PEMIKIRAN IBNU jinni

24
PEMIKIRAN IBNU JINNI Bismillah.. Sebenernya, tulisan ini adalah tugas makalah ane, mata kuliah Ilmu Lughoh ‘Am (Linguistik umum). Tugas pengganti UAS, pmilihan judulnya diacak/diundi gtu dah pke krtas ma dosennya, nah, kbetulan ane dapet “Ibnu Jinni”, dan yang harus dibahas di makalah itu ya pemikiran Ibnu Jinni/kontribusi beliau dalam ilmu Linguistik Arab dan juga Ilmu Keislaman lainnya. Secara para pemikir Islam jaman dahulu itu ga cuma pinter di satu bidang aja, tapi banyak dari mereka mengetahui atau mendalami ilmu2 lainnya juga lho,, Hebat ya? kereeen.. Gak lupa juga, kita harus membahas biografinya, ya walaupun sedikit, tp setidaknya kita cukup tau basic biografinya. ya ga?? Dalam penyusunan makalah ini bner2 melalui perjuangan yang sangat berat lho, cz bahan-bahan yang ada termasuk yang direferensiin ma dosennya tu berbahasa Arab semua, mana gundul lagi.. yah..mau gmana lg, ane kan cuma lulusan SMA biasa bukan lulusan pesantren kyak temen kelas yang lain, jadi perbendaharaan kata yang ane punya baru sedikitt….. Well, tp yg ksulitan dlm mentranslate arab-indo bukan ane doang koq, tp tmen2 yang lain juga kesulitan c,heheh.. (bukan seneng lho, tp cm skedar info,hihihi) Yup yup, stelah berusaha keras bin berjibaku dngan mbah Google transleter + kamus2 yang tebelnya sejibun kyak Munawir ditambah nyari2 data sana sini + browsing juga diinternet….dannn.. Tadaaaaaaa!!! Akhirnya selesai juga! Alhamdulillah… Dan berikut tulisannya, semoga bermanfaat ya,, ^^ Klo ada kripik, eh kritik kamsudnya, silahkan diisi komennya ya.. Cekidoot…!!! ^_~ BAB I PENDAHULUAN

Transcript of PEMIKIRAN IBNU jinni

PEMIKIRAN IBNU JINNIBismillah..

Sebenernya, tulisan ini adalah tugas makalah ane, mata kuliah Ilmu Lughoh

‘Am (Linguistik umum).  Tugas pengganti UAS, pmilihan judulnya

diacak/diundi gtu dah pke krtas ma dosennya, nah, kbetulan ane dapet “Ibnu

Jinni”, dan yang harus dibahas di makalah itu ya pemikiran Ibnu

Jinni/kontribusi beliau dalam ilmu Linguistik Arab dan juga Ilmu Keislaman

lainnya. Secara para pemikir Islam jaman dahulu itu ga cuma pinter di satu

bidang aja, tapi banyak dari mereka mengetahui atau mendalami ilmu2 lainnya

juga lho,, Hebat ya? kereeen.. 

Gak lupa juga, kita harus membahas biografinya, ya walaupun sedikit, tp

setidaknya kita cukup tau basic biografinya. ya ga?? 

Dalam penyusunan makalah ini bner2 melalui perjuangan yang sangat berat

lho, cz bahan-bahan yang ada termasuk yang direferensiin ma dosennya tu

berbahasa Arab semua, mana gundul lagi.. 

yah..mau gmana lg, ane kan cuma lulusan SMA biasa bukan lulusan pesantren

kyak temen kelas yang lain, jadi perbendaharaan kata yang ane punya baru

sedikitt…..

Well, tp yg ksulitan dlm mentranslate arab-indo bukan ane doang koq, tp

tmen2 yang lain juga kesulitan c,heheh.. (bukan seneng lho, tp cm skedar

info,hihihi)

Yup yup, stelah berusaha keras bin berjibaku dngan mbah Google transleter +

kamus2 yang tebelnya sejibun kyak Munawir ditambah nyari2 data sana sini +

browsing juga diinternet….dannn..

Tadaaaaaaa!!! Akhirnya selesai juga! Alhamdulillah…

Dan berikut tulisannya, semoga bermanfaat ya,, ^^

Klo ada kripik, eh kritik kamsudnya, silahkan diisi komennya ya..

Cekidoot…!!! ^_~

BAB I

PENDAHULUAN

Benar apa yang dikatakan Intrelektual Muslim klasik bahwaIslam

adalah factor penyemangat utama lahirnya berbagai disiplin

ilmu-ilmu Arab Islam. Kesadaran untuk mentaati aturan-aturan

(hukum) mendorong para ulama merumuskan fiqh dan kodifikasi

Hadits. Kemudian muncullah berbagai kitab fiqh beserta mazhab-

mazhabnya.

