
109
Bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditentukan yakni
hari: Rabu, tanggal 4 April 2012 telah dilakukan teguran
sebagaimana mestinya terhadap Termohon Eksekusi yang
dituangkan dalam Berita Acara Teguran/Peringatan Lanjutan
tanggal 4 April 2012 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., yang
memberikan keterangan sebagai berikut :
a. Bahwa pihak kami ada upaya banding terhadap perkara yang
baru;
b. Bahwa klien kami sangat berat pertanggung jawabannya kepada
BPKP;
c. Bahwa terhadap yang 4 (empat) orang juga dibebankan kepada
klien kami Bank Mandiri;
d. Bahwa soal wacana untuk menitipkan uang yang pernah
disinggung pada prinsipnya Bank Mandiri tidak menyetujui;
e. Apabila dari jumlah putusan tersebut Bank Mandiri bersedia
untuk melaksanakan dari 1/5 (seperlima) jumlah putusan;
f. Kami mohon kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.
Bahwa Termohon Eksekusi/Bank Mandiri dengan suratnya
tanggal 4 April 2012 memohon kepada Pengadilan untuk
membatalkan rencana eksekusi Putusan perkara
No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., terhadap Kantor Pusat PT.
BANK MANDIRI (Persero) Tbk.;
110
Bahwa Pemohon eksekusi dengan surat permohonannya
tanggal 9 April 2012 memohon kepada Pengadilan untuk
melakukan sita eksekusi, berupa:
1. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Panglima Polim Raya No.192, Jakarta Selatan;
2. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Mampang Prapatan Raya No.61, Jakarta Selatan;
3. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Ruko Veteran Raya Permai Jl. RC. Veteran No.17E.
Jakarta Selatan;
4. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda No.8A, Jakarta Selatan;
5. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Burung Gereja Blok B2 HS2 No.6 Sektor II,
Bintaro Jaya, Jakarta Selatan;
6. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. KH. Abdul Syafie No.45E, Tebet, Jakarta Selatan;
7. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.115, Jakarta Selatan;
8. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Jl. Wijaya II Komplek Grand Wijaya Center Blok B
1-3, Jakarta Selatan;
9. Sebidang tanah berikut bangunan yang berdiri di atasnya,
terletak di Ruko ITC Fatmawati No.17, Jl. RS. Fatmawati,
Jakarta Selatan.
111
Bahwa atas permohonan Pemohon Eksekusi termaksud telah
ditindak lanjuti dengan surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tanggal 9 Agustus 2012
No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., telah diperintahkan untuk
melakukan penyitaan eksekusi hanya terhadap :
Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya,
seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan
No.686, No.197, No. 659 dan No.430, tertulis atas nama PT.
BANK MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Thamrin No.5,
Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat;
yang berada di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat;
Bahwa terhadap tanah berikut bangunan termaksud telah
diletakkan penyitaan persamaan oleh Jurusita Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagaimana Berita Acara Sita Persamaan tanggl 3
Oktober 2012 No.012/Del/2012/PN.Jkt.Pst. jo. No.1649/Pdt.G/
2007/PN.Jkt.Sel., atas dasar surat Penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 18 September 2012
No.012/Del/2012/PN.Jkt.Pst. jo. No.1649/Pdt.G/2007/ PN.Jkt.Sel;
Bahwa terhadap tanah berikut bangunan termaksud
diletakkan sita persamaan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat oleh karena sebelumnya telah diletakkan penyitaan eksekusi
atas permintaan Pengadilan Negeri Surabaya;
Bahwa Pemohon Eksekusi melalui kuasa hukumnya CHRIS
BUTAR BUTAR & PARTNERS dengan suratnya tanggal 16
112
Oktober 2012 memohon kepada Pengadilan untuk melakukan
eksekusi pelelangan terhadap :
Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya,
seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan
No.686, No.197, No. 659 dan No.430, tertulis atas nama PT.
BANK MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Thamrin No.5,
Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta
Pusat;yang sebelumnya telah diletakkan sita persamaan oleh
Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
Selanjutnya bahwa Termohon Eksekusi/PT. BANK
MANDIRI (Persero) Tbk., melalui kuasa hukumnya SENTOT,
SH. & Associates Law Firm dengan suratnya tanggal 29 Nopember
2012 memohon kepada Pengadilan untuk menunda pelaksanaan
eksekusi dengan alasan :
1. adanya perkara Bantahan eksekusi
No.461/Pdt.Bth/2012/PN.Jkt.Pst.;
2. objek tersebut sebelumnya telah diletakkan penyitaan eksekusi
atas permintaan Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara
No.77/Eks/2010/PN.Sby. jo. No.215/ Pdt.G/2007/PN.Sby.
Bahwa sebagaimana disposisi Bpk. Ketua tanggal 21 Januari
2013 pada Resume tanggal 15 Januari 2013 “Agar ditunggu proses
perkara bantahannya terlebih dahulu “
Bahwa Pemohon Eksekusi/Penggugat dengan suratnya
tanggal 23 Agustus 2013 memohon kembali kepada Pengadilan
untuk dilaksanakan eksekusi pelelangan atas asset Termohon
113
Eksekusi / PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., yang telah
diletakkan sita Persamaan, berupa :
“sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya
seluas 12.005 M2 dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan
No.686, No.197, No.659 dan 430 tertulis atas nama PT. BANK
MANDIRI (Persero), terletak di Jalan Thamrin No.5
Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat,
setempat dikenal dengan Gedung Bank Mandiri Jalan MH.
Thamrin No.5 Jakarta;
Dengan alasan bahwa perkara bantahan
No.461/Pdt.Bth/2012/PN.Jkt.Pst., telah diputus Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 23 Juli 2013, yang
amarnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Pembantah adalah Pembantah yang tidak benar;
2. Menolak bantahan Pembantah untuk seluruhnya;
3. Menghukum Pembantah untuk membayar biaya-biaya yang
timbul dalam perkara ini yang hingga sekarang berjumlah
Rp.8.016.000,- (delapan juta enam belas ribu rupiah);
Disposisi Ketua PN.Jak.Sel., pada Resume tanggal 7 Oktober
2013 memberi pendapat sebagai berikut :
a. Bahwa oleh karena penyitaan yang telah dilaksanakan terhadap
objek eksekusi adalah sita persamaan, terhadap penyitaan yang
telah lebih dahulu dilakukan atas permintaan PN. Surabaya
maka PN.Jakarta Selatan harus menunggu pelaksanaan eksekusi
PN.Surabaya, atau Sitanya harus diangkat terlebih dahulu oleh
114
yang bersangkutan, atau Pemohon mengajukan objek eksekusi
yang belum dibebani sesuatu hak lain atau penyitaan lain
sebelumnya;
b. Bahwa Pemohon eksekusi kembali mengajukan permohonan
ulang sita eksekusi dengan suratnya tanggal 24 Desember 2013,
terhadap Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di
atasnya seluas 2.326 M2 dengan Sertipikat Hak Milik
No.387/Mampamg Prapatan tertulis atas nama PT. BANK
MANDIRI (Persero) terletak di Jalan Buncit Raya No.61,
Kelurahan Mampang Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan;
Atas permohonan Pemohon Eksekusi telah diterbitkan
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 4 April
2014 No.1649/Pdt.G/2007/-PN.Jkt.Sel., diperintahkan untuk
dilakukan sita eksekusi terhadap objek termaksud.
Bahwa objek termaksud tidak dapat dilaksanakan oleh
Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Berita
Acara Sita Eksekusi tanggal 21 April 2014
No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel. Bahwa Pemohon eksekusi
dengan suratnya tanggal 22 April 2014 mengajukan permohonan
ulang sita eksekusi, dan atas permohonan Pemohon Eksekusi
termaksud telah ditindak Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tanggal 7 Mei 2014
No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel., diperintahkan untuk dilakukan
sita eksekusi terhadap:
115
Sebidang tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atasnya
seluas 2.326 M2 dengan Sertipikat Hak Milik No.387/Mampamg
Prapatan tertulis atas nama PT. BANK MANDIRI (Persero) yang
dahulu terletak di Jalan Buncit Raya No.61, Kelurahan Mampang
Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,
sekarang di Jalan Mampang Prapatan Raya No.61, Kelurahan
Mampang Prapatan, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan yang telah diletakkan sita eksekusi oleh Jurusita
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Berita Acara Sita
Eksekusi tanggal 20 Mei 2014 No.1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel.
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkirim surat
kepada Ketua Mahkamah Agung RI dengan surat tanggal 28
Desember 2010 No.W10.U3/308/HK.02.01/VIII/2010 perihal
Penyitaan Eksekusi barang milik BUMN dalam rangka eksekusi.
Bahwa sehubungan dengan surat diatas, Ketua Mahkamah
Agung telah menjawab surat tersebut pada tanggal 28 Desember
2010 No.182/KMA/XII/2010. Atas dasar petunjuk Ketua
Mahkamah Agung RI tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menerbitkan Penetapan No. 1649/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel
tanggal 8 Junin 2011 yang menetapkan menunda Pelaksanaan
Eksekusi;
b. Eksekusi Yang Tidak Dapat Dilaksanakan Putusan
No.09/Eks.Pdt/2016 jo.No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel
PT. ACSET INDONUSA, sebagai Penggugat/Terbanding/
Termohon Kasasi/selaku Pemohon Eksekusi melawan PEM.RI
116
CQ. KEMENTRIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA CQ.
PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA, sebagai Tergugat
/Pembanding/Pemohon Kasasi/Termohon Eksekusi;
Dasar permohonan eksekusi adalah perkara para pihak
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah memberikan Putusan
No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012 jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.236/PDT/2013/PT.DKI,
tertanggal 19 Agustus 2013, Jo. Putusan Mahkamah Agung RI
No.254 K/Pdt/2014, tertanggal 19 Desember 2014;
Terhadap Putusan-Putusan tersebut yang dapat
dilaksanakan eksekusinya adalah Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, No.15/Pdt.G/2012/PN.JKt.Sel, tertanggal 15
Agustus 2012, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH
Perdata;
3. Menyatakan tidak berlaku Tagihan Susulan (TS) yang
dikenakan kepada Penggugat yang masing-masing sebesar
Rp.1.180.856.880 (aratu milyar seratus delapan puluh juta
delapan ratus lima puluh enam ribu delpan ratus delapan puluh
rupiah);
4. Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses
pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner
bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar
117
Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta
tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh rupiah);
Bahwa putusan tersebut dalam tingkat banding
DIKUATKAN, oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
No.236/PDT/2013/PT.DKI, tertanggal 19 Agustus 2013, dan
permohonan Kasasinya DITOLAK, sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung RI No.254 K/Pdt/2014, tertanggal 19 Desember
2014;
Terhadap isi putusan Kasasi tersebut para pihak telah
diberitahukan dengan sah dan patut sebagai berikut :
a. Kepada Pemohon Kasasi diberitahukan pada tanggal 17
November 2015;
b. Kepada Termohon Kasasi diberitahukan pada tanggal 13
November 2015;
Bahwa pihak Penggugat melalui kuasanya Sdr. POLTAK
HUTAJULU, SH, MBA, MH dengan suratnya tertanggal 27
November 2015, mengajukan permohonan Aanmaning/ Teguran
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bahwa amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
No.15/Pdt.G/2012/PN. JKt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012,
Dalam Pokok Perkara diktum ke - 4, bersifat Condemnatoir yang
berbunyi sebagai berikut :
“Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses
pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner
bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar
118
Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu
juta tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh
rupiah) “;
Terhadap permohonan tersebut telah diterbitkan Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.09/Eks.Pdt/2016 jo.
No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 17 Februari 2016,
tentang teguran/Aanmaning terhadap Termohon Eksekusi;
Bahwa Termohon Eksekusi telah dipanggil sebanyak 2 (dua)
kali untuk diberi peringatan, akan tetapi tidak pernah hadir
sebagaimana Berita Acra Teguran/Peringatan Pertama tertanggal 2
Maret 2016 dan Berita Acra Teguran/Peringatan Kedua tertanggal
16 Maret 2016, masing-masing bernomor: 09/Eks.Pdt/2016 jo.
No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel.
Bahwa oleh karena Termohon Eksekusi belum juga
melaksanakan kewajibannya pihak Pemohon Eksekusi via
Kuasanya dengan surat tertanggal 21 September mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar
dilakukan/diletakkan sita eksekusi terhadap asset Termohon
Eksekusi berupa :
Tanah dan bangunan milik Termohon Eksekusi yang terletak
di Jln. Trunojoyo Blok M 1/35, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan;
Oleh karena Termohon merupakan Badan Usaha Milik
Negara, maka menurut ketentuan Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004,
119
tentang Perbendaharaan Negara, maka sita eksekusi belum dapat
ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.
Selanjutya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bersurat
kepada Termohon Eksekusi/PLN, yang pada pokoknya
memerintahakan agar melaksanakan putusan dengan memasukkan
dalam usulan anggaran tahun depan untuk pengembaliannya
kepada Pemohon Eksekusi/PT. Acset Indonusa Tbk.
c. Permasalahan Eksekusi Grosse Acte
Berdasarkan Pasal 224 HIR, Grosse Akta merupakan
perangkat hukum yang disamakan dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun dalam
praktik eksekusi grosse akta tidak semudah bunyi Pasal 224 HIR.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan eksekusi grosse akta
menjadi sulit, yaitu nasabah debitur sengaja mengulur-ulur waktu
dengan mengajukan upaya hukum, adanya perlawanan dari pihak
ketiga, kesalahan pihak bank dalam membuat grosse akta dan
Ketua PN kurang memahami pengertian grosse akta.
a) Upaya Hukum Nasabah Debitur atau Pihak Ketiga
Dalam praktik eksekusi grosse akta, tidak sedikit nasabah
debitur atau pihak ketiga yang melakukan upaya hukum untuk
menghambat proses eksekusi grosse akta yang hendak dijalankan
oleh Ketua PN. Ada beberapa faktor yang menyebabkan nasabah
debitur atau pihak ketiga melakukan gugatan perlawanan (verzet)
yaitu antara lain nasabah debitur sengaja melakukannya untuk
menghambat proses dan nasabah debitur merasa dirugikan oleh
120
kecurangan kreditur dalam menghitung angsuran utang. Contoh
kasus adanya perlawanan pihak ketiga yang disebabkan karena
pihak bank lalai untuk meniliti dokumen-dokumen yang dibuat
antara pihak ketiga dengan nasabah debitur. Dalam perkara antara
PT Bank Kesawan melawan Patsan Oloan Ny. Sitodoer Boru
Tupang, PT. Bank Kesawan memberikan kredit pada Citra Pujiarta
dengan jaminan grosse akta pemberian jaminan. Nasabah debitur
wanprestasi sehingga bank mengajukan permohonan eksekusi pada
ketua PN Medan, yang kemudian dikabulkan. Pihak bank
kemudian membuat pengumuman lelang di surat kabar. Atas dasar
pengumuman tersebut, pihak pelawan mengajukan perlawanan
dengan alasan tanah yang akan dilelang tersebut adalah milik
pelawan. Mahkamh Agung mengeluarkan putusan yang pada
pokoknya menolak kasasi PT Bank Kesawan dan menyatakan
menurut hukum grosse akta adalah tidak sah dan memerintahkan
Wakil Juru Sita PN Medan untuk mencabut, mengangkat kembali
sita eksekusi atas tanah pelawan. Alasan MA adalah proses
peralihan hak yang dijadikan anggunan antara Pelawan dan
nasabah debitur cacat hukum.
b) Kesalahan Notaris (Bank) Dalam Membuat Grosse Akta
Kekeliruan bank tidak terlepas dari kesalahan notaris yang
dipercaya oleh bank untuk membuat dokumen-dokumen tersebut.
Kesalahan ini disebabkan perbedaan penafsiran mengenai grosse
akta. Dalam Pasal 224 HIR hanya dikenal dua bentuk grosse akta
yaitu grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotik yang
121
masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai spesifikasi yang
berbeda. MA hanya membolehkan kalangan perbankan memilih
salah satu dari grosse akta tersebut. Apabila nasabah debitur telah
diikat dengan grosse akta pengakuan utang maka nasabah debitur
tidak boleh diikat lagi dengan bentuk perjanjian hipotik.
Disamping kesalahan mencampuradukkan dua bentuk grosse akta
menjadi satu, kalangan perbankan dan notaris sering juga
melakukan kesalahan dalam pembuatan akta pengakuan utang.
Akta pengakuan utang yang dibuat oleh perbankan dan notaris
kadang-kadang bukan berisi pernyataan sepihak dari nasabah
debitur, tetapi merupakan perikatan antara bank dan nasabah
debitur yang masing-masing mengikatkan diri dalam akta
pengakuan utang. Dalam perkara PT Waringin Metal Printing &
Santosa melawan Nichimen Co. Ltd. & Takegawa Co, MA
menolak permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang
dengan pertimbangan isi akta pengakuan utang tersebut disertai
dengan perjanjian pinjam uang sejamlah $ 1.952.614,47. Pada
hakekatnya surat pengakuan utang hanya dapat memuat suatu
pengakuan utang dengan kewajiban untuk membayar utang
tersebut, yang mempunyai akibat bagi pihak yang berutang tidak
lagi mempunyai hak untuk membela diri. Dalam perkara PT Bank
Pasifik Cabang Medan, MA dalam putusan No. 2414 K.Pdt/1987
tanggal 12 Februari 1990 berpendapat bahwa grosse akta berisikan
pengakuan utang dengan pemberian jamian, dimana diperjanjikan
pula mengenai barang-barang yang akan dijaminkan dan syarat-
122
syarat mengenai jaminan tersebut. Dengan demikian grosse akta
semacam itu bukanlah merupakan grosse akta yang dapat
dieksekusi sesuai Pasal 224 HIR.
Dalam perkara antara Bank of America Jakarta mewalan
Trisnawati Sudarto, MA mengabulkan bantahan Trisnawati dengan
pertimbangan antara lain Akta Pernyataan yang dibuat tanggal 15
Januari 1984 hanyalah merupakan akta di bawah tangan yang tidak
berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Oleh karena itu eksekusi yang diajukan oleh BOA adalah
tidak ada dasar hukummya, bahwa Akta Notaris No. 147 yang
berisi loan agreement dan Akta Noratis No. 148 yang berisi
acknowledgement of indebtedness and security agreement adalah
bukan grosse akta. Dalam pembuatan akta pengakuan utang sering
juga ditemui jumlah utang nasabah debitur belum dapat dipastikan
jumlahnya. MA berpendapat akta pengakuan utang seperti ini tidak
dapat dieksekusi. Nasabah debitur yang tidak bersedia
menandatangani Surat Pernyataan Bersama juga dapat ditafsirkan
bahwa secara hukum belum terdapat jumlah utang yang pasti. Satu
hal yang merupakan kesalahan adalah adanya anggapan bahwa
grosse akta perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sama dengan
grosse akta pengakuan utang. Dengan bekal pemahaman ini.
