MAKALAH CHT kel 6
-
Upload
ubrawijaya -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of MAKALAH CHT kel 6
MAKALAH KEBIJAKAN FINANSIAL DAN FISKALDosen : M. Faisal Riza, S.Sos., M.Si.
KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU TERHADAP PEREKONOMIAN
KELAS : G
KELOMPOK : 6
1. Ella Nur Indriawati (115030113111010)
2. Lilis Susanti (115030113111006)
3. Mela Adi Qurnia (115030101111100)
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
1
FEBRUARI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Stabilitas perekonomian adalah prasyarat dasar untuk
tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui
pertumbuhan yang tinggi dan peningkatan kualitas
pertumbuhan. Stabilitas perekonomian sangat penting
untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku
ekonomi. Stabilitas dan keseimbangan dalam perekonomian
dapat diwujudkan secara menyeluruh dan komprehensif baik
secara perekonomian makro maupun mikro. Stabilitas
ekonomi makro dicapai ketika hubungan variabel ekonomi
makro yang utama berada dalam keseimbangan, misalnya
antara permintaan domestik dengan keluaran nasional,
neraca pembayaran, penerimaan dan pengeluaran fiskal,
serta tabungan dan investasi. Sama halnya dengan
stabilitas perekonomian mikro akan terjadi apabila
terdapat keseimbangan antara permintaan konsumen secara
individual maupun kolektif dengan persediaan barang dan
jasa yang tedapat di pasar, hal ini yang kemudian akan
menentukan kestabilan harga barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat atau konsumen.
Perekonomian yang tidak stabil akan menimbulkan
biaya yang tinggi bagi perekonomian dan masyarakat.
Ketidakstabilan akan menyulitkan masyarakat, baik swasta
2
maupun rumah tangga, untuk menyusun rencana ke depan,
khususnya dalam jangka lebih panjang yang dibutuhkan
bagi investasi. Tingkat investasi yang rendah akan
menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Inflasi dan fluktuasi yang tinggi akan menimbulkan biaya
yang sangat besar kepada masyarakat. Beban terberat
akibat inflasi yang tinggi akan sangat dirasakan oleh
penduduk miskin yang mengalami penurunan daya beli.
Inflasi yang berfluktuasi tinggi menyulitkan pembedaan
pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan
permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan
umum harga-harga yang disebabkan oleh permintaan yang
berlebih.
Padahal pada kondisi riil, Masyarakat sebagai pelaku
maupun konsumen dapat dikatakan sejahtera apabila
tercapai tujuan yakni penyediaan dan pemenuhan kebutuhan
barang dan jasa masyarakat yang seimbang. Ketika terjadi
sebuah keseimbangan antara pemintaan dan ketersediaan
barang dan jasa yang terdapat di pasar mikro maka akan
tercapai pula keseimbangan harga sehingga tercipta pula
keterjangkauan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan
barang dan jasa. Ketika barang dan jasa dapat dijangkau
baik secara kuantitas, kualitas dan harga bagi
mayarakat, maka dapat dikatakan bahwa upaya
penyejahteraan masyarakat melalui stabilisasi
perrekonomian sedehana dapat terwujud atau tercapai.
3
Sebagai upaya untuk mencapai stabilisasi
perekonomian khususnya pada perekonomian sederhana atau
mikro diperlukan berbagai intervensi dari pemerintah
selaku administator. Intervensi dapat dilakukan melalui
pembuatan peratuan dan perundang-undangan terkait
kehidupan perekonomian mikro masyarakat. Selain itu,
perlindungan juga dapat diberikan oleh Pemerintah
melalui penetapan kebijakan misalnya berupa pengendalian
harga melalui penetapan floor price dan ceiling price, maupun
penentuan kebijakan tariff terutama tariff pajak barang
dan jasa.
