1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Korea Selatan pertama kali melakukan penawaran kerjasama kepada Indonesia untuk
melakukan pengembangan pesawat tempur antar kedua negara. Rencana ini sendiri
ternyata sudah lama digagaskan oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung tepatnya
pada bulan Maret 2001. Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua
negara dalam bidang persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam
30-40 tahun kedepan (Afiff & Ibnu, 2016). Selain itu ancaman Korea Utara kepada
Korea Selatan semakin memicu Korea Selatan untuk melakukan pengembangan ini
(Kompas, 2016). Sedangkan dari sisi Indonesia, kerjasama ini dilakukan karena
adanya keinginan untuk mewujudkan kemandirian militer. Industri pertahanan dalam
negeri sampai saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan kebutuhan alat
pertahanan dan keamanan yang dibutuhkan maka diperlukanlah pihak asing untuk
melakukan kerjasama. Pada 6 Maret 2009 kedua negara melakukan penandatanganan
pertama Letter of Intent (LoI) di Jakarta sebagai pernyataan persetujuan kedua
negara akan dibentuknya kerjasama pengembangan bersama (Kemhan, 2014).
Penandatanganan ini diwakilkan oleh Sekretaris Jendral Kementerian Pertahanan
Syafrie Syamsudin dan Kepala Defense Acquisition Program Administration
(DAPA) (Indopos, 2017).
Komitmen dalam pembangunan kemampuan militer yang mandiri semakin
diperkuat dengan diinisiasikannya program Minimum Essentials Force (MEF) pada
tahun 2010. Program ini sendiri merupakan strategi pembangunan kekuatan
Komponen Utama yang ideal. MEF sendiri tidak diarahkan pada konsep perlombaan
persenjataan/arms race maupun sebagai strategi pembangunan kekuatan untuk
memenangkan perang total tetapi sebagai suatu bentuk kekuatan pokok yang
memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal (Kemhan, 2012).
Menindaklanjuti tawaran ini, kedua negara kembali menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 15 Juli 2010 di Seoul, Korea
Selatan yang dilanjutkan dengan kontrak Technology Development Phase Program
(TDP) pada tanggal 20 April 2011 (Kemhan, 2014). Perjanjian tersebut menyatakan
persetujuan untuk melakukan pengembangan bersama di bidang militer khususnya
Formatted: Centered, Line spacing: 1,5 lines
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering
Commented [T1]: -Cari tahu kenapa Indonesia memilih utk
kerja sama dgn Korsel untuk melaksanakan proyek KF-X / IF-X -Tabel sejarah pembelian -Menjelaskan kenapa Indonesia kerja sama dgn Korsel krn biasanya dlm bidang militer Indonesia kerja sama dengan Rusia -Buat tabel SIPRI ke Excel
Formatted: Font: Italic
Formatted: Do not check spelling or grammar
2
dalam pembuatan pesawat tempur, yang dinamakan dengan proyek Korean Fighter
Xperiment / Indonesia Fighter Xperiment atau disingkat dengan KF-X/IF-X.
Penandatanganan ini juga menandai dimulainya pengembangan fase pertama yakni
fase Technology Development Phase (TDP) dari tiga fase pengembangan pesawat
tempur. Kesepakatan ini menandai akan adanya perubahan pola pengadaan pesawat
tempur Indonesia, dari yang tadinya hanya membeli (konsumsi) menjadi ikut
mengembangkan (inovasi) (Afiff & Ibnu, 2016).
Sebelum pengembangan fase pertama dilakukan, Korea Selatan dilaporkan
menyatakan akan ketidakpastian atas persyaratan proyek pengembangan pesawat
tempur ini. Rencana awal dari proyek ini ialah keinginan untuk membangun pesawat
tempur generasi ke 5. Namun dengan adanya alasan kemampuan teknologi yang
belum mencukupi maka pada September 2009 Korea Selatan memutuskan untuk
membangun pesawat generasi 4,5. Dengan adanya kepastian atas persyaratan proyek
tersebut Indonesia dan Korea Selatan mulai memasuki fase pertama dari
pengembangan bersama ini (Defense Industry Daily, 2008). Terhentinya proyek
kerjasama ini kembali terjadi setelah selesainya fase pertama yang telah diselesaikan
dalam waktu 20 bulan. Melalui surat resmi yang dikirimkan oleh DAPA pada 5
Maret 2013 lalu menyatakan adanya kendala teknis dan pendanaan dari
keberlangsungan proyek ini. Hal ini disebabkan karena belum adanya persetujuan
Parlemen Korea Selatan mengenai anggaran yang akan digunakan pada fase kedua.
Walaupun terjadi penundaan, Korea Selatan tetap melakukan 'Economic Feasibility
Study' atas program ini (Suara Pembaruan, 2015). Dengan komitmen kuat kedua
negara untuk menyelesaikan proyek ini maka proyek ini kembali dilaksanakan pada
Oktober 2014 dengan ditandatanganinya MoU oleh kedua belah pihak.
Untuk ketiga kalinya proyek pengembangan bersama ini harus terhenti pada
pada tahun 2017 lalu. Hal ini merupakan permintaan Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo yang meminta evaluasi untuk meninjau kerjasama atas target proyek
ini dengan anggaran yang ada. Pada 9 November 2017 Presiden RI Joko Widodo
memutuskan untuk mengevaluasi kembali implementasi program ini. Ada beberapa
alasan mengapa Presiden menghentikan program ini sementara dalam waktu yang
belum ditentukan seperti alasan finansial dan teknologi (Nurrohman, Gunawan, &
Sumarlan, 2019). Pada tahun 2017 lalu diketahui bahwa Indonesia ternyata terlambat
melakukan pembayaran tahunan karena Kementerian Pertahanan tidak
menganggarkan biaya pembayaran kewajiban tahunan di dalam APBN tahun 2016
Formatted: Do not check spelling or grammar
3
dan tahun 2017.Kementerian Pertahanan Indonesia juga menyatakan niatnya untuk
melakukan renegosiasi atas proyek ini yang dimana menurutnya MoU yang telah
ditandatangani belum memberikan keuntungan Indonesia karena adanya intervensi
Amerika Serikat yang telah melakukan pembatasan transfer atas lisensi teknologi
dalam pembuatan pesawat tempur saat ini. (DPR-RI, Keberlanjutan Program
Pesawat Tempur KFX/IFX Dalam Industri Pertahanan Indonesia, 2018). Dengan
adanya kendala-kendala yang terjadi dalam proses kerjasama tentu menjadi
penghambat bagi jalannya kerjasama ini. Bukan hal yang dapat dihindari bahwa
akhirnya target awal yang ditentukan oleh kedua negara mengakibatkan pada
mundurnya target pencapaian atas fase-fase pengembangan yang akan dilakukan.
1.1.
Sejak berdiri didirikannya negara ini pada tahun 1945 laluhingga saat
ini, Indonesia cenderung mengimpor hampir semua peralatan militer mulai dari
persenjataan, tank, kapal militer dan jugahingga pesawat tempur. Jenis pesawat
militer yang banyak dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat
tempur, pesawat tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini
didatangkan ke Indonesia dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat,
Russia, Korea Selatan, Brazil, Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).
(cek sumber SIPRI). . Dalam Untuk membangun kapabilitas suatu negara yang bisa
melindungi segenap bangsa negara ini secara mandiri tanpa ketergantungan kepada
negara asing ini, dibutuhkan tentu tidak mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan,
oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan serta sumber daya manusia yang
berkualitas untuk membangun kapabilitas militer yang mandiri tanpa adanya
ketergantungan dengan negara asing kedepannya. Jenis pesawat militer yang banyak
dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat tempur, pesawat
tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini didatangkan ke Indonesia
dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat, Russia, Korea Selatan, Brazil,
Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).
