TEORI-TEORI BELAJAR-fix - Copy
Transcript of TEORI-TEORI BELAJAR-fix - Copy
TEORI-TEORI BELAJAR
1. Teori Belajar Gagne
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyakmelakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipekegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya iabanyak menggunakan materi matematika sebagai medium untukmengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13).
Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakankegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memilikiketerampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikianbelajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifatstimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadikapabilitas baru.
Menurut Hudojo (1990:13) teori merupakan prinsip umum yangdidukung oleh data dengan maksud untuk menjelaskan suatufenomena. Sedangkan belajar merupakan suatu usaha yang berupakegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/tetap. Dari pengertian teori dan belajar tersebut, secara ringkasdapatlah dikatakan, teori belajar menyatakan hukum-hukum/prinsip-prinsip umum yang melukiskan yang melukiskan kondisiterjadinya belajar.Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatutindakan belajar (Dahar, 1991:141-143). Fase-fase itu merupakankejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh siswa.
Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Fase MotivasiSiswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajardengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah.Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akanmemenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan,akan berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk
memperoleh angka yang lebih baik.
2. Fase PengenalanSiswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yangesensial dari suatu kajian instruksional, jika belajar akanterjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yangrelevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentanggagasan-gagasan utama dalam buku teks.
3. Fase PerolehanBila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka iatelah siap untuk menerima pelajaran. Informasi tidak langsungterserap dalam memori ketika disajikan, informasi itu di ubahkedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materiyang telah ada dalam memori siswa.
4. Fase RetensiInformasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memorijangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadimelalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek (practice),elaborasi atau lain-lainnya.
5. Fase PemanggilanMungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasidalam memori jangka-panjang. Jadi bagian penting dalambelajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan apa yangtelah dipelajari, untuk memangil informasi yang telahdipelajari sebelumnya.
6. Fase GeneralisasiBiasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapatditerapkan di luar konteks dimana informasi itu dipelajari.Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transferdapat ditolong dengan memintapara siswa untuk menggunakaninformasi dalam keadaan baru.
7. Fase Penampilan
Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatumelalui penampilan yang tampak.
8. Fase Umpan BalikPara siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan merekayang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengertitentang apa yang diajarkan.
Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar,Gagne (Dahar, 1991:143-145) menyarankan adanya kejadian-kejadianinstruksi yang ditujukan pada guru dalam menyajikan suatupelajaran pada sekelompok siswa. Kejadian-kejadian instruksi ituadalah:
1. Mengaktifkan MotivasiLangkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para
siswa untuk belajar. Kerap kali ini dilakukan denganmembangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, danmengemukakan kegunaannya.
2. Memberitahu Tujuan-tujuan BelajarKejadian instruksi kedua ini sangat erat kaitannya dengan
kejadian instruksi pertama. Sebagiandari mengaktifkanmotivasi para siswa ialah dengan memberitahu mereka tentangmengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apayang akan mereka pelajari. Memberi tahu tujuan belajar jugamenolong memusatkan perhatian para siswa terhadap aspek-aspekyang relevan tentang pelajaran.
3. Mengarahkan PerhatianGagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Bentuk perhatian
pertama berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Bentuk kedua dari perhatian disebut persepsiselektif. Dengan cara ini siswa memperoleh informasi yangmana yang akan diteruskan ke memori jangka pendek, cara inidapat ditolong dengan cara mengeraskan suara pada suatu kataatau menggaris bawah suatu kata atau beberapa kata dalam satukalimat.
4. Merangsang IngatanMenurut Gagne bagian yang paling kritis dalam proses belajar
adalah pemberian kode pada informasi yang berasal darimemorijangka pendek yang disimpan dalam memori jangka panjang. Gurudapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingatatau mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memorijangka panjang itu. Cara menolong ini dapat dilakukan denganmengajukan pertanyaan-pertanyaanpada siswa, yang merupakansuatu cara pengulangan.
5. Menyediakan Bimbingan BelajarUntuk memperlancar masuknya infomasi ke memori jangka
panjang, diperlukan bimbingan langsung dalam pemberian kodepada informasi. Untuk mempelajari informasi verbal, bimbinganitu dapat diberikan dengan cara mengkaitkan informasi baruitu dengan pengalaman siswa.
6. Meningkatkan RetensiRetensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak
terlupakan) dapat diusahakan oleh guru dan siswa itu sendiridengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain adalahdengan memberi banyak contoh, menggunakan tabel-tabel,menggunakan diagram-diagram dan gambar-gambar.
7. Melancarkan Transfer BelajarTujuan transfer belajar adalah menerapkan apa yang telah
dipelajari pada situasi baru. Untuk dapat melaksanakan inipara siswa tentu diharapkan telah menguasai fakta-fakta,konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan.