Tarif merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang
yang diperdagangkan. Jadi kebijakan penetapan tarif
meupakan kebijakan yang dikeluakan oleh pemerintah
terhadap harga barang dan jasa dalam pasar. Efek
kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan atau
penurunan harga barang. Pemerintah yang memegang kendali
atas penentuan harga atau tarif kebutuhan masyarakat
akan barang dan jasa. Penetapan tarif oleh pemerintah
tersebut merupakan salah satu bentuk intevensi dari
pemerintah untuk menciptakan stabilitas dan keseimbangan
harga dalam pasar sederhana. Tarif ditentukan oleh
pemerintah berdasarkan kalkulasi antara biaya poduksi,
distribusi serta pengenaan pajak atas barang atau jasa
tersebut. Tarif yang paling umum adalah tarif atas
barang-barang impor atau yang biasa disebut bea impor.
Penetapan tarif atau bea masuk memiliki arti penting ini
4
antara yaitu untuk menghambat impor barang-barang/ jasa
luar negeri, untuk melindungi barang/ jasa produksi
dalam negeri, untuk menambah pendapatan pemerintah dari
pajak barang dan jasa tersebut serta untuk mendorong
konsumen menggunakan produk domestic karena harga poduk
domestik dapat dikategorikan lebih terjangkau daripada
produk impor yang telah dikenai bea masuk dan jasa
impor.
Terkait kebijakan tarif yang menjadi wewenang
pemerintah, terdapat berbagai macam kebijakan tarif yang
diatur antara lain yaitu Kebijakan Tarif
Barrier merupakan kebijakan dalam Pembebasan bea
masuk/tarif yang rendah antara 0% sampai dengan 5%
untuk barang kebutuhan pokok, Tarif Sedang antara 5% s/d
20% dikenakan untuk barang setengah jadi dan Tarif
tinggi diatas 20%. Kemudian Kebijakan Tarif dan Effek
Tarif Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan
atas barang impor untuk masuk untuk dipakai / dikonsumsi
habis didalam negeri. Dan yang teakhir terdapat Bea
Harga ( Ad Valorm Tarif ) merupakan Pungutan bea masuk
atas barang atas barang impor ditentukan oleh tingkat
prosentase tarif kali harga Bea Spesifik ( Specific
Tarif ). Pungutan bea masuk didasarkan pada ukiran atau
satuan tertentu dari barang impor Bea Campura (Componed
Tarif) Kombinasi antara Bea Spesifik dan Bea Harga.
Salah satu wujud dalam kebijakan tarif barrier yang
dikenakan dengan tarif tinggi yaitu di atas 20% adalah
5
kebijakan penentuan tarif hasil tembakau (barang
setengah jadi) dan tarif rokok (barang jadi).
Pungutan cukai atau hasil tembakau merupakan salah
satu komponen peneimaan pajak dalam negei yang memiliki
ciri khusus dan berbeda dengan pemungutan pajak lainnya
yang dilakukan oleh negara. Ciri khusus pungutan
tersebut adalah adanya sifat atau karakteistik tetentu
pada obyek yang dikenakan cukai dengan tujuan untuk
membatasi peredaran komoditi tertentu di masyaakat atau
lebih dikenal sebagai fungsi regulerend. Fungsi lain dari
pungutan cukai oleh pemerintah adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi fiskal. Pungutan cukai khususnya
cukai okok mempunyai peranan cukup penting sebagai salah
satu sumber penerimaan negara yang selama kurun waktu 5
tahun terakhir potensinya menunjukkan kecenderungan yang
meningkat dengan proporsi penerimaan cukai nasional
berasal dari penerimaan cukai rokok yang mencapai angka
rata-rata 95 %.
Untuk memberikan payung hukum bagi pemerintah guna
melancarkan poses pemungutan bea cukai tekait rokok dan
hasil tembakau lain maka pemerintah mengeluarkan
peraturan secara tertulis dan mempunyai kekuatan hukum
yang diwujudkan pada Pasal 2 UU Cukai Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995
Tentang Cukai mengatur tentang barang-barang tertentu
yang dinyatakan sebagai Barang Kena Cukai dengan sifat
dan karakteristik : Konsumsi perlu dikendalikan,
6
Peredaran perlu diawasi, Pemakaiannya dapat menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan; atau
Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi
keadilan dan keseimbangan. Maka terkait penetapan bea
cukai hasil tembakau dan rokok tersebut mengacu dengan
UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang pajak bea cukai tersebut.
