Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19
1 1. MATERI METODE 1.1. Alat & Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Kecap Ikan ini adalah tulang dan kepala ikam, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, serta bawang putih. Alat yang digunakan antara lain yaitu blender, pisau, panci, pengaduk kayu, toples, kain saring, dan botol. 1.2. Metode Dalam pembuatan kecap ikan dengan menggunakan enzim, langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut. Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8% (kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5) Tulang dan kepala ikan dihancurkan

description

Praktikum teknologi hasil laut kloter A dengan tema "Kecap Ikan" dilaksanakan pada hari Senin, 14 September 2015 di Laboratorium Rekayasa Pangan pada pukul 15.00 WIB. Asisten dosen yang bertanggung jawab pada praktikum ini yaitu Michelle Darmawan. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan kecap ikan dengan cara fermentasi secara enzimatis. Enzim protease yang digunakan adalah enzim papain. Warna, rasa, kenampakan, dan aroma dianalisa, kemudian kadar salinitas diamati menggunakan alat refraktometer.

Transcript of Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI METODE

1.1. Alat & Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Kecap Ikan ini adalah tulang

dan kepala ikam, enzim papain komersial, garam, gula kelapa, serta bawang

putih. Alat yang digunakan antara lain yaitu blender, pisau, panci, pengaduk

kayu, toples, kain saring, dan botol.

1.2. Metode

Dalam pembuatan kecap ikan dengan menggunakan enzim, langkah kerja yang

dilakukan adalah sebagai berikut.

Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1),

konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%

(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)

Tulang dan kepala ikan dihancurkan

Page 2: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi disaring

Filtrat direbus sampai mendididh selama 30 menit

Page 3: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Setelah filtrat mendidih, ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir

gula kelapa. Filtrat tetap diaduk diatas kompor selama 30 menit.

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Page 4: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan

Keterangan:

Warna Rasa Aroma

+ : Tidak Coklat Gelap + : Sangat Tidak Asin + : Sangat Tidak Tajam

++ : Kurang Coklat Gelap ++ : Kurang Asin ++ : Kurang Tajam

+++ : Agak Coklat Gelap +++ : Agak Asin +++ : Agak Tajam

++++ : Coklat Gelap ++++ : Asin ++++ : Tajam

+++++ : Sangat Coklat Gelap +++++ : Sangat Asin +++++ : Sangat Tajam

Penampakan

+ :Sangat cair

++ :Cair

+++ :Agak kental

++++ :Kental

+++++ :Sangat tajam

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa warna kecap ikan pada semua kelompok dari

kelompok A1 hingga A5 adalah coklat gelap. Rasa kecap ikan yang sangat asin

didapatkan dari kelompok A2 dan A3, sedangkan pada kelompok A1, A4, dan A5 rasa

kecap ikan yang dihasilkan yaitu asin. Aroma kecap ikan yang sangat kuat dan tajam

didapat dari kelompok A5, pada kelompok A1, A2, dan A3 aroma yang dihasilkan agak

tajam, sedangkan pada kelompok A4 aroma kecap ikan yang dihasilkan kurang tajam.

Pada penampakan kecap ikan, rata-rata pada semua kelompok dari A1 hingga A4 adalah

kental, namun pada kelompok A5 penampakan kecap ikan adalah agak kental. Dari

derajat salinitas pada semua kelompok tidak didapatkan hasil apapun.

Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %

A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -

A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -

A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -

A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -

Page 5: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, praktikan melakukan percobaan membuat kecap ikan. Tujuan dari

praktikum yaitu untuk mempelajari proses pembuatan kecap ikan secara enzimatis dan

untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi enzim papain yang digunakan

terhadap karakteristik kecap ikan yang meliputi rasa, aroma, warna, dan salinitas dan

penampakan. Bahan yang praktikan gunakan dalam praktikum ini yaitu tulang, kepala,

duri, dan ekor ikan. Menurut Shih et al. (2003), kepala dan isi perut ikan adalah limbah

ikan yang mengambil bagian yang cukup besar dari keseluruhan porsi ikan. Dengan

mengolah kepala dan isi perut ikan maka akan dihasilkan produk kecap ikan. Selain

bahan tersebut ditambahkan juga bahan lain seperti garam, bawang putih, dan gula

jawa. Hal ini sesuai dengan teori Hariyono et al. (2005) yang mengatakan bahwa pada

umumnya bahan utama untuk pembuatan kecap ikan yaitu ikan dan garam.