Perhatian terhadap Al-Qur’an pun telah mendorong mereka untuk

merumuskan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan al-

qur’an, dimulai dari ilmu bacaannya (al-qira’ah) hingga

tafsir-tafsirnya sehingga bermunculan berbagai buku yang

terkait dengan kajian al-Qur’an, seperti ilmu Nahwu dan

Linguistik.

Tokoh-tokoh atau ulama saat itu dapat dikatakan multi talented,

karena tidak hanya satu ilmu yang mereka pelajari tapi banyak

pengetahuan yang mereka pelajari. Termasuk tokoh-tokoh linguis

Arab pun kebanyakan di antara mereka seperti itu, disamping

mengetahui banyak tentang linguistik, mereka juga banyak

mengetahui ilmu lain.

Sejumlah linguis Arab telah menaruh perhatian terhadap

linguistik sejak gerakan ilmiah dalam kerangka daulat Islam.

Mereka memiliki hasil jerih payah dalam bidang fonologi,

morfologi, sintaksis, dan kosakata. Orang-orang yang

berkecimpung dalam linguistik mengklasifikasikan dua kelompok.

Kelompok pertama menaruh perhatian terhadap konstruksi bahasa,

sedangkan kelompok kedua menaruh perhatian terhadap kosakata

bahasa dan maknanya. Bidang kajian itu oleh kelompok pertama

diilustrasikan sebagai nahw (gramatika) atau ilmu bahasa Arab,

sementara bidang tersebut diilustrasikan oleh kelompok kedua

sebagai bahasa atau linguistik atau filolog.

Salah satu tokoh ilmu Nahwu yang terkenal adalah Ibnu Jinni,

yang beliau juga ahli dalam ilmu Linguistik. Pada bab

berikutnya, penulis akan mencoba membahas biografi Ibnu jinni

dan pemikirannya dalam linguistik.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi Ibnu Jinni Nama lengkapnya ialah Abu al-Fath Utsman Ibnu Jinni, lahir

di Mausil (Mosul), Irak. Tidak ada sumber sejarah yang

pasti menginformasikan tahun kelahirannya, tetapi ada yang

berspekulasi bahwa ibnu Jinni lahir pada tahun 321 H atau

322 H. Ayahnya (Jinni) adalah seorang berbangsa Romawi, Ia

menjadi hamba sahaya (maula) dalam bahasa yunani dikenal

dengan Gennaius.[1] dari Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-

Azdi al-Mausili, seorang menteri (wazir) dari Syaraf al-

Daulah Qarawisy, gubernur Mosul.[2] Oleh karena itu, Ibnu

Jinni sering pula menambahkan nama “al-Azdi” di belakang

namanya.

Ibnu Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga di kota

kelahirannya tersebut. Di Mosul juga ia mendapatkan

pendidikan dasarnya, belajar ilmu nahwu pada gurunya yang

bernama Ahmad bin Muhammad al-Mausili al-Syafi’I yang lebih

dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Setelah itu, ia pindah

ke Baghdad dan menetap di sana. Di kota ini, ia mendalami

lingistik selama kurang lebih empat puluh tahun pada

gurunya yang sangat ia hormati dan ia kagumi, Abu ‘Ali al-

Farisi.[3] Begitu lamanya Ibnu Jinni menimba pengetahuan

bahasa pada Abu ‘Ali, sehingga keduanya terjalin hubungan

yang sangat erat seperti hubungan persahabatan.

Selain berguru secara khusus kepada Abu ‘Ali , Ibnu Jinni

juga banyak belajar pada tokoh linguistik lain, terutama

yang terkait dengan pengambilan sumber bahasa (ruwat al-

lugah wa al-adab), di antara mereka ialah Abu Bakr Muhammad

bin al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miqsam,

seorang pakar qira’ah al-Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin

al-‘Assaf al-‘Uqaili al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni

menyebutnya dengan Abu Abdillah al-Syajari.

Ibnu Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang

merupakan abad puncak perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu

keislaman, yang pada umumnya para ilmuawan pada abad ini

tidak saja menguasai satu disiplin pengetahuan, tetapi juga

menguasai disiplin-disiplin lainnya. Oleh karena itu, tidak

berlebihan apabila para penulis biografi Ibnu Jinni

menyatakan bahwa karya-karya tokoh yang satu ini

menggabungkan teori linguistik, teori prinsip fiqh (ushul

fiqh), juga teori Ilmu Kalam karena dia penganut mazhab

Mu’tazilah, mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu

Ali al-Farisi.[4] Ibnu Jinni menetap di Baghdad hingga

wafat pada tahun 392 H tepatnya pada malam jum’at.[5]

