RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM DENGAN HUKUM ...

86
RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA TENTANG SAKSI DALAM TALAK SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: JOSHUA SUHERMAN NIM. 11521104436 PROGRAM S1 JURUSAN HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2019 M/ 1441 H

Transcript of RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM DENGAN HUKUM ...

RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM DENGAN HUKUMPERKAWINAN DI INDONESIA TENTANG

SAKSI DALAM TALAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

JOSHUA SUHERMANNIM. 11521104436

PROGRAM S1JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2019 M/ 1441 H

ABSTRAK

Joshua Suherman, (2019) : RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZMDENGAN HUKUM PERKAWINAN DIINDONESIA TENTANG SAKSI DALAMTALAK

Talak adalah sesuatu yang tidak dinginkan oleh semua orang, namunwujudnya talak pada hakikatnya adalah untuk menyelesaikan permasalah yangterjadi dalam rumah tangga. Agama mensyariatkan pernikahan untuk memenuhikemaslahatan hamba, baik dalam bidang duniawiyah maupun dalam bidangdiniyah, maka disyariatkannya talak adalah untuk menyempurnakan pernikahan,karena apabila suatu pernikahan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, tentu harusdicarikan jalan keluarnya. Skripsi ini membahas seputar hukum persaksian dalamtalak, yang menjadi pokok permasalahannya adalah pendapat Ibnu H{azm yangmengatakan bahwa wajib menghadirkan saksi ketika menjatuhkan talak, yangmana hal ini adalah berbeda dengan apa yang telah menjadi ijmak dikalanganjumhur ulama fikih, kemudian ditemukan pula dalam hukum perkawinan diIndonesia bahwa perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang PengadilanAgama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah pendapatIbnu H{azm relevan dengan hukum perkawinan di Indonesia tentang saksi dalamtalak.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, artinya penelitian inidilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka (Library Research), yang dalampenelitian ini adalah kitab al-Muh}alla> karya Ibnu H{azm dan buku-buku yangmembahas tentang hukum perkawinan di Indonesia. Penelitian ini bersifatdeskriptif, yaitu mendeskripsikan pendapat Ibnu H{azm tentang saksi dalam talaksecara sistematis kemudian dihubungkan dengan fenomena yang terjadi padahukum perkawinan di Indonesia saat ini.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulanbahwa adanya kesamaan dan perbedaan antara pendapat Ibnu H{azm dan hukumperkawinan di Indonesia. Baik Ibnu H{azm maupun hukum perkawinan diIndonesia sama-sama mewajibkan adanya saksi pada saat ikrar talak, namunterdapat perbedaan yang lebih mendasar sehingga penulis menyimpulkan bahwapendapat Ibnu H{azm dengan hukum perkawinan di Indonesia tentang saksi dalamtalak tidak relevan dan tidak bisa dikatakan bahwa ketentuan perceraian diIndonesia harus di depan Sidang Pengadilan Agama adalah berdasarkan pendapatIbnu Hazm, karena terdapat perbedaan dalam hal teknis, yang mana hal ini dapatmenentukan sah atau tidaknya talak seseorang.

Kata Kunci: Ibnu Hazm, Saksi, Talak.

Motto

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar

kamu dapat mengambil pelajaran”

(QS. An-Nahl [16]: 90)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk

Almamaterku Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Ayahanda dan Ibunda Tercinta

Saudara dan Saudariku

Keluargaku Ma’had al-Jami’ah

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Dan Untuk masa depanku yang sukses dan bahagia

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusanbersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I.Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

1. KonsonanDaftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin

dapat dilihat pada halaman berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

ب Ba B Be

ت Ta T Te

ث S|a S| Es (dengan titik diatas)

ج Jim J Je

ح H}a H} Ha (dengan titik diatas)

خ Kha Kh Ka dan Ha

د Dal D De

ذ Z|al Z| Zet (dengan titik diatas)

ر Ra R Er

ز Zai Z Zet

س Sin S Es

ش Syin Sy Es dan Ye

ص S}ad S} Es (dengan titik dibawah)

ض D}ad D} De (dengan titik dibawah)

ط T}a T} Te (dengan titik dibawah)

ظ Z}a Z} Zet (dengan titik dibawah)

ع ‘Ain ‘__ Apostrof terbalik

غ Gain G Ge

ف Fa F Ef

ق Qof Q Qi

ك Kaf K Ka

ل Lam L El

م Mim M Em

ن Nun N En

و Wau W We

ه Ha H Ha

ء Hamzah __’ Apostrof

ي Ya Y Ye

2. Vokal

Vokal bahasa Arab sama seperti vokal bahasa Indonesia, terdiriatas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat,transliterasinya sebagaiberikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ا Fath}ah A A

ا Kasrah I I

ا D}ammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabunganantara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

يى Fath}ah dan Ya Ai A dan I

ىو Fath}ah dan Wau Au A dan U

Cantoh:

كيف : kaifa هول : haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat danhuruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Huruf dan harakat Nama Huruf dan tanda Nama

_ى\_ا Fath}ah dan alifatau ya a>

a dan garisdiatas

ىي Kasrah dan ya i>i dengan garis

diatas

ىو D}ammah dan ya u>u dengan garis

diatasContoh:

مات : ma>ta قيل : qi>la

رمى : rama> يموت : yamu>tu

4. Ta Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta marbu>t}ah ada dua yaitu ta marbu>t}ah yanghidup dan mendapat harakat fath}ah, kasrah dan d}ammah tranlitersinyaadalah [t]. Sedangkan ta marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakatsukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata terakhir dengan ta marbu>t}ah diikuti oleh katayang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah,maka ta marbu>t}ah itu di transliterasikan dengan [h].

Contoh:

روضة األطفال : raud}ah al-at}fa>l

نة الفاضلة المديـ : al-madi>nah al-fa>d}ilah

الحكمة : al-h}ikmah

5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arabdilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ◌), dalam transliterasi inidilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberitanda yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

ربـنا : rabbana>

الحق : al-h}aqqu

نـعم : ni”ima

عدو : ‘aduwwun

Jika huruf ى ber-tasydi>d di akhir sebuah kata dan didahului olehhuruf kasrah ى maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i>).

Contoh :

علي : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

عربي : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Arabiy)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan denganhuruf ال (alif dan lam). Dalam pedoman transliterasi ini kata sandangditransliterasi sesuai dengan bunyinya baik dikuti oleh huruf qamariyyahmaupun syamsyiyyah.

Contoh:

س م ش ل ا : asy-syamsu

ة ل ز ل ز ل ا : az-zalzalah

ة ف س ل ف ل ا : al-falsafah

د ال ب ل ا : al-bila>du

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‘) hanyaberlaku bagi hamzah yang terletak ditengah dan akhir kata. Namun, bilahamzah terletak diawal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisanArab ia berupa alif.

Contoh:

ن و ر أم ت : ta’muru>na شيء : syai’un

النـوء : al-nau’ أمرت : umirtu

8. Huruf Kapital

Meskipun sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital,namun dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai aturan tentangpenggunaan huruf kapital. Huruf kapital misalnya digunakan pada awalnama orang, tempat atau bulan dan huruf pertama pada permulaankalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yangditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut bukanhuruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka hurufA dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).

Contoh:

Wa ma> Muhammadun illa> rasu>l

Syahru ramad}a>n al-laz|i> unzila fi>hi al-Qur’a>n

Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>

Al-gaza>li>

Al-Munqiz| min al-D{ala>l

9. Penulisan bahasa Arab yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau kalimat yang belum dibekukan dalam bahasa Indonesia. Kata,istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi perbendaharaan bahasaIndonesia tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Seperti kataal-Qur’an, Sunah, khusus dan umum. Namun jika kata-kata tersebutmenjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasisecara utuh.

Contoh:

Fi Z{ila>l al-Qur’a>n

Al-‘Iba>ra>t bi ‘umu>m al-lafz} la> bi khus}u>s} al-sabab

i

KATA PENGANTAR

، هو الذي خلق الموت والحيوة لنبلوكم أيكم ورنا لغفور شكرب ا الحزن إن ذي أذهب عن ال هللاد مالح

الللهم صل على سيدنا محمد، خاتم األنبياء والمرسلين، وعلى اله وهو العزيز الغفور.،أحسن عمال

الطيبين، وأصحابه األخبار أجمعين، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

Puji dan syukur kepada Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la> yang telah

melimpahkan segala rahmat dan karunia -Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada Sayyidul Mus}t}ofa baginda Rasulillah Muhammad S}allalla>hu

‘Alaihi wa Sallam. Semoga syafaat beliau dapat kita rasakan di Yaumul Akhir

nanti, A>mi>n.

Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan

kaum muslimin pada umunya terutama pada diri penulis sendiri. Semoga dengan

tersusunya skripsi dengan judul “RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM

DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA TENTANG SAKSI

DALAM TALAK” ini, tidak hanya sekedar menambah khazanah keilmuan,

namun segala kebaikan yang terdapat didalamnya juga dapat kita amalkan

hendaknya.

Terselesaikannya penyusunan skripsi ini tentu tidak lepas dari dukungan

dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu, dalam kesempatan ini

ii

penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Yasriman dan Ibunda tercinta

Yarnida yang telah merawat penulis dari kecil hingga sekarang dan telah

memberikan semua do’a dan kasih sayang dengan setulus hati yang tidak

akan pernah dapat penulis balas sampai kapanpun dan seluruh keluarga

besar penulis, Ambo, Ayek, Mak Uwo, Mak Aciak, Uda-Uda, Uni-Uni dan

Adiak-Adiak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

2. Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag selaku Rektor Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau beserta WR I Bapak Drs. H.

Suryan A. Jamrah, MA, Plt. WR II Bapak Dr. H. Ahmad Supardi, MA,

dan WR III Bapak Drs. H. Promadi, MA., Ph.D.

3. Bapak Dr. Drs. H. Hajar M.Ag sebagai Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN SUSKA Riau beserta WD I Bapak Dr. Heri Sunandar, M.CL,

WD II Bapak Wahidin, M.Ag, dan WD III Bapak Dr. H. Maghfirah, MA.

4. Bapak H. Akmal Abdul Munir, Lc., MA sebagai ketua Jurusan Hukum

Keluarga dan Bapak Ade Fariz Fakhrullah, M.Ag sebagai Seketaris

Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUSKA Riau.

5. Bapak H. Akmal Abdul Munir, Lc., MA sebagai pembimbing skripsi yang

telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran sehingga skripsi ini

dapat penulis selesaikan dengan baik.

iii

6. Bunda Mardiana, MA selaku Pembimbing Akademik penulis, yang telah

memberikan bimbingan dan semangat selama penulis menempuh

perkuliahan di UIN SUSKA Riau.

7. Perpustakaan UIN SUSKA Riau yang telah memberikan fasilitas berupa

buku sebagai rujukan dalam penelitian penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat penulis

jadikan bekal dalam penulisan Skripsi ini.

9. Keluarga besar Mahad Al-Jami’ah UIN SUSKA Riau yang telah

memberikan dorongan dan semangat serta selalu membersamai penulis

selama menjalani perkuliahan di UIN SUSKA Riau.

10. Kelurga besar FK-MASSYA (Forum Kajian Mahasiswa Syariah dan

Hukum) yang telah banyak mengajarkan kebaikan pada penulis dan selalu

menjadi tempat diskusi yang hangat bagi penulis.

11. Sahabat-sahabat penulis di lokal Hukum Keluarga B 2015 yang selalu setia

bersama-sama dalam T{alabu al-‘Ilmi dan Fastabiqu al-Khaira>t semoga

Allah memberkahi kawan-kawan semua.

12. Ustadz-ustadzah, guru-guru, senior, para sahabat dan teman-teman penulis

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu persatu.

13. Semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

iv

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak, dan bagi yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini semoga mendapat imbalan yang lebih dari apa yang telah diberikan.

Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari para

pembaca, semoga Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la> meridai usaha penulis. A>mi>n ya>

Rabbal ‘A>lami>n.

