BAB III - Digilib UNS

40
29 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna merupakan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia yang keberadaanya sangatlah istimewa, karena beberapa species flora atau pun fauna di negara ini bersifat endemik atau dengan kata lain hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia dalam skala dunia. Maka dari itu perlu adanya penaganan dan pengaturan yang baik sehingga keanekaragaman tersebut dapat terjaga dengan baik dan tentunya memberikan keuntungan yang besar bagi negara dan masyarakat pada umumnya. Sudah menjadi rahasia umum dan bukan sesuatu yang mengejutkan apabila melihat berita di media massa, media internet ataupun dapat dilihat langsung di lingkungan sekitar di mana satwa-satwa yang dilindungi maupun yang tidak dililndungi keberadaannya sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya penebangan liar, perburuan dan pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol yang jadi penyebab rusaknya ekosistem dan habitat dari satwa-satwa tersebut. Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa adalah karena budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal. Wildlife trafficking is thought to be the third most valuable illicit commerce in the world, after drugs and weapons, worth an estimated $10 billion a year, according to the U.S. State Department. Birds are the most common library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Transcript of BAB III - Digilib UNS

29

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Terhadap Tindak Pidana

Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna merupakan kekayaan alam

yang dimiliki Indonesia yang keberadaanya sangatlah istimewa, karena beberapa

species flora atau pun fauna di negara ini bersifat endemik atau dengan kata lain

hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia dalam skala dunia. Maka dari itu perlu

adanya penaganan dan pengaturan yang baik sehingga keanekaragaman tersebut

dapat terjaga dengan baik dan tentunya memberikan keuntungan yang besar bagi

negara dan masyarakat pada umumnya.

Sudah menjadi rahasia umum dan bukan sesuatu yang mengejutkan apabila

melihat berita di media massa, media internet ataupun dapat dilihat langsung di

lingkungan sekitar di mana satwa-satwa yang dilindungi maupun yang tidak

dililndungi keberadaannya sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya penebangan

liar, perburuan dan pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol yang jadi penyebab

rusaknya ekosistem dan habitat dari satwa-satwa tersebut.

Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa adalah karena budaya yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada

umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang

peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam

liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung

pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal.

Wildlife trafficking is thought to be the third most valuable illicit commerce in the world, after drugs and weapons, worth an estimated $10 billion a year, according to the U.S. State Department. Birds are the most common

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

contraband; the State Department estimates that two million to five million wild birds, from hummingbirds to parrots to harpy eagles, are traded illegally worldwide every year. Millions of turtles, crocodiles, snakes and other reptiles are also trafficked, as well as mammals and insects (Bergman Charles, 2009).

Perdagangan satwa liar menduduki peringkat ketiga perdagangan ilegal yang paling berharga di dunia, setelah narkoba dan senjata, senilai sekitar $ 10 miliar per tahun, menurut Departemen Luar Negeri AS. Penyelundupan burung yang paling sering ditemui; Departemen Luar Negeri memperkirakan bahwa dua juta sampai lima juta burung liar, dari burung kolibri sampai beo sampai burung elang, diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia setiap tahun. Jutaan kura-kura, buaya, ular dan reptil lainnya juga korban dari perdagangan satwa, juga termasuk mamalia dan serangga.

Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa perdagangan satwa menjadi

ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan hidup satwa-satwa terutama satwa

yang berstatus dilindungi, semakin banyak seseorang yang berkeinginan memiliki

atau memelihara satwa yang dilindungi maka semakin mengkhawatirkan pula

keberadaan satwa-satwa tersebut di alam liar

Tindakan inilah yang menjadi objek penelitian penulis yakni tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi, yang jelas diatur dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, selain itu penulis mencoba mengkajinya dari perspektif Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan perundang-undangan lain

yang mengatur tentang lingkungan seperti, Undang Undang No. 5 Tahun 1994

Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity

(Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati),

Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Pokok Kehutanan, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

1. Perspektif Pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam hal

Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan

ekosistemnya ini dikeluarkan pada tanggal 10 Agustus 1990, yang bertujuan

untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

yang merupakan kekayaan alam Indonesia yang juga merupakan bagian

integral dari pembangunan nasional.

Ketentuan dari undang-undang ini yang menjadi dasar hukum dari objek

penelitian penulis yakni, tentang tindak pidana kepemilikan satwa yang

dilindungi tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a,b,d dan e berbunyi :

Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,

mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Dengan sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).”

Kemudian batasan dari jenis satwa dan tumbuhan apa saja yang

dilindungi ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pengawetan yang dimaksud adalah

upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.

Adapun tujuan dari pengawetan jenis tumbuhan dan satwa sesuai dengan

Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini yakni :

a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;

b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa;

c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar

dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

Dalam Peraturan Pemerintah ini secara jelas termuat bagaimana

mengkategorikan jenis satwa yang dilindungi, dan bagaimana dasar

pertimbangan yang digunakan untuk mengkategorikan satwa yang dilindungi

dan tidak dilindungi, terdapat dalam Pasal 4,5 dan 6 berbunyi :

Pasal 4 (1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:

a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

(2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.

(3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

Pasal 5

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

(1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: a. mempunyai populasi yang kecil; b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

(2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.

Pasal 6 Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

Dari ketentuan tersebut status perlindungan hanya digolongkan menjadi

dua yakni yang dilindungi (sudah langka dan terancam punah) dan tidak

dilindungi (belum langka dan belum punah), untuk satwa yang tidak

dilindungi yang populasinya masih banyak juga perlu dilakukan pengawasan,

agar supaya tidak berubah statusnya menjadi dilindungi akibat pemanfaatan

yang tidak terkontrol.

Tabel 1. Daftar Jenis Satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Satwa dan Tumbuhan.

1) MAMALIA (Menyusui)

No. Nama Ilmiah Nama Indonesia 1 Anoa depressicornis Anoa dataran rendah, Kerbau pendek 2 Anoa quarlesi Anoa pegunungan 3 Arctictis binturong Binturung 4 Arctonyx collaris Pulusan 5 Babyrousa babyrussa Babirusa 6 Balaenoptera musculus Paus biru 7 Balaenoptera physalus Paus bersirip 8 Bos sondaicus Banteng 9 Capricornis sumatrensis Kambing Sumatera 10 Cervus kuhli; Axis kuhli Rusa Bawean 11 Cervus spp. Menjangan, Rusa sambar (semua jenis dari genus Cervus) 12 Cetacea Paus (semua jenis dari famili Cetacea)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

