PENDAHULUAN FIX 1

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Efusi pleura merupakan akumulasi cairan dalam rongga pleura dan merupakan masalah umum dalam medis. Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme termasuk peningkatan permeabilitas membran pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan tekanan negatif intrapleural, penurunan tekanan onkotik, dan terhambatnya aliran limfatik (Maskell dan Burland, 2003). Efusi pleura merupakan indikator dari suatu proses penyakit yang mendasari penyakit yang dari paru, pleura, atau ektraparu dapat bersifat akut atau kronis Meskipun spektrum etiologi efusi pleura luas, efusi pleura paling sering disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau emboli paru(Rubins, 2012). Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan

Transcript of PENDAHULUAN FIX 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan dalam

rongga pleura dan merupakan masalah umum dalam medis.

Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa

mekanisme termasuk peningkatan permeabilitas membran

pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan

tekanan negatif intrapleural, penurunan tekanan

onkotik, dan terhambatnya aliran limfatik (Maskell

dan Burland, 2003). Efusi pleura merupakan indikator

dari suatu proses penyakit yang mendasari penyakit

yang dari paru, pleura, atau ektraparu dapat

bersifat akut atau kronis Meskipun spektrum etiologi

efusi pleura luas, efusi pleura paling sering

disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia,

keganasan, atau emboli paru(Rubins, 2012).

Rongga pleura dalam keadaan normal berisi

sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi sebagai

pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat

bernapas. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan

menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh

pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh

pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral

atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan

melebihi kemampuan penyerapan. Akumulasi cairan

pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa

kelainan, antara lain infeksi dan kasus keganasan di

paru atau organ luar paru (Syaruddin et al., 2003).

Efusi pleura terdapat diklasifikasikan dalam 2

kategori yaitu berdasarkan karakteristik cairan

pleura yaitu transudat dan eksudat. Beberapa hasil

penelitian menyebutkan 42-77% efusi pleura eksudativa

disebabkan proses keganasan (Sato, 2006). Gagal

jantung kongestif merupakan penyebab dari hampir 50

persen dari semua pleura efusi. Keganasan, pneumonia,

dan emboli paru adalah tiga penyebab utama dari efusi

pleura (Light, 2002).

Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi

dari berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat

terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan

insidens dan prevalens efusi pleura. Distribusi

penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi

populasi. Penelitian yang pernah dilakukan di rumah

sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura pada

bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan

penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis, empiema

toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit

jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan

penyebab tersering efusi transudatif sedangkan

keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan penyebab

tersering efusi eksudatif. Mengetahui karakteristik

efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat

menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi

pleura dapat ditatalaksana dengan baik. Efusi pleura

terbanyak bersifat eksudat dan disebabkan oleh

malignansi dan tuberkulosis. Karakteristik efusi

eksudatif adalah unilateral, melibatkan hemitoraks

kanan dan bersifat masif. Karakteristik efusi

transudatif adalah bilateral, melibatkan hemitoraks

kanan dan bersifat tidak masif (Khairani et al.,

2012).

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1984

efusi pleura menduduki peringkat ke tiga dari 10

penyakit terbanyak di bangsal. Di Indonesia

tubekulosis merupkan penyebab utama efusi pleura,

disusul oleh keganasan. Dengan distribusi terbanyak

pada wanita daripada pria. Umur terbanyak dengan

kejadian efusi pleura pada tuberkulosis adalah 21-30

tahun (Alsagaff dan Mukty, 2009).

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk

mengetahui dan mempelajari tentang efusi pleura,

sehingga diharapkan apabila didapatkan kasus tentang

efusi pleura maka dokter muda mampu menegakkan

diagnosis dan memberikan penatalaksanaan secara

tepat, benar dan akurat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan

dalam rongga pleura yang dihasilkan dari produksi

cairan yang berlebihan atau penurunan penyerapan

(Rubins, 2012)

B. Etiologi

Ruang pleura yang normal mengandung sekitar 1 ml

cairan, mewakili keseimbangan antara tekanan

hidrostatik dan onkotik di pembuluh pleura visceral

dan parietal dan drainase limfatik. Efusi pleura

terjadi dari terganggunya keseimbangan ini.