Ikan merupakan sumber protein penting, namun ikan sangat mudah mengalami

kerusakan. Oleh karena itu, cara pengawetan ikan antara lain perebusan, pendinginan,

pengasapan, penggaraman, maupun dengan difermentasikan. Dengan cara tersebut

maka nilai gizi dari ikan dapat dijaga dan umur simpan produk dapat diperpanjang

(Olubunmi F. et al., 2010). Pada praktikum ini, digunakan ikan yang masih segar, oleh

karena itu sebelum digunakan ikan tersebut disimpan di dalam refrigerator untuk

menjaga kesegarannya. Menurut Jay (1986), suhu refrigerator berkisar antara 0-2oC dan

5-7oC sehingga dapat mempertahankan kesegaran ikan karena suhunya yang rendah

akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Kecap ikan adalah air maupun sari dari ikan yang telah diekstraksi selama proses yang

berkepanjangan dari penggaraman dan fermentasi, dimana nama kecap ikan di setiap

negara berbeda–beda (Malaysia : budu, Filipina : patis, Thailand : nampla, Perancis :

pissala, Hong Kong : yeesui, Asia Selatan : nouc-nam’). Kecap ikan ini biasanya dibuat

dari ikan kecil yang memiliki nilai konsumsi rendah (Olubunmi F. et al., 2010). Kecap

ikan pada umumnya berupa cairan berwarna coklat bening yang merupakan hasil

hidrolisat ikan asin. Kecap ini memiliki rasa yang berbeda jika dibandingkan dengan

kecap kedelai, yaitu agak asin, berwarna kekuningan sampai coklat muda, dan banyak

Page 6: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

mengandung senyawa nitrogen. Kecap ikan digemari oleh masyarakat karena selain

rasanya gurih, proses pembuatannya juga mudah dan murah. Kecap ikan berfungsi

sebagai penambah rasa atau sebagai pengganti garam dalam memasak dan membawa

rasa khas untuk makanan, serta digunakan pula dalam industri pengolahan pangan

(Ritthiruangdej & Thongchai, 2006).

Kecap ikan mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Hal ini disebabkan karena

komposisi dari kecap ikan memiliki berat molekul yang rendah. Kelarutannya di dalam

air dapat mencapai 90% dimana rasio nitrogen amino dan nitrogen total ialah sebesar

45%. Meskipun kandungan gizi dalam kecap ikan terbatas, karena kandungan garam

tinggi, namun kandungan protein dalam kecap ikan cukup tinggi. Protein yang

terkandung dalam kecap ikan paling banyak adalah dalam bentuk peptida-peptida

sederhana serta asam-asam amino (Kasmidjo, 1990). Kecap ikan mengandung sekitar

20 g/L nitrogen dimana sekitar 80% dalam bentuk asam amino (Zaman M. Z. et al.,

2010). Kadar air kecap ikan yaitu sekitar 81-83% (Yuli W. et al., 2014).

Menurut (Olubunmi F. et al., 2010), kecap ikan ialah cairan yang mengandung garam

yang tinggi dimana protein dari ikan didegradasi menjadi asam-asam amino bebas dan

basa nitrogen selama proses fermentasi sebagai hasil dari aktivitas enzim proteolitik dan

mikroorganisme yang hadir karena konsentrasi garam yang tinggi. Namun, M. Zarei et

al. (2011) mengatakan bahwa amina biogenik sering ditemukan pada produk-produk

makanan, terutama produk makanan fermentasi. Amina biogenik ini dapat diproduksi

karena adanya dekarboksilasi dari asam amino oleh mikroba. Salah satu yang termasuk

amina biogenik adalah histamin, dimana histamine ini termasuk hazard atau bahan

kimia berbahaya. Zaman M.Z. et al. (2010), menambahkan bahwa amina biogenik dapat

hadir dalam produk makanan, terutama makanan fermentasi seperti kecap ikan, keju,

bir, dan asinan. Amina biogenik memiliki berat molekul senyawa nitrogen yang rendah,

contoh amina biogenik selain histamine yaitu putrescine, cadaverine, dan tyramine.

Kehadiran senyawa tersebut dapat mengakibatkan efek toksikologi kepada konsumen

seperti hipertensi, sakit kepala, diare, ruam, dan peradangan jika tertelan dalam jumlah

berlebihan. Jika senyawa amina terbentuk, maka akan sangat sulit untuk memisahkan

Page 7: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

maupun menghilangkan senyawa tersebut dari produk pangan sekalipun diberi

perlakuan pemanasan seperti autoclaving.

Produk ikan fermentasi dapat diperoleh dengan cara hidrolisis alami oleh enzim

endogen dan mikroorganisme. Proteolisis protein ikan menyebabkan meningkatnya

protein larut selama fermentasi. Selama proses fermentasi, jaringan ikan akan hancur

secara bertahap sehingga produk akhir yang dihasilkan adalah berupa cairan. Jaringan

ikan yang hancur terdegradasi oleh enzim protease secara endogen dan eksogen. Enzim

protease ini dapat menghidrolisis protein menjadi unit-unit peptida yang lebih kecil atau

dikenal dengan asam amino bebas. Enzim ini penting dalam fermentasi kecap ikan

karena merupakan enzim pengkatalis degradasi asam amino. Perubahan aktivitas

protease berhubungan dengan konsentrasi garam dan faktor lain selama fermentasi,

dimana aktivitas ini bergantung pada konsentrasi garam. Konsentrasi garam yang tinggi

dapat menghambat aktivitas enzim, tekanan osmotik meningkat, sehingga jaringan pada

ikan mengeras dan aktivitas enzim protease terhambat. Produk cair pada kecap ikan

disebabkan karena garam dengan konsentrasi tinggi dan adaya hidrolisis ikan (Ng, Y.F.

et al. 2011).

Kecap ikan dapat dibuat dengan dua cara yaitu dengan fermentasi menggunakan garam

maupun dengan fermentasi secara enzimatis. Olubunmi F. et al. (2010), mengatakan

bahwa fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan ikan yang murah dan

mudah untuk dilakukan. Menurut Astawan & Astawan (1988), fermentasi menggunakan

garam membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu lebih dari 7 bulan. Prinsip dari

fermentasi kecap ikan menggunakan garam yaitu adanya penarikan komponen ikan,

terutama komponen protein oleh garam. Hal ini dapat terjadi karena penambahan garam

dalam jumlah tinggi akan menyebabkan naiknya tekanan osmotik sehingga air dari

tubuh ikan akan keluar. Garam dengan konsentrasi tinggi akan memiliki tekanan

osmotik yang tinggi, sehingga air dapat ditarik keluar dari dalam tubuh ikan. Selain itu,

dengan konstentrasi garam yang tinggi, dapat melindungi ikan dari kontaminasi oleh

lalat, belatung, maupun pembusukan. Semakin tingginya kandungan garam, maka

pertumbuhan dari bakteri patogen dan bakteri putrefactive dapat dicegah sehingga umur

simpan dapat diperpanjang (Olubunmi F. et al., 2010).

Page 8: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

Kelebihan dari fermentasi dengan garam yaitu terdapat cairan supernatant yang

dihasilkan mengandung nitrogen terlarut seperti protein, peptida, dan asam amino yang

ketika semakin lama disimpan akan semakin meningkat akibat pemecahan protein ikan

oleh enzim dari ikan tersebut dan akan dihasilkan flavor yang enak (Shih et al., 2003).

Konsentrasi garam yang terkandung dalam kecap ikan tinggi (sekitar 25-30%, w/v

NaCl), sehingga mikroorganisme yang ditemukan pada produksi kecap ikan umumnya

diklasifikasikan sebagai bakteri halofilik (Somboon Tanasupawat et al., 2009). Flavor

kecap ikan dihasilkan oleh mikroba halofilik seperti Saccharomyces, Torulopsis, dan

Pediococcus selama fermentasi garam berlangsung (Astawan & Astawan, 1988). Proses

fermentasi yang dilakukan dengan cara tradisional, menggunakan garam,

mengahasilkan rasa dan aroma yang khas, lebih disukai dan dapat diterima dibanding

dengan menggunakan metode enzimatis (Jin-jin Jiang et al., 2007). Menurut M. Zarei et

al., (2011), konsentrasi garam (NaCl) yang tinggi, dapat memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan mikroba dan laju fermentasi, sehingga berpengaruh pula terhadap kualitas

sensori dan keamanan dari produk.

Pembuatan kecap ikan secara enzimatis dilakukan dengan penambahan enzim protease.

Enzim protease tersebut misalnya enzim papain yang berasal dari getah pepaya muda

atau bromelin yang berasal dari nanas muda. Enzim ini mampu menguraikan protein

menjadi beberapa komponen seperti peptide, peptone, dan komponen asam amino yang

saling berinteraksi sehingga menciptakan rasa yang khas. Fungsi dari penambahan

enzim yaitu dapat mempercepat penguraian protein sehingga proses pembuatan kecap

ikan dapat dipersingkat menjadi 3 hari (Afrianto & Liviawaty, 1989). Kelebihan dari

fermentasi dengan menggunakan enzim yaitu memerlukan waktu yang jauh lebih

singkat jika dibandingkan fermentasi dengan menggunakan garam. Selain itu,

kandungan protein yang terkandung dalam kecap juga lebih tinggi. Namun

kelemahannya, fermentasi kecap ikan dengan enzim mempunyai aroma dan cita rasa

yang kurang dapat diterima / disukai masyarakat yang telah terbiasa mengkonsumsi

kecap ikan yang diolah secara fermentasi dengan garam (Astawan & Astawan, 1988).

