Makalah Kemasyarakatan Dalam Islam

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakan Masalah Penulisan ini mengangkat judul makalah tentang kemasyarakatan dalam Islam ditinjau dari beberapa latar belakang di bawah ini. 1. Manusia berasal dari satu diri yang kemudian berkembang menjadi suku-suku dan berbangsa-bangsa. Semua manusia berasal dari sumber yang satu,kemudian berkembang menjadi berbagai macam warna,ras,budaya,dan bangsa. Mereka harus tetap saling mendekati, saling menghormati dalam interaksi sosial. (Annisa:1, Alhujurat:13). 2. Perbedaan ras, suku, agama, dll. Manusia di dunia diciptakan beragam dan berbeda- beda. Perbedaan yang sangat menonjol adalah perbedaan fisik. Misalnya perbedaan warna kulit, bentuk mata, bentuk rambut, tinggi badan, dsb. Perbedaan ras dan suku sering menimbulkan pertengkaran dan pertikaian. Bahkan tidak jarang sampai menimbulkan pertumpahan darah. Tindakan seperti ini sangat tidak mencerminkan perilaku Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. Allah menciptakan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukanlah untuk bersaing 1

Transcript of Makalah Kemasyarakatan Dalam Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakan Masalah

Penulisan ini mengangkat judul makalah tentang

kemasyarakatan dalam Islam ditinjau dari beberapa

latar belakang di bawah ini.

1. Manusia berasal dari satu diri yang kemudian

berkembang menjadi suku-suku dan berbangsa-bangsa.

Semua manusia berasal dari sumber yang

satu,kemudian berkembang menjadi berbagai macam

warna,ras,budaya,dan bangsa. Mereka harus tetap

saling mendekati, saling menghormati dalam

interaksi sosial. (Annisa:1, Alhujurat:13).

2. Perbedaan ras, suku, agama, dll.

Manusia di dunia diciptakan beragam dan berbeda-

beda. Perbedaan yang sangat menonjol adalah

perbedaan fisik. Misalnya perbedaan warna kulit,

bentuk mata, bentuk rambut, tinggi badan, dsb.

Perbedaan ras dan suku sering menimbulkan

pertengkaran dan pertikaian. Bahkan tidak jarang

sampai menimbulkan pertumpahan darah. Tindakan

seperti ini sangat tidak mencerminkan perilaku

Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan hal seperti

itu. Allah menciptakan manusia yang bersuku-suku

dan berbangsa-bangsa bukanlah untuk bersaing

1

menonjolkan keunggulanya lalu menimbulkan

pertikaian, akan tetapi agar mereka saling

mengenal satu sama lain lalu bersaudara. Seperti

firman Allah :

”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan

menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-

suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Q.S.Al

Hujurat:13)

3. Hanya ketaqwaan yang membedakan derajat manusia di

mata Allah SWT.

Pada dasarnya mereka mempunyai kedudukan yang sama

yang memberikan keunggulan diantara mereka adalah

kualitas taqwanya.

Seperti firman Allah: ”Sesungguhnya yang paling

mulia diantara kamu sekalian di sisi Allah adalah

yang paling taqwa diantara kamu”(Q.S Alhujurat:13)

Oleh karena adanya keanekaragaman budaya, agama,

tradisi dan lain-lain itu, maka manusia harus

memberlakukan upaya bersama atas dasar nilai

kebaikan (Albirr) dan ketaqwaan (At-taqwa), dan

jangan melakukan upaya bersama atas dasar nilai

kedosaan (Al-itsm) dan permusuhan (Almaidah:2).

Adapun perbedaan-perbedaan yang ada diantara

mereka dan sulit dikompromikan,serahkan saja

2

penilaian dan keputusan akhirnya kepada Tuhan (Al-

Baqoroh:113).

B. Rumusan Masalah

Setelah penulis mengungkapkan inti permasalahan

pada uraian latar belakang diatas. Maka penulis

mencoba merumuskan masalah kedalam kalimat-kalimat

pertanyaan berikut:

1. Bagaimana Dasar Pembentukan Keluarga?

2. Apa saja Ciri dari Masyarakat Islam?

3. Apa Kewajiban dan Hak Anggota Masyarakat?

4. Apa yang dimaksud dengan Keadilan Sosial dan

Kesejahteraan Masyarakat?