8. Mengeluarkan Penampilan dan Memberikan Umpan BalikHasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar
guru dan siswa itu sendiri mengetahui apakah tujuan belajartelah tercapai. Untuk itu sebaiknya guru tidak menungguhingga seluruh pelajaran selesai. Sebaiknya guru memberikankesempatan sedini mungkin pada siswa untuk memperlihatkanhasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik, sehinggapelajaran selanjutnya berjalan dengan lancar. Cara-cara yang
dilakukan adalah pemberian tes atau mengamati prilaku siswaumpan balik bila bersifa positif menjadi pertanda bagi siswabahwa ia telah mencapai tujuan belajar.
2. TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER
A. Biografi J. S. Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahlipsikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telahmempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agarpendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembanganberfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenaiperkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, ataumemperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasarpemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses,pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajarmerupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untukmenemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepadadirinya.
B. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah,bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalambentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak dalamsetiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkansebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang perkembanganintelektual anak. Berhubungan dengan hal itu, antara lain:
1. Perkembangan intelektual anak
Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapatdibagi menjadi tiga taraf.
1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah,jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini iabelum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaandan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena ituia belum dapat memahami dasar matematikan dan fisika yangfundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknyaberubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikankonsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu“internalized”, artinya dalam menghadapi suatu masalah iatidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatanyang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya.Namun pada taraf operai kongkrit ini ia hanya dapatmemecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata.Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinyasecara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialamisebelumnya.
3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggupberoperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan tidak lagidibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.
2. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap,yaitu:
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperolehsejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
2. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis,diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakataukonseptual.
3. Tahap evaluasiDalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampaisejauh mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapatdimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
3. Kurikulum spiral
J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatandengan bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajarmatematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan bendakongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebihtinggi (sesuai dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalambentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umumdipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner dimulai daricara intuitif keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya,jika ingin menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuahhimpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkanpengertian 3 diberikan 3 contoh himpunan mangga. Tiga mangga samadengan 3 mangga.
B. Alat-Alat Mengajar
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurutfungsinya.
1. alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”. Yaitu menyajikanbahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapatmereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim disekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suaradll.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang strukturatau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alatpernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga
program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatuprinsip atau struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatuperistiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkanperjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentangsuatu ide atau gejala.
4. Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaranberprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yangteratur dan memberi ballikan atau feedback tentang respondsmurid.
C. Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika diSekolah Dasar
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukandengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang andaajarkan. Misal : untuk contoh mau mengajarkan bentuk bangundatar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah berikan bangundatar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antarakonsep-konsep. Misalnya berikan pertanyaan kepada sibelajarseperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin yang seringdigunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untukmencari jawabannya sendiri. Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapatberdasarkan intuisinya. Jangan dikomentari dahulu atas jawabansiswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu sibelajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.(Anita W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Brunerdalam pembelajaran matematika di sekolah dasar.
1. Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagaiukuran, sedangkan bukan contohnya berikan bentuk-bentuk bangundatar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang, trapesium,segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif.
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anaksecara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
Untuk gambar a ukurannya: Panjang = 20 satuan ,Lebar = 1 satuan
b ukurannya: Panjang = 10 satuan , Lebar = 2 satuan
c ukurannya: Panjang = 5 satuan , Lebar = 4 satuan
b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan padapikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaiangambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan denganmental yang merupakan gambaran dari objek-objek yangdimanipulasinya.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anakmemanipulasi Simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumusluas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang p,ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L makajawaban yang diharapkan L = p x l satuan
Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali denganukuran lebar.
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukandengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang andaajarkan.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antarakonsep-konsep.
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untukmencari jawabannya sendiri.
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapatberdasarkan intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atasjawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapatmemandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yangsebenarnya.
5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasardapat dilakukan dengan metode penemuan.
4.TEORI BELAJAR AUSUBEL
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah
bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini
konsep belajar bermakna David Ausubel.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna
(meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar
bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah
siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh
guru atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan
dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal,
konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh
karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap
sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses
belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus
siswa menemukan sendiri semuanya.
Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang
penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk
menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru
bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan
apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di
sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan
menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel
adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun
sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu
sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru
dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan
masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor
motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab
peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut
apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh
guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas
dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan
pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan
fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam
prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan
ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah
dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka
yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat
jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam
kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran
yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari
apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan
dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu
pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada
siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu
dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu
materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan
kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang
baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan
yang ia miliki.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut
Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat
menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal
yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan
pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna
yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada
kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh
siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan
belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada
kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan
ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik,
apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang
baik.
