BAB III - Digilib UNS
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BAB III - Digilib UNS
29
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Terhadap Tindak Pidana
Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna merupakan kekayaan alam
yang dimiliki Indonesia yang keberadaanya sangatlah istimewa, karena beberapa
species flora atau pun fauna di negara ini bersifat endemik atau dengan kata lain
hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia dalam skala dunia. Maka dari itu perlu
adanya penaganan dan pengaturan yang baik sehingga keanekaragaman tersebut
dapat terjaga dengan baik dan tentunya memberikan keuntungan yang besar bagi
negara dan masyarakat pada umumnya.
Sudah menjadi rahasia umum dan bukan sesuatu yang mengejutkan apabila
melihat berita di media massa, media internet ataupun dapat dilihat langsung di
lingkungan sekitar di mana satwa-satwa yang dilindungi maupun yang tidak
dililndungi keberadaannya sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya penebangan
liar, perburuan dan pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol yang jadi penyebab
rusaknya ekosistem dan habitat dari satwa-satwa tersebut.
Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa adalah karena budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada
umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang
peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam
liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung
pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal.
Wildlife trafficking is thought to be the third most valuable illicit commerce in the world, after drugs and weapons, worth an estimated $10 billion a year, according to the U.S. State Department. Birds are the most common
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30
contraband; the State Department estimates that two million to five million wild birds, from hummingbirds to parrots to harpy eagles, are traded illegally worldwide every year. Millions of turtles, crocodiles, snakes and other reptiles are also trafficked, as well as mammals and insects (Bergman Charles, 2009).
Perdagangan satwa liar menduduki peringkat ketiga perdagangan ilegal yang paling berharga di dunia, setelah narkoba dan senjata, senilai sekitar $ 10 miliar per tahun, menurut Departemen Luar Negeri AS. Penyelundupan burung yang paling sering ditemui; Departemen Luar Negeri memperkirakan bahwa dua juta sampai lima juta burung liar, dari burung kolibri sampai beo sampai burung elang, diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia setiap tahun. Jutaan kura-kura, buaya, ular dan reptil lainnya juga korban dari perdagangan satwa, juga termasuk mamalia dan serangga.
Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa perdagangan satwa menjadi
ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan hidup satwa-satwa terutama satwa
yang berstatus dilindungi, semakin banyak seseorang yang berkeinginan memiliki
atau memelihara satwa yang dilindungi maka semakin mengkhawatirkan pula
keberadaan satwa-satwa tersebut di alam liar
Tindakan inilah yang menjadi objek penelitian penulis yakni tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi, yang jelas diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, selain itu penulis mencoba mengkajinya dari perspektif Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan perundang-undangan lain
yang mengatur tentang lingkungan seperti, Undang Undang No. 5 Tahun 1994
Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati),
Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Pokok Kehutanan, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31
1. Perspektif Pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam hal
Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan
ekosistemnya ini dikeluarkan pada tanggal 10 Agustus 1990, yang bertujuan
untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
yang merupakan kekayaan alam Indonesia yang juga merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional.
Ketentuan dari undang-undang ini yang menjadi dasar hukum dari objek
penelitian penulis yakni, tentang tindak pidana kepemilikan satwa yang
dilindungi tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a,b,d dan e berbunyi :
Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Dengan sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).”
Kemudian batasan dari jenis satwa dan tumbuhan apa saja yang
dilindungi ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pengawetan yang dimaksud adalah
upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.
Adapun tujuan dari pengawetan jenis tumbuhan dan satwa sesuai dengan
Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini yakni :
a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa;
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar
dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini secara jelas termuat bagaimana
mengkategorikan jenis satwa yang dilindungi, dan bagaimana dasar
pertimbangan yang digunakan untuk mengkategorikan satwa yang dilindungi
dan tidak dilindungi, terdapat dalam Pasal 4,5 dan 6 berbunyi :
Pasal 4 (1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).
Pasal 5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33
(1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: a. mempunyai populasi yang kecil; b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
(2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal 6 Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Dari ketentuan tersebut status perlindungan hanya digolongkan menjadi
dua yakni yang dilindungi (sudah langka dan terancam punah) dan tidak
dilindungi (belum langka dan belum punah), untuk satwa yang tidak
dilindungi yang populasinya masih banyak juga perlu dilakukan pengawasan,
agar supaya tidak berubah statusnya menjadi dilindungi akibat pemanfaatan
yang tidak terkontrol.
Tabel 1. Daftar Jenis Satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Satwa dan Tumbuhan.
1) MAMALIA (Menyusui)
