PEMIKIRAN ABDULLAH SAEED

22
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tafsir Kontemporer Dosen pengampu : Phil. Sahiron Syamsudin INTERPRETASI KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED Oleh : ANIFAH BAROKATUN NISA Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014

Transcript of PEMIKIRAN ABDULLAH SAEED

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tafsir

Kontemporer

Dosen pengampu : Phil. Sahiron Syamsudin

INTERPRETASI KONTEKSTUAL ABDULLAH SAEED

Oleh :

ANIFAH

BAROKATUN NISA

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2014

2 | A b d u l l a h S a e e d

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan

kita nikmat kesehatan dan kecerdasan. Sholawat serta salam senantiasa kami haturkan

pada sang mujtabaa Rasulullah saw yang dengan hadis-hadisnya memberikan kita

penerangan di zaman modern ini.

Ucapan terimakasih kami ucapkan pada bapak Sahiron Syamsudin selalu

pembimbing mata kuliah Pemikiran Tafsir Kontemporer. Juga kepada teman-teman

selain yang telah rela menyumbangkan tiap detik berharganya dengan mengikuti dan

berdiskusi bersama mengenai korelasi hadis dan ilmu sains terkait pengaruh genetik.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tafsir

Kontemporer yang diampu oleh bapak Sahiron Syamsudin. Dengan judul Interpretasi

Kontektual Abdullah Saeed ahirnya makalah ini pun selesai kami susun.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak didapati adanya kesalahan,

baik salah kata maupun salah interpretasi. Oleh karenanya dengan segala kerendahan

hati kami meminta kritik dan saran dari teman-teman sekalian sekaligus sebagai acuan

kami untuk menjadi lebih baik kedepannya nanti.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa IAT

hususnya juga bagi mahasiswa lain pada umumnya. ahir kata,

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Penulis

3 | A b d u l l a h S a e e d

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian terhadap penafsiran al-qur’an dari segi metodologinya telah banyak

dilakukan untuk menggali kembali pemahaman serta kemungkinan makna-makna yang

terkandung di dalamnya. Usaha-usaha untuk memahami segi kebenaran al-qur’an dalam

sejarahnya telah sejak lama mengalami proses-proses pergumulan intelektual yang

cukup serius walaupun pergumulan tersebut sebatas pada bagian persepsi atau pada sisi

metodologis.

Abdullah Saeed merupakan pemikir yang menteorikan tentang sisi metodologis

al-qur’an. Kontekstualisasi pemahaman penafsiran dan pengaplikasian ayat al-qur’an

merupakan sasaran idenya. Dengan berbekal teori double movement-nya Fazlur

Rahman, ia mulai menggali makna-makna kontekstual ayat utamanya terhadap ayat-

ayat aplikatif yang ia sebut dengan ayat eticho-legal.

Dapat dikatakan juga bahwa pemikiran Abdullah Saeed ini merupakan

pengembangan dari teori Rahman sebelumnya. Dalam makalah ini kami akan

membahas mengenai latar belakang Abdullah Saeed, seorang revolusioner penafsiran

al-quran sekaligus mengulas mengenai pemikiran beliau mengenai kontekstualisasi

penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-qur’an.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas dan untuk membatasi pembahasan dalam

makalah ini, kami mengambil beberapa poin sebagai rumusan masalah :

1. Biografi Abdullah Saeed ?

2. Pemikiran beliau terhadap kajian penafsiran al-qur’an ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui biografi Abdullah Saeed

2. Mengetahui pemikiran beliau mengenai kajian penafsiran al-qur’an

4 | A b d u l l a h S a e e d

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biogarfi Abdullah Saeed

Abdullah Saeed adalah1 seorang ilmuan berketurunan arab yang lahir di Maldives2 pada tanggal 25 September 1964.3 Dia adalah seorang profesor dalam bidang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne. kemudian hijrah ke Saudi Arabia untuk menuntut ilmu disana. Di Arab Saudi, dia belajar bahasa Arab dan memasuki beberapa lembaga pendidikan. Kemudian Saeed berpindah dari Arab Saudi ke Australia untu melanjutkan pendidikannya. Disana dia memperoleh beberapa gelar akademik, bahkan sampai sekarang tetap mengajar pada salah satu universitas terkenal dan terkemuka di dunia.

Berikut ini perjalanan Akademik Abdullah Saeed dari tahun ke tahun4 :

a) Tahun 1977-1979, studi bahasa Arab di Institut Bahasa Arab Universitas Islam di Madinah Saudi Arabia.

b) Tahun 1979-1982, Ijazah Sekolah Menengah, di Institut Menengah Arab Saudi di Madinah.

c) Tahun 1982-1986, BA (Bachelor of Arts) dalam Studi Arab dan Islam, di Universitas Islam Arab Saudi di Madinah.

