1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ...

24
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Korea Selatan pertama kali melakukan penawaran kerjasama kepada Indonesia untuk melakukan pengembangan pesawat tempur antar kedua negara. Rencana ini sendiri ternyata sudah lama digagaskan oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung tepatnya pada bulan Maret 2001. Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara dalam bidang persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun kedepan (Afiff & Ibnu, 2016). Selain itu ancaman Korea Utara kepada Korea Selatan semakin memicu Korea Selatan untuk melakukan pengembangan ini (Kompas, 2016). Sedangkan dari sisi Indonesia, kerjasama ini dilakukan karena adanya keinginan untuk mewujudkan kemandirian militer. Industri pertahanan dalam negeri sampai saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan kebutuhan alat pertahanan dan keamanan yang dibutuhkan maka diperlukanlah pihak asing untuk melakukan kerjasama. Pada 6 Maret 2009 kedua negara melakukan penandatanganan pertama Letter of Intent (LoI) di Jakarta sebagai pernyataan persetujuan kedua negara akan dibentuknya kerjasama pengembangan bersama (Kemhan, 2014). Penandatanganan ini diwakilkan oleh Sekretaris Jendral Kementerian Pertahanan Syafrie Syamsudin dan Kepala Defense Acquisition Program Administration (DAPA) (Indopos, 2017). Komitmen dalam pembangunan kemampuan militer yang mandiri semakin diperkuat dengan diinisiasikannya program Minimum Essentials Force (MEF) pada tahun 2010. Program ini sendiri merupakan strategi pembangunan kekuatan Komponen Utama yang ideal. MEF sendiri tidak diarahkan pada konsep perlombaan persenjataan/arms race maupun sebagai strategi pembangunan kekuatan untuk memenangkan perang total tetapi sebagai suatu bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal (Kemhan, 2012). Menindaklanjuti tawaran ini, kedua negara kembali menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 15 Juli 2010 di Seoul, Korea Selatan yang dilanjutkan dengan kontrak Technology Development Phase Program (TDP) pada tanggal 20 April 2011 (Kemhan, 2014). Perjanjian tersebut menyatakan persetujuan untuk melakukan pengembangan bersama di bidang militer khususnya Formatted: Centered, Line spacing: 1,5 lines Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering Commented [T1]: -Cari tahu kenapa Indonesia memilih utk kerja sama dgn Korsel untuk melaksanakan proyek KF-X / IF-X -Tabel sejarah pembelian -Menjelaskan kenapa Indonesia kerja sama dgn Korsel krn biasanya dlm bidang militer Indonesia kerja sama dengan Rusia -Buat tabel SIPRI ke Excel Formatted: Font: Italic Formatted: Do not check spelling or grammar

Transcript of 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Korea Selatan pertama kali melakukan penawaran kerjasama kepada Indonesia untuk

melakukan pengembangan pesawat tempur antar kedua negara. Rencana ini sendiri

ternyata sudah lama digagaskan oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung tepatnya

pada bulan Maret 2001. Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua

negara dalam bidang persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam

30-40 tahun kedepan (Afiff & Ibnu, 2016). Selain itu ancaman Korea Utara kepada

Korea Selatan semakin memicu Korea Selatan untuk melakukan pengembangan ini

(Kompas, 2016). Sedangkan dari sisi Indonesia, kerjasama ini dilakukan karena

adanya keinginan untuk mewujudkan kemandirian militer. Industri pertahanan dalam

negeri sampai saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan kebutuhan alat

pertahanan dan keamanan yang dibutuhkan maka diperlukanlah pihak asing untuk

melakukan kerjasama. Pada 6 Maret 2009 kedua negara melakukan penandatanganan

pertama Letter of Intent (LoI) di Jakarta sebagai pernyataan persetujuan kedua

negara akan dibentuknya kerjasama pengembangan bersama (Kemhan, 2014).

Penandatanganan ini diwakilkan oleh Sekretaris Jendral Kementerian Pertahanan

Syafrie Syamsudin dan Kepala Defense Acquisition Program Administration

(DAPA) (Indopos, 2017).

Komitmen dalam pembangunan kemampuan militer yang mandiri semakin

diperkuat dengan diinisiasikannya program Minimum Essentials Force (MEF) pada

tahun 2010. Program ini sendiri merupakan strategi pembangunan kekuatan

Komponen Utama yang ideal. MEF sendiri tidak diarahkan pada konsep perlombaan

persenjataan/arms race maupun sebagai strategi pembangunan kekuatan untuk

memenangkan perang total tetapi sebagai suatu bentuk kekuatan pokok yang

memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal (Kemhan, 2012).

Menindaklanjuti tawaran ini, kedua negara kembali menandatangani

Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 15 Juli 2010 di Seoul, Korea

Selatan yang dilanjutkan dengan kontrak Technology Development Phase Program

(TDP) pada tanggal 20 April 2011 (Kemhan, 2014). Perjanjian tersebut menyatakan

persetujuan untuk melakukan pengembangan bersama di bidang militer khususnya

Formatted: Centered, Line spacing: 1,5 lines

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering

Commented [T1]: -Cari tahu kenapa Indonesia memilih utk

kerja sama dgn Korsel untuk melaksanakan proyek KF-X / IF-X -Tabel sejarah pembelian -Menjelaskan kenapa Indonesia kerja sama dgn Korsel krn biasanya dlm bidang militer Indonesia kerja sama dengan Rusia -Buat tabel SIPRI ke Excel

Formatted: Font: Italic

Formatted: Do not check spelling or grammar

2

dalam pembuatan pesawat tempur, yang dinamakan dengan proyek Korean Fighter

Xperiment / Indonesia Fighter Xperiment atau disingkat dengan KF-X/IF-X.

Penandatanganan ini juga menandai dimulainya pengembangan fase pertama yakni

fase Technology Development Phase (TDP) dari tiga fase pengembangan pesawat

tempur. Kesepakatan ini menandai akan adanya perubahan pola pengadaan pesawat

tempur Indonesia, dari yang tadinya hanya membeli (konsumsi) menjadi ikut

mengembangkan (inovasi) (Afiff & Ibnu, 2016).

Sebelum pengembangan fase pertama dilakukan, Korea Selatan dilaporkan

menyatakan akan ketidakpastian atas persyaratan proyek pengembangan pesawat

tempur ini. Rencana awal dari proyek ini ialah keinginan untuk membangun pesawat

tempur generasi ke 5. Namun dengan adanya alasan kemampuan teknologi yang

belum mencukupi maka pada September 2009 Korea Selatan memutuskan untuk

membangun pesawat generasi 4,5. Dengan adanya kepastian atas persyaratan proyek

tersebut Indonesia dan Korea Selatan mulai memasuki fase pertama dari

pengembangan bersama ini (Defense Industry Daily, 2008). Terhentinya proyek

kerjasama ini kembali terjadi setelah selesainya fase pertama yang telah diselesaikan

dalam waktu 20 bulan. Melalui surat resmi yang dikirimkan oleh DAPA pada 5

Maret 2013 lalu menyatakan adanya kendala teknis dan pendanaan dari

keberlangsungan proyek ini. Hal ini disebabkan karena belum adanya persetujuan

Parlemen Korea Selatan mengenai anggaran yang akan digunakan pada fase kedua.

Walaupun terjadi penundaan, Korea Selatan tetap melakukan 'Economic Feasibility

Study' atas program ini (Suara Pembaruan, 2015). Dengan komitmen kuat kedua

negara untuk menyelesaikan proyek ini maka proyek ini kembali dilaksanakan pada

Oktober 2014 dengan ditandatanganinya MoU oleh kedua belah pihak.

