BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan dalam
rongga pleura dan merupakan masalah umum dalam medis.
Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme termasuk peningkatan permeabilitas membran
pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan
tekanan negatif intrapleural, penurunan tekanan
onkotik, dan terhambatnya aliran limfatik (Maskell
dan Burland, 2003). Efusi pleura merupakan indikator
dari suatu proses penyakit yang mendasari penyakit
yang dari paru, pleura, atau ektraparu dapat
bersifat akut atau kronis Meskipun spektrum etiologi
efusi pleura luas, efusi pleura paling sering
disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia,
keganasan, atau emboli paru(Rubins, 2012).
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi
sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi sebagai
pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat
bernapas. Akumulasi cairan melebihi volume normal dan
menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh
pleura parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh
pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura viseral
atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan
melebihi kemampuan penyerapan. Akumulasi cairan
pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan, antara lain infeksi dan kasus keganasan di
paru atau organ luar paru (Syaruddin et al., 2003).
Efusi pleura terdapat diklasifikasikan dalam 2
kategori yaitu berdasarkan karakteristik cairan
pleura yaitu transudat dan eksudat. Beberapa hasil
penelitian menyebutkan 42-77% efusi pleura eksudativa
disebabkan proses keganasan (Sato, 2006). Gagal
jantung kongestif merupakan penyebab dari hampir 50
persen dari semua pleura efusi. Keganasan, pneumonia,
dan emboli paru adalah tiga penyebab utama dari efusi
pleura (Light, 2002).
Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi
dari berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat
terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan
insidens dan prevalens efusi pleura. Distribusi
penyakit penyebab efusi pleura tergantung pada studi
populasi. Penelitian yang pernah dilakukan di rumah
sakit Persahabatan, dari 229 kasus efusi pleura pada
bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan
penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis, empiema
toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit
jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan
penyebab tersering efusi transudatif sedangkan
keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan penyebab
tersering efusi eksudatif. Mengetahui karakteristik
efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat
menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi
pleura dapat ditatalaksana dengan baik. Efusi pleura
terbanyak bersifat eksudat dan disebabkan oleh
malignansi dan tuberkulosis. Karakteristik efusi
eksudatif adalah unilateral, melibatkan hemitoraks
kanan dan bersifat masif. Karakteristik efusi
transudatif adalah bilateral, melibatkan hemitoraks
kanan dan bersifat tidak masif (Khairani et al.,
2012).
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1984
efusi pleura menduduki peringkat ke tiga dari 10
penyakit terbanyak di bangsal. Di Indonesia
tubekulosis merupkan penyebab utama efusi pleura,
disusul oleh keganasan. Dengan distribusi terbanyak
pada wanita daripada pria. Umur terbanyak dengan
kejadian efusi pleura pada tuberkulosis adalah 21-30
tahun (Alsagaff dan Mukty, 2009).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk
mengetahui dan mempelajari tentang efusi pleura,
sehingga diharapkan apabila didapatkan kasus tentang
efusi pleura maka dokter muda mampu menegakkan
diagnosis dan memberikan penatalaksanaan secara
tepat, benar dan akurat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan
dalam rongga pleura yang dihasilkan dari produksi
cairan yang berlebihan atau penurunan penyerapan
(Rubins, 2012)
B. Etiologi
Ruang pleura yang normal mengandung sekitar 1 ml
cairan, mewakili keseimbangan antara tekanan
hidrostatik dan onkotik di pembuluh pleura visceral
dan parietal dan drainase limfatik. Efusi pleura
terjadi dari terganggunya keseimbangan ini.
1. Perubahan permeabilitas dari membran pleura
(misalnya, radang, keganasan, emboli paru)
2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular
(misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan
vaskuler (misalnya, trauma, keganasan,
peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis).
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam
sirkulasi sistemik dan /atau paru (misalnya,
gagal jantung kongestif, sindrom vena kava
superior).
