KECAP IKAN_Catherine_13.70.0178_A1_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
248 -
download
6
description
Transcript of KECAP IKAN_Catherine_13.70.0178_A1_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Acara IV
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI
HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Catherine Maria Margareta
NIM: 13.70.0178
Kelompok: A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.2. Metode
2
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1), konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5)
Tulang dan kepala ikan dihancurkan
3
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Hasil fermentasi disaring
2. PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan
Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas %
A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -
A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -
A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -
A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -
Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam
Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa setiap kelompok
menambahkan konsentrasi enzim papain yang berbeda-beda. Dari analisis warna,
kelompok A1, A2, A4, dan A5 memperoleh kecap ikan dengan warna cokelat gelap,
sedangkan kelompok A5 berwarna agak cokelat gelap. Pada analisis rasa, kelompok A1
dan A4 menghasilkan rasa yang asin, kelompok A2, A3, dan A5 menghasilkan kecap
ikan dengan rasa sangat asin. Dari segi aroma, kelompok A1, A2, dan A3 menghasilkan
aroma kecap ikan yang agak tajam, sedangkan kelompok A4 beraroma kurang tajam
dan A5 sangat tajam. Penampakan kecap ikan pada kelompok A1, A2, A3, dan A4
kental, sementara kelompok A5 agak kental. Hasil salinitas pada setiap kelompok tidak
dapat terbaca.
4
1. PEMBAHASAN
Kecap ikan merupakan produk hasil dari hidrolisa ikan yang diperoleh melalui proses
fermentasi dengan garam, secara enzimatis maupun kimiawi. Kecap ikan berbentuk cair
dan berwarna coklat jernih (Astawan & Astawan, 1988). Karakteristik kecap ikan yaitu
rasanya agak asin, warna kekuningan sampai coklat muda dan mengandung banyak
senyawa nitrogen. Penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi sangat
menentukan kualitas dari kecap ikan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Sifat dari kecap
ikan adalah mudah dicerna dan diabsorbsi oleh tubuh manusia, karena komposisinya
merupakan komponen yang mempunyai berat molekul rendah (Kasmidjo, 1990). Kecap
ikan merupakan produk pangan tradisional yang difermentasikan, berasal dari negara di
Asia. Di Jepang disebut ’Shottsuru’, ’Yuiru’ di Cina, di Thailand disebut ’Nam plaa’, di
Filipina disebut ’Patis’, di Vietnam ’Nouc mam’ disebut, dan disebut di Korea disebut
’Jeotgal’ (Harada, 2007).
Dalam Jurnal “Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products
from "Bibisan" Fish Hydrolyzate”, menyatakan bahwa kecap ikan mempunyai aroma
yang khas, yang sering digunakan sebagai indikator untuk mengukur kualitas. Kecap
ikan sarden merupakan sumber EPA dan DHA yang baik. Selain itu, karena kandungan
asam aminonya, kecap ikan ini juga merupakan sumber yang baik bagi kebutuhan leusin
dan isoleusin. Peningkatan jumlah asam amino bebas merupakan akibat dari
keseimbangan dinamis antara produksi dan pemecahan asam amino bebas dalam proses
autolisis dan aksi mikrobia. Degradasi pada protein otot menjadi peptida dan asam
amino menentukan penampakan dan flavor. Dikatakan pula bahwa ikan bibisan
menghasilkan warna kecap ikan yang jernih. Dari penelitian ini, dijelaskan bahwa
penggunaan enzim papain akan memperbaiki kualitas sensori dari kecap ikan yang
diproduksi.
