Kecap Ikan_Raphael Elhan Argasae_12.70.0158_C_Unika Soegijapranata
KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
90 -
download
1
description
Transcript of KECAP IKAN_Melita Mulyani_A1_Unika Soegijapranata
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1.
Tabel 1. Pembuatan Kecap Ikan
Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) PenampakanA1 Enzim papain 0,4% ++ ++++ ++++ 3 ++A2 Enzim papain 0,8% ++ +++++ ++++ 2,8 ++A3 Enzim papain 1,2% ++ ++++ ++++ 3,3 ++A4 Enzim papain 1,6% ++ +++++ ++++ 3,5 +++A5 Enzim papain 2% ++ ++++ ++++ 2,8 +++A6 Enzim papain 2,5% +++ +++ ++++ 3,3 +
Keterangan :Warna : Rasa : Aroma : Penampakan :+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam + : sangat cair++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam ++ : cair+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam +++ : agak kental++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam ++++ : kental+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam +++++ : sangat kental
Berdasarkan Tabel 1. di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada masing-masing
kelompok memberikan hasil yang berbeda. Pada hasil pengamatan warna, warna kecap ikan yang paling gelap diperoleh pada kecap ikan
dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi 2,5% (kelompok A6), sedangkan warna kecap ikan yang dihasilkan pada kelompok
A1 hingga A5 berwarna kurang coklat gelap. Pada hasil pengamatan rasa, rasa yang sangat asin diperoleh pada kecap ikan dengan
konsentrasi papain 1,6% dan 0,8%; dan yang mendapatkan rasa asin adalah pada kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%, 1,2% dan 2%;
sedangkan pada kosentrasi papain 2,5% dihasilkan kecap ikan yang agak asin. Pada pengamatan aroma, diperoleh aroma tajam pada semua
kelompok. Sedangkan dari pengukuran kadar salinitas, tingkat salinitas yang paling tinggi didapatkan pada kelompok A4 yang
1
2
menggunakan kosentrasi enzim papain 1,6%, sedangkan salinitas paling rendah didapatkan pada kelompok A2 dan A5, dimana %
salinitasnya sebesar 2,8%. Jika dilihat dari penampakannya, kecap ikan yang sangat cair didapatkan oleh kelompok A6 dengan
penambahan enzim papain 2,5% dan kecap ikan yang agak kental didapatkan oleh kelompok A4 dan A5 yang dilakukan penambahan
enzim papain secara berurutan sebesar 1,6% dan 2%.
Grafik 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Kecap Ikan
Enzim papain 0,4% (A1)
Enzim papain 0,8% (A2)
Enzim papain 1,2% (A3)
Enzim papain 1,6% (A4)
Enzim papain 2% (A5)
Enzim papain 2,5% (A6)
00.5
11.5
22.5
33.5
4
3 2.83.3 3.5
2.83.3
Salinitas Kecap Ikan dengan Berbagai Perlakuan
Salinitas (%)
Perlakuan (kelompok)
Salin
itas (
%)
3
Pada Grafik 1. terlihat bahwa % salinitas yang diperoleh pada masing-masing perlakuan berbeda-beda. Perlakuan penambahan enzim
papain pada konsentrasi yang semakin tinggi menghasilkan % salinitas yang fluktuatif, sehingga perlakuan penambahan enzim papain tidak
berpengaruh terhadap % salinitas. Salinitas tertinggi sebesar 3,5% diperoleh pada perlakuan penambahan enzim papain 1,6% pada
kelompok A4, sedangkan salinitas terendah sebesar 2% diperoleh pada perlakuan penambahan enzim papain 0,8% pada kelompok A2 dan
2% pada kelompok A5.
2. PEMBAHASAN
Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan kecap adalah limbah ikan tongkol
yang terdiri dari tulang, ekor, dan kepala tanpa mata, sedangkan daging ikan digunakan
untuk praktikum pembuatan surimi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sonu (1986)
yang menyatakan bahwa surimi merupakan bentuk olahan daging ikan lumat yang
terbuat dari daging yang telah dipisahkan dari bagian ikan yang lainnya (kulit, tulang,
dan usus), sedangkan menurut Iskandar (1995), selain daging, bagian ikan yang tidak
dapat dimakan, seperti tulang, kepala, dan insang juga dapat dimanfaatkan untuk
dijadikan produk lain, salah satunya adalah kecap ikan yang dibuat pada praktikum ini.
Harada, et al. (2007) menambahkan bahwa penggunaan organ intestinal ikan justru
tidak disarankan dalam pembuatan kecap karena mengandung racun tetrodotoksin.
