Kecap Ikan_Milka Melinda_13.70.0012_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23
Acara III KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Milka Melinda Susanto NIM: 13.70.0012 Kelompok: D3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi enzim proteolitik terhadap karakteristik kecap ikan

Transcript of Kecap Ikan_Milka Melinda_13.70.0012_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara III

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Milka Melinda Susanto

NIM: 13.70.0012

Kelompok: D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Acara III

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain blender, toples, panci,

pengaduk, pisau, wadah, timbangan elektrik, hand refractometer, dan kompor.

1.1.2. Bahan

Bahan – bahan yang diperlukan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan,

enzim papain komersial, bawang putih, garam, gula kelapa, dan kain saring.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan di-blender hingga halus, lalu ditimbang sebanyak 50 gram dan

dimasukkan ke dalam toples

Ditambah enzim papain dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1); 0,4% (kelompok

D2); 0,6% (kelompok D3); 0,8% (kelompok D4); 1% (kelompok D5)

Acara III

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi ditambah dengan 300 ml air dan diaduk

Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring

Acara III

Filtrat ditambah dengan 50 gram bawang putih halus, 50 gram garam, dan 50 gram gula

kelapa

Filtrat direbus hingga mendidih (± 15 menit) sambil diaduk selama 30 menit

Didinginkan sebentar, lalu disaring lagi menggunakan kain saring

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Acara III

Rumus perhitungan salinitas kecap ikan:

Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml

(pengenceran 10-1)

Dilakukan uji salinitas kecap menggunakan hand refractometer

Acara III

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan yang dihasilkan dengan penambahan berbagai konsentrasi

enzim papain dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan

Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50Keterangan:Warna: Aroma:+ = tidak coklat gelap + = sangat tidak tajam++ = kurang coklat gelap ++ = kurang tajam+++ = agak coklat gelap +++ = agak tajam ++++ = coklat gelap ++++ = tajam+++++ = sangat coklat gelap +++++ = sangat tajam

Rasa: Penampakan:+ = sangat tidak asin + = sangat cair++ = kurang asin ++ = cair+++ = agak asin +++ = agak kental++++ = asin ++++ = kental+++++ = sangat asin +++++ = sangat kental

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dalam pembuatan kecap ikan diberi lima

perlakuan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0,2% (kelompok D1);

0,4% (kelompok D2); 0,6% (kelompok D3); 0,8% (kelompok D4); dan 1% (kelompok

D5). Dari semua perlakuan, persentase salinitas tertinggi terdapat pada kelompok D1

sebesar 4,00% dan terendah pada kelompok D4 sebesar 2,50%. Hasil pengamatan

secara sensori menunjukkan bahwa dari segi warna, kecap ikan kelompok D2

mempunyai warna coklat yang paling gelap. Dari segi rasa, kecap ikan kelompok D1

dan D5 mempunyai rasa yang paling asin. Dari segi aroma, kecap ikan kelompok D4

berbau paling tajam, dan dari segi penampakan, kecap ikan kelompok D4 dan D5

mempunyai penampakan yang paling cair.

Acara III

3. PEMBAHASAN

Kecap ikan merupakan salah satu produk hasil fermentasi ikan yang berupa cairan

jernih dengan flavor dan aroma khas. Kecap ikan umumnya dibuat dengan cara mem-

fermentasi ikan dengan penambahan garam maupun enzim (Akolkar et al., 2010).

Berdasarkan penelitian Zaman et al, (2010), kecap ikan mengandung nitrogen terlarut

dalam bentuk asam amino sebanyak 20 g/L.

Kecap ikan berbeda dengan kecap pada umumnya. Kecap ini terbuat dari bahan hewani

seperti ikan maupun udang yang diproses sedemikian rupa sehingga dihasilkan kecap

yang lebih encer dibandingkan kecap pada umumnya (Astawan & Astawan, 1988).

Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa kualitas kecap ikan dipengaruhi

oleh jumlah garam yang ditambahkan dan lamanya waktu fermentasi. Pada praktikum

ini, bahan baku yang digunakan untuk membuat kecap asin adalah tulang dan kepala

ikan bawal.

Berdasarkan jurnal Akolkar et al. (2010), kecap ikan dibuat dengan cara mencampurkan

ikan yang telah digiling dengan garam konsentrasi 20-30%, lalu disimpan dalam wadah

tertutup selama 6 sampai 18 bulan. Selanjutnya cairan yang dihasilkan dari proses

fermentasi disaring untuk mendapatkan kecap ikan yang bebas dari ampas. Udomsil et

al. (2010) menambahkan bahwa selama fermentasi terjadi penguraian senyawa

kompleks protein dari jaringan ikan oleh enzim protease yang terdapat pada tubuh ikan

maupun enzim yang dihasilkan oleh bakteri halotoleran.

