Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

32
1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain saring, dan pengaduk kayu. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih. 1.2. Metode 1 Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1% Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

description

Kecap ikan adalah salah satu produk ikan tradisional yang diolah dengan melalui cara fermentasi dan telah dikenal sejak lama. Kecap ikan dapat dibuat dari sari daging ikan yang sengaja dibuat khusus atau dapat juga dibuat dari sari daging ikan yang merupakan produk samping dari proses pengolahan lain. Kecap ikan tergolong kecap asin.

Transcript of Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

Page 1: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain

saring, dan pengaduk kayu.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

1

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples

Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

Page 2: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

2

Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma

Page 3: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

2.1 Tabel Pengamatan

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9

Keterangan:Warna : + : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap +++ : agak coklat gelap ++++ : coklat gelap +++++ : sangat coklat gelap Rasa+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asin

Aroma : + : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam Penampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Tabel diatas menunjukan hasil pengamatan terhadap kecap ikan yang dihasilkan oleh 5

kelompok dengan menggunakan presentase penambahan enzim papain yang berbeda-beda.

Dari segi warna didapatkan pada perlakuan penambahan enzim papain sebanyak 0,4% dan

0,6% dihasilkan warna kecap yang sangat coklat gelap, sedangkan warna yang kurang coklat

gelap dihasilkan dengan penambahan enzim papain sebanyak 0,2%. Dari segi rasa, untuk rasa

yang agak asin dihasilkan dengan penambahan papain 0,2% dan yang sangat asin dihasilkan

dengan penambahan enzim sebanyak 0,4% an 0,6%. Pengamatan untuk aroma didapatkan

dari kelima kelompok tidak menghasilkan perbedaan aroma yang terlalu sgnifikan dimana

kelompok B1 dan B2 menghasilkan kecap dengan aroma yang agak tajam, sedangkan

kelompok B3-B5 menghasilkan kecap dengan aroma kurang tajam. Hasil yang tidak terlalu

signifikan juga diperoleh dari segi penampakan kecap dimana kelompok B1, B3, dan B4

menghasilkan kecap yang cair, sedangkan B2 dan B5 menghasilkan kecap yang agak kental.

Pada persentase salinitas yang tertinggi pada kelompok B2 dengan perlakuan penambahan

enzim papain sebanyak 0,4% dan persentase salinitas terendah pada kelompok B4 dengan

perlakuan penambahan enzim papain sebanyak 0,8%.

3

Page 4: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan kali ini adalah pembuatan kecap ikan. Kecap ikan

merupakan salah satu bentuk pangan olahan hasil laut. Ikan merupakan salah satu

sumber protein hewani. Protein sangat bermanfaat bagi tubuh manusia membentuk

sel-sel dan jaringan baru tubuh dan memelihara pertumbuhan dan perbaikan jaringan

tubuh yang aus. Protein juga membantu pengaturan asam basa di dalam tubuh, serta

membentuk hormon dan enzim yang kemudian berperan dalam berbagai proses kimia

tubuh (Petrucci, 1992). Pengolahan dan pengawetan bertujuan untuk mempertahankan

mutu dan kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau

menghentikan sama sekali penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun

penyebab kerusakan ikan (misalnya aktivitas enzim, mikroorganisme, atau oksidasi

oksigen), agar ikan tetap baik sampai ke tangan konsumen.

Ikan adalah salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi

terutama protein. Sumber protein hewani yang potensial karena menganding protein

sebesar 17 – 24% dari beratnya (Fardiaz, 1995). Tetapi ikan memiliki kekurangan

yaitu bahan pangan yang mempunyai sifat perishable atau cepat membusuk. Sehingga

dibutuhkan teknik pengawetan seperti penggaraman, pengeringan, pengasapan,

pengawetan suhu tinggi maupun pengawetan dengan suhu rendah. Walaupun dengan

beberapa teknik pengawetan tersebut dapat memperpanjang umur simpan, namun cara

tersebut menurunkan kualitas ikan. Sehingga diperlukan pengolahan lebih lanjut

(Moeljanto, 1994).

