TEORI-TEORI BELAJAR-fix - Copy

32
TEORI-TEORI BELAJAR 1. Teori Belajar Gagne Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13). Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Menurut Hudojo (1990:13) teori merupakan prinsip umum yang didukung oleh data dengan maksud untuk menjelaskan suatu fenomena. Sedangkan belajar merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/ tetap. Dari pengertian teori dan belajar tersebut, secara ringkas dapatlah dikatakan, teori belajar menyatakan hukum-hukum/ prinsip-prinsip umum yang melukiskan yang melukiskan kondisi terjadinya belajar. Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar (Dahar, 1991:141-143). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh siswa. Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Fase Motivasi Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk

Transcript of TEORI-TEORI BELAJAR-fix - Copy

TEORI-TEORI BELAJAR

1. Teori Belajar Gagne

Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyakmelakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipekegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya iabanyak menggunakan materi matematika sebagai medium untukmengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13).

Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakankegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memilikiketerampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikianbelajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifatstimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadikapabilitas baru.

Menurut Hudojo (1990:13) teori merupakan prinsip umum yangdidukung oleh data dengan maksud untuk menjelaskan suatufenomena. Sedangkan belajar merupakan suatu usaha yang berupakegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/tetap. Dari pengertian teori dan belajar tersebut, secara ringkasdapatlah dikatakan, teori belajar menyatakan hukum-hukum/prinsip-prinsip umum yang melukiskan yang melukiskan kondisiterjadinya belajar.Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatutindakan belajar (Dahar, 1991:141-143). Fase-fase itu merupakankejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh siswa.

Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Fase MotivasiSiswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajardengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah.Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akanmemenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan,akan berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk

memperoleh angka yang lebih baik.

2. Fase PengenalanSiswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yangesensial dari suatu kajian instruksional, jika belajar akanterjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yangrelevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentanggagasan-gagasan utama dalam buku teks.

3. Fase PerolehanBila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka iatelah siap untuk menerima pelajaran. Informasi tidak langsungterserap dalam memori ketika disajikan, informasi itu di ubahkedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materiyang telah ada dalam memori siswa.

4. Fase RetensiInformasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memorijangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadimelalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek (practice),elaborasi atau lain-lainnya.

5. Fase PemanggilanMungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasidalam memori jangka-panjang. Jadi bagian penting dalambelajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan apa yangtelah dipelajari, untuk memangil informasi yang telahdipelajari sebelumnya.

6. Fase GeneralisasiBiasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapatditerapkan di luar konteks dimana informasi itu dipelajari.Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transferdapat ditolong dengan memintapara siswa untuk menggunakaninformasi dalam keadaan baru.

7. Fase Penampilan

Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatumelalui penampilan yang tampak.

8. Fase Umpan BalikPara siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan merekayang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengertitentang apa yang diajarkan.

Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar,Gagne (Dahar, 1991:143-145) menyarankan adanya kejadian-kejadianinstruksi yang ditujukan pada guru dalam menyajikan suatupelajaran pada sekelompok siswa. Kejadian-kejadian instruksi ituadalah:

1. Mengaktifkan MotivasiLangkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para

siswa untuk belajar. Kerap kali ini dilakukan denganmembangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, danmengemukakan kegunaannya.

2. Memberitahu Tujuan-tujuan BelajarKejadian instruksi kedua ini sangat erat kaitannya dengan

kejadian instruksi pertama. Sebagiandari mengaktifkanmotivasi para siswa ialah dengan memberitahu mereka tentangmengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apayang akan mereka pelajari. Memberi tahu tujuan belajar jugamenolong memusatkan perhatian para siswa terhadap aspek-aspekyang relevan tentang pelajaran.

3. Mengarahkan PerhatianGagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Bentuk perhatian

pertama berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Bentuk kedua dari perhatian disebut persepsiselektif. Dengan cara ini siswa memperoleh informasi yangmana yang akan diteruskan ke memori jangka pendek, cara inidapat ditolong dengan cara mengeraskan suara pada suatu kataatau menggaris bawah suatu kata atau beberapa kata dalam satukalimat.

4. Merangsang IngatanMenurut Gagne bagian yang paling kritis dalam proses belajar

adalah pemberian kode pada informasi yang berasal darimemorijangka pendek yang disimpan dalam memori jangka panjang. Gurudapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingatatau mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memorijangka panjang itu. Cara menolong ini dapat dilakukan denganmengajukan pertanyaan-pertanyaanpada siswa, yang merupakansuatu cara pengulangan.