Baik ulama sezamannya, maupun generasi para linguis yang

muncul kemudian, mengakui penguasaan dan keluasan

pengetahuan Ibnu Jinni atas linguistik Arab. Abu Tayyib al-

Mutanabbi (w.354 H) , penyair yang sangat terkenal dan

sahabat Ibnu Jinni, misalnya, pernah berkomentar tentang

Ibnu Jinni, “Dia adalah sosok yang kehebatannya belum

diketahui oleh banyak orang”. Bahkan, apabila al-Mutanabbi

ditanya tentang makna suatu kata yang ia ucapkan (dalam

puisinya), atau tanda harakat (I’rab) yang dianggap aneh,

dia selalu menjawab, “Tanyakanlah pada syaikh juling, Ibnu

Jinni, dia akan menjawab semuanya”. Demikian pula Thash

Kubri Zadah yang dikenal dengan Ahmad bin Mustafa, dalam

bukunyaMiftah al-Sa’adah, menyebutkan bahwa Ibnu Jinni adalah

intelektual yang sangat cerdas, memiliki pengetahuan yang

luas dan mendalam di bidang nahwu dan sharaf. Ibnu Jinni

adalah linguis yang prolific dan produktif. Ini dibuktikan

dengan berbagai karyanya.[6]

2.2. Karya-karya Ibnu JinniIbnu Jinni meninggalkan karya-karya linguistiknya tak

kurang dari lima puluh buku, baik yang berkaitan dengan

kajian bahasa langsung maupun yang bersifat komentar atau

interpretasi atas karya orang lain, baik karya prosa maupun

puisi. Di antaranya ialah sebagai berikut:

1. Al-Khasa’is

2. Al-Tamam

3. Sirr al-Sina’at

4. Al-Munsif

5. Syarhu Mustagliq Abyati al-Hamasah

6. Syarhu al-Maqsud wa al-Mamdud li Ibni al-Sikkit

7. Ta’aqub al-‘Arabiyah

8. Al-Fasr (Tafsir Diwan al-Mutanabbi al-Kabir)

9. Tafsir Ma’ani Diwani al-Mutanabbi al-Sagir

10. Al-Luma’ fi al-‘Arabiyah

11. Al-Tasrif al-Muluki

12. Kitab Mukhtasar al-‘Arud wa al-Qawafi

13. Kitab al-Hamzah al-Mamdudah

14. Kitab al-Muqtadab

15. Tafsir al-Muzakkar wa al-Mu’annas li Abi Ya’qub

16. Kitabu Ta’yidi Tazkirah Abi Ali

17. Al-Mahasin fi al-‘Arabiyah

18. Al-Nawadir al-Mumti’ah

19. Al-Khatiriyyat

20. Al-Muhtasab fi syarhi Syawazi al-Qira’at

21. Tafsir Urjuzati Abi Nawwas

22. Tafsir al-‘Alawiyat

23. Kitab al-Busyra wa al-Zufr

24. Risalah fi Maddi al-Aswat wa Maqaddir al-Muddat

25. Kitab al-Muzakkar wa al-Muannas

26. Kitab Muqaddimati Abwabi al-Tasrif

27. Kitab al-Naqd ‘ala Ibni Waki’ fi Syi’ri al-Mutanabbi wa

Takhti’atihi

28. Al-Mu’rib fi Syarhi al-Qawafi

29. Kitab al-Fasl baina al-Kalam al-Khas wa al-Kalam al-‘Am

30. Al-Talqin fi al-Nahwi

31. Kitab al-Ma’ani al-Muharrarah

32. Kitab al-Farq

33. Kitab al-Fa’iq

34. Kitab al-Khatib

35. Kitab al-Ara’iz

36. Kitab zi al-Qaddi

37. Syarh al-Fasih

38. Kitab Syarh al-Kafi fi al-Qawafi

39. Al-Tazkirah al-Asbihaniyah

40. Al-Tahzib

41. Al-Muhazzab

42. Al-Tabsirah

43. Kitab al-Zajr

44. Mas’alatani fi al Aimani li Muhammad ibnu al-Hasan al-

Syaibani

45. ‘Ilal al-Tasniyah

46. Al-Masa’il al-Wasitiyyah

47. Kitab Syarhi al-Ibdal li Ya’qub[7]

2.3. Teori, Metode dan Pemikiran Ibnu JinniSeperti umumnya para linguis besar dalam tradisi linguistic Arab,

semisal Sibawaih, al-Farra’, al-Farisi, al-Zamakhsyari, dan lainnya

yang berlatar belakang teologi Mu’tazilah, Ibnu Jinni pun termasuk dari

komunitas tersebut. Mu’tazilah adalah komunitas intelektual yang

mengedepankan cara berpikir rasional.