Menurut Hezayen et al. (2010), bakteri halotoleran adalah bakteri yang dapat tumbuh

secara optimal pada konsentrasi garam antara 20-30%. Beberapa spesies bakteri yang

sering ditemukan dalam kecap ikan antara lain Bacillus, Staphylococcus, Pediococcus,

dan Tetragenococus (Udomsil et al., 2010). Pembuatan kecap ikan menggunakan

bakteri memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama sekitar 1 sampai 1,5

tahun karena diperlukan waktu adaptasi bagi bakteri penghasil enzim proteolitik untuk

dapat hidup dalam kondisi dengan kadar garam yang tinggi (Hezayen et al., 2010).

Berdasarkan jurnal Akolkar et al. (2010), ada beberapa yang telah dilakukan untuk

Acara III

mempercepat proses fermentasi ikan yaitu dengan mengurangi jumlah garam,

menurunkan pH dan meningkatkan suhu.

Salah satu cara untuk mempercepat proses pembuatan kecap ikan adalah dengan

menambahkan enzim proteolitik sebelum tahap inkubasi. Beberapa enzim proteolitik

yang telah digunakan secara komersial antara lain enzim papain (berasal dari getah

pepaya muda) dan enzim bromelin (berasal dari nanas mudah yang telah dihancurkan).

Enzim – enzim tersebut dapat menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih

sederhana seperti asam amino, pepton dan peptida, dimana dalam proses fermentasi,

ketiga senyawa tersebut akan saling bereaksi dan menimbulkan rasa dan aroma yang

khas (Astawan & Astawan, 1988). Menurut Beddows (1985), penggunaan enzim

proteolitik dalam pembuatan kecap ikan memang dapat mempercepat proses fermentasi,

namun diikuti dengan kehilangan rasa dan aroma dari kecap ikan. Oleh karena itu tujuan

dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan berbagai konsentrasi

enzim proteolitik terhadap karakteristik kecap ikan yang dihasilkan.

3.1. Pembuatan Kecap Ikan

Dalam pembuatan kecap ikan, mula – mula tulang dan kepala ikan di-blender hingga

halus, lalu ditimbang sebanyak 50 gram. Menurut Lay (1994), penghalusan bahan

dilakukan untuk mempermudah proses pencampuran bahan, sehingga didapatkan

adonan yang homogen. Kemudian adonan dimasukkan ke dalam toples dan ditambah

enzim papain dengan konsentrasi 0,2% (kelompok D1); 0,4% (kelompok D2); 0,6%

(kelompok D3); 0,8% (kelompok D4); dan 1% (kelompok D5). Penambahan enzim

papain bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi dalam pembuatan kecap ikan

(Beddows, 1985). Hal ini juga didukung dengan teori Lay (1994) bahwa enzim papain

termasuk dalam enzim proteolitik yang dapat melepaskan ikatan peptida pada protein,

sehingga terbentuk komponen lain yang lebih sederhana. Selain itu penambahan enzim

papain juga dapat meningkatkan rasa pada kecap ikan yang dihasilkan, serta

meningkatkan kadar protein dalam kecap ikan (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Lalu adonan diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Setelah 4 hari, hasil fermentasi

ditambah dengan 300 ml air, lalu diaduk dan disaring. Menurut Akolkar et al. (2010),

Acara III

selama masa penyimpanan terjadi penguraian protein pada jaringan ikan yang

menghasilkan asam amino dan peptida, sehingga akan timbul warna, aroma dan rasa

yang berbeda dibanding sebelum masa inkubasi. Selain itu Astawan & Astawan (1988)

manambahkan bahwa selama inkubasi dihasilkan asam amino, peptida dan pepton yang

akan menimbulkan rasa, aroma dan warna yang spesifik pada kecap ikan.

Selanjutnya penyaringan akan memisahkan cairan/ekstrak tulang dan kepala ikan

dengan ampasnya. Kemudian filtrat yang didapat ditambah dengan 50 gram bawang

putih halus, 50 gram garam, dan 50 gram gula kelapa halus. Menurut Fachruddin

(1997), penambahan bawang putih bertujuan untuk mengurangi bau tidak enak dari

ekstrak ikan. Selain itu penambahan bawang putih juga dapat memperpanjang umur

simpan dari kecap ikan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena bawang putih

mengandung senyawa alisin yang dapat menghambat aktivitas mikroorganisme,

sehingga kecap dapat bertahan lama. Penambahan gula kelapa dilakukan untuk

memberikan flavor dan warna coklat pada kecap ikan, serta meningkatkan kekentalan

dari kecap yang dihasilkan (Kasmidjo, 1990). Sementara itu penambahan garam

bertujuan untuk memberikan rasa asin pada kecap ikan. Hal ini sesuai dengan teori

Astawan & Astawan (1988) bahwa kecap ikan umumnya mempunyai rasa yang asin.