1 Abdullah Saeed, Abdullah Saeed Profile, dikutip dari www.abdullahsaeed.org dan www.abdullahsaeed.org.pdf di akses pada 3 Oktober 2014

2 Maldives, nama rasminya Republik Maldives, adalah sebuah negara pulau mengandungi gugusan kepulauan terumbu karang yang terletak di Lautan Hindi, di selatan pulau Lakshadweep, India. Ia terletak kira-kira 700 kilometer atau (435 batu) ke barat daya Sri Lanka. http://en.wikipedia.org/wiki/Maldives di akses pada 3 Oktober 2014

3 Amanahru.blogspot.com/2013/11/interpreting-quran-sebuah-telaah-buku.html diakses pada 3 Oktober 2014

4 Abdullah Saeed, Abdullah Saeed curriculum vitae, Di akses http://www.abdullahsaeed.org/sites/abdullahsaeed.org/files/Saeed - _CV_for_the_We_2012-12_2010 .0.pdf pada 3 Oktober 2014

5 | A b d u l l a h S a e e d

d) Tahun 1986-1987, Sarjana Strata Satu (Master of Arts Preliminary) dalam Jurusan studi Timur Tengah di Universitas Melbourne Australia.

e) Tahun 1992-1994, MA (Master of Arts) dalam Jurusan Linguistik Terapan di Universitas Melbourne Australia.

f) 1988-1992, Ph.D. (Doctor of Philosophy) dalam Studi Islam di Universitas Melbourne Australia.

Setelah menyelesaikan program doctoralnya, dia diangkat menjadi dosen pada Department of Asian Languages and Anthropology, Universitas Melbourne. Di Australia, Abdullah Saeed mengajarkan Studi Arab dan Islam pada program strata satu dan program pasca sarjana (program S2 dan S3). Di antara matakuliah yang diajarkan adalah: Ulumu Al-Qur’an, Intelektualisme Muslim dan Modernisasi, Pemerintahan dalam Peradaban Islam, Keuangan dan Perbankan Islam, Hermeneutika Al-Qur’an, Metodologi Hadis, Ushul Fiqh, Kebebasan Beragama di Asia, Islam dan Hak Asasi Manusia, dan Islam dan Muslim di Australia. Selain itu, ia juga terlibat dalam berbagai kelompok dialog antar kepercayaan, yaitu: antara Kristen dan Islam, dan antara Yahudi dan Islam, bahkan ia dikenal sebagai dosen yang ulet dan terkenal karena kemahirannya dalam menguasai beberapa bahasa, di antaranya: bahasa Inggris, Arab, Maldive, Urdu, Indonesia dan Jerman, yang membuatnya sering bepergian ke luar negeri dan telah mengunjungi beberapa Negara, seperti: Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Bahkan, ia memiliki banyak sekali relasi pakar dan riset di seluruh dunia. Pada tahun 2000, dia memperoleh status sebagai Associate Professor di institusi yang sama. Tiga tahun kemudian dia mendapat status Full Professor dan diangkat menjadi the Sultan of Oman Professor of Arab and Islamic Studies. Meskipun sudah diangkat menjadi Professor di the Sultan Oman, dia tetap menjalankan

6 | A b d u l l a h S a e e d

aktifitasnya sebagai Director of the Center for the Study of Contemporary Islam pada Universitas Melbourne.

A. Karya-Karya SaeedAbdullah Saeed dikenal sebagai scholar yang cukup produktif.

Dia menulis beberapa artikel dan buku. berikut sebagian dari karya-karya Abdullah Saeed

1. The Qur'an: An Introduction diterbitkan London dan New York oleh Routledge tahun 2008.

2. Islamic Thought: An Introduction diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006.

3. Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach diterbitkan di London dan New York oleh Routledge tahun 2006.

4. Contemporary Approaches to Qur’an in Indonesia sebagaieditor diterbitkan tahun 2005 di Oxford oleh Oxford University Press.

5. Freedom of Religion, Apostasy and Islam ditulis bersama H. Saeed diterbitkan tahun 2004 di Hampshire oleh Ashgate Publishing. Dan masih banyak lagi buku-buku karyanya5

sedangkan karya-karya saeed yang berbentuk artikel diantaranya6

1. “Trends in Contemporary Islam: A Preliminary Attempt at a Classification” Journal of the Muslim World. Volume 91, 2007.

2. “Nurcholish Madjid and Contextualised Understanding of the Qur’an”, Suha Taji- Farouki (ed.). Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an. Oxford: University Press in association with The Institute of Ismaili Studies, 2006.

5Abdullah Saeed, Abdullah Saeed curriculum vitae,Di akses http://www.abdullahsaeed.org/sites/abdullahsaeed.org/files/Saeed - _CV_for_the_We_2012-12_2010 .0.pdf pada 3 Oktober 2014

6 Abdullah Saeed, Abdullah Saeed curriculum vitae Di akses http://www.abdullahsaeed.org/sites/abdullahsaeed.org/files/Saeed - _CV_for_the_We_2012-12_2010 .0.pdf pada 3 Oktober 2014

7 | A b d u l l a h S a e e d

3. “Creating a Culture of Human Rights from a Muslim Perspective”, Cultivating Wisdom, Harvesting Peace: Educating for a Culture of Peace through Values, Virtues, and Spirituality of Diverse Cultures, Faiths, and Civilizations, Multi-Fai... 2006.

4. “Qur’an: Tradition of Scholarship and Interpretation”, Encyclopedia of Religion. Farmington MI: Thomson Gale USA. 10 pp., 2005.

5. “Muslims”, Encyclopedia of Melbourne. Melbourne: Oxford University Press. 1p. 2005.