Dalam pembuatan kecap ikan, pertama-tama tulang dan ekor ikan tongkol dipersiapkan
terlebih dahulu, kemudian dihaluskan menggunakan blender. Penghancuran bertujuan
untuk merusakan sel dan memudahkan senyawa flavor untuk keluar sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dari ekstraksi. Selain itu, dengan penghancuran maka
5
6
permukaan bahan akan semakin luas, sehingga semakin besar pula kemampuan bahan
untuk melepas komponen flavornya (Saleh et al., 1996). Kemudian 50 gram bahan
dimasukkan ke dalam wadah fermentasi yang berupa toples tertutup. Lalu, enzim papain
ditambahkan dengan konsentrasi yang berbeda untuk masing-masing kelompok; A1
konsentrasi 0,4%%, A2 konsentrasi 0,8%, A3 konsentrasi 1,2%, A4 konsentrasi 1,6%,
serta A5 konsentrasi 2%. Penambahan enzim papain bertujuan untuk mempercepat
proses fermentasi kecap ikan, di mana fermentasi dengan menggunakan garam saja
membutuhkan waktu yang cukup lama. Enzim papain termasuk dalam enzim protease
yang mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti peptida, pepton,
dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan rasa yang khas. (Astawan &
Astawan, 1988). Menurut Muhidin (1999), enzim papain terdapat dalam getah pepaya
pada bagian batang, daun, dan buahnya.
Setelah itu, diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Proses inkubasi selama 4 hari
dalam wadah tertutup bertujuan menciptakan kondisi anaerob agar proses fermentasi
dapat berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi dari luar. Selama
proses fermentasi senyawa - senyawa kompleks akan diuraikan menjadi senyawa yang
lebih sederhana, dimana proses penguraian ini berlangsung dalam kondisi lingkungan
yang terkontrol (Astawan & Astawan, 1988). Visessanguan et al. (2004) menyatakan
bahwa fermentasi tidak hanya teknik untuk pengawetan sehingga dapat memperpanjang
umur simpan, tetapi juga untuk menambah kualitas flavor dan nutrisi produk.
Setelah 4 hari, hasil fermentasi disaring, filtrat direbus sampai mendidih dan selama
perebusan dilakukan penambahan bumbu halus yang terdiri dari 50 gram bawang putih,
50 gram garam, dan 50 gram gula jawa. Penyaringan berfungsi untuk memisahkan
filtrat dengan padatan. Proses perebusan memiliki tujuan untuk membunuh
mikroorganisme kontaminasi dari proses fermentasi dan penyaringan, melarutkan
bumbu yang ditambahkan, meningkatkan cita rasa, menguapkan sebagian besar air,
serta mengentalkan kecap (Fellows, 1990). Sedangkan penambahan bumbu - bumbu
bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, memberikan rasa lembut,
mempengaruhi cita rasa, aroma, dan warna kecap ikan yang dihasilkan (Fachruddin,
7
1997). Gula jawa yang ditambahkan berperan sebagai pengawet, memberikan warna
coklat karamel dan meningkatkan viskositas dari kecap ikan (Kasmidjo, 1990).
Sebagaimana yang disampaikan di dalam jurnal Preliminary Production Of Sauce From
Clupeids, penambahan garam bertujuan untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan
memberi efek pengawet karena dapat menurunkan nilai Aw. Bawang putih dapat
memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan serta mempunyai sifat antimikrobia
yakni mengandung zat allicin yang efektif untuk membunuh bakteri (Fachruddin,
1997). Setelah mendidih dan agak dingin, dilakukan penyaringan kedua. Lalu
dilakukan pengamatan secara sensoris yang meliputi warna, rasa, aroma, dan
penampakan, serta salinitas menggunakan hand refractometer.
Dari analisis warna, kelompok A1, A2, A4, dan A5 memperoleh kecap ikan dengan
warna cokelat gelap, sedangkan kelompok A5 berwarna agak cokelat gelap. Hasil
salinitas pada setiap kelompok tidak dapat terbaca. Menurut Ibrahim (2010), warna
coklat terbentuk karena adanya reaksi antar asam - asam amino dengan gula reduksi.