Hanya saja, kerasionlan Ibnu Jinni dicurahkan untuk memikirkan obyek-

obyek linguistic dan merumuskan teori-teori yang diharapkan bisa

diterima oleh semua mazhab. Meskipun Ibnu Jinni penganut Mazhab Bashrah

dan berupaya mempertahankan pandangan-pandangannya, dia tidak fanatik,

bahkan ia tak segan mengambil teori-teori dari tokoh Mazhab Kufah,

seperti al-Kisa’i dan Sa’lab. Bahasa yang digunakan pun cukup santun,

tidak melemparkan kritik pedas layaknya persaingan mazhab nahwu. Dia

menghargai pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya atau

mazhabnya, karena baginya “…fa al-haqqu ahaqqu ‘an yutba’ ayna halla”

‘kebenaran lebih berhak atau lebih layak untuk diikuti di manapun ia

berada’

Oleh karena itu, untuk membangun teori linguistiknya, Ibnu Jinni

menggunakan metode ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek ilmiah,

menggabungkan metode deskriptif dan filsafati (rasional) sebagai

piranti analisisnya. Metode deskriptif ia gunakan dalam melihat

realitas dan hakekat bahasa. Baginya, bahasa adalah realitas sosial.

Oleh karena itu, semua bahasa yang muncul di tengah masyarakat adalah

memiliki status yang sama. Ini seperti terlihat dalam definisinya

mengenai nahwu yang menurutnya ialah “meniru cara bertutur orang Arab,

segi perubahan I’rab-nya dan pola yang lain, seperti meniru pola bentuk

dual (tasniyyah), plural (jamak), tahqir (tasgir), jamak taksir

(irregular), idafah, penisbatan (al-nasab), struktur kalimat dan lain

sebagainya. Ini semua agar orang non-Arab bisa bertutur sefasih orang

Arab…”. Di sini, Ibnu Jinni tidak membatasi bahasa orang Arab dari suku

tertentu, atau bahasa Arab dari level tertentu yang dapat ditiru.[8]

Adapun metode filsafati ia gunakan untuk menguraikan alasan-alasan,

sebab-sebab (al-ta’lilat) yang tersembunyi di balik gejala atau

fenomena bahasa. Meskipun demikian, hamper seluruh ta’lil yang

dilakukan oleh Ibnu Jinni adalah ta’lil sosial, artinya, semua alasan-

alasan yang ia kemukakan dikembalikan pada para penutur bahasa itu

sendiri. Penggabungan dua metode Ibnu Jinni ini, dapat terbaca jelas

dari uraian, analisis, juga berbagai definisi yang ia rumuskan

tentang“al-qaul, al-kalam, al-lugah, al-nahw, al-I’rab, al-bina, asl al-lugah “ dan lain-

lain. [9]

a. Perbedaan Kalam dan Qaul

Jauh sebelum Ferdinand de Saussure , bapak linguistic

modern Eropa, khususnya aliran structural-deskriptif,

menggagas tiga terminologinya yang masyhur : parole, langage,

dan langue, di Bagdad, meskipun dalam konteks dan

pengertian yang berbeda dari De Saussure, Ibnu Jinni

dengan cerdas dan jeli telah memulai bukunya, al-Khasais,

dengan membahas perbedaan antara makna “kalam” dan “qaul”.

Ibnu Jinni mempraktekkan teorinya yang ia sebut al-

isytiqaq al-akbar, yaitu penyimpulan makna dari suatu

kata yang memiliki suku kata yang sama. Tiga suku kata ق� و

,qaf) ل wawu,lam) bisa dibolak-balik menjadi enam polayaitu :

ق� و ل – ق� ل و – و ق� ل – و ل ق� – ل ق� و – ل و ق�Menurutnya, keenam pola tersebut menunjukkan makna yang

sama, yaitu “ringan dan cekatan” (al-khufuf wa al-harakah).

Ibnu Jinni lebih lanjut memberikan contoh masing-masing

dari semua bentuk tersebut.[10]Sedangkan, tiga suku

kata م ل meskipun ك diubah dan dibolak-balik pola danbentuknya seperti

ك ل م – ك م ل – ل ك م – م ك ل –ل م كDari kelima bentuk tersebut, kecuali bentuk yang

terakhir, menunjukkan makna yang sama, yaitu “kuat dan

keras” (al-quwwah wa al-syiddah).[11]

Setelah selesai mnguraikan makna kata dari derivasi suku

kata qaf, wawu, lam,dan kaf, lam dan mim di atas, selanjutnya

Ibnu Jinni mendefinisikan “kalam” dan “qaul”.

Kalam ialah setiap ujaran yang berdiri sendiri dan

memiliki makna yang oleh kalangan ahli nahwu disebut

“jumlah” seperti ujaran, ،وك �ب�� ى ألدأر أ� د، ف� رب� سعي� ام محمد، ض� �وك، ق �خ د أ� ي'� ر�.dan lain sebagainya صه، مهAdapun qaul, pada dasarnya ialah setiap ujaran yang mudah

diucapkan oleh lidah kita, baik yang berdiri sendiri dan

bermakna (jumlah mufidah) maupun tidak. Jadi, pengertian

kalam lebih umum daripada qaul, setiap kalam adalah qaul,

dan tidak sebaliknya. [12]

Kata “qaul”, digunakan dan mengandung makna keyakinan

atau pandangan (al-I’tiqadat wa al-‘ara), seperti,

“Fulanun yaquulu bi qauli Abi Hanifata, wa yazhabu ilaa

qauli Maalik”. Pernyataan tersebut tidak sekedar

menyatakan bahwa si Fulan meniru ucapan Imam Abu Hanifah

dan Imam Malik tanpa menambah atau mengurangi, tetapi

yang dimaksudkan ialah bahwa si Fulan itu mengikuti

(meyakini) pendapat dan gagasan Imam Abu Hanifah dan Imam

Malik.[13]

Keyakinan dan ide dilambangkan dan diekspresikan dengan

“qaul”, bukan dengan “kalam” karena antara keyakinan dan

ide lebih mirip dengan qaul daripada dengan kalam.