13 Cuon alpinus Ajag 14 Cynocephalus variegatus Kubung, Tando, Walangkekes 15 Cynogale bennetti Musang air 16 Cynopithecus niger Monyet hitam Sulawesi 17 Dendrolagus spp. Kanguru pohon (semua jenis dari genus Dendrolagus) 18 Dicerorhinus sumatrensis Badak Sumatera 19 Dolphinidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae) 20 Dugong dugon Duyung 21 Elephas indicus Gajah 22 Felis badia Kucing merah 23 Felis bengalensis Kucing hutan, Meong congkok 24 Felis marmorota Kuwuk 25 Felis planiceps Kucing dampak 26 Felis temmincki Kucing emas 27 Felis viverrinus Kucing bakau 28 Helarctos malayanus Beruang madu 29 Hylobatidae Owa Kera tak berbuntut (semua jenis dari famili Hylobatidae) 30 Hystrix brachyura Landak 31 Iomys horsfieldi Bajing terbang ekor merah 32 Lariscus hosei Bajing tanah bergaris 33 Lariscus insignis Bajing tanah, Tupai tanah 34 Lutra lutra Lutra 35 Lutra sumatrana Lutra Sumatera 36 Macaca brunnescens Monyet Sulawesi 37 Macaca maura Monyet Sulawesi 38 Macaca pagensis Bokoi, Beruk Mentawai 39 Macaca tonkeana Monyet jambul 40 Macrogalidea musschenbroeki Musang Sulawesi 41 Manis javanica Peusing Trenggiling, 42 Megaptera novaeangliae Paus bongkok 43 Muntiacus muntjak Kidang, Muncak 44 Mydaus javanensis Sigung 45 Nasalis larvatus Kahau, Bekantan 46 Neofelis nebulusa Harimau dahan 47 Nesolagus netscheri Kelinci Sumatera 48 Nycticebus coucang Malu-malu 49 Orcaella brevirostris Lumba-lumba air tawar, Pesut 50 Panthera pardus Macan kumbang, Macan tutul 51 Panthera tigris sondaica Harimau Jawa 52 Panthera tigris sumatrae Harimau Sumatera 53 Petaurista elegans Cukbo, Bajing terbang 54 Phalanger spp. Kuskus (semua jenis dari genus Phalanger) 55 Pongo pygmaeus Orang utan, Mawas 56 Presbitys frontata Lutung dahi putih 57 Presbitys rubicunda Lutung merah, Kelasi 58 Presbitys aygula Surili 59 Presbitys potenziani Joja, Lutung Mentawai 60 Presbitys thomasi Rungka 61 Prionodon linsang Musang congkok

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

62 Prochidna bruijni Landak Irian, Landak semut 63 Ratufa bicolor Jelarang 64 Rhinoceros sondaicus Badak Jawa 65 Simias concolor Simpei Mentawai 67 Tarsius spp. Binatang hantu, Singapuar (semua jenis dari genus Tarsius) 68 Thylogale spp. Kanguru tanah (semua jenis dari genus Thylogale) 69 Tragulus spp. Kancil, Pelanduk, Napu (semua jenis dari genus Tragulus) 70 Ziphiidae Lumba-lumba air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae)

2) AVES (Burung)

71 Accipitridae Burung alap alap, Elang (semua jenis dari famili Accipitridae) 72 Aethopyga exima Jantingan gunung 73 Aethopyga duyvenbodei Burung madu Sangihe 74 Alcedinidae Burung udang, Raja udang (semua jenis dari famili Alcedinidae) 75 Alcippe pyrrhoptera Brencet wergan 76 Anhinga melanogaster Pecuk ular 77 Aramidopsis plateni Mandar Sulawesi 78 Argusianus argus Kuau 79 Bubulcus ibis Kuntul, Bangau putih 80 Bucerotidae

Julang, Enggang, Rangkong, Kangkareng (semua jenis dari famili Bucerotidae)

81 Cacatua galerita Kakatua putih besar jambul kuning 82 Cacatua goffini Kakatua gofin 83 Cacatua moluccensis Kakatua Seram 84 Cacatua sulphurea Kakatua kecil jambul kuning 85 Cairina scutulata Itik liar 86 Caloenas nicobarica Junai, Burung mas, Minata 87 Casuarius bennetti Kasuari kecil 89 Casuarius unappenddiculatus Kasuari gelambir satu, Kasuari leher kuning 90 Ciconia episcopus Bangau hitam, Sandanglawe 91 Colluricincla megarhyncha Burung sohabe coklat 92 Crocias albonotatus Burung matahari 93 Ducula whartoni Pergam raja 94 Egretta sacra Kuntul karang 95 Egretta spp. Kuntul, Bangau putih (semua jenis dari genus Egretta) 96 Elanus caerulleus Alap-alap putih, Alap-alap tikus 97 Elanus hypoleucus Alap-alap putih, Alap-alap tikus 98 Eos histrio Nuri Sangir 99 Esacus magnirostris Wili-wili, Uar, Bebek laut 100 Eutrichomyias rowleyi Seriwang Sangihe 101 Falconidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Falconidae) 102 Fregeta andrewsi Burung gunting, Bintayung 103 Garrulax rufifrons Burung kuda

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

104 Goura spp. Burung dara mahkota, Burung titi, Mambruk (semua jenis dari genus Goura)

105 Gracula religiosa mertensi Beo Flores 106 Gracula religiosa robusta Beo Nias 107 Gracula religiosa venerata Beo Sumbawa 108 Grus spp. Jenjang (semua jenis dari genus Grus) 109 Himantopus himantopus Trulek lidi, Lilimo 110 Ibis cinereus Bluwok, Walangkadak 111 Ibis leucocephala Bluwok berwarna 112 Lorius roratus Bayan 113 Leptoptilos javanicus, Marabu Bangau tongtong 114 Leucopsar rothschildi Jalak Bali 115 Limnodromus semipalmatus Blekek Asia 116 Lophozosterops javanica Burung kacamata leher abu-abu 117 Lophura bulweri Beleang ekor putih 118 Loriculus catamene Serindit Sangihe 119 Loriculus exilis Serindit Sulawesi 120 Lorius domicellus Nori merah kepala hitam 121 Macrocephalon maleo Burung maleo 122 Megalaima armillaris Cangcarang 123 Megalaima corvina Haruku, Ketuk-ketuk 124 Megalaima javensis Tulung tumpuk, Bultok Jawa 125 Megapoddidae Maleo, Burung gosong (semua jenis dari famili Megapododae) 126 Megapodius reintwardtii Burung gosong 127 Meliphagidae Burung sesap, Pengisap madu (semua jenis dari famili

Meliphagidae) 128 Musciscapa ruecki Burung kipas biru 129 Mycteria cinerea Bangau putih susu, Bluwok 130 Nectariniidae Burung madu, Jantingan, Klaces (semua jenis dari famili

Nectariniidae) 131 Numenius spp. Gagajahan (semua jenis dari genus Numenius) 132 Nycticorax caledonicus Kowak merah 133 Otus migicus beccarii Burung hantu Biak 134 Pandionidae Burung alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Pandionidae) 135 Paradiseidae Burung cendrawasih (semua jenis dari famili Paradiseidae) 136 Pavo muticus Burung merak 137 Pelecanidae Gangsa laut (semua jenis dari famili Pelecanidae) 138 Pittidae Burung paok, Burung cacing (semua jenis dari famili Pittidae) 139 Plegadis falcinellus Ibis hitam, Roko-roko 140 Polyplectron malacense Merak kerdil 141 Probosciger aterrimus Kakatua raja, Kakatua hitam 142 Psaltria exilis Glatik kecil, Glatik gunung 143 Pseudibis davisoni Ibis hitam punggung putih 145 Ptilonorhynchidae Burung namdur, Burung dewata

