Teori pemikiran politik islam
Transcript of Teori pemikiran politik islam
A. Pemikiran Politik Islam
1. Pengertian Politik
a. Pengertian Politik Menurut Tokoh Yunani
Dalam berbagai sumber menyebutkan bahwa politik
mengandung arti yang penting dalam masyarakat, karena
sejak dahulu masyarakat mengatur kehidupan kolektif
dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi
terbatasnya sumber alam dan perlu dicari satu cara
distribusi sumber daya agar semua masyarakat bahagia
dan puas. Begitulah kiranya politik terjadi di masa
lalu seperti yang telah disebutkan dalam buku Miriam
Budiardjo.
Banyak tokoh mendefinisikan mengenai politik ini,
diantaranya filsuf Yunani Kuno yang paling berpengaruh
seperti Plato dan Aristoteles. Mereka memiliki anggapan
bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai
masyarakat politik yang terbaik. Hal tersebut hampir
senada dengan yang dikatakan oleh Peter Merki.
Bahwasannya Peter Merki mendefinisikan politik dalam
bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Sebagian
besar filsuf beranggapan bahwa politik adalah suatu
usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat
diterima oleh sebagian besar masyarakat yang dapat
diterima untuk masa depan yang lebih harmonis.
1
Definisi yang lebih spesifik kiranya dikemukakan
oleh Rod Hague dan Andrew Heywood.
Menurut Rod Hague : “Politik adalah kegiatan yang
menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-
keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk
mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya”.
Sedangkan menurut Andrew Heywood : “politik adalah
kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum
yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas dari gejala
konflik dan kerjasama”.1
b. Politik Islam (siyasah)
Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur
urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri.
Politik dilaksanakan baik oleh Negara (pemerintah)
maupun umat. Negara mengurus kepentingan umat semntara
umat melakukan koreksi terhadap pemerintah.
Sejak khalifah dihancurkan dan sistem politik ukur
diterapkan dinegri-negeri kaum muslimin, politik islam
tersingkir. Pada saat itulah masuk berbagai konsep
pemikiran politik barat yang ditegakan diatas ideologi
kapitalisme, ideologi yang memisahkan Agama dari
kehidupan yang harus dipahami sepnuhnya oleh umat Islam1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008,hlm.16
2
bahwa politik Islam tidak dapat diterapkan tanpa
tegaknya daulah khilafah; bahwa memisahkan politik
Islam dari kehidupan dan Agama berarti menghancurkan
Islam,sistem,dan hukum-hukumnya, serta memusnahkan
umat, nilai-nilai, peradaban, dan risalahnya.2 Secara
lughah politik (siyasah) berasal dari kata ‘sasa’,
‘yasusu’,’siyasatan’ yang berarti mengurus kepentingan
seseorang.
Menurut salah satu hadits menyebutkan “akan ada
para amir (penguasa), maka kalian ada yang mengakui
perbuatannya dan ada yang mengingkarinya. Siapa saja
yang mengakui perbuatannya (karna tidak bertentangan
dengan hukum syara), maka ia tidak diminta tanggung
jawabnya, dan siapa saja yang mengingkarinya
perbuatannya maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja
yang ridlo (dengan perbuatannya) yang bertentangan
dengan hukum syara) dan mengikutinya (maka dia berdosa)
para sahabat bertanya: apakah kita tidak memerangi
mereka? Beliau SAW menjawab: tidak selama mereka
menegakan solat (hukum-hukum islam). (HR.Muslim dari
Umu Salam ra).
Hadits diatas berkenaan dengan mengurus
kepentingan umat dan untuk saling menasehati; semua itu
menunjukan makna politik, yakni mengurus kepentingan
2 Abdul qadim zallum, pemikiran politik Islam, Jawa Timur: Al-izzah, 2001, hlm. 1
3
umat. Jadi definisi politik tersebut merupakan definisi
syar’i, yang berasal dari dalil-dalil syara.3
Adapun menurut Terminologi Ulama, pengertian fiqih
siayasah adalah sebagai berikut:
1.) Menurut Ahmad Fathi, fiqih siyasah adalah
Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan
ketentuan syara (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah
al-jinaiyyah fi al-syari’at al-Islamiyah).
2.) Menurut Ibnu’Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu
al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah Perbuatan yang
membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan
(kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah
(keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak
menetapkannya dan wahyutidakmembimbingnya.
3.) Menurut Ibnu ’Abidin yang dikutip oleh Ahmad
Fathi adalah Kesejahteraan manusia dengan cara
menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam
urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah
berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus
maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.
4.) Menurut Abd Wahab al-Khallaf, Siyasah
syar\’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat
umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan
kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya)
dengan tidak melampaui batas-batas syari\’ah dan pokok-
3 Ibid.,hlm.14
4
pokok syari’ah yang bersifat umum, walaupun tidak
sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid.
Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara
lain adalah ;
Pengaturan perundangan-undangan negara. Kebijakan
dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan. Penetapan
hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
Urusan dalam - luar negeri.
5.) Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar’iyah
adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan
mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa
syari’at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang
universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-
tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal
tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci
dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah.
6.) Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam
makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa, tentang
dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting dalam
format siyasah syar’iyah. Ayat pertama berhubungan
dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya
kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil,
sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik
militer maupun sipil, yang harus taat kepada mereka.
Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah;
5
Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan
eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara.
7.) Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah
syar’iyah harus bertumpu kepada pola syari’ah.
Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat
harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat
mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam
kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola
yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari
rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi
mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia
B. Unsur - Unsur Politik
1. Negara
Sebagaimana kita telah ketahui dalam politik, banyak
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, salah satunya
adalah Negara. Tentunya sebuah pemerintahan tidak akan
berjalan apabila ia tidak memiliki satu Negara sebagai
tempat yang dikuasainya. Dalam hukum Internasional bahwa
yang namanya Negara biasa memiliki tiga unsur pokok
diantaranya adalah: (1). Adanya rakyat atau sejumlah
orang; (2). Wilayah tertentu, dan; (3). Pemerintahan yang
berwibawa dan berdaulat. Sebagai unsur yang komplementer
dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional
atau Negara-negara lain.4
4 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta : Kencana, 2004, Hlm.17
6
Sementara itu, ada beberapa tokoh mendefinisikan
mengenai Negara diantaranya adalah :
Max Weber : “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah”.
Robert M.Maclver : “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah
yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa”.