Pekanbaru,17 Safar 1441 H16 Oktober 2019 M

JOSHUA SUHERMANNIM. 11521104436

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULHALAMAN PERSETUJUANPENGESAHANPENGESAHAN PERBAIKANABSTRAKMOTTOKATA PERSEMBAHANPEDOMAN TRANSLITERASIKATA PENGANTAR............................................................................................ iDAFTAR ISI............................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1B. Batasan Masalah.......................................................................... 6C. Rumusan Masalah........................................................................6D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................... 7E. Kerangka Teoritik........................................................................ 7F. Metode Penelitian........................................................................ 11G. Sistematika Penulisan.................................................................. 13

BAB II BIOGRAFI IBNU H{AZM DAN GAMBARAN HUKUMPERKAWINAN DI INDONESIA.................................................. 15A. Riwayat Hidup Ibnu H{azm.......................................................... 15B. Pendidikan Ibnu H{azm.................................................................19C. Guru dan Murid Ibnu H{azm.........................................................19D. Karya-Karya Ibnu H{azm..............................................................21E. Mazhab Ibnu H{azm......................................................................23F. Pandangan Ulama Terhadap Ibnu Hazm..................................... 25G. Dasar-Dasar Metode Istinbat} Ibnu H{azm................................... 26H. Hukum Perkawinan di Indonesia.................................................37

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DAN SAKSI ........... 40

A. Talak............................................................................................401. Pengertian Talak.................................................................... 402. Dasar Hukum Talak............................................................... 423. Rukun dan Syarat Talak.........................................................444. Macam-Macam Talak............................................................ 47

vi

B. Saksi............................................................................................ 551. Pengertian Saksi.....................................................................552. Dasar Hukum Saksi................................................................563. Syarat-Syarat Saksi................................................................ 58

BAB IV RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM DENGANHUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA TENTANGSAKSI DALAM TALAK............................................................... 63A. Saksi dalam Talak Menurut Ibnu H{azm dan Hukum

Perkawinan di Indonesia............................................................. 631. Pendapat Ibnu H{azm Tentang Saksi dalam Talak..................632. Saksi dalam Talak Menurut Hukum Perkawinan

di Indonesia............................................................................ 68B. Relevansi Pendapat Ibnu H{azm dengan Hukum Perkawinan

di Indonesia................................................................................ 70

BAB V PENUTUP....................................................................................... 90

A. Kesimpulan................................................................................. 90B. Saran........................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai Agama yang rahmatan li> al-‘a>lami>n, yaitu rahmat bagi

seluruh alam mengatur tentang perkawinan dengan sangat teliti dan

terperinci, Islam mengatur perkawinan dengan sedemikian rupa untuk

membawa umat manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya

yang mulia diantara makhluk Allah lainnya. Hidup berpasang-pasangan

adalah naluri semua makhluk Allah termasuk manusia.1 Sebagaimana Allah

Subh}a>nahu wa Ta’a>la> berfirman:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah”. (QS. az|-Z|a>riya>t [51] : 49)2

Walaupun pada dasarnya perkawinan itu disebut sebagai mi>s|a>qan

ga>liz{an (ikatan yang sangat kuat) tetapi ada saat-saat tertentu dimana ikatan

itu akan lepas, karena memang tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk

juga perkawinan. Jika kebahagian dan ketenangan yang menjadi salah satu

tujuan perkawinan tidak mampu lagi diwujudkan dalam sebuah rumah

tangga, Islam memberikan solusi sebagai jalan keluar terakhir setelah

dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga

1 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-2, h. 12.

2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma Exagrafika,2016), h. 522.

2

tersebut, yakni melalui perceraian (Talak). Talak harus dipahami sebagai

alternatif terakhir penyelesaian krisis rumah tangga, sehingga tidak boleh

dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

Secara bahasa talak berasal dari kata قاالط-قلیط-طلق lafaz dari

masdarnya merupakan t}ala>k yang artinya melepaskan atau menceraikan.3

Sedangkan menurut pengertian syarak yaitu:

٤.ةالرابطة الزواج وإنهاء العالقة الزوجي حل

Artinya: Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

istri.

Agama mensyariatkan pernikahan untuk memenuhi kemaslahatan

hamba, baik dalam bidang duniawiyah maupun dalam bidang di>niyah, maka

disyariatkannya talak adalah untuk menyempurnakan pernikahan. Karena

apabila suami istri sudah tidak dapat hidup rukun dan damai lagi, lantaran

berlainan tabiat dan bertentangan kemauan, maka tentulah harus diadakan

jalan keluarnya.5

Walaupun talak disyariatkan dalam Islam namun talak merupakan

perbuatan halal yang dibenci oleh Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la. Oleh karena

itu, sebisa mungkin seseorang harus menghindari terjadinya talak dalam

rumah tangga, sebagaimna Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus wa Dzurriyah,2010), h. 239.

4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Muassasah ar-Risa>lah, 2002), Cet. Ke-1, Jilid 2,h. 261.

5 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, (Semarang: PustakaRizki Putra, 2011), h. 153.

3

وجل م قال أبغض الحالل إلى اهللا عز ى اهللا عليه وسل بي صل عن ابن عمر رضي اهللا عنهما عن الن ٦داود)( رواه أبو .الطالق

“Dari Ibnu Umar Rad{iyalla>hu ‘Anhuma> dari Nabi S{alla>llahu ‘Alaihi

wa Sallam bersabda: perbuatan halal yang paling dibenci Allah ‘Azza

wa Jalla adalah talak”. (H.R. Abu Daud)

Berkaitan dengan hukum talak jumhur fuqaha>’ telah sepakat bahwa

rukun dan syarat talak itu ada tiga yaitu, yang mengucapkan talak (suami),

yang ditalak (istri) dan lafaz talak (s}igat) yang masing-masing memiliki

syarat untuk bisa diterimanya talak tersebut.7

Namun sebagian ulama fikih berpendapat bahwa ada syarat tambahan

untuk sahnya talak, yaitu hadirnya dua orang saksi yang adil saat

mengucapkan ikrar talak. Jika tidak, maka talak tidak jatuh. Pendapat ini

berdasarkan makna zahir surah at}-T{ala>q ayat dua yaitu:

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilahmereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik danpersaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu danhendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlahdiberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan

6 Abu Daud, Sunan Abi> Da>ud, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), Juz 2, h. 226. Hadits ini shahihmenurut Al-Hakim dan az}-Z{ahabi.

7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),Cet. Ke-3, h. 214.

4

hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akanMengadakan baginya jalan keluar”. (QS. at}-T{ala>q [65] : 2)8

Sebagaimana Ibnu H{azm yang bermazhab Z{ahiriyah9 mengemukakan

pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha>’ tentang saksi dalam talak,

seperti disebutkannya dalam kitab al-Muh}alla>:

، وقال يا لحدود اهللا تعالىق ولم يشهد ذوي عدل، أو رجع ولم يشهد ذوي عدل، متعد وكان من طل ١٠.مرنا فهو رد أمن عمل عمال ليس عليه م اهللا عليه وسل ىرسول اهللا صل

Artinya: Siapa yang menjatuhkan talak dan tidak disaksikan oleh dua oarangsaksi yang adil atau rujuk dan tidak disaksikan oleh dua orang saksiyang adil maka dia sudah melampaui batasan Allah Subh}a>nahu waTa’a>la, padahal Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,siapa yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai denganketentuan kami, maka perbuatannya tertolak.

Dari penjelasan Ibnu H{azm di atas dapat dipahami bahwa

menghadirkan saksi saat menjatuhkan talak adalah suatu kewajiban, sehingga

apabila suami menjatuhkan talak namun tidak menghadirkan dua orang saksi

yang adil maka dia telah melanggar batasan Allah dan perbuatannya tersebut

tidak sah.

Indonesia yang terkenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya

beragama Islam telah menjadikan sebagian hukum-hukum Islam sebagai

hukum positif dalam mengatur kehidupan bernegara terutama hukum-hukum

ahwa>l al-syakhs}iyyah. Hukum perkawinan di Indonesia telah diatur

8 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 558.

9 Az}-Z{ahiri atau Z{ahiriyah adalah salah satu mazhab fikih dalam lingkup Ahlu Sunnahdengan imamnya Da>ud bin Khalaf az}-Z{ahiri, yang paling menonjol dari mazhab ini adalah metodeliteralnya dalam penggalian hukum dari nas} (al-Qur’an dan Sunah) mereka hanya memandangzahirnya saja dan menolak penggunaan qiyas secara keseluruhan.

10 Ibnu H}azm, Al-Muh}alla> Bi al-As|ar, (Beirut: Da>r al-Fikr, t,th), Juz 10, h. 251.

5

sedemikian kompleks dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan dalam buku I Kompilasi Hukum Islam di Indonesia termasuk

didalamnya mengatur tentang tatacara perceraian. Dalam undang-undang

tersebut diatur bahwa perceraian harus dilaksanakaan di depan sidang

Pengadilan sebagaimana tertuang dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan

setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak”.11

atau sebagaimana disebutkan pada pasal 115 Buku I Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia yaitu:

“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak”.12

Dengan adanya undang-undang ini suami tidak lagi dapat

menjatuhkan talak kecuali di depan sidang Pengadilan Agama, ini berbeda

dengan apa yang telah disepakati oleh jumhur bahwa suami dapat

menggunakan hak talaknya kapan saja dan dimana saja asalkan syarat-

syaratnya telah terpenuhi dan tidak ada kewajiban untuk mengucapkannya di

11 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,(Jakarta: Laksana, 2013), Cet. Ke-1, h. 22.

12 Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 KompilasiHukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,1999), h. 56.

6

depan sidang Pengadilan Agama. Kaitannya dengan apa yang telah

disebutkan sebelumnya adalah apakah pendapat Ibnu H{azm tentang wajibnya

menghadirkan saksi dalam talak dapat mendukung dan relevan dengan

hukum perkawinan di Indonesia yang mengharuskan perceraian di depan

sidang Pengadilan Agama.

Berdasarkan paparan diatas dapat ditemukan perbedaan pendapat

ulama tentang keberadaan saksi dalam talak, hukum perkawinan di Indonesia

sendiri mengatur lain tentang tatacara perceraian di Indonesia. Dengan

munculnya permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut

tentang saksi dalam talak, sehingga dapat diketahui pendapat mana yang lebih

kuat dan mendekati kepada kehendak syarak. Penelitian ini penulis tuangkan

dalam skripsi dengan judul RELEVANSI PENDAPAT IBNU H{AZM

DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA TENTANG

SAKSI DALAM TALAK.

B. Batasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan mengingat luasnya masalah yang

timbul dalam penelitian ini, maka permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini difokuskan hanya pada relevansi pendapat Ibnu H{azm dengan

hukum perkawinan di Indonesia tentang saksi dalam talak.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, terdapat beberapa pokok

masalah yang akan dirumuskan dan menjadi bahasan utama yaitu:

7

1. Bagaimana kedudukan saksi dalam talak menurut Ibnu H{azm dan hukum

perkawinan di Indonesia?

2. Apakah ada relevansi pendapat Ibnu H{azm dengan hukum perkawinan di

Indonesia tentang saksi dalam talak?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kedudukan saksi dalam talak menurut Ibnu H{azm dan

hukum perkawinan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui relevansi pendapat Ibnu H{azm dengan hukum

perkawinan di Indonesia tentang saksi dalam talak.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai syarat guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada

Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam

Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran dari penulis di tempat penulis menuntut

ilmu pengetahuan dan kiranya berguna pula dalam menambah literatur

bacaan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

3. Sebagai sarana informasi bagi masyarakat Islam, dari semua kalangan

untuk mengetahui hukum saksi dalam talak.

E. Kerangka Teoritik

Islam adalah agama kemanusian, ajaran-ajarannya senantiasa sejalan

dengan kebaikan dan kemaslahatan manusia. Apa yang membuat manusia

baik maka Islam akan membolehkannya bahkan menganjurkan dan apa yang

8

membuat manusia celaka atau menderita maka Islam akan melarangnya.

Persoalannya bagaimana manusia mengungkap ajaran Islam itu dan

menyingkap makna yang terkandung didalamnya, dalam konteks itulah Islam

membuat berbagai formulasi ajaran tentang berbagai persoalan kehidupan dan

mengatur serta mengkategorikannya sesuai dengan tingkat ketegasan dalil

yang yang digunakan untuk perintah dan larangan tersebut.

Berbicara tentang dalil, yang menjadi rujukan utama dalam hukum

Islam adalah al-Qur’an dan Hadis. Namun kenyataan menunjukkan bahwa

kedua sumber dimaksud terdiri dari lafaz-lafaz bahasa Arab yang kadang

dalam suku katanya mempunyai banyak arti, ada lafaz yang dari satu sisi

dipandang sebagai hakikat tetapi disisi lain dipandang sebagai majas, ada

lafaz dalam bentuk mutla>q dan ada yang muqayyad, disamping itu ada lafaz

yang berbentuk perintah dan ada pula yang berbetuk larangan, dan lain

sebagainya. Sehingga dalam memahami lafaz-lafaz tersebut banyak terdapat

perbedaan pendapat (ikhtila>f) dikalangan ulama fikih.13

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perbedaan ulama dalam

memahami masalah furu’ yaitu:

1. Perbedaan dalam hal qira’a>t

2. Adanya ketidaksamaan dalam menerima informasi hadis

3. Tidak adanya kesepakatan ulama tentang eksistensi hadis

4. Adanya perbedaan dalam memahami nas} dan interpretasinya

13 Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. Ke-5, h.129.

9

5. Adanya lafaz yang musytarak

6. Adanya ta’a>rud al-adillah

7. Tidak adanya nas} dalam suatu masalah

8. Berbeda dalam kaidah us}uliyyah.14

Pembahasan utama dalam penelitian ini adalah pendapat Ibnu H{azm

tentang wajib adanya saksi dalam talak kemudian bagaimana relevansinya

dengan hukum perkawinan di Indonesia. Sebenarnya persoalan persaksian

talak merupakan salah satu persoalan hukum yang secara tersurat terdapat

dalam al-Qur’an surah at}-T{alaq ayat dua, hanya saja hakikat perintah

mengenai persaksian dalam talak ini harus dicari penjelasannya dengan jalan

ijtihad. Adanya peluang ijtihad dalam memahami maksud dari ayat tersebut

memunculkan perbedaan pandangan dikalangan ulama dengan

argumentasinya masing-masing. Jumhur fuqaha>’ memahami amar yang

terdapat dalam lafaz (وأشھدوا) bukanlah menunjukkan wajib dan ditujukan

hanya kepada rujuk, sedangkan Ibnu H{azm memahami bahwa setiap amar

adalah wajib dan dalam ayat ini ditujukan kepada talak dan rujuk.15

Hukum perkawinan umat Islam di Indonesia telah diatur oleh hukum

syarak semenjak adanya umat Islam di Indonesia ini. Aturan syarak tersebut

terdapat dalam kitab-kitab fikih, terutama kitab fikih menurut mazhab

14 Mustafa Sa’id al-Kha>n, As|ar al-Ikhtila>f fi al-Qawa>’id al-Us}uliyyah fi Ikhtila>f al-Fuqaha>’, (Beiru: Muassasah ar-Risa>lah, 1982), Cet. Ke-2, h. 38-117.

