Teori pemikiran politik islam

43
A. Pemikiran Politik Islam 1. Pengertian Politik a. Pengertian Politik Menurut Tokoh Yunani Dalam berbagai sumber menyebutkan bahwa politik mengandung arti yang penting dalam masyarakat, karena sejak dahulu masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam dan perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua masyarakat bahagia dan puas. Begitulah kiranya politik terjadi di masa lalu seperti yang telah disebutkan dalam buku Miriam Budiardjo. Banyak tokoh mendefinisikan mengenai politik ini, diantaranya filsuf Yunani Kuno yang paling berpengaruh seperti Plato dan Aristoteles. Mereka memiliki anggapan bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik yang terbaik. Hal tersebut hampir senada dengan yang dikatakan oleh Peter Merki. Bahwasannya Peter Merki mendefinisikan politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Sebagian besar filsuf beranggapan bahwa politik adalah suatu usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat yang dapat diterima untuk masa depan yang lebih harmonis. 1

Transcript of Teori pemikiran politik islam

A. Pemikiran Politik Islam

1. Pengertian Politik

a. Pengertian Politik Menurut Tokoh Yunani

Dalam berbagai sumber menyebutkan bahwa politik

mengandung arti yang penting dalam masyarakat, karena

sejak dahulu masyarakat mengatur kehidupan kolektif

dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi

terbatasnya sumber alam dan perlu dicari satu cara

distribusi sumber daya agar semua masyarakat bahagia

dan puas. Begitulah kiranya politik terjadi di masa

lalu seperti yang telah disebutkan dalam buku Miriam

Budiardjo.

Banyak tokoh mendefinisikan mengenai politik ini,

diantaranya filsuf Yunani Kuno yang paling berpengaruh

seperti Plato dan Aristoteles. Mereka memiliki anggapan

bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai

masyarakat politik yang terbaik. Hal tersebut hampir

senada dengan yang dikatakan oleh Peter Merki.

Bahwasannya Peter Merki mendefinisikan politik dalam

bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu

tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Sebagian

besar filsuf beranggapan bahwa politik adalah suatu

usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat

diterima oleh sebagian besar masyarakat yang dapat

diterima untuk masa depan yang lebih harmonis.

1

Definisi yang lebih spesifik kiranya dikemukakan

oleh Rod Hague dan Andrew Heywood.

Menurut Rod Hague : “Politik adalah kegiatan yang

menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-

keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk

mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya”.

Sedangkan menurut Andrew Heywood : “politik adalah

kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,

mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum

yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas dari gejala

konflik dan kerjasama”.1

b. Politik Islam (siyasah)

Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur

urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri.

Politik dilaksanakan baik oleh Negara (pemerintah)

maupun umat. Negara mengurus kepentingan umat semntara

umat melakukan koreksi terhadap pemerintah.

Sejak khalifah dihancurkan dan sistem politik ukur

diterapkan dinegri-negeri kaum muslimin, politik islam

tersingkir. Pada saat itulah masuk berbagai konsep

pemikiran politik barat yang ditegakan diatas ideologi

kapitalisme, ideologi yang memisahkan Agama dari

kehidupan yang harus dipahami sepnuhnya oleh umat Islam1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008,hlm.16

2

bahwa politik Islam tidak dapat diterapkan tanpa

tegaknya daulah khilafah; bahwa memisahkan politik

Islam dari kehidupan dan Agama berarti menghancurkan

Islam,sistem,dan hukum-hukumnya, serta memusnahkan

umat, nilai-nilai, peradaban, dan risalahnya.2 Secara

lughah politik (siyasah) berasal dari kata ‘sasa’,

‘yasusu’,’siyasatan’ yang berarti mengurus kepentingan

seseorang.

Menurut salah satu hadits menyebutkan “akan ada

para amir (penguasa), maka kalian ada yang mengakui

perbuatannya dan ada yang mengingkarinya. Siapa saja

yang mengakui perbuatannya (karna tidak bertentangan

dengan hukum syara), maka ia tidak diminta tanggung

jawabnya, dan siapa saja yang mengingkarinya

perbuatannya maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja

yang ridlo (dengan perbuatannya) yang bertentangan

dengan hukum syara) dan mengikutinya (maka dia berdosa)

para sahabat bertanya: apakah kita tidak memerangi

mereka? Beliau SAW menjawab: tidak selama mereka

menegakan solat (hukum-hukum islam). (HR.Muslim dari

Umu Salam ra).

Hadits diatas berkenaan dengan mengurus

kepentingan umat dan untuk saling menasehati; semua itu

menunjukan makna politik, yakni mengurus kepentingan

2 Abdul qadim zallum, pemikiran politik Islam, Jawa Timur: Al-izzah, 2001, hlm. 1

3

umat. Jadi definisi politik tersebut merupakan definisi

syar’i, yang berasal dari dalil-dalil syara.3

Adapun menurut Terminologi Ulama, pengertian fiqih

siayasah adalah sebagai berikut:

1.)  Menurut Ahmad Fathi, fiqih siyasah adalah

Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan

ketentuan syara (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah

al-jinaiyyah fi al-syari’at al-Islamiyah).

2.) Menurut Ibnu’Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu

al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah Perbuatan yang

membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan

(kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah

(keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak

menetapkannya dan wahyutidakmembimbingnya.

3.) Menurut Ibnu ’Abidin yang dikutip oleh Ahmad

Fathi adalah Kesejahteraan manusia dengan cara

menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam

urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah

berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus

maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.

4.) Menurut Abd Wahab al-Khallaf, Siyasah

syar\’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat

umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan

kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya)

dengan tidak melampaui batas-batas syari\’ah dan pokok-

3 Ibid.,hlm.14

4

pokok syari’ah yang bersifat umum, walaupun tidak

sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid.

Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara

lain adalah ;

 Pengaturan perundangan-undangan negara. Kebijakan

dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan. Penetapan

hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan

Urusan dalam - luar negeri.

5.) Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar’iyah

adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan

mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa

syari’at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang

universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-

tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal

tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci

dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah.

6.) Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam

makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa, tentang

dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting dalam

format siyasah syar’iyah. Ayat pertama berhubungan

dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya

kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil,

sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik

militer maupun sipil, yang harus taat kepada mereka.

Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah;

5

Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan

eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara.

7.) Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah

syar’iyah harus bertumpu kepada pola syari’ah.

Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat

harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat

mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam

kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola

yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari

rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi

mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia

B. Unsur - Unsur Politik

1. Negara

Sebagaimana kita telah ketahui dalam politik, banyak

unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, salah satunya

adalah Negara. Tentunya sebuah pemerintahan tidak akan

berjalan apabila ia tidak memiliki satu Negara sebagai

tempat yang dikuasainya. Dalam hukum Internasional bahwa

yang namanya Negara biasa memiliki tiga unsur pokok

diantaranya adalah: (1). Adanya rakyat atau sejumlah

orang; (2). Wilayah tertentu, dan; (3). Pemerintahan yang

berwibawa dan berdaulat. Sebagai unsur yang komplementer

dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional

atau Negara-negara lain.4

4 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta : Kencana, 2004, Hlm.17

6

Sementara itu, ada beberapa tokoh mendefinisikan

mengenai Negara diantaranya adalah :

Max Weber : “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai

monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu

wilayah”.

Robert M.Maclver : “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan

penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan

berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah

yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa”.

Roger H.Soltau : “Negara adalah agen atau kewenangan yang

mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama

masyarakyat”.5

a.Negara Islam (ad-daulah atau al-hukumah al-islamiyah)

Negara merupakan sesuatu yang tak terelakan, yang

mengemban tugas, sebagaimana di perintahkan Agama,

untuk menegakan amarmaruf nahimunkar, menyeru yang maruf

dan memberantas kemunkaran memerlukan kekuatan dan

kekuasan, dan Negara atau pemerintahan yang memiliki

otoritas untuk mengatur semua itu.

Dalam pandangan Rasyid Ridha negara Islam jauh

dari suau sistem kekuasaan menyeluruh yang mengatur

setiap rincian kehidupan sosial, politik dan budaya

kaum muslimin.6 Menurutnya, orientasi ideologis yang

luas dari negara islam adalah adany pembaharuan tentang

5 Op.Cit., hlm.486 Hamid Enayat, reaksi politik Sunni dan Syi’ah (pemikiran politik Islam modern menghadapi abadke-20),Bandung : Pustaka, 1988, hlm.129

7

fundamentalisme, bukanlah meruapakan langkah kembali

yang total ke keaslian-keaslian Islam, hanya suatu

langkah kembali kepada idealisem Islam awal yang

ternodai oleh prasangka-prasangka duniawi, etnis dan

sektarian. Urusan-urusan politik, sosial, dan ekonomi

negara tersebut diatur oleh undang-undang dasar yang

prinsip-prinsip umumnya diilhami oleh Al-qur’an, Sunnah

dan pengalaman-pengalaman khulafarasyidin.7

Negara menjadi alat yang efektif untuk menegakan

keadilan dan kebenaran dengan menjamin penegakan

keadilan. Dengan kata lain tujuan dari berdirinya suatu

Negara Islam adalah melaksankan sistem sosial yang

baik, menegakan keadilan, mencegah segala bentuk

kemunkaran atau penyimpangan terhadap norma Agama dan

umum serta senantiasa menganjurkan kepada umat manusia

untuk melaksankan kebajikan sebagai rasionalisasi dari

perintah Agama Allah.8 Selain hal-hal yang dijelaskan

diatas, ada perdebatan yang cukup menarik antara

Nurholis Madjid dan H.Moh. Sjafa’at dalam konsep Negara

Islam.

Nurcholis Madjid menyatakan bahwa konsep Negara Islam

sebagai berikut

“dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep negara islam adalah

suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan Negara. Negara

7 Ibid., hlm.1268 Syaripudin jurdi, pemikiran politik islam Indonesia:pertautan Negara,khilafah,masyarakatmadani dan demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008, hlm.14

8

adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah

rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang

dimensinya adalah spiritual dan pribadi”.

Jadi secara singaktnya, pandangan Nurholis madjid

ini adalah sengaja memisahkan antara agama dan Negara

yang kemudian konsep Negara islam Nurholis Madjid,

dikritisi dalam tulisannya oleh intelektual muslim

terkemuka H.M Rasjidi.

b.Negara Madinah

Negara Madinah adalah suatu Negara yang didirikan

oleh Nabi Muhammad SAW, berdasarkan perjanjian Al-

Aqabah I dan II serta konstitusi Madinah. Semua wilayah

itu adalah kota Yastrib (Madinah) dan kemudian

berkembang selama masa khulafarasyidin (Abu Bajar,

Umar, Usman, dan Ali)

Perjanjian Aqabah dalah perjanjian antara Nabi Muhammad

dengan delegasi penduduk Madinah yang telah memilih

nabi, baik sebagai pemimpin politik maupun sebagai

pemimpin keagamaan. Perjanjian Al-Aqabah I terjadi pada

tahun620 M, sedangkan Perjanjian Al-Aqabah IIterjadi

pada tahun 621.

Konstitusi Madinah adalah undang-undang dasar negar

Madinah yang terutama mengatur kewajiban-kewajiban dan

hak-hak warga negaranya. Para pakar tentang islam

9

menamakan konstitusi itu sebagai konstitusi tertulis

pertama di dunia.9

c.Negara Sekuler

Negara sekuler adalah suatu Negara yang tidak

memberikan peran pada agama dalam kehidupan Negara.

Agama telah diasingkan dari kehidupan Negara dalam

berbagai sektornya. Ciri Negara sekuler yang paling

menonjol ialah di hapusnya pendidikan agama di sekolah-

sekolah umum.10

2. Kekuasaan

a.Definisi Kekuasaan Versi Barat

Beberapa sarjana Barat mendefinisikan kekuasaan sebagai

berikut :

Max Weber : “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu

hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami

perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini”.

Harold D.Laswell dan Abraham Kaplan: “kekuasaan adalah

suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat

menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah pihak

pertama”.

Barbara Goodwin : “kekuasaan adalah kemampuan untuk

mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang

bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya jika ia tidak dilibatkan.

9 Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., Hlm.1810 Ibid., Hlm.18

10

Dengan kata lain, memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang

bertentangan dengan kehendaknya”.

Talcott Parsons : “kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin

terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-

kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah

jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan maka

pemaksaan melalui sanksi-sanksi negative dianggap wajar, terlepas dari

siapa yang melakukan pemaksaan itu”.11

b.Definisi Kekuasaan Versi Islam

Kekuasaan yang diberikan kepada manusia di dunia

menurut Islam adalah suatu hal yang temporal dan

parsial, dalam artian apabila kekuasaan itu harus

berakhir maka berakhirlah. Karena yang dinamakan

kekuasaan adalah hak otoritatif Allah, dan menunjukkan

hal yang sangat absolut bahwa sebenarnya yang memiliki

kekuasaan adalah Allah. Sebagaimana dalam firman Allah

dijelaskan bahwa : “katakanlah ; wahai yang mempunyai kerajaan,

engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada siapa yang Engkau

kehendaki dan Engaku cabut kerajaan (kekuasaan)dari orang yang

Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan

Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah

segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala

sesuatu”12

Dari ayat diatas, maka jelaslah hanya Allah yang

mutlak memiliki kekuasaan dan tak seorang manusiapun

11 Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm.6012 Qs. Ali Imran (3) :26

11

yang sanggup menandinginya.manusia hanya menjalankan

sebagian kecil dari kekuasaan yang Allah berikan kepada

orang tertentu untuk menjalankan perintah Agama-Nya.