Roger H.Soltau : “Negara adalah agen atau kewenangan yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama
masyarakyat”.5
a.Negara Islam (ad-daulah atau al-hukumah al-islamiyah)
Negara merupakan sesuatu yang tak terelakan, yang
mengemban tugas, sebagaimana di perintahkan Agama,
untuk menegakan amarmaruf nahimunkar, menyeru yang maruf
dan memberantas kemunkaran memerlukan kekuatan dan
kekuasan, dan Negara atau pemerintahan yang memiliki
otoritas untuk mengatur semua itu.
Dalam pandangan Rasyid Ridha negara Islam jauh
dari suau sistem kekuasaan menyeluruh yang mengatur
setiap rincian kehidupan sosial, politik dan budaya
kaum muslimin.6 Menurutnya, orientasi ideologis yang
luas dari negara islam adalah adany pembaharuan tentang
5 Op.Cit., hlm.486 Hamid Enayat, reaksi politik Sunni dan Syi’ah (pemikiran politik Islam modern menghadapi abadke-20),Bandung : Pustaka, 1988, hlm.129
7
fundamentalisme, bukanlah meruapakan langkah kembali
yang total ke keaslian-keaslian Islam, hanya suatu
langkah kembali kepada idealisem Islam awal yang
ternodai oleh prasangka-prasangka duniawi, etnis dan
sektarian. Urusan-urusan politik, sosial, dan ekonomi
negara tersebut diatur oleh undang-undang dasar yang
prinsip-prinsip umumnya diilhami oleh Al-qur’an, Sunnah
dan pengalaman-pengalaman khulafarasyidin.7
Negara menjadi alat yang efektif untuk menegakan
keadilan dan kebenaran dengan menjamin penegakan
keadilan. Dengan kata lain tujuan dari berdirinya suatu
Negara Islam adalah melaksankan sistem sosial yang
baik, menegakan keadilan, mencegah segala bentuk
kemunkaran atau penyimpangan terhadap norma Agama dan
umum serta senantiasa menganjurkan kepada umat manusia
untuk melaksankan kebajikan sebagai rasionalisasi dari
perintah Agama Allah.8 Selain hal-hal yang dijelaskan
diatas, ada perdebatan yang cukup menarik antara
Nurholis Madjid dan H.Moh. Sjafa’at dalam konsep Negara
Islam.
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa konsep Negara Islam
sebagai berikut
“dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep negara islam adalah
suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan Negara. Negara
7 Ibid., hlm.1268 Syaripudin jurdi, pemikiran politik islam Indonesia:pertautan Negara,khilafah,masyarakatmadani dan demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008, hlm.14
8
adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah
rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang
dimensinya adalah spiritual dan pribadi”.
Jadi secara singaktnya, pandangan Nurholis madjid
ini adalah sengaja memisahkan antara agama dan Negara
yang kemudian konsep Negara islam Nurholis Madjid,
dikritisi dalam tulisannya oleh intelektual muslim
terkemuka H.M Rasjidi.
b.Negara Madinah
Negara Madinah adalah suatu Negara yang didirikan
oleh Nabi Muhammad SAW, berdasarkan perjanjian Al-
Aqabah I dan II serta konstitusi Madinah. Semua wilayah
itu adalah kota Yastrib (Madinah) dan kemudian
berkembang selama masa khulafarasyidin (Abu Bajar,
Umar, Usman, dan Ali)
Perjanjian Aqabah dalah perjanjian antara Nabi Muhammad
dengan delegasi penduduk Madinah yang telah memilih
nabi, baik sebagai pemimpin politik maupun sebagai
pemimpin keagamaan. Perjanjian Al-Aqabah I terjadi pada
tahun620 M, sedangkan Perjanjian Al-Aqabah IIterjadi
pada tahun 621.
Konstitusi Madinah adalah undang-undang dasar negar
Madinah yang terutama mengatur kewajiban-kewajiban dan
hak-hak warga negaranya. Para pakar tentang islam
9
menamakan konstitusi itu sebagai konstitusi tertulis
pertama di dunia.9
c.Negara Sekuler
Negara sekuler adalah suatu Negara yang tidak
memberikan peran pada agama dalam kehidupan Negara.
Agama telah diasingkan dari kehidupan Negara dalam
berbagai sektornya. Ciri Negara sekuler yang paling
menonjol ialah di hapusnya pendidikan agama di sekolah-
sekolah umum.10
2. Kekuasaan
a.Definisi Kekuasaan Versi Barat
Beberapa sarjana Barat mendefinisikan kekuasaan sebagai
berikut :
Max Weber : “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu
hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini”.
Harold D.Laswell dan Abraham Kaplan: “kekuasaan adalah
suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah pihak
pertama”.
Barbara Goodwin : “kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang
bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya jika ia tidak dilibatkan.
9 Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., Hlm.1810 Ibid., Hlm.18
10
Dengan kata lain, memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendaknya”.
Talcott Parsons : “kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin
terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-
kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah
jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan maka
pemaksaan melalui sanksi-sanksi negative dianggap wajar, terlepas dari
siapa yang melakukan pemaksaan itu”.11
b.Definisi Kekuasaan Versi Islam
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia di dunia
menurut Islam adalah suatu hal yang temporal dan
parsial, dalam artian apabila kekuasaan itu harus
berakhir maka berakhirlah. Karena yang dinamakan
kekuasaan adalah hak otoritatif Allah, dan menunjukkan
hal yang sangat absolut bahwa sebenarnya yang memiliki
kekuasaan adalah Allah. Sebagaimana dalam firman Allah
dijelaskan bahwa : “katakanlah ; wahai yang mempunyai kerajaan,
engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada siapa yang Engkau
kehendaki dan Engaku cabut kerajaan (kekuasaan)dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah
segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”12
Dari ayat diatas, maka jelaslah hanya Allah yang
mutlak memiliki kekuasaan dan tak seorang manusiapun
11 Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm.6012 Qs. Ali Imran (3) :26
11
yang sanggup menandinginya.manusia hanya menjalankan
sebagian kecil dari kekuasaan yang Allah berikan kepada
orang tertentu untuk menjalankan perintah Agama-Nya.
Dalam pandangan Jean Boudin bahwa kekuasaan sebagai
sesuatu “kekuatan tertinggi yang abadi, tidak diwakilkan atau
didelegasikan, tanpa batasan atau kondisi, tidak dapat dicabut dan tidak
terlukiskan. Karena kekuasaan adalah sumber hukum, maka hukum tentu
tidak bisa membatasinya”.13 Menurut Syarifudin Jurdi,
pandangan Boudin ini memiliki akar makna yang sama
persis dengan pandangan Islam. Karena kekuasaan Allah
tidak bias dibatasi oleh aturan hukum yang ada, karena
ia sendiri merupakan sumber dari hukum tersebut.
