Toksik fix

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di sepanjang jalan raya Rancaekek-Cicalengka, telah berkembang kawasan industri tekstil sejak tahun 1978. Kawasan yang merupakan bagian dari sub-DAS Citarik tersebut sebenarnya merupakan daerah persawahan yang subur. Akan tetapi, industrialisasi menyebabkan lahan sawah semakin berkurang. Menurut Wahyunto dkk. (2001), antara tahun 1969 sampai 2000, lahan sawah di Sub DAS Citarik menyusut dari 9.675 ha (36,7%) menjadi 9.240 ha (35,4%). Lahan sawah ini telah dikonversi ke penggunaan non-pertanian seperti perkotaan dan kawasan industri. Salah satu dampak negatif alih fungsi lahan sawah untuk kawasan industri adalah terjadinya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suganda dkk. (2002), di Sub-DAS Citarik, khususnya sentra produksi padi di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, total area persawahan yang tercemar aliran limbah pabrik tekstil langsung seluas ± 1.215 ha; terkena limbah saat banjir lebih dari satu minggu seluas 254 ha; terkena limbah saat banjir kurang dari satu minggu seluas 474 ha; dan lahan tergenang banjir bulanan (Desember sampai Mei) seluas 520 ha. Hal ini mengakibatkan hasil gabah pada lahan sawah yang terkena limbah pabrik tekstil berkurang antara 1 sampai 1,5 t/ha/panen dan kerugian di daerah 1

Transcript of Toksik fix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di sepanjang jalan raya Rancaekek-Cicalengka, telah

berkembang kawasan industri tekstil sejak tahun 1978. Kawasan

yang merupakan bagian dari sub-DAS Citarik tersebut sebenarnya

merupakan daerah persawahan yang subur. Akan tetapi,

industrialisasi menyebabkan lahan sawah semakin berkurang.

Menurut Wahyunto dkk. (2001), antara tahun 1969 sampai 2000,

lahan sawah di Sub DAS Citarik menyusut dari 9.675 ha (36,7%)

menjadi 9.240 ha (35,4%). Lahan sawah ini telah dikonversi ke

penggunaan non-pertanian seperti perkotaan dan kawasan industri.

Salah satu dampak negatif alih fungsi lahan sawah untuk kawasan

industri adalah terjadinya pencemaran lingkungan yang diakibatkan

oleh limbah industri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Suganda dkk. (2002), di Sub-DAS Citarik, khususnya sentra

produksi padi di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, total

area persawahan yang tercemar aliran limbah pabrik tekstil

langsung seluas ± 1.215 ha; terkena limbah saat banjir lebih dari

satu minggu seluas 254 ha; terkena limbah saat banjir kurang dari

satu minggu seluas 474 ha; dan lahan tergenang banjir bulanan

(Desember sampai Mei) seluas 520 ha. Hal ini mengakibatkan hasil

gabah pada lahan sawah yang terkena limbah pabrik tekstil

berkurang antara 1 sampai 1,5 t/ha/panen dan kerugian di daerah

1

ini dapat mencapai Rp. 2.43 sampai Rp. 3.65 milyar/tahun (Suganda

dkk., 2002).

Kebijakan pemerintah dalam menempatkan kawasan industri di

daerah persawahan yang subur merupakan langkah yang kurang tepat,

karena terjadi pengalihan fungsi lahan sawah ke penggunaan lain.

Hasil penelitian Wahyunto et al. (2001) di Sub DAS Citarik,

menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan lahan sawah seluas 787

ha terhitung dari tahun 1991 sampai 2000.

Sejauh ini pengkajian dampak negatif dari konversi lahan

sawah lebih banyak dipandang dari nilai ekonomi komoditas yang

hilang. Padahal semestinya dilakukan pula kajian secara mendalam

dari aspek lainnya, seperti penurunan kualitas sumber daya tanah,

air, udara, dan keragaman hayati. Alihfungsi tersebut menyebabkan

hilangnya beberapa keuntungan ekternal (externalities) yang bisa

didapatkan dari keberadaan lahan sawah. Oleh karena itu, penting

artinya untuk melakukan kuantifikasi berbagai peranan lahan sawah

(multifungsi), sehingga didapatkan justifikasi kuat dalam

melakukan advokasi untuk mempertahankan keberadaan lahan sawah

(Irianto et al., 2001; Tala’ohu et al., 2001).