15 Lihat kitab Al-Umm karya Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Cetakan Dar al-Wafa’Tahun 2000 Juz 8, halaman 191 dan kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm cetakan Dar al-Fikr t,thJuz 10, halaman 251.

10

Sya>fi’i>.16 Aturan syarak tersebut telah meresap dan hidup ditengah

masyarakat, namun kenyataannya hukum positif yang mengatur tatacara

perceraian yang termasuk kedalam hukum perkawinan tersebut, berbeda

dengan hukum yang dipahami oleh masyarakat yaitu hukum perceraian

berdasarkan mazhab Sya>fi’i>, menurut Imam Sya>fi’i> bahkan empat imam

mazhab yang masyhur talak dapat jatuh tanpa harus di Pengadilan dan tanpa

harus disaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana menurut Ibnu H{azm.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan

konseptual (coceptual approach) dan pendekatan undang-undang (statute

approach). Pendekatan konseptual (coceptual approach) digunakan dalam

membangun konsep untuk dijadikan acuan di dalam penelitian manakala

peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada terkait masalah yang

dipahami. Sedangkan pendekatan undang-undang (statute approach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dihadapi.17

Penggunaan pendekatan undang-undang dalam penulisan ini adalah

ditunjukkan dengan adanya proses menelaah ketentuan hukum perceraian

yang ada didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Sedangkan penggunaan

pendekatan konseptual ditunjukkan dengan adanya pemaparan dan analisa

16 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum IslamKontemporer di Indonesia, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), Cet. Ke-2, h. 47.

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Publishing, 2010), h. 93.

11

terhadap konsep-konsep talak dari berbagai perspektif yaitu perspektif jumhur

fuqaha>’, perspektif Ibnu H{azm dan perspektif hukum perkawinan di

Indonesia.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaanya atau cara untuk

memperoleh data yang diinginkan.18 Adapun metode dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) yaitu riset yang dilakukan dengan jalan

membaca buku-buku/ majalah dan sumber data lainnya didalam

perpustakaan atau menjadikan bahan pustaka sebagi sumber.19 Jenis

penelitian ini disebut jenis hukum normatif, yaitu metode hukum yang

dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau data primer dan

sekunder.

2. Sumber Data

Berdasarkan kualitas kepentingan data dalam mendukung

keberhasilan penelitian, data dapat dikategorikan dalam dua kategori yakni

data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang sangat

18 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,2009), h. 2.

19 J. Supranto, Metode Riset Aplikasinya dalam Pemasaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1997), h. 13.

12

diperlukan dalam melakukan penelitian atau istilah lain data yang utama.

Data sekunder juga diperlukan dalam penelitian, tetapi berperan sebagai

data pendukung yang fungsinya menguatkan data primer.20 Dalam

penelitian ini penulis mengumpulkan data-data dari kedua sumber tersebut

yaitu:

a. Data primer yaitu: kitab Al-Muh{alla> bi al-As|a>r, karya Ibnu H{azm,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

b. Data sekunder, yaitu: kamus, ensiklopedia Islam dan buku-buku fikih

yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk motode pengumpulan data

dalam jenis penelitian pustaka, langkah-langkah yang harus dilakukan

pertama oleh peneliti adalah:

a. Mencari dan menemukan data-data yang berkaitan dengan pokok

permasalahan.

b. Membaca dan meneliti data-data yang didapat untuk memperoleh data

yang lengkap sekaligus terjamin.

c. Mencatat secara sistematis dan konsisten. Pencatatan yang teliti begitu

diperlukan karena manusia memiliki ingatan yang sangat terbatas.

20 Mahi M. Hikmat, Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), Cet. Ke-2, h. 72.

13

4. Teknik Analisa Data

Setelah sejumlah data yang ada telah berhasil penulis simpulkan

dan telah tersusun dalam kerangka yang jelas, lalu dianalisa dengan

menggunakan metode analisis (conten analysis) yaitu mempelajari dan

memahami kosa kata, pola kalimat, latar belakang, situasi dan budaya,

kemudian melakukan analisis terhadap apa yang diteliti. Metode ini akan

penulis gunakan pada Bab IV mengenai kedudukan saksi dalam talak

menurut Ibnu H{azm dan hukum perkawinan di Indonesia.

5. Metode Penulisan

Setelah memperoleh data-data tersebut, maka penulis berikutnya

mempergunakan metode penulisan sebagai berikut:

a. Deskriptif Analitik

Mengumpulkan data-data secara kongkrit serta menyusun,

menjelaskan, dan menganalisa sehingga dapat disusun sesuai dengan

kebutuhan penulisan skripsi.

b. Deduktif

Menggambarkan keadaan umum yang ada kaitannya dengan

tulisan lalu dianalisa dan diambil kesimpulannya secara khusus.

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan penelitian ini sistematis, maka perlu dipergunakan

sistematika penulisan sehingga terbentuk suatu karya tulis ilmiah, maka

penulis menyusun dengan membagi kepada lima bab dan dalam setiap bab

14

terdiri dari beberapa sub bab, adapun sistematika penyusunannya adalah

sebagai berikut:

BAB I Berisikan pendahuluan yang menggambarkan latar belakang

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II Berisi tentang biografi Ibnu H{azm mulai dari riwayat hidup,

pendidikan, guru dan murid, karya-karya, mazhab, pandangan

ulama terhadapnya dan dasar-dasar metode istinbath hukum

Ibnu Hazm serta gambaran umum tentang hukum perkawinan di

Indonesia

BAB III Berisi tinjauan umum tentang talak dan saksi yang terdiri dari

pengertian talak, dasar hukum talak, rukun dan syarat talak dan

macam-macam talak. Kemudian pengertian saksi, dasar hukum

saksi dan syarat-syarat saksi.

BAB IV Merupakan pembahasan dan hasil penelitian yang berisi tentang

kedudukan saksi dalam talak menurut Ibnu H{azm dan hukum

perkawinan di Indonesia, kemudian relevansi pendapat Ibnu

H{azm dengan hukum perkawinan di Indonesia.

BAB V Merupakan penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.

Daftar Pustaka

15

BAB II

BIOGRAFI IBNU H{AZM DAN GAMBARAN TENTANG HUKUM

PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Riwayat Hidup Ibnu H{azm

Salah seorang tokoh ilmuwan muslim yang cukup masyhur baik

dikalangan internal muslim maupun dikalangan pengkaji Islam Barat klasik

maupun modern adalah Ibnu H{azm, nama lengkapnya adalah Al- Hafiz} Abu>

Muh}ammad ‘Ali> bin Ah}mad bin Said bin H{azm bin Ghalib bin Shalih bin

Khalaf al-Fari>si> al-Yazi>di> al-Qurt}ubi> al-Andalusi> az}-Z{ahiri.21 Dalam literatur

lain Abu> Muh}ammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn Said Ibn H{azm Ibn Galib Ibn S}aleh

Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazi>d Ibn Abi> Sufyan Ibn Harb Ibn

Umayyah Ibn Abd Syams al-Umawiyah al-Fari>si> al-Qurt}ubi> az}-Z{ahiri.22

Nama panggilannya adalah Abu> Muh}ammad, ia dilahirkan pada hari

terakhir bulan Ramadan 384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum

munculnya matahari di Qurt}ubah (Cordova), Spanyol.23 Atau lebih tepatnya

pada hari Rabu, 30 Ramadan 384 H/ 7 November 994 M, pada masa Hisyam

al-Muayyad yang memerintah pada usia 10 tahun setelah al-H{akam al

Muntas}ir. Kakeknya Yazi>d, adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari

garis para kakeknya dan berasal dari Persia. Sedangkan Khalaf bin Ma’dan

21 Ibnu Taimiyah, Naqdu Maratib al-Ijma’, (Beirut: Da>r Ibnu H{azm, 1998 ), Cet. Ke-1, h.15.

22 Ibnu H{azm, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l Al-Ah}ka>m, (Kairo: Da>r al-H{adi>s|, 2005), h. 6.

23 Faruq Abdul Mu’thi, Ibnu H{azm Az}-Z}ahiri, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),Cet. Ke-1, h. 8.

16

adalah kakeknya yang pertama kali masuk ke Andalusia bersama Musa Ibnu

Nusair dalam bala tentara penaklukan pada tahun 93 H, sehingga dari garis

nasabnya dapat diketahui bahwa ia mempunyai garis keturunan yang berasal

dari keluarga Persia.24

Sejarawan dan intelektual pada umumnya menyebut Ibnu Ḥazm

dengan tambahan nasab al-Qurṭubi> atau al-Andalusi>, namun Ibnu Ḥazm

sebenarnya tidak begitu nyaman menggunakan nasab al-Andalusi> ataupun al-

Qurṭubi>, ia lebih nyaman sebagai orang Persia karena memang nenek

moyangnya dari Arab-Persia. Oleh karena itu, Abu> Zahrah25 tidak

menggunakan dua kata al-Jinsiyyah diatas, cukup dengan titel Ibnu Ḥazm

atau dengan nama panjangnya, yakni ‘Ali> bin Ah}mad bin Said bin Ḥazm

dengan kunyah Abu> Muh}ammad.26

Kalangan sejarahwan mengisahkan bahwa keturunan atau keluarga

Ibnu H{azm berasal dari keturunan bangsawan, terpandang sekaligus memiliki

kedudukan dan status sosial terhormat di masanya. Ibnu H{azm di masa

kecilnya dididik dan dibesarkan dalam serba kemewahan istana. Menurut Al-

Fath Ibnu Khaqan seperti dikutip Mahmud Ali Himayah, bahwa bani H{azm

termasuk keluarga atau generasi-generasi berilmu, beradab, mulia dan

24 Ahmad Tajuddin Arafat, Filsafat Moral Ibnu Hazm Dalam Kitab Al-Akhlaq Wa as-Siyar Fi Mudawati an-Nufus, Analisa, Vol 20, No. 1, Juni 2013, h. 54.

25 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Mustafa bin Ahmad Abu Zahrah(1315-1394 H), merupakan seorang ulama Mesir yang memiliki keahlian dibidang Tafsir danFikih.

26 Zuhri, Ibnu Hazm al-Andalusi dan Khilafah, Esensia. Vol 17, No. 2, Oktober 2016. h.141.

17

terpandang. Ayahnya bernama Ah}mad Ibnu Sa’id (dalam leteratur lain

bernama Abu> Umar Ah}mad), termasuk golongan orang cerdas yang

memperoleh kemuliaan dibidang ilmu dan kebudayaan, beberapa orang dari

kalangan keluarga mereka menduduki jabatan strategis dimasanya dan

memiliki wibawa serta pengaruh yang luas di Cordova (Spanyol).27

Kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan oleh Ibn H{azm bersama

keluarganya tidaklah selalu ia rasakan. Segala cobaan, fitnah dan kekerasan

hidup pernah menimpanya, terutama ketika terjadi pergantian pemerintahan

dari satu penguasa kepenguasa lainnya. Ibnu H{azm bersama keluarganya

merasakan pahit getir kehidupan, terutama pada awal masa mudanya. Hal ini

digambarkan dalam perkataannya:

“Setelah kepemimpinan Hisyam al-Muayyad, kami mendapatkanbanyak kesukaran dan perlakuan otoriter dari para pemimpin negara.Kami juga ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyakfitnah sampai wafatnya ayah kami (Ah}mad bin Sa’id) yang menjadimenteri, peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu setelah waktu ‘As}ar,dua malam terakhir bulan Z|ulqa‘idah 402 H/ Juni 1013 M”.

Pada bulan Z|ulqa’idah 401 H saudara satu-satunya yang bernama Abu>

Bakar meninggal dunia karena sakit, kemudian disusul oleh ayahnya yang

meninggal pada tahun 402 H, lalu disusul lagi oleh pelayan perempuannya

yang bernama Na’ma yang meninggal pada tahun 403 H. Pada akhirnya, ia

27 Muh Said HM, Pemikiran Fikih Ekonomi Ibnu Hazm Tentang Kesejahteraan TenagaKerja, Iqtishadia Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari’ah. Vol 3, No. 2, Desember 2016, h. 202.

18

pun meninggalkan Cordova pada awal Muharram 404 H yang kala itu sedang

diguncang prahara perang saudara dan menetap di Almeria dan Jativa.28

Ibn H{azm memiliki karakter dan perilaku luhur sebagai ahli agama

yang mulia dan berilmu. Menurut beberapa sarjana kontemporer seperti

Nuruddin al-Khadimi (Tunisia), Muhammad ‘Abid al-Jabiri (Maroko) dan

Abu> Zahrah (Mesir) menganggap Ibnu H{azm sebagai sebagai salah seorang

tokoh pembaharu dalam Islam. Bahkan Abdul Hadi Abdurrahman dalam

bukunya The Authority of the text menobatkannya sebagai Mega Mujtahid

dalam sejarah fikih Islam.29

Ibnu H{azm menghabiskan masa tua di desanya, Mint Lisym. Di sana

ia menyebarkan ilmu kepada orang-orang yang datang kepadanya dari daerah

pedalaman. Ia mengajarkan ilmu hadis dan ilmu fikih serta berdiskusi dengan

mereka. Ia sabar melayani ilmu dan terus mengarang hingga sempurnalah

karya-karyanya dalam berbagai cabang ilmu. Pada malam senin tanggal 28

Sya’ban tahun 456 Hijriyah/ 15 Juli 1064 Masehi, Ibnu H{azm meninggal

dunia setelah memenuhi hidupnya dengan produktifitas ilmu, perdebatan

dalam membela kebenaran dan jujur dalam keimanan, Ibnu H{azm meninggal

dalam umurnya yang ke 72 tahun.30

28 Ahmad Tajuddin Arafat, Op.Cit, h. 55.

29 Noer Yasin, Ibnu Hazm Revitalisasi Ushul Fiqh Berparadigma Burhani, (Malang: UINMaliki Press, 2012), Cet. Ke-1, h. 7.

30 Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007),Cet. Ke-2, h. 677.