Konsep kekuasaan yang serba “kebulatan” “tidak
terbatas” dan “mutlak” merupakan suatu kesalahan dan
kesesatan yang menyalahi. Karena pada hakikatnya ketika
seseorang yang diberikan kepercayaan kekuasaan itu
tidak akan selamanya hidup, maka apabila orang tersebut
tiada kekuasaannya tidak akan ikut hiang, namun
dilanjutkan oleh orang yang baru.
3.Kepemimpinan
a.Kepemimpinan Secara Umum
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk
dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau sasaran
bersama yang telah di tetapkan.
13 Syaripudin jurdi, Op.Cit.,hlm.60
12
Kepemimpinan secara umum dalam politik memiliki 4
tipe yang dominan di Indonesia diantaranya :
- Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan
energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk
mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut
yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang
bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap
memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan
kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya
sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang
kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan
berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas
kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya
tarik yang amat besar.
- Tipe Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan m iliteristik ini sangat mirip
dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat
dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih
banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan
sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana,
(2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3)
sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual
dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut
adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya,
(5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan
13
kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya
berlangsung searah.
- Tipe Kepemimpinan Otokratis (Outhoritative,
Dominator)
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara
lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan
mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu
berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk
merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan
selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah
diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan
tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan
kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas
pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme,
(8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan
prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku,
(10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan
apabila mereka patuh.
- Tipe Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia
dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para
pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua
bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab
internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik.
kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada
14
pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif
dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap
individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan.
Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan
bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas
setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan
kondisi yang tepat.14
b.Kepemimpinan dalam Islam (Imamah)
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang
tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang meliputi
kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan
sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup
baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi
terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehiduapan
yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiap
manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang
Islami. Manusia diamanahi Allah untuk menjadi Khalifah
Allah (wakil Allah) di muka bumi, firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah 2:30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mika
bumi.”mereka berkata:”mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
14Ralph M.Stoghdill, Handbook of Leadership, London : Coller Mac Millan Publisher,1974, hlm.7
15
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa detasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Definisi Imamah (kepemimpinan) menurut At-
Taftazani ia mendefinisikan keimamahan sebagai
kepemimpinan umum dalam urusan agama dan duniawi,
sebagai khilafah atau wakildari Nabi Muhammad SAW.15
Menurut al-Mawardi “keimamahan diletakkan untuk
menggantikan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik
keduniaan”16
Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah
tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan
kemampuan konsepsional atau potensi (fitrah). Konsep
amanah ini yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah
fil ardli menempati posisi sentral dalam kepemimpinan
Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang
diberikan kepada manusia menuntut terjadinyahubungan
atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia
dengan pemberi amanah (Allah SWT), yaitu:
1) Mengerjakan semua perintah Allah
2) Menjauhi semua larangan-Nya
3) Ridha (ikhlas) menerima semua hukuman-hukuman atau
ketentuan-Nya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat ditegaskan bahwa,
kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan
15 Muhamamd Dhiauddin Rais, teori politik islam, Jakarta : Gema Insani, 2001, hlm.85 16 Ibid., hlm.86
16
orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah
laku orang lain, serta ada usaha kerjasama sesui dengan
Al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang
diinginkan bersama.17
Karena itu, dalam kaidah hukum islam seseorang
yang layak menjadi pemimpin setidaknya memiliki:
pertama, kemampuan intelektual dan spiritual yang
unggul; kedua, ahklak atau moralitas yang tinggi;
ketiga, kemampuan menjadi pelayan umat yang adil;
keempat, aman, jujur,sidik. Pemimpin bagi umat islam
merupakan pelayan yang harus mendahulukan kepentingan
umatnya daripada kepentingannya sendiri.18
Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang
dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam
pandangan Islam yang secara garis besar terbagi dalam
lima lingkup, yaitu:
1) Tanggung Jawab, bukan keistimewaan
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk
memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia
sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar
sebagai seorang pemimpin yang harus mampu
mempertanggungjawabkannya. Bukan hanya dihadapan
manusia tapi juga dihadapan Allah SWT. Kepemimpinan
itu tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh
17 ayat18Syaripudin Jurdi, pemikiran politik islam Indonesia:pertautan Negara,khilafah,masyarakatmadani dan demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008, hlm.13
17
disalahgunakan, maka pertangungjawaban menjadi
suatu kepastian, Rasulullah Saw. Bersabda: Setiap
kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu (HR
Bukhari dan Muslim).
2) Pengorbanan, bukan fasilitas
Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk
menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan
berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi
justru ia harus mau berkorban dan menunjukan
pengorbanan, apalagi ketikamasyarakat yang
dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat
sulit.
3) Kerja keras, bukan santai
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang
besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai
persoalan yang mengahantui masyarakat yang
dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan
masyarakat untuk bias menjalani kehidupan yang baik
dan benar serta mencapai kemajuan dankesejahteraan.
Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras
dengan penuh kesungguhan dan optimism.
4) Kewenangan melayani, bukan sewenang-wenang
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang
dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau
pejabat berarti mendapat kewenangan yang besar
18
untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan
yang lebih baik dar pemimpin sebelunya, Rasulullah
Saw. bersabda: “pemimpin suatu kaum adalah pelayan
mereka” (HR Abu Na’im).
5) Keteladan dan kepeloporan, bukan pengekor
Dalam segala bentuk kebaikan, seorang
pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor,
bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki
sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang
bias menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan
kebenaran.
4. Sistem Pemerintahan
a.Masa nabi Muhammad SAW
Pada masa nabi Muhammad SAW, nabi diutus sebagai
kepala negara dan kepala kenegaraan secara aklamasi
karena sosok beliau dan perjuangan beliau dalam
menyebarkan Islam. Pada masa Nabi Muhammad ia hadir
sebagai tokoh sentral di negara Madinah dan ia juga
dikenal karena keteguhan prinsip dan kesabarannya
dalam memerintah. Pada masa pemerintahannya ia
membentuk pembagian tugas kenegaraan, dengan cara
mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat yang
nantinya akan diutus sebagai wazir (menteri), katib
(sekertaris), wali (gubernur), amil (pengelola zakat), dan
qadi (hakim). Pada masa ini pula madinah terbagi menjadi
19
beberapa provinsi diantaranya adalah : Madinah, Tayma,
al_Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman,
Hadarmaut, Uman dan Bahrain. Pada setiap provinsi
tersebut Nabi menugaskan seorang wali, qadi dan amil.