Kemiripannya ialah karena keyakinan dan ide tidak dapat

dipahami atau dimengerti kecuali melalui media yang lain,

yaitu lambing bunyi atau ujaran. Ini sama dengan qaul

yang terkadang maknanya tidak bisa dimengerti kecuali

melalui media lain. Contohya ialah jika seseorang

berkata, “qaama” ‘berdiri’, maka kata tersebut belum

dapat dipahami karena belum sempurna.

Oleh karena itu, agar kata tersebut dapat dipahami,

diperlukan bantuan yang lain, yaitu “fail”, qama Zaidun,

misalnya. Jadi, antara qaul yang untuk kesempurnaan

maknanya memerlukan bantuan yang lain, ini berarti sama

dengan keyakinan dan ide yang agar keduanya bisa

dimengerti juga memerlukan bantuan yang lain, yaitu

lambang kata.[14]

Adapun “kalam” tidak demikian, ia adalah kalimat yang

mandiri, sempurna maknanya, tidak memerlukan bantuan yang

lain. Oleh karena itu, kata Ibnu Jinni, bahwa bukti

adanya perbedaan antara keduanya ialah telah menjadi

kesepakatan bersama menyebut al-Qur’an dengan Kalamullah,

bukan Qaulullah.

b. Isytiqaq Kabir

Isytiqaq ada dua macam, shaghir dan kabir. Yang pertama

(isytiqaq shaghir) dikaji dalam ilmu sharaf , misalnya

isim fa’il atau isim maf’ul yang diambil dari masdarnya

seprti ل �ائ �ول dan ق dari مق������� kata ول . ق������� Yang kedua (isytiqaqkabir) dikaji dalam fiqh lughah. Menurut Ibnu Jinni,

kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf

yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna

umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini :  ب�ر - – ج� رب� �ج

ر- ج��� �- ب رج9رب� �ب� – ب�� �رج  mempunyai makna umum yang sama yakni  وة� ألق���

دة� Aش(kekuatan dan kekerasan ).[15] وألc. Tashaqub al-alfaz litashaqub al-ma’ani

Intinya adalah bahwa kata yang hurufnya berdekatan (tidak

sama persis) maka maknanya juga berdekatan, misalnya: ر�ّ ؛ ه��

ر�ّ yang أ� artinya  ل�������������������ق� اج9 ألق� ع������������������� ر� K؛ ألإ  yakni mengejutkan dan

kegelisahan, طع �ط�����ف� ؛ ق �juga mempunya arti yang berdekatan قyakni memotong dan memetik.

Maka dalam memahami esensi makna kata perkata dapat

dilakukan penelusuran terhadap kata-kata lain yang huruf-

hurufnya sama atau berdekatan.[16]

d. Dalalah

Dalalah oleh Ibnu Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Dalalah lafziyyah, yaitu makna yang ditimbulkan oleh

lafal atau suara dari kata tersebut,

misalnya  رب� menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk ض���kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau

intonasi untuk kata yang bukan berasal dari peniruan

suara).

2. Dalalah shinaiyyah, yaitu makna yang dipengaruhi

oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly

menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan

tersebut . Perbedaan antara kata ر�اب ور dan ص������� ب� yang , ص�������pertama berarti orang yang sabar, yang kedua berarti

orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan

oleh perbedaan shighah.

3. Dalalah ma’nawiyyah, yaitu makna terjadinya

pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni

penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa[17]

e. Al-Lugah ‘bahasa’

Kata  ه�  mengikuti wazan لغ���� عل���ه� � berasal dari kata ف وب� bermakna لغ����‘saya berbicara’. Akar katanya

adalah  وة�  seperti لغ�  dan كرة� له� � juga ق ه� ب� A'وث yang semuanya mengandunghuruf lam dan wawu , karena orang Arab

mengatakan  روب� dan ك����� ل�����وب� � Bisa juga kata . ق ه� berasal dari لغ������kata  ى� لغ� _ى� – ي yang لغ� bermakna ‘bicara yang tak berarti’,

dimana bentuk masdarnya adalah ا  atau أللع� و [18] . أللغ�Adapun definisi bahasa adalah, “aswatun yu’abbiru bihaa