Page 9: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Pembuatan kecap ikan yang praktikan lakukan menggunakan cara enzimatis. Fermentasi

dengan penggunaan enzim harus memperhatikan karakteristik enzim protease. Enzim

protease hanya tahan terhadap konsentrasi garam yang relatif tidak terlalu tinggi, yaitu

sekitar 10-20%, sehingga penambahan garam tidak boleh dilakukan sebelum fermentasi

berlangsung (Tri & Cn, 2006). Langkah-langkah yang dilakukan yaitu menghancurkan

tulang ikan, kepala ikan, dan ekor ikan, kemudian dihaluskan dan ditimbang sebanyak

50 gram. Tujuan penghancuran yaitu untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi karena

sel yang rusak akan mudah dikeluarkan senyawa flavor-nya. Senyawa-senyawa

pembentuk flavor tersebut biasanya terdistribusi pada bahan yang terikat sebagian

dengan lemak, protein, atau air. Penghancuran yang dilakukan oleh praktikan

menyebabkan permukaan bahan menjadi luas, sehingga dengan meningkatnya luas

permukaan bahan maka rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin

meningkat dan menyebabkan kemampuan pelepasan komponen flavor semakin besar

(Saleh et al., 1996).

Setelah dihancurkan, bahan tersebut dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan

enzim papain dalam bentuk serbuk ke dalam tolpes dengan konsentrasi 0,2% untuk

kelompok A1; 0,4% untuk kelompok A2; 0,6% untuk kelompok A3; 0,8% untuk

kelompok A4; dan 1% untuk kelompok A5. Selanjutnya enzim papain dicampur dengan

pengadukan hingga rata, lalu campuran tersebut diinkubasikan selama 4 hari. Enzim

papain merupakan enzim protease. Menurut Sangjindayvong et al (2009), enzim

protease adalah enzim yang berperan dalam pembuatan kecap ikan. Enzim papain

berasal dari getah buah pepaya muda. Penambahan enzim papain dalam praktikum ini

yaitu untuk mempercepat penguraian protein sehingga pembuatan kecap ikan dapat

dipersingkat menjadi beberapa hari saja, dimana pada praktikum ini fermentasi hanya

membutuhkan waktu 4 hari (Afrianto & Liviawaty, 1989). Hal ini dapat terjadi karena

enzim papain dapat menghidrolisis protein dengan memecah ikatan peptida pada

substrat dengan kondisi yang memungkinkan menjadi peptide, peptone, dan asam amino

yang saling berinteraksi. Peristiwa pemecahan protein ini akan menghasilkan rasa dan

aroma kecap ikan yang khas (Lay, 1994). Namun, aktivitas enzim papain dapat

terhambat bahkan berhenti akibat suhu yang tinggi (61°C hingga 81°). Hal ini

Page 10: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

disebabkan karena enzim merupakan protein sehingga rentan terhadap suhu tinggi

(Sangjindayvong et al, 2009)

Hasil fermentasi enzimatik kecap ikan yang dihasilkan kemudian disaring dan diperoleh

filtrat. Penyaringan dilakukan supaya jumlah filtrat yang diambil dapat maksimal.

Selanjutnya, filtrat yang dihasilkan lalu direbus hingga mendidih selama 30 menit

dimana selama perebusan, ditambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan, bumbu

tersebut antara lain yaitu 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula

kelapa. Penambahan bumbu-bumbu selama perebusan digunakan untuk menambah

aroma dan cita rasa kecap ikan. Semua bumbu yang ditambahkan dalam praktikum ini

memiliki kemampuan sebagai pengawet. Bawang putih mengandung allicin dan alliin

yang efektif sebagai antimikroba (Fachruddin, 1997). Garam juga dapat berfungsi

sebagai pengawet, memberi rasa asin, dan menguatkan rasa. Kemampuan garam sebagai

pengawet dikarenakan dengan penambahan garam membuat Aw menurun, menurunkan

kelarutan oksigen, dan mengganggu keseimbangan ionik sel mikroba karena

peningkatan proton di dalam sel (Desrosier & Desrosier, 1977). Garam dengan asam

glutamat yang terkandung dalam ikan ketika berinteraksi akan membentuk flavor yang