Selain telah adanya pembagian kekuasaan madinah,
namun tetap semuanya tetap dibawah pimpinan Nabi
Muhammad, prinsip keadilan social selalu diterapkan
dapalm pemerintahan Nabi Muhammad sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam ditandai dengan
tidak membeda-bedakan umat Islam dan dzimmi semuanya
berhak atas perlindungan hukum dari negara. Namun semua
hal tersebut tidak terlepas getolnya seruan Nabi
kepada umat non-islam untuk masuk Islam namun tidak
pernah memaksa.
Pada masa nabi Muhammad, dengan diberikannya
kekuasaan kepada amil maka kaum muslim diwajibkan
membayar zakat dan infaq sedangkan kaum dzimmi
diwajibkan membayar jiyazah hal tersebut bertujuan untuk
kepentingan umatnya. Selain itu, sumber pendapat negara
juga didapatkan melalui ghanimah yaitu harta rampasan
perang, yang telah ditentukan dalam Al-quran 4/5 untuk
tentara Madinah yang turut dalam peperangan dan 1/5
untuk Rasulullah19 pribadi yang tidak bersifat pribadi
tapi juga untuk kepentingan umat.
19 Qs. Al-Anfal (8) : 41
20
Nabi Muhammad sebagai tokohh panutan (uswatun
hasanah) secara pribadi senantiasa memberikan contoh
atau teladan kepada para pengikutnya tentag setiap hal
yang ia ajarkan. Beliau tidak hanya sekedar berbicara
atau menyampaikan suatu gagasn secara lisan, akan
tetapi juga semua jaran Islam beliau terapkan dalam
kenyataan. Prinsip –prinsip nomokrasi Islam bukanlah
sekedar Idealisme, akan tetapi prinsip-prinsip
nomokrasi Islam itu dikristaliasasi kan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip itu telah
menjadi basis dalam mekanisme pemerintahan Madinah
dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Pemeritahan madinah
diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi
islam yang telah digariskan dalam Al-Quran.
b.Masa Khulafa Rasyidin
Sepeninggal wafatnya Nabi Muhammad SAW
pemerintahan di Madinah tidak mengalami kekosongan,
melainkan melahirkan sistem pemerintahan baru yaitu
kehilafahan yang dipimpin oleh para sahabat Nabi atau
yang kentara disebut dengan Khalifah. Pada masa khulafa
Rasyidin di negara madinah ini menurut catatan sejarah
ada 4 orang yang secara bergantian memimpin Madinah,
pemerintahan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, kedua
Umar bin Khatab, ketiga Usman bin Affan, dan yang
terakhir Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan
khalifah ini, mereka selalu mengemban amanah rakyat dan
21
mewarisi sikap Rasulullah dalam hal keadilan social dan
prinsip musyawarah menjadi jalan keluar dalam setiap
masalah maupun pengabilan keputusan. Pada masa khalifah
ini, negara Madinah berhasil mencapai masa kejayaannya
dibawah pimpinan Umar bin Khatab ditandai dengan
perkembangan-perkembangan berhasilnya kebijakan yang ia
terapkan, diantaranya adalah : penghapusan perbudakan,
tunjangan sosial terhadap orang miskin di kalangan
yahudi dan Kristen serta pemberian gaji pada Imam dan
Muazin (implementasi prinsip kesejahteraan), perumusan
prinsip Qiyas, kodifikasi Al-quran, penundaan
pelaksanaan had potong tangan dan perbaikan serta
peningkatan mekanisme pemerintahan.
Lain halnya dengan kekhilafahan Ali, pada masa Ali
mulai banyaknya timbul masalah dan pembangkangan-
pembangkangan terhadap pemerintahan Ali. Pada masanya
Ali tetap melakukan musyawarah dan tindakan persuasif
pada para pembangkang namun hal itu diabaikan oleh para
pembangkang sehingga dalam catatan sejarah diketahui
bahwa khalifah Ali menggunakan hukum daryrat trepaksa
melakukan perang terhadap para pemberontak. Apabila
dilihat dari sudut nomokrasi Islam, hal tersebut
dibenarkan. Karena suatu prinsip dalam nomokrasi Islam
yaitu prinsip ketaatan terhadap ulil amri telah diabaikan
oleh para pembangkang.
22
Terlepas dari pengalaman sejarah yang tidak
menyenangkan pada akhir masa pemerintahan khulaf
rasyidin, maka penerapan prinsip-prinsip nomokrasi
Islam boleh dikatakan secara maksimal dan optimal telah
diusahakan implementasinya oleh para khalifah yang
emoat itu. Diantaranya prinsip musyawarah, prinsip
kebebasan, prinsip persamaan di hadapan hukum merupakan
prinsip penting dalam nomokrasi Islam. Apabila
dibandingkan dengan sistem kenegaraan kontemporer, maka
sistem pemerintahan yang telah diterapkan pada periode
Nabi dan Khulafa Rasyidin (Periode Negara Madinah)
dapat dikatakan pemerintahan tersebut mirip dengan
westen republic. Dalam pemerintahan republik, demokrasi
adalah cirri utamanya sedangkan pemerintahan pada masa
Nabi dan Khilafah menggunakan musyawarah sebagai
karakteristik dalam sistem pemerintahan selama periode
Madinah.20
c.Pemerintahan Islam Secara Umum
Dalam pandangan Islam negara atau sebuah
pemerintahan merupakan suatu jalan untuk mengatur tata
tertib kehidupan yang islami. Secara primer negara
islami merupakan masyarakat Islam yang terikat oleh
keyakinan yan sama dan oleh komitmen pada cita-cita
hidup bersama dalam rangka optimalisas pengabdiannya
kepada Allah SWT serta penyebaran misi rahmatan lil alamin.
20 Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., hlm.192
23
Abu Ridha menyatakan bahwa pemerintahan Islam memiliki
5 watak yang harus dilestarikan. Diantaranya adalah
adil, seimbang,menjunjung syariat, syura, egaliter dan
kesatuan manusia. Tatanan hidup yang adil menuntut
diwujudkannya sebuah tatanan politik yang berdasarkan
tauhid. Tatanan politi tersebut akan melahirkan konsep
kewilayahannya yang spesifik. Al- Maududi menegaskan
bahwa Daulah islamiyah melindung seluruh dimensi
kehiduan kemanusaian dan seluruh bagian peradaban
sesuai dengan prinsip-prinsip moral Islam dan aksi-aksi
reformisnya. Adil merupakan prinsip mral paling utama
yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga apapun
statusnya. Oleh sebab itu adil bagi seluruh dimensi
kehidupan telah menjadi watak pemerintahan islam dalam
sepanjang sejarahnya. Watak yang kedua adalah seimbang,
salah satu rinsip dalam sistem politik islam adalah
tha’ah (patuh) kepada pemerintah. Kewajiban patuh pada
pemerintah tidak mutlak tergantung sejauh mana
pemerintah tersebut menerapkan syariah Islam dan
menegakkan keadilan, bayak hadits yang menunjukkan
bahwa kekuasaan pemimpin selalu dibatasi dengan
ketaatan kepada Allah danRasul-Nya. Jelaslah harus ada
kesimbangan antara ketaatan seorang warga kepada
pemimpinnya dan taatnya seorang pemipim serta warganya
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Yang ketiga adalah
menjunjung syariat, dalam wacana politik tidak mungkin
24
melepaskan diri dari pembahasan mengenai kekuasaan atau
kedaulatan beserta lembaganya. Ada empat prinsip yang
harus ditegakkan oleh umat Islam berkenaan dengan
penyelenggaraan kekuasaan. Prinsip tersebut : Islam
menetapkan bahwa makhluk diciptakan Allah, karena Allah
satu-satunya yang menciptakan alam, maka Dia pula satu-
satunya pemilik, pemberi rezeki dan pengaturnya.