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

146 Rhipidura euryura Burung kipas perut putih, Kipas gunung 147 Rhipidura javanica Burung kipas 148 Rhipidura phoenicura Burung kipas ekor merah 149 Satchyris grammiceps Burung tepus dada putih 150 Satchyris melanothorax Burung tepus pipi perak 151 Sterna zimmermanni Dara laut berjambul 152 Sternidae Burung dara laut (semua jenis dari famili Sternidae) 153 Sturnus melanopterus Jalak putih, Kaleng putih 154 Sula abbotti Gangsa batu aboti 155 Sula dactylatra Gangsa batu muka biru 156 Sula leucogaster Gangsa batu 157 Sula sula Gangsa batu kaki merah 158 Tanygnathus sumatranus Nuri Sulawesi 159 Threskiornis aethiopicus Ibis putih, Platuk besi 160 Trichoglossus ornatus Kasturi Sulawesi 161 Tringa guttifer Trinil tutul 162 Trogonidae Kasumba, Suruku, Burung luntur 163 Vanellus macropterus Trulek ekor putih

3) REPTILIA (Melata)

164 Batagur baska Tuntong 165 Caretta caretta tempayan Penyu 166 Carettochelys insculpta Kura-kura Irian 167 Chelodina novaeguineae Kura Irian leher panjang 168 Chelonia mydas Penyu hijau 169 Chitra indica Labi-labi besar 170 Chlamydosaurus kingii Soa payung 171 Chondropython viridis Sanca hijau 172 Crocodylus novaeguineae Buaya air tawar Irian 173 Crocodylus porosus Buaya muara 174 Crocodylus siamensis Buaya siam 175 Dermochelys coriacea Penyu belimbing 176 Elseya novaeguineae Kura Irian leher pendek 177 Eretmochelys imbricate Penyu sisik 178 Gonychephalus dilophus Bunglon sisir 179 Hydrasaurus amboinensis Soa-soa, Biawak Ambon, Biawak pohon 180 Lepidochelys olivacea Penyu ridel 181 Natator depressa Penyu pipih 182 Orlitia borneensis Kura-kura gading 183 Python molurus Sanca bodo 184 Phyton timorensis Sanca Timor 185 Tiliqua gigas Kadal Panan 186 Tomistoma schlegelii Senyulong, Buaya sapit

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

187 Varanus borneensis Biawak Kalimantan 188 Varanus gouldi Biawak coklat 189 Varanus indicus Biawak Maluku 190 Varanus komodoensis Biawak komodo, Ora 191 Varanus nebulosus Biawak abu-abu 192 Varanus prasinus Biawak hijau 193 Varanus timorensis Biawak Timor 194 Varanus togianus Biawak Togian

4) INSECTA (Serangga)

195 Cethosia myrina Kupu bidadari 196 Ornithoptera chimaera Kupu sayap burung peri 197 Ornithoptera goliath Kupu sayap burung goliat 198 Ornithoptera paradisea Kupu sayap burung surga 199 Ornithoptera priamus Kupu sayap priamus 200 Ornithoptera rotschldi Kupu burung rotsil 201 Ornithoptera tithonus Kupu burung titon 202 Trogonotera brookiana Kupu trogon 203 Troides amphrysus Kupu raja 204 Troides andromanche Kupu raja 205 Troides criton Kupu raja 206 Troides haliphron Kupu raja 207 Troides helena Kupu raja 208 Troides hypolitus Kupu raja 209 Troides meoris Kupu raja 210 Troides miranda Kupu raja 211 Troides plato Kupu raja 212 Troides rhadamantus Kupu raja 213 Troides riedeli Kupu raja 214 Troides vandepolli Kupu raja

5) PISCES (Ikan)

215 Homaloptera gymnogaster Selusur Maninjau 216 Latimeria chalumnae Ikan raja laut 217 Notopterus spp. Belida Jawa, Lopis Jawa (semua jenis dari genus Notopterus) 218 Pritis spp. Pari Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis) 219 Puntius microps Wader goa 220 Scleropages formasus Peyang malaya, Tangkelasa 221 Scleropages jardini Arowana Irian, Peyang Irian, Kaloso

6) ANTHOZOA

222 Anthiphates spp. Akar bahar, Koral hitam (semua jenis dari genus Anthiphates)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

7) BIVALVIA

223 Birgus latro Ketam kelapa 224 Cassis cornuta Kepala kambing 225 Charonia tritonis Triton terompet 226 Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku beruang 227 Hippopus porcellanus Kima Cina 228 Nautilus popillius Nautilus berongga 229 Tachipleus gigas Ketam tapak kuda 230 Tridacna crocea Kima kunia, Lubang 231 Tridacna gigas Kima raksasa 232 Tridacna maxima Kima kecil 234 Tridacna squamosa Kima sisik, Kima seruling 235 Trochus niloticus Troka, Susur bundar 236 Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau

Sumber : Lampiran PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Satwa dan

Tumbuhan

Dari penggolongan yang sudah ditetapkan tersebut sewaktu-waktu

bisa berubah ststusnya dari yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan

sebaliknya dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi, sesuai kriteria atau

pertimbangan yang ditetapkan oleh Peraturan pemerintah ini. Daftar jenis

satwa diatas di data pada bulan Januari tahun 1999.

Jenis-jenis satwa yang termuat dalam lampiran Peraturan Pemerintah

tersebut menjadi batasan pengertian satwa yang dilindungi pada Pasal 21 ayat

(2) Undang-Undang Konservasi, sehingga aturan menjadi jelas yakni adanya

larangan memiliki, memelihara dan menyimpan satwa yang dilindungi yang

dimaksud ialah satwa-satwa yang terdapat atau terdaftar dalam lampiran

peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tersebut. Di luar daftar satwa

dilindungi tersebut bebas untuk dipelihara tetapi juga harus dengan kontrol

dan pengendalian yang baik sehingga statusnya tidak berubah menjadi

dilindungi.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

Untuk lebih jelasnya mengetahui apa isi dari ketentuan Pasal 21 ayat (2)

maka penulis akan coba menjabarkannya dengan mencari unsur-unsur dari

ketentuan tersebut

Unsur dari Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi :

a. Unsur tindak pidana pada huruf a.

1) menangkap,

2) melukai,

3) membunuh,

4) menyimpan,

5) memiliki,

6) memelihara,

7) mengangkut, dan

8) memperniagakan

9) satwa yang dilindungi

10) dalam keadaan hidup;

b. Unsur tindak pidana pada huruf b.

1) menyimpan,

2) memiliki,

3) memelihara,

4) mengangkut, dan

5) memperniagakan

6) satwa yang dilindungi

7) dalam keadaan mati;

c. Unsur tindak pidana pada huruf c.

1) mengeluarkan

2) satwa yang dilindungi

3) dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar

Indonesia;

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

d. Unsur tindak pidana pada huruf d.

