KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

37
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1. Tabel 1. Pembuatan Kecap Ikan Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) Penampakan A1 Enzim papain 0,4% ++ ++++ ++++ 3 ++ A2 Enzim papain 0,8% ++ +++++ ++++ 2,8 ++ A3 Enzim papain 1,2% ++ ++++ ++++ 3,3 ++ A4 Enzim papain 1,6% ++ +++++ ++++ 3,5 +++ A5 Enzim papain 2% ++ ++++ ++++ 2,8 +++ A6 Enzim papain 2,5% +++ +++ ++++ 3,3 + Keterangan : Warna : Rasa : Aroma : Penampakan : + : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam + : sangat cair ++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam ++ : cair +++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam +++ : agak kental ++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam ++++ : kental +++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental 1

description

Pembuatan kecap ikan pada praktikum Teknologi Hasil Laut dilakukan secara enzimatis, yaitu dengan penambahan enzim proteolitik (enzim papain), sedangkan bahan baku utama pembuatan kecap ikan pada kloter A adalah tulang, ekor, dan kepala tanpa mata dari ikan tongkol.

Transcript of KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

Page 1: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1.

Tabel 1. Pembuatan Kecap Ikan

Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) PenampakanA1 Enzim papain 0,4% ++ ++++ ++++ 3 ++A2 Enzim papain 0,8% ++ +++++ ++++ 2,8 ++A3 Enzim papain 1,2% ++ ++++ ++++ 3,3 ++A4 Enzim papain 1,6% ++ +++++ ++++ 3,5 +++A5 Enzim papain 2% ++ ++++ ++++ 2,8 +++A6 Enzim papain 2,5% +++ +++ ++++ 3,3 +

Keterangan :Warna : Rasa : Aroma : Penampakan :+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam + : sangat cair++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam ++ : cair+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam +++ : agak kental++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam ++++ : kental+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental

Berdasarkan Tabel 1. di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada masing-masing

kelompok memberikan hasil yang berbeda. Pada hasil pengamatan warna, warna kecap ikan yang paling gelap diperoleh pada kecap ikan

dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 2,5% (kelompok A6), sedangkan warna kecap ikan yang dihasilkan pada kelompok

A1 hingga A5 berwarna kurang coklat gelap. Pada hasil pengamatan rasa, rasa yang sangat asin diperoleh pada kecap ikan dengan

konsentrasi papain 1,6% dan 0,8%; dan yang mendapatkan rasa asin adalah pada kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%, 1,2% dan 2%;

sedangkan pada kosentrasi papain 2,5% dihasilkan kecap ikan yang agak asin. Pada pengamatan aroma, diperoleh aroma tajam pada semua

kelompok. Sedangkan dari pengukuran kadar salinitas, tingkat salinitas yang paling tinggi didapatkan pada kelompok A4 yang

1

Page 2: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

2

menggunakan kosentrasi enzim papain 1,6%, sedangkan salinitas paling rendah didapatkan pada kelompok A2 dan A5, dimana %

salinitasnya sebesar 2,8%. Jika dilihat dari penampakannya, kecap ikan yang sangat cair didapatkan oleh kelompok A6 dengan

penambahan enzim papain 2,5% dan kecap ikan yang agak kental didapatkan oleh kelompok A4 dan A5 yang dilakukan penambahan

enzim papain secara berurutan sebesar 1,6% dan 2%.

Grafik 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Kecap Ikan

Enzim papain 0,4% (A1)

Enzim papain 0,8% (A2)

Enzim papain 1,2% (A3)

Enzim papain 1,6% (A4)

Enzim papain 2% (A5)

Enzim papain 2,5% (A6)

00.5

11.5

22.5

33.5

4

3 2.83.3 3.5

2.83.3

Salinitas Kecap Ikan dengan Berbagai Perlakuan

Salinitas (%)

Perlakuan (kelompok)

Salin

itas (

%)

Page 3: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

3

Pada Grafik 1. terlihat bahwa % salinitas yang diperoleh pada masing-masing perlakuan berbeda-beda. Perlakuan penambahan enzim

papain pada konsentrasi yang semakin tinggi menghasilkan % salinitas yang fluktuatif, sehingga perlakuan penambahan enzim papain tidak

berpengaruh terhadap % salinitas. Salinitas tertinggi sebesar 3,5% diperoleh pada perlakuan penambahan enzim papain 1,6% pada

kelompok A4, sedangkan salinitas terendah sebesar 2% diperoleh pada perlakuan penambahan enzim papain 0,8% pada kelompok A2 dan

2% pada kelompok A5.

Page 4: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan kecap adalah limbah ikan tongkol

yang terdiri dari tulang, ekor, dan kepala tanpa mata, sedangkan daging ikan digunakan

untuk praktikum pembuatan surimi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sonu (1986)

yang menyatakan bahwa surimi merupakan bentuk olahan daging ikan lumat yang

terbuat dari daging yang telah dipisahkan dari bagian ikan yang lainnya (kulit, tulang,

dan usus), sedangkan menurut Iskandar (1995), selain daging, bagian ikan yang tidak

dapat dimakan, seperti tulang, kepala, dan insang juga dapat dimanfaatkan untuk

dijadikan produk lain, salah satunya adalah kecap ikan yang dibuat pada praktikum ini.

Harada, et al. (2007) menambahkan bahwa penggunaan organ intestinal ikan justru

tidak disarankan dalam pembuatan kecap karena mengandung racun tetrodotoksin.

