Kecap Ikan_Gabriella Rosalita_13.70.0027_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download Kecap Ikan_Gabriella Rosalita_13.70.0027_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 15

description

Kecap ikan merupakan produk dari hasil hidrolisa ikan dimana proses hidrolisisnya didapatkan melalui proses fermentasi atau proses penambahan enzim, garam, maupun bahan kimia.

Transcript of Kecap Ikan_Gabriella Rosalita_13.70.0027_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

KECAP IKAN

laporan resmi praktikum TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama : Gabriella RosalitaNIM : 13.70.0027Kelompok B4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara IV

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi1.1.1. AlatAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain saring, dan pengaduk kayu.

1.1.2. BahanBahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toplesKemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk2

17

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aromaSetelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan keduaHasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

3

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim PapainKel.PerlakuanWarnaRasaAromaPenampakanSalinitas (%)

B1Enzim papain 0,2%++++++++++5,5

B2Enzim papain 0,4%++++++++++++++++6,0

B3Enzim papain 0,6%++++++++++++++5,0

B4Enzim papain 0,8%++++++++++++4,5

B5Enzim papain 1%+++++++++++++5,9

Keterangan:Warna: +: tidak coklat gelap++: kurang coklat gelap +++: agak coklat gelap ++++: coklat gelap+++++: sangat coklat gelapRasa+: sangat tidak asin++: kurang asin+++: agak asin++++: asin+++++ : sangat asin

Aroma: +: sangat tidak tajam++: kurang tajam+++: agak tajam++++: tajam+++++: sangat tajam Penampakan :+: sangat cair++: cair+++: agak kental++++: kental+++++ : sangat kental

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa dalam pembuatan kecap ikan diberi penambahan papain yang berbeda tiap kelompok, yaitu papain 0,2% (kelompok B1), papain 0,4% (kelompok B2), papain 0,6% (kelompok B3), papain 0,8% (kelompok B4), dan papain 1% (kelompok B5). Pada kelompok B2 dan B3 menghasilkan warna kecap ikan yang sangat coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,4% dan 0,6%, sedangkan pada kelompok B4 dan B5 menghasilkan warna kecap ikan yang coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,8% dan 1%. Rasa kecap ikan yang asin dihasilkan pada kelompok B4 dan B5 dimana masing-masing diberi penambahan papain sebesar 0,8% dan 1%. Aroma kecap ikan pada kelompok B3, B4 dan B5 menghasilkan aroma yang kurang tajam, sedangkan pada kelompok B1 dan B2 menghasilkan aroma yang agak tajam. Dilihat dari segi penampakannya, pada kelompok B1, B3 dan B4 memiliki penampakan yang cair sedangkan pada kelompok B2 dan B5 memiliki penampakan yang agak kental. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, salinitas yang dihasilkan juga berbeda-beda setiap kelompok. Salinitas kecap ikan tertinggi didapatkan pada kelompok B2, yaitu 6,0%. Sedangkan salinitas kecap ikan terendah didapatkan pada kelompok B4, yaitu 4,5%. Secara umum, dengan semakin banyaknya penambahan papain akan medapatkan salinitas yang makin rendah, akan tetapi pada kelompok B5 justru mengalami penaikan salinitas kecap ikan.

18

3.

4. PEMBAHASAN

Kecap ikan merupakan produk dari hasil hidrolisa ikan dimana proses hidrolisisnya didapatkan melalui proses fermentasi atau proses penambahan enzim, garam, maupun bahan kimia. Ciri-ciri kecap ikan yaitu berbentuk cair (liquid) dan mempunyai warna coklat jernih. Menurut Elmer et al (2005), kecap ikan yang menggunakan proses irradiasi mempunyai kualitas kecap ikan yang lebih baik dibandingkan kecap ikan yang tanpa menggunakan proses irradiasi. Produk kecap dapat diperoleh di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Eropa. Kecap ikan berasal dari hewani, sedangkan kecap berasal dari bahan nabati. Kecap yang berasal dari nabati mempunyai 2 jenis, yaitu kecap asin dan kecap manis, sedangkan kecap yang berasal dari hewani hanya mempunyai 1 jenis, yaitu kecap asin. Kecap asin yang diperoleh dari bahan hewani tidak mempunyai warna merah kecoklatan, namun memiliki warna kekuningan, coklat hingga coklat muda. Dari segi rasa, kecap ikan mempunyai rasa yang berbeda dengan kecap yang diperoleh dari fermentasi bahan nabati. Pada umunya, kecap ikan yang didapatkan mempunyai rasa yang sedikit asin dan mengandung banyak senyawa nitrogen. Kecap ikan biasanya diaplikasikan untuk pembuatan sambal dengan cara mencampurkannya dengan potongan-potongan cabe rawit. Kualitas kecap ikan ditentukan dari jumlah garam yang dipakai dan berapa lama proses fermentasinya. Hal ini sesuai dengan teori dari Afrianto & Liviawaty (1989).

Pada negara- negara Asia Tenggara, kecap ikan banyak dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena kecap ikan mempunyai flavor yang cukup kuat dan memiliki kemampuan untuk meminimalisir rasa asam (Mueda, 2015). Kecap ikan juga memiliki kelemahan yaitu mempunyai aroma yang kurang enak, sehingga sukar diaplikasikan pada produk pangan. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Murakami et al. (2009). Fidler et al (2004) menyatakan bahwa kecap ikan harus disimpan ditempat khusus. Hal ini dikarenakan kecap ikan mempunyai kandungan yang tidak stabil terhadap cahaya matahari langsung yaitu NaFeEDTA. Oleh karena itu, kemasan kecap ikan juga harus diperhatikan Slagi.

Menurut Mozaffarian et al. (2003), mengkonsumsi produk dari olahan ikan dapat mengurangi resiko kerusakan hati. Hal tersebut dikarenakan ikan memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga akan mengatur kerja hati. Kecap ikan memiliki komponen mayor yaitu protein yang disusun dari 10 asam amino esensial, lemak tidak jenuh dan air. Kandungan protein pada daging ikan sekitar 16 hingga 18%. Jenis protein yang utama pada ikan yaitu myosin (protein fibriler) dan protein aktin. Kedua jenis protein tersebut bertujuan untuk relaksasi dan kontraksi otot ikan. Selain itu, kecap ikan juga memiliki kandungan komponen minor. Komponen minor pada daging ikanadalah komponen volatile berupa trimetilamin dan urea, dan juga mempunyai komponen minor lainnya seperti gula, asam amino bebas, vitamin dan mineral. Protein pada ikan memiliki daya cerna yang tinggi sekitar 98%, dimana protein ikan dapat diserap dan dicerna oleh tubuh sehingga protein pada ikan baik dikonsumsi oleh manusia sebagai nutrisi. Protein pada ikan sangat lengkap karena hampir mempunyai seluruh asam amino esensial. Hal ini sesuai dengan teori dari Hadju (1998). Sayed (2010) juga menambahkan bahwa kecap ikan yang mengandung asam amino esensial dan protein dapat dikonsumsi.

Bahan utama pada pembuatan kecap ikan ini adalah ekor dan tulang ikan yang diperoleh dari produk sampingan pada proses pembuatan surimi. Produk sampingan berupa bagian ikan yang tidak dapat dimakan. Bagian ikan yang dapat dikonsumsi sekitar 70%. Sedangkan bagian seperti ekor, sirip, kepala, isi perut akan dibuang atau dapat diolah menjadi produk sampingan (produk lain). Kepala ikan dan isi perut dapat diolah menjadi produk kecap ikan. Hal ini sesuai dengan teori dari Irawan (1995). Astawan & Astawan (1988) juga menambahkan bahwa kecap ikan diperoleh dari ikan laut berukuran kecil seperti teri, tembang, selar, japuh, pepetek atau ikan air tawar seperti sriwet, nilam, seluang, jempang, butuh dan ikan kecil lainnya. Pada praktikum ini, ikan yang digunakan adalah ikan bawal.

Pada proses pembuatan kecap ikan, dapat diolah dengan 2 jenis cara fermentasi, yaitu fermentasi menggunakan enzim (secara enzimatis) dan fermentasi menggunakan garam. Fermentasi menggunakan garam biasa dikenal dengan fermentasi tradisional. Fermentasi tradisional memerlukan waktu fermentasi sangat lama sekitar 7 bulan atau lebih. Pada proses fermentasi pembuatan kecap melibatkan bakteri sehingga diberikan penambahan garam pada proses pembuatan kecap asin yang berfungsi untuk memilih mikroorganisme yang dapat tumbuh pada proses fermentasi berlangsung dan sebagai bahan pengawet. Jika proses fermentasi dilakukan tanpa penambahan garam maka proses fermentasi akan terjadi secara anaerob. Pada proses pembuatan kecap ikan secara tradisional, proses fermentasi menggunakan larutan garam 20% dalam waktu 2 hingga 4 minggu. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1988).

Fermentasi yang dilakukakan secara enzimatis akan diberi penambahan enzim saat proses pembuatannya. Pada fermentasi enzimatis diberikan penambahan enzim protease seperti enzim papain yang berasal dari getah buah pepaya muda atau enzim bromelin yang dihasilkan dari parutan buah nanas muda. Kedua jenis enzim protease mempunyai tujuan untuk menguraikan protein pada bahan baku pembuatan kecap ikan menjadi beberapa komponen seperti pepton, peptide, dan asam amino lainnya yang saling berinteraksi serta mendapatkan rasa kecap yang khas. Dengan penambahan enzim, proses fermentasi pada pembuatan produk kecap ikan memerlukan waktu lebih singkat serta menghasilkan nilai kandungan protein lebih tinggi, namun menghasilkan rasa dan aroma yang kurang disukai. Hal ini sesuai dengan ungkapkan Astawan & Astawan (1988). Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan juga bahwa perbandingan campuran antara daging ikan dengan cairan ekstrak enzim protease sebesar 1 : 5.

Pada praktikum kecap ikan, menggunakan proses fermentasi secara enzimatis. Pada proses fermentasi secara enzimatis maka diberikan penambahan enzim. Enzim yang diberikan adalah enzim papain yang berasal dari getah pepaya segar yang termasuk enzim protease. Hal ini sesuai dengan teori dari Lay (1994). Menurut Y.F, Ng. (2011), protease adalah enzim yang mempunyai fungsi untuk menghidrolisis protein. Enzim papain berasal dari getah pepaya yang terletak pada bagian daun, batang, serta buahnya. Enzim papain dari getah buah pepaya dayanya lebih kuat dibandingkan getah dari batang dan daun pepaya. Papain yang diperoleh dari getah buah pepaya memiliki aktivitas proteolitik sekitar 400 MCU/g sedangkan dari getah batang dan getah daun memiliki aktivitas proteolitik sebesar 200 MCU/g. Hal tersebut sesuai dengan ungkapkan Muhidin (1999).

Pada pembuatan kecap ikan, mula-mula kepala, sirip, tulang dan ekor ikan dihaluskan dahulu kemudian diambil sebanyak 50 gram. Setelah itu, dimasukkan ke dalam wadah fementasi (toples) dan ditambahkan enzim papain sebesar 0,2% (kelompok B1), 0,4% (kelompok B2), 0,6% (kelompok B3), 0,8% (kelompok B4), dan 1% (kelompok B5). Astawan & Astawan (1988) mengatakan biasanya dalam pembuatan kecap ikan ditambahkan garam sebelum malakukan inkubasi supaya melindungi ikan dari cemaran oleh serangan belatung, lalat, dan bakteri pembusuk sehingga mikroorganisme yang dibutuhkan yang dapat tumbuh pada saat proses fermentasi. Selama proses fermentasi, mikroba halofilik yaitu Pediococcus, Torulopsis, dan Saccharomyces dimana mikroba tersebut tahan dan dapat berkembang biak terhadap konsentrasi garam yang tinggi serta dapat menghasilkan flavor kecap yang khas. Tanasupawat et al. (2008) mengatakan terdapat juga bakteri halofilik moderat, seperti Chromohalobacter, Lentibacillus, Tetragenococcus, dan Filobacillus yang dapat tumbuh baik pada konsentrasi garam 3-15%. Selain itu, terdapat bakteri-bakteri yang dapat tumbuh pada konsentrasi garam 20-25% yang disebut bakteri Halophilic archaea. Contoh bakteri pada golongan Halophilic archaea adalah Halobacterium dan Halococcus. Menurut teori dari Sangjindavong et al (2009), Pediococcus halophilus adalah salah satu golongan bakteri asam laktat yang dapat menghasilkan flavor yang baik pada kecap ikan.

Proses selanjutnya yaitu melakukan inkubasi selama 4 hari. Pada proses inkubasi, toples harus dalam keadaan tertutup rapat. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kondisi anaerob dimana fermentasi kecap ikan akan berjalan lebih cepat dan mendapatkan kecap ikan yang lebih baik. Hal tersebut sesuai teori dari Lisdiana & Soemardi (1997). Proses penutupan juga berfungsi untuk mencegah kotoran (kontaminan) masuk dan supaya enzim protease dapat bekerja selama fermentasi. Fermentasi merupakan proses katabolisme secara anaerobik atau penguraian senyawa kompleks pada ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan adanya enzim atau mikroorganisme yang tumbuh (Fukuda, 2014). Proses katabolisme dapat berjalan baik tanpa mikroorganisme terutama golongan yeast dan jamur. Pada proses fermentasi, enzim yang sangat berperan yaitu enzim protease karena akan menghidrolisa protein pada bahan yang difermentasi. Setelah 4 hari, bahan ditambahkan air sebanyak 300 ml, lalu disaring menggunakan kain saring. Menurut Moeljanto (1992), proses penyaringan berfungsi untuk memisahkan antara cairan dari hasil fermentasi dengan kotoran atau padatan yang ada.

Setelah itu, bahan direbus hingga mendidih sambil diaduk dan ditambahkan bumbu berupa gara, bawang putih, dan gula jawa masing-masing sebanyak 50 gram. Dilakukan proses pendidihan untuk meningkatkan cita rasa pada kecap ikan, membunuh mikroorganisme kontaminan, menguapkan sebagian air sehingga menghasilkan kecap ikan yang kental. Penambahan bumbu-bumbu berfungsi untuk memberikan cita rasa dan aroma pada produk kecap ikan. Selain itu, bawang putih mengandung zat allicin yang dapat membunuh bakteri, bumbu-bumbu yang lain seperti gula jawa dan garam dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Fachruddin (1997). Proses pengadukan pun bertujuan agar seluruh bumbu dapat tercampur merata dengan kecap ikan. Kemudian, dilakukan pengamatan secara sensoris seperti rasa, warna, aroma dan pengukuran salinitas menggunakan hand refractometer.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pada kelompok B2 dan B3 menghasilkan warna kecap ikan yang sangat coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,4% dan 0,6%, sedangkan pada kelompok B4 dan B5 menghasilkan warna kecap ikan yang coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,8% dan 1%. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan mempunyai warna coklat jernih dan berbentuk cair. Astawan & Astawan (1991) menyatakan bahwa konsentrasi enzim yang diberikan semakin banyak akan membuat aktivitas protease makin tinggi sehingga menghasilkan yang semakin gelap. Hal ini tidak sesuai dengan percobaan yang telah dilakukan. Ketidaksesuaian tersebut dimungkinkan saat proses pemanasan yang dilakukan berbeda antara kelompok ataupun kesalahan praktikan mengamati warna kecap ikan pada tiap kelompok karena pengamatan dilakukan berupa sensoris sehingga kurang valid. Lees & Jackson (1973) menambahkan juga bahwa warna coklat yang didapatkan dikarenakan reaksi maillard karena gugus asam amino yang terdapat pada ikan bereaksi dengan gula jawa yang mengandung gula pereduksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya warna coklat. Proses fermentasi secara enzimatis yang sempurna, akan mendapatkan kecap ikan dengan warna coklat muda (Astawan & Astawan, 1988).

Rasa kecap ikan yang asin dihasilkan pada kelompok B4 dan B5 dimana masing-masing diberi penambahan papain sebesar 0,8% dan 1%. Menurut Astawan & Astawan (1988), penambahan enzim papain mengakibatkan protein terurai menjadi pepton, peptida, dan asam amino lainnya, dimana komponen tersebut memberikan rasa khas pada kecap ikan yaitu rasa asin. Berdasarkan percobaan dihasilkan juga salinitas/kadar garam yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Salinitas kecap ikan tertinggi didapatkan pada kelompok B2, yaitu 6,0%. Sedangkan salinitas kecap ikan terendah didapatkan pada kelompok B4, yaitu 4,5%. Secara umum, dengan semakin banyaknya penambahan papain akan medapatkan salinitas yang makin rendah, akan tetapi pada kelompok B5 justru mengalami penaikan salinitas kecap ikan. Menurut pendapat dari Astawan & Astawan (1988), makin lama dan makin optimal proses fermentasi maka konsentrasi garam akan semakin tinggi karena kadar komponen lainnya berkurang akibat tekanan osmotik dari garam.

Aroma kecap ikan pada kelompok B3, B4 dan B5 menghasilkan aroma yang kurang tajam, sedangkan pada kelompok B1 dan B2 menghasilkan aroma yang agak tajam. Menurut Dincer et al (2010), aroma kecap ikan menentukan kualitas dari kecap ikan. Dilihat dari segi flavor dan aroma, aroma kecap ikan ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung seperti putresin, kadaverin, histidin, arginin, dan amonia. Flavor khas kecap didapatkan dari asam glutamat yang dihasilkan dari penguraian protein. Karena flavor dan aroma berasal dari penguraian protein, maka makin banyak pemberian enzim papain (enzim protease) akan dihasilkan senyawa turunan protein yang membuat flavor dan rasa makin kuat. Namun, hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan teori. Hal ini dimungkinkan karena sensoris dilakukan menggunakan satu orang panelis sehingga data kurang akurat.

Menurut Astawan & Astawan (1991), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan, yaitu tingkat kesegaran ikan, penambahan enzim papain, lamanya waktu proses fermentasi, bumbu yang diberikan, dan kebersihan. Dengan begitu, makin banyak jumlah enzim papain yang diberikan maka makin tinggi protein yang terhidrolisa sehingga komponen penyusun aroma akan makin banyak. Begitu juga pada bahan bakunya, makin segar bahan baku (ikan) maka warna dan rasa akan makin kuat karena kandungan asam amino yang didapatkan dari proses hidrolisa ikan. Bumbu yang diberikan juga akan memberikan rasa dan aroma serta akan memperpanjang umur simpan kecap ikan. Hal ini sesuai dengan teori dari Fachruddin (1997). Menurut Desrosier & Desrosier (1977), pembuatan kecap ikan dapat diberi penambahan garam yang bertujuan untuk menghasilkan rasa asin, memperkuat rasa kecap ikan, dan member efek pengawetan. Kasmidjo (1990) juga menambahkan bahwa diberikan penambahan gula pada pembuatan kecap akan menghasilkan warna menjadi kecoklatan. Berdasarkan teori dari Min Lee (2013), saus ikan memiliki aktivitas yang tinggi dalam melindungi DNA terhadap apyrimidinic/apurinic (AP) pada DNA ketika sel terkena radikal hidroksil. Bahan-bahan ikan ditambahkan ke gandum, kedelai, kecap jamur Koji, air dan NaCl.

5. 6. KESIMPULAN

Ciri-ciri kecap ikan yaitu berbentuk cair (liquid) dan mempunyai warna coklat jernih. Kualitas kecap ikan ditentukan dari jumlah garam yang dipakai dan berapa lama proses fermentasinya. 2 jenis cara fermentasi, yaitu fermentasi menggunakan enzim (secara enzimatis) dan fermentasi menggunakan garam. Enzim yang digunakan dalam praktikum ini yaitu enzim papain yang berasal dari getah pepaya segar yang termasuk enzim protease. Enzim protease bertujuan untuk memecah protein menjadi beberapa komponen seperti pepton, peptida, dan asam amino lainnya yang saling berinteraksi menghasilkan rasa kecap yang khas. Penambahan enzim protease bertujuan untuk membuat proses fermentasi makin cepat dan meningkatkan kualitas pada kecap ikan yang dilihat dari aroma, warna, maupun rasa. Pada kelompok B2 dan B3 menghasilkan warna kecap ikan yang sangat coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,4% dan 0,6%, sedangkan pada kelompok B4 dan B5 menghasilkan warna kecap ikan yang coklat gelap dengan penambahan enzim papain sebesar 0,8% dan 1%. Warna coklat yang didapatkan dikarenakan reaksi maillard karena gugus asam amino yang terdapat pada ikan bereaksi dengan gula jawa yang mengandung gula pereduksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya warna coklat. Konsentrasi enzim yang diberikan semakin banyak akan membuat aktivitas protease makin tinggi sehingga menghasilkan yang semakin gelap. Rasa kecap ikan yang asin dihasilkan pada kelompok B4 dan B5 dimana masing-masing diberi penambahan papain sebesar 0,8% dan 1%. Semakin banyaknya penambahan papain akan medapatkan salinitas yang makin rendah. Aroma kecap ikan pada kelompok B3, B4 dan B5 menghasilkan aroma yang kurang tajam, sedangkan pada kelompok B1 dan B2 menghasilkan aroma yang agak tajam. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan, yaitu tingkat kesegaran ikan, penambahan enzim papain, lamanya waktu proses fermentasi, bumbu yang diberikan, dan kebersihan.

Semarang, 1 Oktober 2015Asisten Dosen: Michelle Darmawan

Gabriella Rosalita 13.70.00277. 8. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pessindo.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dincer, Tolga., Sukran Cakli., Berna Kilinc., & Sebnem Tolasa. (2010). Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary Advances 9 (2): 311-315, 2010. Elmer-Rico E. Mojica, Alejandro Q. Nato Jr., Maria Edlyn T. Ambas, Chito P. Feliciano. Maria Leonora D.L. Francisco and Custer C. (2005).Deocaris Application of Irradiation as Pretreatment Method in the Production of Fermented Fish Paste.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fidler, M.C., A. Krzystek, T. Walczyk, And R.F. Hurrell. (2004). Photostability of Sodium Iron Ethylenediaminetetraacetic Acid (NaFeEDTA) in Stored Fish Sauce and Soy Sauce. Journal of Food Science.

Fukuda, T., Furushita M., Shiba T., and Harada K. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal of National Fisheries University.

Hadju, V. (1998). Pangan Potensial untuk Meningkatkan Pertumbuhan Fisik, Daya Pikir, dan Produktifitas serta Mencegah Penyakit Degeneratif. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta. Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV.Aneka. Solo.

Sangjindavong, Mathana., Juta Mookdasanit., Pongtep Wilaipun., Pranisa Chuapoehuk., & Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).

Min Lee J., Chui Lee D., and Moo Kim S. 2013. The Effects of Koji and Histidine on the Formation of Histamine in Anchovy Sauce and the Growth Inhibition of Histamine Degrading Bacteria with Preservatives. American Journal of Advanced Food Science and Technology.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mozaffarian, D, et al. (2003). Cardiac Benefits of Fish Consumption May Depend on The Type of Fish Meal Consumed The Radiovascular Health Study. American Heart Association, Inc.

Mueda R.T. 2015. Physico-chemical and color characteristics of salt-fermented fish sauce from anchovy Stolephorus Commersonii. Institute of Fish Processing Technology. University of the Philippines Visayas.

Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Murakami, Miyuki; Masataka S., Masashi A., Yasuyuki T., and Kenichi Kawasaki.(2009). Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction Waste of Stock from Dried Fish using Various kojis.Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.7 (2) : 175-181

Sayed, Mekawy Ibrahim. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10 : 162-172.

Tanasupawat, S.; Sirilak Namwong, Takuji Kudo, and Takashi Itoh.(2008). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections, Volume 6, 2008-2009, pp. 69-75

Y.F, Ng., T.S Afiza., Lim, Y.K., Muhammad Afif., A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic Action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for Fish Sauce Production. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-254

9. 10. LAMPIRAN

10.1. Perhitungan

Kelompok B1Hasil pengukuran = 30

Kelompok B2Hasil pengukuran = 60

Kelompok B3Hasil pengukuran = 50

Kelompok B4Hasil pengukuran = 45

Kelompok B5Hasil pengukuran = 59

10.2. Digram Alir10.3. Laporan Sementara10.4. Abstrak Jurnal