Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

28
1 KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Fiorency Santoso 13.70.0082 Kelompok A2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

kecap ikan menggunakan bahan baku limbah ikan patin. fermentasi dilakukan selama 4 hari. asisten dosen yang mengampu adalah Michelle Darmawan

Transcript of Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :Fiorency Santoso

13.70.0082Kelompok A2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Materi

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kecap ikan yaitu biomasa tulang an

kepala ikan, enzim papain komersial, gula kelapa, bawang putih, chopper, pisau, toples,

panci, kain saring, pengaduk kayu, dan hand refractometer.

1.2. Metode

1

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%

(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)

Tulang dan kepala ikan dihancurkan

Page 3: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi disaring

Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit

Page 4: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Page 5: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, aroma, penampakan kecap, serta uji salinitas kecap ikan dengan menggunakan hand refractometer.

Page 6: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Pengamatan Kecap Ikan

Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %

A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -

A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -

A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -

Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam

Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Dari hasil pengamatan di atas, konsentrasi enzim papain yang digunakan setiap

kelompok berbeda-beda. Walaupun begitu, warna kecap ikan yang didapatkan semua

kelompok adalah samma yaitu berwarna coklat gelap. Pada parameter rasa, kelompok

A1, A4, dan A5 menghasilkan kecap ikan dengan rasa asin, sedangkan kelompok A2

dan A3 menghasilkan kecap ikan dengan rasa sangat asin. Pada parameter aroma,

kelompok A1,A2,A3 beraroma agak tajam sedangkan kelompok A4 kurang tajam dan

aroma pada kelompok A5 sangat tajam. Kecap ikan pada kelompok A1-A4 memiliki

penampakan yang kental sedangkan kelompok A5 tampak agak kental. Pada parameter

salinitas, semua kelompok tidak mendapatkan hasil.

5

Page 7: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Menurut Fakunle et al (2013), kecap ikan merupakan cairan berwarna jernih yang

berasal dari ekstraksi daging ikan yang ditambah dengan garam dan yang telah

mengalami proses fermentasi. Kecap ikan memiliki nama yang berbeda di setiap daerah

(budu di Malaysia, patis di Filipina, nampla di Thailand, pissala di Perancis, yessui di

Hong Kong, nuoc-nam di Asia Selatan). Astawan & Astawan (1988) menambahkan

bahwa kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi dengan

garam, enzimatis, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.

Kecap yang dihasilkan dari bahan nabati memiliki 2 jenis, yaitu kecap manis dan kecap

asin, sedangkan kecap yang berasal dari bahan hewani (kecap ikan) hanya memiliki 1

jenis, yaitu kecap asin. Kecap asin yang dihasilkan dari bahan hewani tidak memiliki

warna merah kecoklatan, namun berwarna kekuningan, coklat hingga coklat muda.

Selain itu, dari segi rasa, kecap ikan juga memiliki rasa yang berbeda dengan kecap

yang dihasilkan dari fermentasi bahan nabati. Kecap ikan yang dihasilkan biasanya

memiliki rasa yang sedikit asin dan banyak mengandung senyawa nitrogen. Kualitas

kecap ikan yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah garam yang digunakan dan lamanya

proses fermentasi (Afrianto & Liviawaty, 1989).

3.1. Cara Kerja

Moeljanto (1992) menjelaskan bahwa kecap ikan tidak membutuhkan jenis ikan

tertentu, bahkan ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis masih dapat digunakan untuk

dijadikan bahan pembuatan kecap ikan. Pernyataan ini didukung dengan jurnal yang

ditulis Fakunle et al (2013) bahwa di pasaran ikan yang berbentuk buruk atau tidak

terlalu banyak dikonsumsi masyarakat akan dihargai dengan harga yang murah. Hal ini

menjadi kerugian bagi para nelayan. Oleh karena itu, di dalam jurnal tersebut dijelaskan

bahwa ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi dapat dimanfaatkan menjadi

kecap ikan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan makanan bergizi bagi

masyarakat serta mampu membantu perekonomian nelayan. Ikan yang digunakan dalam

praktikum kecap ikan adalah limbah dari ikan patin. Ikan patin merupakan jenis catfish

yang memiliki daging berwarna putih, banyak mengandung banyak asam amino

6

Page 8: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

esensial (8-13%), mineral, dan kadar lemak rendah, lebih rendah dibandingkan daging

ayam dan sapi. Kadar lemak ikan patin berkisar antara 1-6% (Dwi et al., 2014).