Dalam pandangan Jean Boudin bahwa kekuasaan sebagai

sesuatu “kekuatan tertinggi yang abadi, tidak diwakilkan atau

didelegasikan, tanpa batasan atau kondisi, tidak dapat dicabut dan tidak

terlukiskan. Karena kekuasaan adalah sumber hukum, maka hukum tentu

tidak bisa membatasinya”.13 Menurut Syarifudin Jurdi,

pandangan Boudin ini memiliki akar makna yang sama

persis dengan pandangan Islam. Karena kekuasaan Allah

tidak bias dibatasi oleh aturan hukum yang ada, karena

ia sendiri merupakan sumber dari hukum tersebut.

Konsep kekuasaan yang serba “kebulatan” “tidak

terbatas” dan “mutlak” merupakan suatu kesalahan dan

kesesatan yang menyalahi. Karena pada hakikatnya ketika

seseorang yang diberikan kepercayaan kekuasaan itu

tidak akan selamanya hidup, maka apabila orang tersebut

tiada kekuasaannya tidak akan ikut hiang, namun

dilanjutkan oleh orang yang baru.

3.Kepemimpinan

a.Kepemimpinan Secara Umum

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang

dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk

dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau sasaran

bersama yang telah di tetapkan.

13 Syaripudin jurdi, Op.Cit.,hlm.60

12

Kepemimpinan secara umum dalam politik memiliki 4

tipe yang dominan di Indonesia diantaranya :

- Tipe Kepemimpinan Kharismatis

Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan

energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk

mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut

yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang

bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap

memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan

kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya

sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang

kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan

berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas

kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya

tarik yang amat besar.

- Tipe Kepemimpinan Militeristik

Tipe kepemimpinan m iliteristik ini sangat mirip

dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat

dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih

banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan

sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana,

(2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3)

sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual

dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut

adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya,

(5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan

13

kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya

berlangsung searah.

- Tipe Kepemimpinan Otokratis (Outhoritative,

Dominator)

Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara

lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan

mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu

berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk

merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan

selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah

diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan

tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan

kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas

pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme,

(8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan

prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku,

(10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan

apabila mereka patuh.

- Tipe Kepemimpinan Demokratis

Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia

dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para

pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua

bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab

internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik.

kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada

14

pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif

dari setiap warga kelompok.

Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap

individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan.

Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan

bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas

setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan

kondisi yang tepat.14

b.Kepemimpinan dalam Islam (Imamah)

Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang

tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang meliputi

kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan

sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup

baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi

terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehiduapan

yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.

Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiap

manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang

Islami. Manusia diamanahi Allah untuk menjadi Khalifah

Allah (wakil Allah) di muka bumi, firman Allah SWT

dalam surat Al-Baqarah 2:30

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

“sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mika

bumi.”mereka berkata:”mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di

bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan

14Ralph M.Stoghdill, Handbook of Leadership, London : Coller Mac Millan Publisher,1974, hlm.7

15

menumpahkan darah, padahal kami senantiasa detasbih dengan memuji

Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya Aku

mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Definisi Imamah (kepemimpinan) menurut At-

Taftazani ia mendefinisikan keimamahan sebagai

kepemimpinan umum dalam urusan agama dan duniawi,

sebagai khilafah atau wakildari Nabi Muhammad SAW.15

Menurut al-Mawardi “keimamahan diletakkan untuk

menggantikan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik

keduniaan”16

Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah

tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan

kemampuan konsepsional atau potensi (fitrah). Konsep

amanah ini yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah

fil ardli menempati posisi sentral dalam kepemimpinan

Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang

diberikan kepada manusia menuntut terjadinyahubungan

atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia

dengan pemberi amanah (Allah SWT), yaitu:

1) Mengerjakan semua perintah Allah

2) Menjauhi semua larangan-Nya

3) Ridha (ikhlas) menerima semua hukuman-hukuman atau

ketentuan-Nya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditegaskan bahwa,

kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan

15 Muhamamd Dhiauddin Rais, teori politik islam, Jakarta : Gema Insani, 2001, hlm.85 16 Ibid., hlm.86

16

orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah

laku orang lain, serta ada usaha kerjasama sesui dengan

Al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang

diinginkan bersama.17

Karena itu, dalam kaidah hukum islam seseorang

yang layak menjadi pemimpin setidaknya memiliki:

pertama, kemampuan intelektual dan spiritual yang

unggul; kedua, ahklak atau moralitas yang tinggi;

ketiga, kemampuan menjadi pelayan umat yang adil;

keempat, aman, jujur,sidik. Pemimpin bagi umat islam

merupakan pelayan yang harus mendahulukan kepentingan

umatnya daripada kepentingannya sendiri.18

Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang

dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam

pandangan Islam yang secara garis besar terbagi dalam

lima lingkup, yaitu:

1) Tanggung Jawab, bukan keistimewaan

Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk

memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia

sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar

sebagai seorang pemimpin yang harus mampu

mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan

manusia tapi juga dihadapan Allah SWT. Kepemimpinan

itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh

17 ayat18Syaripudin Jurdi, pemikiran politik islam Indonesia:pertautan Negara,khilafah,masyarakatmadani dan demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008, hlm.13

17

disalahgunakan, maka pertangungjawaban menjadi

suatu kepastian, Rasulullah Saw. Bersabda: Setiap

kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta

pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR

Bukhari dan Muslim).

2) Pengorbanan, bukan fasilitas

Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk

menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan

berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi

justru ia harus mau berkorban dan menunjukan

pengorbanan, apalagi ketikamasyarakat yang

dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat

sulit.

3) Kerja keras, bukan santai

Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang

besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai

persoalan yang mengahantui masyarakat yang

dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan

masyarakat untuk bias menjalani kehidupan yang baik

dan benar serta mencapai kemajuan dankesejahteraan.

Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras

dengan penuh kesungguhan dan optimism.

4) Kewenangan melayani, bukan sewenang-wenang

Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang

dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau

pejabat berarti mendapat kewenangan yang besar

18

untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan

yang lebih baik dar pemimpin sebelunya, Rasulullah

Saw. bersabda: “pemimpin suatu kaum adalah pelayan

mereka” (HR Abu Na’im).

5) Keteladan dan kepeloporan, bukan pengekor

Dalam segala bentuk kebaikan, seorang

pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor,

bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki

sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.

Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang

bias menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan

kebenaran.