Untuk ketiga kalinya proyek pengembangan bersama ini harus terhenti pada

pada tahun 2017 lalu. Hal ini merupakan permintaan Presiden Republik Indonesia

Joko Widodo yang meminta evaluasi untuk meninjau kerjasama atas target proyek

ini dengan anggaran yang ada. Pada 9 November 2017 Presiden RI Joko Widodo

memutuskan untuk mengevaluasi kembali implementasi program ini. Ada beberapa

alasan mengapa Presiden menghentikan program ini sementara dalam waktu yang

belum ditentukan seperti alasan finansial dan teknologi (Nurrohman, Gunawan, &

Sumarlan, 2019). Pada tahun 2017 lalu diketahui bahwa Indonesia ternyata terlambat

melakukan pembayaran tahunan karena Kementerian Pertahanan tidak

menganggarkan biaya pembayaran kewajiban tahunan di dalam APBN tahun 2016

Formatted: Do not check spelling or grammar

3

dan tahun 2017.Kementerian Pertahanan Indonesia juga menyatakan niatnya untuk

melakukan renegosiasi atas proyek ini yang dimana menurutnya MoU yang telah

ditandatangani belum memberikan keuntungan Indonesia karena adanya intervensi

Amerika Serikat yang telah melakukan pembatasan transfer atas lisensi teknologi

dalam pembuatan pesawat tempur saat ini. (DPR-RI, Keberlanjutan Program

Pesawat Tempur KFX/IFX Dalam Industri Pertahanan Indonesia, 2018). Dengan

adanya kendala-kendala yang terjadi dalam proses kerjasama tentu menjadi

penghambat bagi jalannya kerjasama ini. Bukan hal yang dapat dihindari bahwa

akhirnya target awal yang ditentukan oleh kedua negara mengakibatkan pada

mundurnya target pencapaian atas fase-fase pengembangan yang akan dilakukan.

1.1.

Sejak berdiri didirikannya negara ini pada tahun 1945 laluhingga saat

ini, Indonesia cenderung mengimpor hampir semua peralatan militer mulai dari

persenjataan, tank, kapal militer dan jugahingga pesawat tempur. Jenis pesawat

militer yang banyak dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat

tempur, pesawat tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini

didatangkan ke Indonesia dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat,

Russia, Korea Selatan, Brazil, Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).

(cek sumber SIPRI). . Dalam Untuk membangun kapabilitas suatu negara yang bisa

melindungi segenap bangsa negara ini secara mandiri tanpa ketergantungan kepada

negara asing ini, dibutuhkan tentu tidak mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan,

oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan serta sumber daya manusia yang

berkualitas untuk membangun kapabilitas militer yang mandiri tanpa adanya

ketergantungan dengan negara asing kedepannya. Jenis pesawat militer yang banyak

dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat tempur, pesawat

tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini didatangkan ke Indonesia

dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat, Russia, Korea Selatan, Brazil,

Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).

PSeperti yang diketahui, pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno (pada tahun

1945-1967) Indonesia memiliki kecenderungan lebih dekat dengan blok timur yakni

Uni Soviet. Hal ini disebabkan karena pada masa itu Amerika Serikat melakukan

mengembargo peralatan militer terhadap Indonesia atas yangtujuan Indonesia untuk

Formatted: Normal, Justified, Line spacing: single, Nobullets or numbering

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

4

melawan Belanda, yang merupakan sesama negara anggota NATO, di Papua Barat

(Ggerakan Trikora) yang merupakan sesama negara anggota NATO. Pada masa ini

Indonesia dan Uni Soviet hampir bekerja di segala bidang, tak terkecuali dan salah

satunya di bidang militer. Soviet memberikan batuan dana kepada Indonesia dalam

proses moderinisasi persenjataan bagi TNI serta memberikan perlatihan teknis

(Yuliadi, 2015). Sejak adanya gerakan Trikora, tersebut membuat Indonesia

‘kebanjiran' perlengkapan militer buatan Soviet1 seperti Kapal Perang tipe Sverdlov,

12 kapal selam kelas Whiskey, 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, 30

unit pesawat MiG-15, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4,

berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B

(Lebang, 2010) seperti . Pembelian alutsista dengan total US$ 2.5 miliar dari Uni

Soviet membuat Indonesia memiliki sebanyak 104 kapal tempur yang pada saat ini

salah satu yang ditakuti dan tercanggih diantara negara-negara baru lainnya.

Indonesia juga sempat menggunakan beberapa pesawat buatan Soviet yang

diantaranya adalah 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, 30 unit

pesawat MiG-15, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4, serta

berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B,

12 Tupolev TU-2, dan 4 Lavockhin La-11 (Russian Thunderbolt). Selain itu juga

Indonesia mendapatkan dan 12 jet tempur MiG-17 yang merupakan hibah dari

Pemerintah Cina untuk pembebasan Irian Barat (Sulindo, 2017). Pada tahun 1962

embargo Amerika Serikat terhadap Indonesia berakhir, sehingga membuka jalan

untuk Selain melakukan pembelian dengan Soviet ternyata Indonesia juga tetap

melakukan pembelian peralatan militer dengan Amerika Serikat pada tahun 1962

berupa 10 pesawat Hercules tipe B yang dilakukan bersamaan dengan pada saat

kunjungan Presiden Soekarno ke Amerika Serikat dan ditandai dengan diakhirinya

embargo terhadap Indonesia (Bagas, 2012).

Di masa orde baru yakni dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, kiblat

Indonesia berubah menjadi ke blok barat. Didasari oleh keinginan bersama dalam

memberantas paham komunisme, Indonesia menjalin hHubungan baik dengan

Amerika Serikat ini terbentuk sejak tidak lagi menentang Barat dan keinginan

bersama dalam memberantas paham komunisme. Dana yang dikeluarkan oleh

1 Kapal Perang tipe Sverdlov, 12 kapal selam kelas Whiskey, Pembelian alutsista dengan total US$ 2.5 miliar dari Uni Soviet membuat Indonesia memiliki sebanyak 104 kapal tempur yang pada saat ini salah satu yang ditakuti dan tercanggih diantara negara-negara baru lainnya

Formatted: Font: 12 pt

Formatted: Font: 12 pt

Formatted: Font: 10 pt

5

Pemerintah Indonesia untuk membeli Ssemua peralatan canggih dari Uni Soviet

terpaksa harus dipensiunkan sesuai dengan tuntutan Amerika Serikat (Bagas, 2012).

Pada masa kepemimpinanSelama 32 tahun menjabat Presiden Soeharto selama 32

tahun menjabat, Indonesia kedatanganmengimpor banyak sekali pesawat militer dari

berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Korea Selatan dan juga Brazil.

Pembelian ini berupa C-130 Hercules, C-140 Jetstar dan Helikopter Bell-47-J dan

Mig-19, AN-12 Antonov, Helikopter MI-4 dan MI-6 dari Soviet (kenapa masih ada

pesawat dari Soviet?? Cek SIPRI). Pada pertengahan dekade 1970-an Indonesia

kembali diperkuat dengan adanya pembelian pesawat militermengimpor Fokker F-

27, helikopter Puma SA-330, helikopter latih Bell 47G Sioux dan AT-16 Harvard

produksi Amerika Serikat Fokker F-27, helikopter Puma SA-330, helikopter latih

Bell 47G Sioux dan AT-16 Harvard. Selain membeli Indonesia pada masa ini juga

mendapatkan hibah berupa pesawat yakni F-86 Sabre yang merupakan hibah dari

pemerintah Australia dan T-33 dari pemerintah Amerika Serikat (Santosa, 2015).

Pada tahun dekade 1980-an, kekuatan Indonesia kembali diperkuat oleh pesawat

militer baru yakni F-5 Tiger II, pesawat A-4 Sku Hawk dan pesawat latih Hawk MK-

53 yang memiliki teknologi dalam mengintau dan pengamatan wilayah permukaan.

Pada tahun 1989 Soeharto mendatangkan pesawat Multirole F-16 Fighting Falcon

dan Radar Thomson dan Plessey. Di masa akhir jabatannya Soeharto yakni tahun 90-

an kembali mendatangkanmembeli pesawat CN-235, NAS 332 Super Puma (dua ini

pesawat produksi lokal, bukan impor) dan Radar Plessey AR-325. Alutsista ini

ditempatkan di Skadron Udara 12 dan 1 (Kuwado, 2018).

B.J. Habibie merupakan presiden ketiga Republik Indonesia yang dikenal

sebagai pendiri salah satu suksesorindustry strategis berteknologi tinggi, salah

satunya adalah pabrik dirgantara milik Indonesia yang dikenal dengan Industri

Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang sekarang sudah berubah nama menjadi PT

Dirgantara Indonesia (PTDI). Habibie sebelumnya menjabat sebagai mentri riset dan

teknologi/kepala BPPT. Pada masa jabatannya tecatat Indonesia sama sekali tidak

membeli pesawat tempur tetapi malah mengembangkan pesawat militer lainnya di

PTDI (Salah banget ini). PT DI sendiri kebanyakan memproduksi pesawat angkut

militer (CN212 dan CN235), helicopter (EC725, H215), persenjataan (roket FFAR)

dan juga perawatan pesawat dengan melakukan kerjasama dengan negara produsen

lainnya baik itu membeli lisensi maupun melakukan transfer teknologi i. Beberapa

pesawat hasil rancangan PTDI antara lain adalah EC725, NC212, H215, CN235 dan

Formatted: Highlight

Formatted: Highlight

Formatted: Highlight

Formatted: Highlight

6

masih banyak produk dirgantara lainnya. (DeutscheWelle, 2017) (langsung cek

website perusahaannya saja).