Salah satu dampak negatif alih fungsi lahan sawah untuk

kawasan industri adalah terjadinya pencemaran lingkungan yang

diakibatkan oleh buangan limbah industri tersebut. Menurut

ketentuan, limbah yang akan dibuang ke lingkungan harus aman bagi

lingkungan biofisik lahan, badan air maupun kesehatan manusia

atau hewan. Limbah tersebut harus diolah terlebih dahulu dalam

instalasi pengolah air limbah (IPAL) dan mengalami pemrosesan2

fisik, kimia, dan biologi sebelum dibuang ke lingkungan atau

badan air/sungai. Namun kenyataannya limbah buangan tersebut

masih sering dikeluhkan masyarakat, karena dampak negatif yang

ditimbulkannya seperti bau, warna, dan gangguan kesehatan.

Sungai terkadang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah,

namun sering dimanfaatkan sebagai air irigasi bagi persawahan di

bagian hilirnya. Seperti terjadi di Sub DAS Citarik, pihak

industri atau pabrik di wilayah Kabupaten Sumedang membuang

limbahnya ke S. Cihideung dan S. Cikijing yang merupakan sumber

air irigasi bagi persawahan di Kabupaten Bandung. Para petani di

kawasan tersebut melaporkan beberapa kali menanam padi dalam

setahun tanpa mendapatkan hasil atau hasilnya sangat minim

(Abdurachman et al., 2000).

Tanah yang terkena limbah zat kimia dalam konsentrasi di atas

ambang batas, mungkin tidak sakit meskipun mengandung

unsur/senyawa kimia atau logam berat yang berbahaya. Namun bila

tanah tersebut ditanami, maka tanaman tersebut akan mengakumulasi

unsur/senyawa yang berbahaya, sehingga dapat menimbulkan dampak

negatif bagi kesehatan manusia dan hewan yang mengkonsumsi produk

tersebut.

Penelitian tentang dampak dan pergerakan jenis-jenis

unsur/senyawa yang terkandung dalam limbah dan kadar

unsur/senyawa kimia dalam limbah tersebut perlu diketahui mulai

dari pusat industri sampai ke bagian hilirnya, karena pengaruh

limbahnya akan mempengaruhi luas tanam dan kualitas hasil

3

tanaman, sehingga pada akhirnya akan menurunkan ketahanan pangan

di suatu daerah. Ketahanan pangan bertujuan untuk meningkatkan

ketersediaan komoditas pokok karbohidrat dalam jumlah yang cukup,

terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi oleh

masyarakat sepanjang waktu (Karama, 1999).

Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan bagi produksi

pertanian, maka lahan pertanian tersebut harus dicadangkan atau

dilindungi dari konversi lahan. Adanya konversi lahan, tidak

hanya menurunkan produksi tanaman, tetapi juga dapat menyebabkan

menurunnya pendapatan petani dan menurunannya penyerapan tenaga

kerja/buruh tani, serta kehilangan peluang untuk memperoleh

pendapatan dari penyewaan traktor dan penggilingan padi bagi

masyarakat sekitar (Sumaryanto dan Nur Suhaeti, 1997). Diduga

pencemaran yang terjadi pada lahan sawah di Sub DAS Citarik hulu

mengganggu stabilitas ketahanan pangan di daerah tersebut.

1.2 Tujuan

Mengidentifikasi penyebab matinya tanaman mentimun dan padi

akibat diberi irigasi dari sungai Citarik (Studi kasus di

Rancaekek)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang

yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat

umum lainnya, dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-

zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia, menggangu

lingkungan hidup serta  kehadirannya pada suatu saat dan tempat

tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai

ekonomis(Anonim, 2009). Meskipun merupakan air sisa namun

volumenya besar karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan

bagi kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi

5

dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah

ini akhirnya akan mengalir ke sungai dan laut dan akan digunakan

oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola

dan atau diolah secara baik.