4. Sistem Pemerintahan

a.Masa nabi Muhammad SAW

Pada masa nabi Muhammad SAW, nabi diutus sebagai

kepala negara dan kepala kenegaraan secara aklamasi

karena sosok beliau dan perjuangan beliau dalam

menyebarkan Islam. Pada masa Nabi Muhammad ia hadir

sebagai tokoh sentral di negara Madinah dan ia juga

dikenal karena keteguhan prinsip dan kesabarannya

dalam memerintah. Pada masa pemerintahannya ia

membentuk pembagian tugas kenegaraan, dengan cara

mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat yang

nantinya akan diutus sebagai wazir (menteri), katib

(sekertaris), wali (gubernur), amil (pengelola zakat), dan

qadi (hakim). Pada masa ini pula madinah terbagi menjadi

19

beberapa provinsi diantaranya adalah : Madinah, Tayma,

al_Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman,

Hadarmaut, Uman dan Bahrain. Pada setiap provinsi

tersebut Nabi menugaskan seorang wali, qadi dan amil.

Selain telah adanya pembagian kekuasaan madinah,

namun tetap semuanya tetap dibawah pimpinan Nabi

Muhammad, prinsip keadilan social selalu diterapkan

dapalm pemerintahan Nabi Muhammad sesuai dengan

ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam ditandai dengan

tidak membeda-bedakan umat Islam dan dzimmi semuanya

berhak atas perlindungan hukum dari negara. Namun semua

hal tersebut tidak terlepas getolnya seruan Nabi

kepada umat non-islam untuk masuk Islam namun tidak

pernah memaksa.

Pada masa nabi Muhammad, dengan diberikannya

kekuasaan kepada amil maka kaum muslim diwajibkan

membayar zakat dan infaq sedangkan kaum dzimmi

diwajibkan membayar jiyazah hal tersebut bertujuan untuk

kepentingan umatnya. Selain itu, sumber pendapat negara

juga didapatkan melalui ghanimah yaitu harta rampasan

perang, yang telah ditentukan dalam Al-quran 4/5 untuk

tentara Madinah yang turut dalam peperangan dan 1/5

untuk Rasulullah19 pribadi yang tidak bersifat pribadi

tapi juga untuk kepentingan umat.

19 Qs. Al-Anfal (8) : 41

20

Nabi Muhammad sebagai tokohh panutan (uswatun

hasanah) secara pribadi senantiasa memberikan contoh

atau teladan kepada para pengikutnya tentag setiap hal

yang ia ajarkan. Beliau tidak hanya sekedar berbicara

atau menyampaikan suatu gagasn secara lisan, akan

tetapi juga semua jaran Islam beliau terapkan dalam

kenyataan. Prinsip –prinsip nomokrasi Islam bukanlah

sekedar Idealisme, akan tetapi prinsip-prinsip

nomokrasi Islam itu dikristaliasasi kan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip itu telah

menjadi basis dalam mekanisme pemerintahan Madinah

dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Pemeritahan madinah

diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi

islam yang telah digariskan dalam Al-Quran.

b.Masa Khulafa Rasyidin

Sepeninggal wafatnya Nabi Muhammad SAW

pemerintahan di Madinah tidak mengalami kekosongan,

melainkan melahirkan sistem pemerintahan baru yaitu

kehilafahan yang dipimpin oleh para sahabat Nabi atau

yang kentara disebut dengan Khalifah. Pada masa khulafa

Rasyidin di negara madinah ini menurut catatan sejarah

ada 4 orang yang secara bergantian memimpin Madinah,

pemerintahan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, kedua

Umar bin Khatab, ketiga Usman bin Affan, dan yang

terakhir Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan

khalifah ini, mereka selalu mengemban amanah rakyat dan

21

mewarisi sikap Rasulullah dalam hal keadilan social dan

prinsip musyawarah menjadi jalan keluar dalam setiap

masalah maupun pengabilan keputusan. Pada masa khalifah

ini, negara Madinah berhasil mencapai masa kejayaannya

dibawah pimpinan Umar bin Khatab ditandai dengan

perkembangan-perkembangan berhasilnya kebijakan yang ia

terapkan, diantaranya adalah : penghapusan perbudakan,

tunjangan sosial terhadap orang miskin di kalangan

yahudi dan Kristen serta pemberian gaji pada Imam dan

Muazin (implementasi prinsip kesejahteraan), perumusan

prinsip Qiyas, kodifikasi Al-quran, penundaan

pelaksanaan had potong tangan dan perbaikan serta

peningkatan mekanisme pemerintahan.

Lain halnya dengan kekhilafahan Ali, pada masa Ali

mulai banyaknya timbul masalah dan pembangkangan-

pembangkangan terhadap pemerintahan Ali. Pada masanya

Ali tetap melakukan musyawarah dan tindakan persuasif

pada para pembangkang namun hal itu diabaikan oleh para

pembangkang sehingga dalam catatan sejarah diketahui

bahwa khalifah Ali menggunakan hukum daryrat trepaksa

melakukan perang terhadap para pemberontak. Apabila

dilihat dari sudut nomokrasi Islam, hal tersebut

dibenarkan. Karena suatu prinsip dalam nomokrasi Islam

yaitu prinsip ketaatan terhadap ulil amri telah diabaikan

oleh para pembangkang.

22

Terlepas dari pengalaman sejarah yang tidak

menyenangkan pada akhir masa pemerintahan khulaf

rasyidin, maka penerapan prinsip-prinsip nomokrasi

Islam boleh dikatakan secara maksimal dan optimal telah

diusahakan implementasinya oleh para khalifah yang

emoat itu. Diantaranya prinsip musyawarah, prinsip

kebebasan, prinsip persamaan di hadapan hukum merupakan

prinsip penting dalam nomokrasi Islam. Apabila

dibandingkan dengan sistem kenegaraan kontemporer, maka

sistem pemerintahan yang telah diterapkan pada periode

Nabi dan Khulafa Rasyidin (Periode Negara Madinah)

dapat dikatakan pemerintahan tersebut mirip dengan

westen republic. Dalam pemerintahan republik, demokrasi

adalah cirri utamanya sedangkan pemerintahan pada masa

Nabi dan Khilafah menggunakan musyawarah sebagai

karakteristik dalam sistem pemerintahan selama periode

Madinah.20

c.Pemerintahan Islam Secara Umum

Dalam pandangan Islam negara atau sebuah

pemerintahan merupakan suatu jalan untuk mengatur tata

tertib kehidupan yang islami. Secara primer negara

islami merupakan masyarakat Islam yang terikat oleh

keyakinan yan sama dan oleh komitmen pada cita-cita

hidup bersama dalam rangka optimalisas pengabdiannya

kepada Allah SWT serta penyebaran misi rahmatan lil alamin.