5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah
ekspansi paru penuh (misalnya, atelektasis yang
luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan,
termasuk obstruksi duktus toraks atau pecah
(misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi
melintasi diafragma melalui limfatik atau cacat
struktural (misalnya, sirosis, dialisis
peritoneal)
(Rubins,
2012)
C. Jenis Cairan Pada Efusi Pleura
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai
transudat atau eksudat, berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat
hasil dari ketidakseimbangan dalam tekanan onkotik
dan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah
hasil dari peradangan pleura atau penurunan drainase
limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin
memiliki kombinasi karakteristik transudat dan
eksudatif (Rubins, 2012). Untuk membedakan transudat
dan eksudat jika memenuhi dua dari tiga kriteria
Light, yaitu: :
a. Ratio kadar protein cairan efusi pleura/ kadar
protein serum >0.5
b.Ratio kadar LDH cairan efusi pleura/ kadar LDH
serum <0.6
c. Kadar LDH cairan efusi pleura <2/3 batas atas
nilai normal kadar LDH serum
Jika angka tersebut terlampaui, efusi pleura
termasuk jenis eksudat.ketika efusi pleura telah
didiagnosis eksudat melalui kriteria diatas, namun
klinis dianggap transudat, perbedaan konsentrasi
albumin antaea serum dan efusi >1.2 mg/dl dapat
menunjukkan cairan efusi bersifat transudat (Sato,
2006).
Tabel 1. Etiologi Efusi PleuraEksudat TransudatEfusi ParapneumoniaNeoplasma
Gagal jantung kiri Sirosis hatiHipoalbuminPeritonial Dialisis
Emboli paruArthritis ReumatikEfusi jinak yang disebabkanoleh asbestosPankreatitis
Sindrom nefrotik Emboli paruHipotiroidStenosis mitral
Sindrom infark miokardPenyakit autoimunPost operasi bypass arterikoronariaAbses hepaticUremia ChylothoraksInfeksi lainnyaPengaruh obatRadioterapiRuptur esophageal
PerikarditisSindrom meigUrinothoraksObstruksi vena kavasuperior
(McGrath dan Anderson,2011)
D. Penyebab dan Patofisiologi Efusi Pleura
Normalnya cairan pleura masuk ke dalam rongga
pleura dari dinding dada (pleura parietalis) dan
mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura
viseralis untuk masuk ke dalam aliran limfe. Tekanan
hidrostatik di kapiler sistemik (dinding dada)
besarnya 30 cm H2O. Tekanan negatif di dalam rongga
pleura adalah -5 cm H2O, (30 cm dikurangi -5 cm = 35
cm). Tekanan osmotik koloid di kapiler sistemik
(dinding dada) besarnya 34 cm H2O. Tekanan osmotik
koloid di rongga pleura adalah 8 cm H2O. Perbedaan
tekanan osmotik koloid antara kapiler sistemik
dengan tekanan osmotik koloid di ronggan pleura = 26
cm H2O. Cairan cenderung mengalir dari daerah
bertekanan osmotik rendah ke arah daerah bertekanan
osmotik tinggi. Berdasarkan perbedaan tekanan
osmotik, seharusnya cairan di dalam rongga pleura
cenderung mengalir dari rongga pleura ke dinding
dada, akan tetapi karena tekanan hidrostatik dari
dinding dada ke arah rongga pleura lebih besar,
yaitu 35 cm H2O cairan dari dinding dada akan masuk
ke dalam rongga pleura (Djojodibroto, 2009).
1.Efusi Pleura karena Kelainan Intra Abdominal
Efusi pleura dapat terjadi secara steril
karena reaksi infeksi dan peradangan yang terpat
dibawah diafragma seperti pankreas atau
ekstraserbasi akut pankreatitis kronik, abses
ginjal, abses hati, abses limpa.