6. “Islamic Religious Education and the Debate on its Reform Post-September 11”, S. Akbarzadeh and S. Yasmeen (eds.), Islam and the West: Reflections from Australia. Sydney: UNSW Press. 14pp. 2005.

7. “Islamic Banking and Finance: In Search of a Pragmatic Model”, Virginia Hooker and Amin Saikal (eds), Islamic Perpsectives on the New Millenium. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004.

B. Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman

Pemikiran Fazlur Rahman terkait al-Qur’an turut mempengaruhi pemikiran

Abdullah Saeed. Bentuk keterpengaruhan ini bisa terlihat dari beberapa aspek di bawah

ini:7

1. Setidaknya Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas kerangka

penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman.

2. Jika diamati, maka akan terlihat adanya kemiripan terhadap metode penafsiran

yang ditawarkan oleh keduanya (Saeed dengan penafsiran kontekstual-nya dan

Rahman dengan Double Movement-nya).8

7 Iffah Naf’atu Fina, Interpretasi Kontekstual (Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed), Skripsi Skripsi Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin,Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga,hal.144-146.8 Keduanya sama-sama memberi perhatian besar pada dua konteks, yaitu konteks pewahyuan dan konteks penafsiran kekinian. Rahman sendiri disinyalir

8 | A b d u l l a h S a e e d

3. Saeed menyatakan bahwa pembaruan dalam metode penafsiran Rahman turut

berkontribusi dan berpengaruh besar terhadap kajiannya (Saeed), terutama

dalam merumuskan penafsiran yang spesifik kepada Ethico-Legal al-Qur’an.

Meskipun Saeed termasuk Rahmanian, tetapi ia tidak merujuk sepenuhnya

kepada apa yang dianut oleh Rahman. Saeed tidak menolak subjektivitas secara total.

Menurutnya, penafsiran bagaimanapun memiliki aturan yang melahirkan batasan-

batasan dalam menetukan makna. Batasan-batasan tersebut antara lain : nabi; konteks

turun teks (mengapa dan bagaimana teks dipahami generasi awal); peran penafsir;

hakikat teks ; dan konteks budaya. Hal ini tampaknya mirip dengan pemikiran Gracia

terkait dengan limits of meaning yang meliputi pengarang, audien, konteks, masyarakat,

bahasa, teks itu sendiri dan fungsi-fungsi kultural sebagai factor yang membatasi makna

sebuah teks. Namun, Saeed tidak secara langsung menyatakan merujuk kepadanya. 9

Model penafsirannya sendiri mengindikasikan bahwa teori “kesadaran sejarah

dan teori “pra-pemahaman” ala Gadamer juga tampak dalam kehati-hatian Saeed dalam

penafsiran ( meski sebenarnya hal ini juga dilakukan oleh para ulama Ulumul Qur’an).

Kedua teori ini mensyaratkan adanya kehati-hatian seorang penafsir dalam menafsirkan

teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya semata-mata yang berasal

dari prapemahaman yang terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal,

pengalaman,dll)10

menjadi pelopor dari pngembangan metode tafsir yang berbasisi kontekstual. Rahman kemudian juga memaparkan bahwa prinsip-prinsip umum –lah yang kemudian menghubungkan kedua konteks tersebut, sehingga makna teks bisa tetap relevan dengan perkembangan zaman. Saeed sendiri memiliki kontribusi besar dalam merumuskan hirarki nilai yang belum dirumuskan secara spesifik oleh Rahman.. hirarki nilai yang disistematisasikan oleh Saeed antara lain: Nilai-nilai yang bersifat wajib (obligatory values); Nilai-nilai fundamental (fundamental values); Nilai-nilai proteksional (protectional values); Nilai-nilai implementasional (implementational values); dan Nilai-nilai instruksional (instructional values). Baca lebih detailnya dalam Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London and New York, Routledge, 2006), hlm.130-144.9 Lien Iffah Naf’atu Fina, Interpretasi Kontekstual (Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed), Skripsi Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin,Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga,hal. 100-102.10 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer” dalam Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis :Teori dan aplikasi (Tradisi Barat) ed. Syafa’atun Almirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijag,2011), hal. 43-44.

9 | A b d u l l a h S a e e d

Teori “asimilasi horizon-horison” Gadamer nantinya juga terlihat dari aspek-aspek yang

digunakan Saeed dalam metode penafsiran. Horizon teks yang dianalisis dari sisi

kebahasaaannya serta aspek historis mikro (asbab al-nuzul) dan makro (kondisi bangsa

Arab saat pewahyuan) merumuskan bentuk objektivitas penafsiran. Horison kedua,

yaitu horizon penafsir terlihat dari adanya reaktualisasi penafsiran yang memungkinkan

adanya subjektivitas penafsir. 11

C. Langkah Metodis Interpretasi Kontekstual

Berangkat dari dunia gagasan yang dia jelaskan dalam bukunya “Interpreting the

Qur’an : Towards a Contemporary Approach”, Saeed mencoba merumuskan sebuah

model “intepretasi kontekstual”. Penafsiran yang terkesan tekstual yang marak dalam

beberapa kalangan para penafsir lah yang melatarbelakangi Saeed untuk meluncurkan

metode “Interpretasi Kontekstual” ini. Dinamakan dengan “kontekstual”, karena model

penafsiran yang ditawarkannya yang lebih fleksibel, dengan memperhatikan konteks

masa pewahyuan, pada saat yang bersamaan juga memperhatikan konteks saat

dilakukan penafsiran. Sebagaimana Fazlur Rahman, metode ini diplikasikannya guna

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bermuatan eticho-legal. Menurut Saeed makna

bersifat interaktif, sedangkan pembaca (mufassir) merupakan peserta aktif dalam

memaknai teks, bukan penerima pasif yang hanya menerima ‘makna’ teks.