Pengolahan ikan bermanfaat untuk memperbaiki bau (odor), cita rasa (flavour),

penampakan (appearance), dan tekstur (texture) daging. Selain itu juga mampu

memperpanjang umur simpan. Namun tidak semua atau seluruh bagian dari ikan

dapat dimakan. Bagian yang dapat dimakan hanya ada sekitar 70%. Bagian kepala,

ekor, sirip dan isi perutnya semuanya dibuang atau diolah menjadi produk lain

(Irawan, 1995). Kecap ikan adalah salah satu produk ikan tradisional yang diolah

dengan melalui cara fermentasi dan telah dikenal sejak lama. Kecap ikan dapat dibuat

dari sari daging ikan yang sengaja dibuat khusus atau dapat juga dibuat dari sari

daging ikan yang merupakan produk samping dari proses pengolahan lain (Afrianto &

Liviawaty, 1989). Kecap ikan adalah cairan bersih bewarna coklat yang dibuat dari

Page 5: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

hasil hidrolisis ikan. Bahan membuat kecap ikan yang utama adalah ikan dan garam.

Rasio yang digunakan umumnya 1 : 6 hingga 1 : 2 (Lopetcharat & Park, 2002).

Pembuatan kecap ikan dilakukan proses fermentasi. Proses fermentasi ini ada 2

macam, yaitu fermentasi menggunakan garam dan fermentasi secara enzimatis

(Afrianto & Liviawaty, 1989). Menurut Fakunle (2010) yang mengatakan bahwa

kecap ikan dibuat dengan cara fermentasi dan penggaraman. Dimana penggaraman ini

dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen sehingga memperpanjang umur

simpan. Pada praktikum kecap ikan ini dilakukan untuk mengetahui proses dari

pembuatan kecap ikan dengan cara enzimatis. Penggunaan enzim papain berbagai

konsentrasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik kecap ikan yang

ditinjau dari segi sensoris meliputi rasa, aroma, penampakan dan warna, serta diukur

salinitasnya menggunakan hand refractometer.

1.1. Klafikasi Bahan Baku

Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal. Ikan bawal

adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis. Dagingnya gurih dan

memiliki banyak duri pada dagingnya. Ciri-ciri ikan bawal berbentuk sikloid,

gampang dikelupas dan sisiknya meluas sampai ke dasar semua sirip. Termasuk ikan

invertebrata, hidup diperairan yang dasarnya berlumpur sampai kedalaman 100 m,

sering masuk air payau dan membentuk gerombolan besar Ikan ideal yang digunakan

dalam pembuatan surimi harus mempunyai kekuatan gel yang baik sehingga

dihasilkan produk yang memiliki tekstur yang elastis/ kenyal, rasa yang baik dan

penampakan yang lebih putih (Miyake et al., 1985). Ikan bawal mudah didapatkan di

kehidupan sehari-hari dan cukup melimpah. Pemilihan ikan untuk bahan baku surimi

juga harus tepat, dimana kesegaran ikan mentah akan mempengaruhi produk akhir

terutama dalam hal elestisitasnya (Fortina, 1996). Menurut Mueda (2015) proses

produksi kecap ikan biasanya melibatkan penggunaan spesies kecil dari ikan seperti

ikan teri (Stolephorus sp.), Sarden (Sardinella sp.), Mackerel (Rastrelliger sp. Dan

tawar scombrus), gambusia (affinis affinis), kapur sirih Pacific (Merluccius . sp) dan

jenis ikan bernilai rendah lainnya. Hal ini diperkuat oleh Ibrahim (2010) Kecap ikan

terbuat dari Gambusia (affinis affinis). Ikan asin secara manual dikeringkan

menggunakan cheese cloth untuk memisahkan supernatan untuk menjaga kadar garam

ikan asin. Saus ikan yang diperoleh terdiri dari air 65,97%, 12,37% protein kasar,

1,56% lemak, 19,33% abu dan 9,08% konten natrium klorida. Selain itu, nilai pH

Page 6: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

adalah 6.08. Pembuatan komersial kecap ikan bervariasi pada spesies ikan dan rasio

garam dan ini sangat mempengaruhi kualitas produk akhir. Pembuatan komersial

menurut Lee (2013) prosedur untuk membuat kecap ikan terdiri dari pencampuran

ikan uneviscerated kecil dengan NaCl pada konsentrasi tinggi (> 25%) dan kemudian

menyimpan campuran dalam pembuluh tertutup pada suhu kamar atau bawah tanah

untuk jangka waktu 1-5 tahun. Karena kebanyakan mikroorganisme, kecuali untuk

beberapa halophiles, tidak dapat tumbuh dan enzim endogeneous juga tidak bisa

menghidrolisis ikan sangat baik pada kondisi garam tinggi, biasanya membutuhkan

waktu fermentasi lama.

Klasifikasi ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) menurut Saanin (1984) :

Filum : Chordata

Subfilum : Craniata

Kelas : Pisces

Subkelas : Neopterigii

Ordo : Cypriniformes

Subordo : Cyprinoidea

Famili : Characidae

Genus : Colossoma

Species : Colossoma macropomum

1.2. Proses Pembuatan Kecap Ikan

Dalam percobaan kali ini akan dibuat kecap ikan dari bahan ikan bawal. Ikan

mempunyai nilai protein tinggi, dan kandungan lemaknya rendah sehingga banyak

memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh manusia. Penggolahan ikan dengan

berbagai cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak. Kecap

ikan adalah kecap yang diolah dengan proses peragian yang berjalan lambat.

Warnanya bening kekuningan sampai coklat muda, dan rasanya relatif asin (shih,

2003).

Mula- mula tulang dan ekor ikan dipisahkan dari daging nya, lalu dihancurkan dengan

blender dan ditimbang sebanyak 50 gram. Penghancuran ini bertujuan untuk

mempermudah proses pencampuran dengan bahan – bahan yang lain sehingga bisa

terbentuk massa adonan yang homogen (Lay, 1994). Penggunaan ikan bawal sudah

Page 7: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

tepat karena untuk membuat kecap ikan pada praktikum ini digunakan duri dari ikan

bawal. Ikan bawal yang digunakan untuk membuat kecap haruslah segar agar kecap

yang dihasilkan baik. Bila ikan yang digunakan untuk membuat kecap tidak segar

maka kandungan asam amino kecap ikan akan menjadi rendah (Astawan & Astawan,

1991). Dan menurut Miyake et al. (1985) ikan bawal memamg memiliki banyak duri.

Setelah itu, dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Enzim papain ditambahkan ke

dalam wadah dengan konsentrasi yang berbeda-beda antar kelompok. Enzim papain

0,2% (kelompok C1), 0,4% (kelompok C2), 0,6% (kelompok C3), 0,8% (kelompok

C4), dan 1% (kelompok C5).

Penggunaan enzim papain ini dikarenakan kandungan enzim protease di dalamnya.

Protease merupakan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein, di mana

enzim protease memiliki kemampuan untuk memecah ikatan peptida pada suatu

substrat di bawah kondisi yang memungkinkan. Peristiwa ini disebut juga dengan

aktivitas proteolitik. Tingkat hidrolisis yang tinggi memungkinkan menghasilkan

beberapa asam amino bebas, tetapi angka ikatan peptida pada rantai peptida yang

panjang akan berkurang. Enzim protease mampu menguraikan protein menjadi

beberapa komponen seperti peptida, pepton dan asam amino yang saling berinteraksi

menciptakan rasa yang khas. Kandungan gizi utama kecap ikan adalah protein

terhidrolisa, senyawa nitrogen terlarut dan mineral dalam bentuk garam terutama

natrium, kalsium dan iodium (Lay, 1994). Enzim papain yang dapat berguna untuk

memecah molekul protein. Papain merupakan enzim proteolitik pada getah pepaya,

baik batang, daun, dan buahnya. Papain tidak mengandung karbohidrat dalam

molekulnya (Lisdiana & Soemadi, 1997). Papain tergolong dalam kelompok enzim

protease sulfhidril golongan protein. Enzim protease yang dihasilkan dari buah nanas

dan pepaya dapat digunakan untuk memecah molekul protein. Oleh karena itu, enzim

ini termasuk golongan endopeptidase yang memecah protein dari dalam (Petrucci,

1992).

Selanjutnya, campuran ikan halus dan enzim papain (dengan perbandingan yang

berbeda-beda tiap kelompok) tadi dimasukkan dalam wadah bersih lalu ditutup rapat

dalam toples, dan dibiarkan selama 4 hari. Penutupan dengan toples bertujuan untuk

menciptakan kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta

untuk mencegah adanya kontaminan (kotoran) yang masuk. Tujuan inkubasi adalah

Page 8: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

supaya enzim papain dapat menghidrolisis ikatan peptida pada limbah ikan tersebut

(Soeparno, 1994). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena apabila dilakukan pada

suhu tinggi, enzim protease akan mengalami denaturasi. Hal ini sesuai dengan teori

dari Gaman & Sherrington (1994), enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 18 0 -

23 0C atau maksimal 40 0C karena pada suhu 45 0C enzim akan terdenaturasi karena

merupakan salah satu bentuk protein. Pada dasarnya, fermentasi adalah suatu proses

penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam tubuh ikan menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim atau fermen yang berasal dari

tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi

lingkungan yang terkontrol. Proses penguraian ini dapat berlangsung dengan atau

tanpa aktivitas mikroorganisme, terutama dari golongan jamur dan ragi. Enzim yang

berperan dalam proses fermentasi terutama didominasi oleh enzim proteolitis yang

mampu mengubah protein (Afrianto & Liviawaty, 1989). Namun, dalam percobaan

ini enzim yang digunakan berasal dari ekstrak buah nanas dan pepaya. Teknologi

pembuatan kecap ikan enzimatik dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi

berlimpahnya ikan tangkapan. Proses pembuatan kecap ikan enzimatik lebih cepat

dibandingkan dengan cara tradisional, sehingga secara ekonomis menguntungkan

(Hendritomo et al., 2005).