Astawan & Astawan (1988) mengungkapkan bahwa kecap ikan merupakan produk hasil
hidrolisa ikan, baik secara fermentasi / garam, enzimatis, maupun kimiawi yang
berwarna coklat jernih dan cair. Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa
kecap ikan adalah salah satu produk perikanan tradisional yang diolah dengan
fermentasi. Pada praktikum ini bahan baku utama yang digunakan adalah limbah ikan
tongkol (Euthynnus affinis). Collette & Nauen (1983) menyatakan bahwa ikan tongkol
(Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil yang memiliki cirri-ciri
berbadan memanjang dan hanya bersisik pada garis rusuknya. Menurut Bahar (2004),
ikan tongkol memiliki kulit yang licin, berwarna abu-abu dengan daging yang tebal,
serta dagingnya berwarna merah tua. Suzuki (1981) menyatakan bahwa kandungan gizi
ikan tongkol sangat tinggi, diantaranya yaitu kadar air sebesar 71,00-76,76 %, protein
21,60-26,30%, lemak 1,30-2,10% , mineral 1,20-1,50% dan abu 1,45-3,40%. Namun
secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) hanya berkisar antara 45-
50 %. Klasifikasi ikan tongkol dapat dilihat di bawah ini:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
4
5
Ordo : Percomorphi
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Species : Euthynnus affinis
(Saanin, 1984)
Menurut Tungkawachara, et al. (2003), kecap ikan digunakan sebagai penambah cita
rasa dalam suatu produk pangan dan digunakan pula sebagai pengganti garam untuk
memunculkan rasa asin. Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa ciri dari
kecap ikan, yaitu berasa asin, memiliki warna kekuningan hingga coklat muda, dan
mengandung senyawa nitrogen yang cukup banyak, dimana kualitasnya ditentukan oleh
banyaknya garam yang digunakan dan lamanya fermentasi. Hal ini didukung pula oleh
teori Lopetcharat & Park (2002) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap, yaitu konsentrasi garam yang digunakan,
lamanya fermentasi, enzim dan bahan lain yang ditambahkan, kebersihan (jika alat yang
digunakan tidak bersih dan dapat dengan mudah dicemari kontaminan, maka aktivitas
fermentatif dari mikroorganisme yang diinginkan justru terhambat karena terjadinya
perebutan substrat dengan mikroorganisme kontaminan), serta kondisi fermentasi (kadar
garam dan suhu).
Kondisi fermentasi yang merupakan salah satu faktor keberhasilan pembuatan kecap
ikan juga dibahas dalam jurnal berjudul “Chemical and Sensory Changes Associated Yu-
lu Fermentation Process – A Traditional Chinese Fish Sauce” yang ditulis oleh Jiang, et
al. (2007), dimana pada penelitiannya diketahui bahwa proses produksi Yu-lu atau
kecap ikan tradisional Cina yang difermentasi dipengaruhi oleh suhu dan waktu
fermentasi. Perubahan yang terjadi akibat suhu dan waktu fermentasi diantaranya adalah
perubahan kimia dan nilai sensoris. Perubahan kimia yang dimaksudkan adalah
perubahan total nitrogen terlarut, TCA peptida yang larut, formaldehid nitrogen,
trimetilamin nitrogen (TMA-N), jumlah asam titratable, dan konsentrasi asam amino
bebas dari kecap ikan. Berdasarkan hasil penelitian, Yu-lu yang dibuat dari bahan dasar
ikan anchovy akan mengalami perubahan kimia setelah peningkatan suhu inkubasi 50oC
selama 7 hari, sedangkan pada uji sensoris, meningkatnya suhu inkubasi pada tahap
6
terakhir dari fermentasi dapat mengembangkan rasa. Selain itu juga dapat mempercepat
proses fermentasi.
Jurnal berjudul “Seasonal Effects on The Phsicochemical Characteristics of Fish Sauce
Made from Capelin (Mallotus villosus)” yang ditulis oleh Hjalmarsson, et al. (2007)
menyatakan bahwa musim saat panen ikan akan mempengaruhi kualitas kecap ikan
yang dihasilkan. Pada penelitian dalam jurnal ini, ikan yang dijadikan bahan baku
pembuatan kecap ikan adalah ikan capelin. Metode yang dilakukan yaitu dengan
menggunakan ikan capelin segar yang dipanen dari utara Atlantik selama musim panas
dan musim dingin. Sampel dikumpulkan secara berkala dan dianalisis untuk yield yang
dihasilkan, kelembaban, protein, padatan terlarut, berat jenis, pH, warna, dan kandungan
asam amino. Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan protein kecap ikan yang berasal
dari ikan yang dipanen pada musim panas lebih tinggi 2 kali lipat daripada kecap ikan
yang dipanen pada musim dingin. Kecap ikan yang berasal dari ikan yang dipanen pada
musim panas memiliki kadar air dan pH lebih rendah daripada kecap ikan yang dipanen
pada musim dingin. Namun nilai brix dan densitas kecap ikan yang berasal dari ikan
yang dipanen pada musim panas lebih tinggi. Pembentukan Warna coklat juga lebih
cepat terjadi pada kecap ikan yang berasal dari ikan yang dipanen pada musim panas.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa musim panen ikan akan mempengaruhi
kualitas kecap ikan, dimana ikan yang dipanen pada musim panas dapat menghasilkan
kualitas kecap yang lebih baik dan lebih cocok sebagai bahan baku pembuatan kecap
ikan karena aktivitas proteolitiknya tinggi, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan
kecap ikan tanpa penambahan enzim.
Moeljanto (1992) menjelaskan bahwa kecap ikan tidak membutuhkan jenis ikan
tertentu, bahkan ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis masih dapat digunakan untuk
dijadikan bahan pembuatan kecap ikan. Keunggulan lain dari kecap asin adalah sifatnya
yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia karena komposisi yang terkandung
dalam kecap ikan mempunyai berat molekul yang rendah, dimana sifat pelarutan dengan
pelarut air mencapai 90% dengan rasio nitrogen amino dan nitrogen total sebesar 45%.
Kasmidjo (1990) menambahkan bahwa senyawa protein terutama yang terkandung
dalam kecap ikan berbentuk peptida sederhana dan asam amino. Hadiwiyoto (1993)
7
mengungkapkan bahwa keistimewaan dari protein ikan ini merupakan sumber daya
cerna yang tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa protein ikan yang sangat mudah
dicerna dan diserap oleh tubuh ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Selain itu, kecap
ikan juga mengandung protein lengkap yang memiliki seluruh asam amino esensial.