19

B. Pendidikan Ibnu H{azm

Ibnu H{azm pada masa awal kehidupannya belajar sebagaimana

kebiasaan anak-anak pejabat negara pada masa itu, seperti menghafal syair-

syair dan al-Qur’an serta belajar menulis yang diasuh oleh pelayan-pelayan

wanita yang ada di istana.31

Pada usia remaja Ibnu H{azm selalu diajak oleh ayahnya menghadiri

majelis-majelis ilmiah dan budaya yang sering diadakan khalifah al-Mans}u>r

dan dihadiri pula oleh ahli-ahli syair dan ilmuwan. Ia juga belajar kepada

seorang guru pilihan ayahnya yang sangat alim dan wara’ yaitu Abu> al-

Husain Ibnu ‘Ali> al-Fari>si>. Ibnu H{azm selalu disamping guru pilihan ayahnya

itu, seorang guru yang melenyapkan dorongan-dorongan nafsu dari murid

muda seperti Ibnu H{azm. Ketika itu wanita tidak berhijab di depan kaum pria

menurut Ibnu H{azm adalah merupakan hal yang biasa di dalam dunia

pendidikan di Andalusia. Dengan kecepatan daya tangkap, kekuatan daya

ingat dan kecermatan pemahamannya yang dikaruniakan oleh Allah

Subh}a>nahu wa Ta’a>la Ibnu H{azm menjadi pemuda yang nyaris mengungguli

guru-gurunya.

C. Guru dan Murid Ibnu H{azm

1. Guru-guru Ibnu H{azm

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa setelah memasuki usia

remaja, Ibnu H{azm diserahkan oleh ayahnya kepada seorang guru, yaitu

31 Faruq Abdul Mu’t}i, Op.Cit, h. 15.

20

Abu al-Husain Ibnu ‘Ali> al-Fari>si>. Pergaulannya dengan gurunya ini

banyak mempengaruhi pembentukan kepribadiaannya, dari gurunya ini ia

mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan dan bimbingan serta teladan

pengamalan ilmu-ilmu yang diketahuinya.

Ibnu H{azm belajar dari para ulama yang memiliki keluasan

pengetahuan dalam agama semisal hadis, fikih, logika dan lainnya.

Adapun diantara guru-gurunya adalah:

a. Dalam Hadis, Ah}mad bin Muh}ammad al-Jaswar (wafat tahun 401 H),

guru pertama Ibnu H{azm, al-H{amdani dan Abu> Bakar Muh}ammad

Ibnu Isha>q.

b. Dalam Fikih, ‘Ali> Abdulla>h al-‘Azdi>, al-Fa>qih Abu> Muh}ammad Ibnu

Duhun al-Maliki> dan Abu> al-Khayyar Mas’ud bin Sulaima>n bin

Maflat az}-Z{ahiri>.

c. Dalam Logika dan Akhlaq, Muh}ammad bin al-Hasan al-Maz|haji

(wafat tahun 400 H), Abu> al-Qa>sim Abdurrahma>n bin Abu> Yazi>d al-

Mis}ri>, Abu> al-Husain al-Fari>si>, sahabat sekaligus guru panutan Ibnu

H{azm, Abu> Muh}ammad ar-Rahuni dan Abdulla>h bin Yusuf bin

Nami.32

Ibnu H{azm juga belajar secara formal di Madrasah Andalusiah. Di

antara tokoh-tokoh ulama yang mengajar di Madrasah tersebut sekaligus

menulis banyak buku-buku, baik dibidang hadis, ahkam al-Qur’an, tarikh

32 Ahmad Tajuddin Arafat, Op.Cit, h. 56-57.

21

dan fikih yang pada giliranya sangat mempengaruhi pola pikir Ibnu H{azm

dalam berijtihad dengan metode pembahasan bi al-As|ar (riwayat shahabat)

ialah Muh}ammad Ibn Aiman, Ah}mad Ibnu Khalid, dan Qa>sim Ibn Asbagh

al-Qurt}ubi>.

2. Murid-Murid Ibnu H{azm

Adapun murid-murid Ibn H{azm yang terkenal diantaranya adalah

putranya sendiri yaitu Abu> Ra>fi’ al-Fadhl, kemudian Muh}ammad bin Abu>

Nas}r al-Humaidi (420-488 H) yang menyebarkan mazhab Z{ahiri ke

Masyriq setelah Ibnu H{azm wafat serta al-Qa>d}i Abu> al-Qa>sim Sa’id bin

Ah}mad al-Andalusi> (wafat tahun 463 H) dan masih banyak yang lainnya.

Ibnu ‘Arabi> sang sufi juga termasuk dari penerus generasi Z{ahiri setelah

wafatnya Ibn H{azm.33

D. Karya-karya Ibnu H{azm

Diantara keistimewaan Ibnu H{azm adalah karya-karyanya yang

banyak dan beragam sehingga banyak pencari ilmu belajar dari karya-

karyanya itu. Ibnu H{azm mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam

ilmu, terutama saat ia mengundurkan diri dari politik praktis. Ia merasa bebas

untuk mengkritik siapapun, baik ulama Muslim, Yahudi maupun Nasrani.

Ibnu Hayyan mengatakan bahwa Ibnu H{azm menguasai bidang tafsir, hadis,

fikih, tarikh, sastra Arab, perbandingan agama, filsafat dan mantiq.

33 Ibid.

22

Sa’id meriwayatkan dari Abu> Ra>fi’ bahwa ayahnya (Ibnu H{azm)

mempunyai karya-karya dalam bidang fikih, hadis, us}ul, perbandingan

agama, sejarah, nasab, sastra dan bantahan terhadap lawan-lawannya. Jumlah

karyanya tersebut mencapai 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar kertas

yang ditulis olehnya sendiri.34

Adapun karya-karya Ibnu H{azm diantaranya adalah:

1. Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m

Kitab ini berbicara tentang usul fikih terutama usul fikih Z{ahiri,

dalam cetakan Da>r al-H}adi>s| terdiri dari satu jilid tebal yang didalamnya

terdapat delapan juz.

2. Al-Muh}alla> bi al-As|a>r

Kitab ini terdiri atas 11 juz dalam 8 jilid tebal (dalam cetakan Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah 12 jilid), yang berisi tentang fikih beserta

argumentasinya. Kitab ini merupakan karya terakhir Ibnu H{azm dan

menjadi rujukan utama dikalangan penganut mazhab Z{ahiri sampai

sekarang.

3. Al-Fas}l fi> al-Mila>l wa al-Ahwa’ wa an-Niha>l

Kitab ini berbicara mengenai sekte-sekte, mazhab dan agama-

agama.

34 Syaikh Ahmad Farid, Op.Cit, h. 674.

23

4. T{auq al-Hama>mah fi> Ulfah wa al-Ula>f

Kitab ini berbicara manusia dari sisi kejiwaannya yang meliputi

cinta dan para pencinta, ditulis di kota Syatihibi sekitar tahun 418 H, dan

menjadi karya Ibn Hazm yang paling banyak dikaji di Eropa.

5. Al-Akhla>q wa-Assiya>r fi> Muda>wa>t an-Nufu>s

Kitab ini berisi prinsip-prinsip perilaku utama, moralitas dan etika

serta solusi-solusi bagi pengobatan jiwa menuju kebahagiaan dan

kesempurnaan.35

Masih banyak lagi karya-karya Ibnu H{azm yang lainnya, seperti yang

disebutkankan didalam pendahuluan kitab Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m

sebanyak 32 judul kitab dan didalam buku 60 Biografi Ulama Salaf karya

Syaikh Ahmad Farid, disebutkan sebanyak 53 judul kitab. Banyaknya karya-

karya Ibnu H{azm membuktikan kedalaman ilmunya yang tidak diragukan

lagi.

E. Mazhab Ibnu H{azm

Pada awalnya Ibnu H{azm mempelajari fikih Maliki, karena mazhab

Malikilah yang berkembang di Andalusia dan menjadi mazhab resmi

pemerintah. Ibnu H{azm pernah mengatakan bahwa ada dua mazhab yang

35 Ahmad Tajuddin Arafat, Loc.Cit.

24

berkembang karena mendapat dukungan penguasa yaitu mazhab Abu Hanifah

di Timur dan mazhab Maliki di Barat.36

Kemudian dalam perjalanannya menuntut ilmu Ibnu H{azm mulai

membaca fikih mazhab Sya>fi’i> dan menemukan kritiakn-kritikan imam

Sya>fi’i> terhadap mazhab Maliki, ketika itu ia berkata “Aku mencintai Maliki,

tetapi kecintaanku terhadap kebenaran melebihi cintaku pada Maliki”.37

Setelah itu Ibnu H{azm, pindah dari mazhab Maliki kepada mazhab Sya>fi’i>,

Ibnu H{azm terus mendalami mazhab Sya>fi’i> dan mazhab ulama-ulama di

Irak.

Walaupun sangat mengagumi namun ternyata Ibnu H{azm juga tidak

puas dengan mazhab Sya>fi’i> karena menerima qiyas sebagai salah satu

sumber penetapan hukum, nampaknya Ibnu H{azm tidak setuju dengan

pendapat ini, akhirnya Ibnu H{azm berpindah mazhab kembali dan lebih

condong kepada mazhab az}-Z{ahiri dengan imamnya Da>ud ‘Ali> bin Khalaf al-

Asbahani (202-270 H), karena mazhab inilah satu-satunya yang sesuai

dengan Ibnu H{azm yang ingin mengunkapkan hukum dari al-Qur’an dan as-

Sunah tanpa menggunakan qiyas, sehingga orang-orang mengatakan bahwa

36 M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet.Ke-2, h. 235.

37 Faruq Abdul Mu’t}i, Op.Cit, h. 23.

25

Ibnu H{azm adalah penganut mazhab Z{ahiri namun ada juga yang mengatakan

kebetulan saja jalan pikiran kedua imam itu sama.38

F. Pandangan Ulama Terhadap Ibnu Hazm

Dalam buku 60 biografi ulama salaf Syaikh Ahmad Farid mengutip

pernyataan Abu Hamid al-Ghazali yang mengatakan bahwa “Aku

menemukan kitab yang membahas sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala,

yang ditulis oleh Abu Muhammad bin Hazm al-Andalusi. Kitab tersebut

menunjukkan kuatnya hafalan pengarangnnya dan tingginya kecerdasannya”.

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, “Ibnu Hazm termasuk

golongan ulama mujtahid. Aku tidak pernah melihat kitab yang

membicarakan ilmu keislaman seperti kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm dan

kitab Al-Mughni karya Syaikh Muwaffiquddin”.39

Selain sanjungan dan pujian yang diberikan oleh beberapa ulama,

Ibnu Hazm juga mendapat beberapa kritikan dari para ulama pada masanya

maupun pada masa setelahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Az-Zahabi

“Ibnu Hazm telah banyak menjelaskan pendapat-pendapatnya dengan lisan

dan penanya. Namun ia tidak memakai bahasa yang santun dalam berbicara

terhadap para ulama. Akibatnya ia mendapatkan balasan yang setimpal dari

apa yang ia lakukan, karya-karyanya ditinggalkan oleh para ulama dan

bahkan pernah dibakar”.

38 M Ali Hasan. Op.Cit, h. 237.

39 Syaikh Ahmad Farid, Op.Cit, h. 665.

26

Ibnu Kasir juga pernah mengatakan, “Ibnu hazm sering menyerang

para ulama dengan pena dan lisannya. Hal ini menimbulkan kedengkian

dihati orang-orang pada zamannya mereka selalu tidak senang kepadanya dan

memprovokasi para raja untuk ikut tidak senang terhadapnya”.40

G. Dasar-Dasar Metode Istinbat} Ibnu H{azm

Ibnu H{azm dalam menggali suatu hukum mendasarkan pada zahirnya

nus}us yakni al-Quran dan Sunah, dalam prakteknya Ibnu H{azm menggunakan

empat dasar dalam menggali suatu hukum, sebagaimana tergambar dari

perkataannya:

كالم رسول ااهللا ونص ، القرانها أربعة وهي: نص وأن ، تي ال يعرف شئ من الشرائع إالمنهااألصول ال ، واترالم نقل الثقات أو الت الس عليهعنها صح ما هو عن اهللا تعلى مم م, الذي إن ى ااهللا عليه وسل صل

٤١.إال وجها واحدايحتملأو دليل منها ال، ةوإجماع جميع علماء األم

Artinya: “Hukum syarak tidak akan dapat diketahui kecuali dengan empatdasar yaitu: nas} al-Qur'an, nas} kalam Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihiwa Sallam yang sebenarnya datang dari Allah juga yang sahih kitaterima dari padanya dan diambil dari orang-orang kepercayaan atauyang mutawatir, ijmak oleh semua ulama umat dan suatu dalil yanghanya mengandung satu pengertian”.