“meaning is interactive: the reader is a participant in producing the meaning of

the text, not a passive recipient who simply ‘receives’ meaning.”.12

Interpretasi Kontekstual sendiri menurut Saeed memiliki prinsip-prinsip

epistemologi yang menjadi pertimbangan dalam proses penafsiran nantinya. Diantara

prinsip-prinsip yang dimaksud meliputi:13

1. Pengakuan adanya kompleksitas makna. 11 Sahiron Syamsuddin, “Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an Pada Masa Kontemporer”……….., hal.45.

12 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London and New York, Routledge, 2006), hlm.14913 Lien Iffah Naf’atu Fina, Interpretasi Kontekstual (Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah Saeed),..hal.90-113.

10 | A b d u l l a h S a e e d

a. Perbincangan mengenai makna yang dianggapnya merupakan sesuatu yang

kompleks-tidak sederhana-,tidak pasti, sehingga makna teks pada dasarnya

selalu tidak pastiatau hanya sampai pada level menaksir. Bagaimananapun,

dalam menafsirkan al-Qur’an, makna teks al-Qur’an harus diketahui.

b. Mempertimbangkan ethico-legal texts sebagai diskursus.

c. Pengakuan atas aspek-aspek yang ‘membatasi’ makna teks.14

d. Makna literal sebagai titik pijak penafsiran. Pentingnya bahasan ini guna

menghindari lompatan makna serta membantu membangun doktrin-doktrin

dan sistem-sistem teologis pada basis yang lebih kuat, dengan penelusuran

kata dari generasi penerima pertama. Selain itu, alasan makna literal hanya

sebagai pijakan awal karena penafsiran harus berlanjut pada aspek-aspek

berikutnya.

2. Perhatian terhadap konteks-sosio-historis yang melihat pentingnya konteks

pewahyuan al-Qur’an serta bahasa budaya yang dipakai kala itu.

3. Perumusan hirarki nilai dalam ethico-legal texts: yang tetap dan yang berubah.

Rumusan hirarki nilai yang dimaksud antara lain: nilai-nilai yang bersifat wajib

(obligatory values) 15; Nilai-nilai fundamental (fundamental values)16; Nilai-nilai

proteksional (protectional values)17; Nilai-nilai implementasional

(implementational values)18; dan Nilai-nilai instruksional (instructional values)19.

14 Aspek-aspek ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada hal. 6. Aspek-aspek tersebut meliputi nabi; konteks turun teks (mengapa dan bagaimana teks dipahami generasi awal); peran penafsir; hakikat teks ; dan konteks budaya.15 Nilai-nilai yang sifat dasarnya sangat ditekankan oleh al-Qur’an, baik yang terkait ayat yang turun di Mekkah maupun Madinah dan tidak tergantung kepada budaya. Seperti halnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan , praktik ibadah, yang berhubungan dengan halal dan haram yang dijelaskan dalam al-Qur’an.16 Nilai yang ditekankan secara berulang-ulang dalam al-Qur’an yang dibuktikan dengan adanya teks yang mengindikasikan bahwa hal itu termasuk dasar-dasar ajaran al-Qur’an. Selanjutnya nilai-nilai ini ditekankan sebgai nilai-nilai kemanusiaan dasar. Memakai bahasa al-Syathibi, maka nilai ini disebut juga maqas}i>d al-sya>ri’ah, maslah}ah menurut al-Thufi, serta disebut al-Ghazali sebagai kulliyat.17 Nilai yang merupakan undang-undang bagi nilai fundamental serta untuk menjaga keberlangsungannya. Misalnya perlindungan hak milik, maka larangan mencuri dan riba merupakan nilai proteksional dari nilai fundamental ini.18 Merupakan tindakan atau ukuran spesifik yang dilakukan atau digunakan untuk melaksanakan nilai proteksional. Sebagaimana halnya larangan mencuri kemudian ditindak lanjuti dengan tindakan spesifik bagi yang melanggarnya, yaitu dipotong tangannya, seperti yang telah tertera dalam al-Qur’an. Nilai ini tidak bersifat universal. 19 Ukuran atau tindakan yang terdapat dalam al-Qur’an tentang sebuah persoalan yang berlaku khusus pada masa pewahyuan.