Setelah dibiarkan 4 hari, ditambahkan air sebanyak 300 ml. dilakukan penyaringan

terhadap cairan hasil fermentasi tersebut dengan menggunakan kain saring.

Penyaringan bertujuan agar cairan hasil fermentasi tersebut bebas dari kotoran.

Kemudian filtrat yang diperoleh direbus sampai mendidih selama 30 menit sambil

dimasukkan bumbu-bumbu yang digunakan (50 gram bawang putih, 50 gram garam,

dan 50 gram gula jawa). Bumbu digunakan untuk menambah aroma dan cita rasa.

Bumbu-bumbu ini secara alami memberikan daya awet ini dikarenakan bawang putih

mengandung zat allicin yang efektif membunuh bakteri, sehingga bersifat

antimikrobia (Fachruddin, 1997). Sedangkan penambahan garam dilakukan untuk

memberi rasa asin, memberi efek pengawetan dan menguatkan rasa. Penambahan

garam dapat memberi efek pengawetan karena garam juga mampu untuk menurunkan

aw, menurunkan kelarutan oksigen, serta mengganggu keseimbangan ionik sel

mikroorganisme karena terjadi peningkatan proton di dalam sel (Desrosier &

Desrosier, 1977). Gula kelapa digunakan untuk menentukan jenis kecap yang

dihasilkan yakni kecap asin atau kecap manis patokannya adalah setiap satu liter

Page 9: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

filtrat membutuhkan 2 kg gula kelapa. Sedangkan untuk kecap asin setiap satu liter

filtrat membutuhkan gula jawa 2,5 ons (Astawan & Astawan, 1991). Penambahan

gula kelapa mengakibatkan warna coklat karamel dan viskositasnya naik sehingga

kecap tradisional memiliki sifat kekentalan yang spesifik. Selain itu juga terjadi

pembentukan warna yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan antara beberapa

komponen pembentuk citarasa dan gula. Warna coklat pada kecap bisa juga muncul

karena reaksi browning pada saat pemasakan yang mengakibatkan gula dan

komponen cita rasa lainnya bereaksi satu sama lain serta bereaksi dengan panas yang

juga mengakibatkan karamelisasi pada gula. Pada dasarnya warna coklat pada saat

fermentasi kurang bisa nampak hanya bisa nampak atau makin menguat pada saat

pemasakan karena bertemu dengan panas yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Reaksi

Maillard ini merupakan reaksi yang terjadi antara gugus-gugus asam amino yang

terkandung dalam daging ikan dengan gula pereduksi yang terkandung dalam gula

jawa, sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat (Lees & Jackson, 1973).

Setelah mendidih dan agak dingin disaring lagi. Kemudian dilakukan pengamatan

sensoris meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan. Selain itu juga dilakukan

pengamatan salinitas menggunakan hand refraktometer.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuatan kecap ikan pada

praktikum ini menggunakan fermentasi secara enzimatis, dimana enzim yang

digunakan berupa enzim papain komersial. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989),

fermentasi adalah proses penguraian senyawa-senyawa kompleks dari tubuh ikan

menjadi senyawa yang lebih sederhana, penguraian ini dilakukan oleh enzim yang

berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam

kondisi lingkungan yang terkontrol. Enzim yang berperan dalam proses fermentasi

adalah enzim proteolitik yang mampu mengubah protein. Shih (2003) yang

mengatakan bahwa kecap ikan adalah cairan berwarna coklat yang diperoleh dari

hidrolisis protein. Selama fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis dengan bantuan

enzim protease. Sehingga menghasilkan bau dan aroma yang khas.