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa dasar hukum yang

digunakan oleh Ibnu H{azm dalam mengistinbatkan suatu hukum adalah

sebagai berikut:

40 Ibid, h. 670-671.

41 Ibnu H{azm, Op.Cit, 2005, h. 86-87.

27

1. Al-Qur’an

Menurut Ibnu H{azm tidak ada ayat mutasyabihat selain Fawa>tih

As-Suwa>r, karena semua ayat al-Qur’an adalah jelas dan terang maknanya

bagi orang yang mengetahui ilmu bahasa secara mendalam dan

mengetahui hadis yang sahih.42

Al-Qur’an adakalanya dijelaskan oleh al-Qur’an sendiri seperti

hukum perkawinan, perceraian, iddah dan hukum waris dan adakalanya

dijelaskan oleh sunah seperti tatacara salat, puasa, zakat dan haji, maka

ketika itu sunah menjadi penjelas bagi al-Qur’an.43 Sebagaimana Allah

‘Azza wa Jalla berfirman:

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami

turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada

umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan

supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl [16]: 44)44

Penjelasan al-Qur’an terhadap al-Qur’an kadang masih

membutuhkan takhsis karena masih belum jelas atau berbentuk umum,

42 Noer Yasin, Op.Cit, h. 19.

43 Muh}ammad Abu> Zahrah, Tarekh al-Maza>hib al-Isla>miyyah, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, th), h. 546.

44 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 272.

28

sehingga harus ada ayat lain yang mengkhususkannya, Ibnu H{azm

membagi ayat-ayat yang mengkhususkan itu menjadi dua yaitu:

a. Ayat yang menjelaskan bersamaan turunnya dengan ayat yang

dijelaskan, ini disebut takhsis.

b. Ayat yang menjelaskan turunnya tidak bersamaan dengan ayat yang

dijelaskan, ini disebut nasakh.45

Menurut Ibnu H{azm nasakh adalah pengecualian terhadap

keumuman hukum dari segi masa. Seperti ayat yang melarang menikah

dengan wanita musyrik secara umum, kemudian datang ayat yang

membolehkan menikahi wanita ahli kitab.

Dalam memahami sebuah nas} Ibnu H{azm selalu melihat dari sisi

zahirnya. Nas} yang umum harus diambil umumnya karena itulah yang

zahir, kecuali ada hal yang menjelaskan bahwa yang dimaksud bukan yang

zahir. Oleh karena ini juga konsep fikih yang diusung oleh Ibnu H{azm

disebut dengan fikih az}-Z{ahiri.46

2. Sunah

Sumber hukum kedua menurut Ibnu H{azm adalah Sunah, yaitu

meliputi perkataan, perbuatan dan taqri>r Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa

Sallam. Sunah qauliyah yang berupa perintah (awa>mir) dan larangan

(nawa>hi) harus diambil zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada

45 Muh}ammad Abu> Zahrah, Loc.Cit.

46 M. Lathoif Ghozali, Ibnu Hazm dan Gagasan Ushul Fiqh dalam Kitab Al-Ihkam FiUshul Al-Ahkam, Jurnal hukum Islam, Vol. 01. No. 01 Maret 2009, h. 24.

29

kewajiban dan larangan menunjukkan kepada keharaman. Manusia tidak

diperbolehkan mengatakan bahwa sesuatu adalah mubah atau makruh

tanpa ada dalil dari al-Qur’an, sunah, atau ijmak, karena yang demikian

berarti melawan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.47

Sedangkan yang berupa perbuatan Nabi (sunah fi’liyah) hanya

berfungsi sebagai model perilaku yang baik untuk ditiru (uswah/ qudwah

hasa>nah). Hukum mengikutinya tidaklah wajib, kecuali sunah fi’liyah itu

berfungsi sebagai peragaan terhadap sunah qawliyah. Berkenaan dengan

persetujuan Nabi (sunah taqririyah) terhadap tindakan sahabat yang

diketahuinya, itu hanya menunjukkan mubah saja. Oleh sebab itu, tidak

wajib mengikuti perbuatan Nabi S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi boleh

saja mengikutinya sebagai suri teladan.48 Hal ini didasarkan pada firman

Allah ‘Azza wa Jalla:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

47 Noer Yasin, Op.Cit, h. 20.

48 A. Halil Thahir, Metode Ijtihad Menurut Ibnu Hazm Telaah Kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Realita, Vol. 14. No. 2 Juli 2016, h. 155.

30

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut

Allah”. (QS. Al-Ah}za>b [33]: 21)49

Ibnu H{azm sebagaimana halnya mayoritas ulama, berpendapat

bahwa al-Qur’an dan sunah adalah sama-sama wahyu Allah Subh}a>nahu wa

Ta’a>la>. Sebagaimana firman-Nya:

“Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan

hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm [53]: 3-4)50

Atas dasar itu Ibnu H{azm memformulasikan bahwa wahyu itu

terbagi dua, pertama, wahyu yang dibaca (wahyu matluw) dan susunan

redaksinya mengandung mu’jizat, itulah al-Qur’an. Kedua, wahyu yang

tidak dibacakan dan susunan redaksinya tidak merupakan mu’jizat (wahyu

marwi), yaitu berita (al-khabar) yang berasal dari Rasulullah S{alla>llahu

‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu, antara al-Qur’an dan Sunah (selama

sunah itu sahih) selalu bersesuaian kandungannya dan tidak akan terjadi

kontradiksi (ta’a>ruḍ) antara keduanya.51

49 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 420.

50 Ibid, h. 526.

51 Ibnu H{azm, Op.Cit, 2005, h. 111.

31

3. Ijmak

Sumber hukum ketiga dalam beristinbat yang diakui Ibnu H{azm

adalah ijmak, namun Ibnu H{azm mengkhususkannya hanya pada ijmak

para sahabat. Sebagaimana perkataannya:

فق أن جميع الصحابة رضي اهللا عنهم ذى تقوم به الحجة في الشريعة فهو ما إت وأما اإلجماع ال ٥٢غير هذا.شيأليس اإلجماع في الدين،ى اهللا عليه و سلمدانوا به عن نبيهم صل تقالوه و

Artinya: Adapun ijmak yang bisa dijadikan hujah dalam syariat adalahapa yang telah disepakati oleh seluruh sahabat Rad{iyalla>hu‘Anhum. mereka adalah orang yang berbicara langsung dandekat dengan Nabi S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak adaijmak dalam agama kecuali ini.

Ibnu H{azm menguatkan pendapatnya, tentang kehujahan ijmak

serta keharusan tetap bersandar pada nas} walaupun dalam ijmak, dengan

ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya yaitu:

“Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaranbaginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orangmukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telahdikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, danJahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa>’ [4]: 115)53

Ijmak menurut Ibnu H{azm adalah Ijmak yang mutawatir dan

bersambung sanadnya kepada Rasulullah, adapun ijmak yang tidak

bersandar pada nas} bukanlah Ijmak, dalam hal ini ia berkata:

52 Ibid, h. 62.

53 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 97.

32

عليه وسلم فهو منقول، و البد اهللاى كالم منه صل اإم :ذلك النص ، و عن نص الإجماع إالإذ علمه فأقره إقرارهام أو عليه سالم فهو منقول أيضا، كذلك عن فعل منه وإمامحفوظ حاضر،

الوجوهعلمه على غير هذهوكل من ادعى إجماعاولم ينكره فهي أيضا حال منقولة محفوظة،٥٤.دعواهكلفناه تصحيح

Artinya: Tidak ada ijmak melainkan karena ada nas}, nas} itu adakalanyasabda Nabi S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam, adakalanyaperbuatannya, adakalanya taqri>r-nya. Maka siapa yang mengakuada ijmak selain dari ini kami minta kepadanya untukmemperbaiki pengakuannya itu.

Bahkan Ibnu H{azm mengkritik imam Malik yang menjadikan

ijmak Ahlul Madinah sebagai hujah, hal tersebut dikarenakan, pertama,

ijmak seperti ini adalah hal yang tidak mempunyai dasar, kedua,

keutamaan Madinah hanya berlaku pada masa itu saja, ketiga, orang yang

menyaksikan wahyu adalah para sahabat, keempat, perselisihan juga

terjadi di Madinah.55

4. Ad-Dali>l

Jika dari ketiga sumber yang telah disebutkan tidak ditemukan

aturan hukum secara zahir tentang suatu masalah, maka Ibnu H{azm

menempuh jalan ijtihad yaitu dengan meggunakan ad-Dali>l. Menurut Ibnu

H{azm ad-Dali>l sejatinya tidaklah berdiri sendiri diluar nas } al-Qur’an,

sunah atau ijmak, melainkan tetap berasal dan bersumber daripadanya.56

54 Ibid, h. 544.

55 M. Lathoif Ghozali, Op.Cit, h. 25.

56 A. Halil Thahir, Op.Cit, h. 156.

33

Ibnu H{azm menolak qiyas dan menegaskan bahwa ad-Dali>l

berbeda dengan qiyas, dan ia bukanlah tambahan terhadap nas } atau sesuatu

yang berdiri sendiri diluar nas } sebagaimana qiyas, ad-Dali>l itu implisit

didalam nas} itu sendiri. Sebagaimana Ibnu H{azm memberikan penegasan

pada kelompok yang menyamakan ad-Dali>l dengan qiyas, Ibnu H{azm

berkata:

ليل الد و القياسنأخرونأجماع وظن واإلعن النص ايل خروج من لقولنا بالد ن أقوم بجهلهم ظن ٥٧.هم أفحش خطاءا في ظن ئو فأخط، واحد

Artinya: Orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa pendiriankami memegang ad-Dali>l, keluar dari nas} dan ijmak. Dan adalagi orang menyangka bahwa ad-Dali>l dan qiyas itu sama saja,maka kesalahan mereka dalam sangkaan itu adalah suatukesalahan yang amat buruk.

Ibnu H{azm membagi ad-Dali>l kepada dua bagian yaitu ad-Dali>l

yang diambil dari nas} dan ad-Dali>l yang diambil dari ijmak. Ad-Dali>l yang

diambil dari nas} terbagi menjadi tujuh yaitu:

a. Nas} yang terdiri dari dua proposisi (muqaddimah), yaitu maqaddimah

qubro dan sughro tanpa konklusi dan natijah, mengeluarkan natijah dari

dari muqaddimah tersebut dinamakan ad-Dali>l. Seperti sabda

Rasulullah “kullu musykiri>n khamrun, wa kullu khamrin hara>mun”, dan

natijah “kullu musykiri>n hara>mun” adalah ad-Dali>l -nya.

b. Nas} menyebutkan syarat yang terkait dengan sifat tertentu. Ketika

syarat itu ada, maka secara otomatis jawaban syarat itu juga ada.

Misalnya firman Allah ‘Azza wa Jalla:

57 Ibnu H{azm, Op.Cit, 2005, h. 714.

34

“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan

mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. (QS.

al-Anfa>l [8]: 38)58

Pada zahir nas} menyebutkan kepada orang-orang kafir yang menentang

Nabi, namun yang diakui keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab

dan penerapan keumuman ini dipahami langsung dari nas}.

c. Nas} memiliki makna tertentu, lalu makna tersebut diungkapkan dengan

pernyataan lain yang semakna dengan lafaz (al-mutala>’imat). Seperti

firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang

tua”. (QS. al-‘Ankabu>t [29]: 8)59

Ayat diatas menurut Ibnu H{azm memberikan pelajaran bahwa wajib

berbuat baik pada kedua orang tua dan perbuatan yang bertentangan

dengan itu dilarang termasuk perkataan ah (Uffin).

d. Sesuatu yang tidak ada ketentuan wajib atau haram dari nas} hukumnya

adalah mubah.

e. Proposisi berjenjang (qad}a>ya mudarajat), yaitu pemahaman bahwa

derajat tertinggi dipatikan berada diatas derajat yang lain dibawahnya.

Seperti jika ada pernyataan Abu Bakar lebih baik dari Umar dan Umar

58 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 181.

59 Ibid, h. 397.

35

lebih baik dari Ustman, maka makna lain dari lingkaran tersebut adalah

Abu Bakar lebih baik dari Ustman.

f. Kebalikan proposisi (‘aqs qad}a>ya), dimana bentuk proposisi kulliyat

dibalik menjadi proposisi juziyyat. Contohnya, “setiap yang

memabukkan adalah khamar” dibalik menjadi “sebagian dari hal yang

diharamkan adalah yang memabukkan”.

g. Suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa

makna yang secara otomatis menempel padanya (al-makna al-lazim).