No. Nama Ilmiah Nama Indonesia 1 Anoa depressicornis Anoa dataran rendah, Kerbau pendek 2 Anoa quarlesi Anoa pegunungan 3 Arctictis binturong Binturung 4 Arctonyx collaris Pulusan 5 Babyrousa babyrussa Babirusa 6 Balaenoptera musculus Paus biru 7 Balaenoptera physalus Paus bersirip 8 Bos sondaicus Banteng 9 Capricornis sumatrensis Kambing Sumatera 10 Cervus kuhli; Axis kuhli Rusa Bawean 11 Cervus spp. Menjangan, Rusa sambar (semua jenis dari genus Cervus) 12 Cetacea Paus (semua jenis dari famili Cetacea)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34
13 Cuon alpinus Ajag 14 Cynocephalus variegatus Kubung, Tando, Walangkekes 15 Cynogale bennetti Musang air 16 Cynopithecus niger Monyet hitam Sulawesi 17 Dendrolagus spp. Kanguru pohon (semua jenis dari genus Dendrolagus) 18 Dicerorhinus sumatrensis Badak Sumatera 19 Dolphinidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae) 20 Dugong dugon Duyung 21 Elephas indicus Gajah 22 Felis badia Kucing merah 23 Felis bengalensis Kucing hutan, Meong congkok 24 Felis marmorota Kuwuk 25 Felis planiceps Kucing dampak 26 Felis temmincki Kucing emas 27 Felis viverrinus Kucing bakau 28 Helarctos malayanus Beruang madu 29 Hylobatidae Owa Kera tak berbuntut (semua jenis dari famili Hylobatidae) 30 Hystrix brachyura Landak 31 Iomys horsfieldi Bajing terbang ekor merah 32 Lariscus hosei Bajing tanah bergaris 33 Lariscus insignis Bajing tanah, Tupai tanah 34 Lutra lutra Lutra 35 Lutra sumatrana Lutra Sumatera 36 Macaca brunnescens Monyet Sulawesi 37 Macaca maura Monyet Sulawesi 38 Macaca pagensis Bokoi, Beruk Mentawai 39 Macaca tonkeana Monyet jambul 40 Macrogalidea musschenbroeki Musang Sulawesi 41 Manis javanica Peusing Trenggiling, 42 Megaptera novaeangliae Paus bongkok 43 Muntiacus muntjak Kidang, Muncak 44 Mydaus javanensis Sigung 45 Nasalis larvatus Kahau, Bekantan 46 Neofelis nebulusa Harimau dahan 47 Nesolagus netscheri Kelinci Sumatera 48 Nycticebus coucang Malu-malu 49 Orcaella brevirostris Lumba-lumba air tawar, Pesut 50 Panthera pardus Macan kumbang, Macan tutul 51 Panthera tigris sondaica Harimau Jawa 52 Panthera tigris sumatrae Harimau Sumatera 53 Petaurista elegans Cukbo, Bajing terbang 54 Phalanger spp. Kuskus (semua jenis dari genus Phalanger) 55 Pongo pygmaeus Orang utan, Mawas 56 Presbitys frontata Lutung dahi putih 57 Presbitys rubicunda Lutung merah, Kelasi 58 Presbitys aygula Surili 59 Presbitys potenziani Joja, Lutung Mentawai 60 Presbitys thomasi Rungka 61 Prionodon linsang Musang congkok
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35
62 Prochidna bruijni Landak Irian, Landak semut 63 Ratufa bicolor Jelarang 64 Rhinoceros sondaicus Badak Jawa 65 Simias concolor Simpei Mentawai 67 Tarsius spp. Binatang hantu, Singapuar (semua jenis dari genus Tarsius) 68 Thylogale spp. Kanguru tanah (semua jenis dari genus Thylogale) 69 Tragulus spp. Kancil, Pelanduk, Napu (semua jenis dari genus Tragulus) 70 Ziphiidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae)
2) AVES (Burung)
71 Accipitridae Burung alap alap, Elang (semua jenis dari famili Accipitridae) 72 Aethopyga exima Jantingan gunung 73 Aethopyga duyvenbodei Burung madu Sangihe 74 Alcedinidae Burung udang, Raja udang (semua jenis dari famili Alcedinidae) 75 Alcippe pyrrhoptera Brencet wergan 76 Anhinga melanogaster Pecuk ular 77 Aramidopsis plateni Mandar Sulawesi 78 Argusianus argus Kuau 79 Bubulcus ibis Kuntul, Bangau putih 80 Bucerotidae
Julang, Enggang, Rangkong, Kangkareng (semua jenis dari famili Bucerotidae)
81 Cacatua galerita Kakatua putih besar jambul kuning 82 Cacatua goffini Kakatua gofin 83 Cacatua moluccensis Kakatua Seram 84 Cacatua sulphurea Kakatua kecil jambul kuning 85 Cairina scutulata Itik liar 86 Caloenas nicobarica Junai, Burung mas, Minata 87 Casuarius bennetti Kasuari kecil 89 Casuarius unappenddiculatus Kasuari gelambir satu, Kasuari leher kuning 90 Ciconia episcopus Bangau hitam, Sandanglawe 91 Colluricincla megarhyncha Burung sohabe coklat 92 Crocias albonotatus Burung matahari 93 Ducula whartoni Pergam raja 94 Egretta sacra Kuntul karang 95 Egretta spp. Kuntul, Bangau putih (semua jenis dari genus Egretta) 96 Elanus caerulleus Alap-alap putih, Alap-alap tikus 97 Elanus hypoleucus Alap-alap putih, Alap-alap tikus 98 Eos histrio Nuri Sangir 99 Esacus magnirostris Wili-wili, Uar, Bebek laut 100 Eutrichomyias rowleyi Seriwang Sangihe 101 Falconidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Falconidae) 102 Fregeta andrewsi Burung gunting, Bintayung 103 Garrulax rufifrons Burung kuda
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36
104 Goura spp. Burung dara mahkota, Burung titi, Mambruk (semua jenis dari genus Goura)
105 Gracula religiosa mertensi Beo Flores 106 Gracula religiosa robusta Beo Nias 107 Gracula religiosa venerata Beo Sumbawa 108 Grus spp. Jenjang (semua jenis dari genus Grus) 109 Himantopus himantopus Trulek lidi, Lilimo 110 Ibis cinereus Bluwok, Walangkadak 111 Ibis leucocephala Bluwok berwarna 112 Lorius roratus Bayan 113 Leptoptilos javanicus, Marabu Bangau tongtong 114 Leucopsar rothschildi Jalak Bali 115 Limnodromus semipalmatus Blekek Asia 116 Lophozosterops javanica Burung kacamata leher abu-abu 117 Lophura bulweri Beleang ekor putih 118 Loriculus catamene Serindit Sangihe 119 Loriculus exilis Serindit Sulawesi 120 Lorius domicellus Nori merah kepala hitam 121 Macrocephalon maleo Burung maleo 122 Megalaima armillaris Cangcarang 123 Megalaima corvina Haruku, Ketuk-ketuk 124 Megalaima javensis Tulung tumpuk, Bultok Jawa 125 Megapoddidae Maleo, Burung gosong (semua jenis dari famili Megapododae) 126 Megapodius reintwardtii Burung gosong 127 Meliphagidae Burung sesap, Pengisap madu (semua jenis dari famili
Meliphagidae) 128 Musciscapa ruecki Burung kipas biru 129 Mycteria cinerea Bangau putih susu, Bluwok 130 Nectariniidae Burung madu, Jantingan, Klaces (semua jenis dari famili
Nectariniidae) 131 Numenius spp. Gagajahan (semua jenis dari genus Numenius) 132 Nycticorax caledonicus Kowak merah 133 Otus migicus beccarii Burung hantu Biak 134 Pandionidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Pandionidae) 135 Paradiseidae Burung cendrawasih (semua jenis dari famili Paradiseidae) 136 Pavo muticus Burung merak 137 Pelecanidae Gangsa laut (semua jenis dari famili Pelecanidae) 138 Pittidae Burung paok, Burung cacing (semua jenis dari famili Pittidae) 139 Plegadis falcinellus Ibis hitam, Roko-roko 140 Polyplectron malacense Merak kerdil 141 Probosciger aterrimus Kakatua raja, Kakatua hitam 142 Psaltria exilis Glatik kecil, Glatik gunung 143 Pseudibis davisoni Ibis hitam punggung putih 145 Ptilonorhynchidae Burung namdur, Burung dewata
