Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

145
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis i KATA PENGANTAR Modul Teknik Pantai ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan dan pelatihan (Diklat) Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai dalam rangka meningkatkan keahlian dan kemampuan peserta dalam bidang operasi dan pemeliharaan bangunan pantai. Dengan mengikuti pembahasan modul ini maka peserta diklat diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengerti dan memahami proses morofologi yang terjadi di setiap lokasi pantai, sehingga dengan demikian bisa ditindaklanjuti dengan melakukan tindakan ataupun kegiatan pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungan dari pantai itu sendiri. Modul ini merupakan modul yang membahas ilmu pantai praktis yang berisi tentang gambaran dan pembagian wilayah pantai beserta istilah-istilahnya. Selain itu dalam penjabaran teknik pantai praktis ini juga akan disampaikan mengenai proses morfologi pantai yang akan berpengaruh terhadap bentuk pantai yang akan berkembang menjadi beberapa jenis pantai bedasarkan sifat dan bentuknya. Sebagai tambahan pengetahuan dalam modul ini juga terdapat uraian mengenai aspek-aspek hidro-oseanografi yang akan berkaitan dengan proses perencanaan sistem bangunan pengamanan pantai. Demikian modul yang kami sampaikan, besar harapan kami agar modul ini dapat memberikan gambaran awal yang jelas dan rinci untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan dan menghimpun berbagai masukan dari berbagai pihak. Selanjutnya atas semua bantuan dan dorongan dari semua pihak terkait, kami ucapkan terimakasih. Bandung, November 2016 (Kapusdiklat SDA dan Konstruksi) Dr.Ir. Suprapto, M.Eng

Transcript of Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis i

KATA PENGANTAR

Modul Teknik Pantai ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan

dan pelatihan (Diklat) Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai dalam rangka

meningkatkan keahlian dan kemampuan peserta dalam bidang operasi dan

pemeliharaan bangunan pantai. Dengan mengikuti pembahasan modul ini maka

peserta diklat diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengerti dan memahami

proses morofologi yang terjadi di setiap lokasi pantai, sehingga dengan demikian

bisa ditindaklanjuti dengan melakukan tindakan ataupun kegiatan pemeliharaan

yang sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungan dari pantai itu sendiri.

Modul ini merupakan modul yang membahas ilmu pantai praktis yang berisi

tentang gambaran dan pembagian wilayah pantai beserta istilah-istilahnya. Selain

itu dalam penjabaran teknik pantai praktis ini juga akan disampaikan mengenai

proses morfologi pantai yang akan berpengaruh terhadap bentuk pantai yang

akan berkembang menjadi beberapa jenis pantai bedasarkan sifat dan bentuknya.

Sebagai tambahan pengetahuan dalam modul ini juga terdapat uraian mengenai

aspek-aspek hidro-oseanografi yang akan berkaitan dengan proses perencanaan

sistem bangunan pengamanan pantai.

Demikian modul yang kami sampaikan, besar harapan kami agar modul ini dapat

memberikan gambaran awal yang jelas dan rinci untuk kelancaran pelaksanaan

pekerjaan dan menghimpun berbagai masukan dari berbagai pihak. Selanjutnya

atas semua bantuan dan dorongan dari semua pihak terkait, kami ucapkan

terimakasih.

Bandung, November 2016 (Kapusdiklat SDA dan Konstruksi)

Dr.Ir. Suprapto, M.Eng

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis ii

DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii Daftar Tabel iv Daftar Gambar v Istilah dan Definisi ix Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang I-1 1.2 Deskripsi Singkat I-1 1.3 Kompetensi Dasar I-2 1.4 Indikator Keberhasilan I-2 1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan I-2 1.6 Petunjuk Penggunaan Modul I-2 1.7 Bahan Belajar I-3 Bab 2 Uraian Materi Pokok

2.1 Uraian Materi Pokok Pembagian wilayah kawasan pantai II-1 2.1.1 Spits II-3 2.1.2 Tombolo II-7 2.1.3 Barrier Island II-9 2.1.4 Lagoon II-10 2.1.5 Inlet II-12 2.1.6 Bay (teluk) II-12 2.1.7 Headland (ujung/tanjung) II-14 2.1.8 Hooked Spit II-16 2.1.9 Berm II-17 2.1.10 Backshore II-19 2.1.11 Foreshore II-21 2.1.12 Surf zone II-22

2.2 Uraian Materi Pokok Tentang Tipe Pantai (60 menit) II-24

2.2.1 Pantai Estuari II-23 2.2.2 Pantai Vulkanik II-27 2.2.3 Pantai Tebing (Cliff) II-28 2.2.4 Pantai Deposisi Laut - Barrier II-30

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis iii

2.2.5 Pantai Deposisi – Pantai Berpasir II-31 2.2.6 Pantai Rawa II-34 2.2.7 Pantai Hayati (Biological Coast) II-34 2.2.8 Pantai Delta II-35

2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Hidro-Oseanografi Pantai II-41 2.3.1 Angin II-41 2.3.2 Gelombang II-44 2.3.3 Arus Laut II-49 2.3.4 Pasang Surut II-52

2.4 Uraian Materi Tentang Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai II-58 2.5 Uraian Materi Tentang Pedoman dan Perencanaan Sistem

Bangunan Pantai II-81 2.5.1 Pedoman Perencanaan Bangunan Pantai II-81 2.5.2 Perencanaan Sistem Bangunan Pantai II-84

Bab 3 Penutup

3.1 Rangkuman III-1 3.2 Daftar Pustaka III-2

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis iv

DAFTAR TABEL Tabel 1 Contoh penguraian komponen pasut hasil pengukuran II-57 Tabel 2 Contoh elevasi acuan pasut II-58 Tabel 3 Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai II-59 Tabel 4 Keuntungan dan kerugian konstruksi tembok laut II-61 Tabel 5 Keuntungan dan kerugian konstruksi Revetment II-63 Tabel 6 Keuntungan dan kerugian konstruksi groin II-66 Tabel 7 Keuntungan dan kerugian konstruksi breakwater II-70 Tabel 8 Contoh nilai komponen pasang surut II-105 Tabel 9 Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal II-107 Tabel 10 Harga Elevasi-elevasi Acuan II-107 Tabel 11 Contoh Hasil Gelombang Rencana II-112 Tabel 12 Informasi dalam nomenklatur bangunan II-128 Tabel 13 Koefisien Lapis II-129

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis v

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kawasan Pantai dan Definisi Pantai. II-1 Gambar 2 Pembagian zona pantai. II-2 Gambar 3 Profil melintang pantai. II-3 Gambar 4 Proses terbentuknya spits. II-4 Gambar 5 Proses terbentuknya spits. II-4 Gambar 6 Proses terbentuknya spits. II-5 Gambar 7 Fenomena spits di pantai. II-5 Gambar 8 Fenomena spits di pantai. II-6 Gambar 9 Fenomena spits di pantai. II-6 Gambar 10 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-7 Gambar 11 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-8 Gambar 12 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-8 Gambar 13 Bentuk-bentuk barrier island. II-9 Gambar 14 Bentuk-bentuk barrier island. II-9 Gambar 15 Bentuk-bentuk barrier island. II-10 Gambar 16 Bentuk-bentuk lagoon. II-11 Gambar 17 Bentuk-bentuk lagoon. II-11 Gambar 18 Bentuk-bentuk inlet lagoon. II-12 Gambar 19 Bentuk-bentuk teluk. II-13 Gambar 20 Teluk Jakarta Provinsi DKI Jakarta. II-13 Gambar 21 Teluk Bayur Provinsi Sumatera Barat. II-14 Gambar 22 Bentuk-bentuk tanjung. II-15 Gambar 23 Tanjung Lesung Provinsi Banten. II-15 Gambar 24 Tanjung Batu Provinsi Jawa Timur. II-16 Gambar 25 Bentuk-bentuk hooked spit. II-16 Gambar 26 Bentuk-bentuk hooked spit. II-17 Gambar 27 Bentuk-bentuk berm pantai. II-18 Gambar 28 Bentuk-bentuk berm pantai. II-18 Gambar 29 Bentuk-bentuk berm pantai. II-19 Gambar 30 Pembagian wilayah forshore dan backshore. II-19 Gambar 31 Pembagian wilayah foreshore dan backshore. II-20 Gambar 32 Bentuk-bentuk backshore. II-20 Gambar 33 Bentuk-bentuk foreshore. II-21 Gambar 34 Bentuk-bentuk foreshore. II-21 Gambar 35 Proses terbentuknya surf zone. II-22 Gambar 36 Proses terbentuknya surf zone. II-22

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis vi

Gambar 37 (a) Tampak atas dari distribusi energi dan proses fisik pada estuari; (b) definisi skematis dari estuari (c) Rata-rata alur transpor sedimen II-24

Gambar 38 Evolusi estuari, berdasarkan perubahan gaya gelombang dan pasang surut. Bagian kiri menunjukkan pantai yang mengarah yang terjadi selama suplai sedimen tinggi. Bagian kanan menunjukkan bagaimana estuari terbentuk selama suplai sedimen berkurang II-26 Gambar 39 Anak krakatau dengan pantainya yang terbentuk oleh aliran

lava. beberapa bagian yang telah dingin dan lapuk ditumbuhi oleh vegetasi namun sebagian tersapu kembali oleh aliran lava II-28

Gambar 40 Puncak yang tergerus gelombang diangkat oleh gerakan tektonik sedimen yang terkumpul di pelataran dapat melindungi cliff sementara terhadap erosi lanjutan. II-29

Gambar 41 Erosi gelombang pada garis pantai menghasilkan pantai yang lurus dan dibatasi oleh tebing. Pelataran yang dibentuk gelombang dan bebatuan dan lengkung dapat tertinggal di lepas pantai. Ciri seperti ini didapati sepanjang pantai di Nias selatan. II-30

Gambar 42 Erosi gelombang meninggalkan batu lengkung, Teluk Dalam, Nias Selatan. II-31

Gambar 43 Model morfologi dari estuari (a) dominasi gelombang (b) dominasi pasang surut. Estuari. II-38 Gambar 44 Bentuk penumpukan sedimen yang terjadi di muara sungai II-39 Gambar 45 Peta isopach untuk delta dominasi sungai II-40 Gambar 46 Contoh mawar angin. II-43 Gambar 47 Pergerakan partikel zat cair pada gelombang. II-45 Gambar 47 Sketsa definisi parameter gelombang. II-46 Gambar 49 Contoh fetch (kawasan pembangkitan gelombang). II-47 Gambar 50 Contoh mawar gelombang. II-48 Gambar 51 Peta pergerakan arus global. II-50 Gambar 52 Kondisi siklus pasang surut. II-53 Gambar 53 Bagan alir pengolahan pasang surut. II-55 Gambar 54 Contoh grafik pasut hasil pengukuran 15 hari. II-56 Gambar 55 Contoh desain tembok laut miring dengan slab beton II-59 Gambar 56 Contoh desain tanggul laut dengan perkuatan aspal

dan perlindungan tumit II-60 Gambar 56 Contoh konstruksi tembok laut. II-60 Gambar 58 Contoh konstruksi revetment II-61 Gambar 59 Contoh desain revetment dengan urugan armor blok beton II-61

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis vii

Gambar 60 Contoh desain tembok laut dinding tegak dengan pasangan batu/beton II-62

Gambar 59 Contoh groin lurus II-64 Gambar 60 Contoh groin dengan bentuk yang berbeda II-64 Gambar 61 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem groin II-65 Gambar 64 Contoh-contoh desain struktur groin II-66 Gambar 65 Pemecah gelombang lepas pantai (detached) II-67 Gambar 66 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan

pemecah gelombang II-68 Gambar 67 Pemecah gelombang urugan multi-lapis konvensional II-68 Gambar 68 Contoh pemecah gelombang urugan dengan struktur atas II-69 Gambar 69 Pemecah gelombang kaison vertikal komposit II-70 Gambar 70 Pemecah gelombang kaison horisontal komposit II-71 Gambar 71 Metoda reduksi gaya-gaya gelombang pada pemecah gelombang

tipe kaison II-71 Gambar 72 Contoh jetty di estuari (1) II-73 Gambar 73 Contoh jetty di estuari (2) II-74 Gambar 74 Contoh-contoh armor beton buatan II-75 Gambar 75 Contoh-contoh armor beton buatan II-76 Gambar 76 Mekanisme kegagalan struktur batu alam

(CIRIA dan CUR, 1991) II-78 Gambar 77 Armor batu alam terlepas; awal keruntuhan lereng struktur

urugan. II-79 Gambar 78 Keruntuhan dinding penahan tanah (bulkhead) akibat gerusan

dan beban lebih. II-79 Gambar 79 Keruntuhan tembok laut (seawall) akibat gerusan tumit dan

limpasan puncak. II-79 Gambar 80 Bagan alir kriteria desain bangunan pengaman pantai. II-80 Gambar 81 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (1). II-85 Gambar 82 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (2). II-86 Gambar 83 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (3). II-87 Gambar 84 Bagan alir pelaksanaan pengukuran topografi. II-91 Gambar 85 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (1). II-92 Gambar 86 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (2). II-93 Gambar 87 Spesifikasi alat ukur Waterpass untuk survei topografi. II-94 Gambar 88 Bagan alir pelaksanaan pengukuran batimetri. II-96 Gambar 89 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (1). II-97 Gambar 90 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (2). II-98

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis viii

Gambar 91 Lokasi pengamatan pasut. II-100 Gambar 92 Alat current meter. II-101 Gambar 93 Alat sondir. II-103 Gambar 94 Bagan alir perhitungan dan peramalan pasang surut laut. II-105 Gambar 95 Contoh windrose. II-108 Gambar 96 Bagan alir perhitungan dan peramalan gelombang. II-109 Gambar 97 Contoh Fetch. II-109 Gambar 98 Contoh waverose. II-110 Gambar 99 Contoh hasil perambatan gelombang. II-112 Gambar 100 Contoh hasil pemodelan perubahan posisi garis pantai. II-114 Gambar 101 Contoh hasil pemodelan perubahan garis pantai. II-114 Gambar 102 Bagan alir perhitungan numerik. II-116 Gambar 103 Contoh hasil pemodelan numerik untuk arus. II-117 Gambar 104 Contoh hasil pemodelan numerik untuk sedimentasi. II-117 Gambar 105 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah

Tegak Lurus Garis Pantai (Pantai yang Datar). II-121 Gambar 106 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah

Tegak Lurus Garis Pantai (Pantai yang Berbukit). II-121

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis ix

ISTILAH DAN DEFINISI Abrasi : adalah proses dimana terjadi pengikisan pantai yang disebabkan oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak Backshore : daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang

terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi Barrier island : gundukan pasir (atau spit) yang membentuk pulau sempit yang

memanjang sejajar dengan daratan Breaker zone : daerah di mana gelombang yang datang dari laut (lepas pantai)

mencapai ketidak-stabilan dan akhirnya pecah. Berm : Daerah plateau pada pantai yang mendekati datar di muka pantai atau backshore, dibentuk oleh deposisi material pantai oleh aksi

gelombang atau karena pembentukan secara mekanis dalam proyek pengisian pasir Breakwater : bangunan pengaman pantai yang dibangun melintang atau relatif

sejajar garis pantai dengan tujuan mereduksi energi gelombang sehingga akan terbentuk perairan yang tenang di belakang pemecah gelombang Daratan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi Estuari : daerah semi tertutup di pesisir pantai yang mempunyai akses

menuju laut lepas dimana terjadi pencampuran antara air laut dengan air tawar yang mengalir dari darat melalui sungai Foreshore : daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air

rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi. Garis pantai : garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. groin : bangunan yang dibuat relatif tegaklurus garis pantai untuk mengendalikan erosi pantai pada bagian updrift dengan cara menahan transpor sedimen sejajar pada bagian downdrift Inshore : daerah yang membentang ke arah laut dari foreshore sampai

tepat di luar breaker zone. Inlet : celah sempit yang menghubungkan lagoon dengan laut

jeti : bangunan yang dibuat di muara sungai untuk mengarahkan aliran dan menjaga muara sungai tersebut dari pendangkalan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis x

akibat sedimentasi Lautan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya. Longshore bar : gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Longshore bar terbentuk karena proses gelombang pecah di daerah inshore. Lagoon : adalah perairan dangkal yang memisahkan barrier beach dari

daratan Longshore transport :adalah perpindahan sedimen yang mempunyai arah rata-rata

sejajar garis pantai. Offshore : daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut

Pantai : daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah revetmen : struktur bangunan pengaman pantai yang dibuat relatif menempel dan mengikuti garis pantai dengan tujuan untuk melindungi pantai yang tererosi Sempadan : daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Surf zone : daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang

pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai. Swash zone : daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya

gelombang dan batas terendah turunya gelombang di pantai. Spit : terbentuk ketika gelombang dominan dan arus meng-endapkan

sedimen membentuk dataran yang memanjang, menjauhi headland yang tererosi (atau sumber sedimen lain) Tombolo : bentuk deposisi pasir di belakang pulau atau obyek yang berada di hadapan pantai (offshore)

Tanjung : permukaan yang tegak yang memanjang masuk kedalam badan air tembok laut : bangunan yang berfungsi mengamankan bagian darat pantai terhadap erosi akibat gelombang dan sekaligus sebagai dinding penahan tanah. tanggul laut : bangunan pantai yang dibuat untuk memisahkan dataran pantai rendah dengan perairan laut agar terhindar dari banjir akibat pasang air laut

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis xi

nearshore zone : daerah tempat energi dari laut beraksi ke arah darat

Sedimentasi : adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam lingkungan tersebut

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-1

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bangunan pantai maka,

perlu dipersiapkan aparatur sipil negara yang memiliki integritas dan profesional.

Tuntutan untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan memiliki aparatur sipil negara

yang memiliki integritas dan profesional tentunya membutuhkan kesungguhan dan

kesiapan sumber daya manusia yang baik melalui penyaringan penerimaan

aparatur sipil negara yang baik dan selektif. Juga tidak bisa diabaikan adalah

pentingnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumber daya aparatur sipil

negara untuk membentuk dan mengkader aparatur yang berintegritas dan

profesional.

Kesiapan sumber daya aparatur yang baik dan berkualitas tentunya akan

memudahkan berlangsungnya proses reformasi birokrasi yang sedang dijalankan.

Sehubungan dengan hal tersebut faktor kesiapan dan kemauan untuk merubah

pola pikir, sikap dan perilaku sebagai pegawa negeri sipil yang berintegritas dan

profesional menjadi pondasi dan esensi strategis yang ikut menentukan

keberhasilan pelaksanaan OP bangunan pantai.

Salah satu upaya untuk menciptakan aparatur pelaksana OP bangunan pantai

yang profesional adalah dengan mengikuti diklat OP bangunan pantai khususnya

dengan mengikuti materi pembelajaran tentang modul sikap dan perilaku kerja

PNS. Dari keikutsertaan pada diklat tersebut maka diharapkan seorang PNS akan

mampu untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya

khususnya PNS yang akan menjalankan kegiatan OP bangunan pantai

1.2 Deskripsi Singkat

Modul Teknik Pantai Praktis ini akan berguna bagi setiap pelaksana yang akan

menerima tugas dan tanggung jawab dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan

bangunan pantai. Dalam teknik pantai praktis ini diharapkan setiap peserta bisa

mengerti dan memahami proses morofologi yang terjadi di setiap lokasi pantai

yang berbeda, sehingga dengan demikian bisa ditindaklanjuti dengan melakukan

tindakan ataupun kegiatan pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi fisik dan

lingkungan dari pantai itu sendiri.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-2

Untuk menunjang pekerjaan operasi dan pemeliharaan bangunan pantai maka

peserta diklat juga akan diberikan pengetahuan tentang aspek-aspek hidro-

oseanografi yang sangat erat kaitannya dengan proses perencanaan sistem

bangunan pantai. Selain itu juga akan ditambahkan materi khusus tentang

metodologi perencanaan sistem bangunan pengamanan pantai yang dimulai dari

tahap yang paling awal sampai dengan tahap akhir yaitu proses desain bangunan

pengamanan pantai.

1.3 Kompetensi Dasar

Setelah peserta diklat mengikuti materi ini maka diharapkan peserta mempunyai

kemampuan untuk mengetahui dan memahami definisi-definisi terkait dengan

pembagian wilayah pantai berserta proses morofologi yang menyertainya. Selain

itu juga peserta diharapkan mempunyai pengetahuan mengenai aspek-aspek

perencanaan sistem bangunan pantai sebagai pendukung dalam melakukan

kegiatan operasi dan pemeliharaan bangunan pengamanan pantai.

1.4 Indikator Keberhasilan

1. Mengetahui dan memahami pembagian wilayah dan istilah terkait ilmu pantai

2. Mengetahui dan memahami pembagian tipe pantai

3. Mengetahui dan memahami aspek-aspek hidro-oseanografi pantai

4. Mengetahui dan memahami aspek-aspek perencanaan bangunan

pengamanan pantai

5. Mengetahui dan memahami tipe dan fungsi bangunan pengamanan pantai

1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Modul ini akan menyampaikan beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan

sebagai berikut:

1. Pembagian wilayah dan istilah terkait ilmu pantai

a. uraian wilayah kawasan pantai dan definisinya

b. Uraian dan pengertian mengenai istilah fenomena yang ada di pantai

2. Uraian tentang pembagian tipe pantai

a. Uraian tipe pantai berdasarkan klasifikasi yang ada

3. Uraian tentang aspek-aspek hidro-oseanografi pantai

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-3

a. Penjelasan angin

b. Penjelasan gelombang

c. Penjelasan arus

d. Penjelasan pasut

4. Uraian tentang pedoman dan perencanaan sistem bangunan pengamanan

pantai

5. Uraian tentang tipe dan fungsi bangunan pantai

e. Uraian tipe bangunan pantai

f. Uraian tentang fungsi bangunan pantai

1.6 Petunjuk Penggunaan Modul

1. Petunjuk bagi peserta diklat

a. Mempelajari modul mulai dari awal hingga akhir secara berurutan dan

kerjakan tugas yang telah disediakan.

b. Menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan pada masing-masing

kegiatan berlatih.

c. Gunakan selalu baju lapangan (lengan panjang dan topi) ketika melakukan

kegiatan berlatih di lapangan (praktik).

d. Siswa berhak bertanya kepada pengajar jika menghadapi hal-hal yang tidak

dimengerti dari modul ini.