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi
dapat juga bilateral. Mekanismenya adalah karena
berpindahnya cairan yang mengandung enzim pankreas
ke rongga pleura melalui saluran getah bening.
Efusi ini bersifat eksudat serosa tapi kadang-
kadang bisa hemoragik. Kadang amilase dalam efusi
lebih tinggi daripada dalam serum.
Efusi juga sering setelah 48-72 jam pasca
operasi abdomen seperti splenektomi, operasi
terhadap obstruksi intestinal atau pasca operasi
atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan
jumlah efusi tidak banyak (lebih jelas terlihat
pada foto lateral dekubitus). Cairan biasanya
bersifat enksudat dan mengumpul pada sisi operasi,
efusi pleura operasi biasanya bersifat maligna dan
kebanyakan akan sembuh secara spontan.
Sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura terjadi
bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat
kesamaan antara cairan pleura dan asites, karena
terdapat hubungan fungsional antara rongga pleura
dan rongga abdomen melalui saluran getah bening
atau celah jaringan otot diafragma. Biasanya efusi
menempati pleura kanan dan efusi bisa juga terjadi
bilateral.
Dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi
selama dan sesudah dilakukannya dialisis
peritoneal. Hal ini dapat terjadi karena
perpindahan cairan melalui celah diafragma, yang
dibuktikan dengan komposisi yang sama antara
cairan pleura dan cairan dialisat.
2. Efusi Pleura karena Gangguan Sirkulasi
Gangguan Kardiovaskular. Payah jantung adalah
sebab terbnayak timbulnya efusi pleura. Penyebab
lain: perikarditis kontritiva dan sinrom vena kava
superior. Patogenesisnya adalah terjadinya
peningktan tekanan vena sistemik dan tekanan
kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas
reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran
getah bening juga akan menurun sehingga filtrasi
cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh
rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura
yang bilateral,.
Emboli Pulmonal. Efusi dapat terjadi pada sisi
paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan in
dapat disertai dengan infark paru atau tanpa
infark.
3. Tuberkulosis
Di banyak daerah di dunia, tuberkulosis menjadi
penyebab paling umum dari efusi pleura. Pecahnya
subpleural fokus caseous ke dalam rongga pleura
memungkinkan protein TB untuk memasuki ruang
pleura dan menghasilkan reaksi hipersensitivitas
yang bertanggung jawab untuk sebagian besar
manifestasi klinis. Efusi pleura yang menyebabkan
pleuritis tuberkulosis bermanifestasi sebagai
penyakit akut sama dengan manifestasi dari
pneumonia bakteri akut. Hal ini biasanya
unilateral dan dapat dari berbagai ukuran. Cairan
pleura dalam TB adalah selalu eksudat dengan lebih
dari 50% limfosit dalam hitungan diferensial sel
darah putih dan jarang mengandung lebih dari 5%
sel mesotelial (Yataco dan Dweik, 2005).
4. Efusi Pleura Neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis)
dapat menyerang pleura dan umumnya menyebabkan
efusi pleura. keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah nyeri dada dan sesak. Gejala lainnya yaitu
akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosentesis berkali-kali.
Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil
bisa transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom
ataupun hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel
eritrosit per cc). Di dalam cairan ditemukan sel-
sel limfosit (yang dominan) dan banyak sel
mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan sitologi terhadapp
cairan efusi atau biopsi pleura parietalis.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi
pleura pada neoplasma yakni:
a. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan
permeabilitas pleura terhadap air dan protein.
b. Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya
aliran pembuluh darah vena dan getah bening,
sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan
cairan dan protein.
c. Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah
terjadi dan selanjutnya timbul hipoproteinemia.
Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya
unilateral, tetapi bisa juga bilateral karena
obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis
dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari rongga
pleura via diafragma. Keadaan efusi dapat bersifat
maligna (Halim, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Gejala tergantung pada jumlah cairan dan
penyebab yang mendasari. Banyak pasien tidak
memiliki gejala pada saat efusi pleura ditemukan.