PSeperti yang diketahui, pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno (pada tahun
1945-1967) Indonesia memiliki kecenderungan lebih dekat dengan blok timur yakni
Uni Soviet. Hal ini disebabkan karena pada masa itu Amerika Serikat melakukan
mengembargo peralatan militer terhadap Indonesia atas yangtujuan Indonesia untuk
Formatted: Normal, Justified, Line spacing: single, Nobullets or numbering
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
4
melawan Belanda, yang merupakan sesama negara anggota NATO, di Papua Barat
(Ggerakan Trikora) yang merupakan sesama negara anggota NATO. Pada masa ini
Indonesia dan Uni Soviet hampir bekerja di segala bidang, tak terkecuali dan salah
satunya di bidang militer. Soviet memberikan batuan dana kepada Indonesia dalam
proses moderinisasi persenjataan bagi TNI serta memberikan perlatihan teknis
(Yuliadi, 2015). Sejak adanya gerakan Trikora, tersebut membuat Indonesia
‘kebanjiran' perlengkapan militer buatan Soviet1 seperti Kapal Perang tipe Sverdlov,
12 kapal selam kelas Whiskey, 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, 30
unit pesawat MiG-15, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4,
berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B
(Lebang, 2010) seperti . Pembelian alutsista dengan total US$ 2.5 miliar dari Uni
Soviet membuat Indonesia memiliki sebanyak 104 kapal tempur yang pada saat ini
salah satu yang ditakuti dan tercanggih diantara negara-negara baru lainnya.
Indonesia juga sempat menggunakan beberapa pesawat buatan Soviet yang
diantaranya adalah 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, 30 unit
pesawat MiG-15, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4, serta
berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B,
12 Tupolev TU-2, dan 4 Lavockhin La-11 (Russian Thunderbolt). Selain itu juga
Indonesia mendapatkan dan 12 jet tempur MiG-17 yang merupakan hibah dari
Pemerintah Cina untuk pembebasan Irian Barat (Sulindo, 2017). Pada tahun 1962
embargo Amerika Serikat terhadap Indonesia berakhir, sehingga membuka jalan
untuk Selain melakukan pembelian dengan Soviet ternyata Indonesia juga tetap
melakukan pembelian peralatan militer dengan Amerika Serikat pada tahun 1962
berupa 10 pesawat Hercules tipe B yang dilakukan bersamaan dengan pada saat
kunjungan Presiden Soekarno ke Amerika Serikat dan ditandai dengan diakhirinya
embargo terhadap Indonesia (Bagas, 2012).
Di masa orde baru yakni dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, kiblat
Indonesia berubah menjadi ke blok barat. Didasari oleh keinginan bersama dalam
memberantas paham komunisme, Indonesia menjalin hHubungan baik dengan
Amerika Serikat ini terbentuk sejak tidak lagi menentang Barat dan keinginan
bersama dalam memberantas paham komunisme. Dana yang dikeluarkan oleh
1 Kapal Perang tipe Sverdlov, 12 kapal selam kelas Whiskey, Pembelian alutsista dengan total US$ 2.5 miliar dari Uni Soviet membuat Indonesia memiliki sebanyak 104 kapal tempur yang pada saat ini salah satu yang ditakuti dan tercanggih diantara negara-negara baru lainnya
Formatted: Font: 12 pt
Formatted: Font: 12 pt
Formatted: Font: 10 pt
5
Pemerintah Indonesia untuk membeli Ssemua peralatan canggih dari Uni Soviet
terpaksa harus dipensiunkan sesuai dengan tuntutan Amerika Serikat (Bagas, 2012).
Pada masa kepemimpinanSelama 32 tahun menjabat Presiden Soeharto selama 32
tahun menjabat, Indonesia kedatanganmengimpor banyak sekali pesawat militer dari
berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Korea Selatan dan juga Brazil.
Pembelian ini berupa C-130 Hercules, C-140 Jetstar dan Helikopter Bell-47-J dan
Mig-19, AN-12 Antonov, Helikopter MI-4 dan MI-6 dari Soviet (kenapa masih ada
pesawat dari Soviet?? Cek SIPRI). Pada pertengahan dekade 1970-an Indonesia
kembali diperkuat dengan adanya pembelian pesawat militermengimpor Fokker F-
27, helikopter Puma SA-330, helikopter latih Bell 47G Sioux dan AT-16 Harvard
produksi Amerika Serikat Fokker F-27, helikopter Puma SA-330, helikopter latih
Bell 47G Sioux dan AT-16 Harvard. Selain membeli Indonesia pada masa ini juga
mendapatkan hibah berupa pesawat yakni F-86 Sabre yang merupakan hibah dari
pemerintah Australia dan T-33 dari pemerintah Amerika Serikat (Santosa, 2015).
Pada tahun dekade 1980-an, kekuatan Indonesia kembali diperkuat oleh pesawat
militer baru yakni F-5 Tiger II, pesawat A-4 Sku Hawk dan pesawat latih Hawk MK-
53 yang memiliki teknologi dalam mengintau dan pengamatan wilayah permukaan.
Pada tahun 1989 Soeharto mendatangkan pesawat Multirole F-16 Fighting Falcon
dan Radar Thomson dan Plessey. Di masa akhir jabatannya Soeharto yakni tahun 90-
an kembali mendatangkanmembeli pesawat CN-235, NAS 332 Super Puma (dua ini
pesawat produksi lokal, bukan impor) dan Radar Plessey AR-325. Alutsista ini
ditempatkan di Skadron Udara 12 dan 1 (Kuwado, 2018).
B.J. Habibie merupakan presiden ketiga Republik Indonesia yang dikenal
sebagai pendiri salah satu suksesorindustry strategis berteknologi tinggi, salah
satunya adalah pabrik dirgantara milik Indonesia yang dikenal dengan Industri
Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang sekarang sudah berubah nama menjadi PT
Dirgantara Indonesia (PTDI). Habibie sebelumnya menjabat sebagai mentri riset dan
teknologi/kepala BPPT. Pada masa jabatannya tecatat Indonesia sama sekali tidak
membeli pesawat tempur tetapi malah mengembangkan pesawat militer lainnya di
PTDI (Salah banget ini). PT DI sendiri kebanyakan memproduksi pesawat angkut
militer (CN212 dan CN235), helicopter (EC725, H215), persenjataan (roket FFAR)
dan juga perawatan pesawat dengan melakukan kerjasama dengan negara produsen
lainnya baik itu membeli lisensi maupun melakukan transfer teknologi i. Beberapa
pesawat hasil rancangan PTDI antara lain adalah EC725, NC212, H215, CN235 dan
Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
6
masih banyak produk dirgantara lainnya. (DeutscheWelle, 2017) (langsung cek
website perusahaannya saja).
Pada masa pemerintahan presiden keempat Indonesia yaitu Abdurrahman
Wahid yang berlangsung kurang dari dua tahun, Indonesia tercatat hanya pernah
melakukan pembelian pesawat tempur bekas negara Israel dengan tipe F-16 (Putra,
2012). Presiden Wahid digantikan oleh
Megawati Soekarnoputri merupakan sebagai presiden kelima dan perempuan
pertama Republik Indonesia. Pada masa pemerintahannya, Megawati tercatat hanya
pernah melakukan pembelian Sukhoi Su-27 Flanker, Sukhoi Su-30MK, dan juga
helikopter perang jenis MI-35 dari Rusia2.
Nilai pembelian empat pesawat tempur dan dua helikopter perang yang
dilakukan oleh Megawati ini mencapai nilai US$ 193 juta dengan beberapa tahap
pembayaran (Wirayudha, 2017). Pada masa jabatan Persiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) alutsista milik TNI-AU terus bertambah dengan melakukan
pembelian beberapa pesawat guna modernisasi pesawat militer yang dimiliki TNI-
AU. Pengadaan pesawat mencakup yakni 12 Pesawat coin Super Tucano, 8 Jet
tempur F16 blok 52, 4 UAV Heron, 2 Pesawat angkut berat Hercules, 5 Pesawat
angkut sedang CN295, 6 Helikopter serbu tipe Cougar, serta 20 Helikopter serbu tipe
412EP. SBY sendiri mencanangkan program yang bernama Minimun Essential
Force (MEF) pada tahun 2010, yakni? Jelaskan dengan 1 kalimat saja.