1) memperniagakan,

2) menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa

yang dilindungi atau

3) barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut

4) atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain

di dalam atau di luar Indonesia;

e. Unsur tindak pidana pada huruf e.

1) mengambil,

2) merusak,

3) memusnahkan,

4) memperniagakan,

5) menyimpan atau memiliki

6) telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Apabila merujuk pada unsur-unsur tersebut maka tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi yang dimaksud sangat luas, bukan hanya

berarti secara harafiah yakni dalam hal menyimpan, memiliki dan memelihara

satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup seperti yang tercantum dalam

Pasal 21 ayat (2) huruf a, tetapi lebih dari itu yang juga tercantum pada huruf

b,d dan e yakni menyimpan, memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi

dalam keadaan mati atau hanya kulit, tubuh dan bagian-bagaiannya. Selain

daripada itu menyimpan atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang

dilindungi juga merupakan bagian dari tindak pidana kepemilikan satwa yang

dilindungi yang kesemua tindakan tersebut memiliki sanksi yang tegas dan

jelas bagi para pelanggarnya yang tercantum dalam pasal 40 ayat (2) yakni

dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

Sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana hanya ditujukan untuk

pelanggaran terhadap aturan bagi jenis-jenis yang dilindungi, sedangkan

untuk yang tidak dilindungi belum ada pengaturan mengenai sanksi

hukumnya. Sedangkan secara internasional CITES mewajibkan negara

anggota untuk dapat memberikan sanksi hukum yang berkaitan dengan jenis-

jenis yang termasuk appendix CITES, yang banyak diantaranya tidak

dilindungi (Budi Riyanto dkk, 2004 : 9).

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) atau

konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan

satwa liar, adalah merupakan kesepakatan internasional antara pemerintah

(negara) dengan tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional

tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam keberadaan hidup tumbuhan dan

satwa liar. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan

Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Cites menetapkan Tumbuhan dan

Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori perlakuan perlindungan dari

eksploitasi perdagangan yaitu appendices I, appendices II, dan appendices III :

( http ___ blogmhariyanto _blogspot_ com_ 2009 _ 10 _cites-convention-on-

international-trade_html. Tangal 19 September 2009, pukul 21.00 WIB).

1. Appendices I , memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies

tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan

internasional secara komersial,

2. Appendices II , memuat Lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam

kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan

terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,

3. Appendices III, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah

dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya,

dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II,

bahkan mungkin ke Appendix I

2. Perspektif Pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dalam hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan kodifikasi

dari hukum pidana di Indonesia yang tersusun secara sistematis di dalam

suatu buku Undang-Undang dan dijadikan patokan atau tolak ukur pertama

ketika terjadi suatu kejahatan dan pelanggaran.

Dalam KUHP tidak terdapat Pasal yang memenuhi unsur kepemilikan

satwa yang dilindungi, tetapi ada beberapa Pasal yang berkaitan dengan

penganiayaan hewan dan kepemilikan satwa pada umumnya, yang bisa kita

lihat dalam Pasal 302 dan Pasal 490

Pasal 302 KUHP

(1) diancam dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan :

ke-1 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya;

ke-2 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya

(2) jika perbuatan tersebut mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

(3) Jika hewan kepunyaan yang bersalah, maka hewan dapat dirampas (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

Unsur pasal di atas lebih mengarah ke bagaimana satwa atau hewan

peliharaan diperlakukan, bahkan ketika seseorang yang mempunyai hewan

peliharaan lalai dalam memberi makan pada hewan pemeliharaannya orang

tersebut dapat dikenai sanksi pidana, belum lagi apabila karena perbuatannya

satwa atau hewan tersebut menjadi sakit, atau bahkan sampai mati, maka

ancaman sanksinya pun menjadi lebih berat.

Pasal 490 KUHP Diancam dengan kurungan paling lama enam hari, atau denda paling banyak dua puluh rupiah : ke-1 barangsiapa menghasut binatang terhadap orang atau hewan yang

sedang dinaiki atau dimuati barang; ke-2 barangsiapa tidak mencegah binatang yang ada dibawah

penjagaannya, waktu menyerang orang atau hewan yang dinaiki atau dimuati barang;

ke-3 barangsiapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada dibawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;

ke-4 barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.

Ketentuan Pasal ini tidak masuk dalam buku II KUHP tentang kejahatan

tetapi masuk dalam buku III KUHP tentang Pelanggaran. Unsur dari Pasal ini

hampir sama dengan Pasal 302 KUHP yakni tentang bagaimana hewan

peliharaan yang menjadi tanggung jawab seseorang diperlakukan, bedanya

ketentuan ini lebih mengarah ke bagaimana satwa atau hewan peliharaan yang

dimiliki tidak menggangu ketertiban umum.

Apabila kita lihat dalam ketentuan yang ke-4 dalam Pasal 490, unsur-

unsur yang terkandung di dalamnya memuat bagaimana seseorang yang

memelihara hewan atau satwa buas memerlukan izin dari polisi atau pihak

yang berwenang. Sehingga apabila hal ini dikaitkan dengan tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi paling tidak terdapat korelasi dalam hal

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

perizinan kepemilikan satwa, bedanya dalam ketentuan ini hewan yang

dimaksud adalah hewan buas yang batasannnya masih terlalu luas seperti apa

hewan buas itu, yang menjadi inti dari ketentuan ini adalah bagaimana

seseorang yang memiliki hewan buas menjaga dan merawatnya sedemikian

rupa agar tidak menggangu ketertiban umum. Sedang dalam tindak pidana

kepemilikan satwa dilindungi yang menjadi tujuan utama adalah upaya

konservasi yang mengarah agar supaya satwa-satwa khas atau yang dilindungi

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak punah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam KUHP tidak ada aturan yang

khusus mnegatur tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, dalam

Kitab Undang-undang ini hanya mengatur tanggung jawab dari para

pemelihara hewan peliharaan untuk menjaga dan merawatnya sebaik mungkin

agar tidak menggangu lingkungan sekitar dan tidak sampai menimbulkan

korban bagi manusia.

Dilihat dari sanksinya pun sudah tidak terlalu mengigit atau memberikan

efek jera bagi pelaku, dikarenakan ancaman penjara dan denda yang sudah

tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

3. Perspektif Pengaturan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang

Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi

Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati ) dalam

hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Konvensi Keanekaragaman Hayati yang selanjutnya disebut Konvensi,

dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological

Diversity. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau

kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini

diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

Dengan meratifikasi Konvensi ini, Indonesia akan memperoleh manfaat

berupa (Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang

Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity) :

a. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia

peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut

bidang keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab

menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa

Indonessia pada khususnya;

b. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap alih

teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang

adil dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

nasional;

c. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang

diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari dan meningkatkan nilai

tambah keanekaragaman hayati Indonesia dengan mengembangkan

sumber daya genetik;

d. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati

Indonesia sehingga dalam pemanfaatannya Indonesia benar-benar

menerapkan Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti yang

diamanatkan dalam GBHN 1993;

e. Jaminan Pemerintah Indonesia dapat menggalang kerja sama di bidang

teknis ilmiah baik antar sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta,

di dalam dan di luar negeri, memadukan sejauh mungkin pelestarian dan

pemanfaatan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan

kebijakan baik secara sektoral maupun lintas sektoral;

f. Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga Indonesia tidak

dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme yang telah direkayasa secara

bioteknologi oleh negara-negara lain;

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

g. Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan pengembangan

keanekaragaman hayati Indonesia;

h. Pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan kemampuan

dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, meliputi :

1) Penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik in-situ

maupun ex-situ;

2) Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial budaya maupun

ekonomi untuk upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari;

3) Pertukaran Informasi;

4) Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan peningkatan

peran serta masyarakat.

