PEMIKIRAN IBNU JINNIBismillah..
Sebenernya, tulisan ini adalah tugas makalah ane, mata kuliah Ilmu Lughoh
‘Am (Linguistik umum). Tugas pengganti UAS, pmilihan judulnya
diacak/diundi gtu dah pke krtas ma dosennya, nah, kbetulan ane dapet “Ibnu
Jinni”, dan yang harus dibahas di makalah itu ya pemikiran Ibnu
Jinni/kontribusi beliau dalam ilmu Linguistik Arab dan juga Ilmu Keislaman
lainnya. Secara para pemikir Islam jaman dahulu itu ga cuma pinter di satu
bidang aja, tapi banyak dari mereka mengetahui atau mendalami ilmu2 lainnya
juga lho,, Hebat ya? kereeen..
Gak lupa juga, kita harus membahas biografinya, ya walaupun sedikit, tp
setidaknya kita cukup tau basic biografinya. ya ga??
Dalam penyusunan makalah ini bner2 melalui perjuangan yang sangat berat
lho, cz bahan-bahan yang ada termasuk yang direferensiin ma dosennya tu
berbahasa Arab semua, mana gundul lagi..
yah..mau gmana lg, ane kan cuma lulusan SMA biasa bukan lulusan pesantren
kyak temen kelas yang lain, jadi perbendaharaan kata yang ane punya baru
sedikitt…..
Well, tp yg ksulitan dlm mentranslate arab-indo bukan ane doang koq, tp
tmen2 yang lain juga kesulitan c,heheh.. (bukan seneng lho, tp cm skedar
info,hihihi)
Yup yup, stelah berusaha keras bin berjibaku dngan mbah Google transleter +
kamus2 yang tebelnya sejibun kyak Munawir ditambah nyari2 data sana sini +
browsing juga diinternet….dannn..
Tadaaaaaaa!!! Akhirnya selesai juga! Alhamdulillah…
Dan berikut tulisannya, semoga bermanfaat ya,, ^^
Klo ada kripik, eh kritik kamsudnya, silahkan diisi komennya ya..
Cekidoot…!!! ^_~
BAB I
PENDAHULUAN
Benar apa yang dikatakan Intrelektual Muslim klasik bahwaIslam
adalah factor penyemangat utama lahirnya berbagai disiplin
ilmu-ilmu Arab Islam. Kesadaran untuk mentaati aturan-aturan
(hukum) mendorong para ulama merumuskan fiqh dan kodifikasi
Hadits. Kemudian muncullah berbagai kitab fiqh beserta mazhab-
mazhabnya.
Perhatian terhadap Al-Qur’an pun telah mendorong mereka untuk
merumuskan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan al-
qur’an, dimulai dari ilmu bacaannya (al-qira’ah) hingga
tafsir-tafsirnya sehingga bermunculan berbagai buku yang
terkait dengan kajian al-Qur’an, seperti ilmu Nahwu dan
Linguistik.
Tokoh-tokoh atau ulama saat itu dapat dikatakan multi talented,
karena tidak hanya satu ilmu yang mereka pelajari tapi banyak
pengetahuan yang mereka pelajari. Termasuk tokoh-tokoh linguis
Arab pun kebanyakan di antara mereka seperti itu, disamping
mengetahui banyak tentang linguistik, mereka juga banyak
mengetahui ilmu lain.
Sejumlah linguis Arab telah menaruh perhatian terhadap
linguistik sejak gerakan ilmiah dalam kerangka daulat Islam.
Mereka memiliki hasil jerih payah dalam bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, dan kosakata. Orang-orang yang
berkecimpung dalam linguistik mengklasifikasikan dua kelompok.
Kelompok pertama menaruh perhatian terhadap konstruksi bahasa,
sedangkan kelompok kedua menaruh perhatian terhadap kosakata
bahasa dan maknanya. Bidang kajian itu oleh kelompok pertama
diilustrasikan sebagai nahw (gramatika) atau ilmu bahasa Arab,
sementara bidang tersebut diilustrasikan oleh kelompok kedua
sebagai bahasa atau linguistik atau filolog.
Salah satu tokoh ilmu Nahwu yang terkenal adalah Ibnu Jinni,
yang beliau juga ahli dalam ilmu Linguistik. Pada bab
berikutnya, penulis akan mencoba membahas biografi Ibnu jinni
dan pemikirannya dalam linguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Ibnu Jinni Nama lengkapnya ialah Abu al-Fath Utsman Ibnu Jinni, lahir
di Mausil (Mosul), Irak. Tidak ada sumber sejarah yang
pasti menginformasikan tahun kelahirannya, tetapi ada yang
berspekulasi bahwa ibnu Jinni lahir pada tahun 321 H atau
322 H. Ayahnya (Jinni) adalah seorang berbangsa Romawi, Ia
menjadi hamba sahaya (maula) dalam bahasa yunani dikenal
dengan Gennaius.[1] dari Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-
Azdi al-Mausili, seorang menteri (wazir) dari Syaraf al-
Daulah Qarawisy, gubernur Mosul.[2] Oleh karena itu, Ibnu
Jinni sering pula menambahkan nama “al-Azdi” di belakang
namanya.