Di saat kepemimpinan SBY inilah Memorandum of Understanding (MoU)
antara Indonesia dan Korea Selatan ditandatangani pada tanggal 15 Juli 2010 di
Seoul, Korea Selatan.tercetus perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Korea
Selatan dalam kerjasama pengembangan pesawat tempur. Tentu dengan adanya
perjanjian ini membuat perubahan pola dari yang tadinya Indonesia hanya membeli
pesawat tempur sekarang ikut mengembangkan pesawat tempur. Isi dari nota
kesepahaman tersebutPerjanjian tersebut menyatakan kalau kedua negara setuju
untuk melakukan pengembangan bersama di bidang militer khususnya dalam
pembuatan pesawat tempur. Proyek ini dinamakan dengan proyek Korean Fighter
Xperiment / Indonesia Fighter Xperiment atau disingkat dengan KFX/IFX. Pesawat
tempur KFX ini akan disematkan dengan beberapa teknologi yang lebih canggih dari
F-16 seperti radius serang yang lebih jauh, sistem avionic dan juga kemampuan anti
2 Nilai pembelian empat pesawat tempur dan dua helikopter perang yang dilakukan oleh Megawati ini mencapai nilai US$ 193 juta dengan beberapa tahap pembayaran (Wirayudha, 2017).
Formatted: Highlight
Formatted: Font: Italic
Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
Formatted: Font: 10 pt
7
radar (semi-stealth). Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni;
Technology Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development
Phase (EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014).
Kesepakatan ini menandai perubahan pola pengadaan pesawat tempur Indonesia, dari
yang tadinya hanya membeli sekarang jadi ikut mengembangkan.
Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara dalam
bidang persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun
kedepan. Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni; Technology
Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development Phase
(EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014)Jenis pesawat
militer yang banyak dibeli oleh Indonesia sejak berdirinya negara ini ialah pesawat
tempur, pesawat tempur latih dan juga pesawat angkut. Pesawat militer ini
didatangkan ke Indonesia dari berbagai macam negara seperti Amerika Serikat,
Russia, Korea Selatan, Brazil, Spanyol dan negara-negara lainnya (Dispenad, 2014).
Kemandirian militer Indonesia dapat ditandai dengan ditandatanganinya
Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Korea Selatan yang
telah dilakukan pada tanggal 15 Juli 2010 di Seoul, Korea Selatan. Isi dari nota
kesepahaman tersebut menyatakan kalau kedua negara setuju untuk melakukan
pengembangan bersama di bidang militer khususnya dalam pembuatan pesawat
tempur. Proyek ini dinamakan dengan proyek Korean Fighter Xperiment / Indonesia
Fighter Xperiment atau disingkat dengan KFX/IFX. Pesawat tempur KFX ini akan
disematkan beberapa teknologi yang lebih canggih dari F-16 seperti radius serang
yang lebih jauh, sistem avionic dan juga kemampuan anti radar (semi-stealth).
Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua negara dalam bidang
persediaan pesawat militer khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun kedepan.
Kerja sama antara kedua negara terdiri dari tiga tahap, yakni; Technology
Development Phase (TDP), Engineering and Manufacture Development Phase
(EMDP), dan Production Phase (PP) (AirforceTechnology, 2014).
Tujuan Korea Selatan dalam membuat pesawat tempur generasi 4.5 ini
sebenarnya merupakan rencana yang sudah lama digagaskan oleh Presiden Korea
Selatan Kim Dae-Jung tepatnya pada bulan Maret 2001. Program ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan kedua negara dalam bidang persediaan pesawat militer
khususnya pesawat tempur dalam 30-40 tahun kedepan. Bagi Indonesia sendiri,
program ini menyediakan pengganti Beberapa pesawat yang akan digantikan oleh
Commented [T2]: Kebijakan SBY tahun 2009 utk
menyelamatkan industri pertahanan, cari UU Industri
pertahanan. Membuat kronologi.
8
pesawat ini adalah pesawat tempur tua seperti F-4D/E Phantom II dan F-5E/F Tiger.
Dalam pembagian modal pengembangan pesawat ini Indonesia hanya menanggung
20 persen % dari keseluruhan biaya yang akan dikeluarkan, . Sedangkan pemerintah
Korea Selatan akan menanggung 60 persen % dari proyek ini, dan sedangkan sisanya
20 persen % lagi akan ditanggung oleh Korean Aerospace Industry (KAI). Dengan
dilaksanakannyaRencananya proyek ini Indonesia akan memperoleh memesan 80
(delapan puluh) pesawat tempur dan Korea Selatan akan memperoleh memesan
sebanyak 120 (seratus dua puluh) pesawat ini. Berdasarkan perhitungan yang telah
dilakukan, proses pembuatan prototype dari pesawat ini akan memakan waktu
selama 10 tahun akan memakandan biaya sebesar US$ 6-8 miliar, dengan harapan
pada 2020 nanti kedua belah pihak dapat menerima pesawat ini (Afiff, 2016).
Mengutip Afriyadi tahun 2018 (ubah pengutipan jadi running notes),
Mmenurut Kepala Programn KFX/IFX dari di PTDI yakni Heri Yansyah,
menyatakan bahwa tujuan Korea Selatan menggandeng Indonesia sebagai rekan
kerja pembangunan pesawat tempur ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
yakni alasan Indonesia kedepannya yang dipercayai oleh Korea Selatan akan menjadi
yang sangatnegara besar pada tahun 2040 nanti, oleh karena itusehingga diperlukan
memerlukan pengembangan pesawat tempur. Kedua, Selain itu alasan kedua
berjalannya persetujuan ini ialah adanya kemampuan PT Dirgantara Indonesia
Indonesia dalamuntuk memproduksi pesawat angkut taktis serbaguna hasil produksi
PT Dirgantara Indonesia, sebagai basis untuk mengembangkan kemampuan produksi
akan tetapi kesempatan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk bisa
melakukan penyesuaian dengan jet tempurnya sendiri kedepannya. Indonesia sendiri
berharap dari kerjasama ini akan ada transfer teknologi dari Korea Selatan ke
Indonesia. Untuk pembagian kerja, para insyinyur Indonesia turut mendesaiign
pesawat ini bersama dengan pihak KAI di Korea Selatan. Pesawat ini sendiri
nantinya akan diproduksi di Indonesia dan Korea Selatan, namun tetap dengan
komposisi share antar kedua negara. Indonesia menargetkan untuk bisa
memproduksi sayap dan buntut dari proyek KFX/IFX tersebut (Afriyadi, 2018).
Dengan adanya kerjasama ini diharapkan akan adanya transfer teknologi dari Korea
Selatan ke Indonesia mengenai tata cara pembuatan pesawat tempur dari negara
produsen.
Formatted: Highlight
Formatted: Font: Italic
Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line spacing: 1,5
lines
9
1.2 Rumusan Masalah
Beri satu paragraph yang menunjukkan kenapa KFX dengan Korsel
merupakan keputusan unik?
Seperti yang diketahui bahwa program ini dimulai pada tahun 2010 silam
dimana dalam Memorandum of Understanding (MoU) untuk pengembangan
KFX/IFX yang ditandatangani pada tahun 2010 antara kedua belah pihak membagi
kerjasama ini menjadike dalam tiga tahapan , yakni Technology Development Phase
(TDP), Engineering and Manufacture Development Phase (EMDP) dan yang
terakhir Production Phase (PP). Sampai dengan saat ini proyek pengembangan
bersama telah memasuki fase kedua yakni EMDP. dimana beberapa waktu lalu
sebelum dimulainya fase ini Korea Selatan sempat menghentikan proyek ini
beberapa saat karena alasan belum adanya anggaran yang tersedia. Namun pProyek
pengembangan KF-X/IF-X sendiri sempat mengalami penundaan beberapa kali
sehinggadan akan membentuk tim renegosiasi untuk meninjau kembali program ini
karena adanya beberapa alasan seperti penghematan devisa, menjaga iklim investasi,
mengurangi tekanan APBN dan juga permasalahan pada transfer teknologi yang
dianggap tidak sesuai dengan penandatanganan MoU pertama kali. menunjukkan
kerjasama pengembangan bersama dalam proyek ini antara Indonesia dan Korea
sesungguhnya tidak selalu berjalan mulus dan menghadapi berbagai hambatan.