Gula jawa yang digunakan sebagai bumbu menyebabkan warna coklat karamel pada
kecap ikan. Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1991), aktivitas enzim proteolitik
dapat menyebabkan terbentuknya warna coklat. Semakin banyak enzim papain yang
ditambahkan, maka aktivitas enzim protease akan semakin tinggi sehingga warna
cairan yang dihasilkan dari proses hidrolisa akan semakin gelap. Hasil yang diperoleh
tidak sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1991) tersebut karena kelompok A5
yang menggunakan konsentrasi enzim papain tertinggi seharusnya berwarna paling
gelap. Hal ini dikarenakan pengujian warna yang dilakukan secara indrawi sehingga
hasil yang didapat bersifat subjektif. Selain itu, lama pemasakan dan suhu pemasakan
masing – masing kelompok yang berbeda – beda dapat pula menyebabkan
penyimpangan hasil. Lamanya pemasakan dan suhu pemasakan mempengaruhi warna
coklat yang dihasilkan dari reaksi Maillard. Pemasakan dengan suhu tinggi dan waktu
yang lama menyebabkan warna kecap ikan semakin gelap (Lay, 1994).
Pada analisis rasa, kelompok A1 dan A4 menghasilkan rasa yang asin, kelompok A2,
A3, dan A5 menghasilkan kecap ikan dengan rasa sangat asin. Hasil pengamatan
iniseuai dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyebutkan bahwa
8
semakin besar jumlah enzim papain yang digunakan, maka semakin besar pula
kemampuan enzim untuk memecah protein. Hal ini akan menyebabkan proses
fermentasi berjalan lebih sempurna dan kecap ikan yang dihasilkan memiliki rasa yang
kuat.
Dari segi aroma, kelompok A1, A2, dan A3 menghasilkan aroma kecap ikan yang agak
tajam, sedangkan kelompok A4 beraroma kurang tajam dan A5 sangat tajam. Menurut
Astawan & Astawan (1991), semakin banyak protein terhidrolisis, maka komponen
yang memberi flavor khas pada kecap ikan semakin besar. Flavor khas tersebut
disebabkan karena senyawa nitrogen seperti amonia, histidin, putresin, kadaverin dan
arginin. Oleh karena itu, semakin banyak konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka
aroma yang dihasilkan juga semakin tajam. Hasil pengamatan yang diperoleh sesuai
dengan teori yang ada.
Penampakan kecap ikan pada kelompok A1, A2, A3, dan A4 kental, sementara
kelompok A5 agak kental. Viskositas dari kecap ikan sangat dipengaruhi oleh lama dan
suhu perebusan yang diaplikasikan. Proses perebusan dapat menguapkan sebagian besar
air, sehingga dapat mengentalkan kecap yang dihasilkan (Fellows, 1990). Menurut
Martassasmita et al. (1975), semakin banyak enzim ditambahkan, semakin besar
komponen kompleks berubah menjadi komponen yang lebih sederhana serta menjadi
mudah larut dalam air. Dengan demikian,seharusnya semakin banyak enzim papain
digunakan, semakin kental pula kecap yang dihasilkan.
Hasil salinitas yang diperoleh setiap kelompok tidak dapat terbaca. Menurut Wibisono
(2004), salinitas merupakan kadar garam yang terlarut dalam 1000 gram air laut.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka semakin tinggi nilai salinitas yang diperoleh
maka rasa dari kecap ikan tersebut akan semakin asin. Teori tersebut sesuai dengan hasil
pengamatan nilai salinitas dengan analisa rasa secara sensori yang sebanding. Semakin
banyak enzim yang ditambahkan, proses hidrolisis berjalan dengan baik sehingga rasa
kecap semakin asin, dan nilai salinitas menjadi sangat tinggi sehingga tidak mampu
erbaca.