kullu qaumin ‘an agraadihim” ‘bunyi yang diekspresikan

oleh semua kelompok masyarakat untuk menyatakan maksud

mereka’.[19] Aspek bunyi ini yang nampaknya menjadi titik

tekan Ibnu Jinni, hal ini diperkuat lagi dalam ulasannya

seputar perubahan tanda I’rab yang terjadi pada huruf

akhir kata benda dalam sebuah kalimat. Menurutnya, yang

menjadi factor pengubah adalah bukan apa yang disebut

dalam tradisi nahwu dengan “aamil”, tetapi manusia itu

sendiri yang merubahI’rab-I’rab tersebut. Kemudian, dia

mencontohkan kalimat رأ غف�� �د ج عي� رب� س� Kata daraba pada kalimat . ض��tadi, sejatinya tidak berpengaruh apa-apa, karena kata

daraba ialah kata yang terdiri dari suku kata dad, ra’

dan ba’, mengikuti wazan fa’ala yang hanya merupakan

bunyi atau suara, sedangkan suara termasuk sesuatu yang

tidak dapat melakukan perbuatan.[20]

Paparan Ibnu Jinni tentang perbedaan kalam dan qaul dari

aspek fungsi penggunaannya ialah representasi dari

rasionalitasnya yang disukung oleh fakta-fakta, sedangkan

definisi bahasa yang melibatkan unsur bunyi, penuturnya,

unsure komunikasi dan penegasan perbedaan bahasa setiap

suku bangsa adalah mewakili dimensi sosiologis yang

mengaitkan bahasa dengan perilaku manusia. Dengan

demikian, pengetahuan bahasa pun bersumber dari fakta

bahasa, atau hasil deduksi dari fakta atau fenomena

bahasa, bukan dari murni akal manusia.[21]

Di sisi lain, pendefiniasian bahasa oleh Ibnu Jinni ini

nampaknya menandai perubahan metodologi kajian linguistic

Arab. Umumnya, para linguis sebelum Ibnu Jinni atau

bahkan mereka yang semasa dengannya, tak satu pun yang

membuat definisi bahasa. Indikasinya, hampir semua

literature Arab modern ketika mendefinisikan bahasa

selalu mengacu pada definisi Ibnu Jinni, baru kemudian

mengacu definisi tokoh-tokoh yang muncul setelah Ibnu

Jinni, seperti Ibnu Khaldun (1332 M – 1406 M), yang

mendefinisikan bahasa sebagai, berbagai peristilahan yang

telah digunakan oleh umat (penuturnya) untuk menyatakan

maksudnya. Pernyataan ini berupa tindakan verbal,

karenanya ia mestilah melekat kuat pada organ yang

berfungsi menyatakan, yaitu lisan. Setiap bangsa memiliki

bahasa mereka sendiri.[22]

f. Arbitrer sebagai Dasar Pemilihan Huruf dan Penyusunan

Kata

Pada umumnya, kata dalam bahasa Arab terdiri dari dari

tiga huruf. Komposisi dan pemilihan huruf-huruf tersebut

bersifat arbitrer, hal ini seperti diisyaratkan oleh Ibnu

Jinni sebagi berikut.[23]

“Ketahuilah, bahwa ketika seorang penggagas atau peletak

istilah dalam suatu bahasa hendak melakukan penyusunan

sebuah kata, dia akan mengerahkan segenap pikirannya.

Dengan inteleknya ia mencermati segi-segi yang universal

dan yang particular. Dia sadar harus meninggalkan fonem

yang buruk (susah) jika dirangkai seperti kata عه , ج9 �, قdan  ق� , ك���������� dia juga tahu bahwa kata yang panjang danmembosankan karena memiliki banyak huruf tidak bisa

diubah dalam bentuk yang moderat dan paling ringan, yaitu

bentuk sulaasi (kata yang terdiri dari tiga huruf). Oleh

karena itu, gambaran-gambaran tadi menuntut dia untuk

memakai sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.

Jadi, huruf-huruf pembentuk kata itulah yang mendorong

orang menyeleksinya. Kejadian ini seumpama setumpuk harta

yang ditaruh di depan pemiliknya, dia ambil sebagian

untuk digunakan dan menyimpan sebagian yang lain, dia

seleksi mana benda yang bagus dan mana yang jelek , lalu

yang jelek dia buang semua. Ini sama dengan mereka yang

membuang huruf-huruf yang tak layak untuk disusun atau

dirangkai. Kemudian, apa yang telah dia ambil itu ia

tunjukkan sisi baiknya, dan dia gunakan sesuai yang

diperlukan, dan meninggalkan sebagian karena alasan

seperti yang telah saya kemukaka. Dia juga tahu jika

seandainya dia ambil apa yang telah dia buang untuk

mengganti yang telah disimpan, itu bisa saja demikian dan

dapat juga memenuhi keperluannya, misalnya, jika

seseorang mau menggunakan kata ع َ ج� َsebagai ل ganti dari

kata ع ج� �toh bisa saja dan sudah memenuhi maksudnya…” [24] بPenjelasan Ibnu Jinni diatas mengilustrasikan konsepsinya

mengenai langkah-langkah pembentukan atau penyusunan kata

sebagai berikut:

1. Membuang (mensortir) kata-kata yang susah dibunyikan.

Pada umumnya, kasus seperti ini ialah kata-kata yang

terbentuk dari huruf yang memilikimakhraj (fonem) yang

sama, seperti kata عdi mana huruf ha dan ‘ainsama-sama ه

huruf halaq.