5. Teori Belajar Eggen
Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran
kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan
guru agar siswa saling -membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh
karena itu belajar kooperatif ini juga dinamakan “belajar teman
sebaya.”. Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara
individu yang satu dengan lainnya dalam suatu ikatan tertentu.
Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu dengan yang
lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang
secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada
dalam ikatan itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana
apa yang tersirat tentang kooperatif. Pembelajaran kooperatif
merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok
yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif dapat
digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu
mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan
antara manusia. Belajar secara kooperatif dikembangkan
berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori
belajar social.
Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran yang menggunakan
model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk
menyelesaikan materi belajar.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang dan rendah
c. Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya,
suku, jenis kelamin yang berbeda-beda
d. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada
individu.
Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk
mencipatakan ikatan yang kuat antar siswa, membangun kecerdasan
sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa
berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan
potensi diri yang berkembang dengan baik. Secara garis besar,
tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi indikator sebagai
berikut:
a. Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila
setiap anggota kelompok merasa sejajar dengan anggota yang lain.
Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota yang lain
merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh
masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri
tetapi untuk semua anggota kelompok. Kemandirian yang positif
merupakan inti pembelajaran kooperatif.
b. Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif,
selayaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling mendukung,
memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam
belajar. Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada
saat siswa diikutsertakan untuk belajar mengenal satu sama lain.
Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan masalah,
mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman
sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir
dipelajari.
c. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar
masing-masing anggota menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa
belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat melakukan yang
lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-
masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban
secara individu terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam
bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika
perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya
diberitahukan pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih
untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan
belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara
bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika
dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Latihan kerja sama
sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak.
Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan
kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk
dimiliki siswa dalam rangka memahami konsep-konsep yang sulit,
berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa
mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai
dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara bersama-sama.
Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa,
konselor di sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif
dalam konseling melalui teknik sebagai berikut:
1. Bimbingan kelompok
Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-
kelompok kecil yang lebih kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-
murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok kecil itu
mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya
permasalahan belajar.
2. Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan
emosional siswa meningkat dan menjadi lebih baik. Dalam hal ini
siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan.
3. Organisasi murid dan kegiatan bersama
Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik,
karena dengan melakukan kegiatan bersama mendorong anak saling
membantu sehingga relasi sosial positif dapat dikembangkan dengan
baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses pembentukan
anak, baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota
masyarakat.
4. Sosiodrama
Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan
kesempatan pada murid-murid untuk mendramatisasikan sikap,
tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka dari itu sosiadrama
dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.
TEORI BELAJAR PIAGET
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif disebut dengan
skemata atau struktur, yaitu kumpulan dari skema-skema. Artinya
seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon
terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Skemata
ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu
yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap
dibandingkan ketika masih kecil.
Perkembangan skemata berlangsung secara terus menerus
melalui adaptasi dengan lingkunganya. Skemata tersebut membentuk
suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Semakin baik
kualitas skema ini, maka semakin baik pula pola penalaran dan
tingkat intelegensi anak tersebut, kondisi ini disebut dengan
equilibrium, namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak
bisa dijelaskan dengan pola penaralan maka akan mengalami
disequilibrium.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu:
1. Struktur (structure)
Terbentuk dari hubungan fungsional anak antara tindakan
fisik, tindakan mental dan perkembangan berpikir logis anak dalam
berinteraksi dengan lingkungan, kemudian tindakan tersebut menuju
pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya menuju
perkembangan struktur atau skemata. Diperolehnya skemata berarti
telah terjadi perubahan dalam perkembangan intelektual anak.
2. Isi (content)
Isi disebut juga dengan content, yaitu pola perilaku anak
yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap
berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.
3. Fungsi (function)
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme dalam mencapai
kemajuan intelektual. Menurut piaget perkembangan intelektual
anak terdiri dari dua fungsi yaitu
a. Organisasi, yaitu kemampuan untuk mengorganisasi proses-
proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-sistem
yang teratur dan berhubungan.
b. Adaptasi, yaitu penyesuaian diri individu terhadap
lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk
dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara yaitu:Pertama
asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus
baru ke dalam skemata yang telah terbentuk atau kemampuan
individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya dengan
menggunakan struktur kognitifnya. Kedua Akomodasi adalah proses
pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk
secara tidak langsung/proses perubahan respons individu terhadap
stimulus lingkungan.