Berdasarkan sumbernya air limbah dapat dikelompokkan menjadi

air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic wastes

water),  air buangan industri (industrial wastes water) yang

berasal dari berbagai jenis industri akibat proses produksi dan

air buangan yang berasal dari daerah perkantoran, perdagangan,

hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah, dan

sebagainya. Pada umumnya air limbah memiliki karakteristik

tertentu dan perlu utnuk diketahui karena menentukan cara

pengolahan yang tepat sehingga tidak mencemari lingkungan. Secara

garis besar karakteristik air limbah ini digolongkan sebagai

berikut.

a. Karakteristik Fisik

Sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri

dari bahan-bahan padat dan suspensi. Terutama air limbah rumah

tangga, biasanya berwarna suram seperti larutan sabun, sedikit

berbau. Kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas, berwarna bekas

cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinja, dan sebagainya.

b. Karakteristik Kimiawi

6

Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimia

anorganik yang berasal dari air bersih serta bermacam-macam zat

organik berasal dari penguraian tinja, urine dan sampah-sampah

lainnya. Oleh sebab itu pada umumnya bersifat basa pada waktu

masih baru dan cenderung ke asam apabila sudah mulai membusuk.

c. Karakteristik Bakteriologis

Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan coli

terdapat juga dalam air limbah tergantung darimana sumbernya

namun keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan air

buangan.

Keberadaan air limbah dapat memberikan dampak terhadap

makhluk hidup disekitar serta lingkungan. Hal ini terjadi karena

air limbah dapat bertindak sebagai menjadi transmisi atau media

penyebaran berbagai penyakit, menjadi media berkembangbiaknya

mikroorganisme patogen, menjadi tempat-tempat berkembangbiaknya

nyamuk atau tempat hidup larva nyamuk, menimbulkan bau yang tidak

enak serta pandangan yang tidak sedap, merupakan sumber

pencemaran air permukaan, tanah dan lingkungan hidup lainnya dan

mengurangi produktivitas manusia karena orang bekerja dengan

tindak nyaman dan sebagainya. Mengingat bahaya yang diberikan

oleh air limbah maka, upaya untuk menanggulangi air limbah sangat

perlu utnuk dilakukan.

7

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pencemaran Air

Pencemaran lingkungan atau polusi adalah masuknya atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke

dalam lingkungan. Dapat juga diartikan sebagai perubahan tatanan

lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga

kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi

lagi sesuai dengan peruntukannya. Hal ini sesuai dengan UU Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982.

Pencemaran lingkungan tersebut tidak dapat dihindari, yang

dapat dilakukan adalah mengurangi pencemaran, mengendalikan

8

pencemaran dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat

terhadap lingkungannya agar tidak mencemari lingkungan.

Soemarwoto (1991) dalam Kurnia, et al. (2009) mengatakan pencemaran

terjadi pada tanah, air tanah, badan air atau sungai, udara,

bahkan terputusnya rantai dari suatu tatanan lingkungan hidup

atau penghancuran suatu jenis organisme yang pada akhirnya akan

menghancurkan ekosistem.

Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran di sebut

polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila

keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makluk hidup.

Contohnya, karbon dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah

bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033% dapat

memberikan efek merusak.

Selanjutnya Kurnia, et al. (2009 ) mengatakan bahwa penyebab

pencemaran pada lahan pertanian dapat digolongkan ke dalam

kegiatan non pertanian (industri, pertambangan) dan kegiatan

pertanian (penggunaan bahan-bahan agrokimia). Pencemaran pada

lahan sawah umumnya disebabkan oleh limbah industri dan aktivitas

budi daya yang menggunakan bahan-bahan agrokimia seperti pupuk

dan pestisida yang kurang terkendali. Banyaknya pabrik atau

industri tekstil yang dibangun di sekitar lahan pertanian telah

menyebabkan tercemarnya lahan sawah sehingga hasil gabah menjadi

berkurang atau sama sekali tidak menghasilkan.

Pencemaran yang terjadi ini disebabkan oleh limbah industri

tekstil yang dibuang ke badan air atau sungai, sementara sungai 9

merupakan sumber pengairan lahan sawah yang ada di bagian hilir

pabrik atau industri. Seperti aliran sungai Cikijing (anak sungai

Citarik) yang telah tercemar limbah industri tekstil dan

digunakan untuk pengairan persawahan disekitar Kecamatan

Rancaekek, Kabupaten Bandung. Akibatnya unsur-unsur kimia yang

terbawa limbah, selanjutnya mengendap di dalam tanah. Proses ini

terus berlanjut sehingga terjadi akumulasi bahan berbahaya dan

beracun (B3) serta logam berat di dalam tanah. Oleh karena itu

diperlukan teknologi untuk mengendalikan pencemaran yang terjadi

pada tanah sawah.