Ibnu Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga di kota
kelahirannya tersebut. Di Mosul juga ia mendapatkan
pendidikan dasarnya, belajar ilmu nahwu pada gurunya yang
bernama Ahmad bin Muhammad al-Mausili al-Syafi’I yang lebih
dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Setelah itu, ia pindah
ke Baghdad dan menetap di sana. Di kota ini, ia mendalami
lingistik selama kurang lebih empat puluh tahun pada
gurunya yang sangat ia hormati dan ia kagumi, Abu ‘Ali al-
Farisi.[3] Begitu lamanya Ibnu Jinni menimba pengetahuan
bahasa pada Abu ‘Ali, sehingga keduanya terjalin hubungan
yang sangat erat seperti hubungan persahabatan.
Selain berguru secara khusus kepada Abu ‘Ali , Ibnu Jinni
juga banyak belajar pada tokoh linguistik lain, terutama
yang terkait dengan pengambilan sumber bahasa (ruwat al-
lugah wa al-adab), di antara mereka ialah Abu Bakr Muhammad
bin al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miqsam,
seorang pakar qira’ah al-Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin
al-‘Assaf al-‘Uqaili al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni
menyebutnya dengan Abu Abdillah al-Syajari.
Ibnu Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang
merupakan abad puncak perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu
keislaman, yang pada umumnya para ilmuawan pada abad ini
tidak saja menguasai satu disiplin pengetahuan, tetapi juga
menguasai disiplin-disiplin lainnya. Oleh karena itu, tidak
berlebihan apabila para penulis biografi Ibnu Jinni
menyatakan bahwa karya-karya tokoh yang satu ini
menggabungkan teori linguistik, teori prinsip fiqh (ushul
fiqh), juga teori Ilmu Kalam karena dia penganut mazhab
Mu’tazilah, mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu
Ali al-Farisi.[4] Ibnu Jinni menetap di Baghdad hingga
wafat pada tahun 392 H tepatnya pada malam jum’at.[5]
Baik ulama sezamannya, maupun generasi para linguis yang
muncul kemudian, mengakui penguasaan dan keluasan
pengetahuan Ibnu Jinni atas linguistik Arab. Abu Tayyib al-
Mutanabbi (w.354 H) , penyair yang sangat terkenal dan
sahabat Ibnu Jinni, misalnya, pernah berkomentar tentang
Ibnu Jinni, “Dia adalah sosok yang kehebatannya belum
diketahui oleh banyak orang”. Bahkan, apabila al-Mutanabbi
ditanya tentang makna suatu kata yang ia ucapkan (dalam
puisinya), atau tanda harakat (I’rab) yang dianggap aneh,
dia selalu menjawab, “Tanyakanlah pada syaikh juling, Ibnu
Jinni, dia akan menjawab semuanya”. Demikian pula Thash
Kubri Zadah yang dikenal dengan Ahmad bin Mustafa, dalam
bukunyaMiftah al-Sa’adah, menyebutkan bahwa Ibnu Jinni adalah
intelektual yang sangat cerdas, memiliki pengetahuan yang
luas dan mendalam di bidang nahwu dan sharaf. Ibnu Jinni
adalah linguis yang prolific dan produktif. Ini dibuktikan
dengan berbagai karyanya.[6]
2.2. Karya-karya Ibnu JinniIbnu Jinni meninggalkan karya-karya linguistiknya tak
kurang dari lima puluh buku, baik yang berkaitan dengan
kajian bahasa langsung maupun yang bersifat komentar atau