enak. Sedangkan penambahan gula dapat memberikan flavor spesifik pada kecap ikan

dan menyebabkan warna kecap ikan yang dihasilkan menjadi coklat karamel serta

meningkatkan viskositas kecap ikan (Kasmidjo, 1990). Setelah campuran tersebut

mendidih dan agak dingin, dilakukan penyaringan kedua dengan tujuan supaya pada

filtrat kecap ikan tidak terdapat pengotor yang tidak diinginkan, kemudian diamati

secara sensoris yang meliputi warna, aroma, rasa dan penampakan.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa warna kecap ikan pada semua

kelompok dari A1 hingga A5 adalah coklat gelap. Hal ini sesuai dengan teori Astawan

& Astawan (1991), bahwa aktivitas enzim proteolitik pada ikan menyebabkan

terbentuknya cairan yang berwarna coklat. Apabila penambahan enzim papain semakin

banyak, maka aktivitas protease akan semakin tinggi sehingga menghasilkan cairan

hasil hidrolisa semakin gelap. Namun, hasil yang praktikan dapatkan kurang sesuai

dengan teori tersebut. Seharusnya, kecap ikan yang berwarna paling terang adalah kecap

ikan kelompok A1 dengan konsentrasi penambahan papain paling sedikit yaitu 0,2%

Page 11: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

dan yang paling gelap adalah kecap ikan kelompok A5, karena konsentrasi papain yang

ditambahkan paling banyak, yaitu 1%. Yuli W. et al. (2014) menambahkan bahwa

warna kecap ikan sangat penting karena berhubungan dengan rasa yang dihasilkan,

dimana penambahan gula dapat menyebabkan warna coklat dan meningkatnya

viskositas yang merupakan sifat khusus dari kecap ikan.

Berdasarkan hasil pengamatan rasa kecap ikan, didapatkan bahwa pada kelompok A1,

A4, dan A5 kecap asin yang dihasilkan memiliki rasa asin, sedangkan pada kelompok

A2 dan A3 kecap asin yang dihasilkan memiliki rasa sangat asin. Berdasarkan teori

Astawan & Astawan (1991), apabila konsentrasi enzim yang ditambahkan semakin

tinggi, maka rasa kecap ikan akan semakin lemah (tidak tajam). Seharusnya, rasa yang

paling asin diperoleh dari kelompok A1 dengan konsentrasi papain terendah (0,2%) dan

rasa yang paling tidak asin diperoleh dari kelompok A5 dengan konsentrasi papain

tertinggi (1%). Kesalahan pada praktikum ini dapat disebabkan karena penambahan

bumbu yang dilakukan praktikan untuk menambah rasa dan aroma. Rasa dan bau kecap

ikan sangat ditentukan dengan jenis bumbu yang ditambahkan (Astawan & Astawan,

1991). Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena kualitas kecap ikan sangat

ditentukan oleh jumlah penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi. Karena pada

praktikum ini digunakan fermentasi enzimatis dengan lama waktu yang sama,

perbedaan rasa kecap ikan tersebut disebabkan karena jumlah penambahan garam oleh

praktikan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit (Afrianto & Liviawaty, 1989). Selain

itu, dapat juga disebabkan karena perbedaan lama waktu dan suhu pemanasan yang

praktikan gunakan. Apabila suhu semakin tinggi dengan waktu pemanasan yang lebih

lama, kecap ikan akan menjadi kental sehingga konsentrasi garam meningkat dan

membuat rasa menjadi asin (Astawan & Astawan, 1991).

Perubahan aroma dan bau pada kecap ikan setelah fermentasi disebabkan oleh senyawa-

senyawa yang berperan dalam pembentukan bau dan aroma kecap ikan antara lain 2-

methylpropanal, 2-methylbutanal, 2-pentanone, 2-ethylpyridine, dimethyl trisulfide, 3-

(methylthio)-proppanal, and 3-methylbutanoic acid (Ritthiruangdej & Thongchai,

2006). Dari praktikum ini, diperoleh hasil bahwa aroma kecap ikan pada kelompok A1

hingga A3 adalah agak tajam, pada kelompok A4 aroma yang dihasilkan kurang tajam

Page 12: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

dan pada kelompok A5 aroma yang dihasilkan sangat tajam. Tajam menurut panelis

disebabkan karena panelis maupun orang pada umumnya tidak terbiasa dengan kecap

ikan yang dibuat secara enzimatis sehingga aroma maupun cita rasa dari kecap ikan

dengan penambahan enzim kurang disukai masyarakat (Astawan & Astawan, 1988).