Misalnya Zaid sedang menulis, dari pernyataan itu dipahami bahwa

Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan dan bisa digunakannya untuk

menulis.60

Sedangkan ad-Dali>l yang diambil dari Ijmak ada empat macam

yaitu:

a. Ijmak tentang persamaan hukum antara sesama kaum muslimin selama

tidak ada pengkhususan secara ekplisit dalam nas} untuk seseorang

secara tertentu, maka hukum yang tersebut dalam nas} berlaku umum

meskipun lafaznya khusus. Menurut Ibnu H{azm tidak ada perbedaan

dalam hukum qis}as antara orang merdeka membunuh orang merdeka

atau orang merdeka membunuh budak.

b. Ijmak untuk meninggalkan suatu pendapat tertentu. Artinya ketika

diantara para sahabat mempunyai beberapa versi pendapat dalam suatu

masalah, namun mereka sependapat untuk meninggalkan pendapat

60 Ibnu H{azm, Op.Cit, 2005, h. 714-715.

36

tertentu yang tidak ada dalilnya. Kesepakatan tersebut merupakan ad-

Dali>l akan batalnya pendapat yang ditinggalkan itu. Misalnya, para

sahabat mengatakan bahwa kakek dapat mewarisi bersama saudara laki-

laki, namun mereka berbeda pendapat tentang bagiannya. Kesepakatan

ini merupakan ad-Dali>l kekeliruan pendapat yang mengatakan kakek

sama sekali tidak mendapat warisan.

c. Ad-Dali>l yang didasarkan kesepakatan atas jumlah minimum (aqallu

ma> qi>la), ad-Dali>l ini biasanya berkaitan dengan hukum tentang kadar,

ukuran, jumlah atau hitungan. Misalnya dalam menentukan jumlah

mahar, nafkah, mut’ah istri yang dicerai atau kadar menyapu sebagian

kepala pada saat berwudu. Biasanya dalam hal ini sahabat berbeda

pendapatnya, dalam perbedaan itu jumlah yang terkecil merupakan hal

yang disepakti. Oleh karena itu, jumlah yang terkecillah yang harus

diterima berdasarkan ijmak yang disepakati.

d. Ad-Dali>l istishab, menurut Ibnu H{azm ialah tetapnya hukum yang telah

ditetapkan nas} sampai ada dalil yang mengubahnya. Suatu hukum yang

telah ditetapkan oleh nas} tidak akan berubah disebabkan perubahan

waktu, kondisi dan tempat. Berkaitan dengan ini Ibnu H{azm

memberikan contoh tetap berlanjutnya perkawinan orang yang hilang,

segala tanggungjawabnya atas keluarga dan hak kepemilikannya atas

hartanya masih berlanjut sampai terbukti ia telah meninggal.61

61 Noer Yasin, Op.Cit, h. 56-66.

37

H. Hukum Perkawinan di Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia yang penulis maksud di dalam

penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perkawinan

di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Buku I Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

yang mana telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 yakni perubahan atas pasal 7 dan adanya penambahan pada pasal 65A,

telah diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2019. Sedangkan

pasal-pasal yang mengatur tentang perceraian tidak ada perubahan sama

sekali.62

Sebagaimana judul yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah

tentang hukum saksi dalam talak, maka pembahasannya penulis khususkan

lagi kepada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perceraian dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Buku I

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa untuk berdirinya hukum perkawinan dalam

bentuk undang-undang tersebut tidaklah mudah dan memakan waktu yang

cukup lama, halangan dan rintangan itu datang dari berbagai kelompok baik

kalangan non muslim karena menganggap tidak sesuai dangan pancasila

maupun dari kalangan muslim itu sendiri karena diantara isi rancangan

62 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Atas Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), h. 2-3.

38

undang-undang yang telah diajukan dianggap tidak sesuai dengan syariat

Islam itu sendiri.63

Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang

masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh

pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang

Paripurna DPR-RI, untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang

tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga

pemerintah yang diwakili Menteri Kehakiman meberikan kata akhirnya. Pada

hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah

memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2 Januari 1974

diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.64

Untuk terlaksananya undang-undang tersebut maka pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan

pelaksana dari Undang-Undang Perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun

berikutnya ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis yang

menangani masalah perkawinan antara orang-orang Islam dalam putusannya

banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena adanya hal-hal

yang tidak terkover dalam undang-undang perkawinan dan Peraturan

Pemerintah pelaksananya, untuk menangani hal tersebut maka dibuatlah

63 Mohammad Rasjidi, Kasus R.U.U. Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 22 & 32.

64 Ibid, h. 55.

39

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991

pada tanggal 10 Juni, pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

tersebut adalah sebagai acuan baku bagi para Hakim Pengadilan Agama

dalam memutus perkara.65

65 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Cet.Ke-3, h. 26.

40

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DAN SAKSI

A. Talak

1. Pengertian Talak

Istilah cerai atau perceraian dalam bahasa Arab lazim disebut

dengan istilah talak (طالق) . Secara bahasa talak berarti الحل ورفع القید artinya

melepas dan membuka ikatan.66 Talak secara bahasa berasal dari kata -طلق

قاالط-یطلق lafaz dari masdar merupakan talak yang artinya melepaskan atau

menceraikan.67 Dalam pengertian etimologi, kata T{ala>q digunakan untuk

menyatakan melepaskan ikatan secara h}issi>, namun ‘urf mengkhususkan

pengertian T{ala>q itu kepada melepaskan ikatan secara maknawi.

Adapun pengertian talak menurut istilah syarak telah dikemukakan

oleh para ulama fikih, diantaranya yaitu:

Menurut al-Sayyid al-Bakar68 talak adalah:

٦٩.راحالق والفراق والس فظ الآلتي وهي الط كاح بالل عقد الن حل

Artinya: Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafaz

berikut: at}-T{ala>q, al-Fira>q dan al-Sarra>h.

66 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8 PERNIKAHAN, (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 2019), Cet. Ke-1, h. 359.

67 Mahmud Yunus, Loc. Cit.

68 Nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syata (1266-1310H), seorang ulama Syafi’iyyah yang mengarang kitab I’anatu at-Talibin.

69 Al-Sayyid Abu Bakr, I’a>nah at}-T}a>libi>n, (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Turas| al-‘Arabi>, t.th.),Juz 4, h. 2.

41

Menurut Sayyid Sabiq70 pengertian talak yaitu:

٧١.ةوجي الرابطة الزواج وإنهاء العالقة الز حل

Artinya: Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

istri.

Sedangkan menurut Abdurrahma>n al-Jazi>ri>72 talak yaitu:

٧٣كاح أو نقصان حله بلفظ مخصوص.الق إزالة الن الط

Artinya: Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau

mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan

kata-kata tertentu.

Beberapa defenisi diatas menjelaskan bahwa talak adalah

menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan

perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, sehingga menurut

Sya>fi>’iyah ditakzir orang orang yang menjimak istrinya sebelum rujuk,

karena tidak boleh rujuk dengan jimak tanpa melafazkan rujuknya terlebih

dahulu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah

berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya

jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua

menjadi satu dan dari satu menjadi hilang haknya dalam talak raj’i.

70 Nama lengkapnya adalah Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami (1915- 2000 M),seorang ulama mesir yang ahli dibidang fikih.

71 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2002), Cet. Ke-1, Julid2, h. 261.

72 Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwadh al-Jaziri (1299-1359H), seorang ulama Mesir yang memiliki keluasan ilmu fikih dan mengarang kitab al-Fiqh ‘Ala>Maza>hib al-Arba’ah.

73 Abdurrahma>n Al-Jazi>ry, Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arba>’ah, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989),Juz 4, h. 278.

42

2. Dasar Hukum Talak

Disyariatkannya talak sebagai solusi ketika dalam suatu rumah

tangga terjadi perselisihan ataupun masalah yang mengharuskan

menggunakan talak sebagai jalan keluar terakhir dalam penyelesaian

masalah tersebut, ini sudah diatur dalam al-Qur’an dan hadis bahkan

secara logika juga bisa diterima.

a. Al-Qur’an

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara tentang talak

termasuk menjelaskan tatacara menjatuhkan talak yang dianjurkan

dalam syariat Islam, diantaranya yaitu:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, makahendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktuiddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlahkamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlahmereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakanperbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah makasesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.Kamu tidak mengetahui, barangkali setelah itu Allahmengadakan suatu ketentuan yang baru”. (QS. At}-T{alaq [65]:1)74

74 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 558.

43

Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

...

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

(QS. Al-Baqarah [2]: 229)75

b. Hadis

Beberapa hadis dari Rasulullah juga menjelaskan tentang

hukum talak yaitu:

الحالل إلى اهللا عز م قال أبغض ى اهللا عليه وسل صل بي عن ابن عمر رضي اهللا عنهما عن الن ٧٦(رواه أبو داود).القالط جل و

“Dari ibnu Umar Rad{iyalla>hu ‘Anhuma> berkata bahwaRasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, perbuatanhalal yang paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak”.(H.R. Abu Daud)

Dalam hadis lain Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

وال عتق،نكاحقبلقال طالقالى اهللا عليه و سلمل صخرمة، عن النبي سور بن م الم عن٧٧(رواه ابن ماجة).ملكقبل

“Dari Miswar bin Makhramah, dari Nabi S{alla>llahu ‘Alaihi wa

Sallam beliau bersabda, tidak ada talak sebelum pernikahan,

75 Ibid, h. 36.

76 Abu Daud, Loc.Cit.

77 Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,t.th), Juz 1,h. 660. Hasan Shahih menurut al-Albani.

44

dan tidak pemerdekakan budak sebelum kepemilikan”. (H.R.

Ibnu Ma>jah).

Umat Islam sejak masa Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa

Sallam telah berijmak tentang disyariatkannya talak dan logika dasar

manusia bisa menerimanya sebagai salah satu solusi dalam suatu

perkawinan yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

3. Rukun dan Syarat Talak

Rukun dan Syarat talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam

talak dan terwujudnya talak bergantung pada ada dan lengkapnya unsur-

unsur tersebut. Rukun dan syarat talak adalah sebagai berikut:

a. Suami

Suami adalah orang yang berhak menjatuhkan talak. Oleh

karena talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak

tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan

yang sah, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Ma>jah yang telah

disebutkan sebelumnya.

Untuk sahnya suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:

1) Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak, yang

dimaksud dengan gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak

akalnya karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitam, hilang

akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf

otaknya.

45

2) Balig, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang

yang belum dewasa. Hukum Islam memungkinkan terjadinya

perkawinan bagi anak dibawah umur yang dalam akad nikah

dilakukan oleh walinya. Tetapi wali yang memiliki hak

menikahkan anak dibawah umur perwaliannya itu tidak

dibenarkan menjatuhkan talak atas nama anak yang pernah

dinikahkannya.

3) Atas kemauan sendiri, yang dimaksudkan dengan atas kemauan

sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk

menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan

karena dipaksa oleh orang lain.78

b. Isteri

Perempuan yang ditalak harus berada di bawah wilayah atau

kekuasaan laki-laki yang menjatuhkan talak yaitu istri yang masih

terikat dalam tali perkawinan dengannya. Demikian pula istri yang

sudah diceraikannya dalam bentuk talak raj’i dan masih berada dalam

masa iddah, karena seorang perempuan pada masa iddahnya masih

berstatus sebagi istri yang memiliki hak dan kewajiban dengan

suaminya.79

Sebagaimana hadis yang telah disebutkan sebelumnya:

نكاحقبلقال طال

78 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 202.

79 Amir Syarifuddin, Op.Cit, 2011, h. 207.

46

“Tidak ada talak sebelum pernikahan”.

Untuk sahnya talak bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai

berikut:

1) Istri itu masih tetap berada dalam wilayah keuasaan suami dan

istri yang sedang menjalani masa iddah.

2) Istri tersebut harus berdasarkan akad perkawinan yang sah, jika ia

menjadi istri dengan akad nikah yang batil seperti memadu dua

orang perempuan bersaudara maka talak yang demikian tidak

dipandang ada.

c. S}igat Talak

S}igat talak adalah kata-kata yang diucapakan oleh suami

terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik sarih maupun kinayah,

baik berupa ucapan, tulisan, isyarat bagi suami yang tunawicara

ataupun dengan suruhan orang lain.80

Jumhur fuqaha>’ berpendapat bahwa talak terjadi bila suami

yang ingin menceraikan istrinya itu mengucapkan ucapan tertentu

yang menyatakan bahwa istrinya itu telah lepas dari wilayahnya. Oleh

karena itu kalau suami hanya sekedar berkeinginan atau meniatkan

tetapi belum mengucapkan apa-apa maka belum terjadi talak.81

80 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 204.

81 Amir Syarifuddin, Op.Cit, 2011, h. 208.

47

Ulama Ahlu Sunnah hanya menetapkan tiga rukun untuk terjadinya

talak sebagaimana disebutkan diatas, yang berbeda dari golongan ini

adalah golongan ulama Syi>’ah Ima>miyyah, bagi mereka ada rukun yang

keempat yaitu kehadiran saksi. Saksi itu harus hadir dan menyaksikan saat

mengucapkan talak, bila tidak dihadiri saksi, talak tersebut dinyatakan

belum terlaksana. Demikian juga pandangan dari ulama az}-Z{ahiri

termasuk Ibnu H{azm yang mewajibkan saksi dalam talak, namun

mejadikannya sebagai syarat sah bukan rukun.82

4. Macam-Macam Talak

a. Talak Menurut Prosedurnya

Secara prosedural talak dapat dibagi menjadi dua macam yaitu

talak sunni karena sesuai dengan sunah Nabi atau syariat Islam dan

talak bid’i atau bid’ah karena tidak sesuai dengan sunah atau syariat

Islam.

1) Talak Sunni

Talak sunni yaitu talak yang pelaksaannya sesuai dengan

sunah dan petunjuk agama. Bentuk talak sunni yang disepakati

oleh ulama adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana

istri pada waktu itu tidak dalak keadaan haid atau pada masa suci

yang belum pernah digauli oleh suaminya, dengan tujuan setelah

talak dijatuhkan istri dapat segera menjalankan iddahnya. Hal ini

sesuai dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

82 Ibid, h. 214.

48

...

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka

hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka

dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah

waktu iddah itu ...”. (QS. At}-T}alaq [65]: 1)83

2) Talak Bid’i

Talak bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut

ketentuan syariat, bentuk talak yang disepakati ulama yang

termasuk dalam kategori talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan

sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun

telah digauli oleh suami.

Yusuf Qarad}awi mengatakan bahwa hukum mentalak istri

yang dalam keadaan haid adalah haram sebagaimana diharamkan

pula menceraikannya pada waktu suci yang telah melakukan

hubungan intim dengannya, karena siapa tahu spermatozoanya

melekat pada rahim istrinya dalam persetubuhan kali ini.84

83 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 558.