Astawan & Astawan (1988) mengungkapkan bahwa kecap ikan merupakan produk hasil

hidrolisa ikan, baik secara fermentasi / garam, enzimatis, maupun kimiawi yang

berwarna coklat jernih dan cair. Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa

kecap ikan adalah salah satu produk perikanan tradisional yang diolah dengan

fermentasi. Pada praktikum ini bahan baku utama yang digunakan adalah limbah ikan

tongkol (Euthynnus affinis). Collette & Nauen (1983) menyatakan bahwa ikan tongkol

(Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil yang memiliki cirri-ciri

berbadan memanjang dan hanya bersisik pada garis rusuknya. Menurut Bahar (2004),

ikan tongkol memiliki kulit yang licin, berwarna abu-abu dengan daging yang tebal,

serta dagingnya berwarna merah tua. Suzuki (1981) menyatakan bahwa kandungan gizi

ikan tongkol sangat tinggi, diantaranya yaitu kadar air sebesar 71,00-76,76 %, protein

21,60-26,30%, lemak 1,30-2,10% , mineral 1,20-1,50% dan abu 1,45-3,40%. Namun

secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) hanya berkisar antara 45-

50 %. Klasifikasi ikan tongkol dapat dilihat di bawah ini:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Pisces

Sub Class : Teleostei

4

Page 5: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

5

Ordo : Percomorphi

Family : Scombridae

Genus : Euthynnus

Species : Euthynnus affinis

(Saanin, 1984)

Menurut Tungkawachara, et al. (2003), kecap ikan digunakan sebagai penambah cita

rasa dalam suatu produk pangan dan digunakan pula sebagai pengganti garam untuk

memunculkan rasa asin. Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa ciri dari

kecap ikan, yaitu berasa asin, memiliki warna kekuningan hingga coklat muda, dan

mengandung senyawa nitrogen yang cukup banyak, dimana kualitasnya ditentukan oleh

banyaknya garam yang digunakan dan lamanya fermentasi. Hal ini didukung pula oleh

teori Lopetcharat & Park (2002) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap, yaitu konsentrasi garam yang digunakan,

lamanya fermentasi, enzim dan bahan lain yang ditambahkan, kebersihan (jika alat yang

digunakan tidak bersih dan dapat dengan mudah dicemari kontaminan, maka aktivitas

fermentatif dari mikroorganisme yang diinginkan justru terhambat karena terjadinya

perebutan substrat dengan mikroorganisme kontaminan), serta kondisi fermentasi (kadar

garam dan suhu).

Kondisi fermentasi yang merupakan salah satu faktor keberhasilan pembuatan kecap

ikan juga dibahas dalam jurnal berjudul “Chemical and Sensory Changes Associated Yu-

lu Fermentation Process – A Traditional Chinese Fish Sauce” yang ditulis oleh Jiang, et

al. (2007), dimana pada penelitiannya diketahui bahwa proses produksi Yu-lu atau

kecap ikan tradisional Cina yang difermentasi dipengaruhi oleh suhu dan waktu

fermentasi. Perubahan yang terjadi akibat suhu dan waktu fermentasi diantaranya adalah

perubahan kimia dan nilai sensoris. Perubahan kimia yang dimaksudkan adalah

perubahan total nitrogen terlarut, TCA peptida yang larut, formaldehid nitrogen,

trimetilamin nitrogen (TMA-N), jumlah asam titratable, dan konsentrasi asam amino

bebas dari kecap ikan. Berdasarkan hasil penelitian, Yu-lu yang dibuat dari bahan dasar

ikan anchovy akan mengalami perubahan kimia setelah peningkatan suhu inkubasi 50oC

selama 7 hari, sedangkan pada uji sensoris, meningkatnya suhu inkubasi pada tahap

Page 6: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

6

terakhir dari fermentasi dapat mengembangkan rasa. Selain itu juga dapat mempercepat

proses fermentasi.

Jurnal berjudul “Seasonal Effects on The Phsicochemical Characteristics of Fish Sauce

Made from Capelin (Mallotus villosus)” yang ditulis oleh Hjalmarsson, et al. (2007)

menyatakan bahwa musim saat panen ikan akan mempengaruhi kualitas kecap ikan

yang dihasilkan. Pada penelitian dalam jurnal ini, ikan yang dijadikan bahan baku

pembuatan kecap ikan adalah ikan capelin. Metode yang dilakukan yaitu dengan

menggunakan ikan capelin segar yang dipanen dari utara Atlantik selama musim panas

dan musim dingin. Sampel dikumpulkan secara berkala dan dianalisis untuk yield yang

dihasilkan, kelembaban, protein, padatan terlarut, berat jenis, pH, warna, dan kandungan

asam amino. Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan protein kecap ikan yang berasal

dari ikan yang dipanen pada musim panas lebih tinggi 2 kali lipat daripada kecap ikan

yang dipanen pada musim dingin. Kecap ikan yang berasal dari ikan yang dipanen pada

musim panas memiliki kadar air dan pH lebih rendah daripada kecap ikan yang dipanen

pada musim dingin. Namun nilai brix dan densitas kecap ikan yang berasal dari ikan

yang dipanen pada musim panas lebih tinggi. Pembentukan Warna coklat juga lebih

cepat terjadi pada kecap ikan yang berasal dari ikan yang dipanen pada musim panas.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa musim panen ikan akan mempengaruhi

kualitas kecap ikan, dimana ikan yang dipanen pada musim panas dapat menghasilkan

kualitas kecap yang lebih baik dan lebih cocok sebagai bahan baku pembuatan kecap

ikan karena aktivitas proteolitiknya tinggi, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan

kecap ikan tanpa penambahan enzim.

Moeljanto (1992) menjelaskan bahwa kecap ikan tidak membutuhkan jenis ikan

tertentu, bahkan ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis masih dapat digunakan untuk

dijadikan bahan pembuatan kecap ikan. Keunggulan lain dari kecap asin adalah sifatnya

yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia karena komposisi yang terkandung

dalam kecap ikan mempunyai berat molekul yang rendah, dimana sifat pelarutan dengan

pelarut air mencapai 90% dengan rasio nitrogen amino dan nitrogen total sebesar 45%.

Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa senyawa protein terutama yang terkandung

dalam kecap ikan berbentuk peptida sederhana dan asam amino. Hadiwiyoto (1993)

Page 7: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

7

mengungkapkan bahwa keistimewaan dari protein ikan ini merupakan sumber daya

cerna yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa protein ikan yang sangat mudah

dicerna dan diserap oleh tubuh ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Selain itu, kecap

ikan juga mengandung protein lengkap yang memiliki seluruh asam amino esensial.

Moeljanto (1992) mengungkapkan bahwa produk kecap ikan juga memiliki kelemahan,

yaitu waktu pembuatannya yang cukup lama. Astawan & Astawan (1988) menyebutkan

bahwa pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan fermentasi menggunakan garam

dan dengan cara enzimatis. Penggunaan garam dalam fermentasi akan memakan waktu

7 bulan lebih dengan prinsip penarikan komponen ikan terutama protein oleh garam

karena jumlah garam yang tinggi akan mempunyai tekanan osmotik yang tinggi pula,

sehingga dapat menarik air dari dalam tubuh ikan untuk keluar. Air yang keluar tentu

kaya akan gizi (protein dan mineral). Selain itu, dengan penambahan garam, ikan akan

terlindung dari pencemaran oleh lalat, belatung, dan pembusukan oleh bakteri

pembusuk. Cara kedua yaitu dengan digunakannya enzim. Menurut Afrianto &

Liviawaty (1989), enzim yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kecap ikan

adalah enzim proteolitik yang berfungsi mempercepat penguraian protein, sehingga

dengan metode ini, pembuatan kecap ikan dapat dipersingkat menjadi beberapa hari.

Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa enzim proteolitik yang sering

digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah enzim protease, seperti bromelin (dari

buah nanas muda) dan papain (dari getah buah papaya). Enzim ini dapat digunakan

karena kedua enzim mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen

sederhana, seperti peptida, peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi

menciptakan rasa yang khas. Selain waktu yang lebih singkat, nilai protein yang lebih

tinggi juga akan didapat. Namun, dibuatnya kecap ikan dengan bantuan enzim kurang

begitu disukai oleh masyarakat dalam hal aroma dan cita rasa.

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim. Faktor pertama yaitu macam dan

konsentrasi substrat, serta konsentrasi enzim karena cara kerja enzim yang spesifik.

Gaman & Sherrington (1994) mengungkapkan bahwa konsentrasi substrat atau

konsentrasi enzim yang rendah akan mengakibatkan kecepatan reaksi rendah dan

kecepatan reaksi akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat, walaupun

Page 8: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

8

pada suatu titik akan mencapai suatu titik batas yang apabila melampaui titik tersebut,

maka akan terjadi peningkatan yang hanya sedikit. Faktor yang kedua adalah suhu.

Gaman & Sherrington (1994) menambahkan bahwa enzim memiliki suhu optimum

18°C-23°C atau maksimal 40°C karena enzim merupakan salah satu bentuk protein,

sehingga bila suhu diatas 45°C, maka enzim akan terdenaturasi dan pada suhu diatas

100°C, semua enzim akan rusak, sedangkan pada suhu rendah, enzim tidak rusak,

namun aktivitasnya sangat berkurang. Faktor ketiga adalah nilai pH yang merupakan

konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa pada residu terminal karboksil

dan aminonya. Pada suatu reaksi, pH tidak boleh terlalu asam atau terlalu basa karena

akan menurunkan kecepatan reaksi dengan mulai terjadinya denaturasi. pH optimum

adalah 4,5-8 dan pada pengekstrakan enzim memiliki pH sekitar 7. Faktor yang

mempengaruhi aktivitas enzim yang terakhir adalah kondisi lingkungan yang lain,

seperti adanya aktivator dan inhibitor. Salah satu aktivator adalah aktivitas air, dimana

jumlah air yang sedikit dan aktivitas air yang kecil akan mempersulit enzim untuk

membentuk kompleks enzim substrat, sehingga kecepatan maksimum akan sulit dicapai,

dan sebaliknya. Selain itu, garam juga mempengaruhi aktivitas enzim karena garam

dapat mengikat air, sehingga kelarutan enzim sebagai protein akan berkurang dan

selanjutnya kompleks enzim substrat sulit terbentuk. Ada pula suatu zat tertentu yang

memang khusus menghambat kerja enzim yaitu disebut inhibitor (Gaman &

Sherrington, 1994).

Yuen, et al. (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Microbiological Characterization of

Budu, an Indigenous Malaysian Fish Sauce” mengungkapkan bahwa kecap ikan

merupakan produk cair yang dikembangkan selama fermentasi dengan bahan baku ikan

asin dalam tangki tertutup pada suhu tropis, dimana masing-masing negara memiliki

nama kecap asin yang berbeda-beda. Di Malaysia, kecap ikan dikenal dengan sebutan

Budu. Kecap ikan dari Malaysia ini cukup populer dan biasa dikonsumsi sebagai bumbu

atau penyedap dalam produksi berbagai macam makanan. Proses pembuatan Budu ini

dilakukan melalui proses fermentasi pada suhu lingkungan (30-40°C) selama 6-12 bulan

dalam tangki beton besar. Selama fermentasi, protein larut air banyak terbentuk karena

aksi pencernaan dan enzim mikroba. Penelitian dalam jurnal ini bertujuan untuk

mengkarakterisasi perubahan mikrobiologis selama fermentasi dari Budu dan sifat

Page 9: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

9

hidrolitik dari strain bakteri yang terisolasi. Beban mikroba awal substrat ikan 5.13 ±

0.01 log CFU/g dan akan mengalami penurunan secara bertahap menjadi 3,20 ± 0,02

log CFU/g setelah 12 bulan fermentasi. Micrococcus sp. adalah bakteri dominan untuk

memulai fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri halofilik, terutama

Micrococcus luteus dan Staphylococcus arlettae merupakan bakteri proteolitik yang

baik dan kegiatan lipolitik jika dibandingkan dengan strain bakteri yang diisolasi

lainnya.

2.1. Langkah Kerja

Praktikum pembuatan kecap ikan diawali dengan penghilangan daging ikan dan bahan

selain daging (ekor, tulang, dan kepala tanpa mata) digunakan sebagai bahan baku

pembuatan kecap ikan. Setelah itu bahan-bahan tersebut diblender dan dibagi untuk 6

kelompok, sehingga didapatkan 34 gram untuk masing-masing kelompok. Saleh, et al.

(1996) menjelaskan bahwa tujuan dilakukannya penghancuran bahan dengan cara

diblender adalah untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi karena kerusakan sel akan

memudahkan keluarnya senyawa flavor. Senyawa pembentuk flavor ini biasa

terdistribusi dalam bentuk terikat di bagian lemak, protein atau air, sehingga

membutuhkan perlakuan awal, seperti penghancuran. Selain itu, penghancuran bahan

juga dapat menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas, sehingga rasio

permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi dan komponen flavor semakin

mudah keluar. Bahan tersebut lalu dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Selanjutnya

ditambahkan enzim papain komersial dengan konsentrasi yang berbeda untuk tiap

kelompoknya. Kelompok A1 ditambahkan enzim papain sebanyak 0,4%; kelompok A2

ditambahkan dengan enzim papain sebesar 0,8%; kelompok A3 dengan enzim papain

sebanyak 1,2%; kelompok A4 dengan enzim papain sebanyak 1,6%; kelompok A5

ditambahkan dengan enzim papain sebanyak 2%; dan kelompok A6 ditambahkan

dengan enzim papain sebanyak 2,5%. Lay (1994) mengungkapkan bahwa enzim yang

digunakan pada praktikum kali ini termasuk dalam enzim protease sulfhidril golongan

protein yang mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti peptida,

peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi dan menciptakan rasa yang khas,

sehingga tujuan dari penambahan enzim kali ini adalah untuk menghidrolisis protein

melalui aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi. Mekasnisme dasar

Page 10: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

10

yang dilakukan oleh enzim menurut Lee (1992) adalah enzim akan merusak struktur

jaringan otot rangka yang tersusun dari miofibril yang merupakan protein, maka

berdasarkan teori Astawan & Astawan (1988), rusaknya struktur jaringan otot rangka

dari bahan baku utama akan menyebabkan adanya beberapa komponen penyusun flavor

seperti peptida, peptone dan asam amino yang akan lepas dan akhirnya berikatan satu

sama lain membentuk flavor yang khas. Pada praktikum ini, enzim yang digunakan

dalam pembuatan kecap adalah enzim papain yang berasal dari buah papaya (Carica

papaya) untuk memecah molekul protein. Oleh karena itu, enzim ini termasuk golongan

endopeptidase yang memecah protein dari dalam. Lisdiana & Soemadi (1997)

menjelaskan bahwa papain merupakan enzim proteolitik pada getah pepaya yang tidak

mengandung karbohidrat dalam molekulnya.

Kemudian dilakukan inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Tahap inilah yang disebut

sebagai tahap fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1988)

bahwa tahap perlakuan fermentasi pada pembuatan kecap adalah 1-4 hari dan apabila

fermentasi dilakukan terlalu cepat, maka aktivitas enzim dalam menghasilkan

komponen tidak dapat terlaksana, sehingga reaksi pun tidak berlangsung, namun jika

waktu fermentasi terlalu lama, maka semakin banyak enzim yang dihasilkan, sehingga

cita rasa yang terjadi menjadi kurang baik. Hal ini dikarenakan adanya hasil dari proses

pemecahan senyawa-senyawa gizi kompleks menjadi beberapa bagian yang sederhana

akibat adanya enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi (amilase, maltase,

fosfatase, lipatase, lipase, proteinase, dan sebagainya) dapat mempengaruhi rasa dari

kecap ikan yang diperoleh. Oleh karena itu, pada tahap fermentasi, wadah atau toples

yang digunakan harus dalam keadaan tertutup agar dapat menciptakan konsidi anaerob,

sehingga proses berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi. Setelah itu

ditambahkan dengan 250 ml air bersih. Kemudian diaduk untuk menghomogenkan

bahan dan disaring dengan kain saring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan

filtrat dari ampas limbah ikan. Setelah dilakukan inkubasi selama 4 hari akan nampak

air yang keluar dari limbah ikan didalam toples yang tertutup. Astawan & Astawan,

(1988) mengungkapkan bahwa kualitas kecap ikan sebenarnya ditentukan oleh jumlah

penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi. Air yang keluar dari dalam ikan

tersebut mengandung banyak komponen gizi seperti protein dan mineral. Selama

Page 11: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

11

fermentasi, mikroba halofilik seperti Saccharomyces, Torulopsis, dan Pediococcus yang

tahan garam berkembang menghasilkan senyawa flavor.

