kecap ikan_oei, amelia_13.70.0048_D4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21
1 1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain saring, sendok besi, kompor. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. 1.2. Metode Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

description

membuat kecap ikan dari ikan bawal

Transcript of kecap ikan_oei, amelia_13.70.0048_D4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI METODE

1.1. Materi1.1.1. AlatAlat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain

saring, sendok besi, kompor.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain

komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples sebanyak 50 gram

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml

Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring

Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa.

3

Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

4

Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:

Salinitas=hasil refraksi1000

x 100 %

Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml (pengenceran 10-1)

Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dengan penambahan enzim papain dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50

Keterangan:Warna : Aroma + : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam +++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam ++++ : coklat gelap ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam

Rasa Penampakan + : sangat tidak asin + : sangat cair++ : kurang asin ++ : cair+++ : agak asin +++ : agak kental++++ : asin ++++ : kental+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Dari tabel diatas dapat diketahui hasil dari pembuatan kecap ikan dengan penambahan enzim

papain dengan berbagai konsentrasi. Kelompok D1 dengan penambahan enzim papain 0,2%,

kelompok D2 penambahan enzim papain sebanyak 0,4%, kelompok D3 dengan penambahan

enzim papain sebanyak 0,6%, kelompok D4 dengan penambahan enzim papain sebanyak

0,8%, kelompok D5 dengan penambahan enzim papain sebanyak 1%. Kelompok D2

mendapatkan warna sangat coklat gelap. Dari segi rasa hampir semua kelompok asin hanya

kelompok D4 saja yang kurang asin. Untuk aromanya kelompok D4 paling tajam dari semua

kelompok. Penampakannya kelompok D1 sangat kental dan kelompok D5 sangat cair. Nilai

salinitas yang didapat kelompok D1 adalah 4%, kelompok D2 dan D3 sebesar 3%, kelompok

D4 2,5%, sedangkan untuk kelompok D5 mendapatkan nilai salinitas sebesar 3,5%.

5

3. PEMBAHASAN

Ikan merupakan sumber protein hewani yang relatif murah dan juga mempunyai gizi yang

tinggi. Tetapi ikan sangat cepat mengalami pembusukan baik secara autolisis, biokemis dan

mikrobiologis karena tubuhnya memiliki kadar air yang tinggi dan ph yang hampir netral

sehingga akan sangat mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme (Deswati & Armaini, 2004).

Oleh karena itu, diperlukan metode untuk membuat suatu inovasi produk sehingga

pemanfaatan dari ikan ini bisa maksimal. Di sisi lain, tidak semua bagian dari ikan dapat

dimakan, seperti bagian kepala, ekor, sirip. Hal ini sesuai dengan teori Soyiri I, et al., (2003),

dimana dikatakan bahwa bagian-bagian dari ikan tersebut yang tidak bisa dimakan dianggap

sebagai kerugian, sehingga diperlukan pengolahan limbah dari bagian ikan ini yang dapat

dimanfaatkan, salah satunya dengan membuat kecap ikan. Kecap ikan yang difermentasi

adalah produk tradisional yang biasanya digunakan sebagai bumbu untuk hidangan nasi

(Akolkar, A. V., et al, 2009).

Di Indonesia dikenal dua jenis kecap yaitu kecap asin/kecap ikan dan kecap manis. Kecap

asin mempunyai rasa asin, sedangkan kecap manis mempunyai rasa manis dan lebih banyak

dikonsumsi dibandingkan kecap asin. Dilihat dari cara pembuatan serta bahan baku yang

digunakan kecap asin mirip dengan kecap Jepang (Kurniawan, R., 2008)

Kecap ikan adalah bumbu penting dalam masakan Asia dan secara tradisional diproduksi

dengan mencampur ikan dengan garam pada rasio 3: 1 dan fermentasi untuk 12-18 bulan.

Protein ikan secara bertahap dihidrolisis selama fermentasi oleh bakteri proteinase dan ikan.