1. Perubahan permeabilitas dari membran pleura

(misalnya, radang, keganasan, emboli paru)

2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular

(misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)

3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan

vaskuler (misalnya, trauma, keganasan,

peradangan, infeksi, infark paru, obat

hipersensitivitas, uremia, pankreatitis).

4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam

sirkulasi sistemik dan /atau paru (misalnya,

gagal jantung kongestif, sindrom vena kava

superior).

5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah

ekspansi paru penuh (misalnya, atelektasis yang

luas, mesothelioma)

6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan,

termasuk obstruksi duktus toraks atau pecah

(misalnya, keganasan, trauma)

7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi

melintasi diafragma melalui limfatik atau cacat

struktural (misalnya, sirosis, dialisis

peritoneal)

(Rubins,

2012)

C. Jenis Cairan Pada Efusi Pleura

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai

transudat atau eksudat, berdasarkan mekanisme

pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat

hasil dari ketidakseimbangan dalam tekanan onkotik

dan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah

hasil dari peradangan pleura atau penurunan drainase

limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin

memiliki kombinasi karakteristik transudat dan

eksudatif (Rubins, 2012). Untuk membedakan transudat

dan eksudat jika memenuhi dua dari tiga kriteria

Light, yaitu: :

a. Ratio kadar protein cairan efusi pleura/ kadar

protein serum >0.5

b.Ratio kadar LDH cairan efusi pleura/ kadar LDH

serum <0.6

c. Kadar LDH cairan efusi pleura <2/3 batas atas

nilai normal kadar LDH serum

Jika angka tersebut terlampaui, efusi pleura

termasuk jenis eksudat.ketika efusi pleura telah

didiagnosis eksudat melalui kriteria diatas, namun

klinis dianggap transudat, perbedaan konsentrasi

albumin antaea serum dan efusi >1.2 mg/dl dapat

menunjukkan cairan efusi bersifat transudat (Sato,

2006).

Tabel 1. Etiologi Efusi PleuraEksudat TransudatEfusi ParapneumoniaNeoplasma

Gagal jantung kiri Sirosis hatiHipoalbuminPeritonial Dialisis

Emboli paruArthritis ReumatikEfusi jinak yang disebabkanoleh asbestosPankreatitis

Sindrom nefrotik Emboli paruHipotiroidStenosis mitral

Sindrom infark miokardPenyakit autoimunPost operasi bypass arterikoronariaAbses hepaticUremia ChylothoraksInfeksi lainnyaPengaruh obatRadioterapiRuptur esophageal

PerikarditisSindrom meigUrinothoraksObstruksi vena kavasuperior

(McGrath dan Anderson,2011)

D. Penyebab dan Patofisiologi Efusi Pleura

Normalnya cairan pleura masuk ke dalam rongga

pleura dari dinding dada (pleura parietalis) dan

mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura

viseralis untuk masuk ke dalam aliran limfe. Tekanan

hidrostatik di kapiler sistemik (dinding dada)

besarnya 30 cm H2O. Tekanan negatif di dalam rongga

pleura adalah -5 cm H2O, (30 cm dikurangi -5 cm = 35

cm). Tekanan osmotik koloid di kapiler sistemik

(dinding dada) besarnya 34 cm H2O. Tekanan osmotik

koloid di rongga pleura adalah 8 cm H2O. Perbedaan

tekanan osmotik koloid antara kapiler sistemik

dengan tekanan osmotik koloid di ronggan pleura = 26

cm H2O. Cairan cenderung mengalir dari daerah

bertekanan osmotik rendah ke arah daerah bertekanan

osmotik tinggi. Berdasarkan perbedaan tekanan

osmotik, seharusnya cairan di dalam rongga pleura

cenderung mengalir dari rongga pleura ke dinding

dada, akan tetapi karena tekanan hidrostatik dari

dinding dada ke arah rongga pleura lebih besar,

yaitu 35 cm H2O cairan dari dinding dada akan masuk

ke dalam rongga pleura (Djojodibroto, 2009).