5. Menyediakan Bimbingan BelajarUntuk memperlancar masuknya infomasi ke memori jangka

panjang, diperlukan bimbingan langsung dalam pemberian kodepada informasi. Untuk mempelajari informasi verbal, bimbinganitu dapat diberikan dengan cara mengkaitkan informasi baruitu dengan pengalaman siswa.

6. Meningkatkan RetensiRetensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak

terlupakan) dapat diusahakan oleh guru dan siswa itu sendiridengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain adalahdengan memberi banyak contoh, menggunakan tabel-tabel,menggunakan diagram-diagram dan gambar-gambar.

7. Melancarkan Transfer BelajarTujuan transfer belajar adalah menerapkan apa yang telah

dipelajari pada situasi baru. Untuk dapat melaksanakan inipara siswa tentu diharapkan telah menguasai fakta-fakta,konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan.

8. Mengeluarkan Penampilan dan Memberikan Umpan BalikHasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar

guru dan siswa itu sendiri mengetahui apakah tujuan belajartelah tercapai. Untuk itu sebaiknya guru tidak menungguhingga seluruh pelajaran selesai. Sebaiknya guru memberikankesempatan sedini mungkin pada siswa untuk memperlihatkanhasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik, sehinggapelajaran selanjutnya berjalan dengan lancar. Cara-cara yang

dilakukan adalah pemberian tes atau mengamati prilaku siswaumpan balik bila bersifa positif menjadi pertanda bagi siswabahwa ia telah mencapai tujuan belajar.

2. TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER

A. Biografi J. S. Bruner

Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahlipsikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telahmempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan  agarpendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembanganberfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenaiperkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, ataumemperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasarpemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses,pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajarmerupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untukmenemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepadadirinya.

B. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner

Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah,bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalambentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak dalamsetiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkansebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang perkembanganintelektual anak. Berhubungan dengan hal itu, antara lain:

1. Perkembangan intelektual anak

Menurut penelitian  J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapatdibagi menjadi tiga taraf.

1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah,jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini iabelum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaandan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena ituia belum dapat memahami dasar matematikan dan fisika yangfundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknyaberubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikankonsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.

2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu“internalized”, artinya dalam menghadapi suatu masalah iatidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatanyang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya.Namun pada taraf operai kongkrit ini ia hanya dapatmemecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata.Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinyasecara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialamisebelumnya.

3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggupberoperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagidibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.

2. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar

Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap,yaitu:

1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperolehsejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.

2. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)

Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis,diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakataukonseptual.

3. Tahap evaluasiDalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampaisejauh mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapatdimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.

3. Kurikulum spiral

J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatandengan bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajarmatematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan bendakongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebihtinggi (sesuai dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalambentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umumdipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner dimulai daricara intuitif  keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya,jika ingin menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuahhimpunan dengan tiga anggotanya.

Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkanpengertian 3 diberikan 3 contoh himpunan mangga. Tiga mangga samadengan 3 mangga.

B. Alat-Alat Mengajar

Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurutfungsinya.

1. alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”. Yaitu menyajikanbahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapatmereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim disekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suaradll.

2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang strukturatau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alatpernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga

program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatuprinsip atau struktur pokok.

3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatuperistiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkanperjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentangsuatu ide atau gejala.

4. Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaranberprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yangteratur dan memberi ballikan atau feedback tentang respondsmurid.

C. Aplikasi Teori Bruner  Dalam Pembelajaran Matematika diSekolah Dasar

Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukandengan:

1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang andaajarkan. Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangundatar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangundatar segitiga, segi lima atau lingkaran.

2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antarakonsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajarseperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin  yang seringdigunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?

3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untukmencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?

4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapatberdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawabansiswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu sibelajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.(Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)

Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Brunerdalam pembelajaran matematika di sekolah dasar.

1.  Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang

Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagaiukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangundatar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang, trapesium,segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.

a.  Tahap Enaktif.

Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anaksecara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.