Astawan & Astawan (1991) berpendapat bahwa semakin banyak enzim papain yang

digunakan menyebabkan semakin banyak protease yang menghidrolisa protein ikan

sehingga aktivitas hidrolisa semakin tinggi. Dengan tingginya aktivitas hidrolisa,

komponen penyusun aroma yang dihasilkan akan semakin banyak dan membuat aroma

kecap ikan semakin tajam. Selain itu, Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan

bahwa semakin banyak enzim papain yang ditambahkan akan menutupi aroma amis dari

ikan akibat terekstraknya senyawa yang menimbulkan aroma khas pada kecap ikan.

Berdasarkan teori tersebut, seharusnya aroma kecap ikan yang paling lemah adalah

aroma kecap ikan yang dihasilkan pada kelompok A1 dengan papain konsentrasi paling

sedikit yaitu 0,2%. Ketidaksesuaian antara praktikum yang dilakukan dengan teori yang

ada kemungkinan disebabkan akibat perbedaan lama waktu dan suhu pemanasan karena

dengan semakin tinggi suhu dan waktu pemanasan yang semakin lama akan membuat

aroma menjadi tidak tajam karena penguapan yang lebih besar terhadap senyawa volatil

kecap ikan (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Berdasarkan hasil pengamatan, penampakan kecap ikan pada kelompok A1 hingga A4

adalah kental, sedangkan penampakan kecap ikan pada kelompok A5 adalah agak

kental. Menurut Astawan & Astawan (1988) enzim papain akan menguraikan protein

menjadi peptida, pepton, dan asam amino lainnya. Penguraian ini akan menurunkan

viskositas kecap ikan, sehingga kecap ikan menjadi semakin cair. Walter (1991)

mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas antara lain, yaitu

konsentrasi, rantai silang dan keadaan lain yang terlihat, pH, dan elektrolit. Jadi,

seharusnya dengan semakin banyaknya enzim papain yang ditambahkan, maka kecap

ikan akan semakin cair. Kecap asin yang dihasilkan kelompok A5 seharusnya paling

cair, dan kecap asin yang dihasilkan kelompok A1 seharusnya sangat kental. Menurut

Yuli W. et al. (2014), viskositas atau kekentalan kecap ikan dapat dipengaruhi oleh

bahan yang digunakan dan proses pemasakan yang dilakukan. Bahan yang digunakan

meliputi penambahan gula. Proses pemanasan dapat meningkatkan bahan kering dalam

Page 13: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

kecap ikan karena adanya penguapan air, sehingga akan meningkatkan viskositas kecap.

Meningkatnya viskositas karena protein yang terdapat dalam bumbu akan didenaturasi

dengan pemanasan sehingga kelarutan akan menurun. Viskositas berbanding lurus

dengan konsentrasi larutan. Penambahan gula akan menyebabkan air terikat ke dalam

makanan. Meningkatkan konsentrasi padatan terlarut dalam larutan, maka aktivitas air

(Aw) semakin rendah. Penambahan gula juga mempengaruhi gel yang dibentuk karena

gula dicampur dengan air maka akan gula tersebut akan meleleh. Protein dan gula

mengikat air, sehingga dapat meningkatkan viskositas kecap ikan. Viskositas larutan

juga dapat dipengaruhi oleh suhu, tekanan, berat molekul, dan konsentrasi larutan dan

bahan yang terlarut (Winarno, 1995).

Namun yang paling penting adalah ketidak sesuaian antara hasil pengamatan dengan

teori disebabkan karena analisa yang dilakukan adalah analisa secara sensoris. Dimana

analisa terhadap warna, rasa, aroma, dan penampakan kecap ikan ini bersifat subjektif,

sesuai dengan persepsi panelis. Oleh karena itu, penerimaan tiap individu satu dengan

individu lain dapat berbeda-beda. Meritt et al. (1982), mengatakan bahwa kelemahan

metode sensorik adalah sulit untuk menstandarisasi hasil.

Untuk pengukuran salinitas kadar garam kecap ikan, dilakukan pemasakan kecap ikan

yang sudah jadi dan diteteskan pada hand refractometer, kemudian dibaca skala

salinitasnya. Astawan & Astawan (1991), mengatakan bahwa apabila konsentrasi enzim

yang ditambahkan semakin tinggi, salinitas kecap ikan akan semakin rendah. Menurut

Shadily et al., (1984), refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur indeks

bias suatu medium, baik yang zat cair, padat, maupun gas dan pada praktikum ini

digunakan untuk mengukur kadar garam. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang

diperoleh, persen salinitas kecap ikan pada semua kelompok tidak muncul. Hal ini

menurut Sears (1994), dapat disebabkan karena larutan memiliki indeks bias tertentu.