Selain itu penambahan garam juga dapat menigkatkan umur simpan dari kecap yang

dihasilkan karena meningkatkan kejenuhan dari kecap ikan, sehingga akan

menyebabkan perbedaan tekanan osmotik pada mikroorganisme (Desrosier &

Desrosier, 1977).

Selanjutnya filtrat yang telah dibumbui direbus hingga mendidih selama ± 15 menit.

Setelah itu larutan didinginkan sebentar, lalu disaring lagi. Penyaringan ini bertujuan

untuk menghasilkan kecap ikan yang bebas ampas. Kecap ikan yang dihasilkan

selanjutnya diamati secara sensori meliputi warna, aroma dan rasa, serta diukur

salinitasnya menggunakan hand refractometer. Penggunaan hand refractometer untuk

mengukur kadar garam dalam kecap ikan sesuai dengan teori Kultsum (2009), dimana

pengukuran padatan terlarut dilakukan dengan alat hand refractometer dan hasilnya

dinyatakan dalam satuan ˚brix.

Acara III

3.2. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain Terhadap Kualitas Kecap Ikan

Berdasarkan hasil sensori rasa dan pengukuran salinitas kecap ikan, didapatkan bahwa

kecap ikan kelompok D1 (enzim papain 0,2%) mempunyai rasa sangat asin dan salinitas

sebesar 4%. Kecap ikan kelompok D2 dan D3 (enzim papain 0,4% dan 0,6%)

mempunyai rasa asin dan salinitas sebesar 3%. Kecap ikan kelompok D4 (enzim papain

0,8%) mempunyai rasa kurang asin dan salinitas sebesar 2,5%. Kecap ikan kelompok

D5 (enzim papain 1%) mempunyai rasa sangat asin dan salinitas sebesar 3,5. Data

tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi salinitas, maka tingkat rasa asin semakin

bertambah. Menurut Jiang et al. (2008), rasa asin pada kecap ikan disebabkan karena

adanya senyawa glutamate yang berasal dari pemecahan protein, sehingga semakin

tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan maka senyawa turunan seperti glutamat

yang terbentuk juga semakin banyak dan menyebabkan kecap menjadi semakin asin.

Oleh karena itu, hasil pengamatan rasa kecap ikan sudah sesuai dengan teori yang ada.

Dari hasil pengamatan sensori warna kecap ikan, didapatkan bahwa kecap ikan

kelompok D1 dengan perlakuan enzim papain 0,2% mempunyai warna coklat gelap.

Kecap ikan kelompok D2 dengan perlakuan enzim papain 0,4% mempunyai warna

sangat coklat gelap. Kecap ikan kelompok D3, D4 dan D5 dengan perlakuan enzim

papain 0,6%; 0,8% dan 1% mempunyai warna agak coklat gelap. Data tersebut

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka warna kecap yang

dihasilkan semakin muda.

Dari hasil pengamatan sensori aroma kecap ikan, didapatkan bahwa kecap ikan

kelompok D1, D2 dan D3 dengan perlakuan enzim papain 0,2%; 0,4% dan 0,6%

mempunyai aroma kurang tajam. Kecap ikan kelompok D4 dengan perlakuan enzim

papain 0,8% mempunyai aroma tajam. Kecap ikan kelompok D5 dengan perlakuan

enzim papain 1% mempunyai aroma agak tajam.

Hasil pengamatan sensori warna dan aroma yang didapatkan tidak sesuai dengan teori

Akolkar et al. (2010) dan Astawan & Astawan (1988), bahwa selama masa inkubasi

terjadi penguraian protein pada jaringan ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana,

Acara III

sehingga timbul warna, aroma dan rasa yang berbeda dengan sebelumnya. Seharusnya

berdasarkan teori tersebut, kecap ikan kelompok D4 dan D5 mempunyai warna yang

paling gelap dan aroma yang paling tajam. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi

konsentrasi enzim papain yang ditambahkan maka pemecahan protein dan pembentukan

senyawa turunan seperti asam amino, pepton dan petida juga semakin cepat, sehingga

warna kecap yang dihasilkan semakin gelap dan aromanya semakin tajam. Perbedaan

hasil pengamatan sensori dengan teori dapat disebabkan karena beberapa hal seperti

pengaruh cahaya, suhu pemanasan yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan enzim

proteolitik mengalami denaturasi (Akolkar et al., 2010), penimbangan bahan dan ezim

yang tidak akurat, serta jumlah garam, gula kelapa dan bawang putih yang ditambahkan

antar kelompok tidak sama, sehingga mempengaruhi rasa, warna dan aroma dari kecap

ikan yang dihasilkan. Selain itu berdasarkan jurnal Udomsil et al. (2010), keberadaan

bakteri asam laktat dalam kecap ikan juga mempengaruhi rasa, warna dan aroma dari

kecap ikan.