interpretasi atas karya orang lain, baik karya prosa maupun
puisi. Di antaranya ialah sebagai berikut:
1. Al-Khasa’is
2. Al-Tamam
3. Sirr al-Sina’at
4. Al-Munsif
5. Syarhu Mustagliq Abyati al-Hamasah
6. Syarhu al-Maqsud wa al-Mamdud li Ibni al-Sikkit
7. Ta’aqub al-‘Arabiyah
8. Al-Fasr (Tafsir Diwan al-Mutanabbi al-Kabir)
9. Tafsir Ma’ani Diwani al-Mutanabbi al-Sagir
10. Al-Luma’ fi al-‘Arabiyah
11. Al-Tasrif al-Muluki
12. Kitab Mukhtasar al-‘Arud wa al-Qawafi
13. Kitab al-Hamzah al-Mamdudah
14. Kitab al-Muqtadab
15. Tafsir al-Muzakkar wa al-Mu’annas li Abi Ya’qub
16. Kitabu Ta’yidi Tazkirah Abi Ali
17. Al-Mahasin fi al-‘Arabiyah
18. Al-Nawadir al-Mumti’ah
19. Al-Khatiriyyat
20. Al-Muhtasab fi syarhi Syawazi al-Qira’at
21. Tafsir Urjuzati Abi Nawwas
22. Tafsir al-‘Alawiyat
23. Kitab al-Busyra wa al-Zufr
24. Risalah fi Maddi al-Aswat wa Maqaddir al-Muddat
25. Kitab al-Muzakkar wa al-Muannas
26. Kitab Muqaddimati Abwabi al-Tasrif
27. Kitab al-Naqd ‘ala Ibni Waki’ fi Syi’ri al-Mutanabbi wa
Takhti’atihi
28. Al-Mu’rib fi Syarhi al-Qawafi
29. Kitab al-Fasl baina al-Kalam al-Khas wa al-Kalam al-‘Am
30. Al-Talqin fi al-Nahwi
31. Kitab al-Ma’ani al-Muharrarah
32. Kitab al-Farq
33. Kitab al-Fa’iq
34. Kitab al-Khatib
35. Kitab al-Ara’iz
36. Kitab zi al-Qaddi
37. Syarh al-Fasih
38. Kitab Syarh al-Kafi fi al-Qawafi
39. Al-Tazkirah al-Asbihaniyah
40. Al-Tahzib
41. Al-Muhazzab
42. Al-Tabsirah
43. Kitab al-Zajr
44. Mas’alatani fi al Aimani li Muhammad ibnu al-Hasan al-
Syaibani
45. ‘Ilal al-Tasniyah
46. Al-Masa’il al-Wasitiyyah
47. Kitab Syarhi al-Ibdal li Ya’qub[7]
2.3. Teori, Metode dan Pemikiran Ibnu JinniSeperti umumnya para linguis besar dalam tradisi linguistic Arab,
semisal Sibawaih, al-Farra’, al-Farisi, al-Zamakhsyari, dan lainnya
yang berlatar belakang teologi Mu’tazilah, Ibnu Jinni pun termasuk dari
komunitas tersebut. Mu’tazilah adalah komunitas intelektual yang
mengedepankan cara berpikir rasional.
Hanya saja, kerasionlan Ibnu Jinni dicurahkan untuk memikirkan obyek-
obyek linguistic dan merumuskan teori-teori yang diharapkan bisa
diterima oleh semua mazhab. Meskipun Ibnu Jinni penganut Mazhab Bashrah
dan berupaya mempertahankan pandangan-pandangannya, dia tidak fanatik,
bahkan ia tak segan mengambil teori-teori dari tokoh Mazhab Kufah,
seperti al-Kisa’i dan Sa’lab. Bahasa yang digunakan pun cukup santun,
tidak melemparkan kritik pedas layaknya persaingan mazhab nahwu. Dia
menghargai pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya atau
mazhabnya, karena baginya “…fa al-haqqu ahaqqu ‘an yutba’ ayna halla”
‘kebenaran lebih berhak atau lebih layak untuk diikuti di manapun ia
berada’
Oleh karena itu, untuk membangun teori linguistiknya, Ibnu Jinni
menggunakan metode ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek ilmiah,
menggabungkan metode deskriptif dan filsafati (rasional) sebagai
piranti analisisnya. Metode deskriptif ia gunakan dalam melihat
realitas dan hakekat bahasa. Baginya, bahasa adalah realitas sosial.