Mula-mula sebanyak 50 gram tulang dan kepala ikan dihancurkan dengan chopper dan

dimasukkan ke dalam wadah fermentasi yang sudah beirsi 250 ml air. Menurut Astawan

& Astawan (1988), isi perut, kepala ikan serta tulang ikan merupakan limbah ikan yang

digunakan sebagai bahan utama pembuatan kecap ikan. Penghancuran dengan chopper

bertujuan untuk merusak sel dan jaringan ikan sehingga senyawa flavor dapat keluar

dan untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi (Saleh, et al.,1996). Setelah itu,

ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda setiap kelompok.

Afrianto & Liviawaty (1989) mengatakan bahwa pada proses pembuatan kecap ikan

secara enzimatis biasanya ditambahkan enzim dengan perbandingan antara daging ikan

dengan cairan ekstrak enzim protease sebesar 1 : 5. Namun di dalam praktikum

penambahan enzim papain sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1% dari 50 gram berat

limbah ikan. Enzim papain merupakan jenis enzim protease yang berasal dari getah

pepaya. Enzim ini mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti

peptida, peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi dan menciptakan rasa yang

khas, sehingga tujuan dari penambahan enzim kali ini adalah untuk menghidrolisis

protein melalui aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi (Lay, 1994).

Kecap kemudian diinkubasi selama 4 hari. Tahapan ini disebut sebagai tahapan

fermentasi. Menurut Astawan & Astawan (1988) bahwa tahap perlakuan fermentasi

pada pembuatan kecap adalah 1-4 hari dan apabila fermentasi dilakukan terlalu cepat,

maka aktivitas enzim dalam menghasilkan komponen tidak dapat terlaksana, sehingga

reaksi pun tidak berlangsung, namun jika waktu fermentasi terlalu lama, maka semakin

banyak enzim yang dihasilkan, sehingga cita rasa yang terjadi menjadi kurang baik.

Proses fermentasi harus dilakukan secara anaerob, kondisi toples harus tertutup rapat

ntuk menghindari kontaminasi dari mikroorganisme sekitar, dan agar proses fermentasi

berjalan optimal. Tujuan fermentasi adalah untuk memperpanjang umur simpan, serta

meningkatkan flavor dan kualitas nutrisi pada produk (Lisdiana & Soemardi, 1997).

Setelah 4 hari, hasil fermentasi disaring. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan

Page 9: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

cairan yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran yang ada

(Moeljanto,1992).

Setelah disaring, kecap kemudian direbus selama 30 menit. Selama perebusan,

dilakukan penambahan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa.

Penambahan garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan memberi

efek pengawetan karena garam dapat digunakan untuk menurunkan Aw serta

menghambat mikroba perusak. Penggunaan bawang putih yang mengandung zat allicin

bertujuan untuk membantu proses pengawetan terhadap produk karena zat allicin efektif

untuk membunuh bakteri. Sedangkan gula jawa bertujuan untuk mengurangi rasa asin

yang berlebihan, memberikan rasa lembut pada produk, dan meningkatkan cita rasa,

aroma, dan warna produk. Warna coklat pada kecap ikan disebabkan karena adanya

reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk cita rasa

dan proses pemanasan yang menyebabkan reaksi Maillard (Fachruddin. 1997).

Setelah mendidih, dilakukan penyaringan yang kedua. Penyaringan ini ditujukan untuk

membersihkan kotoran yang berasal dari bumbu dan ampas-ampas yang lain, sehingga

didapatkan kecap ikan yang benar-benar bersih (Moeljanto,1992). Filtrat yang

dihasilkan lalu dilakukan pengujian secara sensoris (warna, rasa, aroma, penampakan)

dan uji salinitas dengan menggunakan hand refractometer

Menurut Astawan & Astawan (1988) pada proses pembuatannya, kecap ikan dapat

dibuat dengan 2 cara fermentasi, yaitu fermentasi dengan menggunakan garam dan

fermentasi dengan menggunakan enzim (secara enzimatis). Fermentasi dengan garam

biasa disebut juga dengan fermentasi tradisional. Fermentasi secara tradisional ini

membutuhkan waktu fermentasi yang sangat lama, yaitu lebih dari 7 bulan. Fermentasi

secara enzimatis dilakukan dengan adanya penambahan enzim. Pada fermentasi

biasanya dilakukan penambahan enzim protease seperti enzim bromelin yang berasal

dari parutan buah nanas muda ataupun enzim papain yang dihasilkan dari getah buah

pepaya muda. Kedua jenis enzim protease tersebut memiliki fungsi untuk menguraikan

protein yang ada pada bahan baku pembuatan kecap menjadi beberapa komponen

seperti peptida, pepton, dan asam amino lainnya yang akan saling berinteraksi dan

Page 10: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

menghasilkan rasa kecap yang khas. Proses fermentasi secara enzimatis dapat dibuat

dengan waktu yang lebih singkat dengan nilai kandungan protein yang lebih tinggi pula.