Gejala termasuk nyeri dada pleuritik, dispnea, dan
batuk kering (nonproduktif) (Yataco dan Dweik,
2005). Adanya edema pada kaki atau trombosis vena
dapat mengakibatkanefusi pleura yang berhubungan
dengan emboli paru. Riwayat penyakit serta
pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis
efusi pleura. Beberapa aspek pemeriksaan fisik
seperti pemeriksaan dada biasanya redup pada
perkusi, tidak adanya fremitus, dan vesikuler
berkurang atau bahkan hilang. Distensi JVP , adanya
gallop bunyi jantung atau edema perifer menunjukkan
gagal jantung kongestif, dan ventrikel kanan atau
tromboflebitis menunjukkan terjadinya emboli paru.
Adanya limfadenopati atau hepatosplenomegali
menunjukkan penyakit neoplastik, dan ascites
menunjukkan adanya kelainan hati. Karena kondisi
selain efusi pleura mungkin menghasilkan gambaran
radiologis yang sama, pencitraan alternatif
penelitian sering diperlukan untukadanya efusi
pleura. Pemeriksaan penunjang dengan
ultrasonographic atau Foto thoraks lateral dekubitus
paling sering digunakan, namun computed tomografi
(CT-scan) dada memungkinkan pencitraan yang
mendasari parenkim paru-paru atau mediastinum
(Light, 2002).
G. Pemeriksaan fisik 1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.
2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan
besar karena proses keganasan.
3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura
interlobaris tidak memberi gejala-gejala. Begitu
pula bila efusinya berada di atas diafragma.
4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai
dengan luasnya efusi pada auskultasi suara napas
berkurang atau menghilang.
5. Resonansi vocal berkurang (Mukty et al., 1994).
6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini
belum menimbulkan gejala pada pemeriksaan fisik.
7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL,
baru dapat ditemukan gejala berupa gerak dada
yang melambat atau terbatas saat inspirasi pada
sisi yang mengandung akumulasi cairan. Fremitus
taktil juga berkurang pada dasar paru posterior.
Suara perkusi menjadi pekak dan suara napas pada
auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya
masih vesikuler.
8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering
terjadi atelektasis pada paru bagian bawah.
Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang
mengandung timbunan cairan menjadi terbatas
sedangkan sela iga melebar dan menggembung. Pada
auskultasi di atas batas cairan, sering
didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam,
sebab suara ini ditransmisiskan oleh jaringan
paru yang menagalami atelektasis. Pada daerah ini
juga dapat ditemukan fremitus vokal dan egofoni
yang bertambah jelas.
9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan
ini dapat menyebabkan seluruh paru menjadi kolaps
kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar,
gerak dada pada inspirasi sangat terbatas, suara
napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal
sulit didengar karena sangat lemah. Selain itu
terjadi pergeseran mediastinum ke arah
ipsilateral dan penurunan letak diafragma
(Djojodibroto D., 2009).
H. Pemeriksaan penunjang 1. Foto toraks
Cairan yang kurang dari 300 cc, pada
fluoroskopi maupun foto toraks PA tidak tampak.
Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa
penumpulan sinus kostofrenikus. Pada efusi pleura
subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari
300 cc, sinus kostofrenikus tidak tampak tumpul
tetapi diafragma kelihatan meninggi. Untuk
memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari
sisi yang sakit. Foto toraks PA dan posisi
lateral dekubitus pada sisi yang sakit seringkali
memberi hasil yang memuaskan bila cairan pleura
sedikit, atau cairan subpulmonal yaitu tampak
garis batas cairan yang sejajar dengan kolumna
vertebralis atau berupa garis horizontal
(Alsagaff dan Mukty, 2009).
Gambar 1. Foto thoraks dan computed tomography
scan yang menunjukkan adanya efusi
pleura pada sisi kanan (McGrath dan
Anderson 2011).