Moeljanto (1992) mengungkapkan bahwa produk kecap ikan juga memiliki kelemahan,
yaitu waktu pembuatannya yang cukup lama. Astawan & Astawan (1988) menyebutkan
bahwa pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan fermentasi menggunakan garam
dan dengan cara enzimatis. Penggunaan garam dalam fermentasi akan memakan waktu
7 bulan lebih dengan prinsip penarikan komponen ikan terutama protein oleh garam
karena jumlah garam yang tinggi akan mempunyai tekanan osmotik yang tinggi pula,
sehingga dapat menarik air dari dalam tubuh ikan untuk keluar. Air yang keluar tentu
kaya akan gizi (protein dan mineral). Selain itu, dengan penambahan garam, ikan akan
terlindung dari pencemaran oleh lalat, belatung, dan pembusukan oleh bakteri
pembusuk. Cara kedua yaitu dengan digunakannya enzim. Menurut Afrianto &
Liviawaty (1989), enzim yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kecap ikan
adalah enzim proteolitik yang berfungsi mempercepat penguraian protein, sehingga
dengan metode ini, pembuatan kecap ikan dapat dipersingkat menjadi beberapa hari.
Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa enzim proteolitik yang sering
digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah enzim protease, seperti bromelin (dari
buah nanas muda) dan papain (dari getah buah papaya). Enzim ini dapat digunakan
karena kedua enzim mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen
sederhana, seperti peptida, peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi
menciptakan rasa yang khas. Selain waktu yang lebih singkat, nilai protein yang lebih
tinggi juga akan didapat. Namun, dibuatnya kecap ikan dengan bantuan enzim kurang
begitu disukai oleh masyarakat dalam hal aroma dan cita rasa.
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim. Faktor pertama yaitu macam dan
konsentrasi substrat, serta konsentrasi enzim karena cara kerja enzim yang spesifik.
Gaman & Sherrington (1994) mengungkapkan bahwa konsentrasi substrat atau
konsentrasi enzim yang rendah akan mengakibatkan kecepatan reaksi rendah dan
kecepatan reaksi akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat, walaupun
8
pada suatu titik akan mencapai suatu titik batas yang apabila melampaui titik tersebut,
maka akan terjadi peningkatan yang hanya sedikit. Faktor yang kedua adalah suhu.
Gaman & Sherrington (1994) menambahkan bahwa enzim memiliki suhu optimum
18°C-23°C atau maksimal 40°C karena enzim merupakan salah satu bentuk protein,
sehingga bila suhu diatas 45°C, maka enzim akan terdenaturasi dan pada suhu diatas
100°C, semua enzim akan rusak, sedangkan pada suhu rendah, enzim tidak rusak,
namun aktivitasnya sangat berkurang. Faktor ketiga adalah nilai pH yang merupakan
konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa pada residu terminal karboksil
dan aminonya. Pada suatu reaksi, pH tidak boleh terlalu asam atau terlalu basa karena
akan menurunkan kecepatan reaksi dengan mulai terjadinya denaturasi. pH optimum
adalah 4,5-8 dan pada pengekstrakan enzim memiliki pH sekitar 7. Faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim yang terakhir adalah kondisi lingkungan yang lain,
seperti adanya aktivator dan inhibitor. Salah satu aktivator adalah aktivitas air, dimana
jumlah air yang sedikit dan aktivitas air yang kecil akan mempersulit enzim untuk
membentuk kompleks enzim substrat, sehingga kecepatan maksimum akan sulit dicapai,
dan sebaliknya. Selain itu, garam juga mempengaruhi aktivitas enzim karena garam
dapat mengikat air, sehingga kelarutan enzim sebagai protein akan berkurang dan
selanjutnya kompleks enzim substrat sulit terbentuk. Ada pula suatu zat tertentu yang
memang khusus menghambat kerja enzim yaitu disebut inhibitor (Gaman &
Sherrington, 1994).
Yuen, et al. (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Microbiological Characterization of
Budu, an Indigenous Malaysian Fish Sauce” mengungkapkan bahwa kecap ikan
merupakan produk cair yang dikembangkan selama fermentasi dengan bahan baku ikan
asin dalam tangki tertutup pada suhu tropis, dimana masing-masing negara memiliki
nama kecap asin yang berbeda-beda. Di Malaysia, kecap ikan dikenal dengan sebutan
Budu. Kecap ikan dari Malaysia ini cukup populer dan biasa dikonsumsi sebagai bumbu
atau penyedap dalam produksi berbagai macam makanan. Proses pembuatan Budu ini
dilakukan melalui proses fermentasi pada suhu lingkungan (30-40°C) selama 6-12 bulan
dalam tangki beton besar. Selama fermentasi, protein larut air banyak terbentuk karena
aksi pencernaan dan enzim mikroba. Penelitian dalam jurnal ini bertujuan untuk
mengkarakterisasi perubahan mikrobiologis selama fermentasi dari Budu dan sifat
9
hidrolitik dari strain bakteri yang terisolasi. Beban mikroba awal substrat ikan 5.13 ±
0.01 log CFU/g dan akan mengalami penurunan secara bertahap menjadi 3,20 ± 0,02
log CFU/g setelah 12 bulan fermentasi. Micrococcus sp. adalah bakteri dominan untuk
memulai fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri halofilik, terutama
Micrococcus luteus dan Staphylococcus arlettae merupakan bakteri proteolitik yang
baik dan kegiatan lipolitik jika dibandingkan dengan strain bakteri yang diisolasi
lainnya.