1.Efusi Pleura karena Kelainan Intra Abdominal

Efusi pleura dapat terjadi secara steril

karena reaksi infeksi dan peradangan yang terpat

dibawah diafragma seperti pankreas atau

ekstraserbasi akut pankreatitis kronik, abses

ginjal, abses hati, abses limpa.

Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi

dapat juga bilateral. Mekanismenya adalah karena

berpindahnya cairan yang mengandung enzim pankreas

ke rongga pleura melalui saluran getah bening.

Efusi ini bersifat eksudat serosa tapi kadang-

kadang bisa hemoragik. Kadang amilase dalam efusi

lebih tinggi daripada dalam serum.

Efusi juga sering setelah 48-72 jam pasca

operasi abdomen seperti splenektomi, operasi

terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi

atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan

jumlah efusi tidak banyak (lebih jelas terlihat

pada foto lateral dekubitus). Cairan biasanya

bersifat enksudat dan mengumpul pada sisi operasi,

efusi pleura operasi biasanya bersifat maligna dan

kebanyakan akan sembuh secara spontan.

Sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura terjadi

bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat

kesamaan antara cairan pleura dan asites, karena

terdapat hubungan fungsional antara rongga pleura

dan rongga abdomen melalui saluran getah bening

atau celah jaringan otot diafragma. Biasanya efusi

menempati pleura kanan dan efusi bisa juga terjadi

bilateral.

Dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi

selama dan sesudah dilakukannya dialisis

peritoneal. Hal ini dapat terjadi karena

perpindahan cairan melalui celah diafragma, yang

dibuktikan dengan komposisi yang sama antara

cairan pleura dan cairan dialisat.

2. Efusi Pleura karena Gangguan Sirkulasi

Gangguan Kardiovaskular. Payah jantung adalah

sebab terbnayak timbulnya efusi pleura. Penyebab

lain: perikarditis kontritiva dan sinrom vena kava

superior. Patogenesisnya adalah terjadinya

peningktan tekanan vena sistemik dan tekanan

kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas

reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran

getah bening juga akan menurun sehingga filtrasi

cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.

Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh

rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura

yang bilateral,.

Emboli Pulmonal. Efusi dapat terjadi pada sisi

paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan in

dapat disertai dengan infark paru atau tanpa

infark.

3. Tuberkulosis

Di banyak daerah di dunia, tuberkulosis menjadi

penyebab paling umum dari efusi pleura. Pecahnya

subpleural fokus caseous ke dalam rongga pleura

memungkinkan protein TB untuk memasuki ruang

pleura dan menghasilkan reaksi hipersensitivitas

yang bertanggung jawab untuk sebagian besar

manifestasi klinis. Efusi pleura yang menyebabkan

pleuritis tuberkulosis bermanifestasi sebagai

penyakit akut sama dengan manifestasi dari

pneumonia bakteri akut. Hal ini biasanya

unilateral dan dapat dari berbagai ukuran. Cairan

pleura dalam TB adalah selalu eksudat dengan lebih

dari 50% limfosit dalam hitungan diferensial sel

darah putih dan jarang mengandung lebih dari 5%

sel mesotelial (Yataco dan Dweik, 2005).

4. Efusi Pleura Neoplasma

Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis)

dapat menyerang pleura dan umumnya menyebabkan

efusi pleura. keluhan yang paling banyak ditemukan

adalah nyeri dada dan sesak. Gejala lainnya yaitu

akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun

dilakukan torakosentesis berkali-kali.

Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil

bisa transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom

ataupun hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel

eritrosit per cc). Di dalam cairan ditemukan sel-

sel limfosit (yang dominan) dan banyak sel

mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat

didiagnosis dengan pemeriksaan sitologi terhadapp

cairan efusi atau biopsi pleura parietalis.

Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi

pleura pada neoplasma yakni:

a. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan

permeabilitas pleura terhadap air dan protein.

b. Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya

aliran pembuluh darah vena dan getah bening,

sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan

cairan dan protein.

c. Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah

terjadi dan selanjutnya timbul hipoproteinemia.

Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya

unilateral, tetapi bisa juga bilateral karena

obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis

dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari rongga

pleura via diafragma. Keadaan efusi dapat bersifat

maligna (Halim, 2009).

E. Manifestasi Klinis

Gejala tergantung pada jumlah cairan dan

penyebab yang mendasari. Banyak pasien tidak

memiliki gejala pada saat efusi pleura ditemukan.

Gejala termasuk nyeri dada pleuritik, dispnea, dan

batuk kering (nonproduktif) (Yataco dan Dweik,

2005). Adanya edema pada kaki atau trombosis vena

dapat mengakibatkanefusi pleura yang berhubungan

dengan emboli paru. Riwayat penyakit serta

pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis

efusi pleura. Beberapa aspek pemeriksaan fisik

seperti pemeriksaan dada biasanya redup pada

perkusi, tidak adanya fremitus, dan vesikuler

berkurang atau bahkan hilang. Distensi JVP , adanya

gallop bunyi jantung atau edema perifer menunjukkan

gagal jantung kongestif, dan ventrikel kanan atau

tromboflebitis menunjukkan terjadinya emboli paru.

Adanya limfadenopati atau hepatosplenomegali

menunjukkan penyakit neoplastik, dan ascites

menunjukkan adanya kelainan hati. Karena kondisi

selain efusi pleura mungkin menghasilkan gambaran

radiologis yang sama, pencitraan alternatif

penelitian sering diperlukan untukadanya efusi

pleura. Pemeriksaan penunjang dengan

ultrasonographic atau Foto thoraks lateral dekubitus

paling sering digunakan, namun computed tomografi

(CT-scan) dada memungkinkan pencitraan yang

mendasari parenkim paru-paru atau mediastinum

(Light, 2002).

G. Pemeriksaan fisik 1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.

2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan

besar karena proses keganasan.

3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura

interlobaris tidak memberi gejala-gejala. Begitu

pula bila efusinya berada di atas diafragma.

4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai

dengan luasnya efusi pada auskultasi suara napas

berkurang atau menghilang.

5. Resonansi vocal berkurang (Mukty et al., 1994).

6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini

belum menimbulkan gejala pada pemeriksaan fisik.

7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL,

baru dapat ditemukan gejala berupa gerak dada

yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada

sisi yang mengandung akumulasi cairan. Fremitus

taktil juga berkurang pada dasar paru posterior.

Suara perkusi menjadi pekak dan suara napas pada

auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya

masih vesikuler.

8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering

terjadi atelektasis pada paru bagian bawah.

Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang

mengandung timbunan cairan menjadi terbatas

sedangkan sela iga melebar dan menggembung. Pada

auskultasi di atas batas cairan, sering

didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam,

sebab suara ini ditransmisiskan oleh jaringan

paru yang menagalami atelektasis. Pada daerah ini

juga dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni

yang bertambah jelas.

9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan

ini dapat menyebabkan seluruh paru menjadi kolaps

kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar,

gerak dada pada inspirasi sangat terbatas, suara

napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal

sulit didengar karena sangat lemah. Selain itu

terjadi pergeseran mediastinum ke arah

ipsilateral dan penurunan letak diafragma

(Djojodibroto D., 2009).

H. Pemeriksaan penunjang 1. Foto toraks

Cairan yang kurang dari 300 cc, pada

fluoroskopi maupun foto toraks PA tidak tampak.

Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa

penumpulan sinus kostofrenikus. Pada efusi pleura

subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari

300 cc, sinus kostofrenikus tidak tampak tumpul

tetapi diafragma kelihatan meninggi. Untuk

memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari

sisi yang sakit. Foto toraks PA dan posisi

lateral dekubitus pada sisi yang sakit seringkali

memberi hasil yang memuaskan bila cairan pleura

sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu tampak

garis batas cairan yang sejajar dengan kolumna

vertebralis atau berupa garis horizontal

(Alsagaff dan Mukty, 2009).