Gambar 2.Efusi pleura masif (Rubins, 2012)
2. Pemeriksaan Mikroskopis dan sitologi
Jika didapatkan sel darah putih sebanyak
>1000/mL, hal ini mengarahkan diagnosis kepada
eksudat. Jika sel darah putih > 20.000/mL,
keadaan ini menunjukan empiema. Neutrofil
menunjukan kemungkinan adanya pneumonia, infark
paru, tuberkulosis paru fase awal atau
pancreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak
mengarahkan kepada tuberculosis, limfoma atau
keganasan. Jika pada torakosintesis didapatkan
banyak eosinofil, tuberculosis dapat disingkirkan
(Djojodibroto D., 2009).
3. Pemeriksaan biokima
a. Protein > 3 g/dl eksudat
b. Protein < 3 g/dl transudat
c. Glukosa < normal “rheumatoid pleural
effusion”, kemungkinan lain karena keganasan
atau purulen.
d. Kolesterol menunjukan proses kronis atau
mungkin karena rheumatoid
e. Amilase pancreatitis atau karsinoma
pankreas (Mukty et al., 1994).
Tabel 2.Pemeriksaan Biokimia
TesBiokimia DiagnosisKadar kolesterolKadar trigliserida
Kilothoraks
Kadar hematokrit Hemothoraks jika kadarhematokrit > 50%
Kadar amilase Pankreatitis atauruptur esofagus
Kadar NT-proBNP Gagal jantung jikameningkat
Kadar kreatinin Urinothoraks jikakadar kreatinin cairan> kadar kreatininserum
PCR Tuberkulosis atauinfeksi streptococcuspneumoniae
Tumor marker Karsinoma mamaeKarsinoma ParuOvariaum, endometriumdan kanker payudara
4. Pemeriksaan bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-
kadang dapat mengandung mikroorsganisme, apalagi
bila cairanya purulen (menunjukan empiema). Efusi
yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang
aerob atau anaerob. Jenis kuman yang sering
ditemukan dalam cairan pleura adalah :
Pneumokokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas,
enterobacter (Halim H., 2009).
I. Diagnosis banding
1. Tumor paru
2. Schwarte atau penebalan pleura
3. Atelektasis lobus bawah
4. Diafragma letak tinggi (Alsagaff dan Mukty,
2009).
5. Konsolidasi paru karena pneumonia
6. Fibrosis pleura (Mukty et al., 1994).
J. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil
cairan dari rongga pleura dengan cara pungsi pleura
atau torakosintesis atau pleural tapping. Pungsi pleura
dilakukan dengan cara menusukkan jarum pungsi atau
abbocath di antara dua iga. Cairan yang terdapat di
dalam rongga pleura secara umum disebut efusi
pleura. Efusi pleura berupa nanah disebut empiema,
jika berupa darah disebut hematotoraks, jika berisi
cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi
pleura tidak hanya berupa kelainan di daerah toraks
tetapi juga dapat karena kelainan di daerah lain
(ekstratoraks) atau sebagai akibat dari suatu
penyakit sistemik (Djojodibroto D., 2009).
K. Penatalaksanaan1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi
rasa tidak enak atau “discomfort” dan sesak
napas. Dianjurkan melakukan aspirasi sedikit demi
sedikit. Cairan yang dikeluarkan antara 500-1000
cc. bila pengambilan terlalu banyak dan cepat
dapat menyebabkan edema paru.
2. Lebih sering dilakukan pleurodesis pada proses
keganasan atau pada efusi pleura yang sering
kambuh. Dengan menggunakan 500 mg serbuk
tetrasiklin yang dilarutkan didalam 50 cc garam
faali. Penderita digoyang-goyangkan supaya rata,
kemudian cairan dikeluarkan setelah diklem selama
24 jam atau diberi serbuk sodium atau talk. Nyeri
yang terjadi karena pemeberian obat di atas dapat
diatasi dengan analgetika.