Kalangan notaris dan perbankan menganggap dengan
dicantumkannya kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” pada grosse akta perjanjian kredit,
maka grosse akta tersebut telah mempunyai kekuatan eksekutorial.
123
MA tidak mengakui grosse akta perjanjian kreidt sebagai grosse
akta pengakuan utang. Hal ini dapat dilihat dalam Keputusan MA
No. 1520.K/Pdt./1984 yang melibatkan PT Pan Indonesian Bank
melawan PT Ripe Indonesia.
c) Agunan Harta Bersama
Mahkamah Agung dalam perkara No.1851 K/Pdt/1996
tanggal 23 Pebruari 1998 menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara
telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian yang mengharuskan
manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak Penggugat adalah
usteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan
tersebut. Pembebanan tanah harta bersama tersebut harus
dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar pertimbangan
adil dan patut. Dalam perkara ini Bank Pembangunan Daerah
Sumatera Utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah
adanya penjaminan utang yang dibuat dalam grosse akta.
Pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum lain,
dalam hal ini Penggugat merasa dirugikan dengan permohonan
eksekusi tersebut. Penggugat merasa dirugikan karena objek yang
dimohonkan eksekusi adalah harta bersama. Harta bersama dapat
dikategorikan sebagai hak milik bersama. Dikatakan hak milik
bersama karena terdapat beberapa orang pemilik ata suatu benda
yang sama. Selain KUHPerdata, UU Perkawinan mengenal adanya
harta milik bersama yang disebut sebagai harta bersama. Hak milik
bersama ada dua macam yaitu hak milik bersama yang bebas dan
hal milik yang terkait. Hak milik bersama yang bebas terjadi karena
124
diperjanjikan antara beberapa pemilik bersama atas suatu benda.
Hak milik bersama yang terkait terjadi karena ketentuan undang-
undang dan sebagai akibat hubungan hukum yang sudah ada lebih
dahulu. Misalnya pemilik bersama harta perkawinan akibat adanya
perkawinan, pemilik bersama atas harta peninggalan akibat adanya
pewarisan. Tiap pemilik harta bersama tidak dimungkinkan
berbuat apa saja tanpa izin dari pemilik bersama lainnya.
C. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Eksekusi Putusan
Pengadilan dalam Sengketa Perdata
Berdasarkan realitas pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan
dalam kasus atau sengketa perdata sebagaimana di jelaskan dalam
beberapa contoh kasus di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan hukum dalam eksekusi putusan perdata tersebut sebagai
berikut:
1. Eksekusi tidak dapat dijalankan
Banyak hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan eksekusi
oleh Panitera atau Jurusita dilapangan, sehingga eksekusi tidak dapat
dijalankan sebagaimana mestinya. Di antara hambatan yang sering
ditemukan di lapangan adalah sebagai berikut :
a. Objek Eksekusi merupakan Harta BUMN
Salah satu penyebab eksekusi tidak dapat dijalankan adalah
terkait dengan eksekusi terhadap harta benda milik Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), dua contoh kasus yang dijelaskan di atas
menunjukkan secara jelas bahwa, walaupun putusan pengadilan
125
sudah memiliki kekuatan hukum tertap dan diktum putusannya
bersifat comdennatoir, sebagaimana disebutkan bahwa amar
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, No.15/Pdt.G/2012/PN.
JKt.Sel, tertanggal 15 Agustus 2012, Dalam Pokok Perkara diktum
ke - 4, bersifat Condemnatoir yang berbunyi sebagai berikut :
“Memerintahkan Tergugat untuk segera memproses
pengembalian atas uang yang telah disetor oleh owner
bangunan tersebut yakni PT. Bintang Sedayu Makmur sebesar
Rp.2.361.713.760,- (dua milyar tiga ratus enam puluh satu
juta tujuh ratus tiga tiga belas ribu tujuh ratus enam puluh
rupiah)“
Terhadap permohonan tersebut telah diterbitkan Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.09/Eks.Pdt/2016 jo.
No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel, tertanggal 17 Februari 2016,
tentang teguran/Aanmaning terhadap Termohon Eksekusi;
Termohon Eksekusi telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali
untuk diberi peringatan, akan tetapi tidak pernah hadir
sebagaimana Berita Acra Teguran/Peringatan Pertama tertanggal 2
Maret 2016 dan Berita Acra Teguran/Peringatan Kedua tertanggal
16 Maret 2016, masing-masing bernomor: 09/Eks.Pdt/2016 jo.
No.15/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel.
Oleh karena Termohon Eksekusi belum juga melaksanakan
kewajibannya pihak Pemohon Eksekusi via Kuasanya dengan surat
tertanggal 21 September mengajukan permohonan kepada Ketua
126
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar dilakukan/diletakkan sita
eksekusi terhadap asset Termohon Eksekusi berupa :
Tanah dan bangunan milik Termohon Eksekusi yang terletak
di Jln. Trunojoyo Blok M 1/35, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan;
Namun karena Termohon merupakan Badan Usaha Milik
Negara, maka menurut ketentuan Pasal 50 UU No.1 Tahun 2004,
tentang Perbendaharaan Negara, maka sita eksekusi belum dapat
ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. Selanjutya Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan bersurat kepada Termohon Eksekusi/PLN,
yang pada pokoknya memerintahakan agar melaksanakan putusan
dengan memasukkan dalam usulan anggaran tahun depan untuk
pengembaliannya kepada Pemohon Eksekusi/PT. Acset Indonusa
Tbk. namun sampai saat ini pengembalian uang milik pemohon
eksekusi belum juga diproses, sehingga dalam kasus ini eksekusi
yang dilakukan belum memiliki kepastian hukum bagi pemohon
eksekusi.
b. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada
Secara mutlak barang yang dieksekusi tidak ada, mungkin
sudah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan, atau telah
musnah karena adanya bencana alam. Tidak ditemuinya harta
yang akan dieksekusi bisa juga terjadi karena tidak jelas letak
barang-barang yang akan dieksekusi itu, tidak jelas batas-
batasnya, ukurannya dan mungkin juga karena adanya perubahan
alamat, pada waktu gugatan diajukan terletak di jalan Fatmawati
127
No. 10 Rt.112/04 ternyata setelah perkara diputus ada
perubahan, terletak di jalan Argamulya No.21 Rt.14/02 sehingga
pada waktu eksekusi dilaksanakan, letak barang tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan apa yang tersebut dalam amar putusan.
Apabila secara nyata barang-barang yang akan dieksekusi
tidak dapat ditunjukkan oleh pemohon eksekusi maka dengan
sendirinya eksekusi tidak dapat dijalankan. Sedangkan karena
perubahan alamat sebagaimana tersebut di atas, maka untuk
dapat dilaksanakan eksekusi, pemohon eksekusi harus
mengajukan perkara baru, dengan nomor perkara baru dan
dengan petitum perbaikan amar putusan.
Jika tanah yang akan dieksekusi tidak jelas batasnya atau
belum jelas ukurannya, eksekusi dengan sendirinya juga tidak
dapat dilaksanakan. Pernyataan non eksekutabel ini bersifat
temporer sampai batas dan ukurannya dapat diketahui dengan
jelas. Mengatasi hal ini sebaiknya diadakan pengecekan atau
pemeriksaan setempat terlebih dahulu dengan dihadiri oleh
pihak-pihak yang berperkara. Jika berhasil ditemukan maka
eksekusi dapat dijalankan. Jika ternyata tidak diketemukan sama
sekali, maka eksekusi tidak dapat dijalankan.
c. Putusan bersifat deklaratoir
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa
putusan yang bersifat condemnatoir yaitu putusan yang amarnya
mempunyai sifat menghukum atau memerintahkan kepada pihak
yang kalah untuk berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,
128
membayar, membagi, membongkar dan mengosongkan benda
tetap. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela
oleh pihak yang kalah, maka pihak yang menang dapat minta
Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk
menjalankan putusan tersebut secara paksa.
Jika hakim lalai atau lupa mencantumkan amar yang
bersifat condemnatoir sebagaimana tersebut di atas, maka pihak
yang ingin agar putusan itu dijalankan harus mengajukan
gugatan baru kepada Pengadilan yang memutuskan perkara
semula, dengan dalil gugat berdasarkan putusan deklaratif dan
minta dalam petitum agar barang-barang yang telah diputus
dalam perkara terdahulu supaya dieksekusi dan kalau perlu dapat
diminta putusan Uitvoerbaar bij voorraad (putusan yang dapat
dilaksanakan terlebih dahulu) meskipun ada banding dan kasasi.