2.1. Langkah Kerja
Praktikum pembuatan kecap ikan diawali dengan penghilangan daging ikan dan bahan
selain daging (ekor, tulang, dan kepala tanpa mata) digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kecap ikan. Setelah itu bahan-bahan tersebut diblender dan dibagi untuk 6
kelompok, sehingga didapatkan 34 gram untuk masing-masing kelompok. Saleh, et al.
(1996) menjelaskan bahwa tujuan dilakukannya penghancuran bahan dengan cara
diblender adalah untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi karena kerusakan sel akan
memudahkan keluarnya senyawa flavor. Senyawa pembentuk flavor ini biasa
terdistribusi dalam bentuk terikat di bagian lemak, protein atau air, sehingga
membutuhkan perlakuan awal, seperti penghancuran. Selain itu, penghancuran bahan
juga dapat menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas, sehingga rasio
permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi dan komponen flavor semakin
mudah keluar. Bahan tersebut lalu dimasukkan ke dalam wadah fermentasi. Selanjutnya
ditambahkan enzim papain komersial dengan konsentrasi yang berbeda untuk tiap
kelompoknya. Kelompok A1 ditambahkan enzim papain sebanyak 0,4%; kelompok A2
ditambahkan dengan enzim papain sebesar 0,8%; kelompok A3 dengan enzim papain
sebanyak 1,2%; kelompok A4 dengan enzim papain sebanyak 1,6%; kelompok A5
ditambahkan dengan enzim papain sebanyak 2%; dan kelompok A6 ditambahkan
dengan enzim papain sebanyak 2,5%. Lay (1994) mengungkapkan bahwa enzim yang
digunakan pada praktikum kali ini termasuk dalam enzim protease sulfhidril golongan
protein yang mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti peptida,
peptone, dan asam amino yang saling berinteraksi dan menciptakan rasa yang khas,
sehingga tujuan dari penambahan enzim kali ini adalah untuk menghidrolisis protein
melalui aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi. Mekasnisme dasar
10
yang dilakukan oleh enzim menurut Lee (1992) adalah enzim akan merusak struktur
jaringan otot rangka yang tersusun dari miofibril yang merupakan protein, maka
berdasarkan teori Astawan & Astawan (1988), rusaknya struktur jaringan otot rangka
dari bahan baku utama akan menyebabkan adanya beberapa komponen penyusun flavor
seperti peptida, peptone dan asam amino yang akan lepas dan akhirnya berikatan satu
sama lain membentuk flavor yang khas. Pada praktikum ini, enzim yang digunakan
dalam pembuatan kecap adalah enzim papain yang berasal dari buah papaya (Carica
papaya) untuk memecah molekul protein. Oleh karena itu, enzim ini termasuk golongan
endopeptidase yang memecah protein dari dalam. Lisdiana & Soemadi (1997)
menjelaskan bahwa papain merupakan enzim proteolitik pada getah pepaya yang tidak
mengandung karbohidrat dalam molekulnya.
Kemudian dilakukan inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Tahap inilah yang disebut
sebagai tahap fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1988)
bahwa tahap perlakuan fermentasi pada pembuatan kecap adalah 1-4 hari dan apabila
fermentasi dilakukan terlalu cepat, maka aktivitas enzim dalam menghasilkan
komponen tidak dapat terlaksana, sehingga reaksi pun tidak berlangsung, namun jika
waktu fermentasi terlalu lama, maka semakin banyak enzim yang dihasilkan, sehingga
cita rasa yang terjadi menjadi kurang baik. Hal ini dikarenakan adanya hasil dari proses
pemecahan senyawa-senyawa gizi kompleks menjadi beberapa bagian yang sederhana
akibat adanya enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi (amilase, maltase,
fosfatase, lipatase, lipase, proteinase, dan sebagainya) dapat mempengaruhi rasa dari
kecap ikan yang diperoleh. Oleh karena itu, pada tahap fermentasi, wadah atau toples
yang digunakan harus dalam keadaan tertutup agar dapat menciptakan konsidi anaerob,
sehingga proses berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi. Setelah itu
ditambahkan dengan 250 ml air bersih. Kemudian diaduk untuk menghomogenkan
bahan dan disaring dengan kain saring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan
filtrat dari ampas limbah ikan. Setelah dilakukan inkubasi selama 4 hari akan nampak
air yang keluar dari limbah ikan didalam toples yang tertutup. Astawan & Astawan,
(1988) mengungkapkan bahwa kualitas kecap ikan sebenarnya ditentukan oleh jumlah
penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi. Air yang keluar dari dalam ikan
tersebut mengandung banyak komponen gizi seperti protein dan mineral. Selama
11
fermentasi, mikroba halofilik seperti Saccharomyces, Torulopsis, dan Pediococcus yang
tahan garam berkembang menghasilkan senyawa flavor.