3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat
menyerap efusi pleura yang disebabkan oleh TB
paru secara cepat dan mengurangi fibrosis (Mukty
et al., 1994).
4. Efusi pleura transudat
Cairan tidak begitu banyak. Terapinya yaitu:
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatik
yang meningkat, pemberian diuretika dapat
menolong.
b. Bila disebabkan oleh tekanan osmotik yang
menurun sebaiknya diberikan protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila
ada reakumulasi cairan berulang dengan
tujuan melekatkan pleura viseralis dan
parietalis.
5. Efusi pleura eksudat
Efusi yang terjadi setelah keradangan paru
(pneumonia). Paling sering disebabkan oleh
pneumonia. Umumnya cairan dapat diresorbsi
setelah pemberian terapi yang adekuat untuk
penyakit dasarnya. Bila terjadi empiema, perlu
pemasangan kateter toraks dengan WSD. Bila
terjadi fibrosis, tindakan yang paling mungkin
hanya dekortikasi (jaringan fibrotik yang
menempel pada pleura diambil /dikupas).
6. Efusi pleura maligna
Pengobatan ditujuakan pada penyebab utama atau
pada penyakit primer dengan cara radiasi atau
kemoterapi. Bila efusi terus berulang, dilakukan
pemasangan kateter toraks dengan WSD.
7. Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena
kebocoran akibat penyumbatan saluaran limfe
duktus torasikus di rongga dada. Tindakan yang
dilakukan bersifat konsevatif : torakosintesis 2-
3 kali. Bila tidak berhasil, dipasang kateter
toraks dengan WSD. Tindakan yang paling baik
ialah melakukan opersai reparasi terhadap duktus
torasikus yang robek (Alsagaff dan Mukty, 2009).
Thoracosintesis
Setiap efusi pleura yang cukup besar
menyebabkan gejala pernafasan berat harus
dikeringkan terlepas dari penyebabnya.
Mengurangi gejala adalah tujuan utama terapi
drainase pada pasien. Satu-satunya
kontraindikasi absolut terhadap thoracentesis
infeksi kutan aktif pada tempat tusukan.
Beberapa kontraindikasi relatif termasuk
diatesis pendarahan yang parah, antikoagulasi
sistemik, dan volume cairan yang kecil.
Kemungkinan komplikasi dari prosedur ini
termasuk perdarahan (karena tusukan pada
pembuluh atau parenkim paru), pneumotoraks,
infeksi (infeksi jaringan lunak atau empiema),
laserasi organ intra-abdomen, hipotensi, dan
paru edema (Yataco dan Dweik, 2005).
Indikasi untuk thoracentesis adalah adanya
efusi pleura klinis yang signifikan (lebih dari
10 mm pada ultrasonografi atau foto lateral
decubitus). Jika pasien datang dengan gagal
jantung kongestif dan efusi bilateral dengan
ukuran yang sama, afebris, dan tidak memiliki
nyeri dada, percobaan diuresis dapat dilakukan.
Sejak lebih dari 80 persen pasien dengan efusi
pleura disebabkan oleh gagal jantung kongestif
memiliki bilateral efusi pleura, thoracentesis
diindikasikan jika efusi adalah unilateral. Jika
efusi tetap selama lebih dari tiga hari,
thoracentesis dapat diterapkan (Light, 2002).
Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis
dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral
ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah
akumulasi cairan maupun udara dalam rongga
pleura. Secara umum, tujuan dilakukannya
pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya
efusi berulang (terutama bila terjadi dengan
cepat), menghindari torakosintesis berikutnya
dan menghindari diperlukannya insersi chest tube
berulang, serta menghindari morbiditas yang
berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks
berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia,
insufisiensi respirasi, tension pneumothoraks).
Efusi pleura maligna merupakan indikasi paling
utama pada pleurodesis. Beberapa keadaan yang
dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif
pleurodesis meliputi:
1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3
bulan.