Memangnya tidak ada alternative lain daripada Korsel?
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan:
“Apa faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam kerjasama
pengembangan bersama pesawat tempur KF-X/IF-X antara Indonesia
dengan Korea Selatan?”
Mengapa Faktor-faktor apa yang membuat Indonesia merubah kebijakan
dari yang tadinya hanya membeli pesawat tempur, kini ingin
mengembangkan pesawat tempur sendiri dalam proyek KF-X / IF-X?
Kenapa Indonesia memilih Korea Selatan sebagai mitra?
Saran revisi pertanyaan penelitian:
• Apakah waktu diawal diputuskannya kerjasama proyek KF-X / IF-X,
Indonesia telah memikirkan akan resiko dalam pembangunan proyek ini?
• Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Indonesia dalam
pengambilan kerjasama KF-X / IF-X?
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:
Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: Left: 0
cm, Line spacing: single
Formatted: Highlight
Formatted: Indent: Left: 1,5 cm, Right: -0,01 cm, Line
spacing: 1,5 lines
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
Formatted: Space After: 8 pt, Line spacing: 1,5 lines,
Numbered + Level: 1 + Numbering Style: 1, 2, 3, … +Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm +
Indent at: 1,27 cm
Commented [T3]: Alasan kenapa pilih Korsel
10
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk:
a. Membahas literatur kerja sama internasional dalam bidang teknologi militer;
b. Mengkaji hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan dan kedekatan
keduanya dalam kerjasama militer, terutama pengembangan industri
pertahanan;
c. Mengevaluasi dinamika kerja sama dalam program KF-X dan tantangannya
bagi Indonesia.
a. 1.4 Signifikasi Penelitian
1. Signifikansi Teoritis:
3.1. Penelitian ini diharapkan penulis dapatakan menambah pengetahuan
literatur kajian studi Hubungan Internasional terkait yang menganalisis
hubungan Indonesia dengan Korea Selatan, terutama dalam konteks dalam
pengembangan teknologi pesawat tempurindustri strategis.
2. Signifikasi Praktis:
1.1. Memberikan Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan rujukan
kepada masyarakat akademik hHubungan iInternasional dan memberikan
kontribusi kepada aktor pengambil kebijakan luar negeri di Indonesia untuk
lebih memahami kebijakan Indonesia Korea Selatan dalam bidang industri
strategisteknologi pesawat tempur.
b. 1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan… (definisi 1 kalimat saja). Tinjauan pustaka
terdiri dari…
Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali atas pustaka-pustaka yang
telah dituliskan oleh orang lain yang sebelumnya sudah pernah menuliskan mengenai
permasalah terkait sehingga hasil yang dituliskan dapat dipertanggung jawabkan.
Oleh karena itu tinjauan pustaka harus meliputi tiga faktor yang ada di dalam pustaka
tersebut yaitu pendahuluan, pembahasan, dan juga kesimpulan. (Aminudin, 2019). Di
dalam tinjauan pustaka ini, penulis berusaha untuk menambahkan dari hasil-hasil
penelitian sebelumnya, menambah penjelasan mengani isu ini dan juga menambah
studi dalam kerjasama industri strategis dalam proyek pembangunan pesawat tempur
KF-X/IF-X. Terdapat enam literatur yang akan dibahas dengan tema-tema yang
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:
Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First
line: 0 cm, Line spacing: single
Formatted: List Paragraph;sUB BAB;skripsi, Left, Space
After: 8 pt, Line spacing: single, Numbered + Level: 1 +
Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left+ Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:
single, No bullets or numbering
Formatted: Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1+ Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment:
Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm
Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Space After: 8 pt,
Line spacing: 1,5 lines, No bullets or numbering
Formatted: Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1
+ Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment:Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm
Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Space After: 8 pt,Line spacing: 1,5 lines, No bullets or numbering
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering
Formatted: Highlight
Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First
line: 0 cm, Line spacing: single
11
berkaitan dengan pengadaan senjata internasional. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang menjadi penghambat Indonesia dalam melakukan kerjasama dengan Korea
Selatan dalam proyek pengembangan bersama KF-X/IF-X maka penulis
menggunakan konsep Internasionalisasi Produksi Senjata dan jurnal terkait lainnya
dalam mengkaji permasalahan ini.
Jurnal “Internationalization of The Arms Industry” yang dituliskan oleh
Elisabeth Sköns and Herbert Wulf tahun 1994 membahas mengenai tiga bentuk dasar
internasionalisasi yakni ekspor, investasi asing langsung, dan pengaturan kerjasama
internasional. Jurnal ini lebih berfokus membahas pada strategi internasionalisasi
perusahaan yang terlibat dalam industri pengadaan senjata. Penulis menyatakan
bahwa tingkat kerjasama industri persenjataan belakangan ini semakin meningkat
dan semakin mirip dengan industri-industri lainnya. Menurutnya kerjasama
pengembangan internasional dapat dikategorikan kepada dua jenis. Pertama,
kerjasama gabungan antara dua perusahaan yang bersaing untuk melakukan
perkembangan atas pengembangan senjata baru yang relative mahal dan beresiko.
Dengan kerjasama ini mereka bisa berbagi biaya dan juga membagi risiko yang
mungkin akan ditanggung nantinya. Contoh bentuk kerjasama ini ialah Euromissile
dan Eurocopter. Sedangkan menurut penulis, jenis kedua ialah melakukan kerjasama
dengan metode pembayaran bersama dengan permintaan negara pembeli untuk bisa
ikut melakukan lokalisasi beberapa bagian produksi, komponen, subsistem,
perakitan, dan juga sistem lengkap. Bentuk kerjasama ini bisa dilihat dari TAI dan
TUSAS yang berada di Turki dimana mereka berhasil mendapatkan lisensi
kerjasama untuk bisa memproduksi F-16. Dengan didapatkannya lisensi ini, Turki
berhasil membuat jalur produksi baru bagi negaranya sendiri dan mendapatkan
transfer teknologi yang lebih besar. Dengan adanya internasionalisasi industry
persenjataan maka diperlukanlah kebijakan pemerintah yang lebih liberal karena
dianggap akan menghasilkan alih teknologi yang lebih besar bagi negara penerima.
Internasionalisasi industry persenjataan harus didukung oleh kebijakan ekspor
pemerintah yang mendukung dengan cara mengkaji ulang kebijakan-kebijakan
ekspor yang tentunya akan memudahkan. Perjanjian internasional dianggap hanya
bisa menghambat proses ekspor senjata tersebut karena sebatas pada proyek-proyek
dan diperlukan perjanjian antar lembaga atau pemerintahan tentu akan memudahkan
proses internasionalisasi industry persenjataan (Sköns & Wulf, 1994).
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Italic
Formatted: Font: Italic
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
12
Dalam jurnal “European armament co-operation and the renewal of
industrial policy” motives yang dituliskan oleh Catherine Hoeffler tahun 2012
melihat kepada fokus pemerintah menggunakan organisasi regional yakni Uni Eropa
sebagai pembawa dampak ekonomi pada bidang pertahanan. Negara penghasil
persenjataan di eropa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris banyak melakukan
kerjasama dengan negara lain karena alasan fragmentasi pasar yang telalu kecil di
kawasan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan dibentuknya banyak kerjasama antar
kelembagaan yang bekerja di bidang pertahanan, salah satunya adalah OCCAR
dimana terdapat kebijakan-kebijakan baru yang dianggap dapat melakukan
restrukturisasi kebijakan sebelumnya dengan yang lebih sesuai dan fokus dengan apa
yang dituju. Kebijakan-kebijakan yang baru tersebut ialah kebijakan yang mengatur
mengenai pengadaan yang dilembagakan di tingkat eropa sehingga lebih mengarah
kepada arah denasionalisasi sebagian dari pengadaan pertahanan. Sedangkan yang
kedua ialah pembentukan organisasi dan peraturan yang lebih liberal dengan cara
mengimplementasikan pengadaan yang berorientasi pasar, fokus pada kompetisi dan
efektivitas biaya, sementara pertahanan nasional diliberalisasi (Hoeffler, 2012).
Jurnal karya Keith Hayward tahun 1998 dengan judul “Smart Procurement:
The European Dimension” menjelaskan mengenai kerjasama Trans-Nasional di
kawasan Uni Eropa dimana Inggris sebagai negara yang nilai kerjasama persenjataan
nasionalnya bekerja senilai 46% ingin mendorong pengembangan persenjataan
dengan negara-negara sekawasan yakni Uni Eropa dengan tujuan meningkatkan
kemandirian militer Eropa dengan mendorong efisiensi yang lebih besar dalam
pengadaan bersama dan meningkatkan kinerja dan interoperabilitas peralatan militer
Eropa. Hal ini dianggap tidak hanya membawa keuntungan dalam bidang militer saja
tetapi akan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi negara yang terlibat. Banyak
organisasi pengadaan senjata yang berada di kawasan Uni Eropa dan salah satunya
adalah OCCAR. Konsep ‘Smart Procurement’ yang digunakan dalam kerjasama ini
mengutamakan efisiensi dan efektivitas atas pengembangan dan pelaksanaan dalam
program ini. Namun terdapat perbedaan antara negara-negara anggota yang
menyebabkan lambatnya proses ini dimana hanya negara-negara yang menaruh uang
dalam proyek pengembangan ini yang bisa memberikan masukan dan ikut dalam
penelitian sedangkan negara yang tidak menaruh modal tidak bisa memberikan
masukan dan hanya ikut dalam pengerjaan proyek ini saja. Kebijakan-kebijakan yang
ada sekarang ini masih merumitkan struktur kerjasama dengan alasan efisiensi dan
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
13
efektivitas namun menurut penulis idealnya harus berdasarkan pada partissipasi
bersama. Sebagai titik acu, Uni Eropa melihat Amerika Serikat sebagai dasar untuk
kualitas teknis, tolak ukur pada harga dan produktivitas dimana penulis menganggap
langkah tersebut merupakan langkah yang sangat tepat. Penulis menilai ‘Smart
Procurement’ bukanlah suatu konsep yang bisa mengatasi semua masalah di kawasan
ini namun konsep ini bisa membuka jalan bagi pengembangan yang digerakkan oleh
anggaran versus dilema kemampuan. Oleh karena itu menurutnya ‘Smart
Procurement’ harus memperhatikan lingkungan strategis yang berubah dengan cepat
serta memperhatikan kepentingan industri dan teknologi (Hayward, 1998).
Literatur yang berjudul “Collaboration and European Defence Industrial
Policy” karya Keith Hartley tahun 2008 membahas mengenai kerjasama di regional
Uni Eropa dalam pengembangan pesawat tempur Eurofighter Typhoon yang
melibatkan Inggris, Jerman, Spanyol dan juga Italia. Pengembangan pertama kali
dilakukan oleh keempat negara pada tahun 1983 dengan ditandatanganinya kontrak
kerja pengembangan pesawat tempur buatan Uni Eropa dengan pertimbangan
pembelian pesawat dari Amerika Serikat. Analisa menunjukkan bahwa Uni Eropa
memiliki kesempatan untuk mengembangkan pesawatnya sendiri walaupun terdapat
beberapa ketertinggalan Uni Eropa dari Amerika Serikat dalam anggaran penelitian
dan pengembangan teknologi pesawat tempur. Seiring dengan berjalannya
kerjasama, hambatan-hambatan dalam proyek ini mulai bermunculan seperti
perkiraan biaya siklus hidup yang cenderung tidak dapat diandalkan dan manfaat
potensial yang seharusnya didasarkan pada tujuan kebijakan pemerintah. Hal ini
disebabkan karena adanya ciri khas perbedaan kebijakan pola kerjasama antara
Amerika Serikat dan Uni Eropa dimana Uni Eropa melibatkan semua negara yang
tergabung dalam kerjasama ini melibatkan semua negara yang terlibat dalam
pengembangan dan produksinya sedangkan Amerika Serikat melibatkan negara
hanya dalam produksinya saja. Masalah yang menurut Keith yang muncul sebagai
penghambat lainnya ialah pembagian kerja yang dianggap dialokasikan pada kriteria
politik dan kesetaraan bukan dari kriteria efisiensi yang berdasarkan kompetisi.
Namun kerjasama ini ternyata tidak semata-mata memiliki banyak permasalahan saja
tetapi banyak manfaat yang bisa diambil dari kerjasama pesawat terbesar antar
negara eropa ini. Negara yang bergabung dalam kolaborasi ini mendapatkan manfaat
ekonomi dan industri yang signifikan dalam bidang penyerapan ketenagakerjaan
dalam bidang aviasi, pengembangan teknologi pesawat tempur, biaya ekspor-impor
Formatted: Normal, Justified, Line spacing: single
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold
14
yang menguntungkan, dan kemandirian industri karena pengalaman kerja (Hartley,
2008).
Melalui Di dalam tinjauan pustaka ini, penulis berusaha untuk
menambahkanmengakumulasi literatur dari hasil-hasil penelitian sebelumnya,
sehingga menambah penjelasan mengeanai isu ini dan juga menambah studi dalam
kerjasama industri strategis dalam proyek pembangunan pesawat tempur KFX/IFX.
Literatur pertama diambil dari buku Di dalam buku karya Drew dan Snow tahun
1988 yang berjudul Making Strategy: An Introduction to National Security Processes
and Problems. Drew dan Snow menyatakan bahwa security policy making
merupakan strategi dalam pembuatan keputusan untuk bisa mencapai tujuan kita
dengan cara-cara yang telah disepakati. Di buku ini tertulis bahwa Tterdapat enam
karakteristik / faktor yang dapat mempengaruhi proses security policy making di
Amerika Serikat yaitu: sifat dasar untuk melindungi negara, bertujuan untuk
menyelesaikan masalah eksternal, memiliki tujuan negatifve untuk menjauhi
campur tangan negara lain, kekuatan lawan, perkembangan teknologi dan
terakhir faktor perekonomian negara. Belakangan ini di dalamKondisi
kontemporer dari security policy making/strategy di Amerika Serikat banyak
dipengaruhi oleh perkembangan pesat dari teknologi yang tidak dapat terbendung.
Revolusi teknologi menyebar ke seluruh persenjataan militer dari yang tadinya hanya
pada pesawat dan tank tempur. Proses perkembangan teknologi menjadi masalah
baru dan penting dalam faktor pengambilan keputusan di bidang keamanan Amerika
Serikat (Drew & Snow, 1988).
Literatur kedua adalah buku Di dalam karya Hooker Jr. tahun 2014
yang berjudul The Grand Strategy of the United States. iaHooker
menyatakan bahwa dari sejak berdirinya Amerika Serikat sebagai negara
republik, national security making and strategy negara ini selalu dipengaruhi
oleh kebijakan dalam dan luar negerinya. Setiap security policy di Amerika
Serikat selalu berbeda-beda dalam menangani kasus di dunia menyesuaikan
masalah dan ancaman apa yang akan dihadapi. Penyususan kebijakan
keamanan Amerika Serikat sendiri selalu berdasarkan pada penggunaan
kekuatan untuk keamanan negara. Penilaian awal dalam pembentukan
kebijakan ini, pemerintah memulainya dengan melihat lingkungan keamanan
negara kemudian melihat pada tingkat ancamannya. Faktor-faktor utama
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
Formatted: Normal, Indent: First line: 0 cm, Line
spacing: single
Formatted: Font: Italic
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
15
dalam pembentukan dasar kebijakan keamanan utama di Amerika selalu
dilihat dari sejarah, tradisi, kultur politik, ekonomi, sosiologi, dan
teknologi. Selain itu terdapat juga faktor-fakor yang menjadi pertimbangan
dalam pembentukan kebijakannya seperti faktor lawan dan aliansi. Oleh
karena itu menurut R.D. Hooker, Jr. security policy making di Amerika
Serikat selalu berkembang seiringan dengan perkembangan teknologi
(Hooker Jr, 2014).
Literatur ketiga adalah Karya karya Raimonds Rublovskis, Dr.