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah

ini adalah:

1. Untuk mengetahui Dasar Pembentukan Keluarga

2. Untuk mengetahui Ciri dari Masyarakat Islam

3. Untuk mengetahui Kewajiban dan Hak Anggota

Masyarakat

4. Unuk mengetahui Keadilan Sosial dan Kesejahteraan

Masyarakat

3

BAB II

PEMBAHASAN

Kemasyarakatan dalam Islam

Masyarakat Islam adalah kelompok manusia dimana

hidup terjaring kebudayaan Islam, yang diamalkan oleh

kelompok itu sebagai kebudayaannya. Dalam artian,

kelompok itu bekerja sama dan hidup bersama berasaskan

prinsip Al-Qur’an dan Hadist dalam kehidupan.

Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat

atau sarana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang

menyangkut kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat

harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi

kesatuan dan kerjasama umat menuju adanya suatu

pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan

keadilan.

A. Dasar Pembentukan Keluarga

Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan

sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung

karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui

perkawinan dapat diatur hubungan laki-laki dan

wanita (yang secara fitrahnya saling tertarik)

dengan aturan yang khusus. Dari hasil pertemuan ini

juga akan berkembang jenis keturunan sebagai salah

satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari

4

perkawinan itu pulalah terbentuk keluarga yang

diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan

sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan.

Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk

melakukan pernikahan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud

ra yang berkata bahwasanya Rosulullah SAW bersabda :

"Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu

telah mampu memikul beban, maka hendaklah ia kawin,

karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan

dan menjaga ke’hormatan’, dan barang siapa yang

belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena dengan

puasa itu dapat menjadi perisai"

Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah

kemudian muncul hubungan yang berkait dengan

kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat

tempat mereka hidup dan juga hubungannya dengan

negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam

(syariat Islam) atas manusia selalu mengaitkannya

dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi dari

masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu (manusia)

yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan (sistem) yang satu

(sama). Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat mesti

ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi

secara terus menerus dan diatur dalam sebuah aturan

yang  fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan status

5

dan hubungan individu dengan masyarakat dengan

sabdanya :

 "Perumpamaan orang-orang Muslim, bagaimana kasih

sayang yang tolong menolong terjalin antar mereka,

adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih

merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh akan

bereaksi membantunya dengan berjaga (tidak tidur)

dan bereaksi meningkatkan panas badan (demam)". (HR

Muslim)

Oleh karena itu, Islam memandang individu-

individu, keluarga, masyarakat dan negara sebagai

umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di

mana dengan peraturan dan sistem nilai tersebut,

manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang,

bahagia dan sejahtera.

Menurut Shihab, beberapa faktor untuk membentuk

keluarga sakinah: (a) Kesetaraan. Kesetaraan ini

mencakup banyak aspek, seperti kesetaraan dalam

kemanusiaan. (b) Musyawarah. Pernikahan yang sukses

bukan saja ditandai oleh tidak adanya cekcok antara

suami/istri karena bisa saja cekcok terjadi bila

salah satu pasangan tidak bisa menerima semua yang

dikehendaki oleh pasangannya. Dari berbagai problem

rumah tangga, bimbingan dan konseling terhadap

berbagai problem rumah tangga relevan dengan fungsi

konseling keluarga Islam yaitu membantu agar klien

6

dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara

benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem

yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena

itu maka konseling keluarga khususnya yang islami

pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati

kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan

tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam.