Namun, hasil fermentasi secara enzimatis mempunyai aroma dan rasa yang masih

kurang disukai oleh konsumen. Berdasarkan teori tersebut, proses pembuatan kecap

ikan yang dilakukan pada saat praktikum merupakan proses fermentasi enzimatis.

Menurut jurnal yang ditulis Mehdi et al (2012) adalah pembuatan kecap ikan bersifat

tradisional karena daging ikan dimasukan ke dalam wadah dan ditambahkan garam dan

air, kemudian tempat ini diletakkan di tempat yang memungkinkan sinar matahari dan

disimpan selama 25-30 hari. Campuran ini kemudian dihancurkan dan ditambahkan

mustard dan beberapa bumbu. Setelah ditambahkan, ikan difermentasi kembali selama

10-15 hari untuk mendapatkan rasa dan aroma yang sesuai. Metode tradisional tidak

dilakukan dalam praktikum, karena membutuhkan waktu yang sangat lama.

3.2. Hasil Pengamatan

Pengujian yang pertama dilakukan adalah uji sensoris yang meliputi warna, rasa, aroma,

dan penampakan kecap ikan. Pada parameter warna, menurut Fachruddin (1997) kecap

ikan berwarna coklat karena adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan

beberapa komponen pembentuk cita rasa. Lees & Jackson (1973) menambahkan bahwa

pemanasan menyebabkan reaksi Maillard, reaksi yang terjadi antara gugus asam amino

dengan gula pereduksi, sehingga produk kecap berwarna coklat. Berdasarkan hasil

pengamatan, seluruh kelompok menghasilkan kecap ikan yang berwarna coklat gelap.

Hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Astawan & Astawan (1988) menambahkan

adanya aktivitas enzim proteolitik pada bahan ikan akan menyebabkan cairan yang

terbentuk lebih berwarna coklat, sehingga semakin banyak enzim yang ditambahkan,

maka warna akhirnya akan semakin coklat gelap. Teori ini tidak sesuai dengan hasil

pengamatan karena pada penambahan konsentrasi enzim yang berbeda-beda, warna

yang dihasilkan adalah sama yaitu cokelat gelap. Kesalahan ini dapat terjadi karena

beberapa hal seperti pada saat proses perebusan dan penambahan bumbu yang kurang

seragam, suhu dan waktu pemanasan dan berat bumbu atau enzim yang tidak sesuai.

Selain itu menurut Merit et al., (1982) kelemahan dari metode sensori secara

organoleptik oleh panelis adalah analisa yang dilakukan bersifat subjektif .

Page 11: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Parameter yang kedua adalah pengamatan terhadap rasa. Menurut Afrianto & Liviawaty

(1989) kecap yang berasal dari bahan hewani (kecap ikan) hanya memiliki 1 rasa, yaitu

asin. Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa dengan adanya penambahan

enzim papain akan mengakibatkan protein terurai menjadi peptida, pepton, dan asam

amino lainnya, dimana komponen-komponen tersebut akan memberikan rasa yang khas

pada kecap ikan, yaitu rasa asin..Teori ini sudah sesuai dengan kelompok A1, A3, dan

A5 karena kecap ikan yang dihasilkan terasa asin. Sedangkan pada kelompok A2 dan

A4 rasa kecap ikan sangat asin. Penambahan enzim papain yang lebih tinggi seharusnya

menyebabkan rasa yang semakin asin. Hal ini juga tidak sesuai dengan teori karena

pada kelompok A5 dengan penambahan enzim 1%, rasa yang dihasilkan hanya asin.