Banyak bakteri yang ditemukan dalam saus ikan fermentasi termasuk Bacillus, Micrococcus,

Staphylococcus, Streptococcus, Pediococcus, archaea merah sangat halofilik, dan bakteri

asam laktat halofilik, yaitu Tetragenococcus. Tetragenococcus adalah satu-satunya genus

bakteri asam laktat (BAL) yang dapat berkembang dalam lingkungan garam yang tinggi

(18% NaCl) (Udomsil, N., et al, 2010). Penelitian yang dilakukan Jiang, J, (2008)

mengatakan bahwa bau kecap ikan ditandai sebagai campuran amonia, cheesy, dan amis, yang

berasal dari hidrolisat protein dan lipid. Produk oksidasi suatu bau amoniak adalah diproduksi oleh

amonia, amina, dan nitrogen containing dasar lainnya senyawa.

Saat ini, penggunaan kecap ikan sangatlah beragam, seperti untuk membuat sambal yang

dicampur dengan potongan-potongan cabe rawit. Kualitas kecap ikan dapat ditentukan

6

7

berdasarkan jumlah penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi. Kecap ikan banyak

dikonsumsi di daerah Asia Tenggara dikarenakan flavor yang kuat dan kemampuannya untuk

mengurangi rasa asam. Namun kecap ikan memiliki aroma yang kurang enak, sehingga

pemanfaatnannya untuk produk pangan sulit diterapkan. Pengawasan mutu atas kecap ikan

perlu diperhitungkan sedetail mungkin seperti jumlah penggunaan garam dan lamanya proses

fermentasi sehingga pemanfaatan kecap ikan untuk produk pangan pun dapat lebih maksimal

(Afrianto & Liviawaty, 1989).

Proses pembuatan kecap ikan secara enzimatik lebih cepat dibandingkan dengan cara

tradisional sehingga lebih menguntungkan secara ekonomis, namun mutu kecap ikan yang

dihasilkan lebih rendah daripada kecap ikan yang dibuat secara tradisional. Hal ini terjadi

karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain terbentuk senyawa

peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap. Biasanya

perbandingan antara daging ikan yang digunakan dan pepaya adalah 1:5 (Afrianto &

Liviawaty, 1989).

Pembuatan kecap ikan pada praktikum kali ini menggunakan bahan kepala dan tulang ikan

bawal sisa dari pembuatan surimi. Fermentasi kecap ikan dipelajari menggunakan putih segar

bawal yang dibeli dari pasar lokal dan homogen menggunakan penggiling dan pencampuran

(Hezayen, F. F., 2010). Sebanyak 50 gram campuran tulang dan ekor ikan diblender hingga

halus. Pemblenderan ini berfungsi untuk menghancurkan secara mekanis tulang dan ekor ikan

agar mempermudah proses pencampuran dengan bahan – bahan yang lain sehingga bisa

terbentuk massa adonan yang homogen dan memudahkan proses ekstraksi (Lay, 1994).

Irawan (1995) menyatakan bahwa tidak semua bagian ikan dapat dimakan, pada umumnya

bagian yang dapat dimakan berkisar 70% dari tubuh ikan namun beberapa bagian seperti

kepala, ekor, sirip, isi perut dibuang atau diolah menjadi produk lain. Menurut Astawan &

Astawan, (1988) bahwa isi perut beserta kepala ikan merupakan produk limbah yang diolah

menjadi produk kecap ikan dan bahan untuk membuat kecap ikan yaitu ikan-ikan dengan

ukuran yang kecil seperti tembang, japuh, selar, teri, pepetek maupun ikan air tawar seperti

nilam, sriwet, jempang, seluang, butuh dan ikan-ikan kecil lainnya.

Setelah halus dimasukan dalam toples dan ditambahkan enzim papain. Jumlah enzim papain

yang ditambahkan setiap kelompok berbeda-beda seperti yang sudah ditentukan. Toples

ditutup dan diisolasi, kemudian diinkubasi selama 4 hari. Menurut Lisdiana & Soemardi

8

(1997), pengisolasian ini dilakukan untuk menciptakan kondisi anaerob, sehingga proses

fermentasi dapat berjalan dengan baik dan lebih cepat. Selain itu, penutupan ini juga

bertujuan untuk mencegah adanya kontaminan (kotoran) yang masuk dan untuk membiarkan

proses enzimatis oleh enzim protease dapat terjadi. Menurut Hezayen F. F. (2010) ,

fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di

dalam tubuh ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim atau fermen

yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam

kondisi lingkungan yang terkontrol. Proses penguraian ini dapat berlangsung dengan atau

tanpa aktivitas mikroorganisme, terutama dari golongan jamur dan ragi. Enzim dominan yang