Seperti yang telah banyak diketahui bahwa rokok
merupakan barang yang merugikan kesehatan masyarakat,
namun peredarannya sangat banyak dalam pasar baik dalam
skala makro atau mikro. Tetapi di sisi lain rokok
terbukti sangat besar permintaan serta besar
sumbangannya bagi pendapatan atau pemasukan pemerintah.
Sehingga dengan dualisme keadaan tersebut diperlukan
intervensi secara komprehensif oleh pemerintah untuk
dalam proses kegiatan perekonomian dapat terjadi
kestabilan serta harmonisasi di segala aspek
perekonomian nasional. Berangkat dari berbagai
permasalahan tersebut, maka tema penelitian dengan judul
“Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap
Perekonomian” merasa penting untuk dikaji lebih dalam
yang akan di paparkan dalam bab-bab berikutnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau?
2. Apa saja dampak dari kebijakan tarif cukai hasil
tembakau bagi perekonomian?
1.3 TUJUAN
7
1. Untuk mengetahui dan manganalisis kebijakan tarif
cukai hasil tembakau.
2. Untuk mengetahui dan manganalisis kebijakan tarif
cukai hasil tembakau bagi perekonomian.
1.4 MANFAAT PENULISAN
1. Secara Teoritis
Harapannya agar melalui makalah ini akan mampu
menambah wawasan, dan membantu dalam pengembangan
studi dalam penanganan isu penetapan kebijakan taif
cukai dan pengaruhnya bagi perkonomian
2. Secara Praktis
Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan referensi yang memberikan informasi tambahan
yang berguna.
Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan dan
lebih memahami tentang permasalahan kebijakan
penetapan bea cukai hasil tembakau/rokok
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Marks (2003) mengenai
analisis ekonomi terhadap pengenaan cukai rokok di
8
Indonesia menjelaskan bahwa ada beberapa faktor utama yang
dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan atas cukai rokok
yaitu: pertumbuhan produksi rokok, peningkatan dan HJE
rokok. Kesimpulan yang dihasilkan dari analisis Marks
tersebut adalah bahwa tarif efektif untuk cukai rokok
terutama untuk jenis SKT yang akan memaksimalkan pendapatan
cukai adalah sekitar 21,8% sedangkan untuk keseluruhan
produksi rokok adlah sekitar 36,6%. Hasil studi mengenai
penerimaan cukai dan tarif cukai oleh Isdijoso (2004)
menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan cukai rokok antara
lain dipengaruhi oleh kebijakan cukai rokok, yaitu HJE dan
tarif cukai rokok. Selama periode tahun 1997 sampai 2002,
penerimaaan cukai rokok naik hingga 4,7 kali lipat dan
kenaikan tersebut terutama dipicu oleh kenaikan HJE yang
ditetapkan pemerintah sehingga angka rata-rata melinjak
dari Rp. 73 per batang menjadi Rp. 331 per batang.
Penelitian oleh Surono (2007) Kebijakan cukai
direpresentasikan oleh indikator tariff cukai. Untuk tariff
cukai rokok (hasil tembakau), maka kebijakan yang
diberlakuakn oleh pemerintah mengacu kepada golongan
pabrikan rokok dan jenis rokok yang diproduksi. Artinya,
untuk golongan pabrikan yang lebih tinggi diberlakukan
tariff cukai yang lebih tinggi pula, sedangkan untuk jenis
rokok yang diproduksi secara manual (SKT) maka diberlakukan
tariff cukai yang lebih rendah. Kesimpulan dari analisis
Surono tersebut adalah kebijakan cukai berpengaruh positif
9
dan signifikan pada derajat kepercayaan 99% terhadap
penerimaan cukai.
2.2 Kebijakan Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap
barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini (UU
no. 39 tahun 2007 tentang Cukai). Karakteristik tersebut
yaitu barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya
perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, pemakaiannya
perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Barang-barang sebagaimana dimaksud diatas
dinyatakan sebagai barang kena cukai (BKC).