Perbedaan rasa ini dapat dipengaruhi oleh proses penguraian protein, lama fermentasi

sehingga terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa yang sangat

asin atau bahkan pahit (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Parameter ketiga adalah aroma. Menurut Armstrong (1995), aroma pada kecap ikan

akan menentukan kualitas dari kecap ikan itu sendiri. Ditinjau dari segi aroma dan

flavor, aroma dari kecap ikan sendiri ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung

seperti misalnya kadaverin, putresin, arginin, histidin dan ammonia. Selain itu, menurut

Afrianto & Liviawaty (1989) proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease

akan membentuk komponen peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi

menciptakan aroma yang khas. Sehingga semakin banyaknya konsentrasi dari enzim,

maka aroma amis dari ikan akan semakin kuat / tajam yang menyebabkan aroma kecap

ikan yang dihasilkan juga semakin tajam. Dasar teori sudah tepat pada hasil pengamatan

kelompok A5. Namun, pada kelompok A1-A3 aroma yang dihasilkan kurang tajam dan

pada kelompok A4 aroma yang terbentuk kurang tajam. Ketidaksesuaian ini disebabkan

karena pembuatan kecap ikan dilakukan secara enzimatis. Fermentasi enzimatis hanya

membutuhkan waktu yang singkat, namun mutu kecap ikan yang meliputi rasa dan

aroma yang dihasilkan fermentasi enzimatis jauh lebih rendah dibandingkan kecap yang

dibuat secara tradisional (Astawan & Astawan, 1988).

Page 12: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Dari segi penampakan terlihat bahwa kecap ikan dengan penambahan enzim terbanyak

(1%) menghasilkan penampakan kecap ikan yang agak kental, sedangkan kecap ikan

pada konsentrasi enzim 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa enzim papain

akan menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam amino, dimana proses

penguraian akan menurunkan viskositas, sehingga kecap ikan menjadi lebih cair. Lees

& Jackson (1973) menambahkan bahwa gula jawa dapat gula reduksi akan bereaksi

dengan asam amino dan menyebabkan warna menjadi semakin coklat dan akan

meningkatkan viskositas atau semakin kental. Penyebab kecap ikan kental adalah proses

penambahan gula dan proses pemanasan yang menyebabkan uap air hilang sehingga

kecap ikan semakin kental.

Menurut Arpah (1993), hand refractometer digunakan untuk mengukur kandungan total

padatan terlarut (TPT). Padatan terlarut biasanya ditentukan dengan menggunakan

refraktometer pada suhu 2000C tanpa koreksi untuk keasaman. Padatan terlarut ini

dapat berupa gula, garam, dan protein. Prinsip kerja alat ini adalah dengan

menggunakan refraksi cahaya, sehingga saat pengujian dibutuhkan cahaya untuk

melihat hasilnya. Uji salinitas kecap ikan pada semua kelompok dengan hand

refractometer tidak dapat terdeteksi karena kecap yang dihasilkan terlalu kental.

Penyebab kecap ikan sangat kental adalah proses penambahan gula yang banyak dan

proses pemanasan yang menyebabkan uap air hilang sehingga kecap ikan semakin

kental. Pada saat praktikum, gula jawa yang ditambahkan sebanyak 3 butir sehingga

semakin banyak gula reduksi yang bereaksi dengan asam amino, dimana reaksi ini

menyebabkan viskositas meningkat (Lees & Jackson, 1973). Seharusnya penambahan

konsentrasi enzim papain yang semakin tinggi menyebabkan kadar salinitas juga

semakin tinggi (Astawan & Astawan,1988).

3.3. Faktor yang Mempengaruhi Hasil

Menurut Astawan & Astawan (1988), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas kecap ikan, yaitu :

Page 13: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

1. Enzim papain. Semakin banyaknya jumlah enzim papain yang ditambahkan maka

protein yang terhidrolisa akan semakin tinggi pula sehingga komponen penyusun

aroma yang dihasilkan akan semakin banyak.

2. Tingkat kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Ikan yang segar dapat

menghasilkan rasa dan warna yang semakin kuat karena kandungan asam amino

yang dihasilkan dari hidrolisa ikan

3. Lama proses fermentasi. Proses fermentasi yang semakin lama menyebabkan

semakin banyak asam amino yang terpecah sehingga rasa dan aroma yang

dihasilkan semakin kuat.

4. Bumbu-bumbu yang ditambahkan. Penambahan bumbu-bumbu bertujuan untuk

memberikan efek pengawetan, dan memperkuat rasa kecap ikan yang dihasilkan.

5. Kebersihan. Alat yang digunakan selama proses fermentasi harus bersih. Alat yang

tidak bersih dapat dengan mudah dicemari kontaminan, yang menyebabkan aktivitas

fermentatif dari mikroorganisme yang diinginkan terhambat karena terjadinya

perebutan substrat dengan mikroorganisme kontaminan.