B. Ciri Masyarakat Islam

Dasar masyarakat dalam ajaran Islam adalah Islam

itu sendiri. Karena manusia semuanya diperintahkan

untuk menganutnya, dan diperintahkan mengetahui

kedudukannya dalam kehidupan ini dan mengetahui

hubungan manusia dengan alam dan sebab apa dia

dijadikan. Islam mengarahkan pemikiran manusia,

perbuatan dan tindak tanduknya, dan yang menjadi

dasar pegangannya dalam semua keadaan. Kalau manusia

dianggap sebagai makhluk sosial, maka Islam

mengarahkan mereka dalam membina masyarakat ini dan

sistem Islamlah yang menjadi pilihannya. Denagn kata

lain, haruslah pembinaan didasarkan kepada Dienul

Islam sehingga setiap individu berbuat sesuai dengan

ajaran Islam, baik dia sebagai individu maupun

sebagai masyarakat. Begitu juga masyarakatnya

dijadikan suatu masyarakat yang diatur oleh Islam

yang menjadi kepercayaan masyarakatnya. Denagn

7

demikian setiap orang yang menganut Islam dan

meyakininya, dapat menjadi anggota masyarakat Islam

dan berkewajiban mempertahankan serta berusaha untuk

mencapai tujuannya.

Sebenarnya ciri-ciri masyarakat Islam sudah

tercakup dalam dasar sistem masyarakat Islam, namun

dalam pembahasan berikut adalah masalah ciri-ciri

yang menonjol, antara lain :

1. Pemeliharaan Norma-norma Akhlaq   

Akhlaq mempunyai kedudukan penting dalam

Islam, dan pengaruhnya sangat besar dalam pelbagai

peraturan-peraturan dan diantaranya dalam sistem

masyarakat. Peraturan-peraturan dalam Islam sangat

mementingkan kersihan masyarakat dari perbuatan-

perbuatan tercela. Islam memberikan hukuman setiap

perbuatan yang diharamkan juga sangat mencela

orang yang berbuat kemungkaran. Oleh karena itu

setiap ada kemungkaraan wajib dicegah, tidak boleh

dibiarkan berlaku dalam masyarakat Islam, karena

kemungkaran laksana penyakit yang berbahaya, yang

kalau dibiarkan hidup dan berkembang tubuh akan

binasa.

Rasulullah bersabda :      

"Wahai manusia! Barangsiapa yang mengerjakan

sedikit dari kemungkaran maka ditutupnya dan dia

dalam tutupan Allah dan barangsiapa membukakannya,

8

kami laksanakan kepadanya had (hukuman)". (Al

Hadits)

2. Berlaku Adil   

Keadilan merupakan salah satu bagian yang

mulia dan puncak akhlaq yang baik. Islam sangat

menekankan akan pentingnya keadilan, berlaku adil.

Allah berfirman :      

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku

adil dan berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat

(apa yang mereka perlukan) dan melarang perbuatan

keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan

pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil

pelajaran". (QS An-Nahl (16), 90)       

"Dan apabila kamu menerapkan hukum diantara

manusia supaya kamu menetapkan dengan adil" (QS

An-Nisa (4), 58)    

"Jika golongan itu kembali (kepada perintah

Allah) maka demikianlah antara keduanya dengan

adil dan berlaku adillah kamu" (QS Al-Hujurat

(49), 9)   

Beberapa ayat diatas bertalian erat dengan

keadilan, dan sekaligus amat melarang berlaku

dzalim. Dengan demikian semakin jelas bahwa

keadilan (berlaku adil) adalah syarat penting

dalam Islam. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah

agama Keadilan dalam segala-galanya.

9

3. Keluarga adalah Pondasi Masyarakat 

Keluarga adalah merupakan basis kekuatan

masyarakat, karena masyarakat merupakan kumpulan

dari keluarga-keluarga, dan keluarga laksana sel-

sel yang membentuk tubuh. Kalau keluarga baik

niscaya masyarakatpun akan baik, sebaliknya kalau

keluarga rusak niscaya rusak pula masyarakatnya.

Karena itu Islam selalu menaruh perhatian khusus

dalam masalah keluarga, dan peraturan-peraturan

yang mengatur keluarga sangat banyak dalam Islam. 

Aturan datam pembentukan keluarga cukup

banyak, mulai masalah perkawinan, bagaimana

prosedur perkawinan, hak-hak suami dan istri,

bagaimana aturan dalam berpoligami, perceraian

beserta syarat-syaratnya, hak-hak anak dalam

keluarga, perasaan solidaritas sesama anggota

keluarga, posisi wanita dalam Islam, tata susila

yang harus dilaksanakan kaum wanita, dan

sebagainya. Semua aturan itu harus dilaksanakan

oleh seluruh umat Islam dalam rnembina

keluarganya.