Yang dimaksud dengan perkara baru adalah putusan yang
berdiri sendiri dengan nomor perkara lain dengan perkara yang
terdahulu. Penggugat juga harus membayar biaya perkara secara
tersendiri posita dalam perkara baru tersebut dikaitkan dengan
perkara yang terdahulu dengan petitum mohon agar putusan
yang terdahulu supaya dapat dijalankan dan dapat dieksekusi
sebagaimana mestinya.
Ada sementara para praktisi hukum yang berpendapat
bahwa pemberian jalan keluar terhadap putusan deklaratoir dan
tidak mencantumkan amar yang bersifat comdemnatoir tidak
dilaksanakan dengan gugat baru dengan petitum perubahan amar
129
dan mohon dapat dieksekusi merupakan jalan keluar yang
kurang tepat, sebab sangat merugikan Penggugat dan juga akan
terjadi Nebis in idem.
Dalam praktek Peradilan hal ini sudah sangat sering
dilaksanakan meskipun secara realita memang pihak Penggugat
sangat dirugikan. Jika putusan yang bersifat deklaratif itu
dibiarkan, maka akan illusoir (hampa) dan tidak ada manfaat
serta tidak ada kepastian hukum.
Daripada putusan demikian hampa, maka sudah
selayaknyalah Penggugat dianjurkan untuk mengajukan gugat
lagi dengan petitum perubahan amar agar putusan yang terdahulu
dapat dijalankan atau dieksekusi, meskipun mungkin dengan
sedikit menanggung kerugian. Oleh karena itu kepada para
hakim diharapkan agar berhati-hati dalam membuat amar
putusan ini sehingga putusan yang dijatuhkan itu terhindar dari
kehampaan (illusoir).
Dalam hal gugat baru dengan petitum perubahan amar
putusan, tidak akan terjadi Nebis in idem karena hakim tidak
memeriksa pokok perkara yang telah diputus dalam putusan
sebelumnya. Lagipula ada para pakar hukum yang berpendapat
bahwa dalam hukum perdata tidak dikenal Nebis in idem, yang
ada hanya dalam bidang hukum pidana.
2. Pendelegasian eksekusi
Ada kemungkinan bahwa barang-barang yang dimohonkan
130
eksekusi itu berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan yang memutus
perkaranya. Persoalannya adalah bagaiana cara melaksanakan
eksekusinya? Dalam hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan
lembaga “pendelegasian eksekusi” sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 206 R.Bg dan Pasal 195 HIR. yaitu pelaksanaan eksekusi harus
dilakukan melalui pendelegasian atau permintaan bantuan kepada
Pengadilan lain, untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan surat
penetapan yang disampaikan kepadanya.
Tata cara pelaksanaan pendelegasian eksekusi terhadap objek
yang berada di luar yurisdiksi Pengadilan yang memutus perkara,
adalah sebagai berikut :
a. Membuat surat penetapan eksekusi
Ketua Pengadilan membuat surat penetapan yang isinya
memerintahkan kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan yang
memutuskan perkara melalui Panitera atau Jurusita Pengadilan
tempat objek yang akan dilaksanakan eksekusinya. Dalam surat
penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal yang dieksekusi
secara jelas, kalau hal yang menyangkut benda tetap harus jelas
ukurannya, luas dan batas-batasnya. Kalau barang-barang
bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang
diperlukan. Surat penetapan eksekusi itu dikirim kepada
Pengadilan tempat objek eksekusi berada dengan surat pengantar
Ketua Pengadilan atau Panitera atas nama Ketua Pengadilan.
b. Berita acara eksekusi
Pengadilan Agama yang menerima permintaan eksekusi
131
segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi
Pengadilan yang meminta pelaksanaan eksekusi Pengadilan
yang menerima permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi
penetapan eksekusi yang dikirim oleh Pengadilan yang meminta
eksekusi.
Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan
yang melaksanakan eksekusi tersebut segera membuat berita
acara eksekusi berita acara eksekusi dan segera pula
mengirimkannya kepada Pengadilan yang meminta pelaksanaan
eksekusi dalam tempo dua kali dua puluh empat jam.
c. Tentang biaya eksekusi
Pengadilan menaksir biaya pelaksanaan eksekusi kepada
yang meminta eksekusi dilaksanakan. Tentang berapa besar
biaya eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di
lapangan. Teknis pengirimannya kepada Pengadilan yang
diminta bantuan eksekusi bisa dilakukan sebelum eksekusi
dilaksanakan, atau bersama-sama dengan surat permintaan
eksekusi dikirimkan, atau bisa juga setelah eksekusi
dilaksanakan sesuai dengan konsensus antar Pengadilan tersebut.
Jika biaya eksekusi ternyata kurang dari kebutuhan riil dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut, Pengadilan yang menerima
permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya eksekusi
kepada Pengadilan yang meminta eksekusi dilaksanakan dengan
melampirkan kebutuhan riil yang telah dikeluarkan atau yang
dibutuhkan.
132
3. Perlawanan terhadap eksekusi yang obyeknya berada di luar
wilayah yurisdiksi Pengadilan
Apabila terjadi perlawanan pihak ketiga (derden verzet)
terhadap objek eksekusi yang terletak diluar wilayah Pengadilan yang
memutus perkara maka ke Pengadilan mana perlawanan pihak ketiga
itu diajukan, apakah kepada Pengadilan yang memutus perkara atau
kepada Pengadilan yang melaksanakan eksekusi?
Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) R.Bg. dan Pasal 195 ayat (6)
HIR dikemukakan bahwa perlawanan pihak ketiga atas pelaksanaan
putusan hakim (derden verzet) dilaksanakan dan diadili oleh
Pengadilan yang melaksanakan putusan hakim tersebut atau pada
Pengadilan dimana eksekusi dijalankan. Tetapi menurut Pasal 379 Rv
perlawanan pihak ketiga tersebut harus diajukan di Pengadilan yang
memutus perkaranya, bukan di tempat Pengadilan yang menjalankan
eksekusinya. Dua pendapat yang saling bertentangan ini dalam
praktek sangat membingungkan para praktisi hukum dalam
menjalankan eksekusi putusan yang objeknya berada di luar wilayah
Pengadilan yang memutus perkara.
Terhadap dua pendapat yang saling bertentangan tersebut,
biasanya para praktisi hukum mengambil jalan tengah di antara dua
pendapat tersebut. Pengajuan pihak ketiga (derden verzet) diajukan
ditempat atau Pengadilan yang memutuskan perkara, melalui
Pengadilan tempat eksekusi dijalankan. Hal ini lebih logis, sebab
Pengadilan yang memutuskan perkara lebih tahu permasalahannya,
lebih lengkap dokumen-dokumen perkaranya dan memiliki nomor
133
perkaranya.
Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut, diputus
oleh Pengadilan yang memeriksa pokok perkaranya dan dikirim
kepada pihak pelawan melalui Pengadilan yang menjalankan
eksekusi. Yang menaksir biaya adalah Pengadilan yang memeriksa
pokok perkara, dan yang membukukan dalam buku register perkara
juga Pengadilan yang memeriksa pokok perkara.
4. Objek eksekusi di tangan pihak ketiga
Eksekusi tidak dapat dijalankan terhadap barang yang ada di
tangan pihak ketiga, apabila penguasaan barang tersebut
dilaksanakan berdasarkan atas alas hak yang sah. Eksekusi dapat
dijalankan apabila penguasaan barang oleh pihak ketiga itu secara
tidak sah atau tanpa alas hak. Terhadap hal ini apabila amar putusan
menegaskan bahwa objek perkara yang akan dieksekusi dapat saja
dilaksanakan meskipun barang berada di tangan siapapun. Maka
eksekusi dapat dijalankan meskipun barang berada di tangan pihak
ketiga.
Jika barang yang dieksekusi sedang disewa oleh pihak ketiga
maka pelaksanaan eksekusi harus dihentikan, sebab perjanjian sewa
menyewa terus berlanjut meskipun pemilik barang itu diganti.
Eksekusi pengosongan atau penyerahan terhadap diri penyewa tidak
dapat dijalankan.
Demikian juga dalam hal barang yang akan dieksekusi sedang
diagunkan. Eksekusi tidak dapat dilaksanakan selama barang yang
menjadi objek eksekusi itu sedang diagunkan. Selama barang
134
tersebut diagunkan, maka barang objek eksekusi terikat kepada
pemegang agunan. Eksekusi baru dapat dilaksanakan kalau barang
objek eksekusi itu sudah tidak lagi menjadi objek agunan Tergugat.
Barang objek eksekusi yang diagunkan itu biasanya pada Bank,
Perkumpulan Koperasi atau pada pihak ketiga secara perorangan.
5. Status tanah milik negara
Jika status tanah yang disengketakan pada mulanya milik
pribadi, kemudian karena sesuatu hal berubah jadi milik negara dan
perubahan itu statusnya jelas, maka terhadap objek tersebut tidak
dapat dijalankan eksekusinya. Sekiranya perubahan status tanah tidak
jelas, maka eksekusi dapat dijalankan selama tidak ada perlawanan
dari pihak penguasa. Jika ada perlawanan dari pihak penguasa, maka
eksekusi harus dihentikan.