2. Petunjuk bagi pelatih

a. Memahami secara baik isi modul yang akan diajarkan, dapat dilakukan

melalui kaji widya.

b. Sebagai fasilitator peserta dalam proses berlatih, tidak mendominasi proses

berlatih.

1.7 Bahan Belajar

Sebagai bahan belajar maka setiap pemberi materi akan memberikan bahan

belajar melalui bahan tayang (slide ppt), LCD, komputer/ laptop dan modul.

Selain bahan teori dalam modul ini, sebagai tambahan bahan untuk memperkaya

wawasan dan menjembatani pengetahuan teori peserta kepada wawasan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-4

lapangan maka pada modul ini disertakan bahan berupa film hasil dari survei

dengan menggunakan drone di kawasan pantai Nusa Dua Bali.

1.8 Metode Pembelajaran

Ceramah, tanya jawab dan diskusi

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-1

Bab 2 URAIAN MATERI POKOK

2.1 Uraian Materi Pokok Pembagian wilayah kawasan pantai

Dalam istilah kepantaian terdapat 2 istilah yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore).

Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat perngaruh laut

seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan pantai

adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tinggi dan air

surut terendah. Berikut ini adalah pembagian zona pantai.

Gambar 1 Kawasan Pantai dan Definisi Pantai.

Selain definisi di atas, beberapa definisi yang berkaitan dengan karakteristik

gelombang di daerah sekitar pantai juga perlu diketahui. Gelombang yang

merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena

pengaruh perubahan kedalaman laut. Berkurangnya kedalaman laut

menyebabkan semakin berkurangnya panjang gelombang dan bertambahnya

tinggi gelombang.

Pada saat gelombang (perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang)

mencapai batas maksimum, gelombang akan pecah. Untuk penjelasan lebih lanjut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-2

Sumber : Triatmodjo (1999)

Gambar 2 Pembagian zona pantai.

Gambar diatas merupakan pembagian wilayah pantai berdasarkan kharakteristik

gelombang di daerah pantai. Offshore adalah daerah dari garis gelombang pecah

ke arah laut. Inshore merupakan daerah antara foreshore dan offshore. Foreshore

adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah

sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi. Backshore adalah

daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat

terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi. Untuk daerah

nearshore zone terdapat tiga zona yaitu breaker zone, surf zone dan swash zone.

Breaker zone adalah.daerah dimana terjadi gelombang pecah. Surfzone adalah

daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas

naik turunnya gelombang di pantai. Swash zone adalah daerah yang terbentang

oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya

gelombang di pantai.

Pantai dan kawasan dekat pantai (nearshore zone), sistem fisik pada daerah ini

terdiri dari aktifitas laut yang memberikan energi pada sistem dan pantai yang

menyerap energi tersebut. Karena garis pantai adalah pertemuan antara laut,

darat, dan udara, interaksi fisik yang terjadi di daerah ini menjadi unik, kompleks,

dan sangat sulit untuk dipahami sepenuhnya.

Pantai di seluruh dunia memiliki komposisi dan bentuk yang kurang lebih sama.

Profil pantai (penampang melintang pantai yang diambil tegak lurus pantai),

secara sederhana terdiri dari empat bagian yaitu: offshore, nearshore, beach, dan

coast, seperti yang tersaji pada Gambar 3 berikut

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-3

Sumber : Triatmodjo (1999)

Gambar 3 Profil melintang pantai.

Uraian di bawah ini menjelaskan pengertian dari istilah-istilah yang dipakai untuk

mengenali bentuk-bentuk unit dari pantai :

2.1.1 Spits

Spit (lidah pasir) terbentuk ketika gelombang dominan dan arus meng-endapkan

sedimen membentuk dataran yang memanjang, menjauhi headland yang tererosi

(atau sumber sedimen lain). Bentuk dari spits ini dicontohkan pada Gambar 4.

Spits dapat membesar dengan bentuk yang bermacam-macam, dan secara umum

akan mengikuti arah gelombang dominan (lihat Gambar 5). Spits yang

melengkung (recurve spits), dapat terjadi bila terdapat kondisi gelombang yang

lain dari kondisi yang membentuk spits tersebut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-4

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 4 Proses terbentuknya spits.

Gambar 5 Proses terbentuknya spits.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-5

Gambar 6 Proses terbentuknya spits.

Gambar 7 Fenomena spits di pantai.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-6

Gambar 8 Fenomena spits di pantai.

Gambar 9 Fenomena spits di pantai.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-7

2.1.2 Tombolo

Tombolo merupakan bentuk deposisi pasir di belakang pulau atau obyek yang

berada di hadapan pantai (offshore). Tombolo ini terbentuk karena dengan adanya

pulau tersebut arah gelombang dibelokkan menjauhi daerah di belakang pulau,

sehingga bagian ini menjadi tenang dan pasir mulai mengendap yang lama

kelamaan membentuk gundukan pasir yang menghubungkan pantai ke pulau

tersebut.

Bila letak pulau terlalu jauh dari pantai, tombolo tidak terbentuk, namun hanya

akan timbul bentuk yang menonjol pada pantai ke arah pulau tersebut, yang

disebut salient. Sketsa-sketsa tombolo dan salien disajikan dalam Gambar 10 –

Gambar 12 berikut ini.

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 10 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-8

Gambar 11 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Gambar 12 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-9

2.1.3 Barrier Island

Barrier island adalah gundukan pasir (atau spit) yang membentuk pulau sempit

yang memanjang sejajar dengan daratan. Pada saat badai, barrier island ini dapat

menjadi pelindung bagi daratan utamanya (lihat Gambar 13 – Gambar 15).

Gambar 13 Bentuk-bentuk barrier island.

Gambar 14 Bentuk-bentuk barrier island.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-10

Gambar 15 Bentuk-bentuk barrier island.

2.1.4 Lagoon

Lagoon atau laguna adalah perairan dangkal yang memisahkan barrier beach dari

daratan. Lagoon ini biasanya terhubung ke laut melalui celah yang sempit yang

selalu dilewati oleh arus pasang surut. Lagoon bisanya dijadikan tempat hidup

berbagai jenis binatang. Lagoon merupakan suatu perairan yang terlindung dan

sering kali dimanfaatkan sebagai kolam pelabuhan (lihat Gambar 16 – Gambar

17).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-11

Gambar 16 Bentuk-bentuk lagoon.

Gambar 17 Bentuk-bentuk lagoon.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-12

2.1.5 Inlet

Inlet adalah celah sempit yang menghubungkan lagoon dengan laut. Bila

dikembangkan, inlet dapat menjadi alur navigasi kapal untuk menuju laut. Karena

sifat pantai yang dinamis, inlet dapat tertutup atau terbentuk baru pada suatu

barrie. (lihat Gambar 18)

Gambar 18 Bentuk-bentuk inlet lagoon.

2.1.6 Bay (teluk)

Ceruk pada pantai atau inlet dari sebuah laut antara dua semenanjung atau

tanjung, tidak sebesar gulf namun lebih besar dari cove (lihat Gambar 19 –

Gambar 21).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-13

Gambar 19 Bentuk-bentuk teluk.

Gambar 20 Teluk Jakarta Provinsi DKI Jakarta.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-14

Gambar 21 Teluk Bayur Provinsi Sumatera Barat.

2.1.7 Headland (ujung/tanjung)

Tanjung yang dapat dibandingkan seperti cliff atau permukaan yang tegak yang

memanjang masuk kedalam badan air, seperti laut atau danau (lihat Gambar 22 –

Gambar 24).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-15

Gambar 22 Bentuk-bentuk tanjung.

Gambar 23 Tanjung Lesung Provinsi Banten.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-16

Gambar 24 Tanjung Batu Provinsi Jawa Timur.

2.1.8 Hooked Spit

Suatu lidah pasir atau semenanjung dari pasir atau kerikil yang berbelok ke arah

darat pada bagian ujung terluar; lidah pasir yang melengkung (lihat Gambar 25 –

Gambar 26).

Gambar 25 Bentuk-bentuk hooked spit.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-17

Gambar 26 Bentuk-bentuk hooked spit.

2.1.9 Berm

Daerah plateau pada pantai yang mendekati datar di muka pantai atau backshore,

dibentuk oleh deposisi material pantai oleh aksi gelombang atau karena

pembentukan secara mekanis dalam proyek pengisian pasir (beach

renourishment). Beberapa pantai alam tidak memiliki berm, sementara pantai lain

bisa memiliki beberapa berm (lihat Gambar 27 – Gambar 29).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-18

Gambar 27 Bentuk-bentuk berm pantai.

Gambar 28 Bentuk-bentuk berm pantai.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-19

Gambar 29 Bentuk-bentuk berm pantai.

2.1.10 Backshore

Kawasan pada pantai atau yang terletak antara foreshore dan garis pantai yang

memiliki berm atau beberapa berm yang berperan pada saat badai, terutama bila

dikombinasikan dengan kondisi air tinggi. Disebut juga backbeach (lihat Gambar

30 – Gambar 32).

Gambar 30 Pembagian wilayah forshore dan backshore.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-20

Gambar 31 Pembagian wilayah foreshore dan backshore.

Gambar 32 Bentuk-bentuk backshore.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-21

2.1.11 Foreshore

Bagian dari pantai yang berada antara puncak berm arah laut (atau batas atas

sapuan gelombang pada pasang tertinggi) dan garis air rendah yang biasanya

dilampaui oleh limpasan gelombang saat pasang surut naik atau turun (lihat

Gambar 33 – Gambar 34).

Gambar 33 Bentuk-bentuk foreshore.

Gambar 34 Bentuk-bentuk foreshore.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-22

2.1.12 Surf zone

Daerah dimana terjadi aksi gelombang memanjang dari garis air (yang bervariasi

karena pasang surut, surge, setup, dll) hingga titik terjauh di laut dari kawasan

(breaker zone) dimana gelombang yang mendekati garis pantai mulai pecah,

umumnya pada air dengan kedalaman 5 hingga 10 meter (lihat Gambar 35 –

Gambar 36).

Gambar 35 Proses terbentuknya surf zone.

Gambar 36 Proses terbentuknya surf zone.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-23

2.2 Uraian Materi Pokok Tentang Tipe Pantai

Sejumlah tipe pantai yang telah diklasifikasikan pada bagian sebelumnya

menunjukkan rangkuman dari seluruh jenis pantai yang ada di dunia menurut

cirinya yang menonjol. Di wilayah Indonesia, tidak semua pantai tersebut bisa

didapati karena faktor penyebabnya tidak ada. Berikut ini disajikan uraian

beberapa jenis pantai yang ada di Indonesia sebagai manual pengenalan akan

tipe pantai berdasarkan cirinya.

2.2.1 Pantai Estuari

Estuari adalah badan air yang terkurung yang menempati cekungan sungai yang

tidak membentuk delta. Definisi yang paling umum untuk estuari menjelaskan

bahwa estuari merupakan badan air dimana “..air laut diencerkan oleh air tawar

yang berasal dari drainase lahan”. Oleh karena itu estauri akan mencakup badan

air dimana salinitasnya berkisar dari 0.1 o/oo hingga sekitar 35 o/oo. Meski

demikian definisi seperti ini tidak membatasi estuari secara tegas pada

keberadaan muara sungai, dan memberi peluang pada, misalnya, laguna di

belakang barrier termasuk di dalamnya. Interaksi antara sungai dan proses pantai

merupakan kelengkapan yang esensial pada semua estuari. Karenanya diusulkan

suatu definisi estuari baru menurut geologi sebagai bagian sistem cekungan ke

arah laut yang menerima sedimen dari dua sumber: fluvial dan laut dan yang

mencakup permukaan yang dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang dan

proses fluvial. Estuari memanjang dari batas daratan permukaan yang

terpengaruh pasang surut sebagai bagian atas hingga batas ke arah laut berupa

permukaan pantai sebagai mulutnya. Batasan ini disajikan pada ilustrasi pada

Gambar 37 berikut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-24

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 37 (a) Tampak atas dari distribusi energi dan proses fisik pada estuari; (b) definisi skematis dari estuari (c) Rata-rata alur transpor sedimen

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-25

Estuari, sepertihalnya sistem pantai lain, bersifat sementara. Mulut sungai

mengalami evolusi geologis yang berlangsung terus menerus, sehingga estuari

menunjukkan satu fase dari suatu kontinum (suatu rangkaian). Selama suatu

periode suplai sedimen tinggi dan tingkat kenaikan laut rendah, sebuah estuari

akan terisi secara pelan-pelan. Tiga bentuk pantai dapat terjadi, tergantung pada

keseimbangan antara masukan di sungai dan suplai sedimen dari laut:

1. Jika sedimen di suplai oleh sungai, terbentuklah delta, yang sementara tumbuh

searah aliran ke laut lepas (Gambar 38 kiri).

2. Jika kebanyakan sedimen diangkut ke daerah ini oleh proses pantai, terbentuk

pesisir pantai yang lurus dan searah.

3. Jika muka laut naik pada tingkat yang lebih tinggi, maka cekungan sungai akan

terendam, membentuk suatu estuarai baru (Gambar 38 kanan).

Pada kondisi-kondisi tertentu, seperti saat muka laut naik dan suplai sedimen

seimbang, membedakan apakah suatu mulut sungai harus digolongkan sebagai

estuari atau delta yang berkembang menjadi sulit. Transpor material sedimen

dasar dapat merupakan perbedaan yang paling fundamental antara estuari dan

delta. Keberadaan meander yang rapat di aliran sungai menunjukkan bahwa

transpor sedimen dasar mengarah ke darat pada daerah meander yang berada di

bagian laut dan sebagai konsekuensinya, sistem ini adalah suatu estuari. Meski

demikian, jika aliran secara esensial adalah lurus sepanjang pesisir pantai,

sedimen dasar mengarah ke laut melalui sistem, dan ini dapat ditentukan sebagai

sebuah delta.

Sistem fluvial dikontol oleh tingkat erosi dasar dan suplai sedimennya. Selama

periode muka air laut rendah, sungai memahat bagian bawah dari cekungannya

dan mengalirkan sedimen dengan jumlah yang meningkat keluar hingga ke

lempeng. Delta berakumulasi dan alur fluvial terpotong, bagian potongan dari

dataran delta. Pada bagian terendah dari muka laut, estuari hampir tidak kelihatan

dan terkurung oleh cekungan sungai. Jika muka laut naik kembali, cekungan

terendam dan estuari muncul kembali.

Definisi geologis dari estuari menunjukkan bahwa suplai sedimen tidak menjaga

secara timbal balik dengan kenaikan laut lokal. Sebagai akibatnya, estuari menjadi

tenggelam karena sedimen dari daratan dan pantai. Sedimentasi adalah akibat

dari interaksi gelombang, pasang surut dan gaya sungai. Semua estuari, tidak

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-26

terkecuali apakah didominasi oleh gelombang atau pasang surut, dapat dibagi

dalam tiga kawasan:

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 38 Evolusi estuari, berdasarkan perubahan gaya gelombang dan pasang surut. Bagian kiri menunjukkan pantai yang mengarah yang terjadi selama suplai sedimen tinggi. Bagian kanan menunjukkan bagaimana estuari terbentuk selama suplai sedimen berkurang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-27

2.2.2 Pantai Vulkanik

Gunung api adalah lubang pada permukaan bumi tempat keluarnya magma dan

gas-gas yang menyertainya dan debu. Seringkali gunung-gunung yang berbentuk

kondus terbentuk sekitar lubang sebagai hasil erupsi yang berulang-ulang yang

membentuk lapisan diatas lapisan batuan dan debu. Oleh karenanya, definisinya

diperluas mencakup bukit atau gunung yang terbentuk sekitar bukaan karena

akumulasi material batuan.

Dua kelompok vulkanis dikenali berdasarkan sifat erupsi dan komposisi lavanya.

Yang pertama adalah vulkanik komposit dan dikenal karena sifat erupsinya yang

keras. Gunung krakatau adalah contoh yang ada di Indonesia, yang pernah

meledak pada tahun 1883 dan mengakibatkan gelombang tsunami. Sebaliknya,

gunung Merapi di pulau Jawa termasuk vulkanik berlapis, trsusun dari batuan hasil

letusan dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga dapat menghasilkan susunan

yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan, sehingga membentuk suatu

kerucut besar (raksasa).

Bahaya yang ditimbulkan oleh vulkanis mencakup empat hal:

1) ledakan yang membangkitkan tsunami yang dapt membanjiri daerah sekitar

pesisir pantai.

2) Dataran yang terendam oleh lelehan lava atau abu

3) Dataran yang terendam atau terganggu oleh aliran lumpur dan sediman fluvial

dari erupsi di bagiand alam dan perubahan aliran drainase dan pola arus sedimen

pantai.

4) Kehilangan nyawa dan kerusakan akibat ledakan.

Gunung api tampak merupakan bahaya bagi kebanyakan orang, namun

bahayanya dekat dan nyata untuk mereka yang tinggal di bagian tertentu bumi,

terutama sepanjang batas lempeng tektonik bumi. Kondisi ini perlu menjadi

perhatian bagi Indonesia karena kepulauan Indonesia terbentang mengikuti batas

lempeng sepanjang bagian selatannya dari sirkum mediterania dan masih

ditambah lagi dengan sirkum pasifik yang masuk dalam kepulauan di bagian timur

dekat Maluku dan Sulawesi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-28

Gambar 39 Anak krakatau dengan pantainya yang terbentuk oleh aliran lava. beberapa bagian yang telah dingin dan lapuk ditumbuhi oleh vegetasi namun sebagian tersapu kembali oleh aliran lava 2.2.3 Pantai Tebing (Cliff)

Tebing pantai adalah ciri geomorfologis yang paling spektakuler yang ditemukan

sepanjang garis pantai dunia. Tebing yang dimaksud pada pantai jenis ini adalah

etbing yang terbentuk oleh lapisan batuan keras (bedrock) yang didefinisikan

sebagai lapisan batuan keras yang terdiri dari gravel, tanah atau material dengan

permukaan yang keras. Pantai dengan tebing terjal dapat ditemukan di sepanjang

pantai yang menghadap ke samudera Hindia. Pantai dengan tebing kebanyakan

terdapat di timur Yogyakarta dan di bagian selatan Tasik dan Sukabumi hingga ke

pantai selatan di Provinsi Banten.

Tebing batuan terdiri dari tiga jenis batuan: igneous (batuan magma), sedimen,

dan metamorf.

Pantai tebing dibentuk oleh tiga proses secara umum oleh:

1) erupsi vulkanis dan dorongan ke atas oleh proses vulkanis

2) Aktifitas diastropis yang menghasilkan gerakan vertikal pada kerak bumi.

3) Garis pantai yang tererosi,- sebagian tenggelam karena daerah yang berbukit

dan bergunung mengakibatkan erosi dan pengangkutan sedimen.

Tebing laut sering ditemukan pada pesisir pantai yang merupakan daerah tektonik

aktif yang dapat terbentuk karena dua mekanisme. Pertama, jika sebuah blok

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-29

pantai jatuh, patahan lempeng yang baru terbuka dapat terekspose ke laut.

Proses sebaliknya dapat terjadi: suatu blok dapat terangkat sepanjang patahan

lempeng, memunculkan bagian muka pantai yang terlebih dulu terkena erosi.

Tebing yang lebih tua dapat naik di atas muka laut dan terkadang dilindung dari

erosi berkelanjutan. Garis pantai terdahulu kadang-kadang berada puluhan meter

diatas muka laut saat ini, ditandai oleh lekukan atau platform yang dibentuk oleh

gelombang (kadang kadang disebut teras laut yang terangkat). Teras menjadi

tanda muka laut tertinggi absolut eustatic yang dilacak dipenjuru bumi. Perairan

yang dalam seringkali ditemukan di lepas laut dekat pesisir pantai patahan. Cliff

yang memanjang curam ke perairan dalam dikenal sebagai plunging cliff.

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 40 Puncak yang tergerus gelombang diangkat oleh gerakan tektonik. sedimen yang terkumpul di pelataran dapat melindungi cliff sementara terhadap erosi lanjutan.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-30

2.2.4 Pantai Deposisi Laut - Barrier

Barrier adalah punggungan pasir yang sempit, memanjang dan muncul sedikit di

atas muka air tinggi dan memanjang secara umum terhadap pantai, namun

terpisah dari daratan oleh laguna atau rawa-rawa. Pengertian Barrier

menunjukkan punggungan pasir sebagai bagian yang melindungi pesisir pantai

terhadap gelombang langsung yang menyerang dari lautan lepas. Barrier

mengacu pada strukturnya secara keseluruhan (kadangkala disebut sebagai

kumpulan Barrier), yang termasuk pantai, bagian dekat pantai yang berada di

bawah air, sedimen dasar, dan laguna antara Barrier dan daratan utaman. Inlet

dan alur juga dapat disebut bagian dari sistem Barrier.

Gambar 41 Erosi gelombang pada garis pantai menghasilkan pantai yang lurus dan dibatasi oleh tebing. Pelataran yang dibentuk gelombang dan bebatuan dan lengkung dapat tertinggal di lepas pantai. Ciri seperti ini didapati sepanjang pantai di Nias selatan.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-31

Gambar 42 Erosi gelombang meninggalkan batu lengkung, Teluk Dalam, Nias Selatan.

2.2.5 Pantai Deposisi – Pantai Berpasir

Pantai (beach) didefinisikan sebagai akumulasi sedimen pasir di ujung dari

sebuah laut atau badan air yang besar (termasuk danau dan sungai) yang

melandai. Batas ke daratan dapat ditandai dengan perubahan yang tiba-tiba pada

lerengannya dimana pantai bertemu dengan ciri geomorfologi lain seperti tebing

(cliff) atau bukit pasir (dune).Meski batas darat ini telah diterima secara konsiten

dalam literatur, batas di bagian laut memiliki sedemikian banyak interpretasi.