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai
yang termasuk dalam Barang Kena Cukai (BKC) adalah :
a. Etil Alkohol (Etanol), yaitu barang cair, jernih dan
tidak berwarna, merupakan senyawa organic dengan rumus
kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian
dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi.
b. Minuman yang Mengandung Etil Alkohol (MMEA), yaitu
semua barang cair yang lazim disebut minuman
mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara
peragian, penyulingan atau cara lainnya, yang antara
lain : bir, shandy, anggur, gin, whisky dan yang
sejenisnya.
10
c. Sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari
tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan
cara dilinting untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam
pembuatannya.
Kebijakan cukai merupakan salah satu bagian dari
kebijakan fiskal pemerintah disisi pendapatan. Secara
teoritis kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan pengeluaran dan pendapatan
pemerintah. Menurut Boediono (2002) kebijakan fiskal
pemerintah Indonesia dilaksanakan melalui kebijakan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dalam bnetuk:
1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan;
2. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan
belanja.
Konsep kebijakan di bidang cukai pada hakekatnya
adalah satu langkah-langkah untuk memenuhi berbagai maksud
dan tujuan yang mendasar dari pengenaan cukai terhadap
obyek-obyek cukai tertentu. Adanya trade off antara
kepentingan cukai sebagai salah satu instrument revenue
collector dengan kepentingan lainnya sebagai community protector
haruslah secara bijak di akomodasi oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan. Disamping kedua kepentingan tersebut,
khusus di Indonesia ada satu isu lain yang tak kalah
pentingnya untuk menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan
cukai yaitu kepentingan penciptaan kesempatan kerja.
11
Dalam menetapkan kebijakan cukai, biasanya ada
keseimbangan antara tujuan ekonomis seperti penerimaan
pemerintah dan tujuan melindungi kesehatan masyarakat.
Menurut salah seorang pakar cukai nasional, “faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan cukai sebagai sasaran fiskal
tergantung set of objectives” (Agung, vol. 2, no 1). Maksud dari
pernyataan tersebut bahwa kebijakan cukai sangat
dipengaruhi oleh sasaran strategis yang ingin dicapai,
seperti:
a. Internalize negative externalities, antara lain dengan
mempertimbangkan fungsi produksi dari setiap produsen,
menetapkan perhitungan otomatis dan besarnya tingkat
tariff dengan konsep memaksimumkan profit atau
meminimumkan biaya total
b. Penciptaan lapangan kerja (employment creation)
c. Pembatasan konsumsi barang
d. Berorientasi pada penerimaan negara.
Peran dari kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia
memiliki kontribusi yang sangat dominan yakni rata-rata 95%
dari seluruh penerimaan cukai yang dipungut setiap
tahunnya. Marks (2003) dalam kajiannya mengenai analisis
ekonomi terhadap pengenaan cukai rokok (hasil tembakau) di
Indonesia, mengemukakan beberapa tujuan mendasar yang perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan
cukai rokok (hasil tembakau) di Indonesia yaitu:
1. Tax Revenue Acquistion. Ketika permintaan terhadap hasil
tembakau diestimasikan bersifat relatif inelastis, hal ini
12
akan menunjukkan bahwa pengenaan tariff cukai yang
lebih tinggi seharusnya secara umum akan menugktkan
penerimaan cukai. Dalam kondisi ini pemerintah
Indonesia dituntut untuk mendapatkan tambahan atas
penerimaan cukai guna menjaga stabilitas fiskal dan
pengembangan pengembangan pengeluaran.
2. Enhancement of public health. Kebiasaan merokok
berdasarkan penelitian memiliki efek yang serius
terhadap kesehatan. Kerangka kerja terbaru dari
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dimana
Indonesia menjadi salah satu negara yang
meratifikasinya, menyarankan agar pemerintah memasukkan
isu kesehatan dalam setiap pengambilan kebijakan cukai
atas rokok.
3. Employment Generation. Pabrik rokok kretek (SKT) merupakan
perusahaan yang proses produksinya berorientasi pada
pekerja (labour intensive) yang memperkerjakan ratusan ribu
buruh, terutama wanita dan kebanyakan berlokasi di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Pertimbangan atas kondisi ini
telah menjadi dasar bagi pengenaan tarif yang lebih
rendah terhadap produk rokok kretek tangan (SKT)
dibanding dengan produk rokok yang dikerjakan dengan
tenaga mesin.