Pada masa pemerintahan presiden keempat Indonesia yaitu Abdurrahman

Wahid yang berlangsung kurang dari dua tahun, Indonesia tercatat hanya pernah

melakukan pembelian pesawat tempur bekas negara Israel dengan tipe F-16 (Putra,

2012). Presiden Wahid digantikan oleh

Megawati Soekarnoputri merupakan sebagai presiden kelima dan perempuan

pertama Republik Indonesia. Pada masa pemerintahannya, Megawati tercatat hanya

pernah melakukan pembelian Sukhoi Su-27 Flanker, Sukhoi Su-30MK, dan juga

helikopter perang jenis MI-35 dari Rusia2.

Nilai pembelian empat pesawat tempur dan dua helikopter perang yang

dilakukan oleh Megawati ini mencapai nilai US$ 193 juta dengan beberapa tahap

pembayaran (Wirayudha, 2017). Pada masa jabatan Persiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) alutsista milik TNI-AU terus bertambah dengan melakukan

pembelian beberapa pesawat guna modernisasi pesawat militer yang dimiliki TNI-

AU. Pengadaan pesawat mencakup yakni 12 Pesawat coin Super Tucano, 8 Jet

tempur F16 blok 52, 4 UAV Heron, 2 Pesawat angkut berat Hercules, 5 Pesawat

angkut sedang CN295, 6 Helikopter serbu tipe Cougar, serta 20 Helikopter serbu tipe

412EP. SBY sendiri mencanangkan program yang bernama Minimun Essential

Force (MEF) pada tahun 2010, yakni? Jelaskan dengan 1 kalimat saja.

Di saat kepemimpinan SBY inilah Memorandum of Understanding (MoU)

antara Indonesia dan Korea Selatan ditandatangani pada tanggal 15 Juli 2010 di

Seoul, Korea Selatan.tercetus perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Korea

Selatan dalam kerjasama pengembangan pesawat tempur. Tentu dengan adanya

perjanjian ini membuat perubahan pola dari yang tadinya Indonesia hanya membeli

pesawat tempur sekarang ikut mengembangkan pesawat tempur. Isi dari nota

kesepahaman tersebutPerjanjian tersebut menyatakan kalau kedua negara setuju

untuk melakukan pengembangan bersama di bidang militer khususnya dalam

pembuatan pesawat tempur. Proyek ini dinamakan dengan proyek Korean Fighter

Xperiment / Indonesia Fighter Xperiment atau disingkat dengan KFX/IFX. Pesawat

tempur KFX ini akan disematkan dengan beberapa teknologi yang lebih canggih dari

F-16 seperti radius serang yang lebih jauh, sistem avionic dan juga kemampuan anti

2 Nilai pembelian empat pesawat tempur dan dua helikopter perang yang dilakukan oleh Megawati ini mencapai nilai US$ 193 juta dengan beberapa tahap pembayaran (Wirayudha, 2017).

Formatted: Highlight

Formatted: Font: Italic

Formatted: Highlight

Formatted: Highlight

Formatted: Font: 10 pt

7

radar (semi-stealth). Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni;

Technology Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development

Phase (EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014).

Kesepakatan ini menandai perubahan pola pengadaan pesawat tempur Indonesia, dari

yang tadinya hanya membeli sekarang jadi ikut mengembangkan.

Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara dalam

bidang persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun

kedepan. Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni; Technology

Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development Phase

(EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014)Jenis pesawat

militer yang banyak dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat

tempur, pesawat tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini

didatangkan ke Indonesia dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat,

Russia, Korea Selatan, Brazil, Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).

Kemandirian militer Indonesia dapat ditandai dengan ditandatanganinya

Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Korea Selatan yang

telah dilakukan pada tanggal 15 Juli 2010 di Seoul, Korea Selatan. Isi dari nota

kesepahaman tersebut menyatakan kalau kedua negara setuju untuk melakukan

pengembangan bersama di bidang militer khususnya dalam pembuatan pesawat

tempur. Proyek ini dinamakan dengan proyek Korean Fighter Xperiment / Indonesia

Fighter Xperiment atau disingkat dengan KFX/IFX. Pesawat tempur KFX ini akan

disematkan beberapa teknologi yang lebih canggih dari F-16 seperti radius serang

yang lebih jauh, sistem avionic dan juga kemampuan anti radar (semi-stealth).

Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara dalam bidang

persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun kedepan.

Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni; Technology

Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development Phase

(EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014).

Tujuan Korea Selatan dalam membuat pesawat tempur generasi 4.5 ini

sebenarnya merupakan rencana yang sudah lama digagaskan oleh Presiden Korea

Selatan Kim Dae-Jung tepatnya pada bulan Maret 2001. Program ini bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan kedua negara dalam bidang persediaan pesawat militer

khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun kedepan. Bagi Indonesia sendiri,

program ini menyediakan pengganti Beberapa pesawat yang akan digantikan oleh

Commented [T2]: Kebijakan SBY tahun 2009 utk

menyelamatkan industri pertahanan, cari UU Industri

pertahanan. Membuat kronologi.

8

pesawat ini adalah pesawat tempur tua seperti F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger.

Dalam pembagian modal pengembangan pesawat ini Indonesia hanya menanggung

20 persen % dari keseluruhan biaya yang akan dikeluarkan, . Sedangkan pemerintah

Korea Selatan akan menanggung 60 persen % dari proyek ini, dan sedangkan sisanya

20 persen % lagi akan ditanggung oleh Korean Aerospace Industry (KAI). Dengan

dilaksanakannyaRencananya proyek ini Indonesia akan memperoleh memesan 80

(delapan puluh) pesawat tempur dan Korea Selatan akan memperoleh memesan

sebanyak 120 (seratus dua puluh) pesawat ini. Berdasarkan perhitungan yang telah

dilakukan, proses pembuatan prototype dari pesawat ini akan memakan waktu

selama 10 tahun akan memakandan biaya sebesar US$ 6-8 miliar, dengan harapan

pada 2020 nanti kedua belah pihak dapat menerima pesawat ini (Afiff, 2016).

Mengutip Afriyadi tahun 2018 (ubah pengutipan jadi running notes),

Mmenurut Kepala Programn KFX/IFX dari di PTDI yakni Heri Yansyah,

menyatakan bahwa tujuan Korea Selatan menggandeng Indonesia sebagai rekan

kerja pembangunan pesawat tempur ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,

yakni alasan Indonesia kedepannya yang dipercayai oleh Korea Selatan akan menjadi

yang sangatnegara besar pada tahun 2040 nanti, oleh karena itusehingga diperlukan

memerlukan pengembangan pesawat tempur. Kedua, Selain itu alasan kedua

berjalannya persetujuan ini ialah adanya kemampuan PT Dirgantara Indonesia

Indonesia dalamuntuk memproduksi pesawat angkut taktis serbaguna hasil produksi

PT Dirgantara Indonesia, sebagai basis untuk mengembangkan kemampuan produksi

akan tetapi kesempatan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk bisa

melakukan penyesuaian dengan jet tempurnya sendiri kedepannya. Indonesia sendiri

berharap dari kerjasama ini akan ada transfer teknologi dari Korea Selatan ke

Indonesia. Untuk pembagian kerja, para insyinyur Indonesia turut mendesaiign

pesawat ini bersama dengan pihak KAI di Korea Selatan. Pesawat ini sendiri

nantinya akan diproduksi di Indonesia dan Korea Selatan, namun tetap dengan

komposisi share antar kedua negara. Indonesia menargetkan untuk bisa

memproduksi sayap dan buntut dari proyek KFX/IFX tersebut (Afriyadi, 2018).

Dengan adanya kerjasama ini diharapkan akan adanya transfer teknologi dari Korea

Selatan ke Indonesia mengenai tata cara pembuatan pesawat tempur dari negara

produsen.

Formatted: Highlight

Formatted: Font: Italic

Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line spacing: 1,5

lines

9

1.2 Rumusan Masalah

Beri satu paragraph yang menunjukkan kenapa KFX dengan Korsel

merupakan keputusan unik?

Seperti yang diketahui bahwa program ini dimulai pada tahun 2010 silam

dimana dalam Memorandum of Understanding (MoU) untuk pengembangan

KFX/IFX yang ditandatangani pada tahun 2010 antara kedua belah pihak membagi

kerjasama ini menjadike dalam tiga tahapan , yakni Technology Development Phase

(TDP), Engineering and Manufacture Development Phase (EMDP) dan yang

terakhir Production Phase (PP). Sampai dengan saat ini proyek pengembangan

bersama telah memasuki fase kedua yakni EMDP. dimana beberapa waktu lalu

sebelum dimulainya fase ini Korea Selatan sempat menghentikan proyek ini

beberapa saat karena alasan belum adanya anggaran yang tersedia. Namun pProyek

pengembangan KF-X/IF-X sendiri sempat mengalami penundaan beberapa kali

sehinggadan akan membentuk tim renegosiasi untuk meninjau kembali program ini

karena adanya beberapa alasan seperti penghematan devisa, menjaga iklim investasi,

mengurangi tekanan APBN dan juga permasalahan pada transfer teknologi yang

dianggap tidak sesuai dengan penandatanganan MoU pertama kali. menunjukkan

kerjasama pengembangan bersama dalam proyek ini antara Indonesia dan Korea

sesungguhnya tidak selalu berjalan mulus dan menghadapi berbagai hambatan.

Memangnya tidak ada alternative lain daripada Korsel?

Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan:

“Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam kerjasama

pengembangan bersama pesawat tempur KF-X/IF-X antara Indonesia

dengan Korea Selatan?”

Mengapa Faktor-faktor apa yang membuat Indonesia merubah kebijakan

dari yang tadinya hanya membeli pesawat tempur, kini ingin

mengembangkan pesawat tempur sendiri dalam proyek KF-X / IF-X?

Kenapa Indonesia memilih Korea Selatan sebagai mitra?

Saran revisi pertanyaan penelitian:

• Apakah waktu diawal diputuskannya kerjasama proyek KF-X / IF-X,

Indonesia telah memikirkan akan resiko dalam pembangunan proyek ini?

• Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Indonesia dalam

pengambilan kerjasama KF-X / IF-X?

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:

Formatted: Highlight

Formatted: Highlight

Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: Left: 0

cm, Line spacing: single

Formatted: Highlight

Formatted: Indent: Left: 1,5 cm, Right: -0,01 cm, Line

spacing: 1,5 lines

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

Formatted: Space After: 8 pt, Line spacing: 1,5 lines,

Numbered + Level: 1 + Numbering Style: 1, 2, 3, … +Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm +

Indent at: 1,27 cm

Commented [T3]: Alasan kenapa pilih Korsel

10

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk:

a. Membahas literatur kerja sama internasional dalam bidang teknologi militer;

b. Mengkaji hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan dan kedekatan

keduanya dalam kerjasama militer, terutama pengembangan industri

pertahanan;

c. Mengevaluasi dinamika kerja sama dalam program KF-X dan tantangannya

bagi Indonesia.

a. 1.4 Signifikasi Penelitian

1. Signifikansi Teoritis:

3.1. Penelitian ini diharapkan penulis dapatakan menambah pengetahuan

literatur kajian studi Hubungan Internasional terkait yang menganalisis

hubungan Indonesia dengan Korea Selatan, terutama dalam konteks dalam

pengembangan teknologi pesawat tempurindustri strategis.

2. Signifikasi Praktis:

1.1. Memberikan Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan rujukan

kepada masyarakat akademik hHubungan iInternasional dan memberikan

kontribusi kepada aktor pengambil kebijakan luar negeri di Indonesia untuk

lebih memahami kebijakan Indonesia Korea Selatan dalam bidang industri

strategisteknologi pesawat tempur.

b. 1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan… (definisi 1 kalimat saja). Tinjauan pustaka

terdiri dari…

Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali atas pustaka-pustaka yang

telah dituliskan oleh orang lain yang sebelumnya sudah pernah menuliskan mengenai

permasalah terkait sehingga hasil yang dituliskan dapat dipertanggung jawabkan.

Oleh karena itu tinjauan pustaka harus meliputi tiga faktor yang ada di dalam pustaka

tersebut yaitu pendahuluan, pembahasan, dan juga kesimpulan. (Aminudin, 2019). Di

dalam tinjauan pustaka ini, penulis berusaha untuk menambahkan dari hasil-hasil

penelitian sebelumnya, menambah penjelasan mengani isu ini dan juga menambah

studi dalam kerjasama industri strategis dalam proyek pembangunan pesawat tempur

KF-X/IF-X. Terdapat enam literatur yang akan dibahas dengan tema-tema yang

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:

Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First

line: 0 cm, Line spacing: single

Formatted: List Paragraph;sUB BAB;skripsi, Left, Space

After: 8 pt, Line spacing: single, Numbered + Level: 1 +

Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left+ Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:

single, No bullets or numbering

Formatted: Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1+ Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment:

Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm

Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Space After: 8 pt,

Line spacing: 1,5 lines, No bullets or numbering

Formatted: Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1

+ Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment:Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm

Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Space After: 8 pt,Line spacing: 1,5 lines, No bullets or numbering

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering

Formatted: Highlight

Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First

line: 0 cm, Line spacing: single

11

berkaitan dengan pengadaan senjata internasional. Untuk mengetahui faktor-faktor

yang menjadi penghambat Indonesia dalam melakukan kerjasama dengan Korea

Selatan dalam proyek pengembangan bersama KF-X/IF-X maka penulis

menggunakan konsep Internasionalisasi Produksi Senjata dan jurnal terkait lainnya

dalam mengkaji permasalahan ini.

Jurnal “Internationalization of The Arms Industry” yang dituliskan oleh

Elisabeth Sköns and Herbert Wulf tahun 1994 membahas mengenai tiga bentuk dasar

internasionalisasi yakni ekspor, investasi asing langsung, dan pengaturan kerjasama

internasional. Jurnal ini lebih berfokus membahas pada strategi internasionalisasi

perusahaan yang terlibat dalam industri pengadaan senjata. Penulis menyatakan

bahwa tingkat kerjasama industri persenjataan belakangan ini semakin meningkat

dan semakin mirip dengan industri-industri lainnya. Menurutnya kerjasama

pengembangan internasional dapat dikategorikan kepada dua jenis. Pertama,

kerjasama gabungan antara dua perusahaan yang bersaing untuk melakukan

perkembangan atas pengembangan senjata baru yang relative mahal dan beresiko.

Dengan kerjasama ini mereka bisa berbagi biaya dan juga membagi risiko yang

mungkin akan ditanggung nantinya. Contoh bentuk kerjasama ini ialah Euromissile

dan Eurocopter. Sedangkan menurut penulis, jenis kedua ialah melakukan kerjasama

dengan metode pembayaran bersama dengan permintaan negara pembeli untuk bisa

ikut melakukan lokalisasi beberapa bagian produksi, komponen, subsistem,

perakitan, dan juga sistem lengkap. Bentuk kerjasama ini bisa dilihat dari TAI dan

TUSAS yang berada di Turki dimana mereka berhasil mendapatkan lisensi

kerjasama untuk bisa memproduksi F-16. Dengan didapatkannya lisensi ini, Turki

berhasil membuat jalur produksi baru bagi negaranya sendiri dan mendapatkan

transfer teknologi yang lebih besar. Dengan adanya internasionalisasi industry

persenjataan maka diperlukanlah kebijakan pemerintah yang lebih liberal karena

dianggap akan menghasilkan alih teknologi yang lebih besar bagi negara penerima.

Internasionalisasi industry persenjataan harus didukung oleh kebijakan ekspor

pemerintah yang mendukung dengan cara mengkaji ulang kebijakan-kebijakan

ekspor yang tentunya akan memudahkan. Perjanjian internasional dianggap hanya

bisa menghambat proses ekspor senjata tersebut karena sebatas pada proyek-proyek

dan diperlukan perjanjian antar lembaga atau pemerintahan tentu akan memudahkan

proses internasionalisasi industry persenjataan (Sköns & Wulf, 1994).