berperan dalam proses fermentasi ini adalah enzim proteolitis yang mampu mengubah

protein. Setelah 4 hari, bahan teresbut ditambah dengan air sebanyak 250 ml, diaduk, dan

disaring menggunakan kain saring. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan filtrat yang lebih

jernih, dimana filtrat ini kemudian direbus hingga mendidih sambil ditambahkan bumbu-

bumbu yang sebelumnya telah dihaluskan. Bumbu-bumbu tersebut adalah 50 gram bawang

putih, 50 gram garam dan 1 buah gula kelapa. Kemudian larutan yang sudah direbus tersebut

disaring kembali, dan filtrat yang dihasilkan tersebut disebut sebagai kecap ikan. Setelah jadi

kecap ikan dilakukan uji organoleptik, meliputi warna, rasa, aroma, penampakan, dan ada uji

salinitas.

Parameter pertama yang diamati yaitu warna, untuk kelompok D2 bewarna sangat coklat

gelap. Berdasarkan Lees & Jackson (1973), warna coklat yang timbul selama proses karena

adanya reaksi Mailard yang terjadi antara gugus-gugus asam amino yang terkandung dalam

daging ikan dengan gula kelapa yang banyak mengandung gula pereduksi sehingga

menyebabkan timbulnya warna coklat. Astawan & Astawan, (1988) juga menambahkan

bahwa semakin banyak jumlah enzim papain yang ditambahkan maka proses fermentasi

enzimatis akan berlangsung lebih cepat dan sempurna sehingga warna kecap yang dihasilkan

akan semakin baik dan mendekati warna kecap yang paling tepat, yaitu coklat. Berdasar teori

yang ada, warna yang dihasilkan pada kelompok D2 mempunyai efektivitas enzim yang

optimal dengan penampakan warna yang sangat coklat gelap. Hal ini disebabkan karena pada

saat pencampuran dengan air 250 ml dilakukan proses pengadukan lebih lanjut sehingga

enzim papain yang merupakan enzim hidrolase dapat bekerja secara optimal. Keoptimalan

yang maksimal karena papain termasuk enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis

suatu substrat dengan pertolongan molekul air (Fardiansyah V., 2005). Adanya

ketidaksesuaian yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Faktor yang pertama adalah

9

ketidaktelitian dan kurang konsistennya pengujian sensoris yang dilakukan, sehingga

penilaian yang dihasilkan berbeda-beda. Faktor yang kedua adalah tingkat kesegaran ikan

yang berbeda. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan adalah proses pemanasan yang

dilakukan tidak dengan waktu yang sama sehingga ketika pemanasan dilakukan dengan

waktu yang lebih lama maka proses karamelisasi akan semakin banyak terjadi dan warna

coklat yang diperoleh pun semakin tua dan rasa serta aromanya pun pasti mengalami

perubahan.

Dari segi rasa yang dihasilkan, menurut Zaman M. Z., et al (2010), kecap ikan dengan

penambahan enzim lebih banyak akan mengurangi rasa ikannya. Karena dengan semakin

banyaknya enzim yang digunakan, maka protein dalam daging ikan yang terhidrolisis oleh

enzim tersebut akan semakin banyak, padahal kandungan protein pada daging ikan inilah

yang akan memberikan kontribusi flavor (rasa) terbesar pada daging. Jadi jika protein pada

daging ikan tersebut banyak yang terhidrolisis, maka rasa dari ikan menjadi lemah

(berkurang). Hal ini dikarenakan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein dari

daging ikan lebih sedikit sehingga tidak semua protein teruraikan dan hal ini menyebabkan

rasa ikan dari kecap yang dihasilkan akan lebih kuat. Rasa kuat yang dimaksud ini adalah

amis pada kecap, yang timbul karena molekul protein masih mengikat komponen flavor pada

ikan sehingga rasa yang dihasilkan justru rasa amis dari ikan (Shahidi & Botta, 1994).

Demikian pula menurut Amstrong (1995), bahwa semakin banyak penambahan enzim maka

tingkat hidrolisis protein ikan semakin tinggi pula, sehingga akan dihasilkan asam glutamat

yang menyebabkan rasa ikan pada kecap ikan semakin lemah.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah metode yang

digunakan, jumlah garam yang digunakan, lamanya inkubasi, dan penggunaan bumbu yang

tepat. Setelah kecap ikan berhasil diproduksi, dilakukan pengujian sensori untuk semua

kelompok (Astawan & Astawan, 1991).