Menurut penelitian dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanah

dan Agroklimat sejak 2001, yang dipaparkan tim dari BPLHD maupun

PSDA, tanah di persawahan Rancaekek mengandung natrium (Na)

dengan konsentrasi tinggi yaitu 2,03-12,97 me/100g tanah. Sebagai

perbandingan, kadar Na dalam tanah yang tidak tercemar limbah

industri tekstil hanya 0,42 me/100g tanah. Selain Na, unsur logam

berat pencemar lainnya yang terdeteksi adalah Hg, Cd, Cr, Cu, Co,

dan Zn. Ratusan hektare sawah di empat desa di Kecamatan

Rancaekek, Kabupaten Bandung terindikasi mengandung bahan-bahan

kimia beracun dan logam berat (B3), sehingga menurunkan produksi

dan kualitas padi. Pencemaran terjadi karena para petani

menggunakan Sungai Cikijing (anak Sungai Citarik) yang telah

tercemar limbah industri tekstil sebagai sumber pengairan bagi

pertanian mereka . Begitu pula dengan lahan budidaya mentimun,

mereka menggunakan air yang bersumber dari Sungai Cikijing yang

sudah trcemar limbah tekstil tersebut.

10

3.2. Kapasitas Asimilasi

Sebenarnya, secara alami sungai mampu menetralisir bahan

pencemar yang masuk. Artinya, ia memiliki daya asimilasi untuk

memroses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk.

Namun, dengan semakin tingginya konsentrasi akumulasi bahan

pencemar ke dalam perairan sehingga berakibat daya asimilatif

sungai sebagai gudang sampah menjadi menurun dan menimbulkan

masalah lingkungan.

Pendugaan kapasitas asimilasi perairan dalam menampung

limbah menggunakan metode hubungan antara konsentrasi limbah dan

beban limbah (Dahuri, 1999). Pola hubungan tersebut konsentrasi

limbah dan beban limbah disajikan pada Gambar 1.

11

3.3. Sumber-sumber dan Jenis Bahan Pencemar yang Masuk ke Sungai

Citarik

PT. ITM adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi

texstil dan dalam memproduksi texstil khususnya di bidang

persiapan kain Filamen, persiapan kain katun / SPUN menggunakan

bahan Berbahaya Beracun (B3) yaitu bahan kimia berupa Caustic

Soda / NaOh, Desizing / penghilang kanji dan zat pewarna Dispers

sehingga sebagai akibat dari proses produksi PT. ITM tersebut

mengeluarkan limbah cair. Selain PT.ITM, PT Kahatex dan PT

Polyfin Canggih juga merupakan penyumbang limbah sungai Citarik.

Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini

mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA,

CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberi kan BOD

paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan

merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber limbah

cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD,

padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini

menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat

bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan

zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan

air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain

dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Di

Indonesia zat warna berdasar logam (krom) tidak banyak dipakai.

12

Proses pencetakan menghasilkan limbah yang lebih sedikit daripada

pewarnaan.

Menurut penelitian dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanah

dan Agroklimat sejak 2001, yang dipaparkan tim dari BPLHD maupun

PSDA, tanah di persawahan Rancaekek mengandung natrium (Na)

dengan konsentrasi tinggi yaitu 2,03-12,97 me/100g tanah. Sebagai

perbandingan, kadar Na dalam tanah yang tidak tercemar limbah

industri tekstil hanya 0,42 me/100g tanah. Selain Na, unsur logam

berat pencemar lainnya yang terdeteksi adalah Hg, Cd, Cr, Cu, Co,

dan Zn. Ratusan hektar sawah di empat desa di Kecamatan

Rancaekek, Kabupaten Bandung terindikasi mengandung bahan-bahan

kimia beracun dan logam berat (B3), sehingga menurunkan produksi

dan kualitas padi. Hal ini pun terjadi pada pertanaman mentimun,

sehingga tanaman menitumn banyak yang mati. Pencemaran terjadi

karena para petani menggunakan Sungai Cikijing (anak sungai

Citarik) yang telah tercemar limbah industri tekstil sebagai

sumber pengairan bagi pertanian mereka.