Pembuatan kecap asin dengan cara fermentasi ini membutuhkan waktu yang lebih

singkat dibandingkan dengan cara penambahan garam. Namun cara ini akan

menghasilkan aroma dan cita rasa yang kurang disukai masyarakat (Astawan &

Astawan, 1988). Hal ini sesuai dengan teori Berna (2006) yang mengatakan bahwa

Page 10: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

fermentasi bukan hanya memperpanjang umur simpan tetapi juga berubah flavor dan

kualitas nutrisi dari produk. Proteolisis adalah proses yang terjadi selama fermentasi

yang akan mendegradasi protein menjadi asam amino dan peptida. Proses ini

berpengaruh terhadap karakteristik sensoris dari kecap ikan. Kecap ikan di Thailand

menfermentasi menggunakan garam dengan konsentrasi yang tingg. Thailand, saus

ikan mengandung konsentrasi tinggi garam, sehingga mikroorganisme yang

ditemukan selama produksi kecap ikan umumnya diklasifikasikan sebagai halofilik

bakteri, sehingga memiliki aroma dan rasa yang lebih baik dibandingkan dengan

penambahan enzim (Tanasupawat, 2009).

1.3. Pengamatan Terhadap Penampakan Kecap Ikan

Pengamatan sensorik yang dilakukan salah satunya adalah penampakan. Dari hasil

pada Tabel 1., diperoleh bahwa kecap ikan yang dibuat dengan enzim papain

konsentrasi 0,2%, 0,6% dan 0,8% memiliki penampakan yang cair. Sedangkan kecap

ikan dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 0,4% dan 1% memiliki

penampakan yang agak kental. Dari hasil tersebut menunjukkan perbedaan hasil yang

tidak terlalu signifikan oleh perbedaan penggunaan enzim papain dengan berbagai

konsentrasi. Seharusnya, semakin banyak protease yang ditambahkan maka akan

semakin tinggi pula hidrolisis protein dan proses autolisis yang terjadi (Astawan &

Astawan, 1991). Di mana seluruh kelompok dalam percobaan ini menggunakan

limbah ikan dengan jumlah yang sama, yaitu 50 gram, sehingga proses penguraian

tersebut tidak dipengaruhi oleh jumlah substratnya (protein dari ikan). Dengan

dilakukan proses pengolahan dan pengawetan maka kecap asin mempunyai bentuk

yang cukup encer (Astawan & Astawan, 1991). Penyimpangan hasil dalam percobaan

ini dapat dikarenakan, kekentalan pada kecap tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah

enzim yang digunakan, tetapi juga oleh penambahan gula jawa dan air, pemanasan

serta pengadukan. Menurut Kasmidjo (1990), penambahan gula kelapa

mengakibatkan warna coklat karamel dan viskositasnya naik sehingga kecap

tradisional memiliki sifat kekentalan yang spesifik. Selain itu juga disebabkan karena

pengukuran secara sensori hanya seorang saja sehingga lebih subyektif dengan

penampakan dan hanya dilakukan seorang sehingga kurang akurat. Bila dilihat dari

hasil keseluruhan kelompok penampakan yang dihasilkan cair. Hasil ini sesuai dengan

teori dengan dilakukan proses pengolahan dan pengawetan maka kecap asin

mempunyai bentuk yang cukup encer (Astawan & Astawan, 1991). Menurut Fukuda

Page 11: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

(2014) bahwa kecap ikan yang dibuat dapat menggunkan Filamentous Fungi memiliki

aktivitas enzim yang tinggi, termasuk amilase, protease, lipase, dan sebagainya. Oleh

karena itu Filamentous Fungi memiliki kemampuan tinggi pemanfaatan substrat.

Fermentasi ini menghasilkan ikan yang mengandung antioksidant yang cukup tinggi.

1.4. Pengamatan Terhadap Warna Kecap Ikan

Hasil pengamatan terhadap warna kecap ikan, menunjukkan bahwa kecap berwarna

coklat. Penambahan gula kelapa mengakibatkan warna coklat karamel dan

viskositasnya naik sehingga kecap tradisional memiliki sifat kekentalan yang spesifik.

Selain itu juga terjadi pembentukan warna yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan

antara beberapa komponen pembentuk citarasa dan gula. Warna coklat pada kecap bisa

juga muncul karena reaksi browning pada saat pemasakan yang mengakibatkan gula

dan komponen cita rasa lainnya bereaksi satu sama lain serta bereaksi dengan panas

yang juga mengakibatkan karamelisasi pada gula. Pada dasarnya warna coklat pada

saat fermentasi kurang bisa nampak hanya bisa nampak atau makin menguat pada saat

pemasakan karena bertemu dengan panas yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Reaksi

Maillard ini merupakan reaksi yang terjadi antara gugus-gugus asam amino yang

terkandung dalam daging ikan dengan gula pereduksi yang terkandung dalam gula

jawa, sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat (Lees & Jackson, 1973).

Kecap yang bewarna sangat coklat gelap adalah kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%

dan 0,6% diikuti dengan 0,8% dan 1% menghasilkan coklat gelap dan B1

menghasilkan warna coklat agak gelap. Hasil ini sesuai dengan teori di mana gula jawa

dan pemanasan dalam pembuatan kecap ini menyebabkan terjadinya reaksi browning,

yaitu reaksi antara gula dan komponen cita rasa lainnya akibat adanya panas atau suhu

yang tinggi (Lees & Jackson, 1973). Selain itu, warna kecap ikan yang dihasilkan

tersebut terbentuk karena adanya reaksi antar asam-asam amino dengan gula reduksi

(Kasmidjo, 1990). Gula reduksi diperoleh dari penambahan gula jawa sedangkan asam

amino diperoleh dari hasil hidrolisis protein ikan oleh enzim protease, di mana enzim

protease mempunyai kemampuan untuk memecah ikatan peptida pada suatu substrat

(ikan) dibawah kondisi yang memungkinkan, peristiwa ini disebut juga dengan

aktivitas proteolitik. Tingkat hidrolisis yang tinggi mungkin menghasilkan beberapa

asam amino bebas tapi ikatan peptida pada rantai peptida yang panjang akan berkurang

Page 12: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

(Lay, 1994). Jadi, semakin banyak konsentrasi enzim yang ditambahkan pada kecap

ikan, warnanya semakin coklat.

Pada kelompok B1 kurang sesuai dari pernyataan diatas, karena pengamatan

organoleptik warna ini sifatnya sangat subyektif. Tergantung panelis yang melakukan

pengamatan sehingga tidak objektif. Penilaian masing-masing orang bisa saja

berbeda-beda karena tidak ada patokan yang pasti. Oleh karena itu data yang

dihasilkan hanya bersifat relatif dan tidak sepenuhnya akurat seperti bila mengukur

menggunakan alat.

1.5. Pengamatan Terhadap Rasa Kecap Ikan

Komponen aroma dan flavor dalam kecap ditentukan oleh komponen nitrogen

pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Bila membentuk

senyawa garam dengan asam glutamat akan menyebabkan flavor yang enak.

Demikian pula arginin, histidin, lisin, putresin dengan asam suksinat juga dapat

menyebabkan flavor yang enak. Sedangkan semua garam dari tiramin dan klorin

berasa pahit, demikian juga garam dari asam laktat, format, fosfat dan asetat. Flavor

kecap yang khas dihasilkan dari asam glutamat (hasil penguraian protein) (Amstrong,

1995). Semakin banyak protease yang ditambahkan maka akan semakin tinggi pula

hidrolisis protein dan proses autolisis yang terjadi (Astawan & Astawan, 1991). Jadi,

semakin banyaknya enzim yang digunakan, maka protein dalam daging ikan yang

terhidrolisis oleh enzim tersebut akan semakin banyak, padahal kandungan protein

pada daging ikan inilah yang akan memberikan kontribusi flavor (rasa) terbesar pada

daging, kecap ikan yang dihasilkan rasanya menjadi tidak kuat.

Hasil pengamatan pada kelompok B1 hasilnya sesuai dengan teori. Namun, ada hasil

pengamatan yang tidak sesuai dengan teori, yaitu pada kelompok B5. Hal ini

disebabkan karena pengamatan organoleptik rasa ini sifatnya sangat subyektif.

Tergantung panelis yang melakukan pengamatan sehingga tidak objektif. Penilaian

masing-masing orang bisa saja berbeda-beda karena tidak ada patokan yang pasti.

Oleh karena itu data yang dihasilkan hanya bersifat relatif dan tidak sepenuhnya

akurat seperti bila mengukur menggunakan alat. Selain itu, rasa kecap ikan juga

dipengaruhi penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang berfungsi untuk

meningkatkan aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan (Astawan &

Page 13: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

Astawan, 1991). Proses fermentasi yang terjadi pada saat pengolahan merupakan

penguraian secara biologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein dan

dalam keadaan terkontrol selama proses fermentasi produk olahan akan terhidrolisis

menjadi asam-asam amino dan akan terurai lebih lanjut dalam pembentukan rasa

produk (shih, 2003).