20 Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., hlm.192

23

Abu Ridha menyatakan bahwa pemerintahan Islam memiliki

5 watak yang harus dilestarikan. Diantaranya adalah

adil, seimbang,menjunjung syariat, syura, egaliter dan

kesatuan manusia. Tatanan hidup yang adil menuntut

diwujudkannya sebuah tatanan politik yang berdasarkan

tauhid. Tatanan politi tersebut akan melahirkan konsep

kewilayahannya yang spesifik. Al- Maududi menegaskan

bahwa Daulah islamiyah melindung seluruh dimensi

kehiduan kemanusaian dan seluruh bagian peradaban

sesuai dengan prinsip-prinsip moral Islam dan aksi-aksi

reformisnya. Adil merupakan prinsip mral paling utama

yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga apapun

statusnya. Oleh sebab itu adil bagi seluruh dimensi

kehidupan telah menjadi watak pemerintahan islam dalam

sepanjang sejarahnya. Watak yang kedua adalah seimbang,

salah satu rinsip dalam sistem politik islam adalah

tha’ah (patuh) kepada pemerintah. Kewajiban patuh pada

pemerintah tidak mutlak tergantung sejauh mana

pemerintah tersebut menerapkan syariah Islam dan

menegakkan keadilan, bayak hadits yang menunjukkan

bahwa kekuasaan pemimpin selalu dibatasi dengan

ketaatan kepada Allah danRasul-Nya. Jelaslah harus ada

kesimbangan antara ketaatan seorang warga kepada

pemimpinnya dan taatnya seorang pemipim serta warganya

terhadap Allah dan Rasul-Nya. Yang ketiga adalah

menjunjung syariat, dalam wacana politik tidak mungkin

24

melepaskan diri dari pembahasan mengenai kekuasaan atau

kedaulatan beserta lembaganya. Ada empat prinsip yang

harus ditegakkan oleh umat Islam berkenaan dengan

penyelenggaraan kekuasaan. Prinsip tersebut : Islam

menetapkan bahwa makhluk diciptakan Allah, karena Allah

satu-satunya yang menciptakan alam, maka Dia pula satu-

satunya pemilik, pemberi rezeki dan pengaturnya.

Prinsip keempat adalah syura yaitu berkaitan dengan

bagaimana carapenyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah

negara. Allah menjelaskan bahwa penguasa berkewajiban

meerapkan undang-undang Allah. Jika tidak, dalam arti

membuat undang-undang sendiri, maka ia telah

menempatkan dirinya pada posisi sekutu Allah dan

menjadi wali manusia selain Allah. Perundang-undangan

Islam seharusnya dibentuk berdasarkan Quran dan Sunnah

secara menyeluruh. Syura adalah badan yang menetapkan

bukan hanya sekedar memberi masukan, karena itu setiap

ketetapannya mengikat bagi penguasa atau rakyat.

Terakhir yang menjadi watak pemerintahan Islam adalah

egaliter dlam pandangan yang mengaskan tentang kesatuan

manusia. Islam memandang bahwa manusia diciptakan dari

asal yan satu selain itu Islam juga menetapkan bahwa

asal kejadian manusia dan posisinya sebagai makhluk

Allah adalah sama.21

d.Sistem Pemerintahan Demokrasi

21Abu Ridha, Negara & Cita-Cita Politik, Bandung : Syaamil Cipta Media, 2004, hlm. 85

25

Pemerintahan di Negara demokrasi mendorong dan

menjamin kemerdekaan berbicara, beragarna, berpendapat,

berserikat setiap warga Negara, menegakan rule of law,

adanya pemerintahan menghormati hak-hak kelompok

minoritas; dan masyarakat warga Negara memberi peluang

yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Dalam Negara demokrasi, kata demokrasi pada

hakekatnya mengandung makna (Mas’oed, 1997) adalah

partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan . (partisipasi

politik), yaitu;

1) Penduduk ikut pemilu;

2) Penduduk hadir dalam rapat selama 5 tahun terakhir;

3) Penduduk ikut kampanye pemilu;

4) Penduduk jadi anggota parpol dan ormas;

5) Penduduk komunikasi langsung dengan pejabat

pemerintah.

Perwujudan sistem demokrasi pada masing-masing

negara dapat berbeda-beda tergantung dari kondisi dan

situasi dari negara yang bersangkutan.

Ciri-ciri sistem demokrasi dimaksudkan untuk

membedakan penyelenggaraan pemerintahan Negara yang

demokratis, yaitu:

1) Memungkinkan adanya pergantian pemerintahan secara

berkala;

2) Anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama

menempati kedudukan dalam pemerintahan untuk masa

26

jabatan tertentu, seperti; presiden, menteri,

gubemur dsb;

3) Adanya pengakuan dan anggota masyarakat terhadap

kehadiran tokoh-tokoh yang sah yang berjuang

mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan; sekaligus

sebagai tandingan bagi pemerintah yang sedang

berkuasa;

4) Dilakukan pemilihan lain untuk memilih pejabat-

pejabat pemerintah tertentu yang diharapkan dapat

mewakili kepentingan rakyat tertentu;

5) Agar kehendak masing-masing golongan dapat

diketahui oleh pemenntah atau anggota masyarakat

lain, maka harus diakui adanya hak menyatakan

pendapat (lisan, tertulis, pertemuan, media

elektronik dan media cetak, dsb);

6) Pengakuan terhadap anggota masyarakat yang tidak

ikut serta dalam pemilihan umum.

C. Pemikiran Politik Islam

1. Pemikiran Politik Klasik dan Pertengahan

Teori tentang asal mula timbulnya negara dari enam

pemikir islam itu mirip satu sama lain, yaitu adanya

pengaruh pemikiran alam Yunani, dengan diwarnai oleh

pengaruh Aqidah Islam. Agak berbeda dengan pemikir-pemikir

Yunani, para pemikir islam itu baik secara eksplisit

maupun implisit menyatakan bahwa tujuan bernegara tidak

semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah mausia saja,

27

namun juga merupakan kebutuhan rohaniah. Tetapi diantara

mereka berenam tidak selalu mendapat kesepakatan tentang

jabatan kepala pemerintahan, darimana sumber kekuasaan

kepala negara, cara pengangkatan kepala negara, dan

hubungan antara kepala negara dan rakyat.

a. Ibnu Abi Rabi, Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dengan

tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara

merupakan mandat dari Allah kepada hamba-hamba pilihan.

Ketiga pemikir itu berpedapat bahwa kekhalifahan adalah

khalifah atau bayangan Allah di bumi. Bahkan menurut

Ghazali kekuasaan khalifah itu dikatakan muqaddas atau

suci dengan pengertian tidak dapat diganggu gugat.