3.4. Proses toksik bahan pencemar terhadap tanaman padi dan

mentimun (fase eksposure, kinetic dan dinamik)

Fase Eksposure

Limbah berasal dari perusahaan bergerak di bidang produksi

texstil di bantaran sungai Citarik dan dalam memproduksi texstil

khususnya di bidang persiapan kain Filamen, persiapan kain

13

katun / SPUN menggunakan bahan Berbahaya Beracun (B3) yaitu bahan

kimia berupa Caustic Soda / NaOH, Desizing / penghilang kanji dan

zat pewarna Dispers. Unsur logam berat pencemar lainnya yang

terdapat di sungai Citarik adalah Hg, Cd, Cr, Cu, Co, dan Zn. Dan

limbah industri tekstil tersebut dibuang ke sungai Citarik, di

mana air sungai Citarik tersebut digunakan untuk pengairan lahan

pertanian.

Fase Kinetik

Pencemaran yang terjadi ini disebabkan oleh limbah industri

tekstil yang dibuang ke badan air atau sungai, sementara sungai 

merupakan sumber pengairan lahan sawah yang ada di bagian hilir

pabrik atau industri. Akibatnya unsur-unsur kimia yang terbawa

limbah, selanjutnya mengendap di dalam tanah. Proses ini terus

berlanjut sehingga terjadi akumulasi bahan berbahaya dan beracun

(B3) serta logam berat di dalam tanah.

Fase Dinamik

Pencemaran ini mengakibatkan tanaman padi tidak dapat tumbuh

dengan baik, kalaupun tumbuh, bulir-bulir padinya lebih banyak

yang tak berisi. Selain tanaman padi, tanaman mentimun mengalami

hal yang sama. Tanaman-tanaman tersebut mati setelah diberi

pengairan yang airnya bersumber dari sungai Citarik.

14

3.5. Pencegahan dan pengendalian pencemaran sungai Citarik

Pengendalian pada Limbah Tekstil

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah

industri, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan KepMen

LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri cair

bagi kegiatan industri dan PP No. 82 Tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pemcemaran air. Kedua

perundang-undangan tersebut pada intinya mewajibkan setiap usaha

dan atau kegiatan melakukan pengolahan limbah sampai memenuhi

persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

1. Langkah pertama untuk memperkecil beban pencemaran dari

operasi tekstil adalah program pengelolaan air yang efektif

dalam pabrik, menggunakan :

o Pengukur dan pengatur laju alir

o Pengendalian permukaan cairan untuk mengurangi tumpahan

o Pemeliharaan alat dan pengendalian kebocoran

o Pengurangan pemakaian air masing-masing proses

o Otomatisasi proses atau pengendalian proses operasi

secara cermat

o Penggunaan kembali alir limbah proses yang satu untuk

penambahan (make-up) dalam proses lain (misalnya limbah

15

merserisasi untuk membuat penangas pemasakan atau

penggelantangan)

o Proses kontinyu lebih baik dari pada proses batch

(tidak kontinyu)

o Pembilasan dengan aliran berlawanan

2. Penggantian dan pengurangan pemakaian zat kimia dalam proses

harus diperiksa pula :

o Penggantian kanji dengan kanji buatan untuk mengurangi

BOD

o Penggelantangan dengan peroksi da menghasilkan limbah

yang kadarnya kurang kuat daripada penggelantangan

pemasakan hipoklorit

o Penggantian zat-zat pendispersi, pengemulsi dan perata

yang menghasilkan BOD tinggi dengan yang BOD-nya lebih

rendah.

3. Zat pewarna yang sedang dipakai akan menentukan sifat dan

kadar limbah proses pewarnaan. Pewarna dengan dasar pelarut

harus diganti pewarna dengan dasar air untuk mengurangi

banyaknya fenol dalam limbah. Bila digunakan pewarna yang

mengandung logam seperti krom, mungkin diperlukan reduksi

kimia dan pengendapan dalam pengolahan limbahnya. Proses

penghilangan logam menghasilkan lumpur yang sukar diolah dan

sukar dibuang. Pewarnaan dengan permukaan kain yang terbuka

16

dapat mengurangi jumlah kehilangan pewarna yang tidak

berarti.