Untuk gambar         a    ukurannya:        Panjang = 20 satuan ,Lebar    =  1 satuan

b    ukurannya:        Panjang = 10 satuan , Lebar   =  2 satuan

c    ukurannya:        Panjang =   5 satuan , Lebar    = 4 satuan

b. Tahap Ikonik

Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan padapikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaiangambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan denganmental yang merupakan gambaran dari objek-objek yangdimanipulasinya.

c.  Tahap Simbolis

Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anakmemanipulasi Simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.

Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumusluas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang  p,ukuran lebarnya  l , dan luas daerah persegi panjang L makajawaban yang diharapkan    L  =  p x l  satuan

Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali denganukuran lebar.

Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukandengan:

1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang andaajarkan.

2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antarakonsep-konsep.

3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untukmencari jawabannya sendiri.

4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapatberdasarkan intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atasjawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapatmemandu  si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yangsebenarnya.

5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasardapat dilakukan dengan metode penemuan.

4.TEORI BELAJAR AUSUBEL

Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah

bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini

konsep belajar bermakna David Ausubel.

Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna

(meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar

bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru

dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai

seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah

siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh

guru atau yang dibaca tanpa makna.

Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan

memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan

dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning).

Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal,

konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh

karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap

sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses

belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus

siswa menemukan sendiri semuanya. 

Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang

penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk

menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru

bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan

apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di

sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan

menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel

adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun

sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu

sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya

dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan

dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.

a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru

dan harus sesuai dengan tingkat    perkembangan dan pengetahuan

masa lalu peserta didik.

b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor

motivasional memegang peranan   penting dalam hal ini, sebab

peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut

apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan

bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh

guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna

menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas

dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan

pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan

fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam

prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan

ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena,  dan

fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah

dipunyainya.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan

potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka

yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat

jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam

kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang

lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,

peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan

pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran

yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari

apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan

dengan pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu

pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa

mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia

hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi

pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada

siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu

dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu

materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan

kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang

baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan

yang ia miliki.

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut

Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat

menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah

dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal

yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan

pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna

yang dipengaruhi oleh motivasi.

Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada

kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh

siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan

belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada

kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan

ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik,

apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang

baik.

5. Teori Belajar Eggen

Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran

kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan

guru agar siswa saling -membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh

karena itu belajar kooperatif ini juga dinamakan “belajar teman

sebaya.”. Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara

individu yang satu dengan lainnya dalam suatu ikatan tertentu.

Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu dengan yang

lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang

secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada

dalam ikatan itu.

Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana

apa yang tersirat tentang kooperatif. Pembelajaran kooperatif

merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok

yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif dapat

digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu

mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan

antara manusia. Belajar secara kooperatif dikembangkan

berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori

belajar social.

Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran yang menggunakan

model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a.       Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk

menyelesaikan materi belajar.

b.      Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan

tinggi, sedang dan rendah

c.       Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya,

suku, jenis kelamin yang berbeda-beda

d.      Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada

individu.

Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk

mencipatakan ikatan yang kuat antar siswa, membangun kecerdasan

sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa

berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan

potensi diri yang berkembang dengan baik. Secara garis besar,

tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi indikator sebagai

berikut:

a. Kemandirian yang positif

Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila

setiap anggota kelompok merasa sejajar dengan anggota yang lain.

Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota yang lain

merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh

masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri

tetapi untuk semua anggota kelompok. Kemandirian yang positif

merupakan inti pembelajaran kooperatif.

b. Peningkatan interaksi

Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif,

selayaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling

mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling mendukung,

memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam

belajar. Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada

saat siswa diikutsertakan untuk belajar mengenal satu sama lain.

Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan masalah,

mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman

sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir

dipelajari.

c.    Pertanggungjawaban individu

Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar

masing-masing anggota menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa

belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat melakukan yang

lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-

masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban

secara individu terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam

bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika

perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya

diberitahukan pada individu dan kelompok.

Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih

untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan

belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara

bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika

dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama

sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak.

Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan

kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk

dimiliki siswa dalam rangka memahami konsep-konsep yang sulit,

berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.

Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa

mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai

dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara bersama-sama.

Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa,

konselor di sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif

dalam konseling melalui teknik sebagai berikut:

1.     Bimbingan kelompok

Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-

kelompok kecil yang lebih kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-

murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok kecil itu

mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya

permasalahan belajar.