2.1.1 Tahap-Tahap Perkembangan
Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget menemukan empat
tahapan perkembangan kognitif yaitu:
1. Tahap sensori motor (0-2 tahun)
Merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi
langsung dari rangsangan. Rangsangan itu timbul karena anak
melihat dan meraba obyek-obyek. Anak belum mempunyai kesadaran
adanya konsep obyek tetap. Jika obyek hilang anak tidak akan
mencarinya. Pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota
tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2. Tahap pra operasi (2-7 tahun)
Tahap pra operasi terbagi atas dua yaitu pertama
pemikiran prakonseptual (sekitar usia 2-4 tahun),ciri anak pada
tahap ini adalah anak mulai membentuk konsep sederhana, anak
mulai mampu mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu
berdasarkan kemiripannya. Kedua periode pemikiran intuitif
(sekitar usia 4-7 tahun). Tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasi konkrit. Operasi yang digunakan adalah
tindakan-tindakan kognitif, misalnya mengklasifikasikan
sekelompok objek, menata letak benda-benda menurut urutan
tertentu. Pada tahap ini anak mulai timbul pertumbuhan
kognitifnya, pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada
pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Pengalaman anak pada
tahap ini hanya sampai pada tahap operasional belum memahami
konsep kekekalan dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih
secara bersamaan.
3. Tahap operasi konkrit (7-11 tahun)
Pada tahap ini umumnya anak sudah berada di Sekolah Dasar,
sehingga semistanya guru sudah mengetahui benar kondisi anak pada
tahap ini. Guru-guru harus mengetahui apa yang telah dimiliki
anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Pada tahap ini anak telah memahami operasi logis dengan
bantuan benda-benda konkrit serta sudah cukup matang untuk
menggunakan pemikiran logika. Misalnya anak telah dapat
mengetahui simbol-simbol matematika. Akan tetapi anak belum dapat
menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekalan
yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit,
yaitu:
a) Kekekalan banyak (6-7 tahun)
b) Kekekalan materi (7-8 tahun)
c) Kekekalan panjang (7-8 tahun)
d) Kekekalan luas (8-9 tahun)
e) Kekekalan berat (9-10 tahun)
f) Kekekalan Volum (11-12 tahun)
4. Tahap operasi formal (usia 11 keatas)
Periode operasi formal ini disebut juga periode operasi
hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari
perkembangan intelektual.
Kemampuan Anak-anak pada periode ini yang perlu diperhatikan guru
adalah:
a) Anak sudah dapat memberikan alasan dengan menggunakan lebih
banyak simbul atau gagasan dalam cara berpikirnya
b) Anak sudah mampu dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa
dikaitkan benda-benad empiris.
c) Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik
dan kompleks dari pada anak yang berada dalam periode operasi
konkrit.
d) Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara
objek-objek apabila ternyata manipulasi objek-objek tidak
memungkinkan.
e) Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dann
menggunakan proposisi-proposisi logic-formal termasuk aksioma dan
defenisi-defenisi verbal.
f) Anak mampu berpikir kombinatorial, artinya bila anak dihadapkan
kepada suatu masalah, ia dapat mengisolasi factor-faktor
tersendiri atau kombinasikan factor-faktor itu sehingga menuju
penyelesaian tadi.
Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti
dan spontan namun umur kronologis yang diberikan itu adalah
fleksibel, terutama selama masa transisi dari periode yang satu
ke periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih
tergantung individunya. Piaget berpendapat, tidak ada gunanya
bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode
berikutnya.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Piaget mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi
transisi tahap perkembangan anak, yaitu:
1. Kedewasaan atau kematangan
Proses perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi
motorik, dan manifestasi fisik lainnya mempengaruhi perkembangan
kognitif.
2. Pengalaman fisik
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan untuk
mengabstrak berbagai sifat fisik dari benda-benda. Contoh, bila
seorang anak menjatuhkan benda dan menemukan benda itu pecah,
atau bila anak menempatkan benda dalam air kemudian anak melihat
benda tersebut terapung, maka anak telah terlibat dalam proses
abstraksi. Proses inilah yang disebut dengan pengalaman fisik.
Pengalaman fisik ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak,
sebab observasi benda-benda serta sifat benda-benda menolong
timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
3. Pengalaman logika-matematik
Interaksi dengan lingkungan dengan cara mengamati benda-
benda disekililingnya atau mengkonstruksi hubungan-hubungan
antara objek-objek
Contoh. Anak yang sedang menghitung kelereng, kemudian anak
tersebut menemukan kelerengnya berjumlah sepuluh buah. Dalam
proses ini anak tidak menemukan sifat dari kelereng melainkan
kontuksi dari pikiran anak tersebut.
4. Transmisi sosial
Interaksi dan kerja sama anak dengan orang lain atau dengan
lingkungnya. Hal ini amat penting bagi perkembangan mental anak.
Perkembangan mental anak diperoleh melalui pengaruh bahasa,
intruksi formal, dan membaca.