4. Pengolahan limbah cair dilakukan apabila limbah pabrik

mengandung zat warna, maka aliran limbah dari proses

pencelupan harus dipisahkan dan diolah tersendiri. Limbah

operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk

menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi

kimia, koagulasi dan penjernihan (dengan tawas, garam feri

atau poli-elektrolit). Limbah dari pengolahan kimia dapat

dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk

dilanjutkan ke pengolahan biologi.

Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan

menggunakan pewarna tanpa krom atau logam lain, maka gabungan

limbah sering diolah dengan pengolahan biologi saja, sesudah

penetralan dan ekualisasi. Cara-cara biologi yang telah terbukti

efektif ialah laguna aerob, parit oksidasi dan lumpur aktif.

Sistem dengan laju alir rendah dan penggunaan energi yang rendah

lebih disukai karena biaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah.

Kolom percik adalah cara yang murah akan tetapi efisiensi untuk

menghilangkan BOD dan COD sangat rendah, diperlukan lagi

pengolahan kimia atau pengolahan fisik untuk memperbaiki daya

kerjanya.

Untuk memperoleh BOD, COD, padatan tersuspensi, warna dan

parameter lain dengan kadar yang sangat rendah, telah digunakan

17

pengolahan yang lebih unggul yaitu dengan menggunakan karbon

aktif, saringan pasir, penukar ion dan penjernihan kimia.

Pengendalian pada Perairan

Selain dilakukan pada limbah tekstil, pengendalian juga

dapat dilakukan pada perairan. Secara garis besar sebenarnya ada

dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi

pencemaran perairan oleh logam berat, yaitu cara kimia dan

biologi.

Cara kimia, antara lain dengan reaksi chelating, yaitu

memberikan senyawa asam yang bisa mengikat logam berat sehingga

terbentuk garam dan mengendap. Namun, cara ini mahal dan logam

berat masih tetap berada di perairan meski dalam keadaan terikat.

Untunglah ada penanggulangan secara biologi yang bisa menjadi

alternatif terhadap mahalnya penanggulangan dengan cara kimia.

Salah satunya adalah dengan memanfaatkan eceng gondok (Eichornia

crassipes).

Eceng gondok selama ini lebih dikenal sebagai gulma.

Padahal, eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam

berat. Kemampuan ini telah diteliti di laboratorium Biokimia,

Institut Pertanian Bogor, dengan hasil yang sangat luar biasa.

Eceng gondok terbukti mampu menurunkan kadar polutan Pb dan

Fe. Oleh karena itu, diyakini eceng gondok juga mampu menurunkan

kadar polutan Hg, Zn, dan Cu. Sebab, secara struktur kimia, atom

18

Hg, Zn, dan Cu termasuk dalam golongan logam berat bersama Pb dan

Fe. Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan

juga mampu menyerap residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan

paraquat.

Memang dilaporkan eceng gondok dapat tumbuh sangat cepat

pada danau maupun waduk sehingga dalam waktu yang singkat dapat

mengurangi oksigen perairan, mengurangi fitoplankton dan

zooplankton serta menyerap air sehingga terjadi proses

pendangkalan, bahkan dapat menghambat kapal yang berlayar pada

waduk. Namun, apa arti sebuah danau yang bersih dari eceng gondok

jika ternyata air dan ikan yang ada di dalamnya tercemari

polutan? Bahkan, bila suatu danau polutan sangat tinggi dan tidak

ada tanaman yang menyerapnya, pencemaran dapat merembes ke air

sumur dan air tanah di sekitar danau.

Agar perairan bebas polusi namun pertumbuhan eceng gondoknya

terkendali, tentu saja diperlukan pengelolaan secara benar. Untuk

mengeliminasi gangguan eceng gondok, misalnya, caranya bisa

dengan membatasi populasinya. Pembatasan dapat dilakukan dengan

membatasi penutupan permukaan oleh eceng gondok tidak lebih dari

50 persen permukaannya.

Akan jauh lebih baik lagi bila pembatasan populasi ini

dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Sebab, dahan

eceng gondok adalah serat selulosa yang dapat diolah untuk

berbagai keperluan, seperti barang kerajinan maupun bahan bakar

pembangkit tenaga listrik. Namun, masyarakat tidak disarankan

19

untuk memberikan eceng gondok sebagai pakan pada ternak karena

polutan yang diserapnya bisa terakumulasi dalam dagingnya.

Masyarakat sekitar bisa diberi pelatihan mengenai pengolahan

eceng gondok menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi, mulai

dari anyaman dompet, tas sekolah, topi, bahkan juga mebeul.