6. Objek eksekusi berada di luar negeri
Jangkauan hukum Indonesia hanya berlaku dalam wilayah
Indonesia saja, hal ini karena hukum Indonesia menganut asas
nasionalitas. Sehubungan dengan hal ini daya kekuatan putusan
Pengadilan hanya meliputi wawasan Nasional Indonesia, tidak
menjangkau di luar wilayah Indonesia. Oleh karena itu, eksekusi
tidak dapat dijalankan jika letak objek eksekusi berada di luar
Indonesia. Jika objek eksekusi berada di luar wilayah Indonesia, dan
pihak yang menang bermaksud untuk memohon eksekusi kepada
Pengadilan, maka Pengadilan harus menolaknya.
135
7. Dua putusan yang saling bertentangan
Secara teoritis mungkin tidak masuk akal apabila ada putusan
Pengadilan yang bunyinya saling bertentangan satu sama lain,
padahal pokok permasalahannya adalah sama. Dalam praktek sering
ditemukan dua putusan yang saling bertentangan padahal pokok
permasalahannya adalah sama.
Suatu putusan dapat dijalankan lebih dahulu mungkin saja
menjadi bertentangan dengan putusan dalam tingkat banding atau
putusan kasasi. Jika putusan tersebut sudah terlanjur dieksekusi,
maka untuk memenuhi putusan banding atau kasasi menjadi batal dan
harus diikuti dengan tindakan pemulihan, berupa penggantian
kerugian atau penyerahan uang atau juga barang jaminan lainnya.
Selain dari hal tersebut di atas, yang dimaksud dengan putusan
yang saling bertentangan adalah pertentangan antara dua putusan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik putusan dalam
tingkat peradilan yang sama ataupun dapat terjadi dalam tingkat yang
berlainan. Umpamanya ada dua putusan mengenai keahliwarisan dan
pembahagian warisan dengan objek gugatan yang sama, tetapi
masing-masing Penggugat maupun Tergugat-Tergugatnya berbeda.
Keadaan seperti ini mustahil bisa terjadi, akan tetapi karena pewaris
sudah lama sekali meninggal dan mempunyai keturunan banyak dan
bercerai-berai tempat tinggalnya, hal yang semula dianggap mustahil
tersebut bisa menjadi kenyataan. (Djazuli Bachar, SH : 1994:125).
Jadi apabila ada dua putusan yang sama-sama telah
berkekuatan hukum tetap, tapi isinya saling bertentangan dan objek
136
persengketaannya sama, maka secara permanen tidak dapat
dieksekusi sampai pertentangan itu dihilangkan. Cara menghilangkan
saling pertentangan tersebut dapat dilaksanakan melalui gugatan
apabila pihaknya tidak sama atau melalui peninjauan kembali apabila
pihaknya sama.
8. Pengulangan eksekusi
Dalam pelaksanaan eksekusi, mungkin terjadi hal-hal yang
tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan karena objek-objek
yang akan dieksekusi ternyata keliru, atau mungkin juga tidak sesuai
dengan amar yang ditetapkan dalam putusan. Kekeliruan ini mungkin
ada kesalahan tehnis di lapangan atau karena ada kecerobohan dari
Panitera atau Jurusita dalam menjalankan eksekusi tersebut. Jika hal
ini terjadi, maka eksekusi yang telah dilaksanakan itu harus diulang
kembali.
Pengulangan eksekusi tidak perlu dengan gugatan baru, tetapi
Ketua Pengadilan harus meneliti dengan seksama tentang kebenaran
adanya penyimpangan atau adanya kesalahan. Jika hasil penelitian
yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan, ternyata ada kebenarannya,
maka ketua Pengadilan membuat surat penetapan eksekusi baru yang
isinya membatalkan penetapan yang lama termasuk berita acara
eksekusinya, serta memerintahkan eksekusi ulang. Tentang biaya
eksekusi ulang ini, tetap dibebanknan kepada pemohon eksekusi,
sebab merekalah yang mempunyai kepentingan.
Para praktisi hukum harus berhati-hati dalam melaksanakan
eksekusi ulang, sebab tidak sedikit permohonan eksekusi ulang ini,
137
setelah diteliti dengan seksama dan cermat ternyata akal-akalan dari
pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan eksekusi yang
dilaksanakan itu.
9. Penundaan eksekusi
Pada prinsipnya, tidak ada dasar untuk menunda eksekusi
setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengandung amar comdemnatoir serta mengandung titel
eksekutorial, maka putusan tersebut harus dijalankan. Oleh karena itu
jika pihak yang menang dalam suatu perkara yang telah diputus oleh
Pengadilan dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
lalu dimohonkan eksekusi kepada Pengadilan yang memutuskan
perkara itu harus segera melaksanakannya. Yang dapat
mengesampingkan eksekusi hanya perdamaian antara para pihak
yang berperkara.
Perdamaian itu dapat berupa atas kehendak kedua belah pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata, atau
berdasarkan kesukarelaan dari pihak tereksekusi bahwa ia akan
melaksanakan amar putusan dalam jangka waktu tertentu, dan dalam
hal ini pemohon eksekusi menyetujui permintaan dari pihak
tereksekusi. Dalam hal ini pelaksanaan eksekusi dapat ditunda
sampai betul-betul perdamaian yang disepakati oleh kedua belah
pihak dapat dilaksanakan. Apabila pihak tereksekusi tidak
melaksanakan perdamaian sebagaimana yang telah disepakati, maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi kembali.
Pengadilan yang menerima permohonan eksekusi tersebut dapat
138
melaksanakan eksekusi sebagaimana mestinya sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
Mengenai penundaan eksekusi yang bersifat kasuistik
merupakan hal yang bersifat konsepsional dari prinsip yang bersifat
umum. Tentang bagaimana suatu alasan dapat dianggap bersifat
kasuistik, hal ini sangat tergantung pada pendapat dan pertimbangan
Ketua Pengadilan. Secara umum hal-hal yang bersifat kasuistik dapat
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
10. Alasan kemanusiaan
Penerapan alasan kemanusiaan dalam pelaksanaan eksekusi
hanya bersifat sementara, biasanya terbatas dalam jangka waktu tiga
atau enam bulan, atau juga dalam jangka waktu yang patut menurut
keadaan yang terjadi. Tujuannya hanya memberikan kelonggaran
kepada pihak tereksekusi agar terlepas dari himpitan yang
menyedihkan. Jadi penundaan eksekusi tersebut tidak boleh bersifat
permanen, hanya terbatas dalam waktu yang relatif pendek. Jika batas
waktu yang telah ditentukan sudah lewat, eksekusi harus dijalankan
tanpa memerlukan peringatan lagi.
11. Alasan derden verzet
Berdasarkan pasal 195 HIR pihak ketiga diberi hak
mengajuakn perlawanan terhadap eksekusi yang dijalankan oleh
Pengadilan. Dalil derden verzet ini dilaksanakan dengan dasar
kepada “hak milik” bahwa yang hendak dieksekusi itu adalah milik
pihak yang mengajukan perlawanan. Eksekusi dilarang terhadap
139
milik pihak ketiga.
Penundaan eksekusi baru dapat dilaksanakan apabila
perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga itu telah diperiksa
dengan cara seksama dan seteliti mungkin. Jika hasil pemeriksaan
terbukti benar bahwa barang yang akan dieksekusi itu barang milik
pelawan, maka eksekusi harus ditunda sampai perlawanan
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun tujuan
penundaan ini agar jangan sampai terjadi saling bertentangan antara
eksekusi dengan putusan perlawanan dari pihak ketiga.
Di samping itu, jika objek eksekusi masih diproses dalam
perkara lain, pemeriksaannya masih dalam tingkat pertama, banding
atau kasasi, maka lebih baik menunda eksekusi sampai putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuan agar tidak terjadi putusan
yang saling bertentangan. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 66 ayat (2)
Undang-undang No. 14 Tahun 1985, peninjauan kembali (PK) tidak
menangguhkan atau menghentikan eksekusi.
12. Lelang eksekusi putusan pengadilan
Lelang eksekusi Peradilan diatur dalam Vendu Reglement Stb.
1980 No. 189 Jo. Stb. 1940 No. 56, Vendu Instructie Stb. 190, Peraturan
Pemungutan Bea Lelang Stb. 1949 No. 390, HIR (Stb.1914 No. 44),
R.Bg (Stb.1927 No. 227) dan Keputusan Menteri Keuangan No.
295/KMA.09/1993 tanggal 27 Februari 1993. Lelang eksekusi adalah
lelang yang dilakukan untuk melaksanakan putusan hakim sesuai
dengan amar yang telah ditetapkan, termasuk lelang dalam rangka
eksekusi grose akta.
140
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ruang lingkup
lelang eksekusi kebanyakan berasal dari eksekusi pembayaran sejumlah
uang. Di samping itu ruang lingkup eksekusi bisa juga terjadi dalam hal
pembahagian seluruh harta kekayaan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam amar putusan, tetapi pembayaran secara natura tidak
dapat dilaksanakan karena sulit untuk membaginya, seperti sebuah
rumah, sebuah mobil, sebuah televisi dan sebagainya.
Dalam praktek Peradilan, barang tersebut dijual dulu kemudian
hasil penjualan itu dibagi sesuai dengan amar putusan Pengadilan. Jika
secara musyawarah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, maka
pembahagiannya dilaksanakan secara lelang dimuka umum. Hasil
penjualan lelang dibagi lagi sesuai dengan porsi yang ditentuakn dalam
putusan.