Sedangkan menurut Mawardi, kekuasaan kepala negara itu

didasarkan atas kontrak sosial yang melahirkan hak dan

kewajiban atas dasar timbal balik bagi raja dan rakyat.

b. Mawardi adalah satu-satunya dari enam orang tersebut

yang menguraikan tentang banyaknya cara pengisian

jabatan kepala negara, dalam ragam pemilu dan

penunjukan wasiat. Tetapi Mawardi tidak mengemukakan

cara mana yang paling baik menurut dia. Mawardi juga

merupakan satu-satunya dari enam orang pemikir yang

berpendapat bahwa pemimpin atau kepala negara bisa

diturunkan dari tahta atau jabatannya apabila ia tidak

mampu lagi memerintah, baik itu karena alasan jasmani,

rohani, mental ataupun akhlaq. Namun ia tidak

mengemukakan bagaimana cara penurunannya. Berbeda

28

dengan keenam pemikir lainnya, mereka beranggapan bahwa

sekali seorang pemimpin memipin negara maka

kekuasaannya seumur hidup. Bahkan Ibnu Taimiyah

mengemukakan bahwa kepala negara yang zalim itu lebih

baik daripada rakyat yang hidup tanpa kepala negara,

c. Mawardi dan Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa

pemimpin itu harus dari suku qurais, sedangkan Ibnu

Khaldun berusaha merealisasikan hal tersebut melalui

teorinya, ashsabiyah. Kalau Ibnu Abi Rabi yang banyak

sepaham dengan Ghazali tidak menyinggung keharusan

keturunan quraisy, kiranya tidak berarti bahwa dia

berpendapat lain, tetapi kemungkinan besar oleh karena

pada zamannya, soal tersebut tidak merupakan hal yang

mendesak, mengingat pada zaman tersebut dinasti

Abbasyiah masih di puncak kejayaannya, dan tidak

terbayangkan kalau misalnya kekuasaan pindah ke

kelompok atau kekuasaan lain selain Abbas.

a. Ibnu khaldun mengemukakan pada waktu itu lebih

baik menggunakan dasar hukum agama dalam penentuan

setiap keputusan daripada harus menggunakan otak

manusia, namun ia juga mengakui banyak negara yang

tidak mendasarkan hukum agama dalam

pemerintahannya namun dapat mewjudkan ketertiban,

keserasian hubungan antara para warga negaranya,

bahkan dapat berkembang baik dan jaya.

29

b. Ibnu Taimiyah yang terkenal puritan, zahid dan

keras pendirian itu, mendambakan keadilan

sedemikian rupa, sehingga dia menyetujui pendapat

bahwa kepala negara yang adil walaupun tidak

beragama Islam itu lebih baik daripada kepala

negara Islam yang bukan seorang yang adil.22

2. Pemikiran Politik Islam Kontemporer

a. Afghani, Abduh, Ridha

Berbeda dengan para tokoh islam sebelumnya,

pembahasan tentang pemikir-pemikir islam ini dikaji

secara bersama sehingga mendapat kesimpulan bahwa

pemikiran mereka mewakili satu aliran pemikiran yang

berpengaruh luas pada waktu itu, yakni salafiah (baru),

dan hubungan mereka satu sama lain merupakan hubungan

antara guru dan murid. Abduh berguru kepada Afghani,

dan Ridha kepada Abduh. Dari ketiga tokoh ini munculah

aliran salafiyah, yaitu suatu aliran yang dipelopori

oleh Afghani. Aliran salafiyah terdiri dari tga

komponen utama, yakni :

Keyakinan bahwa keagungan dan kejayaan kembali

islam hanya mungkin terwujud jika umat islam kembali

kepada ajaran islm yang masih murni, dan meneladani

pola hidup para sahabat nabi, khususunya khulafa

rasyidin.

22 Munawir Sjadzali, Op.cit., Hlm.42

30

Perlawanan terhadap kolonilasime dan dominasi

barat, baik politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Pengakuan terhadap Barat dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan karenanya umat islam

harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut yang

pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dulu

telah disumbangkan oleh umat islam kepada Barat, dan

kemudian secara kritis dan selektif memanfaatkan ilmu

dan teknologi barat itu untuk kemajuan dunia islam.

b. Ali Abd Al-Raziq

Ia beranggapan bahwa islam tidak berbeda dengan

agama-agama lain dalam hal tidak mengajarkan cara-cara

peraturan tentang kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Namun dia tidak bisa meyakinkan alasan kuat

atas teorinya itu. Dalam bagian pertama dalam bukunya

mungkin ia berhasil meyakinkan bahwa pemerintah dalam

islam pada masa sekarang tidak harus berbentuk

khalifah, tapi ia tidak berhasil membuktikan bahwa Nabi

Muhammad SAW tidak berbeda dengan Nabi-nabi

sebelumnya;bahwa nabi tidak bermaksud mendirikan

negara;dan nabi tidak menjadi kepala negara; dan bahwa

otoritas yang dilakukan nabi semasa hidupnya bukanlah

otoritas seorang kepala negara. Lain dari itu bahwa

dalam islam terdapat jelas seperangkat hukum-syariah

yang untuk melaksanakannya dibutuhkan suatu otoritas

kekuasaan yang mampu ditaatinya hukum itu. Perkenalan

31

dia dengan para pemikir politik Barat masih belum

demikian dalam sehinga dia berbuat kesalaha, dan

menganggap Thomas Hobbes sebagai pemikir politik Barat

yang mendukung gagagsan bahwa kekuasaan raja yang

mutlak itu berlandaskan mandat dari Tuhan.

c. Mohammad Husain Haikal

Menolak pendapat bahwa islam itu lengkap dengan

seperangkat pengaturan bagi semua aspek kehidupa

bemasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi

sebaliknya tidak beranggapan bahwa islam tidak berbeda

dari agama-agama lain dalam arti tidak mempunyai

sangkut paut dengan kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Kelompok ini berpendapat bahwa islam tidak

memberikan preferensi kepada suatu sistem politik

tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau

tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh

umat islam dalam membina kehidupan bernegara (seperti

yang telah diterangkan dalam al-Quran). Muhammad Abduh

meskipun tidak mempunyai konsepsi politik yang utuh,

dari pokok-pokok pikiran berpendirian bahwa tidak ada

orang yang memegang kekuasaan keagamaan dan mempunyai

kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala

negara adalah kepala negara yang diangkat dan bisa

dihentikan oleh rakyat dan kepada mereka dia

bertanggungjawab. Quthb juga mengemukakan bahwa seorang

penguasa islam tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang

32

diterima dari Allah dan dia dipilih semata-mata karena

pilihan kaum muslimin.

Dalam hubungan ini Haikal meskipun tidak sevokal

dengan Maududi dan hanya sepintas, masih

memeperlihatkan kecenderungan untuk memberikan status

dzimmi kepada para warga negara yang tidak beragama

islam. Abduh sebagaimana Haikal, juga tidak segan untuk

berguru ke Barat dengan mempelajari sistem mereka

secara kritis dan selektif untuk kemudian menirunya

apabila perlu dan sesuai.23

D. Paradigma Politik islam

1. Paradigma Substantif - Inklusif

Secara umum dilandasi dengan keyakinan bahwa Islam

sebagai agama tidak merumuskan konsep - konsep teoritis

yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri - ciri dari

pemikiran substantif - inklusif ada empat.