Prinsip keempat adalah syura yaitu berkaitan dengan
bagaimana carapenyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah
negara. Allah menjelaskan bahwa penguasa berkewajiban
meerapkan undang-undang Allah. Jika tidak, dalam arti
membuat undang-undang sendiri, maka ia telah
menempatkan dirinya pada posisi sekutu Allah dan
menjadi wali manusia selain Allah. Perundang-undangan
Islam seharusnya dibentuk berdasarkan Quran dan Sunnah
secara menyeluruh. Syura adalah badan yang menetapkan
bukan hanya sekedar memberi masukan, karena itu setiap
ketetapannya mengikat bagi penguasa atau rakyat.
Terakhir yang menjadi watak pemerintahan Islam adalah
egaliter dlam pandangan yang mengaskan tentang kesatuan
manusia. Islam memandang bahwa manusia diciptakan dari
asal yan satu selain itu Islam juga menetapkan bahwa
asal kejadian manusia dan posisinya sebagai makhluk
Allah adalah sama.21
d.Sistem Pemerintahan Demokrasi
21Abu Ridha, Negara & Cita-Cita Politik, Bandung : Syaamil Cipta Media, 2004, hlm. 85
25
Pemerintahan di Negara demokrasi mendorong dan
menjamin kemerdekaan berbicara, beragarna, berpendapat,
berserikat setiap warga Negara, menegakan rule of law,
adanya pemerintahan menghormati hak-hak kelompok
minoritas; dan masyarakat warga Negara memberi peluang
yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Dalam Negara demokrasi, kata demokrasi pada
hakekatnya mengandung makna (Mas’oed, 1997) adalah
partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan . (partisipasi
politik), yaitu;
1) Penduduk ikut pemilu;
2) Penduduk hadir dalam rapat selama 5 tahun terakhir;
3) Penduduk ikut kampanye pemilu;
4) Penduduk jadi anggota parpol dan ormas;
5) Penduduk komunikasi langsung dengan pejabat
pemerintah.
Perwujudan sistem demokrasi pada masing-masing
negara dapat berbeda-beda tergantung dari kondisi dan
situasi dari negara yang bersangkutan.
Ciri-ciri sistem demokrasi dimaksudkan untuk
membedakan penyelenggaraan pemerintahan Negara yang
demokratis, yaitu:
1) Memungkinkan adanya pergantian pemerintahan secara
berkala;
2) Anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama
menempati kedudukan dalam pemerintahan untuk masa
26
jabatan tertentu, seperti; presiden, menteri,
gubemur dsb;
3) Adanya pengakuan dan anggota masyarakat terhadap
kehadiran tokoh-tokoh yang sah yang berjuang
mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan; sekaligus
sebagai tandingan bagi pemerintah yang sedang
berkuasa;
4) Dilakukan pemilihan lain untuk memilih pejabat-
pejabat pemerintah tertentu yang diharapkan dapat
mewakili kepentingan rakyat tertentu;
5) Agar kehendak masing-masing golongan dapat
diketahui oleh pemenntah atau anggota masyarakat
lain, maka harus diakui adanya hak menyatakan
pendapat (lisan, tertulis, pertemuan, media
elektronik dan media cetak, dsb);
6) Pengakuan terhadap anggota masyarakat yang tidak
ikut serta dalam pemilihan umum.
C. Pemikiran Politik Islam
1. Pemikiran Politik Klasik dan Pertengahan
Teori tentang asal mula timbulnya negara dari enam
pemikir islam itu mirip satu sama lain, yaitu adanya
pengaruh pemikiran alam Yunani, dengan diwarnai oleh
pengaruh Aqidah Islam. Agak berbeda dengan pemikir-pemikir
Yunani, para pemikir islam itu baik secara eksplisit
maupun implisit menyatakan bahwa tujuan bernegara tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah mausia saja,
27
namun juga merupakan kebutuhan rohaniah. Tetapi diantara
mereka berenam tidak selalu mendapat kesepakatan tentang
jabatan kepala pemerintahan, darimana sumber kekuasaan
kepala negara, cara pengangkatan kepala negara, dan
hubungan antara kepala negara dan rakyat.
a. Ibnu Abi Rabi, Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dengan
tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara
merupakan mandat dari Allah kepada hamba-hamba pilihan.
Ketiga pemikir itu berpedapat bahwa kekhalifahan adalah
khalifah atau bayangan Allah di bumi. Bahkan menurut
Ghazali kekuasaan khalifah itu dikatakan muqaddas atau
suci dengan pengertian tidak dapat diganggu gugat.
Sedangkan menurut Mawardi, kekuasaan kepala negara itu
didasarkan atas kontrak sosial yang melahirkan hak dan
kewajiban atas dasar timbal balik bagi raja dan rakyat.