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Italic

Formatted: Font: Italic

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

12

Dalam jurnal “European armament co-operation and the renewal of

industrial policy” motives yang dituliskan oleh Catherine Hoeffler tahun 2012

melihat kepada fokus pemerintah menggunakan organisasi regional yakni Uni Eropa

sebagai pembawa dampak ekonomi pada bidang pertahanan. Negara penghasil

persenjataan di eropa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris banyak melakukan

kerjasama dengan negara lain karena alasan fragmentasi pasar yang telalu kecil di

kawasan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan dibentuknya banyak kerjasama antar

kelembagaan yang bekerja di bidang pertahanan, salah satunya adalah OCCAR

dimana terdapat kebijakan-kebijakan baru yang dianggap dapat melakukan

restrukturisasi kebijakan sebelumnya dengan yang lebih sesuai dan fokus dengan apa

yang dituju. Kebijakan-kebijakan yang baru tersebut ialah kebijakan yang mengatur

mengenai pengadaan yang dilembagakan di tingkat eropa sehingga lebih mengarah

kepada arah denasionalisasi sebagian dari pengadaan pertahanan. Sedangkan yang

kedua ialah pembentukan organisasi dan peraturan yang lebih liberal dengan cara

mengimplementasikan pengadaan yang berorientasi pasar, fokus pada kompetisi dan

efektivitas biaya, sementara pertahanan nasional diliberalisasi (Hoeffler, 2012).

Jurnal karya Keith Hayward tahun 1998 dengan judul “Smart Procurement:

The European Dimension” menjelaskan mengenai kerjasama Trans-Nasional di

kawasan Uni Eropa dimana Inggris sebagai negara yang nilai kerjasama persenjataan

nasionalnya bekerja senilai 46% ingin mendorong pengembangan persenjataan

dengan negara-negara sekawasan yakni Uni Eropa dengan tujuan meningkatkan

kemandirian militer Eropa dengan mendorong efisiensi yang lebih besar dalam

pengadaan bersama dan meningkatkan kinerja dan interoperabilitas peralatan militer

Eropa. Hal ini dianggap tidak hanya membawa keuntungan dalam bidang militer saja

tetapi akan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara yang terlibat. Banyak

organisasi pengadaan senjata yang berada di kawasan Uni Eropa dan salah satunya

adalah OCCAR. Konsep ‘Smart Procurement’ yang digunakan dalam kerjasama ini

mengutamakan efisiensi dan efektivitas atas pengembangan dan pelaksanaan dalam

program ini. Namun terdapat perbedaan antara negara-negara anggota yang

menyebabkan lambatnya proses ini dimana hanya negara-negara yang menaruh uang

dalam proyek pengembangan ini yang bisa memberikan masukan dan ikut dalam

penelitian sedangkan negara yang tidak menaruh modal tidak bisa memberikan

masukan dan hanya ikut dalam pengerjaan proyek ini saja. Kebijakan-kebijakan yang

ada sekarang ini masih merumitkan struktur kerjasama dengan alasan efisiensi dan

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

13

efektivitas namun menurut penulis idealnya harus berdasarkan pada partissipasi

bersama. Sebagai titik acu, Uni Eropa melihat Amerika Serikat sebagai dasar untuk

kualitas teknis, tolak ukur pada harga dan produktivitas dimana penulis menganggap

langkah tersebut merupakan langkah yang sangat tepat. Penulis menilai ‘Smart

Procurement’ bukanlah suatu konsep yang bisa mengatasi semua masalah di kawasan

ini namun konsep ini bisa membuka jalan bagi pengembangan yang digerakkan oleh

anggaran versus dilema kemampuan. Oleh karena itu menurutnya ‘Smart

Procurement’ harus memperhatikan lingkungan strategis yang berubah dengan cepat

serta memperhatikan kepentingan industri dan teknologi (Hayward, 1998).

Literatur yang berjudul “Collaboration and European Defence Industrial

Policy” karya Keith Hartley tahun 2008 membahas mengenai kerjasama di regional

Uni Eropa dalam pengembangan pesawat tempur Eurofighter Typhoon yang

melibatkan Inggris, Jerman, Spanyol dan juga Italia. Pengembangan pertama kali

dilakukan oleh keempat negara pada tahun 1983 dengan ditandatanganinya kontrak

kerja pengembangan pesawat tempur buatan Uni Eropa dengan pertimbangan

pembelian pesawat dari Amerika Serikat. Analisa menunjukkan bahwa Uni Eropa

memiliki kesempatan untuk mengembangkan pesawatnya sendiri walaupun terdapat

beberapa ketertinggalan Uni Eropa dari Amerika Serikat dalam anggaran penelitian

dan pengembangan teknologi pesawat tempur. Seiring dengan berjalannya

kerjasama, hambatan-hambatan dalam proyek ini mulai bermunculan seperti

perkiraan biaya siklus hidup yang cenderung tidak dapat diandalkan dan manfaat

potensial yang seharusnya didasarkan pada tujuan kebijakan pemerintah. Hal ini

disebabkan karena adanya ciri khas perbedaan kebijakan pola kerjasama antara

Amerika Serikat dan Uni Eropa dimana Uni Eropa melibatkan semua negara yang

tergabung dalam kerjasama ini melibatkan semua negara yang terlibat dalam

pengembangan dan produksinya sedangkan Amerika Serikat melibatkan negara

hanya dalam produksinya saja. Masalah yang menurut Keith yang muncul sebagai

penghambat lainnya ialah pembagian kerja yang dianggap dialokasikan pada kriteria

politik dan kesetaraan bukan dari kriteria efisiensi yang berdasarkan kompetisi.

Namun kerjasama ini ternyata tidak semata-mata memiliki banyak permasalahan saja

tetapi banyak manfaat yang bisa diambil dari kerjasama pesawat terbesar antar

negara eropa ini. Negara yang bergabung dalam kolaborasi ini mendapatkan manfaat

ekonomi dan industri yang signifikan dalam bidang penyerapan ketenagakerjaan

dalam bidang aviasi, pengembangan teknologi pesawat tempur, biaya ekspor-impor

Formatted: Normal, Justified, Line spacing: single

Formatted: Font: Not Bold

Formatted: Font: Not Bold

14

yang menguntungkan, dan kemandirian industri karena pengalaman kerja (Hartley,

2008).

Melalui Di dalam tinjauan pustaka ini, penulis berusaha untuk

menambahkanmengakumulasi literatur dari hasil-hasil penelitian sebelumnya,

sehingga menambah penjelasan mengeanai isu ini dan juga menambah studi dalam

kerjasama industri strategis dalam proyek pembangunan pesawat tempur KFX/IFX.

Literatur pertama diambil dari buku Di dalam buku karya Drew dan Snow tahun

1988 yang berjudul Making Strategy: An Introduction to National Security Processes

and Problems. Drew dan Snow menyatakan bahwa security policy making

merupakan strategi dalam pembuatan keputusan untuk bisa mencapai tujuan kita

dengan cara-cara yang telah disepakati. Di buku ini tertulis bahwa Tterdapat enam

karakteristik / faktor yang dapat mempengaruhi proses security policy making di

Amerika Serikat yaitu: sifat dasar untuk melindungi negara, bertujuan untuk

menyelesaikan masalah eksternal, memiliki tujuan negatifve untuk menjauhi

campur tangan negara lain, kekuatan lawan, perkembangan teknologi dan

terakhir faktor perekonomian negara. Belakangan ini di dalamKondisi

kontemporer dari security policy making/strategy di Amerika Serikat banyak

dipengaruhi oleh perkembangan pesat dari teknologi yang tidak dapat terbendung.

Revolusi teknologi menyebar ke seluruh persenjataan militer dari yang tadinya hanya

pada pesawat dan tank tempur. Proses perkembangan teknologi menjadi masalah

baru dan penting dalam faktor pengambilan keputusan di bidang keamanan Amerika

Serikat (Drew & Snow, 1988).