Gambar 1. Foto thoraks dan computed tomography

scan yang menunjukkan adanya efusi

pleura pada sisi kanan (McGrath dan

Anderson 2011).

Gambar 2.Efusi pleura masif (Rubins, 2012)

2. Pemeriksaan Mikroskopis dan sitologi

Jika didapatkan sel darah putih sebanyak

>1000/mL, hal ini mengarahkan diagnosis kepada

eksudat. Jika sel darah putih > 20.000/mL,

keadaan ini menunjukan empiema. Neutrofil

menunjukan kemungkinan adanya pneumonia, infark

paru, tuberkulosis paru fase awal atau

pancreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak

mengarahkan kepada tuberculosis, limfoma atau

keganasan. Jika pada torakosintesis didapatkan

banyak eosinofil, tuberculosis dapat disingkirkan

(Djojodibroto D., 2009).

3. Pemeriksaan biokima

a. Protein > 3 g/dl eksudat

b. Protein < 3 g/dl transudat

c. Glukosa < normal “rheumatoid pleural

effusion”, kemungkinan lain karena keganasan

atau purulen.

d. Kolesterol menunjukan proses kronis atau

mungkin karena rheumatoid

e. Amilase pancreatitis atau karsinoma

pankreas (Mukty et al., 1994).

Tabel 2.Pemeriksaan Biokimia

TesBiokimia DiagnosisKadar kolesterolKadar trigliserida

Kilothoraks

Kadar hematokrit Hemothoraks jika kadarhematokrit > 50%

Kadar amilase Pankreatitis atauruptur esofagus

Kadar NT-proBNP Gagal jantung jikameningkat

Kadar kreatinin Urinothoraks jikakadar kreatinin cairan> kadar kreatininserum

PCR Tuberkulosis atauinfeksi streptococcuspneumoniae

Tumor marker Karsinoma mamaeKarsinoma ParuOvariaum, endometriumdan kanker payudara

4. Pemeriksaan bakteriologi

Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-

kadang dapat mengandung mikroorsganisme, apalagi

bila cairanya purulen (menunjukan empiema). Efusi

yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang

aerob atau anaerob. Jenis kuman yang sering

ditemukan dalam cairan pleura adalah :

Pneumokokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas,

enterobacter (Halim H., 2009).

I. Diagnosis banding

1. Tumor paru

2. Schwarte atau penebalan pleura

3. Atelektasis lobus bawah

4. Diafragma letak tinggi (Alsagaff dan Mukty,

2009).

5. Konsolidasi paru karena pneumonia

6. Fibrosis pleura (Mukty et al., 1994).

J. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil

cairan dari rongga pleura dengan cara pungsi pleura

atau torakosintesis atau pleural tapping. Pungsi pleura

dilakukan dengan cara menusukkan jarum pungsi atau

abbocath di antara dua iga. Cairan yang terdapat di

dalam rongga pleura secara umum disebut efusi

pleura. Efusi pleura berupa nanah disebut empiema,

jika berupa darah disebut hematotoraks, jika berisi

cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi

pleura tidak hanya berupa kelainan di daerah toraks

tetapi juga dapat karena kelainan di daerah lain

(ekstratoraks) atau sebagai akibat dari suatu

penyakit sistemik (Djojodibroto D., 2009).

K. Penatalaksanaan1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi

rasa tidak enak atau “discomfort” dan sesak

napas. Dianjurkan melakukan aspirasi sedikit demi

sedikit. Cairan yang dikeluarkan antara 500-1000

cc. bila pengambilan terlalu banyak dan cepat

dapat menyebabkan edema paru.

2. Lebih sering dilakukan pleurodesis pada proses

keganasan atau pada efusi pleura yang sering

kambuh. Dengan menggunakan 500 mg serbuk

tetrasiklin yang dilarutkan didalam 50 cc garam

faali. Penderita digoyang-goyangkan supaya rata,

kemudian cairan dikeluarkan setelah diklem selama

24 jam atau diberi serbuk sodium atau talk. Nyeri

yang terjadi karena pemeberian obat di atas dapat

diatasi dengan analgetika.