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37
146 Rhipidura euryura Burung kipas perut putih, Kipas gunung 147 Rhipidura javanica Burung kipas 148 Rhipidura phoenicura Burung kipas ekor merah 149 Satchyris grammiceps Burung tepus dada putih 150 Satchyris melanothorax Burung tepus pipi perak 151 Sterna zimmermanni Dara laut berjambul 152 Sternidae Burung dara laut (semua jenis dari famili Sternidae) 153 Sturnus melanopterus Jalak putih, Kaleng putih 154 Sula abbotti Gangsa batu aboti 155 Sula dactylatra Gangsa batu muka biru 156 Sula leucogaster Gangsa batu 157 Sula sula Gangsa batu kaki merah 158 Tanygnathus sumatranus Nuri Sulawesi 159 Threskiornis aethiopicus Ibis putih, Platuk besi 160 Trichoglossus ornatus Kasturi Sulawesi 161 Tringa guttifer Trinil tutul 162 Trogonidae Kasumba, Suruku, Burung luntur 163 Vanellus macropterus Trulek ekor putih
3) REPTILIA (Melata)
164 Batagur baska Tuntong 165 Caretta caretta tempayan Penyu 166 Carettochelys insculpta Kura-kura Irian 167 Chelodina novaeguineae Kura Irian leher panjang 168 Chelonia mydas Penyu hijau 169 Chitra indica Labi-labi besar 170 Chlamydosaurus kingii Soa payung 171 Chondropython viridis Sanca hijau 172 Crocodylus novaeguineae Buaya air tawar Irian 173 Crocodylus porosus Buaya muara 174 Crocodylus siamensis Buaya siam 175 Dermochelys coriacea Penyu belimbing 176 Elseya novaeguineae Kura Irian leher pendek 177 Eretmochelys imbricate Penyu sisik 178 Gonychephalus dilophus Bunglon sisir 179 Hydrasaurus amboinensis Soa-soa, Biawak Ambon, Biawak pohon 180 Lepidochelys olivacea Penyu ridel 181 Natator depressa Penyu pipih 182 Orlitia borneensis Kura-kura gading 183 Python molurus Sanca bodo 184 Phyton timorensis Sanca Timor 185 Tiliqua gigas Kadal Panan 186 Tomistoma schlegelii Senyulong, Buaya sapit
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38
187 Varanus borneensis Biawak Kalimantan 188 Varanus gouldi Biawak coklat 189 Varanus indicus Biawak Maluku 190 Varanus komodoensis Biawak komodo, Ora 191 Varanus nebulosus Biawak abu-abu 192 Varanus prasinus Biawak hijau 193 Varanus timorensis Biawak Timor 194 Varanus togianus Biawak Togian
4) INSECTA (Serangga)
195 Cethosia myrina Kupu bidadari 196 Ornithoptera chimaera Kupu sayap burung peri 197 Ornithoptera goliath Kupu sayap burung goliat 198 Ornithoptera paradisea Kupu sayap burung surga 199 Ornithoptera priamus Kupu sayap priamus 200 Ornithoptera rotschldi Kupu burung rotsil 201 Ornithoptera tithonus Kupu burung titon 202 Trogonotera brookiana Kupu trogon 203 Troides amphrysus Kupu raja 204 Troides andromanche Kupu raja 205 Troides criton Kupu raja 206 Troides haliphron Kupu raja 207 Troides helena Kupu raja 208 Troides hypolitus Kupu raja 209 Troides meoris Kupu raja 210 Troides miranda Kupu raja 211 Troides plato Kupu raja 212 Troides rhadamantus Kupu raja 213 Troides riedeli Kupu raja 214 Troides vandepolli Kupu raja
5) PISCES (Ikan)
215 Homaloptera gymnogaster Selusur Maninjau 216 Latimeria chalumnae Ikan raja laut 217 Notopterus spp. Belida Jawa, Lopis Jawa (semua jenis dari genus Notopterus) 218 Pritis spp. Pari Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis) 219 Puntius microps Wader goa 220 Scleropages formasus Peyang malaya, Tangkelasa 221 Scleropages jardini Arowana Irian, Peyang Irian, Kaloso
6) ANTHOZOA
222 Anthiphates spp. Akar bahar, Koral hitam (semua jenis dari genus Anthiphates)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39
7) BIVALVIA
223 Birgus latro Ketam kelapa 224 Cassis cornuta Kepala kambing 225 Charonia tritonis Triton terompet 226 Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku beruang 227 Hippopus porcellanus Kima Cina 228 Nautilus popillius Nautilus berongga 229 Tachipleus gigas Ketam tapak kuda 230 Tridacna crocea Kima kunia, Lubang 231 Tridacna gigas Kima raksasa 232 Tridacna maxima Kima kecil 234 Tridacna squamosa Kima sisik, Kima seruling 235 Trochus niloticus Troka, Susur bundar 236 Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau
Sumber : Lampiran PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Satwa dan
Tumbuhan
Dari penggolongan yang sudah ditetapkan tersebut sewaktu-waktu
bisa berubah ststusnya dari yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan
sebaliknya dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi, sesuai kriteria atau
pertimbangan yang ditetapkan oleh Peraturan pemerintah ini. Daftar jenis
satwa diatas di data pada bulan Januari tahun 1999.
Jenis-jenis satwa yang termuat dalam lampiran Peraturan Pemerintah
tersebut menjadi batasan pengertian satwa yang dilindungi pada Pasal 21 ayat
(2) Undang-Undang Konservasi, sehingga aturan menjadi jelas yakni adanya
larangan memiliki, memelihara dan menyimpan satwa yang dilindungi yang
dimaksud ialah satwa-satwa yang terdapat atau terdaftar dalam lampiran
peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tersebut. Di luar daftar satwa
dilindungi tersebut bebas untuk dipelihara tetapi juga harus dengan kontrol
dan pengendalian yang baik sehingga statusnya tidak berubah menjadi
dilindungi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40
Untuk lebih jelasnya mengetahui apa isi dari ketentuan Pasal 21 ayat (2)
maka penulis akan coba menjabarkannya dengan mencari unsur-unsur dari
ketentuan tersebut
Unsur dari Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi :
a. Unsur tindak pidana pada huruf a.
1) menangkap,
2) melukai,
3) membunuh,
4) menyimpan,
5) memiliki,
6) memelihara,
7) mengangkut, dan
8) memperniagakan
9) satwa yang dilindungi
10) dalam keadaan hidup;
b. Unsur tindak pidana pada huruf b.
1) menyimpan,
2) memiliki,
3) memelihara,
4) mengangkut, dan
5) memperniagakan
6) satwa yang dilindungi
7) dalam keadaan mati;
c. Unsur tindak pidana pada huruf c.
1) mengeluarkan
2) satwa yang dilindungi
3) dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41
d. Unsur tindak pidana pada huruf d.
1) memperniagakan,
2) menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau
3) barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
4) atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia;
e. Unsur tindak pidana pada huruf e.