Oleh karena itu, semua bahasa yang muncul di tengah masyarakat adalah
memiliki status yang sama. Ini seperti terlihat dalam definisinya
mengenai nahwu yang menurutnya ialah “meniru cara bertutur orang Arab,
segi perubahan I’rab-nya dan pola yang lain, seperti meniru pola bentuk
dual (tasniyyah), plural (jamak), tahqir (tasgir), jamak taksir
(irregular), idafah, penisbatan (al-nasab), struktur kalimat dan lain
sebagainya. Ini semua agar orang non-Arab bisa bertutur sefasih orang
Arab…”. Di sini, Ibnu Jinni tidak membatasi bahasa orang Arab dari suku
tertentu, atau bahasa Arab dari level tertentu yang dapat ditiru.[8]
Adapun metode filsafati ia gunakan untuk menguraikan alasan-alasan,
sebab-sebab (al-ta’lilat) yang tersembunyi di balik gejala atau
fenomena bahasa. Meskipun demikian, hamper seluruh ta’lil yang
dilakukan oleh Ibnu Jinni adalah ta’lil sosial, artinya, semua alasan-
alasan yang ia kemukakan dikembalikan pada para penutur bahasa itu
sendiri. Penggabungan dua metode Ibnu Jinni ini, dapat terbaca jelas
dari uraian, analisis, juga berbagai definisi yang ia rumuskan
tentang“al-qaul, al-kalam, al-lugah, al-nahw, al-I’rab, al-bina, asl al-lugah “ dan lain-
lain. [9]
a. Perbedaan Kalam dan Qaul
Jauh sebelum Ferdinand de Saussure , bapak linguistic
modern Eropa, khususnya aliran structural-deskriptif,
menggagas tiga terminologinya yang masyhur : parole, langage,
dan langue, di Bagdad, meskipun dalam konteks dan
pengertian yang berbeda dari De Saussure, Ibnu Jinni
dengan cerdas dan jeli telah memulai bukunya, al-Khasais,
dengan membahas perbedaan antara makna “kalam” dan “qaul”.
Ibnu Jinni mempraktekkan teorinya yang ia sebut al-
isytiqaq al-akbar, yaitu penyimpulan makna dari suatu
kata yang memiliki suku kata yang sama. Tiga suku kata ق� و
,qaf) ل wawu,lam) bisa dibolak-balik menjadi enam polayaitu :
ق� و ل – ق� ل و – و ق� ل – و ل ق� – ل ق� و – ل و ق�Menurutnya, keenam pola tersebut menunjukkan makna yang
sama, yaitu “ringan dan cekatan” (al-khufuf wa al-harakah).
Ibnu Jinni lebih lanjut memberikan contoh masing-masing
dari semua bentuk tersebut.[10]Sedangkan, tiga suku
kata م ل meskipun ك diubah dan dibolak-balik pola danbentuknya seperti
ك ل م – ك م ل – ل ك م – م ك ل –ل م كDari kelima bentuk tersebut, kecuali bentuk yang
terakhir, menunjukkan makna yang sama, yaitu “kuat dan
keras” (al-quwwah wa al-syiddah).[11]
Setelah selesai mnguraikan makna kata dari derivasi suku
kata qaf, wawu, lam,dan kaf, lam dan mim di atas, selanjutnya
Ibnu Jinni mendefinisikan “kalam” dan “qaul”.
Kalam ialah setiap ujaran yang berdiri sendiri dan
memiliki makna yang oleh kalangan ahli nahwu disebut
“jumlah” seperti ujaran, ،وك �ب�� ى ألدأر أ� د، ف� رب� سعي� ام محمد، ض� �وك، ق �خ د أ� ي'� ر�.dan lain sebagainya صه، مهAdapun qaul, pada dasarnya ialah setiap ujaran yang mudah
diucapkan oleh lidah kita, baik yang berdiri sendiri dan
bermakna (jumlah mufidah) maupun tidak. Jadi, pengertian
kalam lebih umum daripada qaul, setiap kalam adalah qaul,
dan tidak sebaliknya. [12]
Kata “qaul”, digunakan dan mengandung makna keyakinan
atau pandangan (al-I’tiqadat wa al-‘ara), seperti,
“Fulanun yaquulu bi qauli Abi Hanifata, wa yazhabu ilaa
qauli Maalik”. Pernyataan tersebut tidak sekedar
menyatakan bahwa si Fulan meniru ucapan Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik tanpa menambah atau mengurangi, tetapi
yang dimaksudkan ialah bahwa si Fulan itu mengikuti
(meyakini) pendapat dan gagasan Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik.[13]
Keyakinan dan ide dilambangkan dan diekspresikan dengan
“qaul”, bukan dengan “kalam” karena antara keyakinan dan
ide lebih mirip dengan qaul daripada dengan kalam.
Kemiripannya ialah karena keyakinan dan ide tidak dapat
dipahami atau dimengerti kecuali melalui media yang lain,
yaitu lambing bunyi atau ujaran. Ini sama dengan qaul
yang terkadang maknanya tidak bisa dimengerti kecuali
melalui media lain. Contohya ialah jika seseorang
berkata, “qaama” ‘berdiri’, maka kata tersebut belum
dapat dipahami karena belum sempurna.
Oleh karena itu, agar kata tersebut dapat dipahami,
diperlukan bantuan yang lain, yaitu “fail”, qama Zaidun,
misalnya. Jadi, antara qaul yang untuk kesempurnaan
maknanya memerlukan bantuan yang lain, ini berarti sama
dengan keyakinan dan ide yang agar keduanya bisa
dimengerti juga memerlukan bantuan yang lain, yaitu
lambang kata.[14]
Adapun “kalam” tidak demikian, ia adalah kalimat yang
mandiri, sempurna maknanya, tidak memerlukan bantuan yang
lain. Oleh karena itu, kata Ibnu Jinni, bahwa bukti
adanya perbedaan antara keduanya ialah telah menjadi
kesepakatan bersama menyebut al-Qur’an dengan Kalamullah,
bukan Qaulullah.
b. Isytiqaq Kabir
Isytiqaq ada dua macam, shaghir dan kabir. Yang pertama
(isytiqaq shaghir) dikaji dalam ilmu sharaf , misalnya
isim fa’il atau isim maf’ul yang diambil dari masdarnya
seprti ل �ائ �ول dan ق dari مق������� kata ول . ق������� Yang kedua (isytiqaqkabir) dikaji dalam fiqh lughah. Menurut Ibnu Jinni,
kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf
yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna
umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini : ب�ر - – ج� رب� �ج
ر- ج��� �- ب رج9رب� �ب� – ب�� �رج mempunyai makna umum yang sama yakni وة� ألق���
دة� Aش(kekuatan dan kekerasan ).[15] وألc. Tashaqub al-alfaz litashaqub al-ma’ani
Intinya adalah bahwa kata yang hurufnya berdekatan (tidak
sama persis) maka maknanya juga berdekatan, misalnya: ر�ّ ؛ ه��
ر�ّ yang أ� artinya ل�������������������ق� اج9 ألق� ع������������������� ر� K؛ ألإ yakni mengejutkan dan
kegelisahan, طع �ط�����ف� ؛ ق �juga mempunya arti yang berdekatan قyakni memotong dan memetik.
Maka dalam memahami esensi makna kata perkata dapat
dilakukan penelusuran terhadap kata-kata lain yang huruf-
hurufnya sama atau berdekatan.[16]
d. Dalalah
Dalalah oleh Ibnu Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Dalalah lafziyyah, yaitu makna yang ditimbulkan oleh
lafal atau suara dari kata tersebut,
misalnya رب� menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk ض���kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau
intonasi untuk kata yang bukan berasal dari peniruan
suara).
2. Dalalah shinaiyyah, yaitu makna yang dipengaruhi
oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly
menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan
tersebut . Perbedaan antara kata ر�اب ور dan ص������� ب� yang , ص�������pertama berarti orang yang sabar, yang kedua berarti
orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan
oleh perbedaan shighah.
3. Dalalah ma’nawiyyah, yaitu makna terjadinya
pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni
penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa[17]
e. Al-Lugah ‘bahasa’
Kata ه� mengikuti wazan لغ���� عل���ه� � berasal dari kata ف وب� bermakna لغ����‘saya berbicara’. Akar katanya
adalah وة� seperti لغ� dan كرة� له� � juga ق ه� ب� A'وث yang semuanya mengandunghuruf lam dan wawu , karena orang Arab
mengatakan روب� dan ك����� ل�����وب� � Bisa juga kata . ق ه� berasal dari لغ������kata ى� لغ� _ى� – ي yang لغ� bermakna ‘bicara yang tak berarti’,
dimana bentuk masdarnya adalah ا atau أللع� و [18] . أللغ�Adapun definisi bahasa adalah, “aswatun yu’abbiru bihaa
kullu qaumin ‘an agraadihim” ‘bunyi yang diekspresikan
oleh semua kelompok masyarakat untuk menyatakan maksud
mereka’.[19] Aspek bunyi ini yang nampaknya menjadi titik
tekan Ibnu Jinni, hal ini diperkuat lagi dalam ulasannya
seputar perubahan tanda I’rab yang terjadi pada huruf
akhir kata benda dalam sebuah kalimat. Menurutnya, yang
menjadi factor pengubah adalah bukan apa yang disebut
dalam tradisi nahwu dengan “aamil”, tetapi manusia itu
sendiri yang merubahI’rab-I’rab tersebut. Kemudian, dia
mencontohkan kalimat رأ غف�� �د ج عي� رب� س� Kata daraba pada kalimat . ض��tadi, sejatinya tidak berpengaruh apa-apa, karena kata
daraba ialah kata yang terdiri dari suku kata dad, ra’