4. Amar Makruf dan Nahi Mungkar

Sebagaimana telah ditegaskan, kehadiran

masyarakat Islam berfungsi antara lain sebagai

wadah implementasi syariat Allah swt. Mereka

10

adalah orang-orang yang mewujudkan tujuan

keberadaan manusia, yakni pengabdian utuh kepada

Allah.

Dengan begitu, layaklah mereka mendapat segala

kebaikan dari sang Maha Pencipta. “Dan sekiranya

penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan

melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi

ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa

mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan,” (QS

Al-A’raf [7]:96).

Namun, tentu, masyarakat Islam—bahkan yang

dibina langsung oleh Rasulullah saw--bukan

masyarakat malaikat. Mereka manusia biasa dengan

segala kelebihan dan kekurangannya. Di antara

mereka ada yang lemah lembut, kasar, penyabar

hingga temperamental. Ada pula yang melakukan

kesalahan dan penyimpangan. Justru kepada

merekalah hukum-hukum Islam, baik yang termaktub

di dalam Qur'an maupun Sunnah, ditujukan.

Kondisi itu menegaskan dua hal. Pertama,

kemanusiawian masyarakat yang dibina Rasulullah

saw membuat kita berada dalam ruang kemampuan

untuk meneladaninya. Kedua, untuk mengawal dan

memastikan masyarakat Islam berada dalam garis

syariat-Nya, perlu upaya-upaya untuk memotivasi

potensi positif (kebaikan) dan mengeliminir

11

potensi negatif (keburukan), biasa kita sebut amar

makruf dan nahi mungkar.

Itulah salah satu karakter masyarakat beriman,

sebagaimana dikatakan Allah swt dalam firman-Nya,

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,

sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.

Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari

yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat

kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh

Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (QS At-

Taubah [9]:71).

Di dalam masyarakat Islam, tidak boleh ada

orang saleh yang menikmati kesalehannya sendiri

tanpa mempedulikan orang lain. Hadits Rasulullah,

"Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran

maka ia harus mengubahnya dengan tangannya. Jika

ia tidak bisa maka ia harus mengubahnya dengan

lidahnya. Jika ia tidak bisa maka ia harus

mengubahnya dengan hatinya. Dan itu adalah

selemah-lemah iman,” (HR Muslim).

Rasulullah juga memberikan ilustrasi tentang

bahaya meninggalkan amar makruf nahi mungkar.

“Perumpamaan orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum

Allah dengan orang-orang yang melanggarnya bagaikan

sekelompok orang yang naik kapal. Lalu mereka melakukan

undian untuk menentukan siapa yang duduk di bagian atas dan

12

siapa yang duduk di bagian bawah (dek). Orang-orang yang duduk

di bagian bawah itu harus naik ke atas jika mereka membutuhkan

air. Lalu salah satu dari mereka mengatakan, 'Sebaiknya kita

membolongi tempat kita ini sehingga kita tidak mengganggu

orang lain.' Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan

mereka melaksanakan apa yang mereka inginkan maka niscaya

akan binasalah semuanya. Namun jika mereka membimbingnya

maka mereka yang ada di atas akan selamat dan selamat pula

mereka yang ada di bawah,” (HR Bukhari).

Atas dasar itu, kita boleh berkoalisi atau

bekerja sama dengan siapa pun tapi hanya dalam

kebaikan (makruf). Ikatan koalisi, kerja sama, apa

pun namanya, harus dipertahankan selama tidak ada

alasan untuk membatalkannya. Sebaliknya, ketika

ada tuntutan menutup-nutupi kebenaran dengan dalih

menjaga keutuhan kebersamaan, maka meninggalkan

kebersamaan adalah sebuah konsekuensi dari pilihan

terbaik kita, yakni memerintah kepada kebaikan dan

mencegah kemungkaran.

5. Cinta Ilmu Pengetahuan dan Melarang Kebodohan

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang cinta

ilmu pengetahuan dan memerangi kebodohan. Kalau

kita menelisik sejarah “pencarian” hadits oleh

para ulama, kita akan terperangah dengan perilaku

yang tidak pernah kita bayangkan. Contoh, seorang

ulama hadits bisa mengembara berbulan-bulan hanya

13

untuk menelusuri kebenaran sebuah hadits. Islam

memang menghendaki umatnya melakukan hal itu

(perhatikan QS Az-Zumar [39]:9) dan Al-Mujadilah

[58] 11).