Selain itu, suhu dan konsentrasi larutan juga dapat mempengaruhi dalam penentuan

indeks bias. Indeks bias bergantung bukan hanya pada macam zat tetapi juga pada

panjang gelombang cahaya. Kecepatan merambat gelombang cahaya tidak sama dalam

semua media. Indeks bias bergantung pada berat jenis, temperatur, dan macam media

yang dilewati serta panjang gelombang cahaya datang. Faktor lain yang dapat

Page 14: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

mempengaruhi indeks bias medium tidak bisa terdeteksi dengan alat refraktometer,

yaitu kesalahan praktikum, misalnya larutan pada permukaan prisma tertumpah atau

menyentuh bagian refraktometer tertentu, maka akan mengganggu pada saat pembacaan

skala pada refraktometer sehingga persen salinitas tidak dapat terbaca.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah tidak adanya

kontaminasi pada adonan kecap, kondisi fermentasi yang sesuai, penyimpanan yang

tepat saat fermentasi berlangsung, pemanasan yang sesuai dimana dapat mempengaruhi

viskositas kecap yang dihasilkan serta bumbu-bumbu yang digunakan sehingga dapat

menunjang rasa, aroma, warna, dan penampakan kecap yang baik. Pada faktor pertama

dikatakan kontaminasi adonan kecap karena kontaminasi dapat menghambat proses

fermentasi yang berlangsung. Jenis kontaminasi fisik, yaitu hewan seperti serangga

yang masuk ke dalam adonan kecap dan mikrobiologi, yaitu timbulnya gelembung pada

adonan yang menyebabkan mikroorganime dapat tumbuh. Akibat dari kontaminasi ini,

adonan kecap mengeluarkan warna orange kekuningan hingga coklat muda,

mengeluarkan aroma tape yang menyengat, dan muncul jamur yang berwarna putih,

berserabut seperti kapas pada permukaan adonan kecap. Kontaminasi dapat terjadi

karena wadah yang digunakan kurang bersih, tutup wadah kurang rapat atau terlalu

rapat yang mengakibatkan lubang pada plastik, karena proses fermentasi menghasilkan

gelembung yang dapat menekan tutup plastik, sehingga kontaminan dari luar dapat

masuk. Kemungkinan besar mikroba yang tumbuh pada adonan kecap dalam praktikum

ini merupakan jenis bakteri Achromobacter dan Flavobacterium serta Pseudomonas

maupun Clostridium. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moeljanto (1992), bahwa pada

ikan yang telah mati maka autolisis masih berjalan sehingga memungkinkan bagi

pertumbuhan bakteri pembsusuk. Selain itu bisa juga karena enzim yang digunakan.

Semakin tinggi aktivitas enzim, maka proses fermentasi pun berjalan cepat sehingga

menghasilkan gas yang terlalu banyak dan terjadi over fermentation yang

mengakibatkan adonan kecap busuk. Selain itu pemanasan yang mepengaruhi hasil

akhir kecap yang baik salah satunya digambarkan dengan viskositas yang baik pula.

Page 15: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Menurut Ng, Y.F. et al., (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan

kualitas gizi dari kecap ikan adalah kadar garam, suhu fermentasi, jenis ikan, dan bahan

tambahan yang digunakan. M. Zarei et al., (2011) menambahkan bahwa kombinasi dari

pH yang rendah, asam-asam organik (terutama asam laktat), dan garam adalah faktor

utama yang mempengaruhi produk fermentasi ikan. Produk kecap ikan fermentasi

biasanya memiliki pH yang rendah karena adanya pertumbuhan dari bakteri asam laktat.

Bakteri asam laktat adalah mikroorganisme yang paling dominan ditemukan pada

produk fermentasi ikan. pH produk kecap ikan dari mackerel-nukazuke (produk ikan

fermentasi Jepang), momoni (kecap ikan fermentasi Ghana) dan bakasang (kecap ikan

fermentasi Indonesia) memiliki range berturut-turut yaitu 5.26 - 6.37, 6.47 - 6.56 dan

5.9 - 6.3. Olubunmi F. et al., (2010), mengatakan bahwa sifat dari produk akhir

tergantung pada besarnya suhu dan pH fermentasi.

Page 16: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

4. KESIMPULAN

Bahan utama pembuatan kecap ikan yaitu ikan dan garam.

Kecap ikan berupa cairan berwarna coklat bening hasil hidrolisat ikan asin.