1) mengambil,
2) merusak,
3) memusnahkan,
4) memperniagakan,
5) menyimpan atau memiliki
6) telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Apabila merujuk pada unsur-unsur tersebut maka tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi yang dimaksud sangat luas, bukan hanya
berarti secara harafiah yakni dalam hal menyimpan, memiliki dan memelihara
satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup seperti yang tercantum dalam
Pasal 21 ayat (2) huruf a, tetapi lebih dari itu yang juga tercantum pada huruf
b,d dan e yakni menyimpan, memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi
dalam keadaan mati atau hanya kulit, tubuh dan bagian-bagaiannya. Selain
daripada itu menyimpan atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang
dilindungi juga merupakan bagian dari tindak pidana kepemilikan satwa yang
dilindungi yang kesemua tindakan tersebut memiliki sanksi yang tegas dan
jelas bagi para pelanggarnya yang tercantum dalam pasal 40 ayat (2) yakni
dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42
Sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana hanya ditujukan untuk
pelanggaran terhadap aturan bagi jenis-jenis yang dilindungi, sedangkan
untuk yang tidak dilindungi belum ada pengaturan mengenai sanksi
hukumnya. Sedangkan secara internasional CITES mewajibkan negara
anggota untuk dapat memberikan sanksi hukum yang berkaitan dengan jenis-
jenis yang termasuk appendix CITES, yang banyak diantaranya tidak
dilindungi (Budi Riyanto dkk, 2004 : 9).
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) atau
konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan
satwa liar, adalah merupakan kesepakatan internasional antara pemerintah
(negara) dengan tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional
tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam keberadaan hidup tumbuhan dan
satwa liar. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan
Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Cites menetapkan Tumbuhan dan
Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori perlakuan perlindungan dari
eksploitasi perdagangan yaitu appendices I, appendices II, dan appendices III :
( http ___ blogmhariyanto _blogspot_ com_ 2009 _ 10 _cites-convention-on-
international-trade_html. Tangal 19 September 2009, pukul 21.00 WIB).
1. Appendices I , memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,
2. Appendices II , memuat Lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,
3. Appendices III, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah
dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya,
dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43
suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II,
bahkan mungkin ke Appendix I
2. Perspektif Pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dalam hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan kodifikasi
dari hukum pidana di Indonesia yang tersusun secara sistematis di dalam
suatu buku Undang-Undang dan dijadikan patokan atau tolak ukur pertama
ketika terjadi suatu kejahatan dan pelanggaran.
Dalam KUHP tidak terdapat Pasal yang memenuhi unsur kepemilikan
satwa yang dilindungi, tetapi ada beberapa Pasal yang berkaitan dengan
penganiayaan hewan dan kepemilikan satwa pada umumnya, yang bisa kita
lihat dalam Pasal 302 dan Pasal 490
Pasal 302 KUHP
(1) diancam dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan :
ke-1 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya;
ke-2 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya
(2) jika perbuatan tersebut mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan kepunyaan yang bersalah, maka hewan dapat dirampas (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44
Unsur pasal di atas lebih mengarah ke bagaimana satwa atau hewan
peliharaan diperlakukan, bahkan ketika seseorang yang mempunyai hewan
peliharaan lalai dalam memberi makan pada hewan pemeliharaannya orang
tersebut dapat dikenai sanksi pidana, belum lagi apabila karena perbuatannya
satwa atau hewan tersebut menjadi sakit, atau bahkan sampai mati, maka
ancaman sanksinya pun menjadi lebih berat.
Pasal 490 KUHP Diancam dengan kurungan paling lama enam hari, atau denda paling banyak dua puluh rupiah : ke-1 barangsiapa menghasut binatang terhadap orang atau hewan yang
sedang dinaiki atau dimuati barang; ke-2 barangsiapa tidak mencegah binatang yang ada dibawah
penjagaannya, waktu menyerang orang atau hewan yang dinaiki atau dimuati barang;
ke-3 barangsiapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada dibawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;
ke-4 barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
Ketentuan Pasal ini tidak masuk dalam buku II KUHP tentang kejahatan
tetapi masuk dalam buku III KUHP tentang Pelanggaran. Unsur dari Pasal ini
hampir sama dengan Pasal 302 KUHP yakni tentang bagaimana hewan
peliharaan yang menjadi tanggung jawab seseorang diperlakukan, bedanya
ketentuan ini lebih mengarah ke bagaimana satwa atau hewan peliharaan yang
dimiliki tidak menggangu ketertiban umum.
Apabila kita lihat dalam ketentuan yang ke-4 dalam Pasal 490, unsur-
unsur yang terkandung di dalamnya memuat bagaimana seseorang yang
memelihara hewan atau satwa buas memerlukan izin dari polisi atau pihak
yang berwenang. Sehingga apabila hal ini dikaitkan dengan tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi paling tidak terdapat korelasi dalam hal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
perizinan kepemilikan satwa, bedanya dalam ketentuan ini hewan yang
dimaksud adalah hewan buas yang batasannnya masih terlalu luas seperti apa
hewan buas itu, yang menjadi inti dari ketentuan ini adalah bagaimana
seseorang yang memiliki hewan buas menjaga dan merawatnya sedemikian
rupa agar tidak menggangu ketertiban umum. Sedang dalam tindak pidana
kepemilikan satwa dilindungi yang menjadi tujuan utama adalah upaya
konservasi yang mengarah agar supaya satwa-satwa khas atau yang dilindungi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak punah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam KUHP tidak ada aturan yang
khusus mnegatur tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, dalam
Kitab Undang-undang ini hanya mengatur tanggung jawab dari para
pemelihara hewan peliharaan untuk menjaga dan merawatnya sebaik mungkin
agar tidak menggangu lingkungan sekitar dan tidak sampai menimbulkan
korban bagi manusia.
Dilihat dari sanksinya pun sudah tidak terlalu mengigit atau memberikan
efek jera bagi pelaku, dikarenakan ancaman penjara dan denda yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
3. Perspektif Pengaturan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati ) dalam
hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Konvensi Keanekaragaman Hayati yang selanjutnya disebut Konvensi,
dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological
Diversity. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau
kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini
diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46
Dengan meratifikasi Konvensi ini, Indonesia akan memperoleh manfaat
berupa (Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity) :
a. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia
peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut
bidang keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab
menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa
Indonessia pada khususnya;
b. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap alih
teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang
adil dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
nasional;
c. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang
diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari dan meningkatkan nilai
tambah keanekaragaman hayati Indonesia dengan mengembangkan
sumber daya genetik;
d. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati
Indonesia sehingga dalam pemanfaatannya Indonesia benar-benar
menerapkan Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti yang
diamanatkan dalam GBHN 1993;
e. Jaminan Pemerintah Indonesia dapat menggalang kerja sama di bidang
teknis ilmiah baik antar sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta,
di dalam dan di luar negeri, memadukan sejauh mungkin pelestarian dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan
kebijakan baik secara sektoral maupun lintas sektoral;
f. Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga Indonesia tidak
dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme yang telah direkayasa secara
bioteknologi oleh negara-negara lain;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
g. Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan pengembangan
keanekaragaman hayati Indonesia;
h. Pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan kemampuan
dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, meliputi :
1) Penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik in-situ
maupun ex-situ;
2) Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial budaya maupun
ekonomi untuk upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari;
3) Pertukaran Informasi;
4) Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan peningkatan
peran serta masyarakat.