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menempuh

jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan

baginya jalan ke surga.” Beliau juga berkata,

“Keutamaan ilmu lebih aku sukai daripada keutamaan

ibadah.” (Ath-Thabrani)

Dengan hadits itu, Rasulullah saw menegaskan

bahwa ilmu lebih utama dari ibadah. Sebab, ibadah

manfaatnya kembali kepada diri sendiri sedangkan

ilmu bermanfaat untuk banyak orang.

Karena itu tidaklah mengherankan bila

masyarakat Islam dicatat dalam sejarah sebagai

gudang para ilmuwan. Bukan hanya di bidang

keagamaan, melainkan dalam segala bidang keilmuan.

Kepakaran para ulama Islam meliputi banyak

spesialisasi, seperti kedokteran, matematika,

fisika, kimia, psikologi, dan sebagainya.

6. Fitrah dan Keseimbangan Terpelihara

Hal yang tak kalah pentingnya dari itu semua

adalah bahwa di dalam masyarakat Islam, fitrah

manusia terpelihara dan potensi berkembang.

Mengapa demikian? Ajaran Islam yang menjadi

14

pegangan bagi masyarakat Islam adalah agama yang

sesuai fitrah manusia.

Orang yang dikategorikan saleh dalam pandangan

agama Islam bukanlah yang meninggalkan fitrah

melainkan justru yang menjaga fitrah. Oleh karena

itu Islam tidak memuji orang yang membujang

padahal ia mampu menikah. Sedangkan agama lain ada

yang melarang tokoh agamanya menikah.

Masyarakat Islam juga menjadi masyarakat yang

hidup tenteram karena kehidupannya penuh dengan

keseimbangan dalam segala hal. Seimbang antara

pelayanan terhadap ruhani, jasad, dan akal.

Seimbang pula antara usaha dan pengharapan.

Keseimbangan adalah salah satu sumber kebahagiaan

manusia dalam hidupnya.

C. Kewajiban dan Hak Anggota Masyarakat

Sudah menjadi kenyataan bahwa hidup kita ini tidak

akan terlepas darihidup orang lain. Tiap-tiap

pribadi terikat oleh pribadi lain. Kelompok-kelompok

pribadi itu membentuk suatu kehidupan bersama dalam

suatu lingkungan, yang disebut masyarakat. Kita

masing-masing mempunyai lingkungan keluarga. Itulah

masyarakat yang terkecil yang disebut masyarakat

keluarga. Seterusnya kita menyadari bahwa diluar

masyarakat keluarga kita mempunyai masyarakat, yang

15

warganya mempunyai kepentingan bersama, misalnya

masyarakat sekolah dan yang lebih luasnya lagi

masyarakat umum.

Didalam masyarakat itu kita masing-masing saling

tergantung satu sama lain, masing-masing saling

melayani. Disitu terjadi arus timbal balik di antara

sesama warga masyarakat. Kelangsungan arus timbal-

balik antara warga yang satu dan yang lain itulah

yang menyebabkan kesatuan dan kerukunan, yang

membawa hidup sejahtera. Hidup sejahtera itu dapat

terwujud bila kebutuhan hidup dapat terpenuhi.

Kebutuhan itu akan terpenuhi apabila kita

menjalankan tugas dan kewajiban kita sebaik-baiknya.

Sebagai warga masyarakat, kita masing-masing

mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan

dan kemampuan kita.

Didalam masyarakat keluarga, kita mempunyai

kedudukan yang disertai hak dan kewajiban. Ayah

kewajiban nya sebagai pemimpin keluarga.

Kewajibannya adalah mengatur keluarga, mencari

nafkah untuk keluarga, mencarikan pakaian untuk

keluarga, dan membuatkan rumah tempat berteduh bagi

keluarganya. Ayah dalam kedudukannya yang demikian

mempunyai hak, yaitu hak dibantu di dalam

melaksanakan tugasnya serta hak diturut nasihat dan

petunjuk-petunjuknya, sedangkan anak mempunyai

16

kedudukan sebagai warga atau anggota keluarga, yang

mempunyai hak dilindungi, hak diberi makan, hak

disekolahkan, dan sebagainya. Akan tetapi, anak

mempunyai kewajiban membantu orang tua dan kewajiban

mengindahkan nasihat orang tua.

    Di dalam masyarakat umum kita mempunyai

kedudukan yang membawa hak dan kewajiban kita

masing-masing. Pemimpin RT atau RK/RW mempunyai hak

dan kewajiban. Ia berkewajiban mengatur

lingkungannya agar terjadi kihidupan yang baik. Ia

berhak memperingatkan anggota lingkungannya yang

berbuat kurang baik. Ia berhak, bahkan berkewajiban

menghalang-halangi setiap perbuatan lingkungannya

yang akan merusak kehidupan bersama. Pemimpin dalam

lingkungan RT atau RK/RW berkewajiban menjaga hak

dan kewajiban warga masyarakat agar tetap berjalan

lancar. Sebaliknya, para anggota masyarakat karena

kedudukannya sebagai anggota, mempunyai hak dan

kewajiban sesuai dengan kedudukannya itu. Karena

para anggota ini berhak atas kehidupan yang serasi,

aman, teratur, dan sejahtera, maka para warga dan

anggota masyarakat itu berkewajiban:

Menjaga kerukunan hidup dengan tetangga atas dasar

saling menghormati;

Ikut menjaga keamanan dan kebersihan lingkungan;

17

Menaati peraturan yang berlaku di dalam lingkungan

itu atas dasar kepentingan bersama;

Membatasi diri jangan sampai mengganggu hak dan

kemerdekaan orang lain atas dasar persamaan hak

dan kewajiban. Oleh karena itu, kita wajib menjaga

nama baik setiap keluarga.

Banyak sekali hak dan kewajiban kita sebagai warga

negara masyarakat. Di dalam masyarakat ini, kalau

setiap warga mementingkan haknya masing-masing,

kepentingan bersama akan terabaikan dan kewajiban

kita akan terbengkalai. Ini bertentangan dengan 

dasar kehidupan masyarakat. Maka dari itu, marilah

kita bersama mengutamakan kewajiban kita atau

mendahulukan kewajiban kita.

D. Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat

1. Keadilan Sosial

Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi

kehidupan bermasyarakat adalah keadilan. Tidak

lebih dan tidak kurang. Berbuat baik melebihi

keadilan –seperti memaafkan yang bersalah atau

memberi bantuan kepada yang malas– akan dapat

menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil

dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil

18

dan berbuat kebajikan” (QS Al-Nahl [16]: 90),

karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu

yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan

bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada

kedermawanan atau ihsan.

Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih

baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang

bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan

kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada

tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya

jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Imam Ali r.a. bersabda, “Adil adalah

menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan

ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada

tempatnya.” Jika hal ini menjadi sendi kehidupan

bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi

seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw.

menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri

setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik

harta telah memaafkannya.

Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh

seseorang. Dia menangkap pencurinya dan membawanya

kepada Nabi Saw. Beliau memerintahkan memotong

tangan pencuri, tetapi Shafwan memaafkan, maka

Nabi Saw. bersabda.

19

“Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau

membawanya kepadaku” (Diriwayatkan oleh Ahmad At-

Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan

bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk

akhirnya hancur. Demikian ketetapan Ilahi.

Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu

yang tak ada harganya, sedangkan yang memben

manfaat bagi manusia itulah yang tetap bertahan di

bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-

perumpamaan (QS Al-Raid [13]: 17).

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda,

bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun

demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253). Perbedaan

adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh

mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan

itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang

menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan

makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat (49): 13.

Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan

itu dinyatakan:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat

Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka

(melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia,

dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas

sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar

20

mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan

kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat

Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk

fastabiqul khairat (berlomba-lombalah di dalam

kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]: 148). Setiap

perlombaan menjanjikan “hadiah”. Di sini hadiahnya

adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang

berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta

lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang

sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah

berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya

dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal

ini.