1.6. Pengamatan Terhadap Aroma Kecap Ikan

Sama halnya dengan rasa kecap ikan, komponen aroma dalam kecap ditentukan oleh

komponen nitrogen pendukung yaitu kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia

(Amstrong, 1995). Semakin banyak protease yang ditambahkan maka akan semakin

tinggi pula hidrolisis protein dan proses autolisis yang terjadi (Astawan & Astawan,

1991). Jadi, semakin banyaknya enzim yang digunakan, maka protein dalam daging

ikan yang terhidrolisis oleh enzim tersebut akan semakin banyak, padahal kandungan

protein pada daging ikan inilah yang akan memberikan kontribusi aroma terbesar

pada kecap ikan, sehingga kecap ikan yang dihasilkan aromanya menjadi tidak tajam.

Flavor kecap yang khas dihasilkan dari asam glutamat (hasil penguraian protein).

Astawan & Astawan (1991) juga menambahkan jika ikan yang digunakan untuk

membuat kecap tidak segar maka kandungan asam amino kecap ikan akan menjadi

rendah. Sehingga kesegaran ikan sangat berpengaruh terhadap karakter kecap ikan

yang dihasilkan. Ikan yang digunakan oleh tiap kelompok berasal dari sumber yang

berbeda sehingga kemungkinan tingkat kesegarannya tidak sama juga cukup besar.

Semakin segar ikan maka warna dan rasa yang dihasilkan juga semakin kuat karena

kandungan asam amino yang dihasilkan dari hidrolisa ikan oleh enzim tinggi.

Hasil pengamatan hasilnya tidak sesuai dengan teori, yaitu pada semua kelompok.

Hasil yang didapatkan semakin besar konsentrasi semakin menurun aroma yang

dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pengamatan organoleptik aroma ini sifatnya

sangat subyektif. Tergantung panelis yang melakukan pengamatan sehingga tidak

objektif. Penilaian masing-masing orang bisa saja berbeda-beda karena tidak ada

patokan yang pasti. Oleh karena itu data yang dihasilkan hanya bersifat relatif dan

tidak sepenuhnya akurat seperti bila mengukur menggunakan alat. Selain itu, aroma

kecap ikan juga dipengaruhi penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang

berfungsi untuk meningkatkan aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan

(Astawan & Astawan, 1991). Juga karena pengaruh lain sebagai akibat penambahan

Page 14: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

enzim papain yang terlalu banyak sehingga proses fermentasi terlalu cepat. Meskipun

proses pembuatannya relatif cepat, namun mutu kecap ikan yang dihasilkan lebih

rendah daripada kecap ikan yang dibuat secara tradisional. Hal ini terjadi karena

dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain terbentuk senyawa

peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap (Afrianto

& Liviawaty, 1989). Jadi, aroma tajam tersebut bukan berasal dari aroma ikan tetapi

berasal dari bau tidak sedap yang dihasilkan.

Refraktometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur jatuhnya sinar

dibiaskan dan menentukan besarnya indeks bias, bila cahaya tersebut bergerak dari

udara menuju sebuah sampel cair (Hanson, 2003). Pada praktikum ini hand

refractometer digunakan untuk mengukur kadar garam. Hasil nilai sanilitas

menunjukkan bahwa urutan kecap dari yang paling asin adalah kelompok B2, B5, B1,

B3, dan B4. Refraktometer sangat sensitif dan mudah tergores. Untuk proses

pembersihannya harus dilakukan secara hati-hati dan teliti. Sehingga hal ini akan

berpengaruh terhadap hasil atau nilai yang muncul (Pastorek,2002). Faktor lain

disebabkan oleh banyak sedikitnya bumbu (bawang putih, garam, dan gula jawa) yang

ditambahkan (Astawan & Astawan, 1991).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pembuatan kecap ikan adalah:

Enzim papain

Semakin banyak jumlah sumber enzim yang digunakan maka semakin banyak

protease yang tersedia untuk menghidrolisa ikan sehingga aktivitas hidrolisa

semakin tinggi sehingga semakin banyak komponen penyusun aroma yang

dihasilkan dan aroma dari kecap ikan yang dihasilkan semakin tajam (Astawan &

Astawan, 1991).

Tingkat kesegaran ikan

Semakin segar ikan maka warna dan rasa yang dihasilkan juga semakin kuat

karena kandungan asam amino yang dihasilkan dari hidrolisa ikan oleh enzim

tinggi (Astawan & Astawan, 1991).

Bumbu-bumbu tambahan

Bumbu digunakan untuk menambah aroma dan cita rasa. Bumbu-bumbu ini

secara alami memberikan daya awet (Fachruddin, 1997). Garam berfungsi untuk

memberi rasa asin, memberi efek pengawetan, serta menguatkan rasa (Desrosier

Page 15: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

& Desrosier, 1977). Penggunaan gula kelapa dan gula aren akan menghasilkan

warna kecap ikan menjadi coklat karamel (Kasmidjo, 1990).