b. Mawardi adalah satu-satunya dari enam orang tersebut
yang menguraikan tentang banyaknya cara pengisian
jabatan kepala negara, dalam ragam pemilu dan
penunjukan wasiat. Tetapi Mawardi tidak mengemukakan
cara mana yang paling baik menurut dia. Mawardi juga
merupakan satu-satunya dari enam orang pemikir yang
berpendapat bahwa pemimpin atau kepala negara bisa
diturunkan dari tahta atau jabatannya apabila ia tidak
mampu lagi memerintah, baik itu karena alasan jasmani,
rohani, mental ataupun akhlaq. Namun ia tidak
mengemukakan bagaimana cara penurunannya. Berbeda
28
dengan keenam pemikir lainnya, mereka beranggapan bahwa
sekali seorang pemimpin memipin negara maka
kekuasaannya seumur hidup. Bahkan Ibnu Taimiyah
mengemukakan bahwa kepala negara yang zalim itu lebih
baik daripada rakyat yang hidup tanpa kepala negara,
c. Mawardi dan Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa
pemimpin itu harus dari suku qurais, sedangkan Ibnu
Khaldun berusaha merealisasikan hal tersebut melalui
teorinya, ashsabiyah. Kalau Ibnu Abi Rabi yang banyak
sepaham dengan Ghazali tidak menyinggung keharusan
keturunan quraisy, kiranya tidak berarti bahwa dia
berpendapat lain, tetapi kemungkinan besar oleh karena
pada zamannya, soal tersebut tidak merupakan hal yang
mendesak, mengingat pada zaman tersebut dinasti
Abbasyiah masih di puncak kejayaannya, dan tidak
terbayangkan kalau misalnya kekuasaan pindah ke
kelompok atau kekuasaan lain selain Abbas.
a. Ibnu khaldun mengemukakan pada waktu itu lebih
baik menggunakan dasar hukum agama dalam penentuan
setiap keputusan daripada harus menggunakan otak
manusia, namun ia juga mengakui banyak negara yang
tidak mendasarkan hukum agama dalam
pemerintahannya namun dapat mewjudkan ketertiban,
keserasian hubungan antara para warga negaranya,
bahkan dapat berkembang baik dan jaya.
29
b. Ibnu Taimiyah yang terkenal puritan, zahid dan
keras pendirian itu, mendambakan keadilan
sedemikian rupa, sehingga dia menyetujui pendapat
bahwa kepala negara yang adil walaupun tidak
beragama Islam itu lebih baik daripada kepala
negara Islam yang bukan seorang yang adil.22
2. Pemikiran Politik Islam Kontemporer
a. Afghani, Abduh, Ridha
Berbeda dengan para tokoh islam sebelumnya,
pembahasan tentang pemikir-pemikir islam ini dikaji
secara bersama sehingga mendapat kesimpulan bahwa
pemikiran mereka mewakili satu aliran pemikiran yang
berpengaruh luas pada waktu itu, yakni salafiah (baru),
dan hubungan mereka satu sama lain merupakan hubungan
antara guru dan murid. Abduh berguru kepada Afghani,
dan Ridha kepada Abduh. Dari ketiga tokoh ini munculah
aliran salafiyah, yaitu suatu aliran yang dipelopori
oleh Afghani. Aliran salafiyah terdiri dari tga
komponen utama, yakni :
Keyakinan bahwa keagungan dan kejayaan kembali
islam hanya mungkin terwujud jika umat islam kembali
kepada ajaran islm yang masih murni, dan meneladani
pola hidup para sahabat nabi, khususunya khulafa
rasyidin.
22 Munawir Sjadzali, Op.cit., Hlm.42
30
Perlawanan terhadap kolonilasime dan dominasi
barat, baik politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Pengakuan terhadap Barat dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan karenanya umat islam
harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut yang
pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dulu
telah disumbangkan oleh umat islam kepada Barat, dan
kemudian secara kritis dan selektif memanfaatkan ilmu
dan teknologi barat itu untuk kemajuan dunia islam.
b. Ali Abd Al-Raziq
Ia beranggapan bahwa islam tidak berbeda dengan
agama-agama lain dalam hal tidak mengajarkan cara-cara
peraturan tentang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Namun dia tidak bisa meyakinkan alasan kuat
atas teorinya itu. Dalam bagian pertama dalam bukunya
mungkin ia berhasil meyakinkan bahwa pemerintah dalam
islam pada masa sekarang tidak harus berbentuk
khalifah, tapi ia tidak berhasil membuktikan bahwa Nabi
Muhammad SAW tidak berbeda dengan Nabi-nabi
sebelumnya;bahwa nabi tidak bermaksud mendirikan
negara;dan nabi tidak menjadi kepala negara; dan bahwa
otoritas yang dilakukan nabi semasa hidupnya bukanlah
otoritas seorang kepala negara. Lain dari itu bahwa
dalam islam terdapat jelas seperangkat hukum-syariah
yang untuk melaksanakannya dibutuhkan suatu otoritas
kekuasaan yang mampu ditaatinya hukum itu. Perkenalan
31
dia dengan para pemikir politik Barat masih belum
demikian dalam sehinga dia berbuat kesalaha, dan
menganggap Thomas Hobbes sebagai pemikir politik Barat
yang mendukung gagagsan bahwa kekuasaan raja yang
mutlak itu berlandaskan mandat dari Tuhan.
c. Mohammad Husain Haikal
Menolak pendapat bahwa islam itu lengkap dengan
seperangkat pengaturan bagi semua aspek kehidupa
bemasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi
sebaliknya tidak beranggapan bahwa islam tidak berbeda
dari agama-agama lain dalam arti tidak mempunyai
sangkut paut dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Kelompok ini berpendapat bahwa islam tidak
memberikan preferensi kepada suatu sistem politik
tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau
tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh
umat islam dalam membina kehidupan bernegara (seperti
yang telah diterangkan dalam al-Quran). Muhammad Abduh
meskipun tidak mempunyai konsepsi politik yang utuh,
dari pokok-pokok pikiran berpendirian bahwa tidak ada
orang yang memegang kekuasaan keagamaan dan mempunyai
kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala
negara adalah kepala negara yang diangkat dan bisa
dihentikan oleh rakyat dan kepada mereka dia
bertanggungjawab. Quthb juga mengemukakan bahwa seorang
penguasa islam tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang
32
diterima dari Allah dan dia dipilih semata-mata karena
pilihan kaum muslimin.
Dalam hubungan ini Haikal meskipun tidak sevokal
dengan Maududi dan hanya sepintas, masih
memeperlihatkan kecenderungan untuk memberikan status
dzimmi kepada para warga negara yang tidak beragama
islam. Abduh sebagaimana Haikal, juga tidak segan untuk
berguru ke Barat dengan mempelajari sistem mereka
secara kritis dan selektif untuk kemudian menirunya
apabila perlu dan sesuai.23
D. Paradigma Politik islam
1. Paradigma Substantif - Inklusif
Secara umum dilandasi dengan keyakinan bahwa Islam
sebagai agama tidak merumuskan konsep - konsep teoritis
yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri - ciri dari
pemikiran substantif - inklusif ada empat.
Pertama;
adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an
sebagai kitab suci berisikan aspek - aspek etik dan
pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak
menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap objek
permasalahan kehidupan. Argumen utama dari paradigma
tersebut adalah, bahwa tak ada satupun dari ayat Al Qur’an
yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan agama
Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat
23 Ibid., Hlm.116
33
kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin
masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan
keadilan, demokrasi, kebebasan, kesetaraan, dll.