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan produk yang terkenal di daerah Asia dengan proses hidrolisa

secara fermentasi enzimatis maupun fermentasi garam.

Bahan yang biasa digunakan dalam produksi kecap ikan adalah bahan sampingan atau

limbah dari proses pembuatan surimi.

Proses fermentasi enzimatis kecap ikan pada umumnya menggunakan enzim protease baik

papain dari buah pepaya maupun bromelin dari buah nanas.

Proses penghancuran bahan bertujuan untuk proses ekstraksi yang optimal.

Bumbu yang ditambahkan akan meningkatkan aroma dan cita rasa produk serta sebagai

pengawet alami pada kecap ikan.

Gula kelapa bertujuan untuk menyeimbangkan flavor spesifik pada kecap ikan sehingga

produk akhir tidak terlalu asin oleh garam dan meningkatkan viskositas.

Reaksi mailard merupakan reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang

menghasilkan warna coklat sebagai akhir reaksi.

Garam dapur bertujuan untuk peningkatan cita rasa kecap ikan dan sebagai pengawet

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan antara lain adalah

metode yang digunakan, jumlah garam, lamanya inkubasi, dan penggunaan bumbu yang

tepat.

Proporsi enzim papain yang semakin banyak akan meningkatkan rasa, aroma dan aktivitas

protease oleh enzim papain.

Semarang, 30 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen

Oei, Amelia Ayu W.

13.70.0048 Michelle Darmawan

10

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Alkokar, A. V., D. Durai, dan A. J. Desai. (2009). Halobacterium sp. SP1 (1) as a Starter Culture for Accelerating Fish sauce Fermentation. Journal Applied Microbiology.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pessindo.

Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Deswati dan Armaini. 2004. Pemanfaatan Ikan Bernilai Ekonomis Rendah untuk Pembuatan Kecap Ikan di Tempat Pelelangan Ikan Gaung Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. http://repository.unand.ac.id/2698/3/deswati.ps

Fadiansyah, V. (2005). Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Udang Sebagai Matriks Penyangga Pada Imobilisasi Enzim Protease. Skripsi Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hezayen, F. F., Magdi A. M. Younis, Noura S. A. Hagaggi, dan Mohamed S. A. Shaheb. (2010). Oceanobacillus aswanensis Strain FS10 sp. nov., an Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Salted Fish Sauce in Aswan City, Egypt. Global Journal of Molecular Science 5, hal 01-06.

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Jiang, J. J., Qing Xiao Zeng, dan Zhi Wei Zhu. (2008). Analysis of Volatile Compound in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Food Bioprocess Technol.

Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba dalam Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lees, R. & E.B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

11

12

Shahidi, F. & J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Soyiri I, et al. 2003. Physico-chemical and quality characteristics of fishsauce produced from tuna processing wastes. Ghana.

Udomsil, N., Sureelak Rodtong, Somboon Tanasupawat, dan Jirawat Yongsawatdigul. (2010). Proteinase-Producing Halophilic Lactic Acid Bacteria Isolated from Fish Sauce Fermentation and Their Ability to produce Volatil Compound. International Journal of Food Microbiology, hal 186-194.

Zaman, M. Z., Fatimah Abu Bakar, Jinap Selamat, dan Jamilah Bakar. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fih Sauce. Czech J. Food Sci. Vol 28, No. 5, hal 440-449.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus perhitungan :

Rumus:

Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

KelompokD1

Hasilpengukuran = 40

Salinitas (% )= 401000

x100 %=4 %

Gram Papain :

0,2 %= 0,2100

x50=0,1 gram

KelompokC2

Hasilpengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,4 %= 0,4100

x50=0,2 gram

KelompokC3

Hasilpengukuran = 30

Salinitas (% )= 301000

x100 %=3 %

Gram Papain :

0,6 %= 0,6100

x 50=0,3 gram

KelompokC4

Hasilpengukuran =25

Salinitas (% )= 251000

x100 %=2,5 %

Gram Papain :

13

14

0,8 %= 0,8100

x 50=0,4 gram

KelompokC5

Hasilpengukuran = 35

Salinitas (% )= 351000

x100 %=3,5 %

Gram Papain :

1 %= 1100

x50=0,5 gram

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

15