Dengan meratifikasi Konvensi ini, tidak akan kehilangan kedaulatan atas

sumber daya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena Konvensi

ini tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum Internasional, mempunyai hak berdaulat

untuk memanfaatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati secara

bekelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan

kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak

merusak lingkungan (Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994

tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity).

Berkaitan dengan pengaturan tindak pidana kepemilikan satwa yang

dilindungi, dalam Undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara jelas

dan khusus mengaturnya. Di karenakan Undang-Undang ini berisi tentang

bagaimana upaya yang dilakukan oleh Negara-negara di dunia khususnya

Negara anggota yang meratifikasi konvensi ini untuk menjaga

keanekaragaman hayati sebagai wujud dari kegaiatan Konservasi Sumber

Daya Alam.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

Terlihat dari tujuan yang hendak dicapai dengan adanya konvensi ini

yakni, konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-

komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan

dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk

melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih

teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas

sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang

memadai. (Pasal 1 Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati).

Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa dalam Undang-Undang ini

tidak ada ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana kepemilikan satwa

yang dilindungi.

4. Perspektif Pengaturan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam hal Tindak

Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Undang-undang ini masih sangat baru karena terbit dan diundangkan

beberapa saat lalu pada tanggal 3 Oktober 2009, menggantikan Undang-

Undang yang lama Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup yang merupakan payung hukum bagi persoalan lingkungan di negara

ini yang berarti akan menaungi beberapa Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah yang mengatur lingkungan hidup.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang lingkungan yang baru

Nomor 32 Tahun 2009 dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yakni

terletak pada adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini

tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum

mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan

keadilan (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Pada Pasal 3 Undang-Undang ini tercantum tujuan Perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang diantaranya :

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian

ekosistem;

d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan;

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Apabila dikaitkan dengan konservasi sumber daya alam hayati yang di

dalamnya mengatur perlindungan, pengawasan dan kelangsungan hidup flora

dan fauna di Indonesia yang secara khusus juga mengatur kepemilikan satwa,

dalam Undang-Undang ini tidak di atur secara rigit dan terperinci.

Pandangan tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati yang

tercantum dalam ketentuan umum butir 18 Undang-Undang ini adalah

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara

bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Kegiatan konservasi sumber daya alam masuk dalam salah satu upaya

pemeliharaan lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal 57 Undang-

Undang ini yang berarti, upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan

lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Konservasi

sumber daya alam sendiri meliputi, konservasi sumber daya air, ekosistem

hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan

ekosistem karst. Kegiatan koservasi sumber daya alam tersebut meliputi,

perlindungan sumber daya alam, pengawetan sumber daya alam, dan

pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

Merujuk pada ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-undang ini yang

berbunyi :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dari bunyi pasal tersebut apabila dikaitkan dengan tindak pidana kepemilikan

satwa yang dilindungi, maka bisa juga pelaku yang mengambil langsung

satwa yang dilindungi dari alam liar untuk dimiliki atau dipelihara yang

berakibat pada rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan yang

berujung pada tindakan kerusakan lingkungan yang melampaui baku

kerusakan lingkungan hidup, dapat diancam dengan sanksi diatas.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

Dalam Undang-Undang Lingkungan hidup ini tidak ada aturan atau

ketentuan khusus yang mengatur masalah tindak pidana kepemilikan satwa

yang dilindungi, dilihat dari substansinya undang-undang ini mengatur secara

global dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terutama

masalah lingkungan yang langsung bersinggungan dengan kehidupan manusia

seperti pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh manusia.

5. Perspektif Pengaturan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan dalam hal Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang

Dilindungi

Kehutanan menurut ketentuan umum dalam Undang-undang ini adalah

sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan

hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan hutan adalah

suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang

proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,

fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,

sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan

keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi

serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Undang-Undang Kehutanan ini mempunyai esensi tentang bagaimana

pemanfaatan hutan dan hasil hutan tanpa mengabaikan konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan hutan dan hasil

hutan dapat terkontrol.

Walaupun tidak secara eksplisit mengatur tentang tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi, tetapi ada upaya untuk menjaga dan

melindungi satwa yang dilindungi maupun tidak dilindungi dengan

menetapkan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya, yang salah satu

fungsinya adalah untuk upaya konservasi yakni menetapkan kawasan hutan

konservasi, yang didalamnya terbagi menjadi kawasan hutan suaka alam,

kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.

Selain hal itu ada ketentuan lain yang mengatur tentang satwa dalam

Pasal 50 ayat (3) huruf m yakni, larangan untuk mengeluarkan, membawa,

dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi

undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang

berwenang. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan

dari Pasal ini bukan merupakan kejahatan tetapi berupa pelanggaran,

tercantum dalam Pasal 78 ayat (13).

Pada ayat (4) pada Pasal yang sama yakni Pasal 50 juga terdapat

ketentuan yang sama dengan ketentuan diatas, yang membedakan adalah dari

segi satwa di mana satwa yang dimaksud adalah satwa yang dilindungi tetapi

tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

Apabila menganalogi ketentuan dari Pasal 50 ayat (3) huruf f yang

berbunyi larangan untuk menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,

menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau

patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara

tidak sah. Dengan ancaman pidana paling lama penjara 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Merujuk

pada kata hasil hutan tersebut dalam ketentuan umum diartikan sebagai

benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari

hutan. Maka bisa juga hasil hutan diartikan sebagai satwa yang dilindungi

sehingga apabila diakaitkan dengan kepemilikan satwa yang dilindungi

sangatlah erat hubungannya bahkan ketentuan tersebut bisa juga digunakan

untuk menjerat pelaku, dengan syarat pelaku mengambil langsung dari

kawasan hutan tersebut kemudian menyimpan dan memilikinya atau

memeliharanya.

B. Kepemilikan Atau Pemeliharaan Satwa yang Dilindungi Secara Sah dan

Tidak Melanggar Hukum

Sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka sejak saat

itu pula departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam

tidak lagi mengeluarkan izin kepemilikan satwa yang dilindungi bagi perorangan

atau badan hukum (http://www.iwf.or.id/Izin%20Pemeliharaan%20Satwa-

KP.htm, tanggal 20 November 2009 pukul 10.00 WIB).