11 | A b d u l l a h S a e e d

Untuk lebih jelasnya langkah-langkah yang digunakan dalam model interpretasi kontekstual yang ditawarkan Saeed adalah sebagai berikut :

Tingkatan I20

Pada tingkatan pertama ini merupakan langkah awal dalam berinteraksi dengan teks yang merupakan sesuatu yang alami yang dilakukan setiap bertemu dengan teks. Pada tingkatan ini mencakup membaca dan mendengarkan suatu teks. Pada tingkatan ini belum berpijak ke ranah analisis

Tingkatan II21

Pada tingkatan ini mufassir menelusuri apa yang teks katakan tentang teks itu sendiri tanpa mengaitkan dengan komunitas penerima pertama maupun masa kini. Pada tingkatan ini lebih condong kepada analsis terhadap teks itu sendiri yang mencakup :

1. Analisis linguistikPada analisis ini mencakup bahasa teks, makna kata ataupun frase, sintaksis ayat dan secara umum semua persoalan linguistik dan gramatikal yang terkait dengan teks, termasuk qira’at

2. Analisis konteks sastraAnalisis ini untuk mengetahui bagaimana teks itu dibicarakan dalam ayat atau surat tertentu, lebih luas lagi dalam al-qur’an. Misalnya apa saja ayat yang datang sebelum atau setelah suatu ayat yang akan dikaji, bagaimana komposisi dan struktur teks serta gaya retorikanya.

3. Analisis bentuk sastra

20 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an…, hlm. 15021 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an…, hlm. 151

12 | A b d u l l a h S a e e d

Langkah ini merupakan cara mengidentifikasi apakah teks tersebut tergolong ayat kisah, ibadah, perumpamaan ataukah hukum. Hal ini sangat terkait dengan makna

4. Analisis teks-teks yang miripAnalisis ini dilakukan dengan mengeksporasi apakah ada

teks-teks lain yang mirip atau senada dengan teks yang dimaksud, jika ada kemudian diteliti tingkat persamaan dan perbedaannya.

5. Analisis presedenLangkah ini merupakan identifikasi terhadap teks-teks

yang memiliki persamaan dalam hal isi maupun makna, kemudian dilakukan analisis berdasarkan kronologi pemwahyuan, apakah teks tersebut turun sebelum atau sesudah teks yang akan diteliti.

Tingkatan III 22

Pada tingkatan ini dilakukan dengan menelusuri hubungan teks dengan konteks sosio-historis masa pewahyuan. Langkah ini digunakan untuk memahami bagaimana teks itu dipahami oleh para penerima pertama dengan cara beberapa langkah :

1. Analisi kontekstualPada langkah ini yang ditelusuri adalah informasi sosial

dan historis, meliputi analisis sudut pandang, budaya, kepercayaan, norma dari penerima pertama al-Qur’an di hijaz dan juga meliputi penerima spesifik yang dimaksud teks tersebut, seperti dimana mereka tinggal, waktu serta kondisi dan juga issu-issu yang berkembang pada saat itu seperti pada ranah politik, hukum, sosial dan budaya dan lain-lain.

2. Menentukan hakikat atau sifat pesan yang teks sampaikanDalam langkah ini menentukan apakah teks yang

dimaksud merupakan teks hukum, teologi ataukah etika. 22 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an…, hlm. 151

13 | A b d u l l a h S a e e d

3. Mengeksplorasi pesan-pesan pokok yang nampaknya menjadi pesan pokok dari ayat tersebut. Kemudian dilakukan investigasi apakah ayat tersebut bersifat universal atau hanya spesifik untuk situasi, orang atau konteks tertentu, kemudian dilanjutkan dengan menentukan hirarki nilai (diistilahkan dengan “prinsip-umum atau general principles” dalam metode Fazlur Rahman) dari ayat yang dimaksud.

4. Mempertimbangkan bagaimana ayat tersebut ketika dikaitkan dengan tujuan dan persoalan yang lebih luas dalam al-qur’an.

5. Mengevaluasi bagaimana penerima pertama manerima suatu teks serta bagaimana mereka memahami, menafsirkan dan mengamalkannya.

Tingkatan IV23

Penarikan teks pada konteks masa kini. Ini merupakan tingkatan terakhir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang ditawarkan oleh Saeed. Pada tingkatan ini lebih condong pada memaknai suatu teks yang sesuai dengan konteks kekinian dengan langkah-langkah berikut.

1. Mufassir menentukan persoalan, masalah dan kebutuhan-kebutuhan masa kini yang tampak relevan dengan teks yang dimaksud.

2. Mufassir mengeksplorasi konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang relevan dengan konteks yang ada pada teks.

3. Mengeksplorasi nilai , norma dan pandangan-pandangan spesifik yang memiliki hubungan dengan pesan teks.

4. Membandingkan konteks masa kini dan konteks sosio-historis teks untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara keduanya.

23 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an…, hlm. 152

14 | A b d u l l a h S a e e d

5. Menghubungkan bagaimana teks itu dipahami , diinterpretasikan atau diamalkan oleh penerima pertama dengan konteks masa kini.

6. Mengevaluasi universalitas pesan dan kekhususan pesan yang disampaikan teks seta mengembangkan apakah masih berkaitan atau tidak dengan tujuan persoalan yang lebih luas dalam al-Qur’an.

D. Aplikasi Metode Interpretasi Kontekstual

Anggapan yang dianut oleh para mufassir al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab hukum, berimplikasi pada pengenyampingan muatan-muatan lain al-Qur’an, selain ayat-ayat hukum tadi. Pembacaan yang kaku dalam menafsirkan al-Qur’an juga terlihat dalam penafsiran tekstual. Menurut Saeed, hal ini berimplikasi pada adanya penafsiran yang terkesan menimbulkan ‘bias’ terhadap lahiriah ayat-ayat tentang perempuan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini aplikasi terhadap metode interpretasi kontekstual akan dihadirkan dalam diskurusus ayat-ayat yang berbicara perihal perempuan, yang dikhususkan pada ayat bagian warisan perempuan.24

Tingkatan I : pembacaan secara umum tanpa analisis lanjut.

24 Aplikasi penafsiran ini penulis rujuk dari penelitian Lien Iffah Naf’atu Fina, Interpretasi Kontekstual………., hal.129-151.

15 | A b d u l l a h S a e e d

Tingkatan II

Analisis linguistic : subjek yang dituju ayat ini menggunakan kata zakar dan unsa>, bukan rajul dan nisa>. Keduanya (zakar dan unsa>) menunjuk pada jenis kelamin manusia.Kata zakar menurut Quraish Shihab , diterjemahkan sebagai anak lelaki (tidak membatasi usia ), hal berlaku juga pada kata unsa>.

Analisis struktur kalimat: mengindikasikan beberapa hal. Pertama, redaksi yang dipakai adalah "bagi laki-laki adalah bagian yang sama dengan bagian dua anaka perempuan" bukan sebaliknya "bagi perempuan setengah bagian laki-laki". Ini menunjukkan bahwa bagian warisan perempuan menjadi pokok. Analisis struktur kalimat ini menunjukkan bahwa al-Qur'an telah melakukan reformasi yang radikal. Di mana yang sebelumnya laki-laki sebagai parameter dan standar nilai, melalui ayat ini diberlakukan yang sebaliknya. Kedua, ketika diamati, ayat-ayat tentang waris dalam surat al-Nisa ini diawali oleh konteks pembicaraan tentang penguatan hak-hak anak-anak yatim secara khusus, larangan memakan harta mereka, dan pentingnya menjaga harta itu (Q.S. al-Nisa> (4):1-6).

....

Dalam konteks pembicaraan waris sendiri, pembicaraan didahului dengan penegasan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dari harta warisan (Q.S. al-Nisa> (4): 7)

....

Yang pertama menunjukkan bahwa sejak awal ada penegasan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan. Sedangkan yang kedua, menurut Abu> Zayd, menunjukkan bahwa al-Qur'an memberikan perhatian kepada hak-hak mereka yang di luar hubungan darah. Dari itu, menurut Abu>

16 | A b d u l l a h S a e e d

Zayd, salah satu inti dari pembagian warisan dalam al-Qur'an adalah pemerataan harta atau kesejahteraan ekonomi.Selain ayat di atas, ada sebuah ayat (Q.S. al-Nisa> (4): 176) yang memiliki tema yang sama.

Ayat di atas meskipun dengan redaksi dan konteks ayat yang berbeda tetap menunjukkan kemungkinan analisis seperti di atas.Tingkatan III

Kondisi sosio-historis masyarakat pada masa pewahyuan terutama terkait dengan kasus ini adalah:

- Pertama, pada masa itu perempuan dan orang-orang lemah, yakni anak-anak tidak mendapatkan warisan. Warisan, pada masa itu hanya milik laki-laki. Masyarakat Arab pada waktu itu beralasan "bagaimana mungkin kami akan memberikan harta warisan kepada orang yang tidak pernah menunggang kuda, tidak pernah memanggul senjata, dan tidak pernah berperang melawan musuh". \\

- Kedua, secara umum masyarakat Arab pada masa itu memiliki anggapan yang rendah terhadap perempuan. Anggapan itu bisa dilihat dari kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya, kebiasaan mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup, karena mempunyai anak perempuan merupakan kabar buruk bagi mereka. Mereka memperkenankan perempuan yang ditinggal mati suaminya untuk diwariskan laiknya benda. Sehingga, perempuan bukan saja tidak mendapatkan warisan, bahkan ia sendiri merupakan harta warisan. Artinya, pada waktu itu posisi perempuan dalam masyarakat memang sangat direndahkan. Respon al-Qur'an terhadap fenomena ini terekam dalam Q.S. al-Nisa> (4): 19-23.

17 | A b d u l l a h S a e e d

- Ketiga, selanjutnya terkait dengan bagian perempuan yang lebih sedikit dari laki-laki, tampaknya ini terkait dengan siapa yang memegang fungsi ekonomi dalam keluarga pada waktu itu. Pada waktu itu, laki-laki yang berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga, jikapun perempuan kaya atau berpenghasilan harta itu untuk dirinya sendiri. Di samping itu, secara strategi dakwah, pembagian yang tidak sama, perempuan lebih rendah, menunjukkan bahwa al-Qur'an sangat memperhatikan stabilitas sosial masyarakat. Pemberian bagian warisan bagi perempuan sudah merupakan sesuatu yang sangat revolutif, tentu akan menjadi bermasalah ketika al-Qur'an serta merta menyamakan bagian harta warisan. Al-Qur'an sangat memperhatikan dan mempertimbangkan konteks pada waktu itu. Karena itulah, dalam suasana kehidupan yang demikian, ayat al-Qur'an tersebut di atas, dan secara umum ayat-ayat yang membawa misi kesetaraan manusia, bisa dikatakan sebagai sebuah reformasi besar pada waktu itu. Dan karena ia bernuansa reformasi, maka tak heran jika misi tersebut mengalami perlawanan pada awalnya. Dalam Q.S. al-Nisa> (4): 7, al-Qur'an telah menjelaskan:

Ayat di atas secara urutan mushaf maupun urutan turun, lebih dahulu dari pada ayat Q.S. al-Nisa> (4): 11-12. Artinya, ayat ini merupakan sebuah koreksi awal terhadap praktik bangsa Arab pada waktu itu. Namun demikian, meskipun ayat ini telah turun, praktik pengebirian hak perempuan tetap berlangsung, bahkan bagi mereka yang telah masuk Islam. Sampai pada suatu ketika ada seorang janda (janda Sa'ad bi al-Rabi') yang mengadu kepada Nabi. Dia mengadu karena dua anak perempuannya tidak mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan ayah mereka. Anak laki-laki Sa'ad mengambil

18 | A b d u l l a h S a e e d

seluruh harta warisan tanpa meninggalkan sedikit pun untuk saudara-saudara perempuannya, padahal mereka membutuhkan harta itu untuk biaya pernikahan. Menanggapi keluhan tersebut, tak lama kemudian turun Q.S. al- Nisa> (4): 11-12 yang bermaksud untuk mempertegas pembagian warisan, sehingga tidak ada kesewenang wenangan lagi. Cerita di atas dianggap sebagai konteks mikro turunnya ayat ini.

Di samping itu ada, ada riwayat oleh Ibnu Jarir yang juga dianggap sebagai konteks mikro turunnya ayat di atas. Tak lama setelah H{asan bin S|abit meninggal, beberapa ahli waris laki-laki dari keluarga Hasan datang hendak mengambil seluruh harta peninggalan Hasan, padahal Hasan mempunyai seorang istri bernama Hakkah dan lima orang anak perempuan. Hakkah kemudian melaporkan ini kepada Nabi dan kemudian turun ayat di atas.

Q.S. al-Nisa> (4): 11-12 ini memang merupakan ayat legal ketika dilihat bahasa perintah dan sifatnya yang rinci, namun demikian setelah ditelusuri lebih lanjut ayat ini memiliki motivasi yang bersifat etis. Meskipun demikian, bukan berarti ia harus dipahami dan diaplikasikan secara literal sepanjang masa, karena masih ada beberapa aspek lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah ayat ini harus diaplikasikan sedemikian sepanjang masa ataukah tidak. Dalam hirarki nilai, ayat ini termasuk dalam nilai instruksional25. Alasannya, ayat ini berbicara tentang persoalan yang (berlaku) khusus pada masa pewahyuan. Tidak ada tekanan dalam al-Qur'an berkaitan dengan nilai ini. Bahkan tidak ada dukungan dari ayat-ayat lain bahwa nilai ini bersifat universal.

Untuk mengetahui apakah ayat di atas berlaku universal ataukah partikular, Saeed telah menyiapkan seperangkat alat uji.

25 Nilai intruksional adalah ukuran atau tindakan yang terdapat dalam al-Qur'an tentang sebuah persoalan yang (berlaku) khusus pada masa pewahyuan (Instructional values in the Qur∞an constitute measures taken in relation to a problem quite specific to circumstances at the time of the revelation). Lihat

19 | A b d u l l a h S a e e d

Pertama, frekuensi. Setelah melihat analisis pada stage II, hanya ada satu ayat lain yang memiliki tema yang sama, namun demikian kedua ayat ini tidak saling mendukung namun melengkapi. Artinya, ayat ini hanya disebut dalam al-Qur'an dalam kuantitas yang sangat minim.Kedua, penekanan. Persoalan pembagian warisan termasuk persoalan yang ditekankan dalam dakwah Nabi, sebagai upaya untuk menata masyarakat ke dalam kondisi yang lebih egalitarian dan berkeadilan. Namun, sejauh dipaparkan di muka, penekanan itu terletak pada bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dari harta warisan (Q.S. al-Nisa> (4): 7). Q.S. al-Nisa> (4): 11-12 "hanyalah" merupakan tuntunan operasional dari ayat di atas sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Tuntunan ini dibutuhkan karena masyarakat pada waktu itu harus diberikan perintah rinci, tidak cukup hanya dengan perintah yang sifatnya umum.Ketiga, relevansi. Ayat ini lebih tampak memiliki relevansi yang terbatas pada ruang dan waktu pada masa pewahyuan. Pemberlakuan ayat ini tidak berlaku secara general bagi masyarakat yang lain. Karena itu, ayat ini sesungguhnya tidak berlaku universal secara redaksinya, namun ia berlaku universal dalam misinya, yakni untuk menjunjung tinggi keadilan dalam masyarakat. Dan, setiap masyarakat mempunyai hak untuk menafsirkan bagaimana bentuk operasional dari nilai keadilan tersebut. Melihat narasi di atas, pembagian rigid warisan sebagaimana ayat di atas lebih sebagai upaya al-Qur'an untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam pembagian warisan. Artinya, meskipun redaksi ayat ini memberikan aturan terperinci, namun misinya bukan kepada aturan itu, akan tetapi kepada yang disebut di atas, karena sebelumnya telah ada perintah umum yang mengatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki bagian warisan (Q.S. al-Nisa> (4): 7) sebagai koreksi terhadap adat bangsa Arab pada waktu itu.