84 Yu>suf Qarad}awi, Halal dan Haram dalam Islam, penj. Abu Sa’id al-Falahi dan AunurRafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 242.

49

Hukum talak bid’i juga diharamkan karena memberi

mudarat kepada istri, yaitu memperpanjang masa iddahnya.

Sebagaimana Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

رسول عهدعلى،ق امرأته وهي حائضه طل عن عبد اهللا بن عمر رضي اهللا عنهما أن م عن ى اهللا عليه وسل اب رسول اهللا صل فسأل عمر بن الخط ،مى اهللا عليه وسل اهللا صل

ثم ،ى تطهرليمسكها حت جعها ثم امره فلير مى اهللا عليه وسل ذلك فقال رسول اهللا صل ة فتلك العد ،ق قبل أن يمس وإن شاء طل ،إن شاء أمسك بعدتطهر ثم تحيض ثم

٨٥)رواه البخاري(ساءق لها الن طل يتي أمر اهللا أن ال

“Dari Ibnu Umar Rad{iyalla>hu ‘Anhuma>, sesungguhnya iamenjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya ituberada dalam keadaan haid, pada masa RasulullahS{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian Umar berkata, akumenanyakan kepada Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi waSallam tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruhia untuk merujukinya, kemudian hendaklah iamemegangnya sampai ia suci kemudian haid kemudiansuci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelumdisetubuhi. Itulah iddah yang telah ditetapkan Allah untukmenjatuhkan talak para wanita”. (H.R. Bukha>ri)

Walaupun ulama sepakat tentang haramnya mentalak istri

yang sedang haid, namun mereka berbeda pendapat apakah talak

tersebut jatuh atau tidak. Jumhur fuqaha>’ berpendapat bahwa

talak yang dijatuhkan pada masa istri haid tersebut jatuh, alasanya

adalah hadits tersebut diatas dinyatakan bahwa Ibnu Umar yang

menceraikan istrinya dalam haid tersebut disuruh rujuk kepada

85 Al-Bukha>ri, S}ahi>h al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), Juz 5, h. 199.

50

istrinya, rujuk itu mengandung arti bahwa sebelumnya telah

terjadi talak.86

Sebagian ulama termasuk Ibnu H{azm berpendapat bahwa

talak dalam masa haid itu tidak jatuh.87 Karena talak seperti itu

tidak sesuai dengan sunah dan termasuk kedalam perbuatan

bid’ah, sebagaimana sesuai dengan keumuman sabda Rasulullah

S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam :

ليس عليه أخبرتني عائشة أن رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم قال من عمل عمال٨٨.أمرنا فهو رد

“’Aisyah Rad}iyallahu ‘Anha memberitahuku bahwaRasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:Barangsiapa mengamalkan sesuatu amalan yang tidaksesuai dengan perintah kami, maka ia ditolak”. (HR.Muslim)

b. Talak Menurut Kebolehannya untuk Rujuk Kembali

1) Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang

suami kepada istrinya, namun suami masih mempunyai hak untuk

rujuk dan kembali kepada istrinya selama masih dalam masa

iddahnya. Kesempatan untuk kembali rujuk bagi seorang suami

hanya dua kali, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

86 Amir Syarifuddin, Op.Cit, 2011, h. 219.

87 Ibnu H{azm, Op.Cit, t.th, Juz 9. h. 363.

88 Muslim, Shahih Muslim, (Riyad: Da>r at-Tayyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi>’, 2006),Cet. Ke-1, Julid 1, h. 822.

51

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh

rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan

dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah [2]: 229)89

2) Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang putus secara penuh dalam

arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali

dengan pernikahan yang baru, talak ba’in inilah yang tepat

disebut dengan putusnya perkawinan. Talak ba’in terbagi dua

yaitu:

Pertama, talak bain sugra, adalah talak yang suami tidak

boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi

dengan pernikahan yang baru tanpa adanya muh}allil, yang

termasuk talak bain sugra adalah talak satu atau dua yang telah

habis masa iddahnya, talak yang dilakukan kepada istri yang

belum pernah digauli sekalipun, talak karena khulu’ dan

perceraian akibat fasakh.

Kedua, talak bain kubra, yaitu talak suami yang tidak

mungkin suami rujuk kepada mantan istrinya. Jika ingin kembali

kepada istrinya, maka istri tersebut harus terlebih dahulu menikah

dengan lelaki lain dan lelaki tersebut menceraikannya setelah

89 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 36.

52

digaulinya dan habis masa iddahnya, yang termasuk talak ba’in

kubra adalah istri yang telak ditalak tiga dan percerain yang

terjadi karena li’an.90

c. Talak Menurut Jenis Lafaznya

1) Talak dengan Lafaz S}arih

Talak s}arih yaitu talak dengan menggunakan kata-kata

yang jelas dan tegas, dapat langsung dipahami sebagai pernyataan

talak seketika diucapakan dan tidak perlu kepada niat. Seperti

dengan mengucapkan “Aku Cerai” atau “Kamu telah aku cerai”.

Menurut Imam Sya>fi’i> dan orang-orang yang sepakat

dengannya kata-kata yang bisa dipergunakan untuk talak s}arih

ada tiga, yaitu t}ala>k, fira>q (pisah) dan sarra>h (lepas) dan bahasa

lain yang semakna dengan tiga kata tersebut, karena ketiga kata

tersebut telah dipergunakan didalam al-Qur’an dan hadis yang

menunjukkan makna perceraian.91

2) Talak dengan Lafaz Kinayah

Talak kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata

sindiran atau samar-samar dan perlu adanya niat dari suami untuk

jatuhnya talak, karena kata-kata yang diucapkan tidak

menunjukkan pengertian talak secara langsung. Seperti ucapan

90 Amir Syarifuddin, Op.Cit, 2011, h. 225.

91 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, penj. HaritsFadly, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), h. 350.

53

“selesaikan sendiri segala urusanmu” atau “pulanglah kepada

keluargamu”, ucapan seperti ini mengandung kemungkinan cerai

dan mengandung kemungkinan yang lain.92

Talak dengan menggunakan lafaz kinayah tergantung niat

atau kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bila kebiasaannya lafaz

itu yang digunakan untuk menceraikan istri maka jatuhlah

talaknya, jika tidak maka tidak jatuh. Begitu juga dengan niat,

apabila saat mengucapkan talak suami meniatkan talak maka

jatuh talaknya, jika tidak maka tidak jatuh talaknya.

d. Talak Menurut Mulai Berlakunya

1) Talak Munjaz

Talak munjaz adalah talak yang keluar dengan s}igat

mutlak dan tidak disandarkan kepada masa depan atau sesuatu

yang akan terjadi dimasa mendatang, seperti ucapan suami “kamu

saya ceraikan”. Hukum talak munjaz jatuh secara langsung ketika

talak itu dikeluarkan, syaratnya suami yang mengeluarkan talak

itu layak untuk menjatuhkannya sementara istri pun pantas

dijatuhi talak.93

92 Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit, h. 196.

93 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, h. 398.

54

2) Talak Mu’allaq

Talak mu’allaq adalah talak yang digantungkan pada

suatu perbuatan atau kejadian yang akan terjadi, bisa saja

dikaitkan dengan perbuatan istri, suami atau sesuatu kejadian

yang lain.94 Jika digantungkan kepada sesuatu yang sudah pasti

terjadi seperti datangnya malam atau siang, terbitnya matahari

atau bulan dan sebagainya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga

sebelum syarat itu terpenuhi.95

Talak mu’allaq berbeda dengan taklik talak yang berlaku

dibeberapa tempat termasuk di Indonesia yang diucapkan oleh

suami segera setelah ijab qabul dilaksanakan. Taklik talak adalah

sebentuk perjanjian dalam perkawinan yang didalamnya

disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami. Jika

suami tidak memenuhinya, maka istri yang tidak rela dengan itu

dapat mengajukan kepengadilan sebagai alasan untuk

perceraian.96

3) Talak Mud}a>f Li al-Mustaqba>l

Talak ini maksudnya akan berlaku pada waktu yang telah

ditetapkan dengan hitungan waktu tertentu, seperti hitungan jam,

hari, minggu, bulan atau tahun. Misalnya seorang suami berkata

94 Ahmad Sarwat, Op.Cit, h. 392.

95 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penj. Abdul Gofar EM, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Ke-1, h. 300.

96 Amir Syarifuddin, Op.Cit, 2011, h. 226.

55

“kamu aku ceraikan sebulan lagi”, maka ketika jatuh tempo

istrinya tersebut akan tertalak.97

Berkenaan dengan rukun dan syarat serta pembagian dan macam-

macam talak pada umumnya Ibnu Hazm hampir sama dengan jumhur

fuqaha’, hanya saja sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada BAB I,

Ibnu Hazm menambahkan kehadiran dua orang saksi yang adil sebagai syarat

sahnya talak.

B. Saksi

1. Pengertian Saksi

Dalam bahasa arab saksi disebut شاھد yang berbentuk isim fa’il.

Kata tersebut berasal dari masdar /شھادة شھود akar katanya adalah - شھد

شھود - یشھد yang menurut bahasa artinya menghadiri, menyaksikan

(dengan mata kepala), memberikan kesaksian di depan hakim, mengakui,

bersumpah, mengetahui dan menjadikan sebagai saksi.98

Sedangkan pengertian saksi menurut istilah adalah orang yang

mempertanggungjawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya, karena

dia menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak menyaksikannya.99

Dalam buku-buku fikih agak sulit ditemukan adanya pengertian

saksi menurut istilah syarak, pada umunya yang ditemukan adalah

97 Ahmad Sarwat, Loc.Cit.

98 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 207.

99 M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit. h. 107.

56

pengertian kesaksian (الشھادة). Adapun pengertian kesaksian menurut

ulama fikih yaitu:

Salam Madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut:

١٠٠.هادة إلثبات حق على الغيرهادة عبارة عن إخبار صدق في مجلس الحكم بلفظ الش الش

“Kesaksian adalah istilah pemberitahuan sesorang yang benar

didepan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan

hak orang lain.”

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa saksi menurut

istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan

memepertanggungjawabkan secara apa adanya.

2. Dasar Hukum Saksi

a. Al-Qur’an

Adapun yang menjadi dasar hukum tentang persaksian

diantaranya adalah firman Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la :

... ...

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di

antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu

karena Allah”. (QS. at}-T{ala>q [65]: 2)101

Dalam ayat lain Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la berfirman:

100 Ibid, h. 106.

101 Departeman Agama RI, Op.Cit, h. 558.

57

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yangbenar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allahbiarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaumkerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahukemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsukarena ingin menyimpang dari kebenaran dan jika kamumemutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, makasesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yangkamu kerjakan”. (QS. an-Nisa>’ [4]: 135)102

b. Hadis

Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

، هداءكم بخير الش بر لم قال أال أخأن النبي صلى اهللا عليه و سابن خالد الجهنييد عن ز ١٠٣قبل أن يسألها. (رواه مسلم)تههادالذي يأتي بالش

“Dari Zaid bin Kha>lid al-Juhni Rad{iyalla>hu ‘Anhu,bahwasanya Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:bukankah sudah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baiknya saksi?, ialah orang yang memberikan kesaksiannyasebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. (HR. Muslim)

Dalam hadis lain Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda:

102 Ibid, h. 100.

103 Muslim, Loc.Cit.

58

قال رسول اهللا صلى اهللا يز، عن سليمان بن موسى بإسناده قال:أخبرنا سعيد بن عبد العز .ذي غمر على أخيهزان وال زانية، وال وال ،عليه و سلم ال تجوز شهادة خائن وال خائنة

١٠٤(رواه أبو داود)

“Telah menceritakan kepada kami Said bin Abdul ‘Azi>z dariSulaima>n bin Musa> dengan sanadnya, ia berkata RasulullahS{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Tidak diperbolehkankesaksian seorang laki-laki dan wanita yang berkhianat, dantidak pula laki-laki serta wanita pezina dan orang yangmemiliki kedengkian terhadap saudaranya”. (HR. Abu Daud)

3. Syarat-Syarat Saksi

Untuk diterimanya kesaksian seseorang menjadi saksi, maka harus

memenuhi beberapa syarat, yang terbagi kepada syarat dasar dan syarat

teknis, yang termasuk syarat- syarat dasar yaitu:

a. Beragama Islam

Empat mazhab fikih yang masyhur sepakat mengatakan bahwa

syarat yang paling utama dari saksi adalah Islam karena firman Allah

Subh}a>nahu wa Ta’a>la “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi

yang adil”, dan makna adil disini dipahami dengan ‘ada>latud-di>n (0rang

yang beragama Islam), dan telah menjadi ijmak dikalangan mazhab

Sya>fi’i> bahwa orang pernah melakukan dosa kesaksiannya tetap dapat

diterima, namun orang kafir tetap tidak diterima kesaksiannya.105

104 Abu Daud, Sunan Abi> Da>ud, Op.Cit, Ju 3, h. 299. Hasan menurut Al-Alba>ni.

105 Ahmad Sarwat, Op.Cit. h. 123.

59

b. Taklif

Syarat yang kedua dari saksi adalah taklif, artinya seorang saksi

itu harus seorang mukalaf, yaitu akil (berakal) dan balig. Telah menjadi

ijmak dikalangan jumhur fuqaha>’ bahwa orang gila tidak pernah bisa

diterima kesaksiannya dan akal sehat pun tidak akan dapat menerima

kesaksian orang gila.106

Jumhur fuqaha>’ juga sepakat bahwa syarat saksi haruslah

seorang yang sudah balig, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,

.. ..