dan ba’, mengikuti wazan fa’ala yang hanya merupakan
bunyi atau suara, sedangkan suara termasuk sesuatu yang
tidak dapat melakukan perbuatan.[20]
Paparan Ibnu Jinni tentang perbedaan kalam dan qaul dari
aspek fungsi penggunaannya ialah representasi dari
rasionalitasnya yang disukung oleh fakta-fakta, sedangkan
definisi bahasa yang melibatkan unsur bunyi, penuturnya,
unsure komunikasi dan penegasan perbedaan bahasa setiap
suku bangsa adalah mewakili dimensi sosiologis yang
mengaitkan bahasa dengan perilaku manusia. Dengan
demikian, pengetahuan bahasa pun bersumber dari fakta
bahasa, atau hasil deduksi dari fakta atau fenomena
bahasa, bukan dari murni akal manusia.[21]
Di sisi lain, pendefiniasian bahasa oleh Ibnu Jinni ini
nampaknya menandai perubahan metodologi kajian linguistic
Arab. Umumnya, para linguis sebelum Ibnu Jinni atau
bahkan mereka yang semasa dengannya, tak satu pun yang
membuat definisi bahasa. Indikasinya, hampir semua
literature Arab modern ketika mendefinisikan bahasa
selalu mengacu pada definisi Ibnu Jinni, baru kemudian
mengacu definisi tokoh-tokoh yang muncul setelah Ibnu
Jinni, seperti Ibnu Khaldun (1332 M – 1406 M), yang
mendefinisikan bahasa sebagai, berbagai peristilahan yang
telah digunakan oleh umat (penuturnya) untuk menyatakan
maksudnya. Pernyataan ini berupa tindakan verbal,
karenanya ia mestilah melekat kuat pada organ yang
berfungsi menyatakan, yaitu lisan. Setiap bangsa memiliki
bahasa mereka sendiri.[22]
f. Arbitrer sebagai Dasar Pemilihan Huruf dan Penyusunan
Kata
Pada umumnya, kata dalam bahasa Arab terdiri dari dari
tiga huruf. Komposisi dan pemilihan huruf-huruf tersebut
bersifat arbitrer, hal ini seperti diisyaratkan oleh Ibnu
Jinni sebagi berikut.[23]
“Ketahuilah, bahwa ketika seorang penggagas atau peletak
istilah dalam suatu bahasa hendak melakukan penyusunan
sebuah kata, dia akan mengerahkan segenap pikirannya.
Dengan inteleknya ia mencermati segi-segi yang universal
dan yang particular. Dia sadar harus meninggalkan fonem
yang buruk (susah) jika dirangkai seperti kata عه , ج9 �, قdan ق� , ك���������� dia juga tahu bahwa kata yang panjang danmembosankan karena memiliki banyak huruf tidak bisa
diubah dalam bentuk yang moderat dan paling ringan, yaitu
bentuk sulaasi (kata yang terdiri dari tiga huruf). Oleh
karena itu, gambaran-gambaran tadi menuntut dia untuk
memakai sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.
Jadi, huruf-huruf pembentuk kata itulah yang mendorong
orang menyeleksinya. Kejadian ini seumpama setumpuk harta
yang ditaruh di depan pemiliknya, dia ambil sebagian
untuk digunakan dan menyimpan sebagian yang lain, dia
seleksi mana benda yang bagus dan mana yang jelek , lalu
yang jelek dia buang semua. Ini sama dengan mereka yang
membuang huruf-huruf yang tak layak untuk disusun atau
dirangkai. Kemudian, apa yang telah dia ambil itu ia
tunjukkan sisi baiknya, dan dia gunakan sesuai yang
diperlukan, dan meninggalkan sebagian karena alasan
seperti yang telah saya kemukaka. Dia juga tahu jika
seandainya dia ambil apa yang telah dia buang untuk
mengganti yang telah disimpan, itu bisa saja demikian dan
dapat juga memenuhi keperluannya, misalnya, jika
seseorang mau menggunakan kata ع َ ج� َsebagai ل ganti dari
kata ع ج� �toh bisa saja dan sudah memenuhi maksudnya…” [24] بPenjelasan Ibnu Jinni diatas mengilustrasikan konsepsinya
mengenai langkah-langkah pembentukan atau penyusunan kata
sebagai berikut:
1. Membuang (mensortir) kata-kata yang susah dibunyikan.
Pada umumnya, kasus seperti ini ialah kata-kata yang
terbentuk dari huruf yang memilikimakhraj (fonem) yang
sama, seperti kata عdi mana huruf ha dan ‘ainsama-sama ه
huruf halaq.
2. Menghindari, bukan membuang sama sekali, kata yang
memiliki banyak huruf, seperti yang terdiri dari empat
huruf al-ruba’i) dan yang terdiri dari lima huruf (al-
khumasi).