2.     Peer Konseling

Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan

emosional siswa meningkat dan menjadi lebih baik. Dalam hal ini

siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan.

3.     Organisasi murid dan kegiatan bersama

Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik,

karena dengan melakukan kegiatan bersama mendorong anak saling

membantu sehingga relasi sosial positif dapat dikembangkan dengan

baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses pembentukan

anak, baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota

masyarakat.

4.   Sosiodrama

Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan

kesempatan pada murid-murid untuk mendramatisasikan sikap,

tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka dari itu sosiadrama

dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.

TEORI BELAJAR PIAGET

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif disebut dengan

skemata atau struktur, yaitu kumpulan dari skema-skema. Artinya

seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon

terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Skemata

ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara

individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu

yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap

dibandingkan ketika masih kecil.

Perkembangan skemata berlangsung secara terus menerus

melalui adaptasi dengan lingkunganya. Skemata tersebut membentuk

suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Semakin baik

kualitas skema ini, maka semakin baik pula pola penalaran dan

tingkat intelegensi anak tersebut, kondisi ini disebut dengan

equilibrium, namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak

bisa dijelaskan dengan pola penaralan maka akan mengalami

disequilibrium.

Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu:

1.      Struktur (structure)

Terbentuk dari hubungan fungsional anak antara tindakan

fisik, tindakan mental dan perkembangan berpikir logis anak dalam

berinteraksi dengan lingkungan, kemudian tindakan tersebut menuju

pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya menuju

perkembangan struktur atau skemata. Diperolehnya skemata berarti

telah terjadi perubahan dalam perkembangan intelektual anak.

2.      Isi  (content)

Isi disebut juga dengan content, yaitu pola perilaku anak

yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap

berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.

3.       Fungsi (function)

Fungsi adalah cara yang digunakan organisme dalam mencapai

kemajuan intelektual. Menurut piaget perkembangan intelektual

anak terdiri dari dua fungsi yaitu

a.       Organisasi, yaitu kemampuan untuk mengorganisasi proses-

proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem

yang teratur dan berhubungan.

b.      Adaptasi, yaitu penyesuaian diri individu terhadap

lingkungannya.

Proses terjadinya adaptasi  dari skemata yang telah terbentuk

dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara yaitu:Pertama

asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus

baru ke dalam skemata yang telah terbentuk atau  kemampuan

individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya dengan

menggunakan struktur kognitifnya. Kedua  Akomodasi adalah proses

pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk

secara tidak langsung/proses  perubahan respons individu terhadap

stimulus lingkungan.

2.1.1        Tahap-Tahap Perkembangan

Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget menemukan empat

tahapan perkembangan kognitif yaitu:

1.      Tahap sensori motor (0-2 tahun)

            Merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi

langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak

melihat dan meraba obyek-obyek. Anak belum mempunyai kesadaran

adanya konsep obyek tetap. Jika obyek hilang anak tidak akan

mencarinya. Pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota

tubuh)  dan sensori (koordinasi alat indra).

2.      Tahap pra operasi (2-7 tahun)

            Tahap pra operasi terbagi atas dua yaitu pertama

pemikiran prakonseptual (sekitar usia 2-4 tahun),ciri anak pada

tahap ini adalah anak mulai membentuk konsep sederhana, anak

mulai mampu mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu

berdasarkan kemiripannya. Kedua periode pemikiran intuitif

(sekitar usia 4-7 tahun). Tahap ini adalah tahap persiapan untuk

pengorganisasian operasi konkrit. Operasi yang digunakan adalah

tindakan-tindakan kognitif, misalnya mengklasifikasikan

sekelompok objek, menata letak  benda-benda menurut urutan

tertentu. Pada tahap ini anak mulai timbul pertumbuhan

kognitifnya, pemikiran anak lebih banyak berdasarkan  pada

pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Pengalaman anak pada

tahap ini hanya sampai pada tahap operasional belum memahami

konsep kekekalan dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih

secara bersamaan.

  3.      Tahap operasi konkrit (7-11 tahun)

      Pada tahap ini umumnya anak sudah berada di Sekolah Dasar,

sehingga semistanya guru sudah mengetahui benar kondisi anak pada

tahap ini. Guru-guru harus mengetahui apa yang telah dimiliki

anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang  belum dimilikinya.