4. Promotion of Small Enterprise. Untuk memberikan peningkatan
bagi perusahaan kecil maka terhadap perusahaan rokok
golongan kecil ini dikenakan cukai yang rendah, namun
adanya perbedaan tarif cukai antara perusahaan rokok
13
ini telah memberikan perhatian yang serius terhadap
masalah efisiensi dan transparansi.
5. Avoidance of Regressivity in the tax system. Sistem pungutan cukai
yang bersifat regresif akan mendorong konsumsi atas
obyek relatif inelastis terhadap harga. Oleh Karena itu
pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menghindari
sistem pajak yang bersifat regresif tersebut.
Dari latar belakang ini, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan cukai di Indonesia dibuat untuk mengendalikan
konsumsi rokok. Oleh karena itu, sistem cukai tembakau dan
tingkat cukai yang berlaku haruslah mampu untuk
mengendalikan konsumsi rokok. Tujuan cukai tembakau adalah
meningkatkan penerimaan negara dengan tetap memperhatikan
aspek tenaga kerja, pengembangan industri, dan kesehatan
masyarakat. Kebijakan cukai saat ini adalah penetapan tarif
secara berjenjang, dengan penghitungan cukai sistem ad-
valorum. Dalam praktiknya, PMK Nomor 78/PMK.011/2013
merupakan pengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor
1911PMK.04/2010 yang mengatur mengenai ketentuan hubungan
keterkaitan di bidang cukai dengan beberapa perubahan
pokok-pokok kebijakan dan selanjutnya istilah hubungan
istimewa diganti menjadi hubungan keterkaitan dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas
Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
serta Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pokok
14
kebijakan utama yang diatur dalam PMK yang baru tersebut
adalah mengenai kriteria hubungan keterkaitan, di mana
pengusaha pabrik hasil tembakau ditetapkan memiliki
hubungan keterkaitan dengan pengusaha pabrik lainnya
apabila memiliki kaitan dengan aspek permodalan dan
manajemen kunci.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Salah satu fungsi dari kebijakan pengenaan tarif cukai
hasil tembakau adalah sebagai instrumen pengendalian konsumsi
hasil tembakau. Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat
pemakaian barang-barang yang dikenakan masuk ke dalam
karakteristik undang-undang di atas guna untuk mewujudkan
kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan (UU 39 tahun 2007
tentang Cukai). Tuntutan masyarakat secara nasional maupuninternasional menghendaki adanya kepedulian pemerintah yang
lebih tinggi terhadap aspek kesehatan masyarakat. Salah satu
tuntutan ini berasal dari forum Internasional yaitu rekomendasi
yang dikeluarkan dalam Framework Convention on Tobacco control (FCTC)
pada tahun 2003 dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2005.
Meskipun hingga saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi
konvensi yang digagas oleh World Health Organization tersebut, namun
15
kebijakan pemerintah terkait cukai hasil tembakau juga telah
mengadopsi rekomendasi FCTC tersebut.
Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan
penyumbang cukai terbesar
di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi
Indonesia. Cukai Industri Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4
triliun pada tahun 2009, dana yang begitu besar ini jauh
lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta
pajak jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Indonesia menyumbang 2,1%
dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia. Hampir
seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi
rokok domestic dan produk-produk tembakau lainnya.
Penerimaan negara melalui Industri Hasil Tembakau diterima
dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil
Tembakau yang dihasilkan setiap perusahaan.
(repository.usu.ac.id)
Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66
sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal
ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam
memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia.
Industri hasil rokok ternyata tergolong industry yang
memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang
tidak terlalu tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan
sektor industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto secara
nasional adalah Rp. 46,195 triliun.