Dengan meratifikasi Konvensi ini, tidak akan kehilangan kedaulatan atas
sumber daya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena Konvensi
ini tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum Internasional, mempunyai hak berdaulat
untuk memanfaatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati secara
bekelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan
kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak
merusak lingkungan (Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity).
Berkaitan dengan pengaturan tindak pidana kepemilikan satwa yang
dilindungi, dalam Undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara jelas
dan khusus mengaturnya. Di karenakan Undang-Undang ini berisi tentang
bagaimana upaya yang dilakukan oleh Negara-negara di dunia khususnya
Negara anggota yang meratifikasi konvensi ini untuk menjaga
keanekaragaman hayati sebagai wujud dari kegaiatan Konservasi Sumber
Daya Alam.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
Terlihat dari tujuan yang hendak dicapai dengan adanya konvensi ini
yakni, konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-
komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan
dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk
melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih
teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas
sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang
memadai. (Pasal 1 Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati).
Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa dalam Undang-Undang ini
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana kepemilikan satwa
yang dilindungi.
4. Perspektif Pengaturan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam hal Tindak
Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Undang-undang ini masih sangat baru karena terbit dan diundangkan
beberapa saat lalu pada tanggal 3 Oktober 2009, menggantikan Undang-
Undang yang lama Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang merupakan payung hukum bagi persoalan lingkungan di negara
ini yang berarti akan menaungi beberapa Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang mengatur lingkungan hidup.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang lingkungan yang baru
Nomor 32 Tahun 2009 dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yakni
terletak pada adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini
tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Pada Pasal 3 Undang-Undang ini tercantum tujuan Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang diantaranya :
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Apabila dikaitkan dengan konservasi sumber daya alam hayati yang di
dalamnya mengatur perlindungan, pengawasan dan kelangsungan hidup flora
dan fauna di Indonesia yang secara khusus juga mengatur kepemilikan satwa,
dalam Undang-Undang ini tidak di atur secara rigit dan terperinci.
Pandangan tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati yang
tercantum dalam ketentuan umum butir 18 Undang-Undang ini adalah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Kegiatan konservasi sumber daya alam masuk dalam salah satu upaya
pemeliharaan lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal 57 Undang-
Undang ini yang berarti, upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan
lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Konservasi
sumber daya alam sendiri meliputi, konservasi sumber daya air, ekosistem
hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan
ekosistem karst. Kegiatan koservasi sumber daya alam tersebut meliputi,
perlindungan sumber daya alam, pengawetan sumber daya alam, dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
Merujuk pada ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-undang ini yang
berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dari bunyi pasal tersebut apabila dikaitkan dengan tindak pidana kepemilikan
satwa yang dilindungi, maka bisa juga pelaku yang mengambil langsung
satwa yang dilindungi dari alam liar untuk dimiliki atau dipelihara yang
berakibat pada rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan yang
berujung pada tindakan kerusakan lingkungan yang melampaui baku
kerusakan lingkungan hidup, dapat diancam dengan sanksi diatas.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51
Dalam Undang-Undang Lingkungan hidup ini tidak ada aturan atau
ketentuan khusus yang mengatur masalah tindak pidana kepemilikan satwa
yang dilindungi, dilihat dari substansinya undang-undang ini mengatur secara
global dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terutama
masalah lingkungan yang langsung bersinggungan dengan kehidupan manusia
seperti pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh manusia.
5. Perspektif Pengaturan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dalam hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang
Dilindungi
Kehutanan menurut ketentuan umum dalam Undang-undang ini adalah
sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,
fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,
sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52
lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi
serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Undang-Undang Kehutanan ini mempunyai esensi tentang bagaimana
pemanfaatan hutan dan hasil hutan tanpa mengabaikan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan hutan dan hasil
hutan dapat terkontrol.
Walaupun tidak secara eksplisit mengatur tentang tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi, tetapi ada upaya untuk menjaga dan
melindungi satwa yang dilindungi maupun tidak dilindungi dengan
menetapkan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya, yang salah satu
fungsinya adalah untuk upaya konservasi yakni menetapkan kawasan hutan
konservasi, yang didalamnya terbagi menjadi kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
Selain hal itu ada ketentuan lain yang mengatur tentang satwa dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf m yakni, larangan untuk mengeluarkan, membawa,
dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang
berwenang. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan
dari Pasal ini bukan merupakan kejahatan tetapi berupa pelanggaran,
tercantum dalam Pasal 78 ayat (13).
Pada ayat (4) pada Pasal yang sama yakni Pasal 50 juga terdapat
ketentuan yang sama dengan ketentuan diatas, yang membedakan adalah dari
segi satwa di mana satwa yang dimaksud adalah satwa yang dilindungi tetapi
tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
Apabila menganalogi ketentuan dari Pasal 50 ayat (3) huruf f yang
berbunyi larangan untuk menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah. Dengan ancaman pidana paling lama penjara 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Merujuk
pada kata hasil hutan tersebut dalam ketentuan umum diartikan sebagai
benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari
hutan. Maka bisa juga hasil hutan diartikan sebagai satwa yang dilindungi
sehingga apabila diakaitkan dengan kepemilikan satwa yang dilindungi
sangatlah erat hubungannya bahkan ketentuan tersebut bisa juga digunakan
untuk menjerat pelaku, dengan syarat pelaku mengambil langsung dari
kawasan hutan tersebut kemudian menyimpan dan memilikinya atau
memeliharanya.
B. Kepemilikan Atau Pemeliharaan Satwa yang Dilindungi Secara Sah dan
Tidak Melanggar Hukum
Sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka sejak saat
itu pula departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam
tidak lagi mengeluarkan izin kepemilikan satwa yang dilindungi bagi perorangan
atau badan hukum (http://www.iwf.or.id/Izin%20Pemeliharaan%20Satwa-
KP.htm, tanggal 20 November 2009 pukul 10.00 WIB).