Page 16: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Kecap yang biasa dikenal masyarakat adalah merupakan makanan tradisional

yang dibuat dari fermentasi kedelai hitam atau kacang – kacangan lainnya yang

menghasilkan cairan warna coklat sampai hitam

Pembuatan kecap umumnya menggunakan fermentasi

Produk kecap ikan mirip dengan kecap dari kacang kedele, merupakan sumber

protein, tetapi mempunyai kelebihan yaitu asam-asam amino sesnsial lebih banyak

Kecap ikan dapat dibuat dari sari daging ikan yang sengaja dibuat khusus atau

dapat juga dibuat dari sari daging ikan yang merupakan produk sampingan dari

proses pengolahan lain

Alasan ikan ingin dibuat menjadi kecap, adalah karena sudah diketahui bahwa

ikan banyak mengandung gizi yang penting

Kecap ikan memiliki segi positif yaitu tidak memerlukan jenis ikan tertentu,

ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis pun dapat digunakan sebagai bahan

dasar, bahkan ikan yang berasal dari sisa pengolahan pun dapat digunakan sebagai

bahan dasar

Teknologi pembuatan kecap ikan enzimatik dapat menjadi salah satu alternatif

dalam mengatasi berlimpahnya ikan tangkapan

Enzim bromelin adalah enzim protease spesifik pada buah nanas

Protease merupakan enzim yang digunakan untuk menghidrolisis protein

Bumbu untuk kecapikan yang dipakai adalah gula jawa, bawang dan garam

Sebenarnya warna coklat juga muncul karena reaksi browning pada saat

pemasakan yang mengakibatkan gula dan komponen cita rasa lainnya bereaksi

satu sama lain serta bereaksi dengan panas yang juga mengakibatkan karamelisasi

pada gula

Biasanya perbandingan antara daging ikan yang digunakan dan nanas adalah 1

: 5

Takaran bumbu yang dipakai pada pemasakan kecap, menentukan rasa dan

aroma kecap

16

Page 17: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Berna Kilinc, Sukran Cakli, Sebnem Tolasa, Tolga Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changes Associated with Fish Sauce Processing. Eur Food Res Technol 222: 604–613.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Fakunle Olubunmi, Sadiku Suleman,Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010). Preliminary Production of Sauce From Clupeids. New York Science Journal 3: 3.

Fardiaz, D. 1995. Kamaboko Produk Olahan Ikan yang Berpotensi untuk Dikembangkan. Media Teknologi Pangan Vol II. Academic Press. London.

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Fukuda T, et all. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal

of National Fisheries University. Japan.

Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.

Hendritomo, H.I. ; S. Setyahadi ; S. Hadiwiyoto. (2005). Teknologi Pembuatan Kecap Asin Secara Enzimatik Terkendali untuk Industri Skala Menegah Dan Rumah Tangga.

17

Page 18: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

Ibrahim Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. National Institute of Oceanography and Fisheries. Egypt.

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : Mikrobiologi dan Biokomia Pengolahan serta Pemanfaatannya.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lee J.M., Dong C.L., and Sang M.K. (2013). The Effects of Koji and Histidine on the Formation of Histamine in Anchovy Sauce and the Growth Inhibition of Histamine Degrading Bacteria with Preservative. American journal of advance food scienceand technology. Korea

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol 67, Nr. 2.

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Moelyanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mueda Rose T. (2015). Physico-chemical and color characteristics of saltfermented

fish sauce from anchovy Stolephorus commersonii. AACL Bioflux. Philipines.

Pastorek, C. (2002). Refractometry. Journal of food scince. USA.

Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.

Tanasupawat S., et all. (2009). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (nam-pla) in Shailand. Journal of Culture Collections. Thailand.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan, Bina Cipta. Jakarta.

18

Page 19: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

Shih, I.L.; L.G. Chen; T.S. Yu; W.T. Chang; & S.L. Wang. (2003). Microbial reclamation of fish processing wastes for the production of fish sauce. Enzyme and Microbial Technology 33 (2003) 154-162.

Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

19

Page 20: Kecap Ikan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Kelompok B 1

Hasil pengukuran = 30

Kelompok B 2

Hasil pengukuran = 60

Kelompok B 3

Hasil pengukuran = 50

Kelompok B 4

Hasil pengukuran = 45

Kelompok B 5

Hasil pengukuran = 59

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

20