Hal tersebut merujuk pada Pasal 22 Undang-Undang Konservasi yang

memuat tentang pengecualian atau bisa dikatakan sebagai alasan pembenar

dilakukannya tindakan kepemilikan satwa yang dilindungi, dengan alasan untuk

keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan

dan satwa yang bersangkutan.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

Dampak lain yang timbul akibat keluarnya Undang-Undang konservasi pada

tahun 1990 adalah Menteri Kehutanan pada masa itu mengeluarkan Surat

Keputusan Menhut No. 301/Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa Liar

Dilindungi Yang Dimiliki Perorangan dan Bagian-Bagiannya. Di mana yang

menjadi substansi dari Kepmen tersebut ialah pendataan atau inventarisasi bagi

para pemilik satwa yang dilindungi dan kemudian mengubah status satwa

dilindungi tersebut dari hak milik dirubah menjadi satwa titipan atau hanya

sekedar dititipkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu bisa

diambil oleh badan yang berwenang untuk selanjutnya di rehabilitasi di PPS

(Pusat Penyelamatan Satwa) yakni, sebuah lembaga untuk menampung satwa

dilindungi hasil sitaan aparat keamanan dari masyarakat yang

memperdagangkannya atau memilikinya sebagai hewan piaraan. Setelah itu

apabila memungkinkan dan siap untuk dilepas di alam liar maka dilepaslah satwa

dilindungi tersebut, dan apabila ternyata satwa tersebut tidak layak untuk dilepas

di alam liar maka akan dilakukan tindakan lain seperti dititipkan di lembaga

konservasi.

Sampai sekarang belum sepenuhnya satwa titipan tersebut diambil,

dikarenakan terdapat kendala dalam hal biaya dan juga sarana, sebab daya

tampung PPS juga terbatas jadi selama satwa-satwa titipan tersebut terpelihara

dengan baik tidak menjadi masalah, apalagi setelah berakhirnya kerjasama antara

Departemen Kehutanan dengan The Gibbon Foundation pada September 2006

yang salah satu kesepakatannya ialah The Gibbon Foundation akan membangun

beberapa PPS di Indonesia untuk mendukung upaya penegakan hukum dalam

memberantas perdagangan dan kepemilikan satwa liar secara illegal di daerah

Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dampak dari putusnya kerjasama

tersebut maka keadaan satwa yang ditampung di PPS semakin mengkhawatirkan.

(http://environmentalism.wordpress.com /2006/11/12/ pengelolaan -satwa-

dilindungi-di-indonesia, pada tanggal 15 Agustus 2009 Pukul 23.00 WIB).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

Dalam kaitannya boleh tidaknya seseorang atau badan hukum menyimpan,

memelihara atau memiliki satwa dilindungi, hal tersebut diperbolehkan dengan

mengacu pada ketentuan dan syarat yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar

Salah satunya dengan melakukan penangkaran atau membeli satwa

dilindungi dari penangkaran. Penangkaran sendiri berarti upaya perbanyakan

melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan

tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Tujuan yang ingin didapat adalah

mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar dalam jumlah, mutu, kemurnian

jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan

sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi di alam

Dalam hal penangkaran, satwa yang hendak ditangkarkan dapat diambil

langsung di alam liar dan sumber-sumber lain yang sah dengan ketentuan yang

berlaku dan atas izin menteri Kehutanan, hal ini tercantum dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan

Satwa liar pada Pasal 8, apabila seseorang melanggar ketentuan tersebut maka

dikenai sanksi yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (3), dengan serta merta dapat

dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40.000.000,00 (empat

puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan

pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 7 ayat (1),(2)

penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan :

a. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam

lingkungan yang terkontrol

b. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.

c. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang

dilindungi atau yang tidak dilindungi.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

Siapa saja baik perorangan atau badan hukum, koperasi dan lembaga

konservasi diperbolehkan untuk melakukan penangkaran dengan atas izin dari

Menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, dengan syarat-syarat yang

tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 15 ayat (1) dan (2) sebagai

berikut :

a. mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli di bidang penangkaran jenis yang

bersangkutan;

b. memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat

teknis;

c. membuat dan menyerahkan proposal kerja.

Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban

untuk:

a. membuat bukti induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan;

b. melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis

yang ditangkarkan;

c. membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah.

Disamping itu penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas

hasil tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan. (Pasal 14 ayat (1))

Apabila ketentuan diatas tidak dilakukan maka dapat dikenai sanksi yang

tercantum dalam Pasal 55 yakni, dapat dihukum denda administrasi sebanyak-

banyaknya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin

usaha penangkaran.

Selain izin untuk melakukan penangkaran seseorang, badan hukum,

koperasi atau lembaga konservasi juga diberi izin untuk menjual hasil

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

penangkarannya dengan standar kualifikasi yang sudah ditetapkan, dengan

pertimbangan (PP Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 9 ayat (1),(2),(3)) :

a. batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran;

b. profesionalisme kegiatan penangkaran;

c. tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan.

Dalam melakukan penangkaran satwa liar izin dari pemerintah dalam hal ini

Departemen Kehutanan mutlak harus ada, apabila izin tidak ada dapat dikenai

sanksi berupa denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (dua

puluh lima juta rupiah) dan atau pencabutan izin penangkaran. Untuk

penangkaran yang dilakukan terhadap tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi

dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya dengan sanksi penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (PP Nomor 8

Tahun 1999 Pasal 52 ayat (1) dan (2)).

Sedang untuk penangkaran satwa liar yang dilindungi dalam

memperdagangkan hasil tangkarannya ada syarat yang harus dipenuhi yakni (PP

Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 11 ayat (1),(2)) :

a. Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk

keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi

berikutnya.

b. Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa

liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi.

Mengacu pada ketentuan tersebut apabila seseorang ingin memelihara satwa

yang dilindungi dapat melakukannya dengan jalan menangkarkannya atau dapat

membeli dari penangkaran satwa dilindungi generasi kedua dan berikutnya.

Sehingga tetap terjaga kemurnian dan populasinya. Apabila nyata terbukti

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

penangkar melanggar ketentuan tersebut diatas maka, dihukum karena melakukan

perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 54 ayat (1), dalam

ayat (2) ditambahkan sanksi administrasi berupa denda Rp. 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan pencabutan izin penangkaran.

Ada pengecualian dalam hal memperdagangkan satwa liar yang dilindungi,

pada jenis tertentu hanya boleh untuk ditangkarkan tidak untuk diperdagangkan.

Hal ini tercantum dalam Pasal 11 PP Nomor 8 Tahun 1999 satwa dilindungi yang

tidak boleh diperdagangkan menurut PP tersebut diantaranya :

a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi);

b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa);

c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus);

d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis);

e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis);

f. Cendrawasih (seluruh jenis dari famili Paradiseidae);

g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi);

h. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae);

i. Lutung Mentawai (Presbytis Potenziani);

j. Orangutan (Pongo pygmaeus);

k. Owa Jawa (Hylobates moloch).