3. Melakukan seleksi pada kata-kata yang terdiri dari
tiga huruf (al-sulatsi), karena jenis kata sulatsi
inilah yang paling banyak ditemukan, dan tak mungkin
memakai semuanya.
4. Ukuran atau standar penyeleksian bersifat arbitrer,
tidak ada ukuran baku, tergantung peletak atau
penyusunnya.[25]
g. Qiyas sebagai Metode Penciptaan Bahasa Baru
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang
pembentukannya mestilah didasarkan atas kepentingan
penggunanya, karena bahasa adalah milik masyarakatnya
secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh
karena itu, tak semestinya seorang individu tertentu
menciptakan bahasa di luar yang diperlukan atau tidak
disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang
nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada
umumnya, mereka tidak memiliki perbedaan bahasa antara
satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi sangat
sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan
kesamaannya.[26]
Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya
dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode
penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat
criteria: [27]
1. Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus.
Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti
mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan
marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap
subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek
tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata
benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab
kasrah.
2. Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan
seperti bentuk fi’il madi dari kata ر د� �دع dan ي �,Artinya . يkedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas,
tapi jarang digunakan. Juga seperti kata ل ق� dalam مب�perkataan orang Arab ل ق� daerah yang penuh dengan‘ مك����ان9 مب�rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun
digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas,
tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan
kata ل �اق �(baaqil),makaanun ي baaqilun, bukan makaanun
mubqilun.
3. Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas,
seperti kata ص���وب� danأست� جوذ� ت| sedangkan jika mengikuti , أس���qiyas bentuk katanya adalah ص�������������اب� danأست� حاذ� ت| tanpa أس�������������huruf wawu illat.
4. Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan,
seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim
maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti
kalimat ووذ رس مق������� � dan ف������ وب� مص������وون9 �. ب������ Kedua, kata tersebutberasal dari kata dasar اذ � dan ق����������������������������� ان9 yang ص�����������������������������
asalnya وذ dan ق� -Menurut qiyas yang standar isim maf’ul. صون9
nya ialah وذ dan مق� .dengan satu wawu saja , مصون9Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan
penggunaannya (al-isti’mal).[28]
1. Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan
penggunaan dalam arti “umum digunakan namun menyimpang
dari segi qiyas”, maka yang menjadi acuan atau yang
didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja,
kata yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan
parameter qiyas, seperti kata جوذ� ت| dan أس�������� ص��������وب� .أست� Jaditidak boleh mengiaskan kata ام ق� ب� dan أس��������� ش���������اع� ,misalnyaأست�menjadi وم ق� dan أسب� سوع� .أست�2. Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas,
maka ikutilah cara orang Arab saja. Namun, lakukan pada
kasus lain yang senada atau se-wazan,di antaranya ialah
seperti tidak dipakainya kata ر , وذع dan وذ� sebab orangArab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita
boleh menggunakan kata lain yang senada dengannya,
seperti kata ن9 . وعد dan ور�Selain itu, Ibnu Jinni juga menyentuh aspek atau dimensi
sosialnya terkait dengan penggunaan bahasa. Aspek-aspek
tersebut bisa ditelusuri dalam berbagai pernyataannya
dalam al-Khasa’is sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan “penggunaan bahasa” ialah
digunakan oleh komunitas, bukan oleh individu.[29]
2. Ketika menerima bahasa baru, seseorang akan bersikap
menerimanya langsun, atau menolak sama sekali. Meskipun
menolak, bila bahasa baru itu didengarnya secara
berulang kali, akhirnya bahasa tersebut pun akan melekat
padanya .[30]
3. Penerimaan terhadap bahasa (kosakata) baru yang
maknanya tidak lazim, maka mestilah diketahui dan
dicermati segi asal usul atau proses pemaknaan bahasa
tersebut. Ibnu Jinni member contoh kata رة�� ب� (aqirah‘) عق�������dalam perkataan orang Arab: ه �رت ب� ع عق� �yang oleh Abu Ishaq رف����dikatakan bermakna suara, ‘dia meninggikan (mengeraskan)
suaranya’, dan menurutnya, kata tersebut berasal dari
kata ف�ر. ع Akan tetapi, Abu Bakar keberatan dengan
penjelasan Abu Ishaq tersebut. Menurutnya, jauh sekali
kalau kata aqirah itu bermakna suara dan dikaitkan
asalnya dari kata aqara. Namun, lanjut Abu Bakar,
kalimat “rafa’a ‘aqiratahu” terkait dengan kisah seorang
yang dipotong salah satu kakinya, kemudian dia
meletakkan potongan kaki tersebut diatas sebelah kakinya
yang masih utuh sambil menjerit keras, mendengar jeritan
tersebut, orang-orang di sekelilingnya berkata, “rafa’a
‘aqiratahu’, yakni rafa’a rijalahu al-ma’qurah, ia mengangkat
kakinya yang terpotong. Jadi, makna asli dari kata
‘aqirah ialah terluka atau terpotong, dari akar kata
‘aqara yang maknanya melukai.[31]
4. Bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Arab dan telah
diolah dengan cara qiyas, maka ia termasuk bahasa Arab,
“maa qisa ‘alaa kalaa,m al-Arab fa huwa ‘indahum min kalaam al-‘Arab”.