Air yang sudah didapatkan (filtrat) dimasak dengan bumbu dapur lainnya, yaitu garam
sebanyak 50 gram; bawang putih sebanyak 50 gram dikupas dan dicincang halus; serta
gula jawa yang sudah di potong kecil-kecil sebanyak 50 gram. Pemasakan dihentikan
setelah semua bahan yang ditambahkan (bawang putih, gula jawa, dan garam) larut dan
larutan telah mendidih. Fachruddin (1997) menjelaskan bahwa penggunaan gula jawa
bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, memberikan rasa lembut pada
produk, dan meningkatkan cita rasa, aroma, dan warna produk yang dihasilkan serta
sebagai pengawet. Warna coklat pada kecap ikan ini sebenarnya disebabkan karena
adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk cita
rasa lainnya. Selain itu, panas selama pemasakan juga menyebabkan terjadinya
karamelisasi gula sehingga warna campuran menjadi coklat (Kasmidjo, 1990). Lees &
Jackson (1973) mengungkapkan bahwa reaksi yang terjadi pada proses penambahan
gula jawa ini disebut sebagai reaksi Maillard, dimana komponen asam amino dalam
ikan bereaksi dengan komponen gula reduksi dalam gula jawa, sehingga menyebabkan
munculnya warna coklat pada produk. Sedangkan menurut Desrosier & Desrosier
(1977), penambahan garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, dan
memberi efek pengawetan karena garam dapat digunakan untuk menurunkan Aw
(Water Activity), menurunkan kelarutan oksigen, serta mengganggu keseimbangan ionik
sel mikroorganisme karena terjadi peningkatan proton di dalam sel, sehingga dapat
menghambat mikroba perusak pada kecap ikan dan kecap ikan memiliki umur simpan
yang lebih lama. Penggunaan bawang putih bawang putih yang mengandung zat allicin
juga bertujuan untuk membantu proses pengawetan terhadap produk karena zat allicin
efektif untuk membunuh bakteri, sehingga bersifat sebagai zat antimikroba. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Fachruddin (1997) yang menambahkan bahwa
garam dapur dan rempah-rempah (bawang putih) berfungsi sebagai bahan pemberi
aroma dan cita rasa, serta dapat memberikan daya awet pada kecap ikan.
Setelah pemasakan dihentikan, kemudian kecap tersebut didiamkan agak dingin dan
disaring kembali dengan kain saring. Penyaringan ini ditujukan untuk membersihkan
12
kotoran yang berasal dari bumbu dan ampas-ampas yang lain, sehingga didapatkan
kecap ikan yang benar-benar bersih. Filtrat yang dihasilkan lalu dilakukan pengujian
secara sensoris (warna, rasa, aroma, penampakan) dan uji salinitas dengan
menggunakan hand refractometer, dimana 1 ml kecap ditambahkan 9 ml aquades
terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan uji salinitas. Hanson (2006) menjelaskan
bahwa refraktometer adalah alat digunakan untuk mengukur jauhnya sinar dibiaskan
bila cahaya tersebut bergerak dari udara menuju sebuah sampel dan biasanya digunakan
untuk menentukan indeks bias zat cair. Refraktometer ini memiliki ketelitian berkisar
1,3 - 1,7 sampai empat angka di belakang koma. Refraktometer terdiri dari 2 jenis,
yaitu refraktometer Abbe dan hand refractometer. Menurut Arpah (1993), hand
refractometer ini digunakan untuk mengukur kandungan total padatan terlarut (TPT).
Padatan terlarut biasanya ditentukan dengan menggunakan refraktometer pada suhu
2000C tanpa koreksi untuk keasaman. Padatan terlarut ini dapat berupa gula, garam,
dan protein. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggunakan refraksi cahaya, sehingga
saat pengujian dibutuhkan cahaya untuk melihat hasilnya.
Menurut Tanasupawat, et al. (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Identification of
Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand”, bakteri halofilik yang
dapat berkembang di lingkungan asin (akibat penambahan garam) pada pembuatan
kecap ikan, yaitu Lentibacillus, Filobacillus, Tetragenococcus, dan Chromohalobacter.
Keempat spesies tersebut dapat tumbuh pada berbagai konsentrasi garam dan tumbuh
optimal pada media yang mengandung 3-15% (b / v) NaCl, sedangkan bakteri halofilik
lain seperti Halococcus dan Halobacterium membutuhkan setidaknya 1,5 M NaCl,
dimana pertumbuhan optimalnya terjadi pada media dengan kandungan 20-25% NaCl.
Di Thailand, kecap ikan mengandung konsentrasi garam yang tinggi, yaitu 25-30%
NaCl, sehingga mikroorganisme yang ditemukan selama produksi kecap ikan pada
umumnya dapat diklasifikasikan sebagai bakteri halofilik. Oleh karena itu, pada
penilitian dalam jurnal ini, dilakukan identifikasi jeni bakteri halofilik yang terdapat
dalam kecap ikan. Berdasarkan hasil penelitian, 3 spesies bakteri halofilik yang
ditemukan adalah Chromohalobacter salexigens, Halobacteirum salinarum, dan
Halococcus saccharolyticus.
13
Zaman, et al. (2010) mengungkapkan dalam jurnalnya yang berjudul “Occurrence of
Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce” bahwa tujuan dari
penelitiannya adalah mengetahui kandungan biogenik amina histamin, putresin, dan
kadaverina dalam kecap ikan dan mengevaluasi bakteri yang diisolasi dari sampel kecap
ikan untuk aktivitas degradasi amina. Amina biogenik sendiri merupakan berat molekul
senyawa nitrogen dasar yang terjadi di banyak makanan, terutama disebabkan oleh
kegiatan dekarboksilasi asam amino mikroba tertentu, sehingga dengan adanya amina
biogenik justru dapat mengakibatkan efek toksikologi kepada konsumen seperti
hipertensi, sakit kepala, diare, dan peradangan lokal jika tertelan dalam jumlah
berlebihan. Berdasarkan hasil penelitian, lima sampel kecap ikan mengandung 62,5-
393,3 ppm histamin, 5,6-242,8 ppm putresin, dan 187,1-704,7 ppm kadaverina, serta
dari 33 isolat bakteri menghasilkan 3 amina, 7 isolat menghasilkan 1 atau 2 amina, dan
1 isolat tidak menghasilkan amina dalam media diferensial agar. Karena tidak semua
strain mendegradasi amina, maka hanya 8 isolat yang diidentifikasi lebih lanjut dan
dievaluasi untuk mengetahui kemampuan penurunan amina. Sebagian besar isolat yang
diidentifikasi, konsentrasi garam yang masih dapat ditoleransi yaitu hingga 15% dengan
suhu hingga 45 ° C.