5. Penyetimbangan (Equilibrium
Proses adanya kehilangan stabilitas di dalam struktur mental
sebagai akibat pengalaman dan informasi baru dan kembali
setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai hasil
dari equilibrium, struktur mental berkembang dan menjadi matang.
2.1.3 Sikus Belajar
Prinsip belajar piaget adalah kontruktivis yaitu pengajaran
efektif yang menghendaki guru agar mengetahui bagaimana para
siswa memandang fenomena yang menjadi subjeks pengajaran.
Pengajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada,
melalui langkah-langkah intermediet dan berakhir degan gagasan
yang telah mengalami modifikasi.
Strategi yang digunakan adalah
a. Fase deskriptif
Siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola
deskriptip (misalnya seriasi, klasifikasi, konsurvasi). Dalam
sisklus ini, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola
empiris dalam suatu konteks khusus (ekslopolari). Guru memberi
nama pada pola itu (pengenalan atau konsep); kemudian pola itu
ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Untuk
siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya
memberikan apa yang mereka amati tanpa usaha melahirkan
hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka.
Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, apa?, tetapi tidak
menimbulkan pertanyaan, mengapa?
b. Fase Empiris Deduktif
Yaitu, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola
empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka
selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang
terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaaan penalaran
analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang
telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini
(pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh
para siswa, guru atau keduanya. Dengan bimbingan guru para siswa
menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk
melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek dengan data
dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi-konsep). Dengan kata
lain, pengamatan-pengamatan dilakukan secara deskriptif, tetapi
bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh, yaitu mengemukakan
sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama empiris-
induktif
c. Fase Hipotesis-Deduktif
Yaitu dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab.
Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-
hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para
siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari
hipotetsis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan
eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis
(eksplorasi).
2.1.4 Implikasi Teori Belajar Piaget
Penerapan teori perkembangan kognitif Piaget di kelas adalah:
a) Guru harus mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak
yang beradaptasi dengan guru.
b) Agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif,
guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka
memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa
menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri. Metode yang baik
digunakan adalah dengan menemukan (discovery).
c) Tidak menghukum siswa jika menjawab pertanyaan yang salah.
d) Menekankan kepada para siswa agar mau menciptakan pertanyaa-
pertanyaan dari permasalahan yang ada serta pemecahan
permasalahannya.
e) Tidak meninggalkan anak pada saat di beri tugas.
f) Membimbing siswa dalam menemukakan dan menyelesaikan
masalahnya sendiri.
g) Menghindari istilah-istilah teknis.
h) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak
karena Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa.
i) Menganjurkan para siswa berpikir dengan cara mereka
sendiri.
j) Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan
anak.
k) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru
tetapi tidak asing.
l) Memberi peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
m) Didalam kelas, anak hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan berdiskusi dengan teman-temannya.
Teori Belajar Vygotsky
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia
dilahirkan di salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada
17 November 1896, dan berkuturunan Yahudi. Ia tertarik pada
psikologi saat berusia 28 tahun.
Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang yang
membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus.
Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
“internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya
pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,
fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing
individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas
yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of
proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak
antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih mampu.
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak
lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky,
anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti
kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.
Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih
tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari
budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-
anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman pembelajaran
yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur
menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak
tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara
yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu
pada kontruktivisme karena ia lebih menekankan pada hakikat
pembelajaran sosiokultural. Dalam analisisnya, perkembangan
kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri
secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara
aktif. Oleh karenanya, konsep teori perkembangan kognitif
Vygotsky berkutat pada tiga hal:
1. Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang
melewati dua aturan, yaitu tataran sosial lingkungannya dan
tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri
beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya
bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan
orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran
operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky membedakan
antara actual development dan potential development pada anak. Actual
development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial
development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan
sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
3. Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah
kunci utama memahami proses-proses sosial dan psikologis.
Makanya, jika dikaji lebih mendalam teori perkembangan kognitif
Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi, yaitu metakognitif dan
mediasi kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat
semiotic yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan
diri) yang mencakup self planning, self monitoring, self checking, dan self
evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif
untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengetahuan
tertentu. Sehingga media ini dapat berhubungan dengan konsep
spontan (yang mungkin salah) dan konsep ilmiah (yang lebih
terjamin kebenarannya).
Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam
pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang
bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak
mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu. Secara singkat,
teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial
dengan budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya
membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan
kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada
hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam
pembentukan pengetahuan.
Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial
dan budaya seorang anak. Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi
secara jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan
ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal
dan sifatnya lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian proses
belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju
pengertian yang lebih ilmiah.