3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat

menyerap efusi pleura yang disebabkan oleh TB

paru secara cepat dan mengurangi fibrosis (Mukty

et al., 1994).

4. Efusi pleura transudat

Cairan tidak begitu banyak. Terapinya yaitu:

a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatik

yang meningkat, pemberian diuretika dapat

menolong.

b. Bila disebabkan oleh tekanan osmotik yang

menurun sebaiknya diberikan protein.

c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila

ada reakumulasi cairan berulang dengan

tujuan melekatkan pleura viseralis dan

parietalis.

5. Efusi pleura eksudat

Efusi yang terjadi setelah keradangan paru

(pneumonia). Paling sering disebabkan oleh

pneumonia. Umumnya cairan dapat diresorbsi

setelah pemberian terapi yang adekuat untuk

penyakit dasarnya. Bila terjadi empiema, perlu

pemasangan kateter toraks dengan WSD. Bila

terjadi fibrosis, tindakan yang paling mungkin

hanya dekortikasi (jaringan fibrotik yang

menempel pada pleura diambil /dikupas).

6. Efusi pleura maligna

Pengobatan ditujuakan pada penyebab utama atau

pada penyakit primer dengan cara radiasi atau

kemoterapi. Bila efusi terus berulang, dilakukan

pemasangan kateter toraks dengan WSD.

7. Kilotoraks

Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena

kebocoran akibat penyumbatan saluaran limfe

duktus torasikus di rongga dada. Tindakan yang

dilakukan bersifat konsevatif : torakosintesis 2-

3 kali. Bila tidak berhasil, dipasang kateter

toraks dengan WSD. Tindakan yang paling baik

ialah melakukan opersai reparasi terhadap duktus

torasikus yang robek (Alsagaff dan Mukty, 2009).

Thoracosintesis

Setiap efusi pleura yang cukup besar

menyebabkan gejala pernafasan berat harus

dikeringkan terlepas dari penyebabnya.

Mengurangi gejala adalah tujuan utama terapi

drainase pada pasien. Satu-satunya

kontraindikasi absolut terhadap thoracentesis

infeksi kutan aktif pada tempat tusukan.

Beberapa kontraindikasi relatif termasuk

diatesis pendarahan yang parah, antikoagulasi

sistemik, dan volume cairan yang kecil.

Kemungkinan komplikasi dari prosedur ini

termasuk perdarahan (karena tusukan pada

pembuluh atau parenkim paru), pneumotoraks,

infeksi (infeksi jaringan lunak atau empiema),

laserasi organ intra-abdomen, hipotensi, dan

paru edema (Yataco dan Dweik, 2005).

Indikasi untuk thoracentesis adalah adanya

efusi pleura klinis yang signifikan (lebih dari

10 mm pada ultrasonografi atau foto lateral

decubitus). Jika pasien datang dengan gagal

jantung kongestif dan efusi bilateral dengan

ukuran yang sama, afebris, dan tidak memiliki

nyeri dada, percobaan diuresis dapat dilakukan.

Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi

pleura disebabkan oleh gagal jantung kongestif

memiliki bilateral efusi pleura, thoracentesis

diindikasikan jika efusi adalah unilateral. Jika

efusi tetap selama lebih dari tiga hari,

thoracentesis dapat diterapkan (Light, 2002).

Pleurodesis

Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis

dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral

ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah

akumulasi cairan maupun udara dalam rongga

pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya

pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya

efusi berulang (terutama bila terjadi dengan

cepat), menghindari torakosintesis berikutnya

dan menghindari diperlukannya insersi chest tube

berulang, serta menghindari morbiditas yang

berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks

berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia,

insufisiensi respirasi, tension pneumothoraks).

Efusi pleura maligna merupakan indikasi paling

utama pada pleurodesis. Beberapa keadaan yang

dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif

pleurodesis meliputi:

1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3

bulan.