Sehingga apabila kita melihat seseorang, badan hukum, koperasi atau

lembaga konservasi yang menyimpan, memiliki dan/atau memelihara satwa-satwa

diatas tanpa ada keterangan yang jelas tentang asal usul satwa tersebut, atau

mereka berdalih membeli dari penangkaran maka ia melakukan tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi sebagaimana yang diatur dalam Undang-

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

Undang konservasi Pasal 1 ayat (2) dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan

Jenis Tumbuhan dan Satwa liar juga mengatur mengenai pemeliharaan satwa

untuk kesenangan, tetapi hanya untuk jenis satwa yang tidak dilindungi. Pada

Pasal 40 daiatur mengenai kewajiban dari seseorang yang hendak memelihara

satwa untuk kesenangan yang diantaranya :

a. memelihara kesehatan, kenyamanan, dan keamanan jenis tumbuhan atau

satwa liar peliharaannya;

b. menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis

tumbuhan dan satwa liar.

Apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan maka dapat pula dikenai sanksi

yang tercantum dalam Pasal 62 yakni dapat dihukum denda administrasi

sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan

atas satwa yang dipelihara.

C. Kapasitas Pengaturan dan Penegakkan Hukum Konservasi Sumber Daya

Alam Khususnya dalam Tindak Pidana Kepemilikan Satwa yang Dilindungi

Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan

aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya

tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum

bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat

mempunyai peran yang amat penting dalam hal menegakkan hukum.

Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu

sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa

banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam

beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa.

Tidak dipungkiri keadaan alam dan isinya ini mempunyai pengaruh yang

besar terhadap kehidupan manusia, misalnya pemanfaatan hutan yang tidak

terkontrol adanya illegal logging yang tidak terkendali menyebabkan bencana

alam yang merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Dalam hal mengatur konservasi sumber daya alam pemerintah pada tanggal

10 agustus telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, yang menjadi acuan

atau dasar berpijak bagi kegiatan konservasi di negara ini, termasuk dalam hal

penegakan hukumnya.

Dalam hal penegakan hukum konservasi khususnya dalam hal kepemilikan

satwa yang dilindungi kadang terbentur dengan budaya yang hidup, tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang senang memelihara

satwa yang berdampak pada perburuan satwa yang terkadang kelewat batas yang

berpengaruh pada populasi satwa di alam liar termasuk perburuan satwa yang

tergolong dilindungi. Semakin langka satwa tersebut maka semakin tinggi pula

nilai ekonominya dan semakin banyak orang yang berkeinginan memilikinya.

Kepemilikan satwa dilindungi diatur jelas dalam Undang-undang Nomor 5

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

pada Pasal 21 ayat (2) huruf a, b, d dan e :

Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,

mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.

Dengan ketentuan pidana yang tercantum pada Pasal 40 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berbunyi : ”Barangsiapa dengan sengaja

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus

juta rupiah).”

Penegakan hukum konservasi tidak saja menggunakan hukum pidana tetapi

juga menggunakan hukum administrasi negara, hal ini bisa dilihat dalam hal

perizinan yang harus dipenuhi oleh seseorang atau badan hukum yang

berkeinginan untuk memiliki atau memelihara satwa yang dilindungi yang syarat

dan ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999

tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar

Dengan aturan yang jelas dan sanksi yang tegas seperti yang tercantum

dalam ketentuan diatas, bukan berarti pelanggaran kepemilikan satwa dilindungi

sedikit justru banyak pelanggaran yang terjadi dan dapat kita lihat disekitar kita,

apabila kita pergi ke pasar burung atau hewan peliharaan disitu ada beberapa

satwa dilindungi yang tidak jelas asal usulnya dan sertifikasinya. Dan fakta-fakta

lain yang menunjukkan banyaknya pelanggaran yang terjadi seperti fakta-fakta

berikut ini (http://www.profauna.org/content/id/fakta_satwa.html. tanggal 21

November Tahun 2009 pukul 12.00 WIB) :

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

1. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses

penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang

sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan satwa liar itu adalah kejam!

2. 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka

dan dilindungi undang-undang. Perdagangan satwa liar itu adalah tindakan

kejahatan!

3. 70% primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan

penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakityang diderita satwa itu bisa

menular ke manusia.

4. Lebih dari 100.000 burung paruh bengkok setiap tahunnya ditangkap dari

alam Papua dan Maluku. Penangkapan ini juga melibatkan oknum militer.

Sebagian besar burung tersebut adalah ditangkap secara ilegal dari alam.

5. Burung paruh bengkok (nuri dan kakatua) ditangkap dari alam dengan cara-

cara yang menyiksa dan menyakitkan satwa. Bulunya dicabuti agar tidak bisa

terbang.

6. Setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orangutan Kalimantan yang

diselundupkan ke Jawa dan juga luar negeri. Sebagian besar orangutan yang

diperdagangkan adalah masih bayi. Untuk menangkap seekor bayi orangutan,

pemburu harus membunuh induk orangutan itu yang akan mempertahankan

anaknya sampai mati.

7. Sekitar 3000 owa dan siamang setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan

di dalam negeri dan diselundupkan ke luar negeri.

Dari fakta tersebut menunjukkan lemahnya penegakan hukum konservasi di

Indonesia, juga lemahnya aparat penegak hukum secara kualitas maupun

kuantitas, kesadaran hukum masyarakat dan juga sarana dan prasarana yang tidak

memadai menjadi kendala utama.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

Sungguh sangat memprihatinkan melihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan

dalam hal pelanggaran kepemilikan satwa dilindungi, mengingat negara ini

sungguh kaya akan keanekaragaman hayatinya apabila pelanggaran terus terjadi

tanpa ada tindakan yang tegas dan nyata yang memberikan efek jera bagi pelaku

dan calon pelaku lalu bagaimana nasib satwa-satwa dilindungi yang populasinya

sudah menyusut.

Dalam perspektif yuridis, penegakan hukum konservasi satwa dilindungi

bukan menjadi perhatian atau prioritas utama baik bagi penegak hukum dan juga

akademisi, dikarenakan benda hukum yang menjadi objek pengaturan berbeda

dengan benda hukum yang diatur oleh hukum konvensional, dalam hukum

konvensional benda hukum yang dimaksud berkaitan dengan nyawa seseorang,

kepemilikan, harkat, martabat atau kehormatan dari seseorang, sedangkan dalam

hukum konservasi satwa dilindungi yang menjadi benda hukum adalah makhluk

hidup lain yang secara naluri menjaga keseimbangan alam di kawasan tertentu

yang tidak langsung berdampak pada diri manusia

Sebaliknya, perlindungan hukum terhadap lingkungan menjadi sangat

penting mengingat manusia merupakan salah satu unsur dalam mata rantai

kehidupan di bumi yang menyebabkan ketergantungan terhadap lingkungan biotik

maupun abiotik. Dari jurnal yang penulis kutip menyatakan bahwa masnusia dan

hewan hendaknya memiliki hak yang sama walaupun tidak sama persis dengan

manusia tetapi setidaknya adil bagi kita manusia dan adil bagi hewan sesuai

dengan kapasitas dan karakternya.