[32]
5. Tidak semua bahasa dapat dideduksi atau diinduksi
melalui qiyas, tetapi ada yang mesti diterima apa adanya
dari masyarakat.[33]
BAB III
PENUTUP
Dari uraian dan ulasan tentang pemikiran Ibnu Jinni di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Jinni mencoba membawa
wacana dan diskusi-diskusi linguistik Arab dari yang semula
terfokus pada perdebatan nahwu dan fanatisme mazhabnya kepada
kajian-kajian yang lebih umum dan komprehensif.
Bahasa, dalam pandangan Ibnu jinni, bukan merupakan murni
entitas rasional tetapi memiliki dimensi sosial, karena itu,
metode, teori dan pendekatan yang dia gunakan pun mestilah
menggabungkan keduanya.
Jika teori linguistik Barat Modern memfokuskan obyek kajiannya
pada empat unsur penting : Fonetik, sintaksis, morfologi dan
semantic, maka sesungguhnya tradisi linguistic Arab, meskipun
belum tersistem secara terpadu jauh mendahului kajian mereka
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jinni. Bahkan pendekatan
sosiologis atau yang lain dapat kita telusuri dan dicari
akarnya dari teori-teori Ibnu Jinni dan para linguis generasi
setelahnya.
Teori dan metode serta pemikirannya dalam linguistik
diantaranya adalah perbedaan kalam dan qaul, isytiqaq kabir,
tashaqub al-alfaz litashaqub al-ma’ani , dalalah, tentang
definisi al-Lugah ‘bahasa’, teori arbitrer sebagai dasar
pemilihan huruf dan penyusunan kata serta teori qiyas sebagai
metode penciptaan bahasa baru.
DAFTAR PUSTAKA
· . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه� ألدكب� ق� ه�� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف ب�روب�1993.موسوعه� عي� �. ت· ار. ح� م ألت� د ألحلي� ور عي� �ي�ألدكب� ب' ا Aيء أل ي� ألج�ر� ب�� ج� ألإذب� ألعر ارب'� �.ذأرألمعارف�ي· . اوي� حاة�محمد ألطظ¢ هرألت� Aش ج� أ� ارب'� �جو و ي ة� ألت� ا� Aش � م1969.ن· Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab
Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009
· Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Muhammad
Ali al-Najjar (editor). Bairut: Alam al-Kutub
· http://luluvikar.wordpress.com/2005/06/27/biografi-
singkat-para-tokoh-islam/
· http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/
· DR. Syauqi Dhayf, al-Madaris an-Nahwiyyah
Dalam : http://irfanantono.wordpress.com/2009/11/17/nahwu-aliran-baghdad-tokoh-tokoh/
[1] . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �96. ت[2] . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �96. ت[3] ار. ح� م ألت� د ألحلي� ور عي� �ي�ألدكب� اب' Aيء أل ي� ألج�ر� ب�� ج� ألإذب� ألعر ارب'� �.ص ي 244.ذأرألمعارف�[4] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 54
[5] . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �100. ت[6] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 55
[7] . ي� رب� عكاب'� ور رحاب� حض� ه ألدكب� ق� ه� وألق� جو وأللغ� ى� ألت� �رة� ألإسلإم ف� اف . ص 1993.موسوعه� عي� ب�روب� �101. ت[8] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 57
[9] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 58
[10] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.5-12
[11] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.13-17
[12] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.17
[13] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.17
[14] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.20
[15] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/[16] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/
[17] http://sukamta.wordpress.com/2010/06/30/41/
[18] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.33
[19] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.33
[20] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.109
[21] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 61
[22] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 61
[23] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 67
[24] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.64-65
[25] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 68
[26] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.224
[27] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.97-98
[28] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.97-98
[29] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.25
[30] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.383
[31] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.248
[32] Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, Hal.114
[33] Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam Adabiyyat
Vol.8.2009.Hal 72
Rate this:
haninursyam
http://haninursyam.wordpress.com/2011/07/06/pemikiran-ibnu-jinni/
diakses pada 27112013
Top Related