Pertama;

adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an

sebagai kitab suci berisikan aspek - aspek etik dan

pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak

menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap objek

permasalahan kehidupan. Argumen utama dari paradigma

tersebut adalah, bahwa tak ada satupun dari ayat Al Qur’an

yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan agama

Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat

23 Ibid., Hlm.116

33

kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin

masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan

keadilan, demokrasi, kebebasan, kesetaraan, dll.

Kedua;

Pendukung paradigma ini meyakini bahwa misi utama

Nabi Muhammad bukanlah untuk mendirikan / membangun

kerajaan atau negara. Tetapi seperti para Nabi - nabi

sebelumnya, yaitu menyampaikan / mendakwahkan nilai -

nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian misi Nabi

Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk

membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu.

Ketiga;

Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa

syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian

pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan - gagasan

spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem

politik, karena Islam semata - mata dianggap sebagai agama

bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tata tertib

negara.

Keempat;

Refleksi para pendukung paradigma ini dalam bidang

politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang

signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang

menekankan manifestasi substansial dari nilai - nilai

Islam dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam

34

penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan

kelembagaan politik mereka

Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung

untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai -

nilai Islam intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah

kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses

kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara

berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu

diantara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya

Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi

haruslah mengambil kulturalisasi dan bukannya politisasi.

2. Paradigma Legal - Eksklusif

Paradigma legal - eksklusif mempunyai ciri - ciri

umum sebagai berikut:

Pertama;

Paradigma ini dalam pemikiran politik Islam

meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah

sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh

permasalahan kehidupan umat manusia. Para pendukung

paradigma legal - eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam

adalah totalitas integratif dari “tiga d” : din (agama),

daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya,

paradigma ini diaplikasi untuk semua kehidupan mulai

masalah pemerintahan, ekonomi, politik, sosial sampai

remeh temeh keluarga (menurut Nazih Ayubi).

Kedua;

35

Dalam realitas politik, pendukung paradigma ini

mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara

Islam. Paradigma ini menghendaki agar umat Islam selalu

menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya

dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan referensi

utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang

ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap

konsep - konsep politik barat.

Ketiga;

Para pendukung paradigma ini meyakini bahwa

syari’at harus menjadi fundamen/ pondasi dan jiwa dari

agama, negara dan dunia tersebut. Syari’at

diinterpretasikan sebagai hukum Tuhan, dan harus dijadikan

sebagai dasar negara dan konstitusinya, serta

diformulisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan

menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa.

Keempat;

Dalam konteks politik paradigma legal - eksklusif

menunjukkan perhatia terhadap suatu orientasi yang

cenderung menopang bentuk - bentuk masyarakat politik

Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti

mewujudkan suatu “sistem politik Islam”, munculnya partai

Islam, ekspresi simbois, idiom - idiom politik,

kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi

ketatanegaraan Islam.

36

Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legal

- eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi

yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.24

E. Polemik-Polemik Politik Islam

1. Islam Yes, Partai Islam No

Nurcholis Madjid sebagai pencetus slogan “Islam Yes,

Partai Islam No” hal itu menjadi bagian penting dari

gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dipeloporinya.

Namun hal tersebut masih saja dianggap statement of intent.

Dasawarsa 1960-1970 merupakan periode saat umat Islam

khususnya para pemikir dan aktivisnya merasakan beratnya

beban yang harus dipikul akibat dari adanya sintesis yang

sulit anara islam dan negara. Dalam perspektif demikian,

yang paling mencolok adalah seringnya mereka menjadi

sasaran kecurigaan ideologis dan ditempatkan dalam posisi

marjinal dalam proses-preoses politik nasional. Dalam

konteks introspeksi ke dalam, sejumlah pemikiran dan

aktivis muda Islam melihat persoalan di atas bukan semata-

mata sebagai sesuatu yang berdimensi politik. Akan tetapi

juga sebagai sesuatu yang mempunyai aura teologis. Mereka

percaya bahwa pemahaman terhadap Islam mempunyai kaitan

langsung dengan aktivisme pemeluknya, baik yang bersifat

sosial-budaya, ekonomi, maupun politik.

24 KH. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The WahidInstitute, 2006, hlm.65

37

Nurcholis, meskipun tidak sendirian mencoba untuk

memberikan suatu alternative pemecahan terhadap persoala

diatas, khususnya yang berdimensi theologies. Dia antara

lain emnemukan akar persoalan yang dihadapi komunitas

Islam ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis”

hal ini ditandai dengan oleh ketidakmampuan mereka untuk

membedakan antara nilai-nilai yang transedental dan yang

temporal.

Atas dasar itu, Nurcholis menyarankan agar umat Islam

membebaskan dirinya dari kecenderungan untuk menempatkan

hal-hal yang profane atau sakral atau sebaliknya.dari

sudut pandang Teologis ,bagian yang terpentingdari jawaban

yang ditawarkan Nurcholis adalah konsep Tauhid (monoteisme

Tuhan). Sama seperti Imaduddin, Abdul Rahim, dalam hal ini

pandangan NUrcholis bersifat radikal. Baginya prinsip

monoteisme Islam mempunyai konsekuesni pemahaman bahwa

hanya Allah-lah yang sakral dan mempunyai kebenaran

absolute. Karenanya, komitmen umat hendaknya

diorientasikan kepada nilai-nilai Islam. Dan bukan pada

organisasi atau lembagi kendatipun ber-merek Islam,

Pada tataran yang lebih luas, hal itu juga merujuk kepada

negara atau partai. Atas dasar itum dimaklumatkan jargon

“Islam Yes, Partai Islam No”. Meskipun menganjurkan bahwa

keterikatan seseorang hendaknya pada nilai,tidak berate

Nurcholis menolak lembaga atau organisasi, hal tersebut

dtandai dengan masuknya ia menjadi anggota ICMI dan

38

berkampanye untuk PPP. Yang harus dipahami, langkah-

langkah tersebut bukan merupaka penyimpangan dari “Islam

Yes, Partai Islam No”. Sebab yang menajdi dasar keterlibatan

ia dalam institusi-institusi tersebut bukan yang bersifat

transenden. Melainkan sama dengan jati diri organisasi-

organisasi tersebut bersifat profan (temporal). Dalam

konteks kampanye PPP Nurcholis ikut serta berkampanye ikut

serta yang didasarkan atas prinsip “memompa ban kempes”.25

2. Polemik Syiah Vs Sunni (pertentangan dan

penyesuaian)

Sesungguhnya perdebatan yang terjadi antara sunni

dan syiah bukanlah hal karena perdebatan ajaran-ajaran

pokok agama, hal ini berbeda dengan mazhadb-mazhab Kristen

yang mempertentangkan masalah pokok-pokok ajaran agamanya.