Margarita Šešelgyte & Riina Kaljurand yang berjudul Defence And Security
For tThe Small. Mereka karya Raimonds Rublovskis, Dr. Margarita Šešelgyte
& Riina Kaljurand menyatakan bahwa dasar dari pengambilan keputusan
keamanan negara harus dimulai dari ukuran negara, letak geografis,
negara-negara tetangga dan pengalaman-pengalaman masa lampau
negara tersebut. Baru dari hal tersebut bisa mempermudah para ahli dalam
pengambilan keputusan dalam menganalisa apa saja yang menjadi faktor
dalam pembuatan kebijakan keamanan di Lithuania. Penulis mengutip karya
Johnston dalam pengambilan kebijakan keamanan dimana terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan keamanan yakni
lingkungan strategis, sifat musuh dan ancaman yang ditimbulkannya,
dan kekuatan militernya. Dalam menanggapi ancaman-ancaman tersebut
Johnson menganalisa sarana yang paling efektif untuk melawan ancaman
tersebut. Oleh karena itu Strategi Keamanan Nasional Lithuania, di dalam
buku putih strateginya bahwa terdapat penurunan konflik antar negara dan
peningkatan ancaman-ancaman non-tradisional khususnya di bidang
ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi. Oleh karena itu security policy
making dari Lithuania dipengaruhi oleh beberapa faktor dari ancaman non
tradisional tersebut (Rublovskis, Šešelgyte, & Kaljurand , 2013)
Di dalam jurnal The Role Of Defense Diplomacy Toward Defense System
Equipment Procurement karya Yohanes Sulaiman menyatakan bahwa pada
tanggal 20 Juli 2016 di dalam rapat terbatas bidang pertahanan dan keamanan
dengan Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pengadaan kebijakan
pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI harus
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Not Italic
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line spacing: 1,5
lines
16
memenuhi kebutuhan setiap matra. Selain itu Presiden Joko Widodo
menekankan tujuh kriteria dalam pengambilan kebijakan pengadaan
alutsisista (tidak meliputi aspek dan operasional) yakni transparansi,
adanya alih teknologi, dapat memenuhi Kekuatan Pokok Minimun 2024,
menerapkan pola pengadaan jangka panjang dan jangka pendek,
optimalikasi kerjasama pengembangan dengan negara lain,
memperhatikan daur hidup alutsista dan pengadaan melalui pemerintah
ke pemerintah (G to G). Presiden menyatakan bahwa dalam pengadaan
alutsista ini diperlukan keselarasan pada UU no. 16/2012 tentang Industri
Pertahanan yang dimana UU ini menekankan bahwa kerjasama pertahanan
harus meningkatan alih teknologi dari industri asing ke industri dalam negeri.
Yang paling utama dari pengadaan alutsista TNI. Dalam hal ini, pengadaan
alutsista tersebut seharusnya mampu menjadi bargaining power Indonesia di
mata dunia khususnya di kawasan Asia Tenggara (Sulaiman, 2016).
Dalam jurnal yang dituliskan oleh Armandha dan tim dalam karyanya yang berjudul
“Ekonomi Politik Kerja Sama Korea Selatan -– Indonesia dalam Joint Development
Pesawat Tempur KFX/IFX” berhasil menjelaskan akan alasan mengapa Indonesia
dan Korea Selatan menjalin kerjasama. Menurutnya terdapat tiga fakctor yang
membuat kerjasama proyek pembuatan pesawat tempur KFX/IFX ini berhasil
berjalan diantaranya, pertama, alasan kerjasama ini bisa membangun kemandirian
pertahanan Indonesia. Dengan ini Indonesia diharapkan tidak lagi tergantung pada
persediaan senjata dari asing apabila Indonesia terkena embargo dari negara
produsen senjata. Faktor kedua ialah dengan adanya kerjasama ini bisa
meningkatkan ilmu teknologi pertahanan Indonesia karena adanya alih teknologi dari
asing ke Indonesia dan faktor yang terakhir adalah kerjasama ini bisa berkontribusi
baik kepada perekonomian Indonesia. Dengan kerjasama antara Indonesia dan Korea
Selatan ini Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yakin akan Indonesia yang
akan mampu memproduksi pesawat tempur buatan sendiri (Armandha, Sumari, &
Rahmadi, 2010).Literatur yang dituliskan oleh Professor Trevor Taylor tahun 1998
dengan judul “Smart procurement and the partnership with industry” mengambil
studi kasus pengambilan keputusan dalam pembelian dan kerjasama industri
pertahanan Inggris di kawasan Uni Eropa dengan menggunakan konsep “Smart
Procurement”. Menurutnya kerjasama antara kedua elemen yakni pemerintahan dan
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Italic
Formatted: Indent: First line: 0 cm
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
Formatted: Font: Bold
17
industri harus memperhitungkan beberapa aspek penting bagi kedua belah pihak
yang diantaranya adalah insentif industri, perbedaan etos dan budaya kerja yang
mungkinan restrukturisasi industri pertahanan untuk mencapai bisnis transnasional,
peran persaingan di sektor pertahanan dan yang terakhir ialah peran industri dalam
dukungan peralatan dan operasi militer. Konsep ‘Smart Procurement’ sendiri
memiliki tujuan jangka panjang dan harus diimplementasikan dengan hati-hati jika
ingin mencapai tujuan atas pengadaannya. Trevor menyatakan bahwa konsep ‘Smart
Procurement’ merupakan konsep yang efektif dan efisien sehingga dapat menghemat
pengeluaran pemerintah kedepannya dalam pengadaan senjata namun dalam
membentuk hal itu diperlukanlah reformasi di dalam bidang keamanan yang
dianggapnya sangat membutuhkan uang yang sangat besar dan komitmen yang kuat
dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi. Berfokus pada Eropaisasi pengadaan
pertahanan, kontribusi ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan tingkat
Eropa sebagai wilayah baru untuk patriotisme ekonomi di sektor persenjataan.
Negara tidak lagi hanya mengandalkan pada kemampuan industri, tapi juga
kerjasama dengan negara lain (Taylor, 1998).
Di dalam Jurnal Pertahanan yang berjudul “Peran Diplomasi Pertahanan
Dalam Implementasi Kebijakan Kerja Sama Program KFX/IFX Indonesia-Korea
Selatan” yang dituliskan oleh Indra Nurrohman, Dadang Gunawan, dan Sutrimo
Sumarlan pada tahun 2019 membahas mengenai kepentingan Indonesia dalam
melakukan pengembangan bersama proyek pesawat tempur KF-X/IF-X. Menurutnya
kerjasama ini memang harus dijadikan prioritas utama dalam mencukupi kebutuhan
militer Indonesia. Pemilihan dalam pembangunan matra udara dianggap pilihan yang
logis bagi pemerintah karena 2 3/3 wilayah Indonesia merupakan wilayah udara yang
rentan terjadi pelanggaran wilayah udara. Diharapkan dengan diperkuatnya matra
udara ini diharapkan kekuatan ini juga dapat menutupi pertahanan di darat dan laut.
Pilihan pemerintah Indonesia untuk melakukan joint development dengan Korea
Selatan dianggap merupakan pilihan yang tepat karena kerjasama ini tidak hanya
sekedar interaksi penjual dan pembeli namun interaksi ini merupakan interaksi yang
melibatkan kedua belah pihak dari awal sampai akhir dalam proses kerjasamanya.