2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh

efusi pleura.

3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik

dengan terapi sistemik (kanker mammae,

dll).

4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit

atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman

di dada karena slang torakostomi.

5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak

sempurna setelah pengeluaran semua cairan

pleura (trapped lung) (Amin dan Masna, 2007).

L. Prognosis

Biasanya sembuh setelah diberi pengobatan adekuat

terhadap penyakit dasar. Empiema mungkin timbul

akibat infeksi paru seperti pneumonia (Mukty et al.,

1994). Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai

dengan etiologi yang mendasari kondisi ini.

Morbiditas dan mortalitas efusi pleura berhubungan

langsung dengan penyebabnya, stadium penyakit, dan

temuan biokimia dalam cairan pleura.

Pada efusi pleura ganas dikaitkan dengan

prognosis yang sangat buruk (Alsagaff dan Mukty,

2009), dengan kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan

dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun.

Yang paling umum keganasan terkait pada pria adalah

kanker paru-paru, dan keganasan yang paling umum

pada wanita adalah kanker payudara. Efusi dari

kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi,

seperti limfoma atau kanker payudara, lebih

dihubungkan dengan kelangsungan hidup

berkepanjangan, dibandingkan dengan kanker paru-

paru atau mesothelioma.

Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga

dapat menjadi indikator prognosis. Misalnya, pH

cairan pleura lebih rendah sering dikaitkan dengan

beban tumor lebih tinggi dan prognosis yang buruk

(Rubins, 2012).

M. Komplikasi

1. Empiema

2. Schwarte

3. Kegagalan pernapasan (Alsagaff dan Mukty, 2009).

N. Pencegahan

Lakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-

penyakit dasarnya yang dapat menimbulkan efusi

pleura. Merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih

lengkap bila diagnosis kausal ditegakkan. Tindakan

yang dapat dilakukan untuk menentukan dan mengobati

penyakit dasarnya misalnya, biopsi pleura,

bronkoskopi, torakotomi, dan torakoskopi (Alsagaff

dan Mukty, 2009).

BAB III

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H. dan Mukty A., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit

Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Pp.

143-154.

Amin Z., dan Masna I. A. K., 2007. Indikasi dan

Prosedur Pleurodesis. Majalah Kedokteran Indononesia.

Volume: 57.Nomor: 4.pp 129-133.

Djojodibroto D., 2009. Respirologi. Jakarta: EGC pp 175-

181.

Halim H., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.

Jakarta : Internal Publishing. Pp. 2331.

Jeffrey Rubins J., 2012. Pleural Effusion. Diakses dari

www.emedicine.medscape.com pada tanggal 24 Juli

2013. Pp 1-3

Khairani R., Syahruddin S., Partakusuma L.C.,

2012.Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit

Persahabatan. Jurnal Respirasi Indonesia. 32:155-159.

Light W.L., 2002. Pleural Effusion. N Engl J Med. 346:

1971.

Maskell N, Medford A., 2005. Review Pleural Effusion.

Postgrad Med J. 81:702-710.

Maskell N.A, Burland R.J.A., 2008. BTS Guidelines for

The Investigation of a Unilateral Pleural Effusion

in Aadults. Thorax. 58:ii6-ii7.

McGrath E.E., Anderson P.B., 2011. Diagnosis of Pleural

Effusiom: a Systemic Approach. American Journal of Critical

Care. 20: 120-130.

Mukty A., Widjaja A., Margono B. P., et al., 1994.

Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter

Soetomo 1994. Surabaya : Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga pp. 111-114

Sato T., 2006. Different Diagnosis of Pleural Effusion.

Japan Medical Association.49:315-316.

Syahruddin E., Hudoyo A., Arief N., Efusi Pleura Ganas

Pada Kanker ParuJurnal Respirasi Indonesia. 32:142.

Yataco J.C., Dweik R.A., 2005. Pleural effusions:

Evaluation and Management. Cleveland Clinic Journal of

Medicine.72:855.