Kecap ikan dapat dibuat dengan fermentasi garam dan fermentasi enzimatis.

Fermentasi kecap ikan dengan garam melibatkan bakteri halofilik.

Fermentasi kecap ikan secara enzimatis menggunakan penambahan enzim protease.

Tujuan penambahan enzim protease yaitu untuk mempercepat penguraian protein.

Waktu yang dibutuhkan fermentasi enzimatis kecap ikan relatif singkat dengan nilai

protein tinggi, namun memiliki aroma dan rasa yang kurang disukai.

Tujuan penghancuran untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi flavor kecap ikan.

Warna kecap ikan terbentuk karena reaksi asam-asam amino dengan gula reduksi.

Aroma dan rasa kecap ikan ditimbulkan karena adanya hidrolisa protein.

Aktivitas enzim papain dapat terganggu akibat suhu tinggi dan konsentrasi garam

yang tinggi.

Penyaringan pertama dilakukan supaya jumlah filtrat yang diambil dapat maksimal.

Penambahan bumbu berfungsi untuk menambah aroma dan cita rasa kecap ikan.

Penyaringan kedua bertujuan untuk memisahkan pengotor dari kecap ikan.

Aktivitas enzim proteolitik pada ikan membentuk cairan berwarna coklat.

Semakin banyak penambahan enzim papain menyebabkan warna kecap ikan

semakin coklat (semakin gelap), rasa sangat tidak asin, salinitas (kadar garam)

rendah, penampakan sangat cair serta aroma semakin tajam.

Lama waktu pemanasan, suhu pemanasan, dan penambahan bumbu mempengaruhi

warna, rasa, penampakan dan aroma kecap ikan.

Semarang, 21 September 2015 Asisten Dosen,

- Michelle Darmawan

Elsa Olivia

13.70.0088

Page 17: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat

Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan, M.W & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat

Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Hariyono, I; Yeap S.E; Kok T.N; dan Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in

Fish Sauce Fermentation. J Pri Ind 32: 19-29 2005/06. Singapore.

Jay, J. M. (1986). Modern Food Microbiology 3rd

Edition. Van Nastrand Reinhold

Company. New York.

Jin-jin jiang et al., (2007). Chemical and Sensory Changes Associate Yu-lu

Fermentation Traditional Chinese fish sauce. Food chemistry 104 (2007) 1629-

1634.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta

Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Mehdi Zarei, Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush,

Ala Enayati, Dariush Gharibi, Ali Fazlara. (2011). Chemical and microbial

properties of mahyaveh, a traditional Iranian fish sauce. Food Control 23 (2012)

511-514.

Merit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and

Processing Second Edition. Her Majesty’s Stationery Office. Edinburgh.

Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and

Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha

melastoma for fish sauce production. Asian Journal of Food and Agro-Industry. 2011, 4(04), 247-254.

Page 18: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Olubunmi Fakunle, Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010).

Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. New York Science Journal.

2010;3(3):45-49]. (ISSN: 1554-0200).

Ritthiruangdej, Pitiporn; dan Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of

Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.) :

181 - 191 (2006).

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi

Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk

and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce

from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).

Zaman M.Z., Bakar F.A., Selamat J., Bakar J.. (2010): Occurrence of biogenic amines

and amines degrading bacteria in fish sauce. Czech J. Food Sci., 28: 440–449.

Zemansky, Sears. 1994. Fisika untuk Universitas 3 Optika. Jakarta: Bina cipta.

Shadily, Hasan. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Shih, I.L.; L.G. Chen; T.S. Yu; W.T. Chang; & S.L. Wang. (2003). Microbial

reclamation of fish processing wastes for the production of fish sauce. Enzyme

and Microbial Technology 33 (2003) 154-162.

Somboon Tanasupawat et al., (2009). Indetification of Halophilic Bacteria from Fish

Sauce (Nam-pla) in Thailand. Journal of Culture Collections.Volume 6, 2008-

2009, pp. 69-75.

Tri, Tap Chi Phat; dan Cn Tap. (2006). Characterization of Protease from Aspergillus

Oryzae Surface Culture and Application in Fish Sauce Processing. Department of

Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.

Winarno, F. G, “Food Enzymes”. Jakarta: PT Gramedia. 1995.

Yuli Witono, Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana, Ahib Assadam.

(2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from

"Bibisan" Fish Hydrolyzate. American Journal of Food Science and Technology,

2014, Vol. 2, No. 6, 203-208.

Page 19: Kecap Ikan_Elsa Olivia_13.70.0088_A5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram alir

6.4. Abstrak Jurnal

6.5. Viper