Menurutnya ada dampak jangka panjang yang dapat diambil oleh Indonesia jika
proyek ini berhasil dilaksanakan seperti dampak ekonomi. Dengan adanya
kemampuan Indonesia dalam memproduksi pesawat tempur ini kedepannya maka
diharapkan dapat membawa devisa tambahan bagi Indonesia. Namun sebelum
18
membawa keuntungan bagi Indonesia kedepannya maka dibutuhkan transfer
teknologi dan Transfer of Knowledge. Data-data utama dalam pembangunan pesawat
tempur KF-X/IF-X ini menjadi kunci utama dalam pembangunan kemandirian
industri pertahanan. Untuk melihat dinamika program proyek pembangunan bersama
ini penulis menggunakan teori kepentingan nasional dimana menurutnya terdapat 3
klasifikasi kepentingan dalam proyek ini yang dimana tujuan utama (Core Values)
dari Indonesia dalam kerjasama ini merupakan upaya pemerintah dalam
meningkatkan postur keamanan dan pertahanan Indonesia. Sedangkan klasifikasi
kedua yakni Middle Range Objectives Indonesia dalam kerjasama ini dapat
membawa peningkatan perkonomian Indonesia kedepannya dan klasifikasi terkakhir
yakni Long Range Goals dari kerjasama ini merupakan perwujudan tujuan negara
Indonesia yang berdasarkan perdamaian dan ketertiban dunia. Kerjasama Indonesia
dengan Korea Selatan ini ternyata mengalami beberapa hambatan yang seharusnya
diantisipasi oleh kedua belah pihak. Hambatan-hambatan ini kebanyakan terjadi pada
faktor-faktor finansial dan teknologi dimana hambatan tersebut merupakan hal yang
sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu penulis menyatakan diperlukanlah diplomasi
pertahanan yang dapat diandalkan dalam menyelesaikan beberapa masalah yang
terjadi dalam proyek tersebut.
1.6 Kerangka Teori
Internasionalisasi produksi senjata merupakan fenomena yang terjadi sejak
akhir tahun 1980-an. Negara-negara khususnya di kawasan eropa barat melakukan
ambil alih atau melakukan joint ventures dalam produksi persenjataannya. Menurut
Elisabeth Sköns dan Herbert Wulf internasionalisasi produksi senjata memiliki tiga
bentuk dasar yakni ekspor, investasi asing langsung, dan pengaturan kerjasama
internasional. Terdapat dua jenis internasionalisasi produksi senjata yakni dengan
melakukan kerjasama gabungan atau kerjasama dengan pembayaran bersama.
Kerjasama gabungan ini bisa terjadi antara dua atau lebih industri persenjataan yang
bersaing dengan maksud mengurangi resiko dan biaya yang dikeluarkan dalam
pengembangan persenjataan yang sangat mahal. Kerjasama gabungan bisa menjadi
alternatif bagi kedua industri untuk melakukan pengembangan dengan membagi
biaya dan resiko yang sangat besar.
Jenis kedua yaitu kerjasama dengan metode pembayaran bersama dimana
negara pembeli bisa ikut dalam pengembangan persenjataan. Keikutsertaan serta
Formatted: English (United States)
19
negara pembeli dalam pengembangan persenjataan membuat mereka dapat
melakukan lokalisasi atas persenjataan tersebut nantinya. Beberapa hal yang dapat
diambil dari adanya lokalisasi ini berupa bagian produksi, komponen, subsistem,
jalur perakitan dan juga sistem lengkap. Dengan keterampilan produksi yang
mumpuni maka tidak menutup kemungkinan bagi negara pembeli jika akhirnya
mereka bisa mendapatkaan lisensi untuk memproduksi persenjataan tersebut secara
mandiri. Oleh karena itu jenis kedua dianggap lebih membawa banyak manfaat
dalam proses internasionalisasi produksi senjata. Negara pembeli akan lebih banyak
mendapatkan transfer teknologi ikut serta dalam produksi persenjataannya. Namun
keberhasilan ini membutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih liberal dalam proses
transfer teknologi tersebut (Sköns & Wulf, 1994). Oleh karena itu jenis kedua ini
merupakan jenis yang sesuai dengan kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia
dengan Korea Selatan dalam proyek KF-X/IF-X dimana kedua negara terus terlibat
dalam melakukan pengembangan bersama mulai dari awalnya proyek ini
berlangsung.
Tabel 1.1 Pengertian, Manfaat dan Hambatan dari Internasionalisasi Produksi
Senjata
Definisi internasionalisasi
produksi senjata
Strategi industri pertahanan yang secara aktif
melakukan kerjasama dengan industri pertahanan
lainnya dalam proses produksi senjata. Strategi ini
diterapkan karena alasan peningkatan biaya penelitian
dan pengembangan sehingga menjadi lebih murah.
Manfaat Peningkatan sisi ekonomi finansial, meningkatnya
kemampuan industri persenjataan, transfer of
technology (ToT), biaya yang lebih efisien, penyerapan
tenaga kerja.
Hambatan/tantangan Keterbatasan dalam memberikan masukan dalam
proyek pengembangan, perbedaan kebijakan
pemerintah, dan perbedaan pola kerjasama.
Dengan disetujuinya kerjasama antar industri pertahanan maupun negara
maka kerjasama ini dipastikan dapat membawa banyak keuntungan bagi kedua belah
pihak. Manfaat ekonomi bagi perekonomian negara menjadi salah satu alasan
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
20
mengapa kerjasama produksi senjata ini bisa terjadi (Hayward, 1998).
Internasionalisasi produksi persenjataan dapat mengurangi resiko dan tanggungan
biaya sehingga lebih kecil dibandingkan dengan pengembangan yang seluruh
biayanya ditanggung sendiri (Sköns & Wulf, 1994). Biaya yang telah dikeluarkan
sebagai modal awal dalam kerjasama pengembangan persenjataan diyakini menjadi
manfaat yang dapat menghemat pengeluaran pemerintah dalam pengadaan senjata
kedepannya (Taylor, 1998). Tenaga kerja yang sebelumnya pernah terlibat memiliki
pengalaman kerja yang lebih baik dan bisa menurunkan ilmu yang didapatkan
kepada tenaga kerja baru. Kemandirian produksi persenjataan membuat negara
mendapatkan keuntungan lebih. Dengan kemampuan produksi, negara tidak lagi
harus bergantung kepada negara lain dan mereka bisa melakukan penjualan kepada
negara-negara lain yang belum bisa memproduksi persenjataan secara mandiri.
Penjualan persenjataan ke negara lain akan membawa devisa bagi negara karena
adanya biaya ekspor impor (Hartley, 2008). Negara penghasil senjata di kawasan
Eropa seperti Inggris dan Jerman juga melakukan kerjasama serupa dengan alasan
fragmentasi pasar yang terlalu kecil (Hoeffler, 2012). Pengadaan dengan tujuan
jangka panjang ini dianggap efektif dan efisien dalam mewujudkan kemandirian
militer negara namun awal dari pengadaan ini diperlukan biaya yang sangat besar
dan komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi kedepannya (Taylor,
1998).
Adanya transfer teknologi dari negara pemegang lisensi kepada negara lain
yang ingin melakukan pengembangan persenjataan ternyata membawa manfaat
tersendiri. Kemampuan industri yang membawa ilmu dan pengalaman menurut Keith
Hayward dapat meningkatkan kinerja serta interoperabilitas dari industri pertahanan
(Hayward, 1998). Dengan proses pembelajaran ini diharapkan dapat menciptakan
kemandirian industri pertahanan melalui pengalaman kerja yang telah berlangsung
(Hartley, 2008). Hal ini ternyata dituliskan oleh Keith Hartley dimana di dalam
journalnya ia menyatakan bahwa dalam pengembangan pesawat tempur Eurofighter
Typhoon membawa keuntungan tidak hanya dalam bidang ekonomi saja tetapi dalam
penyerapan tenaga kerja dan pengembangan teknologi pesawat tempur antar negara
di kawasan Eropa (Hartley, 2008). Industri yang semakin mandiri dapat membuat
negara pembeli dengan perjanjian offset lokalisasi bisa memproduksi persenjataan
dengan ijin lisensi kedepannya (Sköns & Wulf, 1994).
Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: First
line: 0 cm, Line spacing: single
21
Namun dibalik semua manfaat yang didapatkan oleh negara dalam
melakukan internasionalisasi produksi senjata ternyata banyak hambatan-hambatan
dalam implementasinya. Diperlukan analisa yang matang sehingga bisa
meminimalisir hambatan yang dapat mengganggu ketika program ini sudah berjalan.