Bberapa penulis memasukkan surf zone dan bar dan berdasarkan topografi dalam

definisinya karena proses yang terjadi pada surf zone secara langsung

mempengaruhi bagian pantai yang terpapar. Panjang dari pantai sangat

bervariasi. Beberapa diantaranya memiliki bentang sepanjang beberapa puluh

kilometer seperti di Padang dan Bengkulu. Di tempat lain disebut juga pantai yang

mengantong (pocket beach) yang dibatasi oleh tanjung dan mungkin hanya

beberapa puluh meter panjangnya.

Pantai merupakan bagian dari kawasan litoral, bagian penghubung antara lautan

dan daratan. Kawasan litoral dibatasi salah satu sisinya oleh batas dasratan dari

pantai dan memanjang puluhan atau ratusan mter ke arah laut melampaui

kawasan pecahnya gelombang. Pantai dapat dibagi menjadi dua kawasan utama:

foreshore dan backshore.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-32

1) Foreshore

Foreshore memanjang dari garis air rendah ke batas hempasan gelombang di

darat saat air tinggi. Bagian atas dari foreshore adalah lerengan terjal dimana

terjadi hempasan air tinggi. Bagian foreshore ke arah laut yang lebih rendah

kdangkala disebut sebagai air rendah atau teras air surut. Teras ini sering dengan

ciri pelataran yang rendah dan lebar yang dipisahkan oleh air rendah, dikenal

sebagai pelataran (ridges) dan alur(tunnels).

Karena foreshore seringkali mengalami hempasan gelombang, bagian ini

biasanya memiliki permukaan yang lebih halus daripada backshore. Mungkin juga

ada undakan kecil dekat tanda air rendah, yang disebut sebagai plunge step.

Seringkali kerang atau kerikil mengumpul di dasar undakan ini, sementara

sedimen berada disisi manapun lebih baik.

Foreshore kadangkala disebut sebagai muka pantai (beachface). Meski demikian,

beachface juga digunakan dalam banyak pengertian lain untuk menunjukkan

bagian yang lebih curam dari foreshore bagian atas dimana hempasan gelombang

saat air tinggi terjadi. Karenanya disarankan penggunaan istiliah foreshore dan

beachface tidak digunakan untuk arti yang sama dan bahwa beachface dibatasi

untuk definisi foreshore bagian atas.

2) Backshore

Backshore memanjang dari batas hempasan air tinggi ke batas daratan normal

akibat pengaru gelombang badai, biasanya ditandai oleh sebuah bukit pasir

(dune) terdepan, cliff, strutkur, atau begetasi permanen yang memanjang ke arah

laut. Backshore tidak dipengaruhi oleh gelombang secara rutin, namun hanya

selama badai, saat gelombang tinggi dak kenaikan muka air karena badai

memungkinkan perubahan sedimen di backshore. Antara genangan, backshore

mengembangkan permukaan yang kasar karena adanya arus kendaraan atau

hewan dan perkembangan pembentukan dasar akibat tiupan angin. Pada pantai

yang tererosi, backshore mungkin akan hilang, dan hempasan air tinggi secara

normal akan langsung mengenai cliff atau struktur.

Istilah lain untuk backshore adalah backbeach dan berm. “Berm” adalah istilah

umum karena daerah backshore terkadang horisontal dan menyerupai berm

buatan. Meski demikian, banyak pantai memiliki backshore dengan lerengan yang

tidak menyerupai sebuah berm, dan beberapa memiliki lebih dari satu berm,

menunjukkan pengaruh dari beberapa badai. Selanjutnya berm tidak sama

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-33

dengan backshore, namun mungkin merupakan deskripsi yang tepat untuk

beberapa daerah tertentu. Istilah ini seringkali digunakan dalam pengisian pantai

(beachfill) dan desain kontrol erosi pantai.

3) Garis pesisir pantai (coastline atau shoreline).

Batas antara foreshore dan backshore, haris air tinggi (HWL) sering didefinisikan

sebagai garis pesisir pantai. Ini merupakan definisi praktis karena pengantara laut

– darata ini dapat dengan mudah dikenali di lapangan dan diperkirakan dari hasil

fotografi udara dengan perubahan pada arna atau bayangan dari pasir pantai.

Sebagai tambahan, garis pesisir pantai yang ditandai pada lembar topografi

umumnya menyajikan HWL yang sama, memungkinkan perbandingan secara

lagnsung antara peta historis dan fotografi udara. Beberapa penelitian telah

memperbandingkan garis pesisir pantai dengan garis air rendah, namun batas ini

tidak selalu ditandai oleh ciri nyata atau perubahan pada warana pasir. Dalam

banyak studi yang dilakukan, dapat ditemukan bahwa garis pantai didefinisikan

dengan muka datum yang berbeda-beda. Ketidak-konsistenan mengakibatkan

sulit untuk membandingkan peta garis pantai yang dibuat oleh surveyor ataupun

agen yang berbeda. Definisi “garis pantai’ seringkali bersifat kontroversial karena

mempengaruhi definisi resmi dari garis kemunduran dan batasan lain yang

ditempatkan untuk pengembangan dalam kawasan pesisir pantai.

Pada kebanyakan pesisir pantai, material utamanya adalah pasir (ukuran butiran

antara 0.0625 dan 2.0 mm menurut klasifikasi Wentworth). Kebanyakan pasir

pantai merupakan campuran dari pasir kwarsa dengan sedikit persentasi feldspar,

material lain dan fragmen batuan.

Pantai dengan material kasar mengandung sejumlah besar material butiran,

kerikil, batukali dan bolder (lebih besar dari 2.0 inchi dalam klasifikasi Wentworth).

Pantai-pantai seperti ini dapat ditemukan di Maluku, Sulawesi, dan pantai barat

Sumatera, yang terjadi dibawah kondisi:

o Arus setempat megnalir dengan kecepatan yang cukup untuk membawa

partikel besar ke pantai.

o Material kasar menempati dasar pantai

o Material kasar terpapar dengan tebing (cliff) di belakang pantai.

Material pokoknya dapat berupa fragmen batuan yang bulat, terutama bila daerah

sumbernya, misalnya sebuah cliff, berada dekat dengan pantai. Jika daerah

sumbernya jauh, tipe batuan yang paling sering ditemukan berupa quartz atau

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-34

fragmen batuan beku karena materiak keras ini memiliki umur yang relatif panjang

dalam lingkungan pantai yang bergelora. Batuan yang lebih lunak, seperti batu

gamping, ukurannya dengan cepat menyusut menjadi partikel seukuran pasir oleh

abrasi dan terpecah selama pergerakannya ke pantai dan oleh proses pantai

lainnya. Pantai dengan butiran kasar biasanya memiliki foreshore yang lebih

curam daripada pantai berpasir.

Di daerah tropis, kalsium karbonat yang aslinya diproduksi secara organis

(biogenic) dalam pembentukan bagian rangka tumbuhan dan hewan laut dapat

menjadi material pokok yang penting atau dominan. Partikel yang lebih umum

didapatkan dari kerang-kerangan, teritip, alga berkalsium, Bryozoa, echonoid,

koral, Foraminifera, dan ostacods. Persentase material biogenik di suatu pantai

bervariasi dengan tingkat produksi organik dan jumlah material yang dihasilkan

seterusnya memberikan kontribusi bagi pantai.

2.2.6 Pantai Rawa

Daerah rawa air asin di pesisir pantai adalah padang yang rendah berisi tanaman

herbal yang cenderung mengalami banjir secara periodis. Selama fase

konstruksional dari suatu garis pantai, sebuah rawa berkembang saat deposisi

sedimen melampaui pengambilan sedimen oleh gelombang. Tiga kondisi kritis

diperlukan untuk pembentukan rawa: suplai sedimen dalam jumlah besar,

gelombang dengan energi rendah, dan kemiringan dengan gradien yang kecil.

Sekali akumulasi sedimen mencapai tinggi kritis, permukaan lumpur yang rata

akan ditinggali oleh tanaman bersifat halophytic yang menolong menangkap

sedimen saat terjadi banjir dan menambah material organik ke dalam substrat.

2.2.7 Pantai Hayati (Biological Coast)

Pada kebanyakan pesisir pantai, sepertihalnya daerah daerah basah terbuka,

coral reef, dan hutan mangrove, organisme biologis dan prosesnya memiliki

kepentingan utama dalam membentuk morfologi. Sebaliknya, pada banyak pesisir

panti lain, seperti tipikal pantai berpasir, aktivitas biologis tidak tampak menjadi hal

utama yang berarti saat dibandingkan dengan kerja proses fisik lain. Namun

demikian, perlu disadari bahwa proses biologis terjadi pada semua pantai;

modifikasi yang dilakukan manusia pada pantai harus memperhatikan dampak

dari modifikasi terhadap komunitas biologis.

Tidak seperti banyak proses fisik pada garis pesisir pantai, proses biologis

umumnya berlangsung perlahan secara alamiah, memajukan garis pantai ke arah

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-35

laut. Organisme pembangun karang membuat substrat yang keras dan sedimen

sebagai tambahan pada daerah perlindungan di belakang karang. Beberapa

hewan moluska tanpa tulang belakang, calcareous algae (hallemeda sp., dll),

teritip, echinoid, bryozoa, dan cacing menghasilkan sedimen dalam jumlah yang

cukup signifikan. Pada kondisi lemah energi dalam laut dalam dan air yang

terlindungi, diatoma dan radiolaria menghasilkan sedimen. Mangrove, rawa air

asin, dan vegetasi dune memerangkap dan menstabilisasi sedimen. Pengaruh

erosi organisme yang menggali liangnya dalam sedimen atau yang melubangi

batuan biasanya kurang penting.

2.2.8 Pantai Delta

Delta sungai, yang ditemukan di seluruh dunia, merupakan hasil dari interaksi

gaya fluvial dan laut (atau lacustrine). Delta didefinisikan lebih luas sebagai

akumulasi pesisir pantai, baik air maupun daratan, dari sedimen yang dibawa oleh

sungai berdekatan dengan atau dekat aliran sumber, termasuk deposit yang telah

dibentuk oleh gelombang, arus atau pasang surut. Proses yang mengatur

perkembangan delta sangat bervariasi intensitasnya di seluruh dunia. Sebagai

akibatnya, bentuk lahan delta memiliki spektrum ciri pesisir pantai yang

mencakup:

1) Distributary channels

2) River mouth bars

3) Interdistributary bays

4) Tidal flats

5) Tidel ridges.

6) Beaches.

7) Beach ridges.

8) Dunes and dune fields.

9) Swamp and marshes.

Walau beragam varitas lingkungan tempat delta berada, delta yang aktif terbentuk

memiliki paling tidak satu sifat: sebuah sungai memasok sedimen klasti ke pesisir

pantai dan lempengan bagian dalam lebih cepat daripada proses pantai untuk

dapat memindahkan material ini. Entah sebuah sungai cukup besar untuk

mentranspor sedimen yang ckup untuk mengatasi erosi dari proses pantai

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-36

tergantung iklim, geologi, dan sifat alami dari daerah tangkapan, dan paling

penting, ukuran keseluruhan dari daerah tangkapan sungainya.

1) Delta Dominasi Sungai (River-dominant)

Delta dengan didomniasi sungai ditemukan bila sungai membawa banyak

sedimen ke pesisir pantai dimana tingkat deposisi melampaui tingkat angkutan

gaya perairan di lokasi tersebut. Pada daerah dimana energi gelombang sangat

rendah, sungai yang memiliki sedikit sedimen pun dapt membentuk delta yang

banyak.

Saat sebuah sungai begitu dominan ata gaya perairan, bentuk delta berkembang

sebagai suatu pola yang searah aliran, membuat saluran percabangan

(menyerupai percabangan jari pada tangan). Ciri percabangan (interdistributary)

dalam termasuk teluk yang terbuka dan rawa air asin. Contoh paling umum adalah

delta Sungai Mahakam di Kalimantan timur yang tidak hanya mentranspor

sejumlah besar sedimen, namun juga meredam energi gelombang ke dalam

sungai (lihat Gambar 43).

2) Delta Dominasi Gelombang (Wave-dominant)

Pada delta dominasi gelombang, gelombang memilah dan dan mendistribusikan

kembali sedimen yang dikirim ke pesisir pantai oleh sungai dan membentuknya

menjadi ciri garis pantai seperti pantai, Barrier, dan gosong. Morfologi dari delta

yang dihasilkan menunjukkan keseimbangan antara suplai sedimen dan tingkat

kerja gelombang dan redistribusinya. Delta pada daerah dekat pantai flux energi

gelombang membentuk garis pantai yang paling lurus dan pantai percabangan

dalam (interdistributary) dan susunan pungungan pantai (beach ridge) yang

berkembang paling baik (lihat Gambar 43).

3) Delta Dominasi Pasang Surut (Tide-dominant)

Tiga proses penting yang mencirikan delta yang didominasi oleh pasang surut:

a. Pada mulut sungai, mencampur stratifikasi kerapatan vertikal yang

menghilangkan, menghilangkan pengaru dari pengapungan.

b. Pada sebagian dari tahun, arus pasang surut berpengaruh pada pemecahan

yang lebih besar atas energi transpor sedimen dibanding sungai. Akibatnya

transpor sedimen pada dan dekat mulut sungai menjadi dua arah selama siklus

pasang surut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-37

c. Lokasi antara laut-daratan dan kawasan interaksi laut-sungai berkembang

dengan luas baik secara vertikal maupun horisontal (lihat Gambar 43).

Sebagaimana disebutkan di atas, morfologi kebanyakan delta adalah hasil dari

kominasi pengaruh sungai, pasang surut dan gaya gelombang. Bentuk lain dari

delta adalah bentuk antara (tipe II, Gambar 44). Gelombang tinggi

mendistribusikan kembali pasir parallel terhadap arah garis pantai dan

membentuknya menjadi pungungan pantai dan Barrier. Dalam mulut sungai, aurs

pasang surut menghasilkan alur sungai yang terisi pasir dan creek pasang surut.

Tipe delta ini menunjukkan suatu rentang karakteristik yang luas, tergantung pada

kekuatan relatif dari gelombang terhadap pasang surutnya. Sebagai tambahan,

ciri-cirinya dapat berbeda menurut musim jika runoff dan iklim gelombang

berubah.

Geometri delta juga dipengaruhi oleh Barrier di lepas pantai mulut teluk yang

melindungi laguna, teluk atau estuari kedalam dimana terentuk energi yang

rendah. (Tipe IV, Gambar 44). Berbeda dengan model dominasi sungai, akumulasi

utama lumpur pembentuk delta terjadi ke arah darat dari tumpukan pasir utama

(Barrier), dan pada elevasi yang sama, dalam teluk yang terlindungi. Meski butiran

tersuspensi mencapai laut terbuka, gaya gelombang secara jelas mencegah

akumulasi lumpus pada lempeng yang terbuka.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-38

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 43 Model morfologi dari estuari (a) dominasi gelombang (b) dominasi pasang surut. Estuari.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-39

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 44 Bentuk penumpukan sedimen yang terjadi di muara sungai

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-40

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 45 Peta isopach untuk delta dominasi sungai

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-41

2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Hidro-Oseanografi Pantai

2.3.1 Angin

Pembangkit utama gelombang adalah angin, oleh karena itu data angin dapat

digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian. Data

angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang sehingga

diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan adalah data

angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke

air. Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga

permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang

kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut

menjadi semakin besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan

terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus,

semakin besar gelombang yang terbentuk.

Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut terbagi dalam tiga daerah

sesuai dengan elevasi di atas permukaan. Di daerah geostropik yang berada di

atas 1000 m kecepatan angin adalah konstan. Di bawah elevasi tersebut terdapat

dua daerah yaitu daerah Ekman yang berada pada elevasi 100 sampai 1000 m

dan daerah di mana tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 sampai 100

m. Di kedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan

elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan

temperatur antara air dan udara.

Untuk memprediksi gelombang didasarkan pada kecepatan angin yang di ukur

pada elevasi y = 10 m. Apabila angin tidak diukur pada elevasi 10 m, maka

kecepatan angin harus dikonversikan pada elevasi tersebut. Untuk y lebih kecil

dari 20 dapat menggunakan persaman berikut :

……………………..………………………(1)

Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di

permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari

pengukuran langsung di atas permukaan laut (menggunakan kapal yang sedang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-42

berlayar) atau pengukuran di darat (di lapangan terbang) di dekat lokasi

peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin laut. Kecepatan angin

diukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot

adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam

satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,5 m/d. Data angin dicatat tiap jam dan

biasanya disajikan dalam bentuk tabel. Dengan pencatatan angin jam – jaman

tersebut dapat diketahui angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya,

kecepatan angin maksimum, arah angin dan dapat pula dihitung kecepatan angin

rerata harian.

Data angin yang diperlukan merupakan hasil pengamatan beberapa tahun yang

disajikan dalam bentuk tabel dengan jumlah data yang sangat besar. Kemudian

diolah dan disajikan dalam bentuk diagram yang disebut dengan mawar angin.

Gambar 46 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan pengolahan data

angin yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang terdapat di

sekitar daerah pantai yang direncanakan.

Gambar tersebut menunjukan presentasi kejadian angin dengan kecepatan

tertentu dari berbagai arah dalam periode waktu pencatatan. Dalam gambar

tersebut garis – garis radial adalah arah angin dan tiap lingkaran menunjukan

presentasi kejadian angin dalam periode waktu pengukuran.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-43

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin Jam-jaman2000-2009

Lokasi: Tanjungpandan

Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Tidak Berangin = 48.41% Tidak Tercatat = 0.00%

Gambar 46 Contoh mawar angin.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-44

2.3.2 Gelombang

A. Pengertian Umum

Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus

permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang laut

disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke perairan,

menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi apa yang kita sebut

sebagai gelombang.

Gelombang pada permukaan laut dengan perioda 3 hingga 25 detik merupakan

gelombang yang dibangkitkan terutama oleh angin dan merupakan ciri dasar dari

kawasan pantai di seluruh dunia. Gerakan gelombang lain terjadi di lautan

termasuk gelombang dalam, pasang surut, dan gelombang sudut (edge waves).

Oleh karena itu dalam yang disebut gelombang pada buku ini adalah gelombang

permukaan karena angin dengan rentang perioda antara 3 hingga 25 detik.

Pemahaman mengenai gelombang ini dan gaya yang ditimbulkannya penting

untuk perencanaan dalam proyek pantai karena hal ini merupakan faktor utama

yang menentukan geometri pantai, rencana dan desain marina, alur kanal,

perlindungan pantai, struktur hidrolis, dan pekerjaan sipil lainnya. Gelombang

dibagi menjadi dua berdasarkan perioda dan tingginya yaitu gelombang beraturan

dan gelombang acak.

Pada bagian belombang beraturan, tujuannya adalah memberikan pemahaman

rinci mengenai mekanisme gelombang melalui penelusuran tentang gelombang

dengan tinggi dan perioda konstan. Pada bagian gelombang acak, tujuannya

adalah untuk menjelaskan metode statistik untuk menganaslisis gelombang acak

(sistem gelombang dimana gelombang sebelumnya mungkin memiliki perioda dan

tinggi yang berbeda) yang lebih mewakili pemahaman gelombang yang tampak di

alam.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-45

Gambar 47 Pergerakan partikel zat cair pada gelombang.

Periode gelombang (T) adalah waktu tempuh di antara dua puncak atau dua

lembah gelombang secara berurutan pada titik yang tetap (satuan detik). Panjang

gelombang (L) adalah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah yang

berurutan (satuan meter). Tinggi gelombang (H) adalah jarak vertikal antara

puncak gelombang dan lembah gelombang (satuan meter). Cepat rambat

gelombang (C) adalah kecepatan tempuh perjalanan suatu gelombang, yang

dapat diperoleh dengan pembagian panjang gelombang (L) dengan periode

gelombang (T) atau C=L/T.

Holthuijsen (2007) menjelaskan bahwa gelombang laut adalah pergerakan naik

dan turunnya air laut dengan arah tegak lurus permukaan air laut yang

membentuk kurva/grafik sinusoidal. (Nichols et al., 2009 dalam Bagus, 2014)

menjelaskan bahwa gelombang laut timbul karena adanya gaya pembangkit yang

bekerja pada laut. Gelombang yang terjadi di lautan dapat diklasifikasikan menjadi

beberapa macam berdasarkan gaya pembangkitnya, gaya pembangkit tersebut

terutama berasal dari angin, dari gaya tarik menarik Bumi - Bulan - Matahari atau

yang disebut dengan gelombang pasang surut dan gempa bumi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-46

Ketinggian dan periode gelombang tergantung kepada panjang fetch

pembangkitnya. Fetch adalah jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal

pembangkitannya. Fetch ini dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut.

Semakin panjang jarak fetch nya, ketinggian gelombangnya akan semakin besar.

Angin juga mempunyai pengaruh yang penting pada ketinggian gelombang. Angin

yang lebih kuat akan menghasilkan gelombang yang lebih besar.

Gambar 48 Sketsa definisi parameter gelombang.

B. Peramalan Gelombang

Pembangkit utama gelombang adalah angin, oleh karena itu data angin dapat

digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian. Data

angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang sehingga

diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan adalah data

angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin (Utara, Timur

Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan

angin disajikan dalam bentuk satuan knot, dimana:

o 1 knot = 1 mil laut/jam

o 1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

o 1 knot = 0.515 meter/detik

Angka-angka statistik tersebut dapat disajikan secara visual dalam bentuk

Windrose seperti yang ditunjukkan pada gambar 46.

Untuk mendapatkan gelombang rencana, telah dikembangkan pasca-kiraan

gelombang berdasarkan data angin jangka panjang dengan program yang ang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-47

disebut hindcasting. Metode yang dierapkan mengikuti Metode yang diberikan

dalam Shore Protection Manual (Coastal Engineering Research Center, US Army

Corp of Engineer) edisi 1984 yang merupakan acuan standar bagi praktisi

pekerjaan-pekerjaan pengembangan, perlindungan, dan pelestarian pantai.

Data angin jangka panjang, minimum 10 tahun, memberikan data statistik yang

lebih meyakinkan untuk metode hindasting ini. Diagram proses hindasting

ditampilkan pada gambar di bawah.