Sebenarnya perdebatan ini bukanlah memperdebatkan fungsi

Nabi ataupun masalah sifat Tuhan.

Polemik yang terjadi di kubu syiah dan sunni

terbagi menjadi dua jenis, diantaranya : jenis yang

berkaitan dengan tokoh sejarah khusuusnya tokoh sejarah

pada permulaan Islam. Yang kedua adalah jenis yang

berkaitan dengan konsep-konsep dan doktrin. Awal

perdebatan kedua kubu ini memiliki titik yang berbeda,

apabila sunni mulai berdebat karena konsep-konsep dan

doktrinnya. Lain halnya dengan kaum Syi’i yang

mempertentangkan tokoh.

25 Bahtair Effendy, (Re)Politisasi Islam, Bandung : Mizan, 2000, hlm. 124

39

Kritik kaum syi’ah terhadap tokoh penting

pengganti Nabi pada masa permulaan pemerintahan

khulafarasyidin diantaranya dilontarkan kepada Abu Bakar,

Umar dan Utsman. Menurut kaum syi’ah Abu Bakar memiliki

kesalahan diantaranya adalah mengikuti pertemuan saqifah

dan kemudian ia ditunjuk sebagai khalifah pertama, tidak

menyerahkan fadak kepada Fatimah sebagai ahli waris nabi

yang sah, dan mengampuni jenderalnya yang telah membunuh

pemuka muslim dengan alasan banyaknya jasa sang jenderal.

Umar di kritik pedas oleh kaum syi’ah karena ia

telah dua kali urung mengeksekusi Hurqush Ibn Zuhayr yang

telah murtad dibalik penampilannya yang Shaleh, kritik

selanjutnya yaitu mengenai inovasi hukum yang dibuat Umar

seperti larangan nikah mut’ah, suami bisa menceraikan

istrinya secara langsung melalui talak tiga, dilarangnya

haji tamattu, dan tindakan Umar yang menunjuk dewan

beranggotakan enam orang untuk menentukan penggantinya,

dikecam dari segi komposisi anggota dan kaum syi’ah

beranggapan bahwa anggota tersebut menguntungkan Utsman.

Kritik ketiga terhadap usman, menurut kaum syi’ah

usman diragukan sebagai khalifah karena kesetiaannya

kepada nabi diragukan dan ia tidak mengikuti Ikrar yang

dilakukan para sahabat, Usman pada masa pemerintahannya

dekat dengan nepotisme. Ia menempatkan saudara-saudaranya

di pemerintahan, serta sikap Usman yang opresif terhadap

pendukung Ali.

40

Mendengar kritik tersebut dalam berbagai tulisan

maupun lain kesempatan, kaum sunni seolah-olah memberi

jawaban dan penegasan serta kritik terhadap kaum syi’isme.

Diantaranya adalah :

Dalam al-Quran maupun Hadits tidak ada satupun

dalil yang mendukung klaim kaum syi’ah bahwa Imamah

adalah satu dari tiang-tiang agama. Keyakinan bahwa Ali

penerus sah dari Rasulullah dengan dasar nash (ketentuan

Ilahi) membawa berbagai implikasi absurd yang secara

khusus merusak keadilan Ilahi. Jika Allah benar-benar

menghendaki Ali sebagai penerus Rasulullah, tentunya Dia

telah mengetahu dengan ilmu-Nya bahw Dia telah memilih

seorang khalifah yang tidak akan ditaati oleh seluruh umat

dan pemerintahannya akan menimbulkan perang saudara. Jika

asumsi ini benar, maka kesimplannya bahwa Tuhan dan Rasul-

Nya telah melakukan kezaliman besar terhadap kaum

muslimin, hal mana jua sesuata yang absurd. Hal lainnya

adalah tentang pengetahuan, tidak dapat dipertahankan

doktrinnya, dalam pengertian khusus yang diwarisi

keturunan-keturunan Ali dari Muhammad, yang menganuerahi

mreka kemampuan khusus untuk menguasai aturan subsider

agama. Ketika nabi wafat, anak-anak Ali masih kecil maka

pengetahuan yang mereka dapatkan yang mungkin adalah

diwarisi dari orang tuanya dan usaha mereka sendiri berkat

kerajinan dan usahanya, karena tak ungkin keturunan-

keturunan Ali memiliki pengatehuan lewat wahyu seperti

41

Nabi. Maka dari itu, apabila keturunan-keturunan Ali

mendapatkan pengetahuan melalui kerja keras dan usahanya,

kaum sunni-pun banyak yang rajin dan belajar keras dan

beeberapa diantarany ada yang lebih pintar dari keturunan

Ali sendiri seperti contoh (Malik, Azwa’i, syafi’i dan Ibn

Hanbal lebih berilmu dibandingkan Imam-imam syi’ah sezaman

mereka Musa Ibn Ja’far, Ali Ibn Musa, dan Muhammad Ibn

Ali.

Menurut Ibn Taimiyah keyakinan kaum syi’ah akan ishmah

(ketakbercacatan dan ketakmungkinan kesalahan Imam) berasal

dari kebodohan dan angan-angan mereka. Karena satu-satunya

yang bisa dianggap memiliki kedudukan itu seperti Rasul-

rasul Tuhan, bakan ishmah para rasul juga masih

diperdebatkan orang, apalagi ishmah Ali dan keturunannya.

Disamping prinsip-prinsip fundamental tersebut Ibn

Taimiyah mengecam apa yang disebutnya kepandiran dan

ketahayulan syi’ah, yang dimaksudnya adalah kepercayaan

tertentu kaum syi’ah untuk tidak menamakan anak-anak

mereka menggunakan nama ketiga khalifah, dan mereka tidak

mau berurusan dengan orang-orang yang memilih nama seperti

ketiga nama khalifah tersebut.26 Selain itu, Ibn Taimiyah

mengkritik pemujaan-pemujaan atas tempat-tempat yang

mereka anggap sebagai kembalinya imam ghaib, hal demikian

tidaklah mungkin terjadi sehingga zaman sekarang banyak

bermunculan Nabi-Nabi palsu.

26 Hamid Enayat, Op.Cit., hlm.56

42

Pada abad ke-20 politik semakin memancarkan

pengaruh untuk menenangkan hubungan sunni-syi’ah melalui

perkembangan lain. Perkembangan ini adalah terbentuknya

negara-negara multi-madzhab, khususnya Libanon dan Irak,

yang struktur politiknya bergantung pada simbiosis sunni-

syi;ah. Sesungguhnya keniscayaan pertentangan dan

penyesuaian yang terjadi antara kaum sunni dan syi’ah ini

menurut catatan sejarah berasal dari satu pandangan yang

berbeda mengenai tokoh dan doktrin. Seiring berkembangnya

zaman pertentangan ini agaknya naik turun perbincangannya

karena banyaknya sabb dan rafdh yang berkelanjutan.

43