2. Menghindari, bukan membuang sama sekali, kata yang

memiliki banyak huruf, seperti yang terdiri dari empat

huruf al-ruba’i) dan yang terdiri dari lima huruf (al-

khumasi).

3. Melakukan seleksi pada kata-kata yang terdiri dari

tiga huruf (al-sulatsi), karena jenis kata sulatsi

inilah yang paling banyak ditemukan, dan tak mungkin

memakai semuanya.

4. Ukuran atau standar penyeleksian bersifat arbitrer,

tidak ada ukuran baku, tergantung peletak atau

penyusunnya.[25]

g. Qiyas sebagai Metode Penciptaan Bahasa Baru

 Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang

pembentukannya mestilah didasarkan atas kepentingan

penggunanya, karena bahasa adalah milik masyarakatnya

secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh

karena itu, tak semestinya seorang individu tertentu

menciptakan bahasa di luar yang diperlukan atau tidak

disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang

nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada

umumnya, mereka tidak memiliki perbedaan bahasa antara

satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi sangat

sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan

kesamaannya.[26]

 Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya

dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode

penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat

criteria: [27]

1. Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus.

Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti

mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan

marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap

subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek

tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata

benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab

kasrah.

2. Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan

seperti bentuk fi’il madi dari kata ر د� �دع dan ي �,Artinya . يkedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas,

tapi jarang digunakan. Juga seperti kata ل ق� dalam مب�perkataan orang Arab ل ق� daerah yang penuh dengan‘ مك����ان9 مب�rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun

digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas,

tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan

kata ل �اق �(baaqil),makaanun ي baaqilun, bukan makaanun

mubqilun.

3. Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas,

seperti kata  ص���وب�  danأست� جوذ� ت| sedangkan jika mengikuti , أس���qiyas bentuk katanya adalah  ص�������������اب�  danأست� حاذ� ت| tanpa أس�������������huruf wawu illat.

4. Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan,

seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim

maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti

kalimat ووذ رس مق������� �  dan ف������ وب� مص������وون9 �. ب������ Kedua, kata tersebutberasal dari kata dasar اذ � dan ق����������������������������� ان9 yang ص�����������������������������

asalnya وذ  dan ق� -Menurut qiyas yang standar isim maf’ul. صون9

nya ialah وذ  dan مق� .dengan satu wawu saja , مصون9Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan

penggunaannya (al-isti’mal).[28]

1. Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan

penggunaan dalam arti “umum digunakan namun menyimpang

dari segi qiyas”, maka yang menjadi acuan atau yang

didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja,

kata yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan

parameter qiyas, seperti kata  جوذ� ت|  dan أس�������� ص��������وب� .أست� Jaditidak boleh mengiaskan kata ام ق� ب�  dan أس��������� ش���������اع� ,misalnyaأست�menjadi وم ق�  dan أسب� سوع� .أست�2. Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas,

maka ikutilah cara orang Arab saja. Namun, lakukan pada

kasus lain yang senada atau se-wazan,di antaranya ialah

seperti tidak dipakainya kata ر , وذع dan وذ� sebab orangArab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita

boleh menggunakan kata lain yang senada dengannya,

seperti kata  ن9 . وعد dan ور�Selain itu, Ibnu Jinni juga menyentuh aspek atau dimensi

sosialnya terkait dengan penggunaan bahasa. Aspek-aspek

tersebut bisa ditelusuri dalam berbagai pernyataannya

dalam al-Khasa’is sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan “penggunaan bahasa” ialah

digunakan oleh komunitas, bukan oleh individu.[29]

2. Ketika menerima bahasa baru, seseorang akan bersikap

menerimanya langsun, atau menolak sama sekali. Meskipun

menolak, bila bahasa baru itu didengarnya secara

berulang kali, akhirnya bahasa tersebut pun akan melekat

padanya .[30]