Hal tersebut merujuk pada Pasal 22 Undang-Undang Konservasi yang
memuat tentang pengecualian atau bisa dikatakan sebagai alasan pembenar
dilakukannya tindakan kepemilikan satwa yang dilindungi, dengan alasan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan
dan satwa yang bersangkutan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
Dampak lain yang timbul akibat keluarnya Undang-Undang konservasi pada
tahun 1990 adalah Menteri Kehutanan pada masa itu mengeluarkan Surat
Keputusan Menhut No. 301/Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa Liar
Dilindungi Yang Dimiliki Perorangan dan Bagian-Bagiannya. Di mana yang
menjadi substansi dari Kepmen tersebut ialah pendataan atau inventarisasi bagi
para pemilik satwa yang dilindungi dan kemudian mengubah status satwa
dilindungi tersebut dari hak milik dirubah menjadi satwa titipan atau hanya
sekedar dititipkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu bisa
diambil oleh badan yang berwenang untuk selanjutnya di rehabilitasi di PPS
(Pusat Penyelamatan Satwa) yakni, sebuah lembaga untuk menampung satwa
dilindungi hasil sitaan aparat keamanan dari masyarakat yang
memperdagangkannya atau memilikinya sebagai hewan piaraan. Setelah itu
apabila memungkinkan dan siap untuk dilepas di alam liar maka dilepaslah satwa
dilindungi tersebut, dan apabila ternyata satwa tersebut tidak layak untuk dilepas
di alam liar maka akan dilakukan tindakan lain seperti dititipkan di lembaga
konservasi.
Sampai sekarang belum sepenuhnya satwa titipan tersebut diambil,
dikarenakan terdapat kendala dalam hal biaya dan juga sarana, sebab daya
tampung PPS juga terbatas jadi selama satwa-satwa titipan tersebut terpelihara
dengan baik tidak menjadi masalah, apalagi setelah berakhirnya kerjasama antara
Departemen Kehutanan dengan The Gibbon Foundation pada September 2006
yang salah satu kesepakatannya ialah The Gibbon Foundation akan membangun
beberapa PPS di Indonesia untuk mendukung upaya penegakan hukum dalam
memberantas perdagangan dan kepemilikan satwa liar secara illegal di daerah
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dampak dari putusnya kerjasama
tersebut maka keadaan satwa yang ditampung di PPS semakin mengkhawatirkan.
(http://environmentalism.wordpress.com /2006/11/12/ pengelolaan -satwa-
dilindungi-di-indonesia, pada tanggal 15 Agustus 2009 Pukul 23.00 WIB).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55
Dalam kaitannya boleh tidaknya seseorang atau badan hukum menyimpan,
memelihara atau memiliki satwa dilindungi, hal tersebut diperbolehkan dengan
mengacu pada ketentuan dan syarat yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar
Salah satunya dengan melakukan penangkaran atau membeli satwa
dilindungi dari penangkaran. Penangkaran sendiri berarti upaya perbanyakan
melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan
tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Tujuan yang ingin didapat adalah
mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar dalam jumlah, mutu, kemurnian
jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan
sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi di alam
Dalam hal penangkaran, satwa yang hendak ditangkarkan dapat diambil
langsung di alam liar dan sumber-sumber lain yang sah dengan ketentuan yang
berlaku dan atas izin menteri Kehutanan, hal ini tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa liar pada Pasal 8, apabila seseorang melanggar ketentuan tersebut maka
dikenai sanksi yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (3), dengan serta merta dapat
dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 7 ayat (1),(2)
penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan :
a. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam
lingkungan yang terkontrol
b. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.
c. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi atau yang tidak dilindungi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
Siapa saja baik perorangan atau badan hukum, koperasi dan lembaga
konservasi diperbolehkan untuk melakukan penangkaran dengan atas izin dari
Menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, dengan syarat-syarat yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 15 ayat (1) dan (2) sebagai
berikut :
a. mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli di bidang penangkaran jenis yang
bersangkutan;
b. memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat
teknis;
c. membuat dan menyerahkan proposal kerja.
Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban
untuk:
a. membuat bukti induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan;
b. melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis
yang ditangkarkan;
c. membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah.
Disamping itu penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas
hasil tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan. (Pasal 14 ayat (1))
Apabila ketentuan diatas tidak dilakukan maka dapat dikenai sanksi yang
tercantum dalam Pasal 55 yakni, dapat dihukum denda administrasi sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin
usaha penangkaran.
Selain izin untuk melakukan penangkaran seseorang, badan hukum,
koperasi atau lembaga konservasi juga diberi izin untuk menjual hasil
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57
penangkarannya dengan standar kualifikasi yang sudah ditetapkan, dengan
pertimbangan (PP Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (1),(2),(3)) :
a. batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran;
b. profesionalisme kegiatan penangkaran;
c. tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan.
Dalam melakukan penangkaran satwa liar izin dari pemerintah dalam hal ini
Departemen Kehutanan mutlak harus ada, apabila izin tidak ada dapat dikenai
sanksi berupa denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan atau pencabutan izin penangkaran. Untuk
penangkaran yang dilakukan terhadap tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi
dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dengan sanksi penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (PP Nomor 8
Tahun 1999 Pasal 52 ayat (1) dan (2)).
Sedang untuk penangkaran satwa liar yang dilindungi dalam
memperdagangkan hasil tangkarannya ada syarat yang harus dipenuhi yakni (PP
Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 11 ayat (1),(2)) :
a. Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk
keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi
berikutnya.
b. Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa
liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi.
Mengacu pada ketentuan tersebut apabila seseorang ingin memelihara satwa
yang dilindungi dapat melakukannya dengan jalan menangkarkannya atau dapat
membeli dari penangkaran satwa dilindungi generasi kedua dan berikutnya.
Sehingga tetap terjaga kemurnian dan populasinya. Apabila nyata terbukti
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58
penangkar melanggar ketentuan tersebut diatas maka, dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 54 ayat (1), dalam
ayat (2) ditambahkan sanksi administrasi berupa denda Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan pencabutan izin penangkaran.
Ada pengecualian dalam hal memperdagangkan satwa liar yang dilindungi,
pada jenis tertentu hanya boleh untuk ditangkarkan tidak untuk diperdagangkan.
Hal ini tercantum dalam Pasal 11 PP Nomor 8 Tahun 1999 satwa dilindungi yang
tidak boleh diperdagangkan menurut PP tersebut diantaranya :
a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);
b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa);
c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);
d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);
e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis);
f. Cendrawasih (seluruh jenis dari famili Paradiseidae);
g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi);
h. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae);
i. Lutung Mentawai (Presbytis Potenziani);
j. Orangutan (Pongo pygmaeus);
k. Owa Jawa (Hylobates moloch).