BAB III

KESIMPULAN

Banyaknya pabrik atau industri tekstil yang dibangun di

sekitar lahan pertanian telah menyebabkan tercemarnya lahan sawah

sehingga hasil gabah menjadi berkurang atau sama sekali tidak

menghasilkan. Selain itu, tanaman mentimun juga banyak yang mati.

Tanaman-tanaman tersebut mati setelah diberi pengairan yang

airnya bersumber dari sungai Citarik.

Pencemaran yang terjadi ini disebabkan oleh limbah industri

tekstil yang dibuang ke badan air atau sungai, sementara sungai 

merupakan sumber pengairan lahan sawah yang ada di bagian hilir

pabrik atau industri. Seperti aliran sungai Cikijing (anak sungai

Citarik) yang telah tercemar limbah industri tekstil dan

digunakan untuk pengairan persawahan disekitar Kecamatan

Rancaekek, Kabupaten Bandung. Akibatnya unsur-unsur kimia yang

20

terbawa limbah, selanjutnya mengendap di dalam tanah. Proses ini

terus berlanjut sehingga terjadi akumulasi bahan berbahaya dan

beracun (B3) serta logam berat di dalam tanah. Unsur logam berat

pencemar yang terdapat di sungai Citarik antara lain Na, Hg, Cd,

Cr, Cu, Co, dan Zn.

Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah

industri, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan KepMen

LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri cair

bagi kegiatan industri dan PP No. 82 Tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pemcemaran air. Kedua

perundang-undangan tersebut pada intinya mewajibkan setiap usaha

dan atau kegiatan melakukan pengolahan limbah sampai memenuhi

persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

Selain dilakukan pada limbah tekstil, pengendalian juga

dapat dilakukan pada perairan. Secara garis besar sebenarnya ada

dua cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi

pencemaran perairan oleh logam berat, yaitu cara kimia dan

biologi. Cara kimia adalah dengan reaksi chelating dan cara

biologi misalnya dengan menggunakan tanaman eceng gondok.S

DAFTAR PUSTAKA

21

Andarani, Pertiwi, Dwina Roosmini. Profil Pencemaran Logam Berat (Cu, Cr,

Dan Zn) pada Air Permukaan Dan Sedimen Di Sekitar Industri Tekstil PT X

(Sungai Cikijing). Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan :

Institut Teknologi Bandung

Anonim. 2009. Pengelolaan Lahan Sawah Tercemar Limbah Tekstil. (diakses

dari : http://reensaikoe.wordpress.com/pengelolaan-lahan-

spesifik-lingkungan-plsl/pengelolaan-lahan-sawah-tercemar-

limbah-tekstil/ tanggal 3 Maret 2011)

Destawibowo, Bayu. 2009. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Tekstil.

(diakses dari :

http://limbahlingkungan.blogspot.com/2009/04/pengolahan-dan-

pemanfaatan-limbah.html tanggal 6 Maret 2011)

Dinata, Arda. 2008. Menyelamatkan Laut dari Pencemaran. (diakses

dari :

http://arda-dinata-pplf.blogspot.com/2008_04_01 _archive.html

tanggal 6 Maret 2011)

22

Hasim, 2007. Eceng Gondok Pemersih Polutan Logam Berat. (diakses dari

http://petanidesa.wordpress.com/2007/03/11/eceng-gondok-

pemersih-polutan-logam-berat/ tanggal 6 Maret 2011)

Samawi, Farid. 2007. Desain Sistem Pengendalian Pencemaran Perairan Pantai

Kota. Sekolah Pascasarjana : Institut Pertanian Bogor

Suganda, Husein, Diah Setyorini, Harry Kusnadi, Ipin Saripin,

Undang Kurnia. 2002. Evaluasi Pencemaran Limbah Industri Tekstil Untuk

Kelestarian Lahan Sawah. Balai penelitian Tanah : Bogor

Toluena, Yanti. 2010. Biosorpsi Logam Berat pada Air Limbah Tekstil

Menggunakan Biomassa Jamur Lapuk Putih Isolat Lokal Singaraja. (diakses

dari :

http://wwwyantitoluena.blogspot.com/2010/09/biosorpsi-logam-

berat-pada-air-limbah.html tanggal 3 Maret 2011)

23

24