       Pada tahap ini anak telah memahami operasi logis dengan

bantuan benda-benda konkrit serta sudah cukup matang untuk

menggunakan pemikiran logika. Misalnya anak telah dapat

mengetahui simbol-simbol matematika. Akan tetapi anak belum dapat

menghadapi  hal-hal yang abstrak (tak berwujud).

       Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekalan

yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit,

yaitu:

a)      Kekekalan banyak (6-7 tahun)

b)      Kekekalan materi   (7-8 tahun)

c)      Kekekalan panjang (7-8 tahun)

d)     Kekekalan luas (8-9 tahun)

e)      Kekekalan berat (9-10 tahun)

f)       Kekekalan Volum (11-12 tahun)

4.      Tahap operasi formal (usia 11 keatas)

         Periode operasi formal ini disebut juga periode operasi

hipotetik-deduktif yang merupakan tahap  tertinggi dari

perkembangan intelektual.

Kemampuan Anak-anak pada periode ini yang perlu diperhatikan guru

adalah:

a)    Anak sudah dapat memberikan alasan dengan menggunakan lebih

banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikirnya

b)  Anak sudah mampu dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa

dikaitkan benda-benad empiris.

c)   Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik

dan kompleks dari pada anak yang berada dalam  periode operasi

konkrit.

d)    Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara

objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak

memungkinkan.

e)   Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dann

menggunakan proposisi-proposisi logic-formal termasuk aksioma dan

defenisi-defenisi verbal.

f)    Anak mampu berpikir kombinatorial, artinya bila anak dihadapkan

kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi factor-faktor

tersendiri atau kombinasikan factor-faktor itu sehingga menuju

penyelesaian tadi.

            Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti

dan spontan namun umur kronologis yang diberikan itu adalah

fleksibel, terutama selama masa transisi dari periode yang satu

ke periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih

tergantung individunya. Piaget berpendapat, tidak ada gunanya

bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode

berikutnya.

2.1.2        Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

Piaget mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi

transisi tahap perkembangan anak, yaitu:

1.      Kedewasaan atau kematangan

Proses perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi

motorik, dan manifestasi fisik lainnya mempengaruhi perkembangan

kognitif.

2.      Pengalaman fisik

Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan untuk

mengabstrak berbagai sifat fisik dari benda-benda. Contoh, bila

seorang anak menjatuhkan benda dan menemukan benda itu pecah,

atau bila anak menempatkan benda dalam air kemudian anak melihat

benda tersebut terapung, maka anak telah terlibat dalam proses

abstraksi. Proses inilah yang disebut dengan pengalaman fisik.

Pengalaman fisik ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak,

sebab observasi benda-benda serta sifat benda-benda menolong

timbulnya pikiran yang lebih kompleks.

3.      Pengalaman logika-matematik

Interaksi dengan lingkungan dengan cara mengamati benda-

benda disekililingnya atau mengkonstruksi hubungan-hubungan

antara objek-objek

Contoh. Anak yang sedang menghitung kelereng, kemudian anak

tersebut menemukan kelerengnya berjumlah sepuluh buah. Dalam

proses ini anak tidak menemukan sifat dari kelereng melainkan

kontuksi dari pikiran anak tersebut.

4.      Transmisi sosial

Interaksi dan kerja sama anak dengan orang lain atau dengan

lingkungnya. Hal ini amat penting bagi perkembangan mental anak.

Perkembangan mental anak diperoleh melalui pengaruh bahasa,

intruksi formal, dan membaca.

5.      Penyetimbangan (Equilibrium

Proses adanya kehilangan stabilitas di dalam struktur mental

sebagai  akibat pengalaman dan informasi baru dan kembali

setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai hasil

dari equilibrium, struktur mental berkembang dan menjadi matang.

2.1.3        Sikus Belajar

Prinsip belajar piaget adalah kontruktivis yaitu pengajaran

efektif yang menghendaki guru agar mengetahui bagaimana para

siswa memandang fenomena yang menjadi subjeks pengajaran.

Pengajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada,

melalui langkah-langkah intermediet dan berakhir degan gagasan

yang telah mengalami modifikasi.