Sehingga apabila kita melihat seseorang, badan hukum, koperasi atau
lembaga konservasi yang menyimpan, memiliki dan/atau memelihara satwa-satwa
diatas tanpa ada keterangan yang jelas tentang asal usul satwa tersebut, atau
mereka berdalih membeli dari penangkaran maka ia melakukan tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi sebagaimana yang diatur dalam Undang-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
Undang konservasi Pasal 1 ayat (2) dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa liar juga mengatur mengenai pemeliharaan satwa
untuk kesenangan, tetapi hanya untuk jenis satwa yang tidak dilindungi. Pada
Pasal 40 daiatur mengenai kewajiban dari seseorang yang hendak memelihara
satwa untuk kesenangan yang diantaranya :
a. memelihara kesehatan, kenyamanan, dan keamanan jenis tumbuhan atau
satwa liar peliharaannya;
b. menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis
tumbuhan dan satwa liar.
Apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan maka dapat pula dikenai sanksi
yang tercantum dalam Pasal 62 yakni dapat dihukum denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan
atas satwa yang dipelihara.
C. Kapasitas Pengaturan dan Penegakkan Hukum Konservasi Sumber Daya
Alam Khususnya dalam Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi
Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan
aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya
tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum
bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat
mempunyai peran yang amat penting dalam hal menegakkan hukum.
Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu
sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa
banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam
beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa.
Tidak dipungkiri keadaan alam dan isinya ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kehidupan manusia, misalnya pemanfaatan hutan yang tidak
terkontrol adanya illegal logging yang tidak terkendali menyebabkan bencana
alam yang merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam hal mengatur konservasi sumber daya alam pemerintah pada tanggal
10 agustus telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, yang menjadi acuan
atau dasar berpijak bagi kegiatan konservasi di negara ini, termasuk dalam hal
penegakan hukumnya.
Dalam hal penegakan hukum konservasi khususnya dalam hal kepemilikan
satwa yang dilindungi kadang terbentur dengan budaya yang hidup, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang senang memelihara
satwa yang berdampak pada perburuan satwa yang terkadang kelewat batas yang
berpengaruh pada populasi satwa di alam liar termasuk perburuan satwa yang
tergolong dilindungi. Semakin langka satwa tersebut maka semakin tinggi pula
nilai ekonominya dan semakin banyak orang yang berkeinginan memilikinya.
Kepemilikan satwa dilindungi diatur jelas dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
pada Pasal 21 ayat (2) huruf a, b, d dan e :
Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Dengan ketentuan pidana yang tercantum pada Pasal 40 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berbunyi : ”Barangsiapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).”
Penegakan hukum konservasi tidak saja menggunakan hukum pidana tetapi
juga menggunakan hukum administrasi negara, hal ini bisa dilihat dalam hal
perizinan yang harus dipenuhi oleh seseorang atau badan hukum yang
berkeinginan untuk memiliki atau memelihara satwa yang dilindungi yang syarat
dan ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Dengan aturan yang jelas dan sanksi yang tegas seperti yang tercantum
dalam ketentuan diatas, bukan berarti pelanggaran kepemilikan satwa dilindungi
sedikit justru banyak pelanggaran yang terjadi dan dapat kita lihat disekitar kita,
apabila kita pergi ke pasar burung atau hewan peliharaan disitu ada beberapa
satwa dilindungi yang tidak jelas asal usulnya dan sertifikasinya. Dan fakta-fakta
lain yang menunjukkan banyaknya pelanggaran yang terjadi seperti fakta-fakta
berikut ini (http://www.profauna.org/content/id/fakta_satwa.html. tanggal 21
November Tahun 2009 pukul 12.00 WIB) :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62
1. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses
penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang
sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan satwa liar itu adalah kejam!
2. 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka
dan dilindungi undang-undang. Perdagangan satwa liar itu adalah tindakan
kejahatan!
3. 70% primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan
penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakityang diderita satwa itu bisa
menular ke manusia.
4. Lebih dari 100.000 burung paruh bengkok setiap tahunnya ditangkap dari
alam Papua dan Maluku. Penangkapan ini juga melibatkan oknum militer.
Sebagian besar burung tersebut adalah ditangkap secara ilegal dari alam.
5. Burung paruh bengkok (nuri dan kakatua) ditangkap dari alam dengan cara-
cara yang menyiksa dan menyakitkan satwa. Bulunya dicabuti agar tidak bisa
terbang.
6. Setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orangutan Kalimantan yang
diselundupkan ke Jawa dan juga luar negeri. Sebagian besar orangutan yang
diperdagangkan adalah masih bayi. Untuk menangkap seekor bayi orangutan,
pemburu harus membunuh induk orangutan itu yang akan mempertahankan
anaknya sampai mati.
7. Sekitar 3000 owa dan siamang setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan
di dalam negeri dan diselundupkan ke luar negeri.
Dari fakta tersebut menunjukkan lemahnya penegakan hukum konservasi di
Indonesia, juga lemahnya aparat penegak hukum secara kualitas maupun
kuantitas, kesadaran hukum masyarakat dan juga sarana dan prasarana yang tidak
memadai menjadi kendala utama.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
Sungguh sangat memprihatinkan melihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan
dalam hal pelanggaran kepemilikan satwa dilindungi, mengingat negara ini
sungguh kaya akan keanekaragaman hayatinya apabila pelanggaran terus terjadi
tanpa ada tindakan yang tegas dan nyata yang memberikan efek jera bagi pelaku
dan calon pelaku lalu bagaimana nasib satwa-satwa dilindungi yang populasinya
sudah menyusut.
Dalam perspektif yuridis, penegakan hukum konservasi satwa dilindungi
bukan menjadi perhatian atau prioritas utama baik bagi penegak hukum dan juga
akademisi, dikarenakan benda hukum yang menjadi objek pengaturan berbeda
dengan benda hukum yang diatur oleh hukum konvensional, dalam hukum
konvensional benda hukum yang dimaksud berkaitan dengan nyawa seseorang,
kepemilikan, harkat, martabat atau kehormatan dari seseorang, sedangkan dalam
hukum konservasi satwa dilindungi yang menjadi benda hukum adalah makhluk
hidup lain yang secara naluri menjaga keseimbangan alam di kawasan tertentu
yang tidak langsung berdampak pada diri manusia
Sebaliknya, perlindungan hukum terhadap lingkungan menjadi sangat
penting mengingat manusia merupakan salah satu unsur dalam mata rantai
kehidupan di bumi yang menyebabkan ketergantungan terhadap lingkungan biotik
maupun abiotik. Dari jurnal yang penulis kutip menyatakan bahwa masnusia dan
hewan hendaknya memiliki hak yang sama walaupun tidak sama persis dengan
manusia tetapi setidaknya adil bagi kita manusia dan adil bagi hewan sesuai
dengan kapasitas dan karakternya.
Justice may not require that animals be exactly the same as humans or that they have rights exactly coterminous with the rights of humans, but justice would require that animals receive protection in ways that match up with those similarities they share with humans that are characteristics considered essential to our understanding of what it means to be human. Stated generally, the argument is that if animals are similar to humans as to capacities and characteristics of humans that define humans, then animals
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64
should receive protections equivalent to the protections of humans because a just society treats like entities alike ( Bryant, Taimie L. 2010).