Justice may not require that animals be exactly the same as humans or that they have rights exactly coterminous with the rights of humans, but justice would require that animals receive protection in ways that match up with those similarities they share with humans that are characteristics considered essential to our understanding of what it means to be human. Stated generally, the argument is that if animals are similar to humans as to capacities and characteristics of humans that define humans, then animals

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

should receive protections equivalent to the protections of humans because a just society treats like entities alike ( Bryant, Taimie L. 2010).

Keadilan mungkin tidak mengharuskan binatang akan persis sama dengan manusia atau bahwa mereka punya hak persis berbatasan dengan hak-hak manusia, tetapi keadilan memerlukan adanya suatu perlindungan terhadap hewan dengan cara yang tepat dengan kesamaan yang ada pada diri manusia menurut pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, pada umumnya argument bahwa hewan sama dengan manusia dalam hal kapasitas dan karakteristik dengan manusia, maka harus mendapatkan perlindungan yang setara dengan manusia, karena masyarakat yang adil itu menghargai sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda walaupun tidak harus dalam bentuk fisik.

Beberapa hal yang menunjukkan kelemahan penegakan hukum konservasi

khususnya dalam tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi yang penulis

bagi menjadi beberapa faktor diantaranya :

1. Penerapan sanksi yang tidak sesuai pada kasus-kasus kepemilikan satwa

dilindungi yang diajukan ke pengadilan, untuk itu perlu adanya persamaan

persepsi antara aparat penegak hukum dengan masayarakat tentang

pentingnya menjaga dan melestarikan kehidupan alam liar, selama ini mereka

berpikiran bahwa masalah koservasi dianggap masalah yang biasa bukan

masalah yang serius dikarenakan dampak yang ditimbulkan tidak secara

langsung terjadi tetapi dalam kurun waktu yang lama.

2. Dari segi pelaku kebanyakan dari pejabat pemerintahan, aparat kepolisian,

aparat TNI yang notabene memiliki kedudukan dan kekuasaan sehingga

penegakkannyapun kental akan nuansa politik dan konspirasi.

3. Aparat penegak hukum yang khusus mengatur masalah konservasi kurang

memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas mengingat luas wilayah

yang sangat besar serta sarana dan prasarana yang juga kurang memadai

sebagai contoh PPS (Pusat Penyelamatan Satwa) yang tidak sesuai dengan

satndar

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

4. Pelaku yang dibiarkan lolos dengan dalih satwa dilindungi tersebut terpelihara

dengan baik.

5. Aparat yang berwenang hanya menyita satwa yang dilindungi tanpa adanya

proses peradilan padahal nyata-nyata pelaku memenuhi unsur tindak pidana

kepemilikan satwa dilindungi, hal ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku

maupun calon pelaku

6. Terbentur budaya yang berkembang dalam masyarakat yang gemar

memelihara satwa yang terkadang satwa dilindungipun juga menjadi sasaran,

perilaku seperti ini yang menyebabkan maraknya perburuan satwa dialam liar,

berdalih mencintai satwa padahal tindakannya jauh dari kata cinta.

7. Kurangnya sosialisasi mengenai jenis satwa apa saja yang dilindungi dan juga

tidak dilindungi, tindakan prefentif seperti sosialisasi atau melakukan

penyuluhan penting dilakukan seperti misalnya, memasang pamflet

memebagikannya kepada masayarakat, memasangnya di pasar burung atau

pasar hewan peliharaan.

Dari point-point tersebut menunjukkan penegakan hukum konservasi

khususnya dalam hal tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi lemah,

dalam tindak pidana konservasi kebanyakan pelaku berdalih dengan alasan

ketidak tahuan mereka itu sebabnya perlu adanya upaya pencegahan yang

dilakukan, entah itu melalui penyuluhan, penyebaran pamflet atau tindakan lain

guna menumbuhkan perhatian dan kesadaran masayarakat tentang pentingnya

upaya konservasi dumber daya alam.

Dilihat dari segi pengaturannyapun dalam Pasal 21 ayat (2) apabila kita

cermati lebih teliti, ketentuan tersebut menurut bahasa hukum kurang pas atau

tidak tepat, terlihat dalam penggunaan kata “dan”.

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

Kata “dan” dalam ketentuan tersebut apabila diartikan menurut sudut

pandang bahasa hukum berarti gabungan dari beberapa delik, menangkap,

melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan

memperniagakan merupakan delik yang sudah tergabung menjadi satu tidak

berdiri sendiri, hal ini bisa menjadi rancu kenapa tidak menggunakan kata

“dan/atau” atau kata “atau” yang apabila diartikan merupakan pilihan atau

alternatif jadi delik tersebut dapat berdiri sendiri bukan merupan delik gabungan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari segi pengaturan dan aparat

penegak hukum kurang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas dalam

menanggulangi permasalahan konservasi lingkungan khususnya dalam hal tindak

pidana kepemillikan satwa yang dilindungi di Negara ini.

Melihat ketentuan yang mengatur tentang kepemilikan satwa yang

dilindungi yang tercantum dalam Undang-Undang konservasi Sumber Daya Alam

berserta Peraturan Pemerintahnya, sungguh sangat disayangkan sanksi pidana

hanya ditujukan untuk pelanggaran terhadap aturan bagi jenis-jenis yang

dilindungi, sedangkan untuk yang tidak dilindungi belum ada ketentuan yang

mengatur padahal apabila tidak ada pengawasan yang baik dapat berubah

statusnya menjadi dilindungi mengingat populasinya di alam liar mulai menipis

yang mungkin diakibatkan karena perdagangan, kepemilikan satwa dan perburuan

illegal, selain itu tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kepemilikan satwa

yang dilindungi di mana satwa tersebut berasal dari luar Indonesia yang

dinegaranya dilindungi keberadaanya.

Ada lagi ketentuan yang rancu yang mengatur tentang satwa dilindungi,

dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi dikatakan salah satu upaya

penyelamatan satwa adalah dengan jalan pemberian dan penukaran jenis kepada

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

pihak luar negeri, apabila ditelaah dari segi ilmiah hal ini dapat berdampak negatif

bagi satwa tersebut di karenakan upaya ini tidak akan membantu pemulihan

populasi satwa di alam liar.

Terlepas dari kekurangan atau kelemahan yang ada dalam Undang-Undang

konservasi khususnya yang mengatur tentang kepemilikan satwa yang dilindungi,

setidaknya aturan yang sudah ada dapat menanggulangi dan memberikan efek jera

melalui sanksi yang ada bagi para pelaku maupun calon pelaku tindak pidana

kepemilikan satwa yang dilindungi, mengingat di negara ini memiliki

keanekaragaman hayati yang luar biasa kaya baik flora maupun fauna

Maka dari itu upaya konservasi keanekaragaman hayati harus mendapat

prioritas yang tinggi, apabila tidak ingin melihat kerusakan ekosistem, kepunahan

masal terhadap flora maupun fauna, serta hilangnya sumber daya genetik yang

belum sempat diketahui keberadaanya dan juga bagaimana memanfaatkannya.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id