9
Dalam melakukan fermentasi kecap ikan, seringkali terjadi kegagalan yang berupa
kontaminasi jamur dan munculnya belatung. Astawan & Astawan (1988) mengatakan
penambahan garam pada saat fermentasi dapat melindungi dari pencemaran oleh lalat,
pembusukan oleh bakteri, dan serangan belatung. Munculnya belatung dapat disebabkan
karena toples yang digunakan untuk fermentasi tidak tertutup secara sempurna (ada
lubang), sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh lalat. Selain itu, dalam
proses fermentasi tidak ditambahkan garam. Sedangkan munculnya jamur dapat
disebabkan karena proses fermentasi yang tidak aseptis, selain itu kelembaban yang
cukup tinggi di dalam toples dapat memicu pertumbuhan jamur. Dalam Jurnal
“Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish
SauceProteinase-Producing Halophilic Lactic Acid Bacteria Isolated From Fish Sauce
Fermentation and Their Ability to Produce Volatile Compounds”, menyatakan bahwa
banyak bakteri yang dapat ditemukan dalam fermentasi kecap ikan termasuk Bacillus,
Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Pediococcus, dan Tetragenococcus
(bakteri asam laktat halofilik). T. halophilus memiliki jalur kolin-glisin yang dapat
mengkonversi kolin menjadi glisin dalam kondisi pertumbuhan aerobik. T. halophilus
mampu menghidrolisis protein ikan dalam lingkungan dengan kadar garam yang tinggi,
yang biasanya mengandung NaCl 26-30%. T. halophilus berperan dalam hidrolisis
protein selama proses fermentasi kecap ikan.
Dalam Jurnal “Chemical and microbial properties of mahyaveh, a traditional Iranian
fish sauce”, lima belas strain bakteri yang sangat halofilik diisolasi dari kecap. Bakteri
ini diisolasi pada berbagai tahap proses fermentasi. Isolat yang didapatkan membentuk
spora, aerobik, berbentuk batang, dan merupakan bakteri Gram-positif. Mereka tumbuh
optimal pada konsentrasi NaCl 20-26%. Koloni Lentibacillus halophilus sp. nov.
berwarna putih kecoklatan, cembung atau timbul, halus dan melingkar. Peptidoglikan
pada dinding sel bakteri Lentibacillus halophilus sp. nov. hasil isolasi mengandung
asam meso-diaminopimelic.
Dalam Jurnal “Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish
sauce production”, limbah ikan dapat digunakan untuk produksi berbagai produk
10
sebagai protein, minyak, asam amino, mineral, enzim, peptida bioaktif, kolagen dan
gelatin. Minyak ikan mengandung dua asam lemak tak jenuh ganda yang penting
disebut EPA dan DHA. EPA dan DHA dapat mencegah aterosklerosis, perlindungan
terhadap penyakit maniak-depresif dan berbagai obat lainnya. Asam amino dapat
diproduksi dari protein ikan secara enzimatik atau kimiawi. Proses hidrolisis enzimatik
melibatkan penggunaan substrat protein langsung dan enzim seperti alkalase, neutrase,
karboksipeptidase, kimotripsin, pepsin dan tripsin. Sedangkan dalam proses hidrolisis
kimia, asam atau alkali digunakan dalam pemecahan protein untuk mengekstrak asam
amino.
Dalam Jurnal “Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce”, Yu
lu merupakan kecap ikan fermentasi tradisional dari Cina serta populer karena bau yang
khas. Senyawa volatil dalam saus ikan dapat bervariasi karena jenis ikan serta proses
produksi. Banyak jenis alkilbenzena dan alkana bercabang yang berkontribusi terhadap
bau pada kecap ikan. Sekitar 70 senyawa volatil diidentifikasi dalam dua jenis kecap
ikan dari Engraulis japonius dan Channa asiatica, termasuk 4 karbonil, 14 hidrokarbon,
14 nitrogen, 20 asam, 3 sulfur, 8 ester, 3 senyawa fenolik, dan 4 furan. Di antara
senyawa-senyawa tersebut, dimetil disulfida, dimetil trisulfida, 3- (metilthio) -propanol,
asam 2-metilpropanoat, asam butanoat, asam 2-metil-butanoat, dan 2 metilbutenal
dianggap sebagai kontributor utama terhadap karakteristik bau kecap ikan.