Dilihat dari fungsinya, lelang adalah institusi pasar yang
mempertemukan penjual dengan pembeli pada suatu saat dan tempat
tertentu dengan cara pembentukan harga yang kompetitif. Fungsi lelang
ini bermanfaat untuk :
a. Memberikan pelayanan penjualan barang secara lelang yang
bersifat cepat, effisien, aman dan dapat mewujudkan harga yang
wajar kepada masyarakat atau penguasa yang bermaksud
barangnya dilelang, atau juga kepada peserta lelang lainnya.
b. Memberikan pelayanan penjualan barang yang bersifat paksa atau
eksekusi baik menyangkut bidang pidana, perdata, ataupun
perpajakan dalam rangka mendukung terwujudnya keadilan dalam
masyarakat.
141
c. Memberikan pelayanan penjualan dalam rangka mengamankan
barang-barang yang dimiliki atau dikuasai oleh negara termasuk
barang-barang milik BUMN atau BUMD.
d. Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk bea lelang dan
uang miskin.
Lembaga lelang merupakan lembaga penjualan di muka umum
yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan cara penawaran harga
secara terbuka atau lisan dan atau tertutup/tertulis yang didahului
dengan pengumuman lelang kepada seluruh masyarakat.
Penjualan secara lelang mempunyai beberapa kebaikan jika
dibandingkan dengan penjualan biasa. Adapun kebaikan lelang
adalah sebagai berikut:
a. Adil, karena penjualan lelang bersifat terbuka (transparan dan
objektif).
b. Aman, karena penjualan lelang disaksikan, dipimpin dan
dilaksanakan oleh pemerintah yang bersifat independent. Pembeli
lelang cukup terlindungi, sistem lelang mengharuskan pejabat lelang
meneliti lebih dahulu keabsahan penjualan barang-barang yang
dijual.
c. Tepat dan effisien, karena lelang didahului dengan pengumuman
lelang sehingga peserta lelang dapat berkumpul pada saat hari lelang
dan pembayarannya secara tunai.
d. Mewujudkan harga yang wajar, karena pembentukan harga lelang
pada dasarnya menggunakan sistem penawaran yang bersifat
kompetitif.
142
e. Memberikan kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang oleh
pejabat lelang dibuat berita acara pelaksanaan lelang yang disebut
risalah lelang sebagai akta otentik.
Dalam pelaksanaan lelang ditetapkan hak-hak dan kewajiban
pemohon lelang (penjual). Yang dimaksud dengan pemohon lelang
(penjual) adalah orang atau badan yang mengajukan permohonan
kepada kantor lelang negara untuk menjual barang secara lelang.
Pemohon lelang ini bisa berstatus pemilik barang yang dikuasakan
atau yang karena Undang-undang diberi wewenang untuk menjual
barang yang bersangkutan.
a. Hak-hak pemohon penjual barang:
1) Memilih cara penawaran lelang.
2) Menetapkan syarat-syarat lelang jika dianggap perlu.
3) Menerima uang hasil lelang (pokok lelang).
4) Menerima uang jaminan dalam hal pemenang lelang
mengundurkan diri.
5) Meminta kutipan atau salinan risalah lelang.
b. Kewajiban-kewajiban pemohon lelang.
1) Mengajukan permohonan atau permintaan lelang kepada kantor
lelang negara.
2) Melengkapi syarat-syarat atau dokumen-dokumen yang
diperlukan.
3) Mengadakan pengumuman lelang di surat kabar setempat dan
atau di media cetak/elektronik, atau juga melalui selebaran
dan undangan lelang negara.
143
4) Menetapkan harga limit yang wajar atas barang-barang yang
dilelang. Dalam hal ini sebaiknya memperhatikan saran dari
kantor lelang negara.
5) Membayar bea lelang penjualan, dalam hal penjualannya
adalah pemerintah (tidak termasuk BUMN/BUMD) tidak
dipungut bea lelang.
6) Menyerahkan barang dan dokumennya kepada pemenang lelang
melalui Kantor Lelang Negara.
7) Memabayar PPh Pasal 25 (pajak penghasilan 25%) sepanjang
barang yang dilelang berupa barang dan bangunan dengan
ketentuan : (1) dalam hal barang tersebut milik perorangan maka
PPh dikenakan apabila tanggungan hasil lelangnya pada saat itu
berjumlah Rp.60.000.000,- atau lebih, (2) dasar hukumnya
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994)
8) Mentaati tata tertib lelang.
Hak-hak dan kewajiban peserta lelang atau pembeli juga diatur
dalam pelaksanaan lelang, sehingga pelaksanaan lelang dapat
dilaksanakan secara tertib dan transparan sebagaimana yang diatur
dalam peraturan yang berlaku:
a. Hak-hak peserta atau pembeli lelang :
- Melihat dokumen-dokumen tentang kepemilikan barang dan
meminta keterangan dan penjelasan tambahan.
- Melihat atau meneliti barang yang akan dilelang.
- Meminta salinan risalah lelang dalam hal yang bersangkutan
menjadi pemenang lelang.
144
- Meminta kembali uang jaminan lelang atau kelebihan uang
jaminan.
- Mendapatkan barang dan bukti pelunasan serta dokumen-
dokumennya apabila ditunjuk sebagai pemenang lelang.
b. Kewajiban-kewajiban peserta lelang atau pembeli :
- Menyetor uang jaminan lelang kepada Kantor Lelang Negara atau
PL Kelas II apabila disyaratkan untuk itu.
- Hadir dalam pelaksanaan lelang atau kuasanya.
- Mengisi surat penawaran di atas kertas bermeterai dengan
huruf yang jelas dan tidak ada coretan dalam hal penawaran
lelang secara tertutup atau tertulis.
- Membayar pokok lelang, bea lelang, uang jaminan secara tunai,
dalam menjadi, pemenang lelang.
- Mentaati tata tertib pelaksanaan lelang.
Agar pelaksanaan lelang eksekusi dapat berjalan dengan lancar
sebagaimana yang diharapkan maka lelang eksekusi harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Harus ada surat permintaan lelang
Dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi agar permintaan
lelang eksekusi dapat dilaksanakan antara lain :
1) Salinan atau fotocopy surat putusan Pengadilan yang telah
mempunyai hukum tetap.
2) Salinan penetapan Pengadilan untuk melaksanakan
penyitaan.
3) Salinan berita acara penyitaan.
145
4) Salinan atau fotocopy surat teguran (Aan maning) kepada
termohon eksekusi.
5) Salinan atau fotocopy surat permohonan lelang kepada
termohon eksekusi yang dibuat oleh Pengadilan.
6) Perincian hutang, termasuk biaya yang harus dibayar oleh
termohon eksekusi yang dibuat oleh Pengadilan setempat.
7) Bukti kepemilikan atas barang yang dilelang. Dalam hal
barang yang dilelang berupa tanah diperlukan adanya SKPT
dari kantor Pertanahan Nasional.
8) Apabila tanah belum bersertifikat maka perlu dimintakan
SKPT dengan dilampiri surat keterangan riwayat tanah yang
dibuat oleh Lurah atau Kepala Desa dan disahkan oleh Camat
setempat. Dalam hal bukti kepemilikan tidak ada maka
dipakai surat-surat seperti surat yang tersebut di atas.
9) Syarat-syarat lelang dari penjual apabila ada.
10) Bukti pengumuman lelang oleh Pengadlan di surat kabar
setempat. Khusus barang tidak bergerak wajib diumukan 2
(dua) kali selang 15 (lima belas) hari, dan untuk barang
bergerak diumumkan 1 (satu) kali.
b. Harus ada foto copy grose akta
Dalam hal lelang karena hipotik, pihak pemohon lelang
harus melengkapi fotocopy, sertifikat hipotik dan sertifikat tanah.
Dalam kaitan dengan tugas-tugas eksekusi yang dijalankan
Pengadilan secara umum prosedur lelang dilaksanakan sebagai
berikut:
146
1) Pengadilan yang bersangkutan mengajukan permohonan
lelang kepada Kantor Lelang Negara atau Pejabat Kantor
Lelang Kelas II setempat dengan melengkapi syarat-syarat
sebagaimana tersebut di atas.
2) Kantor Lelang Negara atau Pejabat Kantor Lelang Kelas II
menetapkan tanggal dan waktu lelang dengan
memperlihatkan keinginan-keinginan pemohon lelang.
3) Pengadilan menetapkan harga limit dari barang yang dilelang.
Harga limit sifatnya rahasia. Dalam hal penawaran secara
tertulis dalam amplop tertutup, harga limit diserahkan kepada
Pejabat Kantor Lelang dalam amplop tertutup sesaat sebelum
pelaksanaan lelang.
4) Pelaksanaan lelang dilakukan oleh pejabat lelang bersama-
sama dengan pejabat penjual. Atas pelaksanaan lelang
tersebut oleh pejabat lelang dibuat berita acara yang disebut
risalah lelang.
5) Pembayaran hasil lelang dilakukan secara tunai segera setelah
pelaksanaan lelang kepada pejabat lelang, dan selanjutnya
segera disetor kepada yang berhak.