Kedua;
Pendukung paradigma ini meyakini bahwa misi utama
Nabi Muhammad bukanlah untuk mendirikan / membangun
kerajaan atau negara. Tetapi seperti para Nabi - nabi
sebelumnya, yaitu menyampaikan / mendakwahkan nilai -
nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian misi Nabi
Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk
membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu.
Ketiga;
Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa
syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian
pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan - gagasan
spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem
politik, karena Islam semata - mata dianggap sebagai agama
bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tata tertib
negara.
Keempat;
Refleksi para pendukung paradigma ini dalam bidang
politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang
signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang
menekankan manifestasi substansial dari nilai - nilai
Islam dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam
34
penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan
kelembagaan politik mereka
Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung
untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai -
nilai Islam intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah
kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses
kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara
berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu
diantara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya
Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi
haruslah mengambil kulturalisasi dan bukannya politisasi.
2. Paradigma Legal - Eksklusif
Paradigma legal - eksklusif mempunyai ciri - ciri
umum sebagai berikut:
Pertama;
Paradigma ini dalam pemikiran politik Islam
meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah
sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh
permasalahan kehidupan umat manusia. Para pendukung
paradigma legal - eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam
adalah totalitas integratif dari “tiga d” : din (agama),
daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya,
paradigma ini diaplikasi untuk semua kehidupan mulai
masalah pemerintahan, ekonomi, politik, sosial sampai
remeh temeh keluarga (menurut Nazih Ayubi).
Kedua;
35
Dalam realitas politik, pendukung paradigma ini
mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara
Islam. Paradigma ini menghendaki agar umat Islam selalu
menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya
dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan referensi
utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang
ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap
konsep - konsep politik barat.
Ketiga;
Para pendukung paradigma ini meyakini bahwa
syari’at harus menjadi fundamen/ pondasi dan jiwa dari
agama, negara dan dunia tersebut. Syari’at
diinterpretasikan sebagai hukum Tuhan, dan harus dijadikan
sebagai dasar negara dan konstitusinya, serta
diformulisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan
menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa.
Keempat;
Dalam konteks politik paradigma legal - eksklusif
menunjukkan perhatia terhadap suatu orientasi yang
cenderung menopang bentuk - bentuk masyarakat politik
Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti
mewujudkan suatu “sistem politik Islam”, munculnya partai
Islam, ekspresi simbois, idiom - idiom politik,
kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi
ketatanegaraan Islam.
36
Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legal
- eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi
yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.24
E. Polemik-Polemik Politik Islam
1. Islam Yes, Partai Islam No
Nurcholis Madjid sebagai pencetus slogan “Islam Yes,
Partai Islam No” hal itu menjadi bagian penting dari
gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dipeloporinya.
Namun hal tersebut masih saja dianggap statement of intent.
Dasawarsa 1960-1970 merupakan periode saat umat Islam
khususnya para pemikir dan aktivisnya merasakan beratnya
beban yang harus dipikul akibat dari adanya sintesis yang
sulit anara islam dan negara. Dalam perspektif demikian,
yang paling mencolok adalah seringnya mereka menjadi
sasaran kecurigaan ideologis dan ditempatkan dalam posisi
marjinal dalam proses-preoses politik nasional. Dalam
konteks introspeksi ke dalam, sejumlah pemikiran dan
aktivis muda Islam melihat persoalan di atas bukan semata-
mata sebagai sesuatu yang berdimensi politik. Akan tetapi
juga sebagai sesuatu yang mempunyai aura teologis. Mereka
percaya bahwa pemahaman terhadap Islam mempunyai kaitan
langsung dengan aktivisme pemeluknya, baik yang bersifat
sosial-budaya, ekonomi, maupun politik.
24 KH. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The WahidInstitute, 2006, hlm.65
37
Nurcholis, meskipun tidak sendirian mencoba untuk
memberikan suatu alternative pemecahan terhadap persoala
diatas, khususnya yang berdimensi theologies. Dia antara
lain emnemukan akar persoalan yang dihadapi komunitas
Islam ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis”
hal ini ditandai dengan oleh ketidakmampuan mereka untuk
membedakan antara nilai-nilai yang transedental dan yang
temporal.
Atas dasar itu, Nurcholis menyarankan agar umat Islam
membebaskan dirinya dari kecenderungan untuk menempatkan
hal-hal yang profane atau sakral atau sebaliknya.dari
sudut pandang Teologis ,bagian yang terpentingdari jawaban
yang ditawarkan Nurcholis adalah konsep Tauhid (monoteisme
Tuhan). Sama seperti Imaduddin, Abdul Rahim, dalam hal ini
pandangan NUrcholis bersifat radikal. Baginya prinsip
monoteisme Islam mempunyai konsekuesni pemahaman bahwa
hanya Allah-lah yang sakral dan mempunyai kebenaran
absolute. Karenanya, komitmen umat hendaknya
diorientasikan kepada nilai-nilai Islam. Dan bukan pada
organisasi atau lembagi kendatipun ber-merek Islam,
Pada tataran yang lebih luas, hal itu juga merujuk kepada
negara atau partai. Atas dasar itum dimaklumatkan jargon
“Islam Yes, Partai Islam No”. Meskipun menganjurkan bahwa
keterikatan seseorang hendaknya pada nilai,tidak berate
Nurcholis menolak lembaga atau organisasi, hal tersebut
dtandai dengan masuknya ia menjadi anggota ICMI dan
38
berkampanye untuk PPP. Yang harus dipahami, langkah-
langkah tersebut bukan merupaka penyimpangan dari “Islam
Yes, Partai Islam No”. Sebab yang menajdi dasar keterlibatan
ia dalam institusi-institusi tersebut bukan yang bersifat
transenden. Melainkan sama dengan jati diri organisasi-
organisasi tersebut bersifat profan (temporal). Dalam
konteks kampanye PPP Nurcholis ikut serta berkampanye ikut
serta yang didasarkan atas prinsip “memompa ban kempes”.25
2. Polemik Syiah Vs Sunni (pertentangan dan
penyesuaian)
Sesungguhnya perdebatan yang terjadi antara sunni
dan syiah bukanlah hal karena perdebatan ajaran-ajaran
pokok agama, hal ini berbeda dengan mazhadb-mazhab Kristen
yang mempertentangkan masalah pokok-pokok ajaran agamanya.
Sebenarnya perdebatan ini bukanlah memperdebatkan fungsi
Nabi ataupun masalah sifat Tuhan.