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu perairan diperlukan masukan

berupa data angin dan peta batimetri. Interaksi antara angin dan permukaan air

menyebabkan timbulnya gelombang (gelombang akibat angin atau wind induced

wave). Peta perairan lokasi dan sekitarnya diperlukan untuk menentukan

besarnya “fetch” atau kawasan pembentukan gelombang. Fetch adalah daerah

pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki kecepatan dan arah angin

yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin bertiup dalam arah yang

bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari titik pengamatan

dengan interval 50.

Gambar 49 Contoh fetch (kawasan pembangkitan gelombang).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-48

T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Calm = 73.54% Tidak Tercatat = 0.00%

Distribusi Tinggi dan Arah Gelombang di Lepas Pantai PPN_TanjungpandanDiramal Berdasarkan Data Angin Jam-jaman di Tanjungpandan

Total 2000-2009

Jenis tongkat menunjukkan tinggi gelombang dalam meter.Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B

Gambar 50 Contoh mawar gelombang.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-49

2.3.3 Arus Laut

A. Definisi

Arus Laut adalah pergerakan massa air secara vertikal dan horizontal sehingga

menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di

seluruh lautan di dunia. Arus juga merupakan gerakan mengalir suatu massa air

yang dikarenakan tipuan angin atau perbedaan densitas atau pergerakan

gelombang panjang.

Terjadinya arus di lautan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu :

o Faktor internal, seperti perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar

dan gesekan lapisan air.

o Faktor eksternal seperti gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh

tahanan dasar laut dan gaya coriolis, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi,

gaya tektonik, dan angin.

Arus adalah sistem sirkulasi dari samudera dalam arah pergerakan vertikal dan

horizontal yang dibangkitkan oleh gaya gravitasi, gaya gesek angin (wind friction )

dan variasi kerapatan air pada bagian yang berbeda dalam samudera (Anonim,

2009). Aliran arus samudera berada dalam pola yang sangat kompleks, selain

disebabkan oleh faktor yang telah disebutkan di atas, arus laut juga disebabkan

oleh karena adanya topografi dasar samudera (topography of the ocean floor) dan

rotasi bumi (the earth's rotation). Menurut Gross (1990), arus laut merupakan

proses pergerakan massa air laut dari wilayah yang berbeda secara kontinu atau

terjadi secara terus-menerus. Pond dan Pickard (1983) melakukan analisis lanjut

mengenai pergerakan massa air laut, mereka menyatakan bahwa bahwa arus laut

(Ocean current) adalah proses gerakan masa air laut menuju kesetimbangan

hidrostatis yang menyebabkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-50

(Sumber: http://www.waterencyclopedia.com/ocean currents/)

Gambar 51 Peta pergerakan arus global.

B. Faktor Penyebab Arus

Menurut Piers Chapman (2009) meskipun sistem arus dunia sangat kompleks

tetapi ia mneyimpulkan bahwa terdapat dua gaya utama pembangkit arus laut

dibumi yaitu matahari (sun) dan rotasi bumi (earth rotation). Matahari memiliki

pengaruh terhadap samudera dalam dua cara. Pertama, matahari memanaskan

atmosfer, mencipatakan angin dan menggerakan permukaan laut melalui gesekan

atau friksi. Angin ini cenderung mendorong permukaan air sepanjang arah

hembusan angin di atasnya. Meskipun angin cukup kuat mempengaruhi lapisan

permukaan, pengaruhnya hanya kurang dari 100 meter (325 ft) kedalaman.

Kedua, pengaruh matahari adalah merubah kerapatan atau densitas permukaan

air lautan secara langsung dengan merubah suhunya dan atau salinitasnya. Jika

air menjadi dingin atau menjadi lebih asin (garam tinggi) melalui proses evaporasi

maka air laut akan menjadi lebih rapat. Hal ini akan menghasilkan kolom air

menjadi tidak stabil, mengakibatkan arus menjadi fungsi densitas, hal ini juga

dikenal dengan sebagai sirkulasi termohalin (Thermohaline circulation). Rotasi

bumi juga mengakibatkan terjadinya arus melalui gaya coriolis. Gaya ini

menyebabkan air dibelokan menuju kanan pada belahan bumi utara dan menuju

kiri pada belahan bumi selatan. Hal ini terjadi karena pergerakan air samudera

dipengaruhi oleh friksi dengan bumi pada dasar lautan dan karena kecepatan

linear bumi menuju timur nilainya menurun dari maksimum pada ekuator dan

mendekati nilai nol pada kutub (kecepatan angular,tetapi, tidak berubah).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-51

Parsel air pada bidang ekuator bergerak dengan kcepatan yang sama dengan

kcepatan rotasi bumi.

Jika parsel ini mulai bergerak menuju utara dan tanpa gesekan ,maka

pergerakannya akan cepat melebihi kecepatan rotasi bumi. Untuk

mempertahankan momentum (produk dari massa dan kecepatan) mengakibatkan

pergerakan akan lebih cepat menuju timur ketika menjauhi ekuator. Gaya coriolis

meningkatkan kecepatan arus ketika menjauhi ekuator.

Menurut Pond dan Pickard (1983) pergerakan potensial massa air yang

menyebabkan timbulnya arus erat dipengaruhi oleh dua gaya utama, yakni gaya

primer dan sekunder. Gaya primer yang menyebabkan gerak adalah gravitasi,

wind stress, tekanan atmosfer, dan seismic. Sedangkan, gaya sekunder yang

menimbulkan gerak adalah gaya coriolis dan dan gesekan (friction) Gross (1990),

berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya arus terdiri dari empat bagian,

yaitu gesekan angin, gaya pasang surut, perbedaan densitas air laut, dan gaya

gradien tekanan mendatar, serta gaya coriolis.

C. Jenis-Jenis Arus

Menurut letaknya arus dibedakan menjadi dua yaitu arus atas (permukaan) dan

arus bawah. Arus atas (surface current) adalah arus yang bergerak di permukaan

laut dan pada umumnya disebabkan oleh angin. Sedangkan arus bawah adalah

arus yang bergerak di bawah permukaan laut biasanya disebabkan oleh

perbedaan densitas (Pustekom, 2005).

Menurut Piers Chapman (2009), arus dapat dibedakan pula menjadi dua golongan

besar yaitu:

1) Surface Currents, merupakan arus yang sangat dominan dipengaruhi oleh

gaya dorong angin dan pada umumnya bergerak mengikuti arah rambat angin.

2) Deep Currents, merupakan arus laut dalam >200 m dimana gaya penggerak

utamanya bukanlah angin melainkan fungsi kerapatan atau densitas, lebih

umum dikenal dengan nama thermohaline

Sedangkan berdasarka pendapat Gross (1990), klasifikai arus berdasarkan gaya

yang ditimbulkan, dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:

1) Arus Ekman, yaitu arus yang disebabkan oleh gesekan angin dan bergerak

membentuk spiral di laut dalam.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-52

2) Arus Pasang Surut, yaitu arus yang disebabkan oleh adanya gaya pembangkit

pasang surut umumnya benda-benda langit seperti bulan dan matahari.

3) Arus Thermohaline, yaitu arus yang disebabkan oleh gradien atau kemirinagan

atau perbedaan densitas air laut.

4) Arus Geostrofik, yaitu arus yang disebabkan karena terjadinya kesetimbangan

antara gaya gradien tekanan mendatar dengan gaya coriolis pada dua gradien

densitas yang berbeda

2.3.4 Pasang Surut

A. Definsi

Pasang surut adalah fenomena naik dan turunnya muka air laut secara berulang

(periodik) dengan perioda tertentu, akibat adanya gaya tarik menarik bumi dan

benda-benda langit lainnya yang disebut sebagai pasang surut astronomis. Dua

benda langit yang sangat berpengaruh pada pasang surut bumi adalah matahari,

yang memberikan pengaruh signifikan karena masa-nya yang besar, dan bulan,

yang memberikan pengaruh signifikan karena jaraknya yang dekat dengan bumi.

Benda-benda langit yang lain tidak diperhitungakan.

Untuk menggambarkan fenomena pasang surut, suatu teori keseimbangan

digaggas oleh George H. Darwin (1898). Dalam teori ini diasumsikan bahwa bumi

benar-benar bulat dan semua permukaan bumi diasumsikan tertutup oleh lapisan

air dengan kedalaman yang sama. Karena adanya gaya tarik menarik, masa air

akan bergerak hingga mencapai suatu keseimbangan. Gaya pasang surut

ditentukan oleh besar massa dan juga jarak antara massa tersebut seperti yang

diterangkan melalui persamaan gaya terik gravitasi berikut ini:

221

rmGmF = ……………………………………………………………………………….(2)

Pada persamaan di atas, r adalah jarak antar pusat benda dengan masa m1 dan

m2, dan G adalah suatu konstanta gravitasi yaitu 6.6x10-6m2N/kg2.

Keadaan seimbang ini akan terjadi bila permukaan air tegak lurus terhadap

resultan gaya gravitas dan gaya pembangkit pasang surut. Keseimbangan ini

diasumsikan terjadi setiap saat. Matahari dan bulan yang posisinya selalu berubah

terhadap bumi akan menyebabkan permukaan air dalam keadaan setimbang akan

selalu bergerak pada setiap titik di permukaan bumi.

Pada keadaan sebenarnya, bumi terdiri dari daratan dan lautan dengan

kedalaman yang berbeda sehingga teori keseimbangan tidak akan dapat

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-53

diterapkan secara langsung tanpa memperhitungkan pengaruh geografi. Tetapi

ada beberapa hal yang ternyata dapat dipakai untuk memperhitungkan

karakteristik dari pasang surut yang terjadi di suatu tempat tertentu. Pada teori

keseimbangan didapatkan komponen yang berpengaruh pada pasang surut

akibat dari gerakan bulan dan matahari ralatif terhadap bumi. Komponen tersebut

mempunyai kecepatan sudut tertentu yang selalu tetap. Doodson (1921) telah

menemukan 396 komponen pasang surut yang memiliki frekuensi berbeda.

menampilkan konstituen pasang surut penting yang biasa digunakan.

Adanya pengaruh daratan dan kedalaman yang berbeda sehingga menimbulkan

pemantulan, peredaman dan distorsi, menyebabkan adanya perbedaan fasa dan

amplitudo untuk suatu tempat tertentu dibandingkan dengan keadaan pada teori

keseimbangan.

B. Tipe Pasang Surut

Karena masing-masing benda langit yang mempengaruhi pasang surut beredar

menurut orbitnya masing-masing, posisi bumi-bulan-matahari selalu berbeda-

beda. Hal itu menyebabkan berubahnya gaya pembangkit pasang surut pada tiap

waktu, dan menyebabkan berubahnya tinggi pasang surut di suatu daerah pada

waktu ke waktu. Pada saat posisi bumi-bulan-matahari berada dalam satu garis

lurus, gaya pembangkit pasang surut menjadi besar dan menghasilkan pasang

surut yang besar pula. Kejadian ini disebut dengan spring. Pada saat posisi bumi-

bulan-matahari membentuk sudut 90 derajat, maka gaya pembangkit pasang surut

di suatu tempat akan menjadi kecil. Kejadian ini disebut dengan neap. Gambar 52

menampilkan data pasang surut yang menggambarkan kondisi spring dan neap

Gambar 52 Kondisi siklus pasang surut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-54

Karena pengaruh adanya sudut sumbu putar bumi, dengan bidang edar bulan,

kondisi pasang surut di tiap titik di bumi berbeda menurut jumlah pasang surut

yang dapat terjadi tiap harinya. Ada beberapa tipe pasang surut yang mungkin

terjadi yaitu:

o Pasang surut diurnal, yaitu pasang surut yang terjadi satu kali pada tiap

harinya. Terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode 24

jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat Karimata.

o Pasang surut semidiurnal, yaitu pasang surut yang terjadi dua kali tiap harinya

dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan

dengan teratur. Periode pasang surut arata-rata adalah 12 jam 24 menit.

Pasang surut jenis ini terdapat di Selat Malaka sampai laut Andaman.

o Pasang surut campuran, yaitu pasang surut yang terjadi dua kali namun

besarnya berbeda pada tiap harinya. Pasang surut yang condong ke harian

ganda (semi diurnal dominant) dalam satu hari terjadi dua kali pasang surut

tapi tingi dan periodenya berbesa. Jenis ini banyak terdapat di perairan

Indonesia Timur. Sementara pasang surut yang condong ke harian tunggal

(diurnal dominant) banyak terdapat di selat Kalimantan dan pantai utara Jawa

Barat.

Penentuan jenis pasang surut dilakukan berdasarkan nilai Bilangan Formzhal

sebagai berikut:

22

11SMOKNF

++

= …………………………………………………………………….(3)

dimana jenis pasut untuk nilai NF:

0 - 0,25 = semi diurnal

0,25 - 1,5 = mixed type (semi diurnal dominant)

1,5 - 3,0 = mixed type (diurnal dominant)

>3,0 = diurnal

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-55

Data Pasut

Admiralty

Komponen Pasang Surut

Jenis Pasang Surut

Peramalan Pasang Surut 15 Hari

Peramalan Pasang Surut 20 Tahun

Perbandingan Hasil Ramalan dengan

Pengukuran Lapangan

Elevasi Acuan Pasang Surut

Probabilitas Kejadian tiap Elevasi Acuan

Pasang Surut

Bilangan Formzall (F) Tipe Pasang Surut Keterangan

F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal)Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semi diurnalDalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian dan periode yang berbeda.

1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnalDalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.

F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit

C. Pengolahan Data Pasang Surut

Pengolahan pasang surut dilakukan berdasarkan bagan alir sebagai berikut:

Gambar 53 Bagan alir pengolahan pasang surut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-56

Gambar 54 Contoh grafik pasut hasil pengukuran 15 hari.

Langkah pengolahan data pasang surut berikutnya adalah mencari harga elevasi-

elevasi acuan dari karakteristik perairan di wilayah proyek. Untuk mencari harga

elevasi-elevasi tersebut, digunakan nilai-nilai komponen pasang surut dari hasil

penaksiran dengan menggunakan metode least square (rata-rata kuadrat terkecil)

seperti disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1 Contoh penguraian komponen pasut hasil pengukuran

S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1

A(cm) 174.33

3.67 31.83 4.15 29.40 32.35 35.91 26.85 2.84 2.08

g (o) 7.22 -32.99 111.57

71.98 72.28 41.56 224.76

186.75

-13.78

dimana:

A : amplitudo,

g : beda fase,

M2 : komponen utama bulan (semi diurnal),

S2 : komponen utama matahari (semi diurnal),

N2 : komponen eliptis bulan,

K2 : komponen bulan,

K1 : komponen bulan,

O1 : komponen utama bulan (diurnal),

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-57

P1 : komponen utama matahari (semi diurnal),

M4 : komponen utama bulan (kuarter diurnal), dan

MS4 : komponen utama matahari-bulan.

Dengan komponen pasang surut di atas, dilakukan pula penaksiran pasang surut

untuk masa 20 tahun sejak tanggal pengamatan. Hasil peramalan ini dibaca untuk

menentukan elevasi-elevasi acuan pasang surut yang menjadi ciri daerah tersebut

sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Dari elevasi acuan pasang surut yang ada maka ditetapkan nilai LLWL sebagai

elevasi nol acuan. Disamping itu dari peramalan untuk masa 20 tahun ke depan

akan didapatkan nilai probabilitas dan prosentase dari masing-masing elevasi

acuan di bawah.

Elevasi rencana didapat dengan menggunakan data hasil ramalan selama 20

tahun tersebut. Harga elevasi-elevasi acuan yang telah diperoleh seperti

diperlihatkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Contoh elevasi acuan pasut

No Elevasi Acuan

1 HHWL Highest High Water Level 2 MHWS Mean High Water Spring 3 MHWL Mean High Water Level 4 MSL Mean Sea Level 5 MLWL Mean Low Water Level 6 MLWS Mean Low Water Spring 7 LLWL Lowest Low Water Level

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-58

2.4 Uraian Materi Tentang Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai

Struktur bangunan pantai digunakan dalam rangka perlindungan pantai dengan

tujuan untuk mencegah erosi dan penggenangan di kawasan belakang pantai.

Tujuan yang lain adalah melindungi kolam pelabuhan dan alur pelayaran dari

gelombang, stabilisasi alur pelayaran pada inlet, dan perlindungan saluran

pemasukan dan pengeluaran air. Tabel 3 menyajikan berbagai tipe bangunan

pantai, baik konvensional maupun inovasi-inovasi baru, serta dengan

penerapannya.

Tabel 3 Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai

Struktur Tujuan Fungsi Utama

Tanggul Laut (seadike)

Mencegah atau mengurangi genangan air laut pada pantai rendah .

Pemisahan pantai dari daerah belakang pantai dengan membuat struktur rapat air yang tinggi.

Tembok Pantai (seawall)

Melindungi daratan dan struktur dari penggenangan dan limpasan.

Perkuatan bagian tertentu profil pantai.

Revetment Melindungi pantai yang tererosi Perkuatan bagian tertentu profil pantai.

Dinding Penahan (bulkhead)

Menahan dan mencegah longsor tanah pantai di belakangnya

Perkuatan lereng pantai

Groin Mencegah erosi pantai Pengurangan transpor sedimen sejajar pantai.

Pemecah Gelombang Lepas Pantai

Mencegah erosi pantai

Pengurangan tinggi gelombang di belakang struktur dan pengurangan transpor sedimen sejajar pantai.

Terumbu Buatan (reef breakwater) Mencegah erosi pantai Pengurangan tinggi

gelombang di pantai

Ambang Terendam (submerged sills) Mencegah erosi pantai Memperlambat transpor

sedimen ke arah laut.

Drainase Pantai Mencegah erosi pantai Akumulasi sedimen pada lokasi pantai yang didrain.

Beach Nourishment dan konstruksi dune

Mencegah erosi pantai dan melindungi pantai dari penggenangan

Pengisian buatan sedimen pantai dan material dune yang tererosi oleh gelombang dan arus sebagai ganti suplai secara alami.

Pemecah Gelombang

Melindungi kolam dan mulut pelabuhan, intake dan outlet terhadap gelombang dan arus

Disipasi energi gelombang dan/atau pantulan energi gelombang

Jetty Menstabilkan alur pelayaran pada muara sungai dan tidal inlet

Membatasi aliran sungai dan arus pasang surut

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-59

Tembok Pengarah

Mencegah sedimenatasi atau erosi yang tidak diinginkan dan melindungi tambatan terhadap arus

Mengarahkan arus alami atau buatan manusia dengan mengarahkan aliran searah struktur

Pelindung Tumit Melindungi struktur bangunan pantai terhadap ketidakstabilan akibat gerusan dasar

Memberikan kekuatan/ketahanan terhadap erosi akibat gelombang dan arus

1. Tembok Laut (seawall)

Tembok laut merupakan struktur yang dibangun di pantai dan dalam arah sejajar

pantai dengan fungsi utama mencegah atau mengurangi limpasan dan

penggenangan areal pantai di belakangnya dari penggenangan yang disebabkan

oleh gelombang. Tembok pantai dibangun dalam arah sejajar pantai sebagai

perkuatan sebagian profil pantai. Biasanya tembok pantai digunakan untuk

melindungi tempat pejalan kaki, jalan raya, dan perumahan yang terletak di tepi

pantai. Konstruksi tembok pantai sangat bervariasi mulai dari struktur dinding

vertikal seperti dinding beton, sheetpile beton hingga struktur berdinding miring

dengan permukaan slab beton bertulang, unit armor beton atau timbunan batu.

Meskipun erosi pantai di belakang tembok pantai dapat dicegah atau minimal

berkurang, namun pada sebagian besar kasus erosi dasar perairan persis di

depan struktur akan bertambah akibat pantulan gelombang oleh dinding tembok

pantai. Akibatnya profil pantai di depan struktur lebih curam, dan selanjutnya

memungkinkan gelombang besar mencapai puncak struktur. Karena itu tembok

pantai dalam bahaya akibat ketidakstabilan karena gerusan di depan tumit

struktur, dan diperparah oleh hempasan dan limpasan serta rayapan gelombang.

Karena kerentanannya terhadap potensi gerusan pada tumit, tembok pantai sering

digunakan bersama-sama dengan beberapa sistem pengendali erosi yang lain

seperti groin dan beach nourishment.

Gambar 55 Contoh desain tembok laut miring dengan slab beton

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-60

Gambar 56 Contoh desain tanggul laut dengan perkuatan aspal dan perlindungan

tumit

Gambar 57 Contoh konstruksi tembok laut.

Tabel 4 Keuntungan dan kerugian konstruksi tembok laut

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-61

2. Revetment

Revetment adalah struktur di pantai dan dibangun searah pantai dengan fungsi

utama melindungi pantai yang tererosi. Struktur revetment secara tipikal terdiri dari

lapisan luar terbuat dari batu, beton, atau aspal untuk melindungi profil pantai

dengan kemiringan alami. Dalam praktek, dibedakan antara revetment dan

tembok pantai berdasarkan fungsinya dalam melindungi pantai, tetapi dalam

literatur teknik biasanya tidak ada perbedaan diantara keduanya.

Gambar 58 Contoh konstruksi revetment

Gambar 59 Contoh desain revetment dengan urugan armor blok beton

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-62

Gambar 60 Contoh desain tembok laut dinding tegak dengan pasangan

batu/beton

Tabel 5 Keuntungan dan kerugian konstruksi Revetment

3. Groin

Groin atau sistem groin dibangun untuk menstabilkan sebuah bentang pantai,

alami atau pantai yang diisi pasir terhadap erosi yang disebabkan terutama oleh

kehilangan sedimen netto searah pantai. Groin hanya berfungsi jika transpor

sedimen searah pantai dominan. Groin merupakan struktur yang sempit, biasanya

lurus dan tegak lurus terhadap pantai awal. Pengaruh groin tunggal adalah akresi

sedimen pada sisi hulu dan erosi pada sisi hilirnya; pengaruh keduanya mencapai

jarak tertentu dari struktur. Akibatnya, sebuah sistem groin (satu seri groin)

menghasilkan pantai berbentuk “gigi gergaji” di antara medan groin dan

perbedaan elevasi pantai antara sisi hulu dan sisi hilir groin. Contoh groin lurus

tegaklurus pantai diberikan pada Gambar 24.