Literatur kedua adalah buku Di dalam karya Hooker Jr. tahun 2014

yang berjudul The Grand Strategy of the United States. iaHooker

menyatakan bahwa dari sejak berdirinya Amerika Serikat sebagai negara

republik, national security making and strategy negara ini selalu dipengaruhi

oleh kebijakan dalam dan luar negerinya. Setiap security policy di Amerika

Serikat selalu berbeda-beda dalam menangani kasus di dunia menyesuaikan

masalah dan ancaman apa yang akan dihadapi. Penyususan kebijakan

keamanan Amerika Serikat sendiri selalu berdasarkan pada penggunaan

kekuatan untuk keamanan negara. Penilaian awal dalam pembentukan

kebijakan ini, pemerintah memulainya dengan melihat lingkungan keamanan

negara kemudian melihat pada tingkat ancamannya. Faktor-faktor utama

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

Formatted: Normal, Indent: First line: 0 cm, Line

spacing: single

Formatted: Font: Italic

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

15

dalam pembentukan dasar kebijakan keamanan utama di Amerika selalu

dilihat dari sejarah, tradisi, kultur politik, ekonomi, sosiologi, dan

teknologi. Selain itu terdapat juga faktor-fakor yang menjadi pertimbangan

dalam pembentukan kebijakannya seperti faktor lawan dan aliansi. Oleh

karena itu menurut R.D. Hooker, Jr. security policy making di Amerika

Serikat selalu berkembang seiringan dengan perkembangan teknologi

(Hooker Jr, 2014).

Literatur ketiga adalah Karya karya Raimonds Rublovskis, Dr.

Margarita Šešelgyte & Riina Kaljurand yang berjudul Defence And Security

For tThe Small. Mereka karya Raimonds Rublovskis, Dr. Margarita Šešelgyte

& Riina Kaljurand menyatakan bahwa dasar dari pengambilan keputusan

keamanan negara harus dimulai dari ukuran negara, letak geografis,

negara-negara tetangga dan pengalaman-pengalaman masa lampau

negara tersebut. Baru dari hal tersebut bisa mempermudah para ahli dalam

pengambilan keputusan dalam menganalisa apa saja yang menjadi faktor

dalam pembuatan kebijakan keamanan di Lithuania. Penulis mengutip karya

Johnston dalam pengambilan kebijakan keamanan dimana terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan keamanan yakni

lingkungan strategis, sifat musuh dan ancaman yang ditimbulkannya,

dan kekuatan militernya. Dalam menanggapi ancaman-ancaman tersebut

Johnson menganalisa sarana yang paling efektif untuk melawan ancaman

tersebut. Oleh karena itu Strategi Keamanan Nasional Lithuania, di dalam

buku putih strateginya bahwa terdapat penurunan konflik antar negara dan

peningkatan ancaman-ancaman non-tradisional khususnya di bidang

ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi. Oleh karena itu security policy

making dari Lithuania dipengaruhi oleh beberapa faktor dari ancaman non

tradisional tersebut (Rublovskis, Šešelgyte, & Kaljurand , 2013)

Di dalam jurnal The Role Of Defense Diplomacy Toward Defense System

Equipment Procurement karya Yohanes Sulaiman menyatakan bahwa pada

tanggal 20 Juli 2016 di dalam rapat terbatas bidang pertahanan dan keamanan

dengan Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pengadaan kebijakan

pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI harus

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Not Italic

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line spacing: 1,5

lines

16

memenuhi kebutuhan setiap matra. Selain itu Presiden Joko Widodo

menekankan tujuh kriteria dalam pengambilan kebijakan pengadaan

alutsisista (tidak meliputi aspek dan operasional) yakni transparansi,

adanya alih teknologi, dapat memenuhi Kekuatan Pokok Minimun 2024,

menerapkan pola pengadaan jangka panjang dan jangka pendek,

optimalikasi kerjasama pengembangan dengan negara lain,

memperhatikan daur hidup alutsista dan pengadaan melalui pemerintah

ke pemerintah (G to G). Presiden menyatakan bahwa dalam pengadaan

alutsista ini diperlukan keselarasan pada UU no. 16/2012 tentang Industri

Pertahanan yang dimana UU ini menekankan bahwa kerjasama pertahanan

harus meningkatan alih teknologi dari industri asing ke industri dalam negeri.

Yang paling utama dari pengadaan alutsista TNI. Dalam hal ini, pengadaan

alutsista tersebut seharusnya mampu menjadi bargaining power Indonesia di

mata dunia khususnya di kawasan Asia Tenggara (Sulaiman, 2016).

Dalam jurnal yang dituliskan oleh Armandha dan tim dalam karyanya yang berjudul

“Ekonomi Politik Kerja Sama Korea Selatan -– Indonesia dalam Joint Development

Pesawat Tempur KFX/IFX” berhasil menjelaskan akan alasan mengapa Indonesia

dan Korea Selatan menjalin kerjasama. Menurutnya terdapat tiga fakctor yang

membuat kerjasama proyek pembuatan pesawat tempur KFX/IFX ini berhasil

berjalan diantaranya, pertama, alasan kerjasama ini bisa membangun kemandirian

pertahanan Indonesia. Dengan ini Indonesia diharapkan tidak lagi tergantung pada

persediaan senjata dari asing apabila Indonesia terkena embargo dari negara

produsen senjata. Faktor kedua ialah dengan adanya kerjasama ini bisa

meningkatkan ilmu teknologi pertahanan Indonesia karena adanya alih teknologi dari

asing ke Indonesia dan faktor yang terakhir adalah kerjasama ini bisa berkontribusi

baik kepada perekonomian Indonesia. Dengan kerjasama antara Indonesia dan Korea

Selatan ini Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yakin akan Indonesia yang

akan mampu memproduksi pesawat tempur buatan sendiri (Armandha, Sumari, &

Rahmadi, 2010).Literatur yang dituliskan oleh Professor Trevor Taylor tahun 1998

dengan judul “Smart procurement and the partnership with industry” mengambil

studi kasus pengambilan keputusan dalam pembelian dan kerjasama industri

pertahanan Inggris di kawasan Uni Eropa dengan menggunakan konsep “Smart

Procurement”. Menurutnya kerjasama antara kedua elemen yakni pemerintahan dan

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Italic

Formatted: Indent: First line: 0 cm

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: Bold

17

industri harus memperhitungkan beberapa aspek penting bagi kedua belah pihak

yang diantaranya adalah insentif industri, perbedaan etos dan budaya kerja yang

mungkinan restrukturisasi industri pertahanan untuk mencapai bisnis transnasional,

peran persaingan di sektor pertahanan dan yang terakhir ialah peran industri dalam

dukungan peralatan dan operasi militer. Konsep ‘Smart Procurement’ sendiri

memiliki tujuan jangka panjang dan harus diimplementasikan dengan hati-hati jika

ingin mencapai tujuan atas pengadaannya. Trevor menyatakan bahwa konsep ‘Smart

Procurement’ merupakan konsep yang efektif dan efisien sehingga dapat menghemat

pengeluaran pemerintah kedepannya dalam pengadaan senjata namun dalam

membentuk hal itu diperlukanlah reformasi di dalam bidang keamanan yang

dianggapnya sangat membutuhkan uang yang sangat besar dan komitmen yang kuat

dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi. Berfokus pada Eropaisasi pengadaan

pertahanan, kontribusi ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan tingkat

Eropa sebagai wilayah baru untuk patriotisme ekonomi di sektor persenjataan.

Negara tidak lagi hanya mengandalkan pada kemampuan industri, tapi juga

kerjasama dengan negara lain (Taylor, 1998).

Di dalam Jurnal Pertahanan yang berjudul “Peran Diplomasi Pertahanan

Dalam Implementasi Kebijakan Kerja Sama Program KFX/IFX Indonesia-Korea

Selatan” yang dituliskan oleh Indra Nurrohman, Dadang Gunawan, dan Sutrimo

Sumarlan pada tahun 2019 membahas mengenai kepentingan Indonesia dalam

melakukan pengembangan bersama proyek pesawat tempur KF-X/IF-X. Menurutnya

kerjasama ini memang harus dijadikan prioritas utama dalam mencukupi kebutuhan

militer Indonesia. Pemilihan dalam pembangunan matra udara dianggap pilihan yang

logis bagi pemerintah karena 2 3/3 wilayah Indonesia merupakan wilayah udara yang

rentan terjadi pelanggaran wilayah udara. Diharapkan dengan diperkuatnya matra

udara ini diharapkan kekuatan ini juga dapat menutupi pertahanan di darat dan laut.