Hal ini disebabkan karena banyaknya perbedaan kebijakan antar pemerintah dan
perjanjian. Menurut Sköns & Wulf terdapat dua hambatan yang mempengaruhi
dalam berjalannya kerjasama persenjataan ini. Pertama adalah hambatan ekonomi
yang dapat dinilai dari tingkat kepemilikan negara, kontribusi pemerintah dalam
pembiayaan Research and Development, dan praktik dan kontrak pengadaan khusus
(Sköns & Wulf, 1994). Keterbatasan negara yang tidak menaruh modal dalam
pengembangan persenjataan tidak bisa memberikan masukan juga bisa menjadi salah
satu alasan terhambatnya proses kerjasama ini. Negara tersebut hanya bisa terlibat
dalam proses produksi saja tanpa mengetahui bagaimana dengan proses
pengembangannya (Hayward, 1998). Diperlukanlah kejelian dalam melakukan
kontrak kerjasama pengembangan persenjataan karena industri ini merupakan
industri strategis yang sangat penting bagi negara-negara pemegang lisensi tersebut.
Kedua adalah hambatan politik yang meliputi produksi dan transfer teknologi
(Sköns & Wulf, 1994). Pemerintah perlu memperhitungkan yakni mengenai
perbedaan etos dan budaya kerja serta insentif industri (Taylor, 1998). Selain itu
pemerintah juga harus memperkirakan biaya siklus hidup dari persenjataan tersebut
yang sulit untuk diandalkan. Mengenai pembagian kerja, pihak terkait harus mengerti
dan memahami pembagian yang akan didapatkannya sejak pertama kali
menandatangani perjanjian kerjasama karena setiap negara memiliki perbedaan
dalam pembagian kerja. Dalam upaya mewujudkan kemandirian militer, negara
pembeli seharusnya terlibat di dalam segala aspek pengembangan persenjataan
tersebut baik dalam tahap pengembangan teknologi, pengembangan prototype
maupun pada tahap produksi. Namun harus diingat bahwa terdapat negara pemegang
lisensi yang dalam perjanjiannya hanya menginginkan negara pembeli hanya terlibat
dalam tahap produksinya saja (Hartley, 2008).
Tabel 1.2 Variabel dan Indikator dari Konsep Internasionalisasi Produksi
Senjata
Konsep Variabel Indikator
22
Internasionalisasi Produksi
Senjata
Faktor Ekonomi
Tingkat kepemilikan
negara
Kontribusi pemerintah
dalam pembiayaan
Research and
Development
Praktik dan kontrak
pengadaan khusus
Faktor Politik Produksi dan transfer
teknologi persenjataan
Oleh karena itu diperlukanlah upaya-upaya dari pemerintah dan pihak terkait lainnya
dalam melakukan internasionalisasi industri persenjataan. Elisabeth Sköns dan
Herbert Wulf menyatakan bahwa diperlukannya beberapa kebijakan pemerintah yang
lebih liberal sehingga negara penerima bisa mendapatkan transfer teknologi yang
lebih besar. Selain itu guna menjadikan industri persenjataan menjadi sebuah industri
yang membawa dampak ekonomi menurutnya pemerintah harus mendukung dengan
melakukan pengkajian ulang atas kebijakan ekspor pemerintah. Uang yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah tidak akan ada gunanya jika kebijakan ekspor
persenjataan tidak mendukung untuk melakukan ekspor ke negara lain (Sköns &
Wulf, 1994).
c. 1.7 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dari penelitian ini maka hipotesis penulis ialah:
walaupun Indonesia dan Korea Selatan telah menjalin kerjasama dalam bidang
pertahanan yang cukup panjang namun hubungan baik dalam kerjasama sebelumnya
tidak mempengaruhi kelancaran dalam proyek pengembangan bersama pesawat
tempur KF-X/IF-X. Sebelumnya proyek ini sempat tertunda beberapa kali karena
beberapa alasan sampai akhirnya pemerintah Indonesia resmi akan melakukan
peninjauan kembali atas keberlangsungan proyek ini. Oleh karena itu menurut
jawaban sementara dari penelitian ini disebabkan oleh karena adanya faktor:
finansial, teknologi, dan juga kebijakan pemerintah.
Perubahan Indonesia dalam proses modernisasi alutsista dari yang tadinya
hanya membeli pesawat dan sekarang mengembangkan pesawat tempur sendiri
disebabkan oleh adanya faktor kepentingan nasionalnya.
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:
single, No bullets or numbering
23
d. 1.8 Metodologi Penelitian
Dalam mengkaji penelitian ini penulis akan menggunakan metode penelitian
kualitatifntitatif dalam mengelola data yang diperoleh melalui sumber primer dan
sumber primer dan sekunder. Sumber primer didapatkan penulis melalui wawancara,
situs resmi pemerintahan,website situs resmi industri pertahanan yakni PTDI, dan
situs resmi pemerintahan yang terkait dalam studi kasus ini seperti Kemhan dan
Kementerian Lembaga terkait. Sedangkan sPengumpulan data melalui sumber
primer diperoleh dari wawancara dengan sumber asli atau pertamang. Sedangkan
sumber sekunder akan didapatkan penulis dari arsip, koran, jurnal-jurnal terkait,
buku, artikel, dokumen, penelitian terdahulu dan juga.. Dengan terkumpulnya data-
data terkait untuk mendukung penulisan ini, penulis akan mengolah dan
menganalisanya secara sistematis yang dimulai dari apa itu kerjasama pesawat
tempur KF-X/IF-X, bagaimana kerjasama ini bisa terjadi, keberlangsungan
kerjasama ini, sampai dengan hambatan-hambatan dalam kerjasama pengembangan
pesawat tempur sehingga terjadilah proses renegosiasi ini. Penulis akan mengolah
dan menganalisa semua data-data yang telah didapatkan dari berbagai macam
sumber dengan mempertimbangkan kepentingan dan ketepatan data tersebut
sehingga menghasilkan narasi yang bersandar pada kaidah penelitian ilmiah.
e. 1.9 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bBab, yaitu;
2.3.6.1.a. BAB I – PENDAHULUAN
Berisikan dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
signifikasi penelitian atau manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
konseptual, hipotesis, metode penelitian, dan struktur pembagian bab dalam
peneliitian ini.
2.3.6.2.b. BAB II – SEJARAH DAN KONTEKS
Pada bab ini akan memaparkan terkait sejarah kerjasama Indonesia dan Korea
Selatan dalam industri pertahanan, dan juga menjelaskan mengenai kerjasama
program pengembangan dari pesawat tempur KF-X/IF-Xperubahan pola
pembelian pesawat menjadi pembuatan pesawat oleh Indonesia.
2.3.6.3.c. BAB III – PEMBAHASAN
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing: single, No bullets or numbering
Formatted: Font: Not Italic
Formatted: Heading 2;Sub BAB, Left, Line spacing:
single, No bullets or numbering
Formatted: Line spacing: 1,5 lines
Formatted: No Spacing;PARAGRAF;HPARAGRAF;Paragraf;BAB;Sub Bab;No Spacing1;Paragrap, Left, Indent: Left: 0
cm, Line spacing: single
Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,
Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +
Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm
Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5
Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,
Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left
+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm
Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5
Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,
Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left
+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm
24
Bab ini akan berisikan mengenai hambatan – hambatan yang terjadi dalam
internasionalisasi produksi persenjataan yang dilakukan oleh Indonesia
dengan studi kasus pengembangan bersama pesawat tempur KF-X/IF-XAkan
diisi dengan penjelasan terkait faktor-faktor yang menyebabkan berubahnya
kebijakan pengadaan pesawat tempur, dan alasan mengapa Indonesia mau
bekerja sama dengan Korea Selatan dalam proyek ini.
2.3.6.4.d. BAB IV – PENUTUP
Akan diisi dengan penjelasan singkat terkait hasil penelitian mengenai alasan
Indonesia membangun pesawat tempur sendiri dalam proyek KFX/IFX.
Formatted: Indent: Left: 1,27 cm, Line spacing: 1,5
Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Space After: 8 pt,
Line spacing: 1,5 lines, Numbered + Level: 1 +Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left
+ Aligned at: 1,27 cm + Indent at: 1,9 cm
Formatted: Line spacing: 1,5 lines