Groin menyebabkan pola-pola arus dan gelombang yang sangat kompleks.

Namun demikian, sebuah sistem groin yang didesain dengan baik dapat

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-63

menghentikan atau memperlambat laju transpor sedimen searah pantai dan

meninggikan sedimen di dalam ruang di antara groin, memberikan perlindungan

garis pantai terhadap erosi. Groin juga digunakan untuk menahan isian pasir pada

pekerjaan beach nourishment, dan untuk mencegah sedimentasi atau akresi di

area hilir (misalnya pada sebuah inlet) dengan bertindak sebagai penghaang

(barrier) terhadap transpor sedimen searah pantai. Membelokan arus pasang

surut yang kuat menjauh dari pantai juga salah satu tujuan dari pembuatan groin.

Orientasi, panjang, tinggi, permeabilitas, dan jarak groin, pada kondisi alami

tertentu, menentukan perubahan aktual garis pantai dan elevasi pantai. Karena

potensi erosi terjadi pada pantai hilir setelah groin akhir, perlu dibuat bagian

transisi, yang mana groin secara berangsur-angsur semakin pendek sehingga

dapat mencegah erosi di pantai bagian hilir groin akhir. Meskipun demikian,

kemungkinan masih perlu melindungi beberapa bagian pantai hilir dengan tembok

laut, revetment atau mengisi bagian yang kemungkinan akan tererosi dengan

pasir dari sumber lain.

Groin kadang-kadang dibuat tidak tegak lurus pantai, kemungkinan berbentuk

lengkung (Gambar 25), berbentuk ekor ikan, atau groin bentuk “T”. Juga, kadang-

kadang perlu dilengkapi dengan “spur” sejajar pantai untuk melindungi bentang

pantai di antara groin atau mengurangi kemungkinan transpor sedimen ke laut

oleh arus memotong pantai (rip current). Namun, perbaikan seperti itu,

dibandingkan dengan bentuk sederhana groin tegaklurus pantai, pada umumnya

dianggap tidak efektif dalam memperbaiki kinerja groin.

Dalam sebagian besar kasus, groin dibuat dari konstruksi sheet-pile atau urugan.

Yang terakhir lebih disukai untuk penggunaan di lokasi yang terbuka karena

kemampuan struktur urugan bertahan terhadap beban gelombang dan

mengurangi pantulan gelombang. Lagipula, risiko gerusan dan terbentuknya rip

current yang kuat di sepanjang sisi groin urugan lebih kecil.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-64

Gambar 61 Contoh groin lurus

Gambar 62 Contoh groin dengan bentuk yang berbeda

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-65

Gambar 63 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem groin

Tabel 6 Keuntungan dan kerugian konstruksi groin

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-66

Gambar 64 Contoh-contoh desain struktur groin

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-67

4. Pemecah Gelombang Lepas Pantai

Pemecah gelombang lepas pantai adalah struktur dekat pantai yang relatif pendek

dan kecil, dan tidak tersambung dengan pantai dengan fungsi utama adalah

mengurangi erosi pantai. Contoh pemecah gelombang lepas pantai diberikan

pada Gambar 62.

Pemecah gelombang jenis ini dibangun dalam arah sejajar, dan terpisah dari

pantai pada perairan dangkal. Beberapa pemecah gelombang lepas pantai

dengan jarak tertentu dapat memberikan perlindungan cukup signifikan. Lebar

celah antara pemecah gelombang dalam sebagian besar kasus, merupakan

perbandingan tertentu terhadap panjang sebuah pemecah gelombang lepas

pantai.

Setiap pemecah gelombang mendisipasi dan memantulkan sebagian energi

gelombang datang, karena itu mengurangi tinggi gelombang di belakang struktur

dan mengurangi erosi pantai. Sedimen yang ditranspor sepanjang pantai

berpindah ke dalam areal terlindung di belakang struktur, dimana sedimen akan

diendapkan dalam daerah yang energinya lebih rendah. Pola gelombang dekat

pantai, yang sangat dipengaruhi oleh difraksi di ujung-ujung struktur, akan

menyebabkan salient atau tombolo, sehingga menyebabkan pantai menyerupai

satu seri pocket beach. Pocket beach akan menyebabkan refraksi gelombang,

yang mana membantu menstabilkan garis pantai berbentuk teluk.

Gambar 65 Pemecah gelombang lepas pantai (detached)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-68

Pemecah gelombang pantai dapat terhubung atau tetap terpisah dengan pantai

tergantung pada jarak penempatan dari pantai dan ukurannya. Tombolo

kemungkinan besar terbentuk jika pemecah gelombang dibangun di dalam surf

zone

Gambar 66 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan pemecah gelombang

Gambar 67 Pemecah gelombang urugan multi-lapis konvensional

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-69

Tabel 7 Keuntungan dan kerugian konstruksi breakwater

Gambar 68 Contoh pemecah gelombang urugan dengan struktur atas

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-70

Gambar 69 Pemecah gelombang kaison vertikal komposit

Pemecah gelombang sisi tegak adalah jenis yang lain dari struktur pemecah

gelombang. Elemen struktur dasar biasanya kaison beton bertulang yang diisi

dengan pasir, tetapi susunan blok-blok yang terbuat dari beton pracetak juga

dapat digunakan. Pemecah gelombang kaison dapat dibagi ke dalam beberapa

tipe sebagai berikut:

1. Konvensional, yaitu kaison yang langsung diletakan di atas lapisan dasar

(bedding layer) yang relatif tipis. Tipe ini dapat digunakan jika kedalaman

perairan tidak terlalu dalam dan kondisi tanah dasar cukup keras.

2. Komposit Vertikal. Kaison diletakkan di atas fondasi struktur urugan yang

cukup tinggi (Gambar 69). Tipe ini cocok digunakan di perairan dalam karena

lebih ekonomis. Untuk menghubungkan setiap kaison digunakan capping

beton.

3. Komposit Horisontal. Bagian depan kaison dilindungi dengan unit-unit armor

buatan atau struktur urugan (multi-lapis atau homogen) (Gambar 70). Tipe ini

biasanya digunakan pada perairan dangkal; namun, bisa juga digunakan di

perairan dalam dimana tekanan gelombang impulsif kemungkinan terjadi.

Pengaruh urugan di depan kaison adalah pengurangan pantulan dan limpasan

gelombang. Tergantung pada kondisi tanah dasar, sebuah lapisan filter

kemungkinan diperlukan di bawah struktur urugan.

Pemecah gelombang kaison pada umumnya kurang ekonomis dibandingkan

dengan struktur urugan di perairan dangkal. Lagipula, pemecah gelombang kaison

memerlukan tanah dasar yang lebih kuat daripada struktur urugan. Terutama, tipe

pemecah gelombang tegak dengan susunan blok-blok beton pracetak harus

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-71

ditempatkan di atas dasar berbatu atau tanah yang sangat keras karena beban

fondasi yang sangat tinggi dan sensitivitasnya terhadap penurunan yang tidak

sama.

Beberapa cara untuk mengurangi pengaruh gaya-gaya gelombang terhadap

pemecah gelombang sisi tegak adalah dengan memiringkan bagian puncak

(sloping top) di atas permukaan air rencana (Gambar 71a). Tetapi cara ini akan

memperbesar limpasan dibandingkan dengan puncak sisi tegak pada elevasi yang

sama. Cara lain adalah membuat lubang-lubang pada sisi depan (perforated front

wall) dan menyediakan ”ruang gelombang” (wave chamber) di belakangnya

(Gambar 71b). Disipasi energi gelombang oleh lubang-lubang

Gambar 70 Pemecah gelombang kaison horisontal komposit

(a) pemecah gelombang kaison puncak miring (b) pemecah gelombang kaison dinding berlubang

Gambar 71 Metoda reduksi gaya-gaya gelombang pada pemecah gelombang tipe

kaison

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-72

5. Beach Nourishment dan Konstruksi Bukit Pasir

Beach nourishment adalah solusi “struktur lunak” atau penanganan pantai yang

bersifat non struktural dengan tujuan mencegah erosi pantai. Material sedimen

pasir, lebih disukai dengan ukuran butir dan rapat massa yang sama, atau lebih

besar/tinggi seperti materila asli pantai secara artifisial ditempatkan pada bagian

pantai yang tererosi untuk mengganti kekurangan suplai alami sedimen pantai.

Beach nourishment tidak saja melindungi pantai yang diisi, tetapi juga bentang

pantai di hilirnya dengan cara menyediakan sumber sedimen pasir di bagian hulu

pantai.

Konstruksi bukit pasir (dune construction) adalah penimbunan pasir pantai

berkualitas untuk membentuk bukit pasir pelindung dengan tujuan mengganti bukit

pasir yang hilang karena tersapu gelombang pada saat terjadi badai. Komponen

penting dari rekonstruksi bukit pasir adalah penanaman vegetasi pantai dan

pemasangan jaring untuk membantu menahan pasir hilang karena tertiup angin.

6. Jetty

Jetty digunakan untuk stabilisasi saluran navigasi di mulut sungai dan inlet pasang

surut. Jetty merupakan struktur yang tersambung dengan pantai, pada umumnya

dibuat pada satu atau kedua sisi saluran navigasi dalam arah tegaklurus pantai

dan memanjang ke laut (Gambar 72) Dengan mengarahkan arus atau aliran

pasang surut, terdapat kemungkinan mengurangi pendangkalan alur dan

pekerjaan pengerukan. Lagipula, pada garis pantai dengan arus dan traspor

sejajar pantai dominan, fungsi yang lain dari jetty juga untuk mengarahkan arus

melintang ke perairan yang lebih dalam sehingga akan mengurangi bahaya

terhadap pelayaran. Jika diperpanjang melewati zona gelombang pecah, jetty

dapat memperbaiki olah gerak kapal dengan menyediakan perlindungan dari

gelombang badai. Konstruksi jetty dibuat sama seperti pemecah gelombang.

Jeti adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada satu atau

kedua sisi muara sungai yang berfungsi untuk mencegah terjadinya

luapan air sungai oleh endapan sedimen pantai. Selama proses

pengendapan tersebut biasanya disertai dengan membeloknya muara

sungai dalam arah yang sama dengan arah transpor sedimen

sepanjang pantai. Penanggulangan penutupan muara dibedakan

atas penanggulangan untuk lalu lintas kapal (jeti panjang) dan

penanggulangan penutupan mulut muara yang menyebabkan banjir (jeti

pendek).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-73

Jenis bangunan jetty dapat dibedakan menjadi:

1. Fix/Rigid Structure

Jenis konstruksi yang tidak bergerak yang mempunyai struktur masif,

mempunyai kelebihan kemudahan dan kecepatan dalam pemasangannya,

harga konstruksi lebih murah dan biaya pemeliharaannya lebih

rendah. Sedangkan kekurangannya terletak pada prosedur perencanaan

yang lebih rumit, apabila terjadi bencana kerusakan yang terjadi tiba-tiba

dan total, sulit untuk usaha perbaikannya.(Jatmoko, 2003)

2. Flexible Structure

Jenis konstruksi yang bisa bergerak mempunyai keuntungan dan

kemudahan dalam perencanaan, strukturnya relatif sederhana, faktor

stabilitas tinggi, karena bisa mengabsorpsi sebagian besar energi

gelombang yang menghantam permukaan bangunan, dan bangunan

masih tetap berfungsi meskipun terjadi kerusakan yang berat, serta

mudah untuk memperbaikinya. Sedangkan kekurangannya terletak pada

ketersediaan material (bahan batuan) dalam jumlah volume yang besar

untuk diameter dan kualitas yang diisyaratkan (biasanya membutuhkan

diameter batuan besar dalam jumlah yang besar).(Jatmoko,2003)

Gambar 72 Contoh jetty di estuari (1)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-74

Gambar 73 Contoh jetty di estuari (2)

7. Bentuk Material

Secara umum armor yang biasa digunakan dalam struktur urugan adalah batu

alam dan armor buatan. Batu alam dapat berupa batu gunung (andesite dan

feldspar) atau batu kapur (limestone dan calcite). Armor buatan terbuat dari beton

dan jenisnya sangat beragam. Gambar 74 menunjukkan contoh jenis-jenis unit

armor beton yang ada pada saat ini. Armor buatan dapat dibagi menjadi beberapa

kategori sesuai dengan kekuatan strukturnya sebagai berikut:

a. Masif atau berbentuk blok, antara lain: kubus, kubus bercelah dan bentuk

balok.

b. Bulky, sebagai contoh Accropode, Core Loc, Haro, dan Seabee

c. Langsing (slender) , misalnya Tetrapod dan Dolos

d. Kubus berlubang-lubang (multi-hole cube), ke dalam kategori ini termasuk

Efisiensi hidrolik setiap bentuk unit armor dinyatakan sebagai resistensi terhadap

perpindahan per volume beton yang diperlukan untuk melindungi satu satuan luas

permukaan lereng.. Efisiensi hidrolik bertambah dari unit dengan kategori masif ke

unit kategori langsing, dari unit langsing ke unit kategori kubus berlubang-lubang.

Karena porositas dari armor yang ditimbun secara acak juga bertambah dengan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-75

cara yang sama (Price 1979), tampaknya terdapat korelasi yang jelas antara

stabilitas hidrolik dan porositas (Burcharth dan Thompson 1983).

Unit armor beton hampir selalu dipasang secara acak pada suatu lereng dengan

sebuah lapisan yang mempunyai ketebalan terdiri dari dua unit armor.

Kekecualian adalah Accropod dan Core Loc, yang mana ditempatkan dalam

sebuah lapisan yang memiliki ketebalan terdiri dari sebuah unit armor, dan kubus

berlubang-lubang yang ditempatkan secara tersusun dalam pola teratur dimana

setiap unit saling menempel dengan unit-unit di dekatnya.

Gambar 74 Contoh-contoh armor beton buatan

Pada umumnya, unit armor beton terbuat dari beton konvensional tidak bertulang

kecuali untuk beberapa jenis dari kubus berlubang-lubang yang menggunakan

perkuatan bahan serat. Untuk unit-unit langsing, seperti dolos, berbagai tipe beton

mutu tinggi dan penulangan (baja biasa, pra tegang, serat, atau profil baja)

menjadi pertimbangan. Tetapi solusi ini biasanya kurang efektif dari segi biaya,

karena itu jarang digunakan.

Stabilitas hidrolik lapisan armor berkurang jika unit armor mengalami disintegrasi

(misalnya pelapukan beton) karena hal ini mengurangi gaya berat yang bekerja

pada armor, dan kemungkinan juga mengurangi efek interlocking-nya. Lagipula,

unit armor yang pecah mudah terlempar oleh gelombang dan karenanya memicu

pecah unit armor yang lain. Untuk mencegah pecah unit armor perlu untuk

memastikan bahwa integritas struktur unit armor terjaga.

Unit armor berkategori langsing paling riskan terhadap retak dan pecah karena

luas penampang yang kecil menyebabkan tegangan tarik yang relatif besar.

Banyak kegagalan pemecah gelombang dengan unit armor dari tetrapod dan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-76

dolos disebabkan oleh pecah justru sebelum stabilitas hidroliknya dilampaui.

Kegagalan dapat dicegah jika diagram desain integritas struktural unit armor beton

tersedia selama desain.

Kegagalan tersebut menyebabkan penurunan minat penggunaan unit armor

langsing dan kembali menggunakan blok masif. Hal ini juga mendorong

pengembangan unit armor berkategori bulky seperti Haro, Accropod, dan Core

Loc. Kecenderungan penggunaan unit-unit masif tidak akan berubah hingga

diagram kekuatan desain yang dapat diandalkan tersedia untuk unit-unit langsing.

Pada saat ini, diagram integritas struktur hanya tersedia untuk dolos (Burcharth

1993, Melby 1993) dan tetrapod (Burcharth dkk. 1995)

Gambar 75 Contoh-contoh armor beton buatan

8. Tipe Kegagalan Bangunan Pantai

Istilah “kegagalan” (failure) untuk sebagian besar orang bermakna keruntuhan

seluruh atau sebagian struktur, namun definisi ini terbatas dan tidak akurat jika

dikaitkan dengan desain dan kinerja struktur bangunan pantai. Dalam konteks

kepercayaan desain, lebih disukai untuk mendefinisikan “kegagalan” seperti yang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-77

diberikan dalam CEM Part VI Design of Coastal Project Elements, Chapter VI-2

sebagai berikut:

KEGAGALAN: kerusakan yang menyebabkan kinerja dan fungsionalitas struktur di

bawah nilai minimum yang diharapkan dalam desain.

Karena itu sesuai dengan definisi tersebut di atas, keruntuhan parsial sebuah

struktur masih dapat digolongkan sebagai “kerusakan” jika struktur masih

memenuhi fungsi semula pada atau di atas level minimum yang diharapkan.

Sebagai contoh amblesan (subsidence) sebuah pemecah gelombang yang

melindungi suatu kolam pelabuhan dapat dianggap sebagai kegagalan jika tinggi

gelombang di dalam kolam melewati kriteria operasional yang direncanakan.

Sebaliknya, keruntuhan parsial bagian kepala jetty urugan kemungkinan hanya

digolongkan sebagai kerusakan jika dampaknya terhadap navigasi dan

penyumbatan sedimen di kanal yang dilindungi masih minimal atau dalam batas-

batas yang dapat diterima.

Struktur bangunan pantai dapat mengalami kegagalan fungsi untuk satu atau

beberapa sebab berikut

a. Kegagalan desain (design failure), terjadi jika salah satu, struktur keseluruhan,

termasuk fondasi, atau komponen-komponen struktur individu tidak dapat

menahan beban sesuai kriteria desain. Kegagalan desain juga terjadi jika

struktur tidak menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan.

b. Beban lebih (load exceedance), terjadi jika struktur mengalami kegagalan

karena beban yang bekerja melampaui beban desain.

c. Kegagalan konstruksi (construction failure) terjadi akibat kesalahan konstruksi

atau konstruksi jelek, atau material konstruksi tidak sesuai spesifikasi.

d. Penurunan akibat usia (deterioration failure) disebabkan oleh usia bangunan

dan kekurang perawatan.

Di pihak lain, Environmental AGENCY (2000) memberikan mekanisme utama

dimana struktur mengalami kegagalan, atau failure mode sebagai berikut

a. limpasan puncak yang berlebihan (excessive overtopping) tanpa kegagalan

struktur;

b. kegagalan proteksi permukaan yang mengakibatkan pengurangan elevasi

puncak yang selanjutnya meningkatkan limpasan puncak, erosi dan diikuti

dengan keruntuhan;

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-78

c. kegagalan geoteknis struktur atau fondasi yang menyebabkan pengurangan

elevasi puncak dan keruntuhan;

d. rembesan atau piping dan erosi internal yang menyebabkan keruntuhan.

Gambar 76 Mekanisme kegagalan struktur batu alam (CIRIA dan CUR, 1991)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-79

Gambar 77 Armor batu alam terlepas; awal keruntuhan lereng struktur urugan.

Gambar 78 Keruntuhan dinding penahan tanah (bulkhead) akibat gerusan dan

beban lebih.

Gambar 79 Keruntuhan tembok laut (seawall) akibat gerusan tumit dan limpasan

puncak.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-80

Gambar 80 Bagan alir kriteria desain bangunan pengaman pantai.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-81

2.5 Uraian Materi Tentang Pedoman dan Perencanaan Sistem Bangunan Pengamanan Pantai

2.5.1 Pedoman Perencanaan Bangunan Pantai

Materi dasar dari pedoman perencanaan bangunan pantai ini diambil dari

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia

Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan Pantai.

Berdasarkan peraturan tersebut maka setiap kegiatan dalam rangka pengamanan

pantai harus berdasarkan zona pengamanan pantai dan mempertimbangkan

wilayah sungai, pola serta rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah

sungai.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa peraturan ini harus dijadikan sebagai acuan

bagi Balai Besar Wilayah Sungai dan Balai Wilayah Sungai dalam melaksanakan

kegiatan pengamanan pantai.

Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Pengamanan pantai dimaksudkan untuk

melakukan perlindungan dan pengamanan terhadap:

a. masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai dari ancaman gelombang dan

genangan pasang tinggi (rob), erosi serta abrasi;

b. fasilitas umum, fasilitas sosial, kawasan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi

dan nilai sejarah serta nilai strategis nasional yang berada di sepanjang pantai;

dan

c. pendangkalan muara sungai

Selanjutnya mengenai penjabaran aspek umum dan teknis dari perencanaan

pengamanan pantai disebutkan pada Pasal 6, yaitu:

1. Aspek umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi

a. studi kelayakan pengamanan pantai; dan

b. penyusunan program pengamanan pantai.

2. Aspek teknis sebagaimana dimaksud, meliputi:

a. perencanaan detail pengamanan pantai;

b. pelaksanaan pengamanan pantai;

c. operasi dan pemeliharaan bangunan pengaman pantai;

d. pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah berupa bangunan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-82

e. pengaman pantai;

f. pembiayaan pengamanan pantai; dan

g. peran masyarakat

Berdasarkan Pasal 7 disebutkan bahwa Studi kelayakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 dimaksudkan untuk mengevaluasi kelayakan bangunan pengaman

pantai yang meliputi:

a. kelayakan ekonomi, sosial, dan lingkungan;

b. kesiapan masyarakat untuk menerima rencana kegiatan;

c. keterpaduan antarsektor;

d. kesiapan pembiayaan; dan

e. kesiapan kelembagaan

Berdasarkan Pasal 8, perencanaan detail pengamanan pantai sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui tahapan:

a. inventarisasi; dan

b. penyusunan rencana detail.

Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. pengumpulan data; dan

b. identifikasi masalah.

Penyusunan rencana detail sebagaimana dimaksud meliputi:

a. pengolahan data;

b. pra desain;

c. pemilihan alternatif pengamanan pantai; dan

d. detail desain pengamanan pantai.