Air yang sudah didapatkan (filtrat) dimasak dengan bumbu dapur lainnya, yaitu garam

sebanyak 50 gram; bawang putih sebanyak 50 gram dikupas dan dicincang halus; serta

gula jawa yang sudah di potong kecil-kecil sebanyak 50 gram. Pemasakan dihentikan

setelah semua bahan yang ditambahkan (bawang putih, gula jawa, dan garam) larut dan

larutan telah mendidih. Fachruddin (1997) menjelaskan bahwa penggunaan gula jawa

bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, memberikan rasa lembut pada

produk, dan meningkatkan cita rasa, aroma, dan warna produk yang dihasilkan serta

sebagai pengawet. Warna coklat pada kecap ikan ini sebenarnya disebabkan karena

adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk cita

rasa lainnya. Selain itu, panas selama pemasakan juga menyebabkan terjadinya

karamelisasi gula sehingga warna campuran menjadi coklat (Kasmidjo, 1990). Lees &

Jackson (1973) mengungkapkan bahwa reaksi yang terjadi pada proses penambahan

gula jawa ini disebut sebagai reaksi Maillard, dimana komponen asam amino dalam

ikan bereaksi dengan komponen gula reduksi dalam gula jawa, sehingga menyebabkan

munculnya warna coklat pada produk. Sedangkan menurut Desrosier & Desrosier

(1977), penambahan garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan

memberi efek pengawetan karena garam dapat digunakan untuk menurunkan Aw

(Water Activity), menurunkan kelarutan oksigen, serta mengganggu keseimbangan ionik

sel mikroorganisme karena terjadi peningkatan proton di dalam sel, sehingga dapat

menghambat mikroba perusak pada kecap ikan dan kecap ikan memiliki umur simpan

yang lebih lama. Penggunaan bawang putih bawang putih yang mengandung zat allicin

juga bertujuan untuk membantu proses pengawetan terhadap produk karena zat allicin

efektif untuk membunuh bakteri, sehingga bersifat sebagai zat antimikroba. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan oleh Fachruddin (1997) yang menambahkan bahwa

garam dapur dan rempah-rempah (bawang putih) berfungsi sebagai bahan pemberi

aroma dan cita rasa, serta dapat memberikan daya awet pada kecap ikan.

Setelah pemasakan dihentikan, kemudian kecap tersebut didiamkan agak dingin dan

disaring kembali dengan kain saring. Penyaringan ini ditujukan untuk membersihkan

Page 12: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

12

kotoran yang berasal dari bumbu dan ampas-ampas yang lain, sehingga didapatkan

kecap ikan yang benar-benar bersih. Filtrat yang dihasilkan lalu dilakukan pengujian

secara sensoris (warna, rasa, aroma, penampakan) dan uji salinitas dengan

menggunakan hand refractometer, dimana 1 ml kecap ditambahkan 9 ml aquades

terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan uji salinitas. Hanson (2006) menjelaskan

bahwa refraktometer adalah alat digunakan untuk mengukur jauhnya sinar dibiaskan

bila cahaya tersebut bergerak dari udara menuju sebuah sampel dan biasanya digunakan

untuk menentukan indeks bias zat cair. Refraktometer ini memiliki ketelitian berkisar

1,3 - 1,7 sampai empat angka di belakang koma. Refraktometer terdiri dari 2 jenis,

yaitu refraktometer Abbe dan hand refractometer. Menurut Arpah (1993), hand

refractometer ini digunakan untuk mengukur kandungan total padatan terlarut (TPT).

Padatan terlarut biasanya ditentukan dengan menggunakan refraktometer pada suhu

2000C tanpa koreksi untuk keasaman. Padatan terlarut ini dapat berupa gula, garam,

dan protein. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggunakan refraksi cahaya, sehingga

saat pengujian dibutuhkan cahaya untuk melihat hasilnya.

Menurut Tanasupawat, et al. (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Identification of

Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand”, bakteri halofilik yang

dapat berkembang di lingkungan asin (akibat penambahan garam) pada pembuatan

kecap ikan, yaitu Lentibacillus, Filobacillus, Tetragenococcus, dan Chromohalobacter.

Keempat spesies tersebut dapat tumbuh pada berbagai konsentrasi garam dan tumbuh

optimal pada media yang mengandung 3-15% (b / v) NaCl, sedangkan bakteri halofilik

lain seperti Halococcus dan Halobacterium membutuhkan setidaknya 1,5 M NaCl,

dimana pertumbuhan optimalnya terjadi pada media dengan kandungan 20-25% NaCl.

Di Thailand, kecap ikan mengandung konsentrasi garam yang tinggi, yaitu 25-30%

NaCl, sehingga mikroorganisme yang ditemukan selama produksi kecap ikan pada

umumnya dapat diklasifikasikan sebagai bakteri halofilik. Oleh karena itu, pada

penilitian dalam jurnal ini, dilakukan identifikasi jeni bakteri halofilik yang terdapat

dalam kecap ikan. Berdasarkan hasil penelitian, 3 spesies bakteri halofilik yang

ditemukan adalah Chromohalobacter salexigens, Halobacteirum salinarum, dan

Halococcus saccharolyticus.