 Strategi yang digunakan adalah

 a.      Fase deskriptif

Siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola

deskriptip (misalnya seriasi, klasifikasi, konsurvasi). Dalam

sisklus ini, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola

empiris dalam suatu konteks khusus (ekslopolari). Guru memberi

nama pada pola itu (pengenalan atau konsep); kemudian pola itu

ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Untuk

siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya

memberikan apa yang mereka amati tanpa usaha melahirkan

hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka.

Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, apa?, tetapi tidak

menimbulkan pertanyaan, mengapa?

b.      Fase Empiris Deduktif

Yaitu, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola

empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka

selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang

terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaaan penalaran

analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang

telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini

(pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh

para siswa, guru atau keduanya. Dengan bimbingan guru para siswa

menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk

melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek dengan data

dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi-konsep). Dengan kata

lain, pengamatan-pengamatan dilakukan secara deskriptif, tetapi

bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh, yaitu mengemukakan

sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama empiris-

induktif

c.       Fase Hipotesis-Deduktif

Yaitu dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab.

Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-

hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para

siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari

hipotetsis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan

eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis

(eksplorasi).

2.1.4        Implikasi Teori Belajar Piaget

Penerapan teori perkembangan kognitif Piaget di kelas adalah:

a)   Guru harus mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak

yang beradaptasi dengan guru.

b) Agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif,

guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka

memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa

menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri. Metode yang baik

digunakan adalah dengan menemukan (discovery).

c)      Tidak menghukum siswa jika menjawab pertanyaan yang salah.

d) Menekankan kepada para siswa agar mau menciptakan pertanyaa-

pertanyaan  dari permasalahan yang ada serta pemecahan

permasalahannya.

e)      Tidak meninggalkan anak pada saat di beri tugas.

f)       Membimbing siswa dalam menemukakan dan menyelesaikan

masalahnya sendiri.

g)      Menghindari istilah-istilah teknis.

h)      Menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak

karena Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa.

i)        Menganjurkan para siswa berpikir dengan cara  mereka

sendiri.

j)        Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan

anak.

k)      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru

tetapi tidak asing.

l)        Memberi peluang agar anak belajar sesuai tahap

perkembangannya.

m)    Didalam kelas, anak hendaknya diberi peluang untuk saling

berbicara  dan berdiskusi dengan teman-temannya.

Teori Belajar Vygotsky

Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia

dilahirkan di salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada

17 November 1896, dan  berkuturunan Yahudi. Ia tertarik pada

psikologi saat berusia 28 tahun.

Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang yang

membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus.

Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek

“internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya

pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,

fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing

individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa

pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas

yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of

proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak

antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam

kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan

perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan

masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang

lebih mampu.

Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak

lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky,

anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti

kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.

Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih

tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah.

Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat

kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari

budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-

anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran

yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur

menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak

tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara

yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.

Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu

pada kontruktivisme karena ia lebih menekankan pada hakikat

pembelajaran sosiokultural.  Dalam analisisnya, perkembangan

kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri

secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara

aktif. Oleh karenanya, konsep teori perkembangan kognitif

Vygotsky berkutat pada tiga hal:

1.        Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)

Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang

melewati dua aturan, yaitu tataran sosial lingkungannya dan

tataran psikologis yang ada pada dirinya.

2.      Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)

Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri

beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya

bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan

orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran

operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky membedakan

antara actual development dan potential development pada anak. Actual

development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu

tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial

development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan

sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau

kerjasama dengan teman sebaya.

3.           Mediasi

Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah

kunci utama memahami proses-proses sosial dan psikologis.

Makanya, jika dikaji lebih mendalam teori perkembangan kognitif

Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi, yaitu metakognitif dan

mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat

semiotic yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan

diri) yang mencakup self planning, self monitoring, self checking, dan self

evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.

Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif

untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan

tertentu. Sehingga media ini dapat berhubungan dengan konsep

spontan (yang mungkin salah) dan konsep ilmiah (yang lebih

terjamin kebenarannya).

Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam

pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang

bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak

mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. Secara singkat,

teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial

dengan budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya

membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan

kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada

hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam

pembentukan pengetahuan.

Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial

dan budaya seorang anak. Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua

bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi

secara jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan

ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal

dan sifatnya lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian proses

belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju

pengertian yang lebih ilmiah.