3. Penerimaan terhadap bahasa (kosakata) baru yang

maknanya tidak lazim, maka mestilah diketahui dan

dicermati segi asal usul atau proses pemaknaan bahasa

tersebut. Ibnu Jinni member contoh kata  رة�� ب� (aqirah‘) عق�������dalam perkataan orang Arab: ه �رت ب� ع عق� �yang oleh Abu Ishaq رف����dikatakan bermakna suara, ‘dia meninggikan (mengeraskan)

suaranya’, dan menurutnya, kata tersebut berasal dari

kata ف�ر. ع Akan tetapi, Abu Bakar keberatan dengan

penjelasan Abu Ishaq tersebut. Menurutnya, jauh sekali

kalau kata aqirah itu bermakna suara dan dikaitkan

asalnya dari kata aqara. Namun, lanjut Abu Bakar,

kalimat “rafa’a ‘aqiratahu” terkait dengan kisah seorang

yang dipotong salah satu kakinya, kemudian dia

meletakkan potongan kaki tersebut diatas sebelah kakinya

yang masih utuh sambil menjerit keras, mendengar jeritan

tersebut, orang-orang di sekelilingnya berkata, “rafa’a

‘aqiratahu’, yakni rafa’a rijalahu al-ma’qurah, ia mengangkat

kakinya yang terpotong. Jadi, makna asli dari kata

‘aqirah ialah terluka atau terpotong, dari akar kata

‘aqara yang maknanya melukai.[31]

4. Bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Arab dan telah

diolah dengan cara qiyas, maka ia termasuk bahasa Arab,

“maa qisa ‘alaa kalaa,m al-Arab fa huwa ‘indahum min kalaam al-‘Arab”.

[32]

5. Tidak semua bahasa dapat dideduksi atau diinduksi

melalui qiyas, tetapi ada yang mesti diterima apa adanya

dari masyarakat.[33]

BAB III

PENUTUP

Dari uraian dan ulasan tentang pemikiran Ibnu Jinni di atas,

dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Jinni mencoba membawa

wacana dan diskusi-diskusi linguistik Arab dari yang semula

terfokus pada perdebatan nahwu dan fanatisme mazhabnya kepada

kajian-kajian yang lebih umum dan komprehensif.

Bahasa, dalam pandangan Ibnu jinni, bukan merupakan murni

entitas rasional tetapi memiliki dimensi sosial, karena itu,

metode, teori dan pendekatan yang dia gunakan pun mestilah

menggabungkan keduanya.

Jika teori linguistik Barat Modern memfokuskan obyek kajiannya

pada empat unsur penting : Fonetik, sintaksis, morfologi dan

semantic, maka sesungguhnya tradisi linguistic Arab, meskipun

belum tersistem secara terpadu jauh mendahului kajian mereka

seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jinni. Bahkan pendekatan

sosiologis atau yang lain dapat kita telusuri dan dicari

akarnya dari teori-teori Ibnu Jinni dan para linguis generasi

setelahnya.

Teori dan metode serta pemikirannya dalam linguistik

diantaranya adalah perbedaan kalam dan qaul, isytiqaq kabir,

tashaqub al-alfaz litashaqub al-ma’ani , dalalah, tentang

definisi al-Lugah ‘bahasa’, teori arbitrer sebagai dasar

pemilihan huruf dan penyusunan kata serta teori qiyas sebagai

metode penciptaan bahasa baru.

DAFTAR PUSTAKA

·  . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه� ألدكب� ق� ه�� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف ب�روب�1993.موسوعه� عي� �. ت·  ار. ح� م ألت� د ألحلي� ور عي� �ي�ألدكب� ب' ا Aيء أل ي� ألج�ر� ب�� ج� ألإذب� ألعر ارب'� �.ذأرألمعارف�ي·  . اوي� حاة�محمد ألطظ¢ هرألت� Aش ج� أ� ارب'� �جو و ي ة� ألت� ا� Aش � م1969.ن· Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab

Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009

· Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Muhammad

Ali al-Najjar (editor). Bairut: Alam al-Kutub

· http://luluvikar.wordpress.com/2005/06/27/biografi-

singkat-para-tokoh-islam/

· http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/

· DR. Syauqi Dhayf, al-Madaris an-Nahwiyyah

Dalam : http://irfanantono.wordpress.com/2009/11/17/nahwu-aliran-baghdad-tokoh-tokoh/

[1]  . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �96. ت[2]  . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �96. ت[3]  ار. ح� م ألت� د ألحلي� ور عي� �ي�ألدكب� اب' Aيء أل ي� ألج�ر� ب�� ج� ألإذب� ألعر ارب'� �.ص ي 244.ذأرألمعارف�[4] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 54

[5]  . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �100. ت[6] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 55

[7]  . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �101. ت[8] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 57

[9] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 58

[10] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.5-12

[11] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.13-17

[12] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.17

[13] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.17

[14] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.20

[15] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/[16] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/

[17] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/

[18] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.33

[19] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.33

[20] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.109

[21] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 61

[22] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 61

[23] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 67

[24] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.64-65

[25] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 68

[26] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.224

[27] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.97-98

[28] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.97-98

[29] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.25

[30] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.383

[31] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.248

[32] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.114

[33] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat

Vol.8.2009.Hal 72

Rate this:

 

 

 

 

 haninursyam

http://haninursyam.wordpress.com/2011/07/06/pemikiran-ibnu-jinni/

diakses pada 27112013