Page 13: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

13

Zaman, et al. (2010) mengungkapkan dalam jurnalnya yang berjudul “Occurrence of

Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce” bahwa tujuan dari

penelitiannya adalah mengetahui kandungan biogenik amina histamin, putresin, dan

kadaverina dalam kecap ikan dan mengevaluasi bakteri yang diisolasi dari sampel kecap

ikan untuk aktivitas degradasi amina. Amina biogenik sendiri merupakan berat molekul

senyawa nitrogen dasar yang terjadi di banyak makanan, terutama disebabkan oleh

kegiatan dekarboksilasi asam amino mikroba tertentu, sehingga dengan adanya amina

biogenik justru dapat mengakibatkan efek toksikologi kepada konsumen seperti

hipertensi, sakit kepala, diare, dan peradangan lokal jika tertelan dalam jumlah

berlebihan. Berdasarkan hasil penelitian, lima sampel kecap ikan mengandung 62,5-

393,3 ppm histamin, 5,6-242,8 ppm putresin, dan 187,1-704,7 ppm kadaverina, serta

dari 33 isolat bakteri menghasilkan 3 amina, 7 isolat menghasilkan 1 atau 2 amina, dan

1 isolat tidak menghasilkan amina dalam media diferensial agar. Karena tidak semua

strain mendegradasi amina, maka hanya 8 isolat yang diidentifikasi lebih lanjut dan

dievaluasi untuk mengetahui kemampuan penurunan amina. Sebagian besar isolat yang

diidentifikasi, konsentrasi garam yang masih dapat ditoleransi yaitu hingga 15% dengan

suhu hingga 45 ° C.

2.2. Hasil Pengamatan

Berdasarkan hasil pengamatan, hasil uji sensoris meliputi warna, rasa, aroma, dan

penampakan. Warna agak coklat gelap diperoleh dengan penggunaan enzim papain

sebanyak 2,5% pada kelompok A6, sedangkan pada konsentrasi enzim papain 0,4%,

0,8%, 1,2%, 1,6%, dan 2% mendapatkan kecap ikan dengan warna kurang coklat gelap.

Pada pengamatan rasa, rasa yang sangat asin didapatkan pada kecap ikan dengan

konsentrasi papain 0,8% (kelompok A2) dan 1,6% (kelompok A4), kecap ikan yang

mendapatkan rasa asin adalah pada kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%, 1,2% dan 2%,

sedangkan kecap ikan kelompok A6 yang menggunakan konsentrasi enzim 2,5%

mendapatkan kecap asin yang agak asin. Pada pengamatan aroma, aroma tajam

diperoleh pada semua kecap ikan. Pada penampakannya, kecap ikan dengan konsentrasi

enzim 2,5% sangat cair, diikuti oleh kecap ikan dengan konsentrasi enzim 0,4%, 0,8%,

dan 1,2% yang cair, serta pada kecap ikan dengan konsentrasi enzim 1,6% dan 2%

berpenampakan agak kental.

Page 14: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

14

Dari segi warna, warna kecap ikan yang coklat sesuai dengan teori dari Ibrahim (2010)

yang mengungkapkan bahwa warna dari kecap ikan adalah coklat. Warna coklat ini

didapatkan karena beberapa faktor. Faktor yang utama, menurut teori Kasmidjo (1990),

disebabkan karena adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa

komponen pembentuk citarasa lainnya. Lees & Jackson (1973) menambahkan pula

bahwa reaksi Maillard ini merupakan reaksi yang terjadi antara gugus asam amino

dengan gula pereduksi, sehingga berwarna coklat. Selain itu, menurut Astawan &

Astawan (1988), aktivitas enzim proteolitik pada bahan ikan akan menyebabkan cairan

yang terbentuk lebih berwarna coklat, sehingga semakin banyak enzim yang

ditambahkan, maka warna akhirnya akan semakin coklat gelap. Panas selama

pemasakan juga dapat menyebabkan terjadinya proses karamelisasi gula, sehingga

warna campuran menjadi coklat. Hal ini sesuai dengan teori dari Petrucci (1992) yang

menjelaskan bahwa pada suhu yang tinggi, cairan akan menjadi lebih gelap dan pekat.

Berdasarkan hasil pengamatan dari segi warna, hal ini telah sesuai dengan teori, dimana

pada penambahan konsentrasi enzim yang tinggi pada kecap ikan (kelompok A6), maka

warna dari kecap ikan akan semakin gelap, namun pada penambahan enzim di

kelompok A1 hingga A5 justru tidak ada perubahan warna. Seharusnya semakin banyak

konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, maka warna dari kecap ikan akan semakin

gelap. Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan suhu dan waktu / lama pemanasan yang

berbeda. Selain itu juga dapat disebabkan karena gula jawa yang ditambahkan tidak

sesuai.

Dari hasil uji sensori segi rasa, rasa sangat asin didapatkan oleh kelompok A2 dan A4

dengan konsentrasi enzim papain berturut-turut adalah 0,8% dan 1,6%. Hal tersebut

tidak sesuai dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa

semakin banyak jumlah enzim papain yang ditambahkan, maka kemampuan enzim

untuk memecah protein yang ada pada tubuh ikan juga akan semakin besar, sehingga

proses fermentasi akan berjalan dengan lebih sempurna. Proses fermentasi yang

sempurna akan menimbulkan senyawa-senyawa hasil pemecahan protein yang dapat

pembentuk cita rasa, seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase dalam

jumlah yang semakin banyak. Keberadaan senyawa-senyawa itulah yang akan

Page 15: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

15

menghasilkan kecap ikan dengan rasa yang kuat, sehingga seharusnya pada kecap ikan

dengan penambahan enzim papain konsentrasi tertinggi (2,5%), tingkat rasa asin yang

diperoleh paling tinggi (paling asin). Tidak sesuainya teori dan hasil praktikum dapat

disebabkan karena beberapa faktor. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), rasa kecap

yang terbentuk dapat dipengaruhi oleh proses penguraian protein, sehingga terbentuk

senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap.

Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1988), rasa kecap ikan dipengaruhi oleh

penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang berfungsi untuk meningkatkan

aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan, sehingga penambahan bumbu

yang tidak sesuai dapat memberikan rasa yang berbeda.

Dari segi penampakan terlihat bahwa kecap ikan dengan penambahan enzim terbanyak

(2,5%) menghasilkan penampakan kecap ikan yang sangat cair. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa enzim papain akan

menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam amino, dimana proses

penguraian akan menurunkan viskositas, sehingga kecap ikan menjadi lebih cair.

Namun pada hasil pengamatan terlihat bahwa penambahan enzim 1,6% dan 2% justru

agak kental sedangkan pada penambahan enzim 0,4% dan 0,8% cair. Ketidaksesuaian

ini dapat terjadi dikarenakan penambahan enzim yang tidak sesuai.

Dari segi aroma, pada semua kelompok menghasilkan kecap asin dengan aroma yang

tajam. Menurut Astawan & Astawan (1988), aroma dari kecap ikan berasal dari

penambahan berbagai bumbu. Hal ini didukung pula oleh Kasmidjo (1990) yang

mengatakan pula bahwa penggunaan bumbu yang ditambahkan dapat mempengaruhi

flavor spesifik kecap. Armstrong (1995) mengungkapkan bahwa aroma dan flavor dari

kecap ikan yang dihasilkan didasarkan pada komponen nitrogen pendukung,

diantaranya adalah kadaverin, putresin, arginin, histidin, dan amonia. Afrianto &

Liviawaty (1989) menambahkan pula bahwa proses penguraian protein dengan bantuan

enzim protease akan membentuk komponen peptida, pepton, dan asam amino yang

saling berinteraksi menciptakan aroma yang khas. Sehingga dengan semakin kuat sifat

proteolitik dan semakin banyaknya konsentrasi dari enzim, maka aroma amis dari ikan

akan semakin kuat / tajam, sehingga seharusnya semakin banyak penambahan enzim

Page 16: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

16

papain, maka aroma kecap ikan yang dihasilkan semakin tajam. Ketidaksesuaian antara

teori dengan hasil dari praktikum dapat terjadi dikarenakan uji sensoris yang dilakukan

bersifat subjektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aitken, et al. (1982) bahwa metode

sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah dapat

diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap,

cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria

evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah sulit

untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Sifat uji sensoris yang subjektif

ini juga dapat menjadi penyebab ketidaksesuaian uji sensoris warna, rasa, serta

penampakan. Selain itu, menurut Riwan (2005) uji sensoris juga sangat dipengaruhi

oleh kondisi fisik dan mental dari panelis yang melakukan uji sensoris karena jika

panelis sedang dalam keadaan sakit, maka alat indera yang digunakan kurang peka,

sehingga panelis yang melakukan uji sensoris harus dalam keadaan sehat. Afrianto &

Liviawaty (1989) menambahkan bahwa walaupun proses pembuatan kecap ikan melalui

proses enzimatis relatif cepat, namun mutu kecap ikan yang dihasilkan dari penambahan

enzim papain lebih rendah daripada mutu kecap ikan yang dibuat secara tradisional. Hal

ini terjadi karena pada proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain yang

akan membentuk senyawa peptida tertentu, sehingga menimbulkan rasa pahit dan bau

kurang sedap. Hal ini juga dapat membuat ketidaksesuaian hasil pengujian sensoris

yang telah dijelaskan diatas.

Berdasarkan hasil pengujian salinitas, kadar salinitas pada masing-masing kelompok

berbeda-beda dan mengalami fluktuasi, dimana kadar salinitas tertinggi didapatkan pada

kecap ikan dengan penambahan enzim papain 1,6%, yaitu sebesar 3,5%, sedangkan

pada kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,8% dan 2% memiliki kadar

saliniatas terendah, yaitu sebesar 2,8%. Hal ini tidak sesuai dengan teori dari Astawan &

Astawan (1988) yang mengungkapkan bahwa semakin banyak enzim papain yang

ditambahkan, maka akan membuat proses fermentasi berjalan lebih sempurna dan

menghasilkan cita rasa yang kuat, oleh karena itu dikatakan bahwa yang seharusnya

memiliki rasa paling asin adalah kecap ikan pada konsentrasi pemberian enzim papain

adalah 2,5%, dan seharusnya kadar salinitas pada kecap ikan yang paling tinggi adalah

pada kecap ikan dengan pemberian enzim papain 2,5%. Berdasarkan penjelasan

Page 17: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

17

tersebut, seharusnya hasil kadar salinitas ini berbanding lurus dengan hasil sensoris rasa,

dimana semakin tinggi kadar salinitasnya, maka semakin tinggi pula tingkat rasa asin,

namun pada praktikum kali ini, hasil sensoris rasa dengan kadar salinitas kelompok A2,

A3, A5, dan A6 tidak berbanding lurus. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena proses

pemanasan dengan waktu dan suhu yang berbeda, sehingga akan mengakibatkan reaksi

kimia yang berbeda pula, serta uji sensoris yang dilakukan tidak sesuai dikarenakan

bersifat subjektif. Selain itu, pembacaan alat dengan hand refractometer yang tidak

sesuai juga dapat membuat bias pembacaan, sehingga mempengaruhi kadar salinitas.

Page 18: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi /

garam, enzimatik, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.

Kecap ikan digunakan sebagai penambah cita rasa dalam suatu produk pangan

dan biasa digunakan pula sebagai pengganti garam untuk memberikan rasa asin.

Pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan fermentasi menggunakan garam

dan dengan cara enzimatis.

Enzim yang sering digunakan adalah enzim protease, seperti bromelin (dari buah

nanas muda) dan papain (dari getah buah papaya).

Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yaitu konsentrasi substrat atau

konsentrasi enzim, suhu, pH, dan kondisi lingkungan yang lain.

Tujuan penghancuran bagian tubuh ikan adalah untuk meningkatkan efektivitas

ekstraksi karena kerusakan sel akan memudahkannya keluar senyawa flavor dan

memperluas permukaan bahan.

Tujuan dari penambahan enzim adalah untuk menghidrolisis protein melalui

aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi.

Pada saat proses fermentasi terjadi pemecahan komponen gizi menjadi bagian

yang lebih sederhana oleh enzim.

Kualitas kecap ikan sebenarnya ditentukan oleh jumlah penggunaan garam dan

lamanya proses fermentasi.

Adanya garam dalam dosis tinggi juga melindungi ikan dari pencemaran oleh

lalat, serangan belatung, dan pembusukan oleh bakteri pembusuk

Pemasakan bertujuan untuk karamelisasi gula, sehingga warna campuran menjadi

coklat.

Gula jawa dapat memberikan warna coklat karamel dan meningkatkan viskositas

kecap ikan yang dihasilkan.

Garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, memberi efek

pengawetan, menurunkan kelarutan oksigen, dan mengganggu keseimbangan

ionik sel mikroorganisme.

Penggunaan bawang putih dapat digunakan untuk pengawetan terhadap produk

18

Page 19: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

19

Warna kecap dipengaruhi oleh faktor suhu pemasakan, waktu pemasakan, dan

adanya penambahan gula jawa.

Semakin tingi konsentrasi enzim yang ditambahkan maka warna semakin coklat,

rasa semakin asin, penampakan semakin cair, aroma semakin tajam, dan memiliki

kadar salinitas semakin tinggi.

Kadar salinitas seharusnya berbanding lurus dengan tingkat keasinan kecap asin

melalui uji sensoris

Semarang, 28 September 2014 Asisten Dosen :- Yuni Rusiana

Melita Mulyani(12.70.0080)

Page 20: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Bahar, H. (2004). Sumber Daya Perikanan Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta.

Collete, B. B. & Nauen C. E. (1983). FAO Species Catalogue Vol. 2. Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos and Related Species Known to Date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agriculture Organization. Rome.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.

Hanson, J. (2006). Refractometry. Chemistry Lab Techniques. http://www2.ups.edu/faculty/hanson/labtechniques/refractometry/theory.htm. Diakes tanggal 28 September 2014 pukul 15.03 WIB.

Harada, K.; T. Maeda; M. Honda; T. Kawahara; M. Tamaru; & T. Shiba. (2007). Antioxidative Activity of Puffer Fish Sauce (Review). Journal of National Fisheries University, Vol. 56 (1) : 99-105.

20

Page 21: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

21

Hjalmarsson, G. H.; J. W. Park & K. Kristbergsson. (2007) Seasonal Effects on The Phsicochemical Characteristics of Fish Sauce Made from Capelin (Mallotus villosus). Food Chemistry Journal 103 : 495-504, Elsevier. Iceland.

Ibrahim, S. M. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10 : 169-172.

Iskandar, H. M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Jiang, J. J.; Q. X. Zeng; Z. W. Zhu & L. Y. Zhang. (2007). Chemical and Sensory Changes Associated Yu-lu Fermentation Process – A Traditional Chinese Fish Sauce. Food Chemistry Journal 104 : 1629-1634, Elsevier.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.

Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol. 67, No. 2.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.

Riwan. (2005). Sifat-sifat Organoleptik dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan. Fakultas Perikanan & Biologi, Universitas Negeri Bangka Belitung. Bangka Belitung.

Page 22: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

22

Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bandung.

Saleh, M; A. Ahyar; Murdinah & N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sonu, S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island, California.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.

Tanasupawat, S.; S. Namwong; T. Kudo & T. Itoh. (2009). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections, Vol. 6, pp. 69-75. Thailand.

Tungkawachara, S.; J. W. Park & Y. I Choi. (2003). Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whitiing Fish Sauce. Journal of Food Chemistry and Toxicology, Vol. 66, No. 3.

Yuen, S. K.; C. F. Yee & A. Anton. (2009). Microbiological Characterization of Budu, an Indigenous Malaysian Fish Sauce. Borneo Science Journal, 24. Malaysia.

Zaman, M. Z.; F. A. Bakar; J. Selamat & J. Bakar. (2010) Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Czech Journal Food Sci., Vol. 28 (5) : 440-449. Malaysia.

Page 23: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

Salinitas=hasil pengukuran ( 0

00)

1000×100 %

Kelompok A1

Hasil pengukuran=300

00

Salinitas= 301000

× 100 %=3 %

Kelompok A2

Hasil pengukuran=280

00

Salinitas= 281000

× 100 %=2,8 %

Kelompok A3

Hasil pengukuran=330

00

Salinitas= 331000

× 100 %=3,3 %

Kelompok A4

Hasil pengukuran=350

00

Salinitas= 351000

× 100 %=3,5 %

Kelompok A5

Hasil pengukuran=280

00

Salinitas= 281000

× 100 %=2,8 %

23

Page 24: KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata

24

Kelompok A6

Hasil pengukuran=330

00

Salinitas= 331000

× 100 %=3,3 %

5.2. Foto

Gambar 1. Kecap Ikan Kloter A

5.3. Diagram Alir

5.4. Laporan Sementara

A1

A2

A3 A4

A5

A6