2.2. Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan, hasil uji sensoris meliputi warna, rasa, aroma, dan
penampakan. Warna agak coklat gelap diperoleh dengan penggunaan enzim papain
sebanyak 2,5% pada kelompok A6, sedangkan pada konsentrasi enzim papain 0,4%,
0,8%, 1,2%, 1,6%, dan 2% mendapatkan kecap ikan dengan warna kurang coklat gelap.
Pada pengamatan rasa, rasa yang sangat asin didapatkan pada kecap ikan dengan
konsentrasi papain 0,8% (kelompok A2) dan 1,6% (kelompok A4), kecap ikan yang
mendapatkan rasa asin adalah pada kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%, 1,2% dan 2%,
sedangkan kecap ikan kelompok A6 yang menggunakan konsentrasi enzim 2,5%
mendapatkan kecap asin yang agak asin. Pada pengamatan aroma, aroma tajam
diperoleh pada semua kecap ikan. Pada penampakannya, kecap ikan dengan konsentrasi
enzim 2,5% sangat cair, diikuti oleh kecap ikan dengan konsentrasi enzim 0,4%, 0,8%,
dan 1,2% yang cair, serta pada kecap ikan dengan konsentrasi enzim 1,6% dan 2%
berpenampakan agak kental.
14
Dari segi warna, warna kecap ikan yang coklat sesuai dengan teori dari Ibrahim (2010)
yang mengungkapkan bahwa warna dari kecap ikan adalah coklat. Warna coklat ini
didapatkan karena beberapa faktor. Faktor yang utama, menurut teori Kasmidjo (1990),
disebabkan karena adanya reaksi pencoklatan antara gula jawa dengan beberapa
komponen pembentuk citarasa lainnya. Lees & Jackson (1973) menambahkan pula
bahwa reaksi Maillard ini merupakan reaksi yang terjadi antara gugus asam amino
dengan gula pereduksi, sehingga berwarna coklat. Selain itu, menurut Astawan &
Astawan (1988), aktivitas enzim proteolitik pada bahan ikan akan menyebabkan cairan
yang terbentuk lebih berwarna coklat, sehingga semakin banyak enzim yang
ditambahkan, maka warna akhirnya akan semakin coklat gelap. Panas selama
pemasakan juga dapat menyebabkan terjadinya proses karamelisasi gula, sehingga
warna campuran menjadi coklat. Hal ini sesuai dengan teori dari Petrucci (1992) yang
menjelaskan bahwa pada suhu yang tinggi, cairan akan menjadi lebih gelap dan pekat.
Berdasarkan hasil pengamatan dari segi warna, hal ini telah sesuai dengan teori, dimana
pada penambahan konsentrasi enzim yang tinggi pada kecap ikan (kelompok A6), maka
warna dari kecap ikan akan semakin gelap, namun pada penambahan enzim di
kelompok A1 hingga A5 justru tidak ada perubahan warna. Seharusnya semakin banyak
konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, maka warna dari kecap ikan akan semakin
gelap. Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan suhu dan waktu / lama pemanasan yang
berbeda. Selain itu juga dapat disebabkan karena gula jawa yang ditambahkan tidak
sesuai.
Dari hasil uji sensori segi rasa, rasa sangat asin didapatkan oleh kelompok A2 dan A4
dengan konsentrasi enzim papain berturut-turut adalah 0,8% dan 1,6%. Hal tersebut
tidak sesuai dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa
semakin banyak jumlah enzim papain yang ditambahkan, maka kemampuan enzim
untuk memecah protein yang ada pada tubuh ikan juga akan semakin besar, sehingga
proses fermentasi akan berjalan dengan lebih sempurna. Proses fermentasi yang
sempurna akan menimbulkan senyawa-senyawa hasil pemecahan protein yang dapat
pembentuk cita rasa, seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase dalam
jumlah yang semakin banyak. Keberadaan senyawa-senyawa itulah yang akan
15
menghasilkan kecap ikan dengan rasa yang kuat, sehingga seharusnya pada kecap ikan
dengan penambahan enzim papain konsentrasi tertinggi (2,5%), tingkat rasa asin yang
diperoleh paling tinggi (paling asin). Tidak sesuainya teori dan hasil praktikum dapat
disebabkan karena beberapa faktor. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), rasa kecap
yang terbentuk dapat dipengaruhi oleh proses penguraian protein, sehingga terbentuk
senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang sedap.
Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1988), rasa kecap ikan dipengaruhi oleh
penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang berfungsi untuk meningkatkan
aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan, sehingga penambahan bumbu
yang tidak sesuai dapat memberikan rasa yang berbeda.