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (di antaramu).” (QS. al-Baqarah [2]: 282)107

Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan istilah rijal,

yang maknanya bukan hanya sekedar bejenis kelamin laki-laki, tetapi

yang lebih kuat pesannya adalah orang yang sudah dewasa atau

minimal sudah balig.108

c. Al-‘Ada>lah

Al-‘Ada>lah dalam bahasa Arab dan istilah fikih sangat jauh

berbeda dengan makna kata adil atau keadilan didalam istilah bahasa

Indonesia. Al-‘Ada>lah dalam bahsa Arab sering disebut sebagai

106 M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit, h. 112.

107 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 48.

108 Ahmad Sarwad, Op.Cit, h. 124.

60

ungkapan atas suatu perkara yang seimbang diantara berlebihan dan

kekurangan, sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud sifat

Al-‘Ada>lah adalah sifat bebas dari dosa-dosa besar yang dilakukan

dengan terang-terangan.109

d. Laki-laki

Mazhab Ma>liki, Sya>fi’i> dan Hanbali sepakat mengatakan bahwa

syarat saksi dalam pernikahan adalah keduanya laki-laki. Maka

kesaksian wanita dalam pernikahan termasuk juga dalam talak tidak sah

walaupun wanita tersebut dua orang. Abu Ubaid meriwayatkan dari az-

Zuhri berkata,

Telah menjadi Sunah Rasulullah S{alla>llahu ‘Alaihi wa Sallam

bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita adalam masalah

hudud, nikah dan talak.

Namun mazhab Hanafi mengatakan bahwa jika jumlah wanita

tersebut dua orang maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki,

sebagaimana firman Allah Subh}a>nahu wa Ta’a>la,

.. ..

“Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan

dua orang perempuan”. (QS. al-Baqarah [2]: 282)110

109 Ibid., h. 126.

110 Departemen Agama RI, Loc.Cit.

61

Sedangkan Ibnu H{azm berpendapat bahwa kedudukan

perempuan dan laki-laki dari segi keadilannya adalah sama, hanya saja

kekuatan kesaksian seorang perempuan adalah setengah dari laki-laki.

Ibnu H{azm mengatakan bahwa dalam perkara nikah, talak, rujuk, serta

harta benda saksinya adalah dua orang laki-laki muslim yang adil atau

satu orang laki-laki dan dua orang wanita, atau dengan empat orang

wanita itu sama saja.111

e. Merdeka

Seorang hamba sahaya atau budak tidak sah bila menjadi saksi

sebuah pernikahan, talak dan rujuk. Sebab seorang hamba sahaya atau

budak bukanlah orang yang mempunyai hak dalam sebuah persaksian

ataupun dalam sebuah pengadilan, juga karena orang merdeka kata-

katanya berlaku terhadap orang lain yang dengan demikian merupakan

kekuasaan (wilayah), sedangkan hamba sahaya tidak berhak terhadap

kekuasaan (wilayah) itu.112

Adapun syarat-syarat teknis dalam persaksian adalah sebagai

berikut:

a. Sehat pendengarannya

b. Sehat penglihatannya

c. Mampu berbicara

111 Ibnu H{azm, Op.Cit, t.th, Juz 9, h. 396.

112 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muh}ammad al-Husaini, Kifa>yatu al-Akhya>r fi> H{illi Ga>yahal-Ikhtis}ar, (t.tp: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 276.

62

d. Sadar atau terjaga ketika menyaksikan perkara

e. Memahami bahasa orang yang disaksikan

f. Bukan anak dari para pihak.113

113 Ahmad Sarwad, Op.Cit, h. 130-132.

90

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai akhir dari keseluruhan pembahasan dan analisis yang telah

dilakukan dengan uraian yang telah terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Ibnu H{azm berpendapat bahwa menghadirkan saksi dalam talak

merupakan kewajiban bagi suami, sehingga tidak sah talak yang tidak

disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Hukum perkawinan di

Indonesia juga mewajibkan saksi dalam talak, dan pelaksaannya harus di

depan sidang Pengadilan Agama, maka talak yang dilakukan diluar sidang

Pengadilan Agama dianggap talak liar dan dinyatakan tidak sah.

2. Walaupun pendapat Ibnu H{azm dan hukum perkawinan di Indonesia

sama-sama mewajibkan saksi dalam talak, namun keduanya tidak relevan,

karena menurut hukum perkawinan di Indonesia talak harus dihadapan

sidang Pengadilan Agama sedangkan menurut Ibnu H{azm talak tidak

harus di depan persidangan. Tidak bisa dikatakan relevan juga karena

undang-undang yang mengatur tentang perceraian di Indonesia tidak

menyebutkan secara jelas siapa dan berapa jumlah saksi dalam ikrar talak

tersebut.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dijabarkan,

penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

91

1. Perceraian adalah hal yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla, oleh karena

itu hendaknya tiap-tiap orang menghindari terjadinya perceraian dalam

rumah tangga.

2. Hendaknya para ahli hukum Islam di Indonesia kembali mengkaji defenisi

talak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, agar tidak menimbulkan

dualisme pemahaman hukum ditengah masyarakat. Talak yang terjadi

diluar Pengadilan Agama hendaknya tetap diakui, sehingga Pengadilan

Agama tidak hanya memeriksa, mengadili dan memutus perkara cerai di

Pengadilan, tetapi juga berperan sebagai tempat untuk melegalisasi talak

yang sudah terjadi diluar sidang Pengadilan Agama.

3. Hendaknya pemerintah tidak hanya mengupayakan cara mempersulit

terjadinya perceraian melalui hukum saja, tetapi juga mengoptimalkan

fungsi Pengadilan Agama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat

tentang dampak dari perceraian, agar masing-masing individu benar-benar

memahami konsep talak secara mendalam sehingga seseorang tidak

semena-semena menjatuhkan talak dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Majid Mahmud Mathlub, 2005, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Penj.Harits Fadly, Surakarta: Era Intermedia.

Abdul Rahman Ghazaly, 2006, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana.

Abdurrahma>n Al-Jaziri>, 1989, Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arba>’ah, Beirut: Da>r al-Fikr.

Abu Da>ud, 1994, Sunan Abi> Da>ud, Beirut: Da>r al-Fikr.

Abu> Zahrah, 1957, al-Ah}wa>l asy-Syakhs}iyyah, t.tp: Da>r al-Fikr al-Arabi>.

Ahmad Sarwat, 2019, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8 PERNIKAHAN, Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama.

Ahsin W. Al-hafidz, 2013, Kamus Fiqh, Jakarta: Amzah.

Al-Bukha>ri, 1994, Shahi>h Bukha>ri, Beirut: Da>r al-Fikr.

Al-Sayyid Abi> Bakr, t.th, I’a>nah at}-T}alibi>n, Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Turas| al-‘Arabi>.

Amir Syarifuddin, 2005, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum IslamKontemporer di Indonesia, Jakarta: PT Ciputat Press.

, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

An-Nawawi, 2011, Syarah Shahih Muslim, Penj. Misbah, Jakarta: Pustaka Azzam.

Departemen Agama R.I., 1999, Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral PembinaanKelembagaan Agama Islam.

Faruq Abdul Mu’t}i, 1992, Ibnu H{azm Az}-Z{ahiri, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu H{azm, 2005, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l Al-Ah}ka>m, Kairo: Da>r al-Hadis|.

, t.th, Al-Muh}alla> Bi al-As|ar, Beirut: Da>r al-Fikr.

Ibnu Kas|ir, 1992, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}im, Beirut: Maktabah an-Nu>r al-‘Ilmiyah.

Ibnu Ma>jah, t.th, Sunan Ibnu Ma>jah, Beirut: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Ibnu Taimiyah, 1998, Naqdu Maratib al-Ijma’, Beirut: Dar Ibnu Hazm.

, 2004, Majmu>’ Fata>wa>, Madinah: Mujamma’i al-Ma>liki Fahad li T{iba>’atial-Mushhafi al-Syari>fi.

J. Supranto, 1997, Metode Riset Aplikasinya dalam Pemasaran, Jakarta: PT RinekaCipta.

Koto, Alaidin, 2014, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers.

M Ali Hasan, 1996, Perbandinagn Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mahi M. Hikmat, 2014, Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi danSastra, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mahmud Yunus, 2010, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus waDzurriyah.

Mohammad Rasjidi, 1974, Kasus R.U.U. Perkawinan dalam Hubungan Islam danKristen, Jakarta: Bulan Bintang.

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, 2006, Nailu al-Autar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar, t.tp: Dar Ibnu al-Jauzyah.

Muh}ammad Abu> Zahrah, t.th, Tarekh al-Maza>hib al-Isla>miyah, Kairo: Da>r al-Fikral-Arabi>.

Muh}ammad bin Idri>s Asy-Sya>fi’i>, 2001, Al-Umm, t.tp: Da>r al-Wafa’.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2011, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang:Pustaka Rizki Putra.

Muslim, 2006, Shahih Muslim, Riyad: Da>r at-Tayyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi>’.

Mustafa Sa’id al-Kha>n, 1982, As|ar al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>’id al-Us}uliyyah fi> Ikhtila>fal-Fuqaha>’, Beiru: Muassasah ar-Risa>lah.

Noer Yasin, 2012, Ibnu Hazm Revitalisasi Ushul Fiqh Berparadigma Burhani,Malang: UIN Maliki Press.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Publishing.

Qardhawy, Yusuf, 2000, Halal dan Haram dalam Islam, Penj. Abu Sa’id al-Falahidan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Rabbani Press.

Republik Indonesia, 2013, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentangPelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,Jakarta: Laksana.

Republik Indonesia, 2013, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentangPerkawinan, Jakarta: Laksana.

Rofiq, Ahmad, 1998, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sayyid Sabiq, 2002, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Muassasah ar-Risa>lah.

Sugiono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung:Alfabeta.

Syaikh Ahmad Farid, 2007, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Syaikh Hasan Ayyub, 2001, Fikih Keluarga, Penj. Abdul Gofar EM, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.

Taqiyyuddin Abu> Bakar bin Muh}ammad al-Husaini, t.th, Kifayatu al-Akhya>r fi>Halli Gha>yah al-Ikhtis}a>r, t.tp: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Jurnal:

A. Halil Thahir, Metode Ijtihad Menurut Ibnu Hazm Telaah Kitab al-Ihkam fi Ushulal-Ahkam, Realita, Vol. 14. No. 2 Juli 2016.

Ahmad Tajuddin Arafat, Filsafat Moral Ibnu Hazm Dalam Kitab Al-Akhlaq Wa as-Siyar Fi Mudawati an-Nufus, Analisa, Vol 20, No. 1, Juni 2013.

M. Lathoif Ghozali, Ibnu Hazm dan Gagasan Ushul Fiqh dalam Kitab Al-Ihkam FiUshul Al-Ahkam, Jurnal hukum Islam, Vol. 01. No. 01 Maret 2009.

Muh Said HM, Pemikiran Fikih Ekonomi Ibnu Hazm Tentang Kesejahteraan TenagaKerja, Iqtishadia Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari’ah. Vol 3, No. 2,Desember 2016.

Zuhri, Ibnu Hazm al-Andalusi dan Khilafah, Esensia. Vol 17, No. 2, Oktober 2016.

Internet & PDF

https://www.pamataram.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=431:ikrar-talak-harus-di-depan-sidangpengadilan&catid=37:artikel&Itemid=87.

Perintah Darurat Undang-Undang Keluarga Islam 1999, Perlembagaan NegaraBrunei Darussalam.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Atas Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Menteri Hukum dan Hak AsasiManusia RI.

RIWAYAT HIDUP

Joshua Suherman, lahir di Tandai Kec. Sangir Kab.

Solok Selatan Prov. Sumatera Barat pada tanggal 07

September 1996, merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara, dilahirkan dari pasangan Bapak Yasriman dan

Ibu Yarnida. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD

Negeri 23 Tandai pada tahun 2009, lalu melanjutkan ke

MTsS PP Bustanul Huda Malus hingga tahun 2012. Pada

tahun 2015 penulis tamat dari MAS PP Bustanul Huda

Malus dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan

Hukum Keluarga Program S1 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Sultas Syarif Kasim Riau.

Selama menjalani proses perkuliahan penulis tinggal di Ma’had al-Jami’ah

atau Asrama Putra UIN SUSKA Riau dari semester I-IV dan pada semester V atau

pada semester ganjil tahun ajaran 2017-2018 penulis terpilih sebagai mahasiswa

Student Exchange ke Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei

Darussalam. Setelah program Student Exchange berakhir penulis langsung

kembali ke tanah air pada awal perkuliahan semester VI dan langsung mengikuti

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Pengadilan Agama Muara Labuh Kab. Solok

Selatan selama dua bulan. Kemudian pada semester VII penulis kembali aktif di

Ma’had al-Jami’ah UIN SUSKA Riau sebagai Musyrif di Wihdah Abu Bakar.

Penulis juga aktif pada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa yaitu Forum Kajian

Mahasiswa Syariah dan Hukum (FK-MASSYA) dan diamanahkan menjadi ketua

umum periode 2018.

Akhirnya, untuk memenuhi tanggungjawab terakhir sebagai mahasiswa

program S1, penulis menyusun sebuah skripsi dengan judul “RELEVANSI

PENDAPAT IBNU HAZM DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI

INDONESIA TENTANG SAKSI DALAM TALAK”, yang di Munaqasyahkan

pada tanggal 06 November 2019, alhamdulilah lulus dengan predikat sangat

memuaskan, sehingga penulis resmi bergelas Sarjana Hukum (SH).