Berdasarkan Pasal 10, Pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

meliputi:

a. pengumpulan data sekunder; dan

b. pengumpulan data primer

Pengumpulan data primer sebagaimana dimaksud meliputi:

a. survei pemetaan;

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-83

b. survei hidro-oseanografi;

c. survei mekanika tanah dan geoteknik;

d. survei sosial ekonomi; dan

e. survei lingkungan

Berdasarkan Pasal 11 dinyatakan bahwa

1. Identifikasi masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b,

diperlukan untuk memperoleh informasi awal mengenai permasalahan fisik,

peraturan perundang-undangan terkait dengan pengamanan pantai, sumber

daya manusia dan kelembagaan yang diperlukan dalam pengamanan pantai.

2. Informasi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari instansi

terkait dan didukung dengan peninjauan lapangan.

3. Peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dimaksudkan

untuk memperoleh data fisik permasalahan pantai dan analisis tentang

perkiraan penyebab kerusakan pantai.

Berdasarkan Pasal 12 dinyatakan bahwa

1. Pengolahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a

meliputi:

a. pengolahan data sekunder; dan

b. pengolahan data primer.

2. Pra desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b berisi:

a. pengembangan alternatif;

b. kriteria desain;

c. tata letak;

d. bentuk pengamanan pantai;

e. material pengamanan pantai; dan

f. pertemuan konsultasi publik.

3. Hasil dari pra desain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk

menentukan pemilihan alternatif pengamanan pantai.

4. Pemilihan alternatif pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

ayat (3) huruf c dapat berupa:

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-84

a. perlindungan buatan (artificial protection);

b. perlindungan alami (natural protection); dan

c. adaptasi.

5. Perlindungan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, meliputi

pembangunan:

a. struktur lunak (soft structures);

b. struktur keras (hard structure); dan

c. kombinasi antara struktur lunak dan struktur keras.

6. Perlindungan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, antara lain

berupa perlindungan hutan/tanaman mangrove, gumuk pasir (sand dunes),

terumbu karang, dan cemara pantai.

7. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan

penyesuaian terhadap perubahan alam, penurunan risiko dampak yang

mungkin terjadi, dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana

alam.

8. Pengembangan alternatif, kriteria desain, tata letak, bentuk dan material

pengamanan pantai dilakukan melalui konsultasi publik dengan instansi teknis

dan masyarakat terkait.

2.5.2 Perencanaan Sistem Bangunan Pantai

Metodologi pelaksanaan perencanaan bangunan pantai dari beberapa tahapan,

yaitu:

1. Tahap Persiapan

a. Penyelesaian administrasi

b. Mobilisasi personil dan peralatan

c. Pengumpulan data sekunder

2. Survei Pendahuluan

a. Identifikasi awal permasalahan

b. Penentuan cakupan survei

3. Survei Lapangan

a. Survei pemetaan topografi dan batimetri

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-85

b. Survei hidro-oseanografi

c. Survei mekanika tanah

d. Survei sosek

4. Pengolahan data hasil survei

5. Penentuan alternatif layout bangunan

6. Analisis hidro-oseanografi

7. Pemilihan alternatif terpilih

8. Perencanaan teknis bangunan

Semua tahapan tersebut akan digambarkan dalam suatu bentuk bagan alir

sebagai berikut:

Gambar 81 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (1).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-86

Gambar 82 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (2).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-87

Gambar 83 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (3).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-88

1. Tahap Persiapan

Sasaran utama kegiatan tahapan ini adalah untuk menentukan program rencana

kerja dan penugasan personil yang akan terlibat pada pekerjaan ini. Rincian jenis

kegiatan yang tercakup dalam tahapan ini dapat dilihat pada uraian berikut ini.

1) Persiapan Administrasi

Meliputi pengurusan surat-menyurat dan dokumen administrasi sehubungan

dengan pelaksanaan pekerjaan. Jenis surat yang diperlukan pada tahap ini

berupa surat tugas Konsultan dan surat pengantar dari pihak Direksi maupun

Konsultan, yang ditujukan untuk instansi terkait dan berwenang di wilayah

studi. Pelaksanaan pengurusan administrasi dimaksudkan untuk memudahkan

kelancaran pekerjaan, terutama berkaitan dengan pengumpulan data dan

pekerjaan di lapangan.

2) Koordinasi dengan Instansi Terkait

Sebelum memulai kegiatan pekerjaan di lapangan, Pelaksana harus

melakukan koordinasi dengan instansi Pemberi Tugas untuk menyamakan

persepsi tentang maksud, tujuan dan sasaran pakerjaan serta sebagai

perkenalan dengan staf instansi / Pemda yang ditunjuk oleh intansi Pemberi

Tugas untuk turut terlibat dalam pekerjaan ini.

3) Pengumpulan Peta dan Data Sekunder

Kegiatan pengumpulan data sekunder akan dilakukan dengan mengumpulkan

laporan perencanaan, hasil studi, dan kebijakan yang terkait dengan potensi

dan permasalahan yang ada, serta peta yang tersedia dari berbagai instansi

pemerintah atau swasta terkait. Pengumpulan data terdiri atas data-data yang

bersifat data dasar di antaranya peta topografi yang akan dipakai sebagai

dasar perhitungan besaran-besaran yang menyangkut luasan, arah dan posisi.

Data sekunder didapatkan dengan melakukan koordinasi dengan instansi-

instansi terkait, seperti: Bappeda, BPN, Dinas Kehutanan, BMG, Dinas

Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Pengairan dan Instansi terkait lainnya.

Data-data yang dikumpulkan antara lain :

a. Klimatologi

o Data curah hujan, kecepatan angin, temperatur, dsb.

b. Hidro oceanografi

o Data arus, pasang surut, gelombang, dsb.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-89

c. Topografi dan Bathimetri yang tersedia

d. Geologi, Biomorfologi Pantai, dan Hidrooseanografi yang tersedia.

o Peta Geologi

o Data sedimen nearshore, erosi/akresi, longshore drift, dsb.

o Data sumber daya pantai, ekosistim coral, hutan bakau, dsb.

o Data rekaman tinggi dan periode gelombang, pola arus, dsb.

e. Informasi Kondisi Tata Guna Lahan Pantai dan Pesisir

o Tata guna lahan, kemiringan, status lahan, dsb.

f. Informasi Kondisi bangunan pengaman pantai eksisting

o Kondisi struktur, posisi dan tata letak, status bangunan (dibangun oleh

siapa dan waktu pembangunan, dll).

g. Informasi Kondisi kerusakan pantai eksisting

o Tingkat kerusakan pantai, penyebab kerusakan (bencana alam,

penambangan karang, perusakan hutan bakau, dsb).

h. Data Sosial, Ekonomi, Lingkungan, RUTR, RDTR dan Peraturan/Kebijakan

Pemerintah (5 tahun terakhir untuk data Sosial Ekonomi dan lingkungan,

serta minimal perencanaan 10 tahun kedepan data rencana tata ruang

wilayah).

i. Data-data pendukung lainnya.

o Peta-peta, foto udara, peta citra digital, dsb.

o Laporan studi terdahulu

2. Survei Pendahuluan (Identifikasi Masalah)

Dalam kegiatan pengumpulan data sekunder dilakukan juga kegiatan survei /

orientasi lapangan pendahuluan atau reconnaissance survei. Survei lapangan

pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum lokasi kajian serta untuk

memperoleh gambaran umum tentang permasalahan yang tengah dihadapi serta

potensi sumber daya air yang ada, yang terkait dengan kajian yang akan

dilakukan. Dalam survei ini juga dilakukan wawancara dengan instansi terkait,

terutama Dinas Pekerjaan Umum Provinsi maupun Kabupaten yang dikaji, dan

instansi lain serta masyarakat di lokasi yang dikunjungi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-90

Hasil kunjungan lapangan ini dijadikan masukan dalam menyusun rencana kerja

pelaksanaan survei dan metoda kerja yang akan dilaksanakan. Atau dengan kata

lain, orientasi ini untuk mengetahui situasi lapangan, batas yang diukur sesuai

dengan petunjuk Direksi, serta melaksanakan sinkronisasi rencana kerja dengan

kondisi lapangan.

3. Survei Lapangan

1) Survei Topografi

Topografi (berasal dari kata “topos” yang berarti tempat dan “grapho” yang

berarti menulis) adalah studi tentang bentuk permukaan bumi dan benda langit

lain, seperti planet, satelit (alami, seperti bulan), dan asteroid. Hal itu juga

termasuk penggambarannya di peta. Ada dua teknik yang dapat membantu

studi topografi ini, yaitu survey secara langsung dan penginderaan jarak jauh

(remote sensing). Kali ini, kita akan membahas tentang survey secara

langsung atau lebih dikenal dengan nama survey topografi.

Proses perpindahan bentuk bumi dan permukaannya membutuhkan sebuah

keahlian khusus, yang dimiliki oleh seorang surveyor, sedangkan pekerjaan

seorang surveyor biasa disebut survey topografi. Survey topografi adalah

survey yang bertujuan untuk mencari informasi permukaan tanah. Informasi

tersebut dapat berupa tinggi rendah hingga keadaan fisik dan posisi suatu

benda, baik yang berupa alamiah maupun buatan manusia, di permukaan

lahan yang akan dipetakan. Survey ini sangat berguna dalam pembuatan peta

topografi. Survey topografi biasa dilakukan pada pekerjaan konstruksi.

Survey topografi umumnya dilakukan pada bidang datar, dengan mengabaikan

kelengkungan bentuk bumi (dengan melakukan perhitungan menggunakan

suatu rumus) karena (biasanya) kelengkungan bentuk buminya kecil.Survei ini

bertujuan untuk mendapatkan gambaran bentuk permukaan tanah yang

berupa situasi , ketinggian serta posisi kenampakan yang ada di areal lokasi

pekerjaan dan sekitarnya. Hasilnya kemudian akan dipetakan dengan skala

dan interval kontur tertentu (sesuai dengan kaidah Kartografi).

Survei topografi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda

(features) buatan manusia maupun alamiah diatas permukaan tanah. Survei

topografi juga digunakan untuk menentukan konfigurasi medan (terrain).

Kegunaan survei topografi adalah untuk mengumpulkan data yang diperlukan

untuk gambar peta topografi. Gambar peta dari gabungan data akan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-91

membentuk suatu peta topografi. Sebuah topografi memperlihatkan karakter

vegetasi dengan memakai tanda-tanda yang sama seperti halnya jarak

horizontal diantara beberapa features dan elevasinya masing-masing diatas

datum tertentu.

Survei topografi yang dilakukan adalah mengikuti bagan alir seperti pada

bagan alir dibawah ini.

Gambar 84 Bagan alir pelaksanaan pengukuran topografi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-92

GTS-233N GTS-235N GTS-236N GTS-239N

LengthObjective Lens Dia.MagnificationImageField of ViewResolving PowerMin. Focus Distance

1 prism3 prisms9 prisms

1 prism3 prisms9 prisms

AccuracyLeast Count in MeasurementFine Measurement ModeCoarse Measurement ModeTracking Measurement ModeMeasurement Display

Coarse Measurement ModeTracking Measurement ModeAtmospheric Correction RangePrism Constant Correction Range

MethodDetecting System H: 2 sides V: 1 side H: 1 side V: 1 side

Accuracy* 3″(1mgon) 5″(1.5mgon) 6″(1.8mgon) 9″(2.7mgon)Measuring TimeDiameter of Circle

Topcon GTS-239N Series

TELESCOPE

Measuring TimeFine Measurement Mode

ANGLE MEASUREMENT

Minimum Reading

DISTANCE MEASUREMENTCondition 1

Condition 2

Less than 0.3 sec.71mm

–999.9ppm to +999.9ppm, in 0.1ppm increments–99.9mm to +99.9mm, in 0.1mm increments

Absolute Reading

5″/10″(1/2mgon)

1″/5″(0.2/1mgon)

12 digits: max. display 99999999.9999

1mm: 1.2 sec. (Initial 4 sec.)0.2mm: 2.8 sec. (Initial 5 sec.)

0.7 sec. (Initial 3 sec.)0.4 sec. (Initial 3 sec.)

(The initial time will be different by a condition)

Condition 1: Slight haze with visibility about 20km (12.5 miles) moderate sunlight with light heat shimmer.Condition 2: No haze with visibility about 40 km (25 miles), overcast with no heat shimmer.

D: Measuring distance (mm)1mm (0.005 ft.)/0.2mm (0.001 ft.)10mm (0.02 ft.)/1mm (0.005 ft.)

10mm (0.02 ft.)

±(2mm + 2ppm × D) m.s.e. ±(3mm+3ppm×D)m.s.e.

3,500m(11,500 ft.) 4,700m(15,400 ft.) 5,800m(19,000 ft.)

2,300m (7,500 ft.)3,100m(10,200 ft.)4,000m(13,200 ft.)

1.3m (4.9 ft.)

3,000m (9,900 ft.) 4,000m(13,200 ft.)5,000m(16,400 ft.)

2,000m (6,600 ft.)2,700m (8,900 ft.)3,400m(11,200 ft.)

150mm45mm (EDM 50mm)

30×Erect1°30′2.5″

Gambar 85 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (1).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-93

Keyboard

Tilt SensorMethodCompensating RangeCorrection Unit

Instrument Height

Circular LevelPlate Level

MagnificationFocusing RangeImageField of View (at 1.3m)

Instrument (with battery)

Protection against water and dust IP66 (with BT-52QA) (Based on the standard IEC60529)Ambient Temperature Range

Output VoltageCapacity

Including distance measurementAngle measurement onlyWeight

Input VoltageFrequencyRecharging Time (at +20°C/+68°F)Discharging Time (at +20°C/+68°F)Operating TemperatureWeight

Plastic Carrying Case

Alpha-Numeric key 1 side2 sides

Graphics LCD 160 × 64 Dots with backlightDISPLAY

4.9kg (10.8 lbs.)3.4kg (7.5 lbs.) (Weight of the carrying case may

be slightly different due to specific market.)

336(H)×184(W)×172(L)mm/13.2(H)×7.2(W)×6.9(L)in.

–20°C to +50°C (–4°F to +122°F)

30″ /2mm 40″ /2mm

3×0.5 to infinity

Erect

Battery BT-52QA: 1.8 hoursBattery BT-52QA: 8 hours (in case of full charge)

+10°C to +40°C (+50°F to 104°F)0.5kg (1.1 lbs.)

0.3kg (0.7 lbs.)

BATTERY BT-52Q

BATTERY CHARGER BC-27

DURABILITY

Maximum operating time (when fully recharged) at +20°C (+68°F)

AC 100 ~ 240V50/60Hz

DC7.2V2.7 Ah (Ni-MH)

45 hours10 hours

DIMENSION

OPTICAL PLUMMET TELESCOPE

OTHERS

LEVEL SENSITIVITY

WEIGHT

176mm (6.93 in.)

10′ /2mm

5° (114mmø)

Single axisDual axis Liquid type

±3′1″ (0.1mgon)

Display Unit

TILT CORRECTION (AUTOMATIC INDEX)

Gambar 86 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (2).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-94

Length 215mmImage ErectObjective aperture 32mmMagnification 24XField of view (at 100m/328ft) 1° 25’ (2.5m/8.2ft)Resolving power 4.0”Minimum focus 0.3m (1ft)Stadia ratio 0.111111111Additive constant 0

Diameter 103mm (4.1in)Graduation 1° / 1gon

Range ±15’

Sensitivity 10’ / 2mm

2.0mm (0.08in)Ipx6 (IEC60529:2001)-20 to 50°C (-4 to 122°F)-40 to 70°C (-40 to 158°F)

Size Width 130mm (5.12in)Length 215mm (8.46in)Height 135mm (5.31in)

Weight 1.7kg (3.7lbs)

Water res is tanceOperat ing temperature rangeStorage temperature range

Topcon AT-B4Telescope

Horizontal c irc le

Automat ic compensator

Circular level

Standard dev iat ion for 1km of double run levell ing

Gambar 87 Spesifikasi alat ukur Waterpass untuk survei topografi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-95

2) Survei Batimetri

Pekerjaan survei dan pemetaan laut/perairan pada dasarnya merupakan

proses penggambaran keadaan fisik daerah perairan melalui data ukuran hasil

survei di lapangan. Data-data tersebut merupakan data-data yang

memvisualisasikan kondisi perairan secara horizontal dan vertikal. Dengan

demikian berarti bahwa untuk setiap titik yang berada di dasar laut dapat

diketahui berapa kedalaman dan dimana posisi pada satu sistem koordinat

tertentu.

Pada dasarnya pekerjaan survei pemetaan laut sangat luas cakupannya. Hal

ini dapat dilihat dari definisi hidrografi yang dikeluarkan oleh PBB: “Hidrografi

adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana mengukur (measure),

menjelaskan (describe), dan melukiskan (depict) tentang konfigurasi dasar laut

(batimetri, geologi dan geofisika), hubungan geografis daratan dan laut serta

sifat dan dinamika air laut”. Dari definisi ini tampak jelas bahwa spektrum

kegiatan survei pemetaan laut sangat luas di antaranya menyangkut survei

geologi, geodesi, geofisika dan oseanografi.

Dalam bidang geodesi pekerjaan paling utama dalam survei pemetaan laut

adalah survei batimetri. Kegiatan dalam survei batimetri meliputi kegiatan-

kegiatan seperti pengukuran kedalaman, pengamatan pasang surut,

penentuan posisi horizontal fix perum, pengukuran titik kerangka dasar dan

lain-lain.

Survei batimetri atau sering disebut dengan pemeruman adalah proses dan

aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk

permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Proses penggambaran

dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan hingga visualisasinya)

disebut survei batimetri.

Metoda pelaksanaan survei batimetri yang dilakukan pada pekerjaan saat ini

adalah mengikuti bagan alir dibawah ini.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-96

Gambar 88 Bagan alir pelaksanaan pengukuran batimetri.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-97

Features

• Windows XP operation • High performance and easy operation • Stainless steel shell makes processor rugged and reliable • Built-in navigational software and data storage • 12.1-inch color LCD display featuring a wide viewing angle and adjustable brightness • Interface - GPS, 32 Greyscale printer, heave and other navigational equipment • Especial clear pulse and echo threshold ensure reflecting the underwater landform really • Support communication with NMEA-0183 GPS receivers to gain orientation information. • Depth data for last 24 hours in memory to play back the past sounding information • Rugged display housing is adjustable in 180 degree to get a fit viewing angle of display

Frequency 200kHz Beam Angle 7° Depth Display 12.1-inch color LCD Output Power up to 200wDepth Resolution 1cm Accuracy + / -0.1% of water depth Sound Velocity 1300-1650 m/ s Depth Range 0.39-220 m Draft 0-9.9 m Pulse Length Automatically selected, with operator override Serial Ports two RS-232 ports, baud rate 1200-115200 Connection Pinter connection USB connection ( 2x) Keyboard and mouse connection Storage 1GB Power Supply 9-18V DC, less than 25 W 110~ 230V AC( optionally)Operating Conditions 30° - 60° C non-condensingDimensions 34cm x 30cm x 15cmWeight 8.5kg Application Hydrographic surveying & hydro-project surveying

Single frequency Precision Hydrographic Echosounder

RUIDE R-28S

R-28S is a precision hydrographic echosounder. Integrating with various functions such as windows XP operation, water depth surveying, software mapping navigation, positioning and depth data collection, SDE-28S can record the depth data and mapping in real time. It' s shockproof operation, waterproof transit and heatproof design make it an ideal echo-sounder for hydrographic surveying and water engineering surveying.

Technical Specification

Gambar 89 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (1).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-98

Physical & Performance:Unit dimensions, WxHxD: 5.9" x 6.4" x 2.9" (15.0 x 16.3 x 7.4 cm)Display size, WxH: 5”, 120.7x75.8mmDisplay resolution, WxH: 480x272 pixelsDisplay type: WQVGAWeight: 390gWaterproof: (IPX7)Maps & Memory:Basemap: YesPreloaded maps: NoAbility to add maps: YesAccepts data cards: SD card slotWaypoints/favorites/locations: 6000Routes: 150 tracks/250 pointsFeatures:CANet® compatible: NoSupports AIS (tracks target ships' position): YesSupports DSC (displays position data from DSC capable VHF radio): YesAudible alarms: YesTide tables: YesSun and moon information: Yes3-D map view: NoDual-frequency sonar capable: YesDual-beam sonar capable : NoSplit-screen zoom: YesSplit-screen sonar/gps: YesUltrascroll™ (displays fish targets at higher boat speeds): YesSee-thru® technology (exposes fish hidden in cover): YesFish Symbol ID (helps identify fish targets): YesAutoGain Technology (minimizes clutter, maximizes targets): YesWhiteline (indicates hard or soft bottom): YesAdjustable depth line (measures depth of underwater objects): YesA-scope (real time display of fish passing through transducer beam): YesBottom lock (shows return from the bottom up): YesWater temperature log and graph: YesWater temperature sensor included: (need to equipt with correct tranducer)Sonar:Frequency: 50/200 kHzTransmit power: 500W(RMS), 4,000W(peak to peak)Voltage range: 10-36 VDCMaximum depth*: 1,500ftCone angle: 20 degrees

*Depth capacity is dependent on water salinity, bottom type, and other water conditions.

GPSMAP® 585

Gambar 90 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (2).

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-99

3) Survei Hidro-Oseanografi (Pasang Surut)

Pengamatan pasang surut dilakukan untuk memperoleh data tinggi rendahnya

muka air di suatu lokasi. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat

ditetapkan datum vertikal tertentu yang sesuai untuk keperluan-keperluan

tertentu pula. Pengamatan pasang surut dilakukan dengan mencatat atau

merekam data tinggi rendahnya permukaan air pada setiap interval waktu

tertentu. Rentang pengamatan pasang surut sebaiknya dilakukan selama

selang waktu keseluruhan periodisasi benda-benda langit yang mempengaruhi

terjadinya pasang surut hingga kembali pada posisinya semula. Rentang

pengamatan pasang surut yang lazim dilakukan untuk keperluan praktis adalah

15 atau 29 piantan (1 piantan = 25 jam). Interval waktu pencatatan atau

perekaman tinggi rendahnya muka air biasanya 30 menit atau 60 menit.