Menurut jurnal Ng Y.F et al (2013) faktor utama yang mempengaruhi hasil kualitas

kecap ikan adalah jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Bila ikan yang

digunakan merupakan ikan dengan kualitas baik akan dihasilkan rasa dan aroma kecap

ikan yang sesuai dengan persepsi konsumen, dan kandungan protein lebih tinggi.

Sedangkan bila ikan dengan kualitas buruk atau memiliki nilai ekonomis rendah

digunakan sebagai bahan baku, maka kecap ikan yang dihasilkan cenderung bersifat

cair.

3.4. Jurnal

Menurut jurnal yang berjudul Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and

Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate karya Yuli et al (2014) pembuatan

kecap ikan menggunakan bahan baku ikan bibisan. Ikan bibisan merupakan ikan yang

banyak dijumpai di laut Madura, Indonesia. Ikan bibisan dapat digunakan sebagai flavor

pada makanan. Metode ekstraksi flavor yang cocvok adalah cara hidrolisis dengan

enzim. Hidrolisis dengan enzim merupakan metode yang paling aman dan cepat karena

enzim dapat membebaskan asam amino bebas dan memecahnya menjadi rantai peptide

Page 14: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

yang lebih pendek. Enzim protease yang digunakan diambil dari tanaman biduri.

Tanaman biduri memiliki komponen eksopeptidase yang dapat digunakan sebagai

hidrolisis protein sehingga dapat meningkatkan flavor. Hidrolisis ikan bibisan dengan

tanaman biduri ini dapat dijadikan sebagai produk kecap dan saus. Karena hidrolisa dari

kedua bahan ini mampu menghasilkan rasa umami dan dapat menjadi sumber flavor.

Dalam jurnal yang ditulis Mehdi et al (2012). Mahyavesh merupakan kecap ikan hasil

fermentasi tradisional yang biasanya dikonsumsi masyarakat Iran. Mahyavesh biasanya

menggunakan bahan baku ikan sarden, garam, mustard, dan air. Pada seluruh sampel

kecap ikan ditemukan bahwa produk mengandung senyawa histamin yang tinggi,

dimana keberadaan senyawa ini berkaitan dengan pertumbuhan bakteri terutama jenis

enterobacteriaceae dan bakteri asam laktat. Bakteri jenis tersebut mampu memproduksi

senyawa histamin yang berbahaya dalam waktu yang singkat. Walaupun kandungan

histamin pada produk kecap ikan tinggi, hal ini tidak menyebabkan kasus keracunan

karena kecap ikan tidak digunakan sebagai bahan utama msyarakat Iran sehingga

konsumsi kecap ikan masih dianggap rendah.

Jurnal diatas juga didukung dengan jurnal yang berjudul Occurrence of Biogenic

Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce karya Muhammad et al (2010)

bahwa dalam produk fermentasi kecap ikan mengandung senyawa amina yang

merupakan komponen nitrogen dengan berat molekul rendah. Kehadiran senyawa ini

tidak diinginkan karena memiliki efek toksik pada tubuh seperti hipertensi, pusin, diare,

dan inflamasi. Senyawa amina yang paling dominan di dalam kecap adalah histamine,

putrescine, cadaverine, dan tyramine. Histamine merupakan senyawa yang paling aktif

dari amina dimana senyawa ini bersifat toksik. Sedangkan putrescine dan cadaverine

meningkatkan kandungan amina pada produk pangan. Senyawa ini tidak dapat

dihilangkan dengan pemanasan suhu tinggi. Bakteri flora di dalam kecap ikan

merupakan bakteri yang memiliki kemampuan terbesar dalam memproduksi histamine,

putrescine, dan cadaverine. Namun bakteri Bacillus dan Staphylococcus merupakan

bakteri yang mampu mendegradasi senyawa amina tersebut. Menurut US FDA senyawa

histamine yang diizinkan berada di dalam kecap ikan adalah 50 ppm, sedangkan

kandungan histamine yang terdapat pada kecap ikan masih dikatakan bersifat aman.

Page 15: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Di dalam penelitian yang dilakukan Fakunle et al (2013) dilakukan analisa karakteristik

dari fermentasi kecap ikan dari bahan baku ikan yang ditambahkan garam dan ikan yang

tidak ditambahkan apa pun. Fermentasi dilakukan selama 3 bulan. Kandungan garam

yang tinggi pada ikan terdegradasi menjadi asam amino bebas dan nitogen selama

proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena aktivitas enzim proteolitik dan

mikroorganisme yang tumbuh pada lingkungan dengan kadar garam tinggi. Dari kedua

kecap ikan yang dibuat, kecap ikan dengan penambahan garam dan di fermentasi

selama 3 bulan mampu menghasilkan karakteristik dan rasa yang lebih baik.