2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh
efusi pleura.
3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik
dengan terapi sistemik (kanker mammae,
dll).
4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit
atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman
di dada karena slang torakostomi.
5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak
sempurna setelah pengeluaran semua cairan
pleura (trapped lung) (Amin dan Masna, 2007).
L. Prognosis
Biasanya sembuh setelah diberi pengobatan adekuat
terhadap penyakit dasar. Empiema mungkin timbul
akibat infeksi paru seperti pneumonia (Mukty et al.,
1994). Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai
dengan etiologi yang mendasari kondisi ini.
Morbiditas dan mortalitas efusi pleura berhubungan
langsung dengan penyebabnya, stadium penyakit, dan
temuan biokimia dalam cairan pleura.
Pada efusi pleura ganas dikaitkan dengan
prognosis yang sangat buruk (Alsagaff dan Mukty,
2009), dengan kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan
dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun.
Yang paling umum keganasan terkait pada pria adalah
kanker paru-paru, dan keganasan yang paling umum
pada wanita adalah kanker payudara. Efusi dari
kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi,
seperti limfoma atau kanker payudara, lebih
dihubungkan dengan kelangsungan hidup
berkepanjangan, dibandingkan dengan kanker paru-
paru atau mesothelioma.
Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga
dapat menjadi indikator prognosis. Misalnya, pH
cairan pleura lebih rendah sering dikaitkan dengan
beban tumor lebih tinggi dan prognosis yang buruk
(Rubins, 2012).
M. Komplikasi
1. Empiema
2. Schwarte
3. Kegagalan pernapasan (Alsagaff dan Mukty, 2009).
N. Pencegahan
Lakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-
penyakit dasarnya yang dapat menimbulkan efusi
pleura. Merujuk penderita ke rumah sakit yang lebih
lengkap bila diagnosis kausal ditegakkan. Tindakan
yang dapat dilakukan untuk menentukan dan mengobati
penyakit dasarnya misalnya, biopsi pleura,
bronkoskopi, torakotomi, dan torakoskopi (Alsagaff
dan Mukty, 2009).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H. dan Mukty A., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Pp.
143-154.
Amin Z., dan Masna I. A. K., 2007. Indikasi dan
Prosedur Pleurodesis. Majalah Kedokteran Indononesia.
Volume: 57.Nomor: 4.pp 129-133.
Djojodibroto D., 2009. Respirologi. Jakarta: EGC pp 175-
181.
Halim H., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta : Internal Publishing. Pp. 2331.
Jeffrey Rubins J., 2012. Pleural Effusion. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 24 Juli
2013. Pp 1-3
Khairani R., Syahruddin S., Partakusuma L.C.,
2012.Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit
Persahabatan. Jurnal Respirasi Indonesia. 32:155-159.
Light W.L., 2002. Pleural Effusion. N Engl J Med. 346:
1971.
Maskell N, Medford A., 2005. Review Pleural Effusion.
Postgrad Med J. 81:702-710.
Maskell N.A, Burland R.J.A., 2008. BTS Guidelines for
The Investigation of a Unilateral Pleural Effusion
in Aadults. Thorax. 58:ii6-ii7.
McGrath E.E., Anderson P.B., 2011. Diagnosis of Pleural
Effusiom: a Systemic Approach. American Journal of Critical
Care. 20: 120-130.
Mukty A., Widjaja A., Margono B. P., et al., 1994.
Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Soetomo 1994. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga pp. 111-114
Sato T., 2006. Different Diagnosis of Pleural Effusion.
Japan Medical Association.49:315-316.
Syahruddin E., Hudoyo A., Arief N., Efusi Pleura Ganas
Pada Kanker ParuJurnal Respirasi Indonesia. 32:142.
Yataco J.C., Dweik R.A., 2005. Pleural effusions:
Evaluation and Management. Cleveland Clinic Journal of
Medicine.72:855.
Top Related