Pilihan pemerintah Indonesia untuk melakukan joint development dengan Korea

Selatan dianggap merupakan pilihan yang tepat karena kerjasama ini tidak hanya

sekedar interaksi penjual dan pembeli namun interaksi ini merupakan interaksi yang

melibatkan kedua belah pihak dari awal sampai akhir dalam proses kerjasamanya.

Menurutnya ada dampak jangka panjang yang dapat diambil oleh Indonesia jika

proyek ini berhasil dilaksanakan seperti dampak ekonomi. Dengan adanya

kemampuan Indonesia dalam memproduksi pesawat tempur ini kedepannya maka

diharapkan dapat membawa devisa tambahan bagi Indonesia. Namun sebelum

18

membawa keuntungan bagi Indonesia kedepannya maka dibutuhkan transfer

teknologi dan Transfer of Knowledge. Data-data utama dalam pembangunan pesawat

tempur KF-X/IF-X ini menjadi kunci utama dalam pembangunan kemandirian

industri pertahanan. Untuk melihat dinamika program proyek pembangunan bersama

ini penulis menggunakan teori kepentingan nasional dimana menurutnya terdapat 3

klasifikasi kepentingan dalam proyek ini yang dimana tujuan utama (Core Values)

dari Indonesia dalam kerjasama ini merupakan upaya pemerintah dalam

meningkatkan postur keamanan dan pertahanan Indonesia. Sedangkan klasifikasi

kedua yakni Middle Range Objectives Indonesia dalam kerjasama ini dapat

membawa peningkatan perkonomian Indonesia kedepannya dan klasifikasi terkakhir

yakni Long Range Goals dari kerjasama ini merupakan perwujudan tujuan negara

Indonesia yang berdasarkan perdamaian dan ketertiban dunia. Kerjasama Indonesia

dengan Korea Selatan ini ternyata mengalami beberapa hambatan yang seharusnya

diantisipasi oleh kedua belah pihak. Hambatan-hambatan ini kebanyakan terjadi pada

faktor-faktor finansial dan teknologi dimana hambatan tersebut merupakan hal yang

sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu penulis menyatakan diperlukanlah diplomasi

pertahanan yang dapat diandalkan dalam menyelesaikan beberapa masalah yang

terjadi dalam proyek tersebut.

1.6 Kerangka Teori

Internasionalisasi produksi senjata merupakan fenomena yang terjadi sejak

akhir tahun 1980-an. Negara-negara khususnya di kawasan eropa barat melakukan

ambil alih atau melakukan joint ventures dalam produksi persenjataannya. Menurut

Elisabeth Sköns dan Herbert Wulf internasionalisasi produksi senjata memiliki tiga

bentuk dasar yakni ekspor, investasi asing langsung, dan pengaturan kerjasama

internasional. Terdapat dua jenis internasionalisasi produksi senjata yakni dengan

melakukan kerjasama gabungan atau kerjasama dengan pembayaran bersama.

Kerjasama gabungan ini bisa terjadi antara dua atau lebih industri persenjataan yang

bersaing dengan maksud mengurangi resiko dan biaya yang dikeluarkan dalam

pengembangan persenjataan yang sangat mahal. Kerjasama gabungan bisa menjadi

alternatif bagi kedua industri untuk melakukan pengembangan dengan membagi

biaya dan resiko yang sangat besar.

Jenis kedua yaitu kerjasama dengan metode pembayaran bersama dimana

negara pembeli bisa ikut dalam pengembangan persenjataan. Keikutsertaan serta

Formatted: English (United States)

19

negara pembeli dalam pengembangan persenjataan membuat mereka dapat

melakukan lokalisasi atas persenjataan tersebut nantinya. Beberapa hal yang dapat

diambil dari adanya lokalisasi ini berupa bagian produksi, komponen, subsistem,

jalur perakitan dan juga sistem lengkap. Dengan keterampilan produksi yang

mumpuni maka tidak menutup kemungkinan bagi negara pembeli jika akhirnya

mereka bisa mendapatkaan lisensi untuk memproduksi persenjataan tersebut secara

mandiri. Oleh karena itu jenis kedua dianggap lebih membawa banyak manfaat

dalam proses internasionalisasi produksi senjata. Negara pembeli akan lebih banyak

mendapatkan transfer teknologi ikut serta dalam produksi persenjataannya. Namun

keberhasilan ini membutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih liberal dalam proses

transfer teknologi tersebut (Sköns & Wulf, 1994). Oleh karena itu jenis kedua ini

merupakan jenis yang sesuai dengan kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia

dengan Korea Selatan dalam proyek KF-X/IF-X dimana kedua negara terus terlibat

dalam melakukan pengembangan bersama mulai dari awalnya proyek ini

berlangsung.

Tabel 1.1 Pengertian, Manfaat dan Hambatan dari Internasionalisasi Produksi

Senjata

Definisi internasionalisasi

produksi senjata

Strategi industri pertahanan yang secara aktif

melakukan kerjasama dengan industri pertahanan

lainnya dalam proses produksi senjata. Strategi ini

diterapkan karena alasan peningkatan biaya penelitian

dan pengembangan sehingga menjadi lebih murah.

Manfaat Peningkatan sisi ekonomi finansial, meningkatnya

kemampuan industri persenjataan, transfer of

technology (ToT), biaya yang lebih efisien, penyerapan

tenaga kerja.

Hambatan/tantangan Keterbatasan dalam memberikan masukan dalam

proyek pengembangan, perbedaan kebijakan

pemerintah, dan perbedaan pola kerjasama.

Dengan disetujuinya kerjasama antar industri pertahanan maupun negara

maka kerjasama ini dipastikan dapat membawa banyak keuntungan bagi kedua belah

pihak. Manfaat ekonomi bagi perekonomian negara menjadi salah satu alasan

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

20

mengapa kerjasama produksi senjata ini bisa terjadi (Hayward, 1998).

Internasionalisasi produksi persenjataan dapat mengurangi resiko dan tanggungan

biaya sehingga lebih kecil dibandingkan dengan pengembangan yang seluruh

biayanya ditanggung sendiri (Sköns & Wulf, 1994). Biaya yang telah dikeluarkan

sebagai modal awal dalam kerjasama pengembangan persenjataan diyakini menjadi

manfaat yang dapat menghemat pengeluaran pemerintah dalam pengadaan senjata

kedepannya (Taylor, 1998). Tenaga kerja yang sebelumnya pernah terlibat memiliki

pengalaman kerja yang lebih baik dan bisa menurunkan ilmu yang didapatkan

kepada tenaga kerja baru. Kemandirian produksi persenjataan membuat negara

mendapatkan keuntungan lebih. Dengan kemampuan produksi, negara tidak lagi

harus bergantung kepada negara lain dan mereka bisa melakukan penjualan kepada

negara-negara lain yang belum bisa memproduksi persenjataan secara mandiri.

Penjualan persenjataan ke negara lain akan membawa devisa bagi negara karena

adanya biaya ekspor impor (Hartley, 2008). Negara penghasil senjata di kawasan

Eropa seperti Inggris dan Jerman juga melakukan kerjasama serupa dengan alasan

fragmentasi pasar yang terlalu kecil (Hoeffler, 2012). Pengadaan dengan tujuan

jangka panjang ini dianggap efektif dan efisien dalam mewujudkan kemandirian

militer negara namun awal dari pengadaan ini diperlukan biaya yang sangat besar

dan komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi kedepannya (Taylor,

1998).

Adanya transfer teknologi dari negara pemegang lisensi kepada negara lain

yang ingin melakukan pengembangan persenjataan ternyata membawa manfaat

tersendiri. Kemampuan industri yang membawa ilmu dan pengalaman menurut Keith

Hayward dapat meningkatkan kinerja serta interoperabilitas dari industri pertahanan

(Hayward, 1998). Dengan proses pembelajaran ini diharapkan dapat menciptakan

kemandirian industri pertahanan melalui pengalaman kerja yang telah berlangsung

(Hartley, 2008). Hal ini ternyata dituliskan oleh Keith Hartley dimana di dalam

journalnya ia menyatakan bahwa dalam pengembangan pesawat tempur Eurofighter

Typhoon membawa keuntungan tidak hanya dalam bidang ekonomi saja tetapi dalam

penyerapan tenaga kerja dan pengembangan teknologi pesawat tempur antar negara

di kawasan Eropa (Hartley, 2008). Industri yang semakin mandiri dapat membuat

negara pembeli dengan perjanjian offset lokalisasi bisa memproduksi persenjataan

dengan ijin lisensi kedepannya (Sköns & Wulf, 1994).

Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First

line: 0 cm, Line spacing: single

21

Namun dibalik semua manfaat yang didapatkan oleh negara dalam

melakukan internasionalisasi produksi senjata ternyata banyak hambatan-hambatan

dalam implementasinya. Diperlukan analisa yang matang sehingga bisa

meminimalisir hambatan yang dapat mengganggu ketika program ini sudah berjalan.

Hal ini disebabkan karena banyaknya perbedaan kebijakan antar pemerintah dan

perjanjian. Menurut Sköns & Wulf terdapat dua hambatan yang mempengaruhi

dalam berjalannya kerjasama persenjataan ini. Pertama adalah hambatan ekonomi

yang dapat dinilai dari tingkat kepemilikan negara, kontribusi pemerintah dalam

pembiayaan Research and Development, dan praktik dan kontrak pengadaan khusus

(Sköns & Wulf, 1994). Keterbatasan negara yang tidak menaruh modal dalam

pengembangan persenjataan tidak bisa memberikan masukan juga bisa menjadi salah

satu alasan terhambatnya proses kerjasama ini. Negara tersebut hanya bisa terlibat

dalam proses produksi saja tanpa mengetahui bagaimana dengan proses

pengembangannya (Hayward, 1998). Diperlukanlah kejelian dalam melakukan

kontrak kerjasama pengembangan persenjataan karena industri ini merupakan

industri strategis yang sangat penting bagi negara-negara pemegang lisensi tersebut.

Kedua adalah hambatan politik yang meliputi produksi dan transfer teknologi

(Sköns & Wulf, 1994). Pemerintah perlu memperhitungkan yakni mengenai

perbedaan etos dan budaya kerja serta insentif industri (Taylor, 1998). Selain itu

pemerintah juga harus memperkirakan biaya siklus hidup dari persenjataan tersebut

yang sulit untuk diandalkan. Mengenai pembagian kerja, pihak terkait harus mengerti

dan memahami pembagian yang akan didapatkannya sejak pertama kali

menandatangani perjanjian kerjasama karena setiap negara memiliki perbedaan

dalam pembagian kerja. Dalam upaya mewujudkan kemandirian militer, negara

pembeli seharusnya terlibat di dalam segala aspek pengembangan persenjataan

tersebut baik dalam tahap pengembangan teknologi, pengembangan prototype

maupun pada tahap produksi. Namun harus diingat bahwa terdapat negara pemegang

lisensi yang dalam perjanjiannya hanya menginginkan negara pembeli hanya terlibat

dalam tahap produksinya saja (Hartley, 2008).

Tabel 1.2 Variabel dan Indikator dari Konsep Internasionalisasi Produksi

Senjata

Konsep Variabel Indikator

22

Internasionalisasi Produksi

Senjata

Faktor Ekonomi

Tingkat kepemilikan

negara

Kontribusi pemerintah

dalam pembiayaan

Research and

Development

Praktik dan kontrak

pengadaan khusus

Faktor Politik Produksi dan transfer

teknologi persenjataan

Oleh karena itu diperlukanlah upaya-upaya dari pemerintah dan pihak terkait lainnya

dalam melakukan internasionalisasi industri persenjataan. Elisabeth Sköns dan

Herbert Wulf menyatakan bahwa diperlukannya beberapa kebijakan pemerintah yang

lebih liberal sehingga negara penerima bisa mendapatkan transfer teknologi yang

lebih besar. Selain itu guna menjadikan industri persenjataan menjadi sebuah industri

yang membawa dampak ekonomi menurutnya pemerintah harus mendukung dengan

melakukan pengkajian ulang atas kebijakan ekspor pemerintah. Uang yang telah

dikeluarkan oleh pemerintah tidak akan ada gunanya jika kebijakan ekspor

persenjataan tidak mendukung untuk melakukan ekspor ke negara lain (Sköns &

Wulf, 1994).

c. 1.7 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dari penelitian ini maka hipotesis penulis ialah:

walaupun Indonesia dan Korea Selatan telah menjalin kerjasama dalam bidang

pertahanan yang cukup panjang namun hubungan baik dalam kerjasama sebelumnya

tidak mempengaruhi kelancaran dalam proyek pengembangan bersama pesawat

tempur KF-X/IF-X. Sebelumnya proyek ini sempat tertunda beberapa kali karena

beberapa alasan sampai akhirnya pemerintah Indonesia resmi akan melakukan

peninjauan kembali atas keberlangsungan proyek ini. Oleh karena itu menurut

jawaban sementara dari penelitian ini disebabkan oleh karena adanya faktor:

finansial, teknologi, dan juga kebijakan pemerintah.

Perubahan Indonesia dalam proses modernisasi alutsista dari yang tadinya

hanya membeli pesawat dan sekarang mengembangkan pesawat tempur sendiri

disebabkan oleh adanya faktor kepentingan nasionalnya.

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:

single, No bullets or numbering

23

d. 1.8 Metodologi Penelitian

Dalam mengkaji penelitian ini penulis akan menggunakan metode penelitian

kualitatifntitatif dalam mengelola data yang diperoleh melalui sumber primer dan

sumber primer dan sekunder. Sumber primer didapatkan penulis melalui wawancara,

situs resmi pemerintahan,website situs resmi industri pertahanan yakni PTDI, dan

situs resmi pemerintahan yang terkait dalam studi kasus ini seperti Kemhan dan

Kementerian Lembaga terkait. Sedangkan sPengumpulan data melalui sumber

primer diperoleh dari wawancara dengan sumber asli atau pertamang. Sedangkan

sumber sekunder akan didapatkan penulis dari arsip, koran, jurnal-jurnal terkait,

buku, artikel, dokumen, penelitian terdahulu dan juga.. Dengan terkumpulnya data-

data terkait untuk mendukung penulisan ini, penulis akan mengolah dan

menganalisanya secara sistematis yang dimulai dari apa itu kerjasama pesawat

tempur KF-X/IF-X, bagaimana kerjasama ini bisa terjadi, keberlangsungan

kerjasama ini, sampai dengan hambatan-hambatan dalam kerjasama pengembangan

pesawat tempur sehingga terjadilah proses renegosiasi ini. Penulis akan mengolah

dan menganalisa semua data-data yang telah didapatkan dari berbagai macam

sumber dengan mempertimbangkan kepentingan dan ketepatan data tersebut

sehingga menghasilkan narasi yang bersandar pada kaidah penelitian ilmiah.

e. 1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bBab, yaitu;

2.3.6.1.a. BAB I – PENDAHULUAN

Berisikan dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

signifikasi penelitian atau manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

konseptual, hipotesis, metode penelitian, dan struktur pembagian bab dalam

peneliitian ini.

2.3.6.2.b. BAB II – SEJARAH DAN KONTEKS

Pada bab ini akan memaparkan terkait sejarah kerjasama Indonesia dan Korea

Selatan dalam industri pertahanan, dan juga menjelaskan mengenai kerjasama

program pengembangan dari pesawat tempur KF-X/IF-Xperubahan pola

pembelian pesawat menjadi pembuatan pesawat oleh Indonesia.

2.3.6.3.c. BAB III – PEMBAHASAN

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering

Formatted: Font: Not Italic

Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:

single, No bullets or numbering

Formatted: Line spacing: 1,5 lines

Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: Left: 0

cm, Line spacing: single

Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,

Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +

Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm

Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5

Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,

Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left

+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm

Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5

Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,

Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left

+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm

24

Bab ini akan berisikan mengenai hambatan – hambatan yang terjadi dalam

internasionalisasi produksi persenjataan yang dilakukan oleh Indonesia

dengan studi kasus pengembangan bersama pesawat tempur KF-X/IF-XAkan

diisi dengan penjelasan terkait faktor-faktor yang menyebabkan berubahnya

kebijakan pengadaan pesawat tempur, dan alasan mengapa Indonesia mau

bekerja sama dengan Korea Selatan dalam proyek ini.

2.3.6.4.d. BAB IV – PENUTUP

Akan diisi dengan penjelasan singkat terkait hasil penelitian mengenai alasan

Indonesia membangun pesawat tempur sendiri dalam proyek KFX/IFX.

Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5

Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,

Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left

+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm

Formatted: Line spacing: 1,5 lines