2. KESIMPULAN
Penghancuran bertujuan untuk merusakan sel dan memudahkan senyawa flavor
untuk keluar sehingga dapat meningkatkan efektivitas dari ekstraksi.
Penambahan enzim papain bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi kecap
ikan.
Proses inkubasi bertujuan menciptakan kondisi anaerob agar proses fermentasi
dapat berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi dari luar.
Fermentasi tidak hanya untuk pengawetan sehingga dapat memperpanjang umur
simpan, tetapi juga untuk menambah kualitas flavor dan nutrisi produk.
Proses perebusan memiliki tujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminasi,
melarutkan bumbu, meningkatkan cita rasa, menguapkan sebagian besar air, serta
mengentalkan kecap.
Gula jawa yang ditambahkan berperan sebagai pengawet, memberikan warna
coklat karamel dan meningkatkan viskositas dari kecap ikan.
Penambahan garam bertujuan untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan
memberi efek pengawet.
Bawang putih dapat memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan serta
mempunyai sifat antimikrobia.
Semakin banyak enzim papain yang ditambahkan, maka warna kecap akan
semakin gelap, rasanya semakin asin, aroma semakin tajam, dan semakin pekat.
Salinitas berbanding lurus dengan rasa asin (kandungan garam).
Semarang, 25 Sepetember 2015
Praktikan, AsistenDosen :
Michelle Darmawan
Catherine Maria Margareta
13.70.0178
11
3. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan & Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W. & M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N. W. & Desrosier. 1977. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dincer, T., S. Cakli, B. Kilinc, and S. Tolasa. 2010. Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary Advances 9 (2): 311-315.
Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fellows, P. 1990. Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
Ghaly A.E., Ramakrishnan V.V., Brooks M.S., Budge S.M., and Dave D. 2013. Fish Processing Wastes as a Potential Source of Proteins, Amino Acids and Oils: A Critical Review. Journal of Microbiology Biochemistry Technology 5 (4): 107-129.
Harada. (2007). Efficacy of puffer fish sauce in reducing hydroxyl radical damage to DNA assessed using the apurinic / apyrimidinic site method. Int J Mol Med, 20, 309-314.
Ibrahim, S. M. 2010. Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.
Jiang, J.J, Q.X. Zeng, Z.W. Zhu. 2008. Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Journal of Food Bioprocess Technology.
Kasmidjo, R. B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
12
13
Lay, B. W. 1994. Analisa Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Martassasmita.S. Winarno, F.G. dan Kristiaty.D. 1975. Buletin Penelitian TeknologiHasil Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pengaruh Jenis Kapang, WaktuFermentasi dan Varietas Kedelai Terhadap Mutu Kecap.
Muhidin, D. 1999. Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. 1996. Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Tanasupawat, S., A. Pakdeeto, S. Namwong, C. Thawai, T. Kudo, and T. Itoh. 2006. Lentibacillus halophilus sp. nov., from Fish Sauce in Thailand. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 56:1859–1863.
Udomsil, N., S. Rodtong, S. Tanasupawat, and J. Yongsawatdigul. 2010. Proteinase-Producing Halophilic Lactic Acid Bacteria Isolated From Fish Sauce Fermentation and Their Ability to Produce Volatile Compounds. International Journal of Food Microbiology 141:186–194.
Visessanguan, W., S. Bejakul, S. Riebroy, and P. Thepkasikul. 2004. Changes in Composition and Functional properties of Proteins and Their Contributions to Nham Characteristic. Food Chem 66: 579-588.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.
4. LAMPIRAN
4.1. Laporan Sementara
4.2. Diagram Alir
4.3. Abstrak Jurnal
14