Selanjutnya, ketika melihat semangat al-Qur'an yang berupaya memberantas praktik kesewenang-wenangan, misalnya saja koreksi

20 | A b d u l l a h S a e e d

terhadap kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup, menjadikan istri sebagai harta warisan (Q.S. al-Nisa> (4): 19-23), dan beberapa revolusi al-Qur'an yang lain, ayat tentang warisan ini bisa dilihat dalam semangat keadilan dan kesetaraan. Artinya, sebagaimana disampaikan Saeed juga, pengamalan terhadap ayat di atas tidak harus secara literal (pelaksanaannya bisa berubah atau berbeda dari ayat itu), selama prinsipnya tetap sama sebagaimana ia diturunkan pertama kali.99

Tingkatan IVSelanjutnya, yang menjadi persoalan inti terutama pada masa

kini terkait dengan penafsiran dan pengaplikasian ayat di atas adalah ketika ia dipahami sebagai salah satu legitimasi kitab suci untuk mengatakan posisi perempuan inferior dibanding laki-laki dalam fungsi ekonomi, politik maupun intelektual. Atau ketika ayat di atas harus dipahami dan diaplikasikan secara normative (literal), dan mencari alasan di balik pemberlakuan yang berbeda tersebut, misalnya pembedaan di atas disebabkan perempuan memiliki nafsu syahwat yang lebih besar dari laki-laki sehingga berpotensi menghambat-hamburkan uang. Laki-laki memiliki kewajiban yang lebih berat dari perempuan, di mana laki-laki bertanggung jawab menafkahi keluarga (termasuk memberi maskawin, sedangkan perempuan bergantung secara ekonomi kepadasuami.

Padahal ketika dikaitkan dengan konteks historis dan analisis misi yang tak terkatakan dari ayat di atas, maksud ayat di atas sama sekali bukan untuk menunjukkan bahwa perempuan inferior dibanding laki-laki. Ayat di atas harus didudukkan dalam konteksnya. Sehingga, ketika masyarakat berubah atau berbeda dengan konteks pewahyuan, maka manusia bisa mengaplikasikan ayat di atas dengan operasional yang berbeda. Seperti diketahui, pada masa modern ini, telah banyak situasi yang berubah dan berbeda dengan masa itu.

21 | A b d u l l a h S a e e d

Pada masa sekarang, pandangan terhadap perempuan sudah sangat jauh bergeser –meskipun tetap masih ada ketidakadilan yang harus dicecap perempuan. Minimal, budaya mengubur anak perempuan hidup-hidup atau menjadikan perempuan sebagai harta warisan sudah tidak ditemui. Peran dan status perempuan pada masa sekarang juga telah mengalami transformasi. Perempuan telah terlibat secara aktif di wilayah publik yang menunjukkan bahwa secara sosial, intelektual danekonomi, perempuan telah mampu bersaing dengan laki-laki.

Kemudian, dalam ranah privat, perempuan bersama laki-laki sama-sama memiliki peran dalam memenuhi fungsi ekonomi keluarga. Pandangan di atas, lepas dari sifat generalisasinya, menunjukkan bahwa ada begitu banyak pergeseran yang terjadi antara masa pewahyuan dengan masa kini. Dan, seperti disepakati sebelumnya, bahwa ayat di atas hanya berlaku secara partikular, hanya pada situasi kondisi sebagaimana pada masa pewahyuan, yang karenanya pengaplikasiannya bisa berubah jika situasi kondisi berubah, maka ayat ini bisa diaplikasikan berbeda dengan bunyi literal teks. Sedangkan untuk aplikasinya yang bersifat operasional sangat bergantung dengan kasus-kasus yang dihadapi. Pembagian ini bisa dilakukan dengan musyawarah, misalnya. Menurut Amina Wadud, pembagian warisan harus mempertimbangkan keadaan orang-orang yang ditinggalkan, dan manfaat harta itu sendiri. Namun demikian, tetap ada prinsip yang harus dipegang. Pertama, ayat di atas tidak harus dipahami secara normatif (literal) secara keseluruhan. Mengingat, setelah dilakukan penelusuran, ayat di atas begitu terkait dengan latar belakang masyarakat pada waktu itu. Ayat di atas sangat fleksibel dan bisa berubah. Kedua, apapun bentuk operasional sebagai aplikasi dari ayat ini tidak bisa meninggalkan misi dasar atau pesan dari ayat ini, yakni prinsip keadilan dan kesetaraan. Reformasi al-Qur'an terhadap masyarakat Arab pada waktu itu sangat komprehensif. Ini bisa dilihat bahwa al-

22 | A b d u l l a h S a e e d

Qur'an tidak hanya membangun landasan kesetaraan religius (semua manusia sama yang membedakan mereka di mata Tuhan adalah ketakwaannya). Al-Qur'an juga memperhatikan hal-hal untuk membangun kesetaraan sosial. Ini dipenuhi al-Qur'an melalui koreksi terhadap kebiasaan masyarakat Arab dalam merendahkan perempuan pada waktu itu (koreksi al-Qur'an dan kebiasaan bangsa Arab bisa dilihat pada pembahasan sebelumnya), termasuk di dalamnya reformasi di wilayah pembagian warisan ini.