Sementara itu dari hasil pengamatan sensori penampakan kecap ikan, didapatkan bahwa

kecap ikan kelompok D1 dengan perlakuan enzim papain 0,2% mempunyai

penampakan sangat kental. Kecap ikan kelompok D2 dengan perlakuan enzim papain

0,4% mempunyai penampakan kental. Kecap ikan kelompok D3 dengan perlakuan

enzim papain 0,6% mempunyai penampakan agak kental. Kecap ikan kelompok D4 dan

D5 mempunyai penampakan sangat cair. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin

tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka penampakan kecap semakin cair.

Selain itu menurut Sayed et al. (2010), kecap ikan yang baik memiliki penampakan

sangat cair/encer. Dari teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa kecap ikan kelompok

D4 dan D5 paling baik dari segi penampakan.

Acara III

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan salah satu produk hasil fermentasi ikan yang berupa cairan

jernih dengan flavor dan aroma khas.

Kecap ikan umumnya dibuat dengan cara memfermentasi ikan dengan penambahan

garam maupun enzim proteolitik.

Kualitas kecap ikan dipengaruhi oleh jumlah garam yang ditambahkan dan lamanya

waktu fermentasi.

Penambahan enzim proteolitik seperti enzim papain dan bromelin dalam pembuatan

kecap ikan dapat mempercepat proses fermentasi.

Selama masa inkubasi terjadi pemecahan protein yang menghasilkan senyawa turun

yang akan berpengaruh pada karakteristik kecap yang dihasilkan.

Penambahan bawang putih dapat mengurangi bau tidak enak dari ekstrak ikan yang

difermentasi dan memperpanjang umur simpan dari kecap ikan yang dihasilkan.

Gula kelapa berfungsi untuk memberikan flavor dan warna coklat pada kecap ikan,

serta meningkatkan kekentalan dari kecap yang dihasilkan.

Konsentrasi enzim papain berpengaruh terhadap kualitas sensori kecap ikan, dimana

semakin tinggi konsentrasi enzim maka warna kecap semakin gelap, aroma semakin

tajam, rasa semakin asin dan penampakan kecap semakin cair.

Persentase salinitas menunjukkan tingkat rasa asin, dimana semakin tinggi salinitas

maka rasa kecap ikan semakin asin.

Karakteristik kecap ikan yang baik adalah berbentuk sangat cair/encer, berwarna

coklat jernih, memiliki rasa tidak terlalu asin dan baunya tidak terlalu tajam.

Semarang, 29 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen:

- Michelle Darmawan

Milka Melinda Susanto 13.70.0012

Acara III

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawaty, W. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Akolkar, A.V., Durai, D. and Desai, A.J. (2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a Starter Culture for Accelerating Fish Sauce Fermentation. Journal of Applied Microbiology 109(2010): 44-53.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Beddows, C.G. (1985) Fermented fish and fish products. In Microbiology of Fermented Foods ed. Wood, B.J.B. pp. 1–39. London: Elsevier Applied Science.

Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Hezayen, F. F., Younis, M.A.M., Hagaggi, N.S.A. and Shabeb, M.S.A. (2010). Oceanobacillus aswanensis Strain FS10 sp. Nov., an Extremely Halotolerant Bacterium Isolated from Salted Fish Sauce in Aswan City, Egypt. Global Journal of Moecular Sciences 5(1): 01-06.

Jiang, J., Zeng, Q., and Zhu, Z. (2008). Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Food Bioprocess Technol DOI.1007/s 1947-008-0173-8.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kultsum, U. (2009). Pengaruh variasi nira tebu (Saccharum officinarum) dari beberapa varietas tebu dengan penambahan sumber nitrogen (N) dari tepung kedelai hitam (Glycine soja) sebagai substrat terhadap efisiensi fermentasi etanol. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).

Acara III

Udomsil, N., Rodtong, S., Tanasupawat, S., and Yongsawatdigul, J. (2010). Proteinase-Producing Halophilic Lactic Acid Bacteria Isolated From Fish Sauce Fermentation and Their Ability to Produce Volatile Compounds. International Journal of Food Microbiology 141 (2010): 186-194.

Zaman, M.Z., Bakar, F.A., Selamat, J., and Bakar, J. (2010). Ocurance of Biogenis Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Czech J. Food Sci., Vol. 28, No 5: 440-449.

Acara III

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Kelompok D1

Kelompok D2

Kelompok D3

Kelompok D4

Kelompok D5

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal