Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

21
Acara III KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Danur Riswandha 13.70.0193 Kelompok B2

description

Kecap ikan dilaksanakan pada tanggal 21 september 2015 dimulai pukul 15.00 WIB. asdos yang mengampu praktikum ini adalah Michelle Darmawan. bahan yang digunakan adalah tulang dan kepala ikan, enzim papain, garam, gula kelapa, bawang putih

Transcript of Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara III

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Danur Riswandha 13.70.0193

Kelompok B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples,

panci, kain saring, dan pengaduk kayu.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples

Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

Page 3: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma

Page 4: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

2. HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)

B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5

B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0

B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0

B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5

B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9

Keterangan:Warna : + : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap +++ : agak coklat gelap ++++ : coklat gelap +++++ : sangat coklat gelap Rasa+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asin

Aroma : + : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam Penampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Berdasarkan tabel diatas kelompok yang memiliki salinitas terbesar yaitu 6,0% adalah kelompok B2 yang mempunyai warna sangat coklat gelap, rasa yang sangat asin, aroma yang agak tajam, dan penampakannya agak kental. Sedangkan kelompok yang memiliki salinitas terkecil yaitu 4,5% adalah kelompok B4 yang mempunyai warna coklat gelap, rasa yang asin, aroma yang kurang tajam, dan penampakannya cair.

Page 5: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

3. PEMBAHASAN

Ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi, mudah didapat

dan harganya murah. Namun ikan memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami

pembusukan. Pengolahan ikan bertujuan untuk memperbaiki bau cita rasa, penampakan

dan tekstur serta memperpanjang umur simpan. Tidak semua bagian tubuh ikan

dimakan. Hanya sekitar 70% bagian yang dapat dimakan. Bagian kepala, ekor, sirip dan

isi perut dibuang atau diolah menjadi produk lain (Irawan, 1995). Kecap merupakan

salah satu produk yang dihasilkan melalui proses fermentasi yang banyak digunakan

sebagai bumbu masakan dimana mempunyai ciri berwarna coklat hingga hitam dan

berdasarkan rasanya maka dibedakan ada yang manis dan ada juga yang asin. Kecap

asin atau kecap ikan mempunyai beberapa perbedaan dengan kecap manis terutama

bahan baku yang digunakan. Kecap manis cenderung menggunakan kedelai sebagai

bahan baku sedangkan kecap asin biasanya menggunakan produk hewani seperti ikan

yang umumnya mempunyai nilai ekonomis rendah dan kurang banyak dimanfaatkan

(Afrianto & Liviawaty, 1989). Kecap ikan bukan hanya dimanfaatkan sebagai suatu

bumbu masakan namun kecap ikan bisa dimanfaatkan sebagai bahan diet protein di

beberapa negara asia timur (Olubunmi et al, 2010). Hampir semua ikan dapaat diolah

menjadi kecap ikan. Namun yang paling umum digunakan sebagai bahan baku

pembuatan kecap ikan adalah ikan berukuran kecil-kecil seperti tembang, japuh, selar,

teri, pepetek maupun ikan air tawar seperti nilam, sriwet, jempang, seluang, butuh, dan

ikan kecil lainnya. Kualitas kecap ikan sangat ditentukan oleh banyaknya jumlah garam

yang digunakan dan lama proses fermentasi (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Kecap ikan dapat diolah melalui 2 proses, proses yang pertama adalah secara fermentasi

menggunakan garam dan yang kedua adalah secara enzimatis. Prinsip pembuatan secara

fermentasi adalah penarikan komponen-komponen ikan terutama protein oleh garam.

Garam dalam jumlah yang banyak mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga

dapat menarik air dari dalam tubuh ikan untuk keluar, selain itu garam juga dapat

melindungi ikan dari pencemaran lalat, belatung dan pembusukan (Astawan & Astawan,

1990). Mikroba yang digunakan selama fermentasi adalah mikroba halofilik seperti

Page 6: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

Saccharomyces, Torulopsis, dan Pediococcus. Mikroba tersebut berkembang

menghasilkan senyawa flavor.

Praktikum kali ini pembuatan kecap ikan secara enzimatis. Mula-mula tulang dan

kepala ikan dihancurkan dan sebanyak 50 gram dimasukkan ke dalam wadah fermentasi

(toples) berisi 250 ml air. Menurut Lay (1994) Penghancuran tulang dan kepala ikan

berfungsi untuk mempermudah proses pencampuran dengan bahan lain sehingga

terbentuk adonan yang homogen. Saleh et al (1996) menambahkan fungsi lain dari

penghancuran adalah untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi karena kerusakan sel

akan memudahkan keluarnya senyawa flavor. Lalu enzim papain ditambahkan dengan

konsentrasi 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%. Diinkubasi pada suhu ruang selama 4

hari. Enzim papain termasuk golongan endopeptidase dimana akan memecah protein

dari dalam (Winarno, 1995). Penggunaan enzim papain memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihannya adalah waktu fermentasi yang lebih cepat dengan kandungan

protein yang lebih tinggi. Kekurangannya adalah mutu kecap ikan tidak sebagus yang

dibuat secara tradisional. Penambahan enzim papain dapat mempersingkat pembuatan

kecap ikan dengan cara mempercepat penguraian protein (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Penempatan dalam wadah tertutup bertujuan untuk menciptakan kondisi anaerob

sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat dan mencegah kontaminan yang masuk.

Tahap selanjutnya adalah hasil fermentasi disaring, filtrat direbus sampai mendidih

selama 30 menit. perebusan bertujuan agar mikroorganisme terbunuh pada saat proses

fermentasi dan penyaringan, dan juga bertujuan untuk melarutkan gula jawa serta

meningkatkan cita rasa. Perebusan dilakukan pada suhu kisaran 50-70°C sehingga

perebusan dapat lebih mengaktifkan enzim protease. Selama perebusan dilakukan

penambahan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan (50 gram bawah putih, 50 gram

garam, 1 butir gula kelapa). Pemberian bumbu bertujuan untuk menambah aroma dan

cita rasa produk (Fachruddin, 1997). Penambahan bawang putih berfungsi sebagai

bahan penyedap atau pewarna beberapa jenis makanan. Bawang putih mengandung zat

allicin yang efektif membunuh baktero sehingga bersifat antimikrobia. Menurut

Desrosier & Desrosier (1977) penambahan garam bertujuan untuk memberi efek

pengawetan karena dapat menurunkan Aw, menurunkan kelarutan oksigen serta

mengganggu keseimbangan ionik sel mikroorganisme. Penambahan gula kelapa

Page 7: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

berfungsi menentukan flavor spesifik kecap dan menghasilkan warna coklat karamel

dan meningkatkan viskositas (Kasmidjo, 1990). Selain itu gula berfungsi mengurangi

rasa asin berlebih, memberikan rasa lembut pada produk dan berpengaruh terhadap cita

rasa dan warna produk.

Setelah mendidih dan agak dingin, kemudian dilakukan penyaringan kedua.

Penyaringan kedua dilakukan untuk membersihkan kotoran yang berasal dari bumbu

yang dimasukkan.

Proses fermentasi yang semakin lama dikatakan dalam Buckle et al (2007) akan

menghasilkan kecap ikan yang semakin kecoklatan. Pengamatan sensori terhadap warna

menunjukan kelompok B2 dan B3 mempunyai warna sangat coklat gelap, sedangkan B1

mempunyai kurang coklat gelap. suhu pemanasan dan waktu pemanasan yang dilakukan

antar kelompokpun tidak jelas sehingga otomatis warna yang dihasilkanpun tidak

konsisten. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle et al (2007) warna dipengaruhi oleh

suhu pemanasan yang dilakukan serta adanya penambahan gula jawa, dimana

pemanasan menyebabkan adanya reaksi maillard yang terjadi pada bahan.

Pengamatan sensori terhadap rasa. Rasa dalam artian tingkat keasinan dalam

praktikum, sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak garam yang ditambahkan selama

proses pengolahan. Dalam hasil pengamatan secara sensori menunjukan bahwa

kelompok B2-B3 mempunyai rasa paling asing, namun hal ini tidak sesuai dengan hasil

pengujian salinitas secara kuantitatif. Kesalahan ini didasarkan karena sensori yang

dilakukan oleh seoran panelis yang tidak terlatih, oleh karenanya besar terjadinya

kesalahan karena pada dasarnya sensori sangat relatif terhadap seseorang itu sendiri

(Stone et al, 1974).

Pengamatan sensori terhadap aroma. Aroma menurut Singapurwa (2012) merupakan

salah satu aspek yang sangat dipengaruhi oleh kadar enzim yang ditambahkan, hal ini

disebabkan karena aroma dipengaruhi oleh banyaknya asam amino yang dihasilkan

pada tahap akhir fermentasi tersebut. Asam amino merupakan salah satu senyawa

penyusun aroma dalam kecap ikan, banyaknya enzim yang ditambahkan akan

mempengaruhi seberapa banyak asam amino akan dihasilkan dalam kecap ikan.

Page 8: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

Semakin banyak enzim proteolitik yang ditambahkan akan semakin banyak asam

amino dihasilkan, namun apabila penggunaannya terlalu banyak maka justru

memunculkan aroma yang kurang optimal karena akan semakin banyak juga asam

amino yang teroksidasi (Hidayat et al, 2006). Hal ini kurang sesuai dengan pengamatan

aroma yang dilakukan kloter B. Hasil yang didapat fluktuatif hal ini disebabkan karena

sensori dilakukan oleh panelis yang tidak terlatih dalam hal ini oleh karenanya hasil

yang didapatkanpun juga menunjukan tingkat kepercayaan yang rendah.

Pengamatan terakhir adalah kenampakan. menurut Astawan & Astawan (1988)

semakin banyak kadar enzim yang diberikan pada bahan maka akan membuat kecap

ikan semakin cair, hal ini disebabkan karena adanya penguraian bahan organik

kompleks dalam bahan menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tidak sesuai

dengan hasil pengamatan kenampakan kloter B, namun Steinkraus (2004) menjelaskan

bahwa tidak menunjukan adanya hubungan yang nyata. Hal ini disebabkan karena

minimnya senyawa karbohidrat dan residunya yang mempengaruhi kekentalan produk

kecap ikan (Winarno, 2002). Tingkat kekentalan dalam pengolahan kecap ikan

umumnya lebih besar pengaruhnya karena rempah-rempah yang ditambahkan seperti

gula jawa.

Menurut Tsubasa Fukuda (2014) dalam jurnal “Fish Fermented Technology by

Filamentous Fungi” fermentasi sering didefinisikan menghasilkan menggunakan

mikroorganisme dan enzim. fermentasi adalah proses dimana senyawa kompleks

termasuk karbohidrat, protein, dan lemak yang rusak ke bentuk yang lebih sederhana.

produk fermentasi memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dari sebelumnya. fermentasi

idealnya akan menghasilkan perubahan rasa, tekstur, warna dan atribut kualitas lain.

Menurut Mueda (2015) dalam jurnal “Physico-chemical and color characteristics of

saltfermented fish sauce from anchovy Stolephorus Commersoni” proses produksi ikan

kecap umumnya menggunakan ikan spesies kecil seperti anchovy (Stolephorus sp),

sardines (Sardinella sp), mackerel (Rastrelliger sp. and scomber scombrus), gambusa

(affinis affinis), pacific whiting (Merluccius sp.)

Page 9: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Menurut Sayed (2009) dalam jurnal Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish

Sauce Production” Saus ikan yang diperoleh terdiri dari air 65,97%, 12,37% protein

kasar, 1,56% lemak, 19,33% dan 9,08% abu natrium klorida. Selain itu, nilai pH adalah

6.08 dan asam amino nonesensial (3864 mg / 100 ml) lebih tinggi dari asam amino

esensial (AAS) (2172 mg / 100 ml).

Menurut Somboon Tanasupawat (2008) dalam jurnal Identification of

Halophilicbacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand” Kecap ikan mengandung

konsentrasi tinggi garam (25 30%, w / v NaCl), sehingga mikroorganisme yang

ditemukan selama produksi kecap ikan umumnya diklasifikasikan sebagai halofilik

bakteri

Page 10: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

4. KESIMPULAN

Kecap merupakan salah satu produk yang dihasilkan melalui proses fermentasi

yang banyak digunakan sebagai bumbu masakan dimana mempunyai ciri berwarna

coklat hingga hitam

kecap ikan bisa dimanfaatkan sebagai bahan diet protein

Kualitas kecap ikan sangat ditentukan oleh banyaknya jumlah garam yang

digunakan dan lama proses fermentasi

Kecap ikan dapat diolah melalui 2 proses, proses yang pertama adalah secara

fermentasi dan enzimatis

Mikroba yang digunakan selama fermentasi adalah mikroba halofilik seperti

Saccharomyces, Torulopsis, dan Pediococcus

warna dipengaruhi oleh suhu pemanasan

Rasa sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak garam yang ditambahkan selama

proses pengolahan.

aroma dipengaruhi oleh banyaknya asam amino yang dihasilkan pada tahap akhir

fermentasi

semakin banyak kadar enzim yang diberikan pada bahan maka akan membuat

kecap ikan semakin cair

Semarang, 02 Oktober 2015 Asisten Dosen

Praktikan, Michelle Darmawan

Danur Riswandha

13.70.0193

Page 11: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E. (1989).Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus.

Jakarta.

Astawan, M. W. & M. Astawan.(1990). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Buckle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H, Wootton, M. (2007). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fukuda, T., Manabu Furushita, Tsuneo Shiba, Kazuki Harada. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal of National Fisheries University 62 (4) 163 - 168.

Hidayat, N, Padaga, M.C & S, Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta

Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Lee, J.M., Dong Chul Lee, Sang Moo Kim. (2013). The Effect of Koji and Histidine on the Formation of Histamin in Anchovy Sauce and the Growth Inhibition of Histamin Degrading Bacteria with Preservatives. Columbia International Publishing AJAFST 1: 25-36.

Mueda, R.T. (2015). Physico-chemical and Color Characteristics of Salt-fermented Fish Sauce from Anchovy Stolephorus commersonii. AACL Bioflux Vol. 8 Issue

Page 12: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

4.Olunbumi, F, Suleman, S, Uche, I, Olumide, B. (2010). Preliminary Production of Fish

Sauce from Clupeids. New York Science Journal Vol 3(3):45-49.

S. M. Ibrahim.(2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010)

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Singapurwa, N.M.A.S. (2012). Pemanfaatan Enzim Buah Pada Pembuatan Kecap Limbah Ikan Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Lingkungan Vol 21(1):1-5

Steinkraus, K. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.

Stone, H.J, Sidel, S, Oliver, A, Woolsey & R.C, Singleton. (1974). Sensory Evaluation by Quantitative Descriptive Analysis. Food.Technol Vol 28:24-33

Tanasupawat, S., Sirilak Namwong, Takuji Kudo, Takashi Itoh. (2008). Identification of Halophilic bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Jounal of Culture Collections 8: 69-75.

Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 13: Kecap Ikan_Danur Riswandha_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Kelompok B 1

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 551000

x100 %=5,5 %

Kelompok B 2

Hasil pengukuran = 60

Salinitas (% )= 601000

x100 %=6,0 %

Kelompok B 3

Hasil pengukuran = 50

Salinitas (% )= 501000

x100 %=5,0 %

Kelompok B 4

Hasil pengukuran = 45

Salinitas (% )= 451000

x100 %=4,5 %

Kelompok B 5

Hasil pengukuran = 59

Salinitas (% )= 591000

x100 %=5,9 %

6.2. Digram Alir

6.3. Laporan Sementara

6.4. Abstrak Jurnal