Keadilan mungkin tidak mengharuskan binatang akan persis sama dengan manusia atau bahwa mereka punya hak persis berbatasan dengan hak-hak manusia, tetapi keadilan memerlukan adanya suatu perlindungan terhadap hewan dengan cara yang tepat dengan kesamaan yang ada pada diri manusia menurut pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, pada umumnya argument bahwa hewan sama dengan manusia dalam hal kapasitas dan karakteristik dengan manusia, maka harus mendapatkan perlindungan yang setara dengan manusia, karena masyarakat yang adil itu menghargai sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda walaupun tidak harus dalam bentuk fisik.
Beberapa hal yang menunjukkan kelemahan penegakan hukum konservasi
khususnya dalam tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi yang penulis
bagi menjadi beberapa faktor diantaranya :
1. Penerapan sanksi yang tidak sesuai pada kasus-kasus kepemilikan satwa
dilindungi yang diajukan ke pengadilan, untuk itu perlu adanya persamaan
persepsi antara aparat penegak hukum dengan masayarakat tentang
pentingnya menjaga dan melestarikan kehidupan alam liar, selama ini mereka
berpikiran bahwa masalah koservasi dianggap masalah yang biasa bukan
masalah yang serius dikarenakan dampak yang ditimbulkan tidak secara
langsung terjadi tetapi dalam kurun waktu yang lama.
2. Dari segi pelaku kebanyakan dari pejabat pemerintahan, aparat kepolisian,
aparat TNI yang notabene memiliki kedudukan dan kekuasaan sehingga
penegakkannyapun kental akan nuansa politik dan konspirasi.
3. Aparat penegak hukum yang khusus mengatur masalah konservasi kurang
memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas mengingat luas wilayah
yang sangat besar serta sarana dan prasarana yang juga kurang memadai
sebagai contoh PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) yang tidak sesuai dengan
satndar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65
4. Pelaku yang dibiarkan lolos dengan dalih satwa dilindungi tersebut terpelihara
dengan baik.
5. Aparat yang berwenang hanya menyita satwa yang dilindungi tanpa adanya
proses peradilan padahal nyata-nyata pelaku memenuhi unsur tindak pidana
kepemilikan satwa dilindungi, hal ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku
maupun calon pelaku
6. Terbentur budaya yang berkembang dalam masyarakat yang gemar
memelihara satwa yang terkadang satwa dilindungipun juga menjadi sasaran,
perilaku seperti ini yang menyebabkan maraknya perburuan satwa dialam liar,
berdalih mencintai satwa padahal tindakannya jauh dari kata cinta.
7. Kurangnya sosialisasi mengenai jenis satwa apa saja yang dilindungi dan juga
tidak dilindungi, tindakan prefentif seperti sosialisasi atau melakukan
penyuluhan penting dilakukan seperti misalnya, memasang pamflet
memebagikannya kepada masayarakat, memasangnya di pasar burung atau
pasar hewan peliharaan.
Dari point-point tersebut menunjukkan penegakan hukum konservasi
khususnya dalam hal tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi lemah,
dalam tindak pidana konservasi kebanyakan pelaku berdalih dengan alasan
ketidak tahuan mereka itu sebabnya perlu adanya upaya pencegahan yang
dilakukan, entah itu melalui penyuluhan, penyebaran pamflet atau tindakan lain
guna menumbuhkan perhatian dan kesadaran masayarakat tentang pentingnya
upaya konservasi dumber daya alam.
Dilihat dari segi pengaturannyapun dalam Pasal 21 ayat (2) apabila kita
cermati lebih teliti, ketentuan tersebut menurut bahasa hukum kurang pas atau
tidak tepat, terlihat dalam penggunaan kata “dan”.
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
Kata “dan” dalam ketentuan tersebut apabila diartikan menurut sudut
pandang bahasa hukum berarti gabungan dari beberapa delik, menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan merupakan delik yang sudah tergabung menjadi satu tidak
berdiri sendiri, hal ini bisa menjadi rancu kenapa tidak menggunakan kata
“dan/atau” atau kata “atau” yang apabila diartikan merupakan pilihan atau
alternatif jadi delik tersebut dapat berdiri sendiri bukan merupan delik gabungan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari segi pengaturan dan aparat
penegak hukum kurang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas dalam
menanggulangi permasalahan konservasi lingkungan khususnya dalam hal tindak
pidana kepemillikan satwa yang dilindungi di Negara ini.
Melihat ketentuan yang mengatur tentang kepemilikan satwa yang
dilindungi yang tercantum dalam Undang-Undang konservasi Sumber Daya Alam
berserta Peraturan Pemerintahnya, sungguh sangat disayangkan sanksi pidana
hanya ditujukan untuk pelanggaran terhadap aturan bagi jenis-jenis yang
dilindungi, sedangkan untuk yang tidak dilindungi belum ada ketentuan yang
mengatur padahal apabila tidak ada pengawasan yang baik dapat berubah
statusnya menjadi dilindungi mengingat populasinya di alam liar mulai menipis
yang mungkin diakibatkan karena perdagangan, kepemilikan satwa dan perburuan
illegal, selain itu tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kepemilikan satwa
yang dilindungi di mana satwa tersebut berasal dari luar Indonesia yang
dinegaranya dilindungi keberadaanya.
Ada lagi ketentuan yang rancu yang mengatur tentang satwa dilindungi,
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi dikatakan salah satu upaya
penyelamatan satwa adalah dengan jalan pemberian dan penukaran jenis kepada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67
pihak luar negeri, apabila ditelaah dari segi ilmiah hal ini dapat berdampak negatif
bagi satwa tersebut di karenakan upaya ini tidak akan membantu pemulihan
populasi satwa di alam liar.
Terlepas dari kekurangan atau kelemahan yang ada dalam Undang-Undang
konservasi khususnya yang mengatur tentang kepemilikan satwa yang dilindungi,
setidaknya aturan yang sudah ada dapat menanggulangi dan memberikan efek jera
melalui sanksi yang ada bagi para pelaku maupun calon pelaku tindak pidana
kepemilikan satwa yang dilindungi, mengingat di negara ini memiliki
keanekaragaman hayati yang luar biasa kaya baik flora maupun fauna
Maka dari itu upaya konservasi keanekaragaman hayati harus mendapat
prioritas yang tinggi, apabila tidak ingin melihat kerusakan ekosistem, kepunahan
masal terhadap flora maupun fauna, serta hilangnya sumber daya genetik yang
belum sempat diketahui keberadaanya dan juga bagaimana memanfaatkannya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id