Pada jurnal jurnal Ng Y.F et al (2013) pembuatan “Budu” atau kecap ikan yang

diproduksi di Malaysia biasanya menggunakan bahan baku ikan teri yang dicampur

dengan garam dan dibiarkan selama 6-12 bulan. Cairan hasil fermentasi kemudian

ditambahkan dengan asam, gula kelapa, MSG, dan penambah rasa. Sedangkan

“nampla” atau kecap ikan yang diproduksi Thailand merupakan kecap ikan yang paling

terkenal di dunia. Bahan baku kecap ikan ini adalah ikan teri (Stolephorus spp.),

mackerel (Ristrelliger spp.) dan herring (Clupea spp.) Faktor yang mempengaruhi

komposisi dan nutrisi dari kecap ikan adalah jumlah garam yang ditambahkan, suhu

fermentasi, jenis ikan, dan bahan –bahan tambahan. Di dalam jurnal ini, bahan baku

yang digunakan untuk kecap ikan adalah jenis ikan teri (, Ilisha melastoma) dan ikan

yang kurang banyak dimanfaatkan Valamugil seheli. Kecap ikan yang terbuat dari I.

melastoma memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan kecap ikan dari

V. seheli. Selain itu I. melastoma lebih cocok digunakan untuk produksi kecap ikan

karena kecap ikan dari V. seheli menghasilkan kecap ikan dengan banyak cairan.

Page 16: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi dengan

garam, enzimatis, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.

Tujuan fermentasi adalah untuk memperpanjang umur simpan, serta meningkatkan

flavor dan kualitas nutrisi pada produk.

Garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, sebagai pengawet.

Bawang putih sebagai pengawet karena senyawa allicin bersifat antibakteri.

Gula jawa bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, memberikan rasa

lembut, dan meningkatkan cita rasa, aroma, warna produk.

Fermentasi tradisional membutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu lebih dari 7

bulan.

Fermentasi enzim dilakukan penambahan enzim protease seperti enzim bromelin

(nanas) atauenzim papain (pepaya).

Enzim protease bertujuan untuk menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan

asam amino.

Fermentasi enzimatis membutuhkan waktu singkat, protein tinggi, namun memiliki

rasa dan aroma yang kurang disukai.

Enzim papain mengakibatkan protein terurai menjadi peptida, pepton, dan asam

amino lainnya, dimana komponen-komponen tersebut akan memberikan rasa yang

khas (asin), warna gelap, aroma tajam, menurunkan viskositas (encer).

Penyebab kecap ikan sangat kental adalah proses penambahan gula yang banyak dan

proses pemanasan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kecap ikan diantaranya banyaknya

penambahan enzim, tingkat kesegaran ikan, lama fermentasi, bumbu, kebersihan,

jenis ikan.

Semarang, 25 September 2015Praktikan, Asisten Praktikum

- Michelle Darmawan

Fiorency Santoso13.70.0082

15

Page 17: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Dwi Suryaningrum, Suryanti & Ijah Muljanah. (2014). Membuat Fillet Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Fakunle Olubunmi, Sadiku Suleman, Ibanga Uche, & Babinisi Olumide. (2013). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal. Vol 3 (3): page 45-49. Nigeria.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

Mehdi Zarei, Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush, Ala Enayati, Dariush Gharibi, & Ali Fazlara. (2012). Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. Journal of Food Control. Vol 23: page 511-514. Iran.

Merit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, dan I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majesty’s Stationery Office. Edinburgh.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

16

Page 18: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Muhammad Z.Z, Fatimah A.B, Jinap S. & Jamilah Bakar. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Journal of Food Science. Vol 28 (5): page 440-449. Malaysia.

Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. & Wan Nadiah,W.A. (2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce productions. Asian Journal of Food and Agro-Industry. Vol 4 (4): page 247-254. Malaysia.

Saleh, M; A. Ahyar; Murdinah & N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Yuli Witono, Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana & Ahib Assadam. (2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate. American Journal of Food Science and Technology. Vol 2 (6) : page 203-208. Indonesia.

Page 19: Kecap Ikan_Fiorency Santoso_13.70.0082_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

6. LAMPIRAN

6.1. Laporan Sementara

6.2. Diagram Alir

6.3. Abstrak Jurnal