Cara yang paling sederhana untuk mengamati pasang surut dengan

menggunakan rambu atau papan duga (peilschaal). Tinggi pasang surut setiap

interval waktu diamati secara manual oleh operator (pencatat) dan dicatat pada

suatu formulir yang telah disediakan. Pada rambu atau papan duga dilukis

tanda-tanda skala bacaan dalam satuan desimeter. Pencatat akan menuliskan

kedudukan tinggi rendahnya muka air relatif terhadap rambu atau papan duga

pada jam-jam tertentu sesuai dengan skala bacaan yang ada. Pasang surut air

laut yang relatif tidak tenang membatasi kemampuan pencatatan dalam

menaksir bacaan skala. Walaupun demikian, cara ini cukup efektif untuk

memperoleh data pasang surut dengan ketelitian hingga sekitar 2,5 cm. Tinggi

rambu atau papan duga disesuaikan dengan karakter tunggang air di wilayah

perairan yang diamati pola pasang surutnya, yang biasanya sekitar 2 hingga 3

meter.

Beberapa persyaratan untuk penempatan lokasi stasiun pasang surut yang

harus dipenuhi antara lain adalah:

a. Lokasi stasiun pasang surut harus menggambarkan karakteristik pasang

surut di daerah sekitarnya.

b. Tanah di daerah lokasi stasiun pasang surut harus keras (tidak berlumpur).

c. Lokasi stasiun pasang surut sebaiknya jauh dari muara sungai, untuk

menghindari pengaruh aliran serta endapan dan sampah yang terbawa

menuju ke laut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-100

d. Perairan di lokasi stasiun pasang surut diupayakan bersih dan jernih serta

tidak terganggu oleh tumbuhan laut yang ada di sekitarnya.

e. Lokasi dicari sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan dan

pemeliharaan stasiun pasang surut.

f. Terlindung dari pengaruh ombak dan gelombang serta pengaruh lainnya

secara langsung.

Gambar 91 Lokasi pengamatan pasut.

4) Survei Hidro-Oseanografi (Arus)

Pengukuran arus laut dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tabiat/sifat

arus laut, seperti kecepatan dominant dan arah arusnya. Oleh Pariwono

(1998), arus merupakan perpindahan massa air dari satu tempat ketempat lain,

yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti gradien tekanan, hembusan

angin, perbedaan densitas atau pasang surut. Arus yang diakibatkan oleh

angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada satu musim, arus

mengalir ke satu arah dengan tetap, dan pada musim berikutnya akan berubah

arah sesuai dengan perubahan angin yang terjadi. Pasang surut dilain pihak,

menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di

perairan yang diamati. Pada saat air pasang arus pada umumnya akan

mengalir dari laut lepas kea rah pantai, dan akan mengalir kembali kearah

semula pada saat air surut.

Pengukuran arus pasang surut, umumnya dilakukan dengan current meter

dimana alat ini bekerja secara mekanik. Badan air yang bergerak akan

memutar baling-baling yang dihubungkan dengan sebuah roda gigi. Pada roda

gigi tersebut terdapat penghitung (counter) dan pencatat waktu (time-keeper)

yang merekam jumlah putaran untuk setiap satuan waktu. Melalui suatu proses

kalibrasi, jumlah putaran per satuan waktu yang dicatat dari alat ini dikonversi

ke kecepatan arus dalam meter per sekon (m/det). Alat pengukur arus ini

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-101

mempunyai ketelitian pengukuran relatif sangat baik (Poerbandono dan

Djunarsah, 2005).

Pada lingkungan pesisir yang didominasi oleh pasut, maka durasi pengukuran

arus pasut setidak-tidaknya adalah sepanjang perioda pasang surut.

Pengukuran dilakukan selama 25 jam secara terus menerus dan dilakukan

pada beberapa titik pengukuran sesuai dengan kondisi di lapangan. Adapun

kedalaman titik-titik pengambilan data arus pasang surut adalah 0.2 d; 0.6 d

dan 0,8 d; dimana d adalah kedalaman laut.

Peralatan yang digunakan adalah current meter jenis Flow Probe Global

waters 101, dengan sistem computerized di dalam mencatat kecepatan

maksimum (max velocity) dan kecepatan rata-rata (average velocity) dalam

meter/det.

Gambar 92 Alat current meter.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-102

5) Survei Mekanika Tanah

Pekerjaan penyelidikan tanah dilakukan guna mendapatkan data-data serta

gambaran mengenai keadaan, jenis dan sifat-sifat mekanis tanah di lokasi

kajian. Data-data tersebut untuk selanjutnya digunakan sebagai kriteria untuk

menentukan daya dukung tanah, sistem pondasi, kedalaman tiang dan untuk

memperkirakan besarnya settlement.

Pada pekerjaan penyelidikan tanah ini, lingkup pekerjaan yang dilaksanakan

terdiri dari:

o Penyelidikan tanah di lapangan yang meliputi pekerjaan sondir dan boring.

o Pekerjaan test laboratorium dari contoh tanah yang diambil.

a. Pekerjaan Sondir

Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan alat sondir dengan kapasitas

tertentu dengan kedalaman penyondiran maksimum 30 m dari permukaan

tanah atau telah mencapai lapisan tanah dengan tahanan konus sebesar

200 kg/cm2. Prosedur pelaksanaan pekerjaan sondir akan mengikuti

standar ASTM D3441-86; ”Method for Deep, Quasi-Static Cone and Friction

Cone Penetration Test of Soil”.

Hasil dari pekerjaan sondir berupa grafik sondir yang menyajikan besarnya

tekanan konus qc dan jumlah hambatan pelekat (JHP), versus kedalaman.

Pembacaan sondir dilakukan selang interval 20 cm, dengan titik elevasi 0

(nol) berada di permukaan tanah setempat pada saat penyelidikan.

Beberapa hal penting yang dapat diperoleh dari penyelidikan tanah melalui

sondir, antara lain:

o Perkiraan kedalaman tanah keras sesuai dengan spesifikasi pekerjaan.

o Perkiraan ketebalan tiap jenis tanah.

o Dengan dapat diperkirakannya ketebalan lapisan tanah, maka dapat

diperkirakan penurunan yang mungkin terjadi akibat pembebanan.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-103

Gambar 93 Alat sondir.

b. Pekerjaan Boring Dangkal

Pengeboran dilakukan dengan menggunakan alat bor tangan hingga

kedalaman maksimum sekitar 6 m dari permukaan tanah. Hasil dari

pekerjaan boring berupa boring log yang menyajikan gambaran jenis-jenis

tanah dan sampel tanah pada tiap kedalaman untuk setiap titik bor.

Sama halnya dengan sondir, penyelidikan tanah melalui boring juga

memberikan beberapa hal penting antara lain:

i. Letak lapisan tanah keras.

ii. Perkiraan jenis lapisan tanah.

iii. Perkiraan ketebalan tiap jenis lapisan tanah.

iv. Pengambilan contoh tanah untuk di uji laboratorium yang selanjutnya

dapat diperoleh parameter-parameter tanah yang diperlukan sehubungan

dengan perencanaan.

Pengambilan contoh tanah tak terganggu (undisturbed sample) dilakukan

dengan menggunakan tabung contoh tanah yang berdiameter 76 mm

dengan panjang 60 cm, serta memiliki area ratio < 10 %. Tabung yang

berisi contoh tanah tersebut kemudian ditutup dengan lilin agar kondisi

tanah tetap terjaga dari penguapan. Selanjutnya tabung tersebut diberi

tanda berupa nomor titik, kedalaman dan tanggal pengambilan.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-104

4. Analisis Hidro-Oseanografi (Pasang Surut)

Pengolahan data pasang surut dengan alur sebagaimana disajikan oleh Gambar

14. Perhitungan konstanta pasang surut dilakukan dengan menggunakan metode

Least Square. Data pasang surut diambil dari data sekunder berupa data pasut

yang terdapat pada pekerjaan sejenis di lokasi yang sama atau diperoleh dari

buku pasut dishidros. Dengan konstanta pasang surut yang ada pada proses

sebelumnya dilakukan penentuan jenis pasang surut menurut rumus berikut:

22

11SMOKNF

++

= ……………………………………………………………………..(4)

dimana jenis pasut untuk nilai NF:

0 - 0,25 = semi diurnal

0,25 - 1,5 = mixed type (semi diurnal dominant)

1,5 - 3,0 = mixed type (diurnal dominant)

>3,0 = diurnal

Selanjutnya dilakukan peramalan pasang surut yang dipilih bersamaan dengan

masa pengukuran yang dilakukan di lokasi pekerjaan.

Langkah selanjutnya dari pengolahan data pasang surut adalah mencari harga

elevasi-elevasi acuan dari karakteristik perairan di wilayah proyek. Untuk mencari

harga elevasi-elevasi tersebut, digunakan nilai-nilai komponen pasang surut dari

hasil peramalan seperti disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 8 Contoh nilai komponen pasang surut

s S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1

A(cm) 62.15 6.36 17.29 5.55 11.96 26.58 5.31 6.64 0.27 0.18

g (o) 196.02 175.28 221.92 253.55 -70.79 222.93 -84.22 260.47 226.86

dimana:

A : amplitudo,

g : beda fase,

M2 : komponen utama bulan (semi diurnal),

S2 : komponen utama matahari (semi diurnal),

N2 : komponen eliptis bulan,

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-105

Data Pasut

Least Square

Komponen Pasang Surut

Jenis Pasang Surut

Peramalan Pasang Surut 15 Hari

Peramalan Pasang Surut 20 Tahun

Perbandingan Hasil Ramalan dengan

Pengukuran Lapangan

Elevasi Acuan Pasang Surut

Probabilitas Kejadian tiap Elevasi Acuan

Pasang Surut

K2 : komponen bulan,

K1 : komponen bulan,

O1 : komponen utama bulan (diurnal),

P1 : komponen utama matahari (semi diurnal),

M4 : komponen utama bulan (kuarter diurnal), dan

MS4 : komponen utama matahari-bulan.

Gambar 94 Bagan alir perhitungan dan peramalan pasang surut laut.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-106

Bilangan Formzall (F) Tipe Pasang Surut Keterangan

F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal)Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semi diurnalDalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan ketinggian dan periode yang berbeda.

1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnalDalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.

F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit

Tabel 9 Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal

Tabel 10 Harga Elevasi-elevasi Acuan

No Elevasi Acuan

1 HHWL Highest High Water Level 2 MHWS Mean High Water Spring 3 MHWL Mean High Water Level 4 MSL Mean Sea Level 5 MLWL Mean Low Water Level 6 MLWS Mean Low Water Spring 7 LLWL Lowest Low Water Level

5. Analisis Hidro-Oseanografi (Peramalan Gelombang)

1) Teori Umum

Angin mengakibatkan gelombang laut, oleh karena itu data angin dapat

digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian.

Data angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang

sehingga diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan

adalah data angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin (Utara, Timur

Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan

angin disajikan dalam bentuk satuan knot, dimana:

i. 1 knot = 1 mil laut/jam

ii. 1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

iii. 1 knot = 0.515 meter/detik

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-107

Angka-angka statistik tersebut dapat disajikan secara visual dalam bentuk

Windrose seperti yang ditunjukkan pada Gambar 95.

Analisis pola distribusi angin rencana pada kawasan kajian dilakukan pula

dengan menggunakan berbagai distribusi yaitu distribusi Log Normal, Pearson,

Log Pearson dan Gumbel. Selanjutnya akan diperoleh distribusi yang paling

cocok untuk diterapkan pada pola angin yang terjadi di kawasan kajian.

dengan kecepatan angin maksimum pada lokasi pekerjaan.

Untuk mendapatkan gelombang rencana, Konsultan akan melakukan pasca-

kiraan gelombang berdasarkan data angin jangka panjang dengan program

yang dikembangkan oleh Konsultan sendiri. Metode yang dierapkan mengikuti

Metode yang diberikan dalam Shore Protection Manual (Coastal Engineering

Research Center, US Army Corp of Engineer) edisi 1984 yang merupakan

acuan standar bagi praktisi pekerjaan-pekerjaan pengembangan,

perlindungan, dan pelestarian pantai.

Data angin jangka panjang, minimum 10 tahun, memberikan data statistik yang

lebih meyakinkan untuk metode hindasting ini. Diagram proses hindasting

ditampilkan pada Gambar 96.

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu perairan diperlukan masukan

berupa data angin dan peta batimetri. Interaksi antara angin dan permukaan

air menyebabkan timbulnya gelombang (gelombang akibat angin atau wind

induced wave). Peta perairan lokasi dan sekitarnya diperlukan untuk

menentukan besarnya “fetch” atau kawasan pembentukan gelombang. Fetch

adalah daerah pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki kecepatan

dan arah angin yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin bertiup

dalam arah yang bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari

titik pengamatan dengan interval 50.

∑∑

α

α=

i

iii cos

cos.LfLf ……………………………………………………………..(5)

dimana

Lfi = panjang fetch ke-i

αi = sudut pengukuran fetch ke-i

i = jumlah pengukuran fetch

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-108

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin1999-2008

Lokasi: Ambon

Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Tidak Berangin = 50.04% Tidak Tercatat = 0.00%

Gambar 95 Contoh windrose.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-109

Gambar 96 Bagan alir perhitungan dan peramalan gelombang.

Gambar 97 Contoh Fetch.

No(Fully

Developed)

Start

4

32

210 x 15.78.68 ≤

⋅=

AA UgF

UgtYes

(Non FullyDeveloped)

t 8.6832

2≤⋅

⋅=

gU

UgFt A

Ac

gU

UgtF A

A

223

min 8.68⋅

=

No(Duration Limited)

0016.021

2

2

0

⋅=

A

Am

UgF

gU

H

31

22857.0

⋅=

A

Ap

UgF

gU

T

Yes(Fetch Limited)

2433.02

0 gU

H Am ⋅=

gU

T Ap ⋅= 134.8

Finish Finish

minFF =

HS = significant wave height

TP = peak wave period F = effective fetch length UA = wind stress factor (modified wind speed)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-110

Distribusi Tinggi dan Arah Gelombang di Lepas Pantai AmahusuDiramal Berdasarkan Data Angin di Ambon

Total 1999-2008

Jenis tongkat menunjukkan tinggi gelombang dalam meter.Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

U

S

B T

TGBD

TLBL

0%

10%

20%

30%

40%

Calm = 70.41% Tidak Tercatat = 0.00%

Gambar 98 Contoh waverose.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-111

Tabel 11 Contoh Hasil Gelombang Rencana

Periode Ulang (Tahun)

Tinggi Gelombang (m)

Periode Gelombang

(detik) 1 2,50 7,43 2 2,81 7,90 3 3,12 8,35 5 3,33 8,64 10 3,48 8,85 25 3,55 8,94 50 3,57 8,97 100 3,58 8,98

6. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Perambatan Gelombang)

Gelombang pada kawasan pantai (coastal area) berasal dari laut lepas pantai.

Penyebaran gelombang dipengaruhi oleh kontur dasar perairan dimana

pergerakan gelombang ditransformasikan menurut variasi topografi dasar perairan

tersebut. Ada beberapa tipe transformasi gelombang, diantaranya: pendangkalan

(shoaling), pecah (breaking), refraksi (refraction), difraksi (difraction) dan lain-lain.

Untuk keperluan perencanaan ini lebih ditekankan pada analisa refraksi/difraksi

saja.

Refraksi adalah peristiwa berubahnya arah perambatan dan tinggi gelombang

akibat perubahan kedalaman dasar laut. Gelombang akan merambat lebih cepat

pada perairan yang dalam dari pada perairan yang dangkal. Hal ini menyebabkan

puncak gelombang membelok dan menyesuaikan diri dengan kontur dasar laut.

Parameter-parameter yang penting pada analisa refraksi gelombang adalah:

Ks : koefisien pendangkalan

Kr : koefisien refraksi

dimana:

bb

K

C

CK

os

g

gs

o

=

=…………………………………………………………………………..(6)

Cg : kecepatan ‘grup’ gelombang

(subscript “o” menyatakan ‘laut dalam’)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-112

Sementara, tinggi gelombang yang terjadi pada perairan dangkal (H) dapat

dihitung sebagai berikut:

H = Ho.Ks.Kr………………………………………………………………………..(7)

Difraksi adalah peristiwa transmisi energi gelombang dalam arah kesamping

(lateral) dari arah perambatan gelombang. Peristiwa ini terjadi apabila terdapat

bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang. Pada bagian yang

terlindung oleh bangunan laut, tetap terbentuk gelombang akibat transmisi lateral

tadi. Fenomena difraksi tidak terbatas pada perairan dangkal saja karena difraksi

terjadi dimana terdapat bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang.

Gambar 99 Contoh hasil perambatan gelombang.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-113

7. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Perubahan Garis Pantai)

Gelombang pada kawasan pantai (coastal area) berasal dari laut lepas pantai.

Penyebaran gelombang dipengaruhi oleh kontur dasar perairan dimana

pergerakan gelombang ditransformasikan menurut variasi topografi dasar perairan

tersebut. Ada beberapa tipe transformasi gelombang, diantaranya: Salah satu

permasalahan dalam perencanaan pelabuhan adalah menentukan pola

pergerakan sedimen atau pola perubahan garis pantai yang telah terjadi maupun

yang akan terjadi pada kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui pola yang

terjadi maka perencanaan pembangunan pelabuhan di lingkungan pantai tersebut

dapat berhasil dengan optimal.

Analisis angkutan sedimen dilakukan untuk memperoleh parameter-parameter

berikut ini:

1) Laju angkutan sedimen dasar, baik yang diakibatkan oleh arus saja atau

kombinasi arus dan gelombang.

2) Laju pengendapan sedimen melayang di kolam pelabuhan dan alur pelayaran.

Berdasarkan Shore Protection Manual, 1984 (SPM 1984), angkutan materi

sedimen sejajar pantai disebut longshore transport. Penamaan longshore

transport ini sama artinya dengan littoral transport atau pergerakan littoral drift,

yaitu sedimen yang bergerak pada zone littoral. Zone littoral di dalam terminologi

pantai adalah daerah perairan dari garis pantai hingga tepat sebelum daerah

gelombang pecah.

Longshore transport rate (Q), atau tingkat angkutan sedimen sejajar pantai, lazim

mempunyai satuan meter kubik per tahun (dalam SI). Karena pergerakannya

sejajar pantai, maka ada dua kemungkinan arah pergerakan, yaitu ke arah kanan

dan kiri relatif terhadap seorang pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke

laut. Pergerakan dari kanan ke kiri diberi notasi Qlt, dan pergerakan dari kiri ke

kanan Qrt, sehingga didapat tingkat angkutan sedimen ‘kotor’ (gross) Qg = Qlt +

Qrt , dan tingkat angkutan ‘bersih’ (net) Qn = Qlt - Qrt . Nilai Qg digunakan

untuk meramalkan tingkat pendangkalan pada suatu alur perairan yang terbuka,

Qn untuk desain alur yang dilindungi dan perkiraan erosi pantai, dan Qlt serta Qrt

untuk desain penumpukan sedimen di ‘belakang’ sebuah struktur pantai yang

menahan pergerakan sedimen.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-114

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Posi

si G

aris

Pan

tai (

m)

Grid Simulasi (1 grid = 125 m)

Posisi Awal

Tahun-1

Tahun-3

Tahun-5

Tahun-10

S e l a t M a k a s s a r

Lokasi Studi(Grid 48-52)

Tanjung BungaAkarena

Trans Studio

S. Jeneberang

Pelabuhan Sukarno-Hatta

Pantai Losari

Pulau Lae-lae

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Peru

baha

n G

aris

Pan

tai (

m)

Grid Simulasi (1 grid = 125 m)

Tahun-1

Tahun-3

Tahun-5

Tahun-10

Gambar 100 Contoh hasil pemodelan perubahan posisi garis pantai.

Gambar 101 Contoh hasil pemodelan perubahan garis pantai.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-115

8. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Arus dan Sedimentasi)

Pemodelan arus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan profil besaran dan

arah arus baik pada saat pasang maupun saat surut. Dengan mengetahui

karakteristik arus di lokasi kajian maka dapat ditentukan pola pergerakan

sedimentasi akibat perilaku arus tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi sumber

sedimentasi, namun dalam pemodelan hidrodinamika, sumber sedimen yang

berasal dari muara sungai yang akan berpengaruh besar terhadap kondisi

hidrodinamika di suatu perairan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka aplikasi dari pemodelan numerik untuk

arus dan sedimentasi lebih banyak dipergunakan untuk mengetahui kondisi

perairan pantai dan muara sungai. Kondisi sungai yang kompleks akan menjadi

penyumbang material sedimen yang paling signifikan dalam menentukan kondisi

perairan di muara. Berikut ini adalah contoh-contoh hasil pemodelan untuk arus

dan sedimentasi yang diaplikasikan di daerah pantai dan muara.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-116

Start

Pengumpulan Data

Persiapan/Pengolahan Data Input

Setting Model Hidrodinamika

Running test(15 hari)

Kalibrasi

Cocok?

Running Model 1 tahun

Pengolahan Output

Selesai

Running Model 1 tahun/beberapa

tahun

YA

Start

Persiapan/Pengolahan Data Input dari Output

Hidrodinamika

Setting Model Transpor Sedimen

Pengolahan Output

Selesai

Running Model 1 tahun/beberapa

tahun

TIDAK

Gambar 102 Bagan alir perhitungan numerik.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-117

Gambar 103 Contoh hasil pemodelan numerik untuk arus.

Gambar 104 Contoh hasil pemodelan numerik untuk sedimentasi.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-118

9. Perencanaan Teknis Bangunan Pantai

1) Kriteria Perencanaan

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan struktur perlindungan

pantai (jetty, revetment dan seawall, dan breakwater) adalah sebagai berikut.

a. Kondisi hidro-oseanografi: batimetri, gelombang, pasut, dan arus.

b. Kondisi geoteknik tapak struktur.

c. Sumber material (borrow area) yang tersedia: jumlah, kualitas, dan jarak

sumber material ke lokasi proyek.

d. Kemudahan pelaksanaan konstruksi: jalan masuk ke proyek (access road)

dan setting peralatan konstruksi di lapangan.

e. Alokasi dana yang tersedia.

Perencanaan struktur perlindungan pantai harus melibatkan gaya-gaya yang

akan bekerja pada struktur tersebut. Gaya-gaya yang harus diperhitungkan

dalam perencanaan:

a. Layout dari bangunan. Orientasi dari bangunan terhadap gelombang dan

area yang akan diproteksi sangatlah menentukan keberhasilan fungsi dari

bangunan pantai, dan sejauh mana sistem ini akan berpengaruh terhadap

lingkungan sekitar.Pengaruh bangunan terhadap topografi sekitar. Profil

alami daerah pantai merupakan keseimbangan alami dari aksi gelombang

laut, suplai sedimen, dan bentuk topografi pantai (berupa proses berulang

yang temporer, dan proses permanen jangka panjang). Pembangunan

bangunan pantai akan merubah keseimbangan tersebut, yang bisa

berpengaruh kepada daerah yang diproteksi bangunan pantai dan daerah

sekitarnya. Sebagai contoh, pembangunan bangunan pantai yang sejajar

dengan garis pantai dapat menyebabkan terbentuknya tombolo pada garis

pantai, berupa daerah yang maju dan daerah yang tererosi. Pembangunan

bangunan pantai yang melintang dari garis pantai dapat menyetop transpor

sedimen arah garis pantai, sehingga daerah yang semestinya mendapat

suplai sedimen akan tererosi secara parah, dan terjadi endapan

sedimentasi yang terkonsentrasi pada suatu area.

b. Harmonisasi dengan lingkungan sekitar. Ketenangan air yang dihasilkan

oleh bangunan pantai di sisi lain juga mengurangi sirkulasi air di daerah

yang dinaunginya. Pada banyak kasus, terjadi penurunan kualitas air yang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-119

signifikan, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup di perairan

tersebut. Pada sisi landscaping, bahkan pembangunan bangunan pantai

tertentu dapat merusak keindahan dan keterpaduan antara komponen

lingkungan.

c. Kondisi desain dari bangunan pantai, dalam mendesain bangunan pantai

kondisi-kondisi dibawah ini sekurang-kurangnya harus dipertimbangkan,

yaitu:

a) Ketenangan air yang diharapkan.

b) Arah angin. Angin merupakan salah satu unsur pembentuk gelombang,

sehingga data perilaku angin dapat menggambarkan perilaku

gelombang secara umum. Keberadaan badai atau typhoon juga dapat

menghasilkan kondisi gelombang-gelombang ekstrem pada desain.

c) Level pasang surut. Keadaan pasang surut termasuk menentukan tinggi

dari BW, pola sirkulasi air pada daerah sekitar bangunan pantai dll.

d) Gelombang laut. Gelombang laut, arahnya menentukan layout

gelombang. Gelombang sendiri memberikan gaya pada bangunan

pantai.

Kedalaman air menentukan jenis bangunan pantai yang efektif untuk dibangun,

selain itu kondisi geoteknis akan menentukan daya dukung tanah terhadap

bangunan pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan

bangunan pantai. Pemilihan jenis struktur bangunan pantai dapat dilakukan

setelah mempelajari karakteristik dari jenis-jenis bangunan pantai dengan

mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Layout dari bangunan

b. Kondisi lingkungan

c. Kondisi pelayanan

d. Kondisi/kesiapan konstruksi

e. Aspek Ekonomi

f. Waktu konstruksi

g. Tingkat kepentingan bangunan pantai

h. Ketersediaan material konstruksi

i. Pemeliharaan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-120

Secara umum proses desain penampang bangunan pantai adalah sebagai

berikut:

a. Persiapan data-data kondisi desain

b. Penentuan penampang bangunan pantai

a) Penentuan elevasi vertikal bangunan pantai

b) Penentuan dimensi horisontal bangunan pantai (dimensi awal)

c. Analisa stabilitas terhadap gaya-gaya eksternal yang bekerja (dimensi

akhir)

a) Stabilitas suprastruktur & komponen pendukung

b) Stabilitas pondasi

d. Desain komponen pelindung.

a) Foot Protection

b) Deformed Concrete Blocks/Armouring Stone

2) Perencanaan Sistem Pengamanan Pantai

Pantai adalah merupakan suatu jalur pertemuan antara darat dan laut. Ke arah

darat areal pantai mencapai batas dimana pengaruh-pengaruh penomena laut

seperti pasang surut, intruksi air asin dan pengaruh rayapan gelombang masih

ada, sedangkan ke arah laut mencapai suatu batas dimana pengaruh

fenomena darat seperti angkutan sedimen dan debit sungai masih ada.

Mengingat sulitnya untuk menentukan batas arah darat dan laut yang tepat,

maka dalam suatu studi khususnya untuk usaha pengamanan pantai, ke arah

darat mencapai jarak antara 100 - 200 m untuk pantai yang datar dan untuk

pantai perbukitan mencapai lokasi tinggi rayapan yang diperkirakan ± 5 m dari

muka air tinggi. Ke arah laut dibatasi pada lokasi perairan dalam yang ditandai

dengan suatu kedalaman d = 1/2 kali panjang gelombang perairan dalam (Lo).

Dua permasalahan yang paling banyak terjadi di pantai adalah erosi dan

sedimentasi. Kedua permasalahan tersebut terjadi akibat tidak adanya

keseimbangan antara suplay dan kapasitas angkut sedimen. Terjadi

permasalahan erosi, apabila suplay sedimen lebih kecil dari kapasitas

angkutnya, sementara permasalahan sedimentasi terjadi apabila suplay

sedimen lebih besar dari kapasitas angkutnya.

Faktor-faktor penyebab terjadinya erosi antara lain :

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-121

a. Pengaruh adanya bangunan pantai kedap yang menjorok ke laut

b. Pengambilan material pantai dan sungai

c. Penebangan hutan bakau

d. Perubahan iklim gelombang

e. Pengaruh cuaca (hujan dan panas)

Permasalahan sedimentasi antara lain akibat adanya penggundulan hutan dan

letusan gunung berapi yang meningkatkan jumlah suplay sedimen ke sungai

yang akhirnya diangkut oleh sungai ke pantai. Sementara kapasitas angkutan

sedimen tetap maka peningkatan suplay sedimen dari sungai menyebabkan

terjadinya proses sedimenatasi di pantai.

Gambar 105 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah Tegak

Lurus Garis Pantai (Pantai yang Datar).

Gambar 106 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah Tegak

Lurus Garis Pantai (Pantai yang Berbukit).

PERAIRAN DALAMd > 12 L0

HWL

GARIS PANTAI

(100 - 200) MARAH DARAT ARAH LAUT

BATAS AREAL STUDI

KAKI BUKIT

BATAS AREAL STUDI

ARAH LAUTARAH DARAT

GARIS PANTAI

HWL

PERAIRAN DALAMd > 12 L0

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-122

Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebagai dasar perencanaan dalam

sistem pengamanan yang digunakan untuk pengendalian erosi pantai, dengan:

a. perencanaan terumbu karang buatan (submerge break water),

b. perencanaan bangunan pantai seperti groin, jetty dan sea wall serta

perencanaan penanaman vegetasi

c. Pembangunannya dapat dilaksanakan dengan metoda kerja sesederhana

mungkin sehingga tanpa memerlukan peralatan khusus.

d. Bahan-bahan yang digunakan semaksimal mungkin merupakan bahan

produksi dalam negeri.

e. Biaya pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin tanpa

mengorbankan mutu bangunan serta jenis vegetasi yang disyaratkan.

f. Memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan.

Salah satu variabel yang sangat penting dalam perencanaan pengamanan

pantai adalah:

a. Kedalaman dasar laut yang disyaratkan (batimetri).

b. Kondisi pasang surut perairan di lokasi rencana.

c. Kecepatan dan arah arus dominan oleh pasang surut.

d. Parameter gelombang, dan proses perambatan gelombang, gelombang

pecah, serta arus yang dibangkitkan sepanjang garis pantai (longshore

current)

e. Kondisi tanah.

f. Kondisi biologi laut serta vegetasi yang sesuai.

Variabel lain yang menentukan perencanaan terumbu karang buatan buatan

(submerge breakwater), seawall, groin, jetty dan penanaman vegetasi adalah :

a. Terumbu karang buatan :

a) Cukup kuat dan stabil dalam menghadapi hantaman gelombang.

b) Kemampuan sturktur terumbu karang buatan untuk meredam

gelombang datang yang baik.

c) Kemudahan dalam pemasangan dan pelepasannya serta kemungkinan

penggunaan material yang kondusif mampu memberi perlindungan dan

mempercepat pertumbuhan mahluk terumbu karang.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-123

d) Bentuk yang “baik”, memiliki banyak rongga yang memungkinkan

sirkulasi arus disekitar struktur terumbu karang buatan dan menciptakan

lingkungan yang kaya akan nutrisi bagi makhluk karang.

b. Bangunan Pantai (Seawall, revetment, groin, jetty, krib dll)

a) Cukup kuat dan stabil dalam menghadapi hantaman gelombang.

b) Kemampuan sturktur untuk melindungi pantai dari hantaman gelombang

datang yang baik, serta kemampuan untuk menahan abrasi dengan

mereduksi angkutan sedimen sejajar pantai.

c) Kemudahan dalam pemasangan dan pelepasannya serta kemungkinan

penggunaan material yang kondusif mampu memberi perlindungan

terhadap pantai.

d) Bentuk yang “baik”, sehingga masih memungkin tidak terputusnya

ekositem mahluk kecil yang hidup di pesisir.

c. Green Belt (vegetasi atau mangrove)

a) Struktur pelindung bibit mangrove yang ditanam cukup stabil dalam

menghadapi hantaman gelombang.

b) Setelah beberapa tahun diharpakan struktur serta density pepohonan

mangrove melindungi pantai dari hantaman gelombang datang yang

baik, serta kemampuan untuk menahan abrasi dengan menjebak

sedimen.

c) Kemudahan dalam penanaman serta pengadaan bibit.

d) Bentuk yang “baik”, sehingga dapat dihuni oleh biota, burung dalam

menjaga ekosistem hutan mangrove.

Perencanaan sistem pengamanan pantai ini dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut:

a. Identifikasi permasalahan serta pembuatan alternatif sistem pengamanan

Setelah pengolahan dan analisis data dilakukan, akan dapat dilakukan

identifikasi masalah yang terjadi di lokasi pekerjaan penelitian dan

perencanaan ini. Selanjutnya dilakukan penelitian pengembangan layout

terumbu karang buatan, bangunan pantai serta desain greenbelt, serta

implikasi dari dari masing-masing alternatif pengembangan. Implikasi yang

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-124

dikaji terutama adalah pola hidrolik dalam kaitannya dengan pengendalian

erosi pantai.

b. Pemilihan Alternatif

Dari berbagai alternatif yang terkumpul, baik alternatif layout bangunan

maritim, jenis struktur bangunan pantai, sarana penunjang yang diperlukan,

beserta implikasi dari masing-masing alternatif, selanjutnya dikeluarkan

rekomendasi layout definitif. Pemilihan alternatif terutama didasarkan pada

kondisi sehubungan dengan keterbatasan lahan yang ada.

3) Prinsip Kerja Bangunan Pantai

Dalam menentukan struktur pengaman erosi pantai yang sesuai untuk

kawasan pantai, selain faktor dominan penyebab erosi pantai, jenis pantai,

kondisi geologi, dan kondisi Hidro-Oceanografi, maka kesesuaian dan

ketersediaan bahan bangunan di daerah ini sangatlah penting untuk

diperhatikan dan dipertimbangkan. Dalam rangka upaya membuat

perencanaan perlindungan pantai ini ada beberapa pendekatan antara lain:

a. Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai dengan bangunan

pemecah gelombang lepas pantai.

b. Memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang

(dengan bangunan revertmentt atau sea wall).

c. Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai (dengan pembangunan

Groin atau Krib).

d. Menambah suplai sedimen ke pantai (dengan cara sand by passing atau

beach norishment).

4) Analisa Stabilitas Bangunan Pengaman Pantai

a. Batu Lapisan Pelindung Bangunan

Di dalam perencanaan bangunan pengamanan pantai dari konstruksi batu,

perlu ditentukan berat butiran batu pelindung yang dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Hudson :

( ) θcot1

.3

3

−=

SrKHW

WD

dr .................................................................................(8)

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-125

dimana :

W = Berat butir batu pelindung

Wr = Berat jenis batu

Hd = Tinggi gelombang perencanaan

Sr = Wr/Ww ; dimana Ww = berat satuan air = 1,025kg/m3

θ = Kemiringan lereng breakwater

KD = koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung

(batu alam atau buatan), kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-

sisinya, ikatan antara butir clan keadaan pecahnya gelombang yang

diberikan pada di bawah ini.

Persamaaan di atas memberikan berat butir batu pelindung yang sangat

besar. Untuk mendapatkan batu yang sangat besar tersebut adalah sulit

dan mahal. Guna memperkecil harga pembangunan maka bangunan pantai

dibuat dalam beberapa lapis. Lapis terluar terdiri dari batu dengan ukuran

seperti persamaan di atas sedangkan pada lapisan di bawahnya diletakkan

ukuran batu yang semakin kecil.

Bangunan pengaman pantai biasanya dibedakan dalam dua bagian, yaitu

kepala dan lengan bangunan. Kepala bangunan mempunyai panjang

sekitar 15 m sampai 45 m dari ujung bangunan. Panjang tersebut

tergantung pada panjang bangunan dan elevasi puncak ujung bangunan.

Pada bagian kepala bangunan membeukan berat butir batu pelindung yang

lebih besar daripada lengan bangunan. Hal ini mengingat bahwa kepala

bangunan menerima serangan gelombang dari berbagai arah sehingga

pada tabel di atas, nilai KD untuk bagian kepala bangunan lebih kecil

daripada nilai di lengan bangunan

b. Lebar dan Tebal Puncak Bangunan

Lebar puncak juga tergantung pada limpasan yang diijinkan. Pada kondisi

limpasan yang diijinkan, lebar puncak minimum adalah sama dengan lebar

dari tiga butir batu pelindung yang disusun berdampingan (n=3). Untuk

bangunan tanpa terjadi limpasan, lebar puncak bangunan bisa lebih kecil.

Selain batasan tersebut, lebar puncak harus cukup lebar untuk keperluan

operasi peralatan pada waktu pelaksanaan dan perawatan. Lebar puncak

bangunan pengaman pantai dapat dihitung dengan rumus berikut ini :

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-126

B=n.K∆

rWW

.............................................................................................(9)

dimana :

B = lebar puncak

n = jumlah butiran (nminimum = 3)

kΔ = koefisien lapis (Tabel E.2)

W = berat butir batu pelindung

Wr = berat jenis batu pelindung

Kadang-kadang di puncak bangunan pengaman pantai terbuat dari dinding

lapis beton yang dicor di tempat. Lapisan beton ini mempunyai tiga fungsi,

yaitu memperkuat puncak bangunan, menambah tinggi puncak bangunan

dan sebagai jalan untuk perawatan.

Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu luasan diberikan oleh

rumus berikut ini :

t = n.K∆ 3

1

rWW ..............................................................................(10)

N = A.n.K∆

1001 P 3

2

WWr .............................................................(11)

dimana :

t = Tebal lapis pelindung

n = Jumlah lapis batu dalam lapis pelindung

k∆ = Koefisien

A = Luas permukaan

P = Porositas rerata dari lapis pelindung (%)

N = Jumlah butir batu untuk satu satuan luas perrnukaan A

W = Berat butir batu pelindung

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-127

Tabel 12 Informasi dalam nomenklatur bangunan

No

Lapisan lindung n Penempatan

Lengan bangunan Ujung (kepala bangunan) kemiringan

KD KD KD Gelombang

pecah Gelombang tidak pecah

Gelombang pecah

Gelombang tidak pecah

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Batu pecah

Bulat halus

Bulat halus

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Bersudut kasar

Paralelepipedum

Tetrapod dan

Quadripod

Tribar

Dolos

Kubus

Dimodifikasi

Hexapod

Tribar

Batu pecah (KRR) (Graded Angular)

2

>3

1

>3

2

2

2

2

2

2

2

1

-

Acak

Acak

Acak

Acak

Acak

Khusus*3

Khusus

Acak

Acak

Acak

Acak

Acak

Seragam

Acak

1.2

1.6

1.0

2.4

3.2

2.9

1.1

1.4

1.0

1.9

2.3

2.3

1.5-3.0

2.0

2.0

2.0 4.0

1.9

1.6

1.3

3.2

2.8

2.3

1.5

2.0

3.0

2.2

5.8

7.0-20.0

4.5

7.0

8.5-24.0

2.1

5.3

-

4.2

6.4

-

2.0

2.0

7.0 8.0

5.0

4.5

3.5

6.0

5.5

4.0

1.5

2.0

3.0

9.0 10.0

8.3

7.8

6.0

9.0

8.5

6.5

1.5

2.0

3.0

15.8 31.8 8.0

7.0

16.0

14.0

2.0

2.0

6.5

8.0

12.0

2.2

7.5

9.5

15.0

2.5

-

5.0

7.5

-

5.0

7.0

9.5

-

*2

*2

*2

Catatan :

n = Jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung

*1 = Penggunaan n=1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah

*2 = Sampai ada ketentuan lebih lanjut dari tentang nilai KD, penggunaan

KD dibatasi pada kemiringan 1 : 1,5 sampai 1 : 3

*3 = Batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan

bangunan

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-128

Tabel 13 Koefisien Lapis

No Batu pelindung n penempatan Koef. Lapis

(KD)

Porositas

P (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Batu Alam (halus)

Batu Alam (kasar)

Batu Alam (kasar)

Kubus

Tetrapod

Quadripod

Hexapod

Tribar

Dolos

Tribar

Batu Alam

2

2

>3

2

2

2

2

2

2

1

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Random (Acak)

Seragam

Random (Acak)

1.02

1.15

1.10

1.10

1.04

0.95

1.15

1.02

1.00

1.13

38

37

40

47

50

49

47

54

63

47

37

c. Elevasi Struktur

Elevasi bangunan dan tanah disekitar pantai hasil pengukuran berdasarkan

referensi elevasi pada Bench Mark (BM) hasil survey yang telah dilakukan.

Acuan untuk elevasi struktur bangunan yang direncanakan diambil acuan

berdasarkan muka air surut terendah (LWS). Elevasi puncak struktur akan

diperhitungkan terhadap elevasi muka air tertinggi (HWS) ditambah run up,

wave set up dan tingi kebebasan. Sedangkan elevasi dasar struktur bagian

bawah akan diperhitungkan kondisi elevasi dasar tanah keras di lokasi

penempatan bangunan.

d. Stabilitas Struktur Bangunan Selain Konstruksi Rubble-Mound

Struktur bangunan selain konstruksi Rubble-mound perlu dilakukan

perhitungan terhadap stabilitas bangunan dan daya dukung tanah sehingga

mampu memikul gaya luar, seperti gelombang maupun gaya-gaya luar

lainnya seperti adanya tekanan tanah.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis III-1

BAB 3 PENUTUP

3.1 Rangkuman

Modul Teknik Pantai Praktis ini pada dasarnya terdiri dari beberapa materi pokok

bahasan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pembagian wilayah kawasan pantai dan definisinya

Pada materi ini peserta diklat akan diberikan wawasan mengenai pembagian

wilayah pantai beserta definisi dari semua istilah yang terkait dengan ilmu

pantai. Wilayah pantai ini akan dijabarkan secara terperinci mulai dari batasan

dan definisi daratan, pesisir, pantai dan perairan pantai. Selain istilah tersebut

terdapat istilah-istilah lain yang sangat erat kaitannya dengan proses morfologi

yang terjadi di kawasan pantai.

2. Tipe Pantai

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mempunyai panjang garis pantai

yang cukup besar. Semua wilayah pantai yang ada tersebut diwarnai oleh

berbagai macam dan jenis pantai yang berbeda-beda untuk setiap wilayah.

Pada modul ini akan dijelaskan semua tipe pantai yang bisa ditemui di wilayah

Indonesia sehingga peserta mampu menjelaskan perbedaan dan definis setiap

jenis pantai yang ada.

3. Aspek Hidro-Oseanografi

Meskipun sasaran dalam diklat ini adalah untuk tingkat pelaksana namun

untuk menunjang keberhasilan pekerjaan dalam operasi dan pemeliharaan

bangunan pengamanan pantai, maka dalam modul ini akan disampaikan

materi tentang aspek-aspek hidro-oseanografi yang akan berkaitan dengan

dimensi dan fisik dari bangunan pengamanan pantai. Pada modul ini akan

dijelaskan definisi dan peran masing-masing aspek hidro-oseanografi dalam

penentuan dimensi dan kekuatan bangunan pengamanan pantai.

4. Tipe dan Fungsi Bangunan Pengamanan Pantai

Setiap jenis bangunan pengamanan pantai mempunyai fungsi yang berbeda-

beda dan dalam penerapannya akan sangat tergantung pada kondisi yang

hendak dicapai. Pada modul ini dijelaskan perbedaan dan fungsi dari setiap

bangunan pengamanan pantai yang sering dan umum digunakan untuk

melindungi kawasan pantai di Indonesia.

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis III-2

5. Pedoman dan Perencanaan Sistem Bangunan Pengamanan Pantai

Dalam modul ini juga terdapat pedoman pengamanan pantai yang

menggunakan referensi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat Republik Indonesia Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan

Pantai. Peraturan ini akan dijelaskan pasal demi pasal untuk memberikan

pengetahuan kepada peserta diklat sehingga mereka bisa mengetahui aspek

legal dari kegiatan perencanaan pengamanan pantai.

3.2 Daftar Pustaka

1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik

Indonesia Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan Pantai.

2. Buku Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengaman Pantai (Surat

Edaran Menteri PU No. 01/SE/M/2011).

3. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps

of Engineer, Department of The Army (1984), Shore Protection Manual.

4. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps

of Engineer, Department of The Army (2006), Coastal Engineering Manual.

5. Bambang Triatmodjo (1999), Teknik Pantai, edisi kedua, Beta Offset,

Yogyakarta.

6. Bambang Triatmodjo (1996), Pelabuhan, Beta Offset, Yogyakarta.

7. Modul Arus Laut Oleh Sandro Wellyanto Lubis Tahun 2009.

8. Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai Oleh PT Suwanda Karya

Mandiri Tahun 2007.

9. Perencanaan Jetty di Muara Sungai Ranoyapo Amurang (Kern Youla Pokaton,

H.J. Tawas, M. I. Jasin).