Pelaksanaan lelang, dapat ditahan apabila penawaran tertinggi
belum mencapai harga limit yang dikehendaki oleh penjual, biaya
penahanan lelang dikenakan kepada penjual. Dalam hal lelang
dibatalkan oleh pemohon yang kurang dari 8 (delapan) hari sebelum
pelaksanaan, maka kepada pemohon lelang akan dikenakan biaya
pembatalan sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
147
Jika dalam daerah hukum Pengadilan tidak terdapat Kantor
Lelang Negara yang dapat dimintakan bantuan untuk melaksanakan
penjualan lelang di muka umum, maka penjualan lelang dapat
dimintakan bantuan pada Panitera Pengadilan, dengan ketentuan
batasnya maksimal hingga Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
D. Korelasi Eksekusi Putusan Perdata dengan Kemudahan
Berusaha
1. Korelasi Eksekusi Putusan Pengadilan dengan Kemudahan
Berusaha
Beberpa indikator kemudahan berusaha yang dilansir oleh
bank, salah satu dari indikator tersebut adalah pengenakan
hukum. Penegakan hukum ini tentu meliputu penanganan
peyelesain suatu sengketa perdata di Pengadilan, dari proses
pengajuan perkara melalui registrasi perkara hingga proses
persidangan sampai pada tahap akhir penjatuhan putusan oleh
hakim di pengadilan. Pada tahapan ini pada dasarnya Mahkamah
Agung dan lingkungan pengadilan yang berada dibawahnya
sangat mendukung proses penyelesaian suatu perkara dengan
cepat, mudah dan tidak memakan waktu yang lama, dalam
rangkaian memberikan dukungan untuk kemudahan berusaha
bagi pelaku bisnis, bahkan jika dikaji lebih mendalam terkait
dengan asas peradilan yang selama ini dikenal dalam proses
penyelesaian perkara di Pengadilan yaitu proses peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya murah, hal ini sangat relefan dengan
148
kondisi bisnis atau dunia usaha yang tentu sangat membutuhkan
adanya berbagai kemudahan dalam hal prosedur yang singkat,
sehingga tidak memakan waktu yang lama, dan pada akhirnya
iplikasinya kemudian terhadap cost atau biaya yang dikeluarkan
sedekit. Lebih tegasnya bahwa dunia usaha atau pelaku bisnis
tentu sangat membutuhkan kemudahan dalam berusaha dari segi
prosedur tentu menginginkan jumlah prosedur yang lebih pendek,
lebih singkat, dan biaya yang rendah.
Namun berdasarkan pada beberapa persoalan yang muncul
dalam pelasanaan eksekusi sebagaiamana dijelaskan di atas jika
dihubungkan dengan kemudahan untuk melakukan usaha di
Indonesia dengan salah satu tolak ukur adalah proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, terutama dalam tahapan
eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa perdata yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka perlu dikaji kembali
permasalahan eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa
perdata tersebut, apakah sudah mendukung kebijakan Mahkamah
Agung dalam memberikan jaminan kemudahan berusahan bagi
pelaku bisnis atau dunia usaha. Sebab pada kenyataannya dalam
beberapa kasus sebagaimana dijelaskan di atas banyak sekali
permasalahan yang muncul pada saat eksekusi putusan
pengadilan dalam sengketa perdata tersebut, sehingga dapat
dipastikan bahwa proses eksekusi yang dilakukan memakan
waktu yang cukup lama dan tentu sangat berkolerasi dengan
149
penggunaan biaya yang besar jumlahnya yang harus dikeluarkan
oleh para pihak.
Sementara itu, efisiensi pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan dalam sengketa perdata, pelaksanaannya diukur dari
biaya dan waktu serta hasil dari proses eksekusi yang dijaklankan
oleh ketua pengadilan. Pada satu sisi, biaya diukur dari biaya-
biaya yang dibayar dalam rangka pelaksanaan eksekusi mulai dari
biaya registrasi, biaya pengamanan, serta biaya-biaya lain yang
muncul tak terduga, sampai proses eksekusi tersebut selesai,
termasuk di dalamnya adalah kerugian yang terbentuk dari
turunnya nilai pengembalian atas objek yang dieksekusi.
Sementara pada sisi lain, waktu diukur mulai dari permohonan
pengajuan eksekusi sampai dengan proses pemberesan objek
eksekusi. Hasil dari proses eksekusi tersebut akan mengukur
apakah sistem eksekusi mendorong/mendukung agar suatu
bisnis/usaha yang mengalami kendala dapat tetap berjalan dengan
baik dan lancar sehingga pelaku usaha tersebut tetap bertahan
untuk melanjutkan bisnisnya.
Oleh karenanya, untuk tetap dapat mendorong agar para
pihak terutama pelaku usaha atau pelaku bisnis yang mengalami
kesulitan dalam memperoleh haknya setelah adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat mengambil dan
memiliki haknya, agar haknya atas objek yang dieksekusi tersebut
berjalan dengan lancar dan mudah, sehingga tidak menggangu
aktifitas usahanya, pada konteks ini tentu Mahkamah Agung
150
harus menyediakan berbagai perangkat hukum yang lebih teknis
lagi soal eksekusi putusan pengadilan tersebut. Sebab kebijakan
Mahkamah Agung dalam upaya mendukung kemudahan
berusahan masih hanya terbatas pada beberapa kebijakan yang
ada pada level atau tahapan proses penyelesaian perkara, namun
tidak sampai kepada pelaksanaan putusan, melalui eksekusi di
Pengadilan Negeri.
Dalam beberapa kebijakan terbaru terkait dengan small
clime court misalnya, masih menyisahkan beberapa persoalan
pada tahapan eksekusi putusan gugatan sederhana tersebut. Sebab
tidak semua putusan gugatan sederhana yang telah diputus oleh
pengadilan serta merta dapat dilaksanakan oleh pihak yang kalah,
sehingga perlu lagi ada uapaya pengadilan melalui eksekusi, dan
eksekusinya sendiri tidak sesederhana proses penyelesaian
perkaranya, bahkan biaya eksekusinyapun melebihi objek
sengketa yang telah diputus. Oleh karena itu perlu ada perangkat
aturan yang mengatur mengenai eksekusi putusan pengadilan
terutama eksekusi putusan perdata yang mendukung kemudahan
bagi pelaku usaha untuk mendapatkan haknya dengan mudah,
cepat dan biaya murah, sehingga dapat menyelamatkan usaha
atau bisnis yang masih memiliki harapan untuk hidup (viable),
yang pada akhirnya akan mendorong tingkat pertumbuhan
ekonomi nasional.
Perangkat hukum yang disediakan harus memberikan
perlindungan atas hak-hak para pihak terutama bagi pihak pelaku
151
usaha yang telah mendapatkan haknya melalui putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun masih
menghadapi kendala dalam eksekusi putusannya. Perangkat
hukum tersebut tentu dalam menyikapi dan mengantisipasi
berbagai permaslahan yang dihadapi dalam eksekusi putusan
tersebut, permasalahan-permasalahan tersebut sebagaimna
diuraikan diatas diantaranya adalah;
a. Adanya diktum putusan yang tidak jelas amarnya
b. Adanya perlawanan pihak ketiga
c. Adanya perbedaan objek yang dieksekusi
d. Mengenai delegai eksekusi
e. Masalah biaya eksekui
f. Masalah pengamanan
g. Masalah kewenangan jurusita dalam pelaksanaan eksekusi
h. Masalah bantuan dan dukungan pihak lain dalam mendukung
pelaksanaan eksekusi
2. Posisi dan Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Pelaksanaan
Eksekusi untuk Mendukung Kemudahan Berusaha
Untuk menjaga tegaknya kepastian hukum, undang-undang
telah menentukan kewenangan menjalankan putusan terhadap
suatu putusan pengadilan. Pedoman menentukan kewenangan
menurut ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 2006 ayat (1)
RGg, didasarkan atas faktor Pengadilan Negeri mana perkara
152
(gugatan) diajukan, dan di Pengadilan Negeri mana perkara
diperiksa dan diputus pada tingkat pertama.
Dari pedoman menentukan kewenangan menjalankan
putusan atau eksekusi, tidak perlu dipermasalahkan pemeriksaan
banding atau kasasi. Sekalipun, misalnya suatu perkara melalui
taraf pemeriksaan banding atau kasasi, hal tersebut tidak turut
menjadi faktor menentukan kewenangan eksekusi. Satu-satunya
faktor penentu kewenangan eksekusi semata-mata didasarkan pada
pengajuan dan penjatuhan putusan pada tingkat pertama.
Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus suatu perkara
dalam tingkat pertama adalah Pengadilan Negeri yang berwenang
untuk menjalankan eksekusi atas putusan yang bersangkutan, tanpa
mengurangi hak dan wewenangnya untuk melimpahkan delegasi
eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lain, apabila objek yang
hendak dieksekusi terletak di luar daerah hukumnya.
Manfaat dari ketentuan kepastian kewenangan eksekusi,
bertujuan menghindari saling rebutan di antara Pengadilan Negeri.
Masing-masing pengadilan sudah tahu diri batas kewenangan
eksekusi yang dapat dijangkau sehingga terbina tata tertib
kewenangan eksekusi yang pasti apabila tiba saatnya diperlukan
upaya eksekusi terhadap suatu putusan.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau
Pasal 206 ayat (1) RBg, untuk menjalankan eksekusi terhadap
putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi
peradilan tingkat pertama, yakni pada Pengadilan Negeri.