Polemik yang terjadi di kubu syiah dan sunni
terbagi menjadi dua jenis, diantaranya : jenis yang
berkaitan dengan tokoh sejarah khusuusnya tokoh sejarah
pada permulaan Islam. Yang kedua adalah jenis yang
berkaitan dengan konsep-konsep dan doktrin. Awal
perdebatan kedua kubu ini memiliki titik yang berbeda,
apabila sunni mulai berdebat karena konsep-konsep dan
doktrinnya. Lain halnya dengan kaum Syi’i yang
mempertentangkan tokoh.
25 Bahtair Effendy, (Re)Politisasi Islam, Bandung : Mizan, 2000, hlm. 124
39
Kritik kaum syi’ah terhadap tokoh penting
pengganti Nabi pada masa permulaan pemerintahan
khulafarasyidin diantaranya dilontarkan kepada Abu Bakar,
Umar dan Utsman. Menurut kaum syi’ah Abu Bakar memiliki
kesalahan diantaranya adalah mengikuti pertemuan saqifah
dan kemudian ia ditunjuk sebagai khalifah pertama, tidak
menyerahkan fadak kepada Fatimah sebagai ahli waris nabi
yang sah, dan mengampuni jenderalnya yang telah membunuh
pemuka muslim dengan alasan banyaknya jasa sang jenderal.
Umar di kritik pedas oleh kaum syi’ah karena ia
telah dua kali urung mengeksekusi Hurqush Ibn Zuhayr yang
telah murtad dibalik penampilannya yang Shaleh, kritik
selanjutnya yaitu mengenai inovasi hukum yang dibuat Umar
seperti larangan nikah mut’ah, suami bisa menceraikan
istrinya secara langsung melalui talak tiga, dilarangnya
haji tamattu, dan tindakan Umar yang menunjuk dewan
beranggotakan enam orang untuk menentukan penggantinya,
dikecam dari segi komposisi anggota dan kaum syi’ah
beranggapan bahwa anggota tersebut menguntungkan Utsman.
Kritik ketiga terhadap usman, menurut kaum syi’ah
usman diragukan sebagai khalifah karena kesetiaannya
kepada nabi diragukan dan ia tidak mengikuti Ikrar yang
dilakukan para sahabat, Usman pada masa pemerintahannya
dekat dengan nepotisme. Ia menempatkan saudara-saudaranya
di pemerintahan, serta sikap Usman yang opresif terhadap
pendukung Ali.
40
Mendengar kritik tersebut dalam berbagai tulisan
maupun lain kesempatan, kaum sunni seolah-olah memberi
jawaban dan penegasan serta kritik terhadap kaum syi’isme.
Diantaranya adalah :
Dalam al-Quran maupun Hadits tidak ada satupun
dalil yang mendukung klaim kaum syi’ah bahwa Imamah
adalah satu dari tiang-tiang agama. Keyakinan bahwa Ali
penerus sah dari Rasulullah dengan dasar nash (ketentuan
Ilahi) membawa berbagai implikasi absurd yang secara
khusus merusak keadilan Ilahi. Jika Allah benar-benar
menghendaki Ali sebagai penerus Rasulullah, tentunya Dia
telah mengetahu dengan ilmu-Nya bahw Dia telah memilih
seorang khalifah yang tidak akan ditaati oleh seluruh umat
dan pemerintahannya akan menimbulkan perang saudara. Jika
asumsi ini benar, maka kesimplannya bahwa Tuhan dan Rasul-
Nya telah melakukan kezaliman besar terhadap kaum
muslimin, hal mana jua sesuata yang absurd. Hal lainnya
adalah tentang pengetahuan, tidak dapat dipertahankan
doktrinnya, dalam pengertian khusus yang diwarisi
keturunan-keturunan Ali dari Muhammad, yang menganuerahi
mreka kemampuan khusus untuk menguasai aturan subsider
agama. Ketika nabi wafat, anak-anak Ali masih kecil maka
pengetahuan yang mereka dapatkan yang mungkin adalah
diwarisi dari orang tuanya dan usaha mereka sendiri berkat
kerajinan dan usahanya, karena tak ungkin keturunan-
keturunan Ali memiliki pengatehuan lewat wahyu seperti
41
Nabi. Maka dari itu, apabila keturunan-keturunan Ali
mendapatkan pengetahuan melalui kerja keras dan usahanya,
kaum sunni-pun banyak yang rajin dan belajar keras dan
beeberapa diantarany ada yang lebih pintar dari keturunan
Ali sendiri seperti contoh (Malik, Azwa’i, syafi’i dan Ibn
Hanbal lebih berilmu dibandingkan Imam-imam syi’ah sezaman
mereka Musa Ibn Ja’far, Ali Ibn Musa, dan Muhammad Ibn
Ali.
Menurut Ibn Taimiyah keyakinan kaum syi’ah akan ishmah
(ketakbercacatan dan ketakmungkinan kesalahan Imam) berasal
dari kebodohan dan angan-angan mereka. Karena satu-satunya
yang bisa dianggap memiliki kedudukan itu seperti Rasul-
rasul Tuhan, bakan ishmah para rasul juga masih
diperdebatkan orang, apalagi ishmah Ali dan keturunannya.
Disamping prinsip-prinsip fundamental tersebut Ibn
Taimiyah mengecam apa yang disebutnya kepandiran dan
ketahayulan syi’ah, yang dimaksudnya adalah kepercayaan
tertentu kaum syi’ah untuk tidak menamakan anak-anak
mereka menggunakan nama ketiga khalifah, dan mereka tidak
mau berurusan dengan orang-orang yang memilih nama seperti
ketiga nama khalifah tersebut.26 Selain itu, Ibn Taimiyah
mengkritik pemujaan-pemujaan atas tempat-tempat yang
mereka anggap sebagai kembalinya imam ghaib, hal demikian
tidaklah mungkin terjadi sehingga zaman sekarang banyak
bermunculan Nabi-Nabi palsu.
26 Hamid Enayat, Op.Cit., hlm.56
42
Pada abad ke-20 politik semakin memancarkan
pengaruh untuk menenangkan hubungan sunni-syi’ah melalui
perkembangan lain. Perkembangan ini adalah terbentuknya
negara-negara multi-madzhab, khususnya Libanon dan Irak,
yang struktur politiknya bergantung pada simbiosis sunni-
syi;ah. Sesungguhnya keniscayaan pertentangan dan
penyesuaian yang terjadi antara kaum sunni dan syi’ah ini
menurut catatan sejarah berasal dari satu pandangan yang
berbeda mengenai tokoh dan doktrin. Seiring berkembangnya
zaman pertentangan ini agaknya naik turun perbincangannya
karena banyaknya sabb dan rafdh yang berkelanjutan.
43