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak

berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang

berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa

mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad

dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang

duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu

derajat. Dan kepada masing-masing mereka Allah

menjanjikan imbalan baik… (QS Al-Nisa’ [4]: 95).

Adakah sama orang yang mengetahui dengan

orang-orang yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar

[39]: 9).

21

Keadilan sosial seperti terlihat di atas,

bukan mempersamakan semua anggota masyarakat,

melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan

mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan

sosial didefinisikan sebagai “kerja sama untuk

mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik,

sehingga setiap anggota masyarakat memiliki

kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh

berkembang sesuai kemampuan masing-masing.”

Jika di antara mereka ada yang tidak dapat

meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya,

masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil

untuk membantu mereka agar mereka pun dapat

menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam

inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.

2. Kesejahteraan Masyarakat

“Sejahtera” menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah “aman, sentosa dan makmur;

selamat (terlepas) dari segala macam gangguan,

kesukaran dan sebagainya.” Dengan demikian

kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat

yang sejahtera.

Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan

sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari

surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat

22

sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas

kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui,

sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke

bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga.

Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam

dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu

diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya

secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang

mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah

masyarakat yang berkesejahteraan.

Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain

dalam peringatan Allah kepada Adam:

Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh

bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan

sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga,

yang akibatnya engkau akan bersusah payah.

Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini

(surga), tidak pula akan telanjang, dan

sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga

maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den

papan yang diistilahkan dengan tidak lapar,

dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah

terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini

merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan

sosial.

23

Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa

masyarakat di surge hidup dalam suasana damai,

harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada

sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran

ataupun sesuatu yang sia-sia:

Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga)

perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya)

dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai)

(QS Al-Waqi’ah [56]: 25 dan 26).

Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya

yang beriman

(Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur

[52]: 21).

Adam bersama istrinya diharapkan dapat

mewuJudkan bayang-bayang surga itu di permukaan

bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman

kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.

Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai

Adam, setelah engkau berada di dunia, maka

ikutilah). Maka barangsiapa yang mengikuti

petunjuk-Ku, niscaya tiada ketakutan menimpa

mereka dan tiada pula kesedihan (QS Al-Baqarah

[2]: 38).

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan

oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai

aspek kesejahteraan social yang pada kenyataannya

24

dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi

pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.

Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang

sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut

terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit,

kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan

lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:

Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan

Islam bukan sekadar bantuan keuangan –apa pun

bentuknya. Bantuan keuangan hanya merupakan satu

dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam.

25

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Dasar dari Pembentukan Keluarga adalah melalui

perkawinan yang dari sudut pandang Islam merupakan

sistem peraturan dari Allah SWT yang mengandung

karunia yang besar dan hikmah yang agung.

2. Ciri Masyarakat Islam diantaranya:

Pemeliharaan Norma-norma Akhlaq

Berlaku Adil

Keluarga adalah Pondasi Masyarakat 

Amar Makruf dan Nahi Mungkar

Cinta Ilmu Pengetahuan dan Melarang Kebodohan

Fitrah dan Keseimbangan Terpelihara

3. Kewajiban dan Hak Anggota Masyarakat diantaranya:

Hak Anggota masyarakat adalah sebagai berikut:

berhak atas kehidupan yang serasi, aman, teratur,

dan sejahtera.

Kewajiban Anggota Masyarakat adalah sebagai berikut:

Menjaga kerukunan hidup dengan tetangga atas dasar

saling menghormati;

Ikut menjaga keamanan dan kebersihan lingkungan;

Menaati peraturan yang berlaku di dalam lingkungan

itu atas dasar kepentingan bersama;

26

Membatasi diri jangan sampai mengganggu hak dan

kemerdekaan orang lain atas dasar persamaan hak

dan kewajiban. Oleh karena itu, kita wajib menjaga

nama baik setiap keluarga.

4. Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat

Keadilan Sosial adalah kerja sama untuk mewujudkan

masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga

setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang

sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai

kemampuan masing-masing.

Kesejahteraan Masyarakat adalah aman, sentosa dan

makmur; selamat (terlepas) dari segala macam

gangguan, kesukaran dan sebagainya.

27