153
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai
wewenang menjalankan eksekusi. Tidak menjadi soal apakah
putusan yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, eksekusinya tepat
berada di bawah kewenangan Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. Ketentuan ini
bermaksud untuk menentukan ketentuan eksekusi tidak dibagi-bagi
tetapi terkonsentrasi pada Pengadilan Negeri. Ketentuan tersebut
sebagai tujuan untuk mewujudkan tata tertib dalam penegakan dan
pelayanan hukum.
Penertiban pemusatan eksekusi di tanggan instansi
Pengadilan Negeri sangat berdaya guna menghindari saling adu
kekuasaan di antara instansi peradilan. Pengadilan Tinggi atau
Mahkamah Agung tidak dapat mencampuri eksekusi putusan yang
dilakukan Pengadilan Negeri. Instansi tingkat banding atau kasasi
paling-paling untuk turut mengawasi jalannya eksekusi agar tidak
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.
Sepanjang eksekusi yang dilaksanakan berjalan sesuai aturan dan
ketentuan hukum maka instasi peradilan banding maupun kasasi
tidak memiliki kewenangan untuk mencapuri urusan eksekusi
tersebut.
Pada dasarnya bahwa, eksekusi putusan pengadilan
dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri (op last en onder leiding van den voorzitter van den
landraad). Bersamaan dengan kewenangan menjalankan eksekusi
154
yang pelimpahannya menurut undang-undang kepada Pengadilan
Negeri, kewenangan tersebut secara formal berada di tangan Ketua
Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan untuk
memerintahkan eksekusi dan sekaligus memimpin jalannya
eksekusi.
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan
memimpin eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex
officio. Kewenagan secara ex officio dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan
demikian dalam konteks kewenangan Ketua Pengadilan Negeri
menjalankan eksekusi, Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat
(1) RBg, tidak lepas kaitannya dengan Pasal 197 ayat (1) HIR atau
Pasal 208 RBg. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat
diketahui secara jelas bahwa:
a. Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin
jalannya eksekusi;
b. Kewenangan memerintah dan memimpin eksekusi yang ada
pada Ketua Pengadilan adalah ex officio;
c. Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah “panitera” atau
“juru sita” Pengadilan Negeri.
Di sini dapat dilihat secara jelas bahwa, eksekusi secara nyata
dilakukan oleh panitera atau juru sita berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
Surat penetapan merupakan landasan yuridis tindakan eksekusi yang
dilakukan panitera atau juru sita. Tanpa suarat penetapan, syarat formal
155
eksekusi belum memadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1)
HIR atau Pasal 208 RBg mesti dengan surat penetapan, tidak
diperkenankan perintah eksekusi secara lisan. Ketentuan syarat ini
imperatif. Bentuk penetapan perintah eksekusi secara tertulis sesuai
dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum pada satu pihak, serta
pertanggungjawaban yang jelas pada pihak lain. Dengan adanya
perintah eksekusi yang berbentuk surat penetapan, panitera atau juru
sita mengetahui secara terinci batas-batas eksekusi yang akan
dijalankan.
Jika melihat pada kenyataannya bahwa kewenangan eksekusi
putusan pengadilan dalam sengketa perdata yang dijalankan oleh ketua
Pengadilan sesungguhnya masih banyak menyisikahkan permasalahan.
Kewenangan tersebut belum sepenuhnya dapat dijalankan sebagaimana
mestinya, sebaba realitasnya dalam beberapa kasus pelaksanaan
putusan pengadilan dalam sengketa perdata, ketua pengadilan masih
mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk
meminta petunjuk teknis lebih lanut lagi soal eksekusi dalam beberapa
kasus tertentu. Padahal mekanisme semacam ini belum ada atrannya
yang jelas.
Selanjutnya dalam beberapa kasus eksekusi pengadilan juga tidak
berwenang dalam menentukan biaya pengamanan, sebab tugas
pengawanan biasanya dimintakan oleh pihak kepolisian. Faktor
pengamanan dan biaya pengamanan inilah menjadi salah satu kendala
atau faktor penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan. Dalam bebrapa diskusi melalui fokus group diskusi dalam
156
rangka pelaksanaan penelitian ini, banyak peserta yang menyarankan
sekiranya tugas pengamana ini diserahkan kepada pihak pengadilan
dengan jalan menambah jumlah jurusita, atau mengangkat tenangan
pengamanan pengadilan dalam rangka mendukung kemudahan
pelaksanaan eksekusi di lapang, akan lebih efektif, ketimbang
melibatkan pihak lain di luar pengadilan, seperti Polisi, atau satpol PP.
Sebab biasanya dengan melibatkan pihak kepolisian atau pihak lain,
kedala uatama adalah soal koordinasi dan soal jumlah personil yang
melakukan tugas pengamanan, tidak ada taksiran pasti soal jumlah
personil pengamanan, sehingga berakibat pada ketidakpastian dalam
menentukan jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pihak
keamanan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.
Pada posisi dan kesempatan yang lain, Pengadilan sebaiknya
diberikan porsi atau ruang untuk melakukan perdamaian dengan para
pihak untuk berdamai melalui forum mediasi. Jadi forum mediasi yang
berada di pengadilan tidak hanya disediakan pada tahap awal proses
penyelesaian perkara saja, namun ruang mediasi seyogianya disediakan
juga pada tahap eksekusi putusan pengadilan. Terutama mediasi
dilakukan terhadap para pihak yang tidak mau menerima putusan
pengadilan dengan sukarela.
Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa ada ketuan pengadilan
yang berani untuk memberikan ruang bagi pelaksanaan mediasi dalam
tahap pelasanaan putusan pengadilan, dan apa yang dilakukan tersebut
nampaknya berhasil mendamaikan para pihak yang terlibat dalam
eksekusi putusan pengadilan, walaupun belum ada ketentuan yang
157
mengatur soal mediasi dalam tahapan akhir pelaksanaan ekseusi
putusan pengadilan.
Pada prinsipnya bahwa penyelesaian sengketa yang paling efektif
dan efisien di antara para pihak adalah melalui upaya perdamaian. Atau
dapat dikatakan dengan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Cara
semacam ini yang dianggap paling tepat, karena sengketa dapat
diselesaikan secara kekeluargaan dan masing-masing pihak memiliki
posisi yang sama yang saling menghargai di antara para pihak. Apabila
jalur yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah tersebut melalu
musyawarah untuk mencapai kemufakatan dalam menentukan
perdamaian di antara para pihak, di sinilah letak penyelesaian sengketa
yang sesungguhnya khususnya di bidang perdata, sebab para pihak
tidak ada yang merasa dikalahkan, dan tidak ada yang merasa menang,
sama-sama mencari win-win solutin.
Demikian juga terhadap pihak ketiga merasa terlindungi, sebab
pada posisi ini pihak ketiga bisa mengetahui secara jelas status tanah
yang menjadi objek jaminan debotor (salah satu pihak dalam sengketa),
dan selanjutnya bisa dieksekusi untuk memenuhi hutang debitor pada
bank.
159
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa catatan yang dirampung dalam laporan
penelitian ini, terkait kewenangan pengadilan dalam eksekusi putusan
perdata untuk mendukung kemudahan berusaha, maka dapat
disampaikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
1. Kebijakan Mahkamah Agung RI dalam upaya mendukung
kemudahan berusahan sudah berjalan dengan baik, namun
kebijakan tersebut masih terbatas pada beberapa kebijakan
yang ada pada level atau tahapan proses penyelesaian perkara,
kebijakan tesebut tidak sampai kepada pelaksanaan putusan,
melalui eksekusi di Pengadilan Negeri, sehingga
permasalahan yang terjadi dalam tahapan eksekusi putusan
pengadilan dalam sengketa perdata masih menyisahkan
permasalahan terutama terkait dengan dukungan pengadilan
untuk kemudahan berusaha.
2. Belum ada rumusan khusus dalam bentuk peraturan
Mahkamah Agung yang mengatur mengenai kemudahan
eksekusi putusan dalam sengketa perdata yang dijalankan oleh
ketua pengadilan negeri untuk mendukung kemudahan
berusahan. Eksekusi putusan pengadilan dalam sengketa
perdata masih merujuk kepada ketenytuan hukum acara biasa,
sengga masih banyak kendala teknis yang dihadapi oleh ketua
160
pengadilan dalam mejalankan eksekusi putusan pengadilan
tersebut.
B. Saran/Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka, beberapa
rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung sebaiknya mengkaji ulang aturan hukum
tentang pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan dalam
sengketa perdata, terutama berkaitan dengan posisi dan
kewenangan Ketua Pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi,
terutama memberikan petunjuk praktis untuk memudahkan
tugas dan kewenangan pengadilan negeri dalam menjalankan
eksekusi putusan pengadilan dengan tujuan untuk mendorong
kemudahan berusahan.
2. Sebaiknya diterbitkan aturan khusus berupa peraturan
Mahakamah Agung untuk memperluas ruang mediasi tidak
hanya sampai pada tahapan proses awal pengajuan gugatan
pada pengadilan, namun mediasi diperluas sampai pada
tahapan eksekusi putusan, terutama terhadap putusan
pengadilan yang sulit dilaksanakan.
161
3. Salah satu faktor kendala terbesar dalam menjalankan
eksekusi adalah maslah keamanan, oleh karena itu sebaiknya
perlu untuk didorong adanya polisi keamana pengadilan secara
khusus, agar memudahkan dalam pelaksanaan putusan
pengadilan.