Dari segi penampakan terlihat bahwa kecap ikan dengan penambahan enzim terbanyak
(2,5%) menghasilkan penampakan kecap ikan yang sangat cair. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa enzim papain akan
menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam amino, dimana proses
penguraian akan menurunkan viskositas, sehingga kecap ikan menjadi lebih cair.
Namun pada hasil pengamatan terlihat bahwa penambahan enzim 1,6% dan 2% justru
agak kental sedangkan pada penambahan enzim 0,4% dan 0,8% cair. Ketidaksesuaian
ini dapat terjadi dikarenakan penambahan enzim yang tidak sesuai.
Dari segi aroma, pada semua kelompok menghasilkan kecap asin dengan aroma yang
tajam. Menurut Astawan & Astawan (1988), aroma dari kecap ikan berasal dari
penambahan berbagai bumbu. Hal ini didukung pula oleh Kasmidjo (1990) yang
mengatakan pula bahwa penggunaan bumbu yang ditambahkan dapat mempengaruhi
flavor spesifik kecap. Armstrong (1995) mengungkapkan bahwa aroma dan flavor dari
kecap ikan yang dihasilkan didasarkan pada komponen nitrogen pendukung,
diantaranya adalah kadaverin, putresin, arginin, histidin, dan amonia. Afrianto &
Liviawaty (1989) menambahkan pula bahwa proses penguraian protein dengan bantuan
enzim protease akan membentuk komponen peptida, pepton, dan asam amino yang
saling berinteraksi menciptakan aroma yang khas. Sehingga dengan semakin kuat sifat
proteolitik dan semakin banyaknya konsentrasi dari enzim, maka aroma amis dari ikan
akan semakin kuat / tajam, sehingga seharusnya semakin banyak penambahan enzim
16
papain, maka aroma kecap ikan yang dihasilkan semakin tajam. Ketidaksesuaian antara
teori dengan hasil dari praktikum dapat terjadi dikarenakan uji sensoris yang dilakukan
bersifat subjektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aitken, et al. (1982) bahwa metode
sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah dapat
diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap,
cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria
evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah sulit
untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Sifat uji sensoris yang subjektif
ini juga dapat menjadi penyebab ketidaksesuaian uji sensoris warna, rasa, serta
penampakan. Selain itu, menurut Riwan (2005) uji sensoris juga sangat dipengaruhi
oleh kondisi fisik dan mental dari panelis yang melakukan uji sensoris karena jika
panelis sedang dalam keadaan sakit, maka alat indera yang digunakan kurang peka,
sehingga panelis yang melakukan uji sensoris harus dalam keadaan sehat. Afrianto &
Liviawaty (1989) menambahkan bahwa walaupun proses pembuatan kecap ikan melalui
proses enzimatis relatif cepat, namun mutu kecap ikan yang dihasilkan dari penambahan
enzim papain lebih rendah daripada mutu kecap ikan yang dibuat secara tradisional. Hal
ini terjadi karena pada proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain yang
akan membentuk senyawa peptida tertentu, sehingga menimbulkan rasa pahit dan bau
kurang sedap. Hal ini juga dapat membuat ketidaksesuaian hasil pengujian sensoris
yang telah dijelaskan diatas.
Berdasarkan hasil pengujian salinitas, kadar salinitas pada masing-masing kelompok
berbeda-beda dan mengalami fluktuasi, dimana kadar salinitas tertinggi didapatkan pada
kecap ikan dengan penambahan enzim papain 1,6%, yaitu sebesar 3,5%, sedangkan
pada kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,8% dan 2% memiliki kadar
saliniatas terendah, yaitu sebesar 2,8%. Hal ini tidak sesuai dengan teori dari Astawan &
Astawan (1988) yang mengungkapkan bahwa semakin banyak enzim papain yang
ditambahkan, maka akan membuat proses fermentasi berjalan lebih sempurna dan
menghasilkan cita rasa yang kuat, oleh karena itu dikatakan bahwa yang seharusnya
memiliki rasa paling asin adalah kecap ikan pada konsentrasi pemberian enzim papain
adalah 2,5%, dan seharusnya kadar salinitas pada kecap ikan yang paling tinggi adalah
pada kecap ikan dengan pemberian enzim papain 2,5%. Berdasarkan penjelasan
17
tersebut, seharusnya hasil kadar salinitas ini berbanding lurus dengan hasil sensoris rasa,
dimana semakin tinggi kadar salinitasnya, maka semakin tinggi pula tingkat rasa asin,
namun pada praktikum kali ini, hasil sensoris rasa dengan kadar salinitas kelompok A2,
A3, A5, dan A6 tidak berbanding lurus. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena proses
pemanasan dengan waktu dan suhu yang berbeda, sehingga akan mengakibatkan reaksi
kimia yang berbeda pula, serta uji sensoris yang dilakukan tidak sesuai dikarenakan
bersifat subjektif. Selain itu, pembacaan alat dengan hand refractometer yang tidak
sesuai juga dapat membuat bias pembacaan, sehingga mempengaruhi kadar salinitas.
3. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa ikan, baik secara fermentasi /
garam, enzimatik, maupun kimiawi yang berwarna coklat jernih dan cair.
Kecap ikan digunakan sebagai penambah cita rasa dalam suatu produk pangan
dan biasa digunakan pula sebagai pengganti garam untuk memberikan rasa asin.
Pembuatan kecap ikan dapat dilakukan dengan fermentasi menggunakan garam
dan dengan cara enzimatis.
Enzim yang sering digunakan adalah enzim protease, seperti bromelin (dari buah
nanas muda) dan papain (dari getah buah papaya).
Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yaitu konsentrasi substrat atau
konsentrasi enzim, suhu, pH, dan kondisi lingkungan yang lain.
Tujuan penghancuran bagian tubuh ikan adalah untuk meningkatkan efektivitas
ekstraksi karena kerusakan sel akan memudahkannya keluar senyawa flavor dan
memperluas permukaan bahan.
Tujuan dari penambahan enzim adalah untuk menghidrolisis protein melalui
aktivitas proteolitik dan mempercepat proses fermentasi.
Pada saat proses fermentasi terjadi pemecahan komponen gizi menjadi bagian
yang lebih sederhana oleh enzim.
Kualitas kecap ikan sebenarnya ditentukan oleh jumlah penggunaan garam dan
lamanya proses fermentasi.
Adanya garam dalam dosis tinggi juga melindungi ikan dari pencemaran oleh
lalat, serangan belatung, dan pembusukan oleh bakteri pembusuk
Pemasakan bertujuan untuk karamelisasi gula, sehingga warna campuran menjadi
coklat.
Gula jawa dapat memberikan warna coklat karamel dan meningkatkan viskositas
kecap ikan yang dihasilkan.
Garam berfungsi untuk memberi rasa asin, menguatkan rasa, memberi efek
pengawetan, menurunkan kelarutan oksigen, dan mengganggu keseimbangan
ionik sel mikroorganisme.
Penggunaan bawang putih dapat digunakan untuk pengawetan terhadap produk
18
19
Warna kecap dipengaruhi oleh faktor suhu pemasakan, waktu pemasakan, dan
adanya penambahan gula jawa.
Semakin tingi konsentrasi enzim yang ditambahkan maka warna semakin coklat,
rasa semakin asin, penampakan semakin cair, aroma semakin tajam, dan memiliki
kadar salinitas semakin tinggi.
Kadar salinitas seharusnya berbanding lurus dengan tingkat keasinan kecap asin
melalui uji sensoris
Semarang, 28 September 2014 Asisten Dosen :- Yuni Rusiana
Melita Mulyani(12.70.0080)
4. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.
Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.
Bahar, H. (2004). Sumber Daya Perikanan Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta.
Collete, B. B. & Nauen C. E. (1983). FAO Species Catalogue Vol. 2. Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos and Related Species Known to Date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agriculture Organization. Rome.
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.
Hanson, J. (2006). Refractometry. Chemistry Lab Techniques. http://www2.ups.edu/faculty/hanson/labtechniques/refractometry/theory.htm. Diakes tanggal 28 September 2014 pukul 15.03 WIB.
Harada, K.; T. Maeda; M. Honda; T. Kawahara; M. Tamaru; & T. Shiba. (2007). Antioxidative Activity of Puffer Fish Sauce (Review). Journal of National Fisheries University, Vol. 56 (1) : 99-105.
20
21
Hjalmarsson, G. H.; J. W. Park & K. Kristbergsson. (2007) Seasonal Effects on The Phsicochemical Characteristics of Fish Sauce Made from Capelin (Mallotus villosus). Food Chemistry Journal 103 : 495-504, Elsevier. Iceland.
Ibrahim, S. M. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10 : 169-172.
Iskandar, H. M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Jiang, J. J.; Q. X. Zeng; Z. W. Zhu & L. Y. Zhang. (2007). Chemical and Sensory Changes Associated Yu-lu Fermentation Process – A Traditional Chinese Fish Sauce. Food Chemistry Journal 104 : 1629-1634, Elsevier.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.
Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.
Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol. 67, No. 2.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.
Riwan. (2005). Sifat-sifat Organoleptik dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan. Fakultas Perikanan & Biologi, Universitas Negeri Bangka Belitung. Bangka Belitung.
22
Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bandung.
Saleh, M; A. Ahyar; Murdinah & N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Sonu, S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island, California.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.
Tanasupawat, S.; S. Namwong; T. Kudo & T. Itoh. (2009). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections, Vol. 6, pp. 69-75. Thailand.
Tungkawachara, S.; J. W. Park & Y. I Choi. (2003). Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whitiing Fish Sauce. Journal of Food Chemistry and Toxicology, Vol. 66, No. 3.
Yuen, S. K.; C. F. Yee & A. Anton. (2009). Microbiological Characterization of Budu, an Indigenous Malaysian Fish Sauce. Borneo Science Journal, 24. Malaysia.
Zaman, M. Z.; F. A. Bakar; J. Selamat & J. Bakar. (2010) Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Czech Journal Food Sci., Vol. 28 (5) : 440-449. Malaysia.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
Salinitas=hasil pengukuran ( 0
00)
1000×100 %
Kelompok A1
Hasil pengukuran=300
00
Salinitas= 301000
× 100 %=3 %
Kelompok A2
Hasil pengukuran=280
00
Salinitas= 281000
× 100 %=2,8 %
Kelompok A3
Hasil pengukuran=330
00
Salinitas= 331000
× 100 %=3,3 %
Kelompok A4
Hasil pengukuran=350
00
Salinitas= 351000
× 100 %=3,5 %
Kelompok A5
Hasil pengukuran=280
00
Salinitas= 281000
× 100 %=2,8 %
23
24
Kelompok A6
Hasil pengukuran=330
00
Salinitas= 331000
× 100 %=3,3 %
5.2. Foto
Gambar 1. Kecap Ikan Kloter A
5.3. Diagram Alir
5.4. Laporan Sementara
A1
A2
A3 A4
A5
A6