16
Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor
tembakau dan industri rokok tidak dimasukkan dalam
perekonomian nasional adalah Rp.46,195 triliun. (LPM UNEJ
dalam repository.usu.ac.id)
Sistem tarif cukai hasil tembakau yang
diimplementasikan di Indonesia pada dasarnya mensinergikan
beberapa kepentingan yang berbeda. Hal ini lah yang
membuat, struktur tarif cukai hasil tembakau menjadi agak
kompleks dan tidak sederhana. Kondisi seperti ini tidaklah
cocok dengan prinsip administrasi perpajakan yang dituntut
untuk sederhana. Kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2013
juga telah mengarah pada penyederhanaan struktur tarif
cukai, walupun pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan
moderat.
Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang
Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila dibandingkan dengan
Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk
mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya
saing di pasar dalam negeri dan global dengan memperhatikan
aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen
Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan
Republik Indonesia mengatakan bahwa :
”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke
arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan
simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang
dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan
17
cukai tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan
yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif
spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap
mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual
eceran. Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini
dilakukan mengingat varian harga jugal eceran yang masih
berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi
sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara
langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Namun
demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan
dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi.
Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk
mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi
hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada
Sigaret Putih Mesin diambil dalam rangka menghapus konversi
atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret Kretek
Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk
sigaret adalah Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp.
20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesarRp. 20,-; Sigaret
Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II
sebesar Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-;
Sigaret Kretek Tangan II sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret
Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27
Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan
mengarah kepada kebijakan single spesifik atau dapat juga
disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan tarif cukai
tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan
18
Industri Hasil Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin,
Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan
(SKT).
Sumber : PMK 179/PMK.011/2012 dalam Surono : 2013
Beberapa hal pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun
2013 sebagai berikut:
19
a. Mempertegas sistem tarif cukai hasil tembakau, yaitu
penerapan tarif cukai full spesifik dalam rangka
memudahkan pemungutan dan pengawasan barang kena cukai
Kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2013 semakin
mengukuhkan penerapan sistem tarif cukai spesifik yang
mengarah pada penyederhanaan struktur tarif cukai.
Sistem tarif cukai spesifik secara teoritis akan
mengurangi disparitas harga antara harga jual eceran
penetapan pemerintah dengan harga transaksi pasar.
Adanya disperitas inilah yang menjadi faktor pemicu
upaya-upaya pelarian cukai baik yang sifatnya pemalsuan
pita cukai, penggunaan pita cukai yang bukan haknya
bahkan tanpa pita cukai sama sekali. Dengan penerapan
sistem spesifik, maka intervensi pemerintah terhadap
cukai hasil tembakau tidak lagi dilakukan terhadap harga
jual eceran namun lebih difokuskan pada intervensi
tarif. Harga jual secara fleksibilitas dapat
diimplementasikan oleh pengusaha hasil tembakau sesuai
dengan strategi pemasaran masing-masing. Hal inilah yang
memberikan dampak pada penurunan disperitas harga di
tingkat pasar. Efek multipliernya tentu sajaakan
berimbas pada semakin berkurangnya upaya-upaya
pelanggaran cukai yang diakibatkan oleh adanya
disperitas harga tersebut.
b. Mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau j.o
PMK Nomor 167/PMK.011/2011
20
Pada tahun 2012 para pengusaha hasil tembakau yang
tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh
Indonesia (Formasi) mengajukan gugatan uji materi
terhadap pemberlakuan PMK 167/PMK.011/2011 tentang tarif
cukai hasil tembakau. Salah satu hal pokok yang digugat
adalah besaran tarif cukai yang diimplementasikan dalam
PMK tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Undang-
undang Cukai karena telah melebihi angka tarif maksimum
57% dari harga jual eceran. Putusan Mahkamah Agung pada
akhirnya menerima gugatan uji materi dari Formasi
tersebut. Sebagai konsekuensinya, pemerintah diharuskan
untuk segera mencabut pemberlakuan PMK 167/PMK.011/2011.
Menurut perhitungan waktu paling lambat bagi pemerintah
untuk menjalankan putusan MA atas uji materi adalah
tanggal 24 Desember 2012. Hal inilah yang membuat
pemberlakuan PMK 179/PMK.011/2012 menjadi agak unik dan
juga cukup kompleks. PMK 179 mulai berlaku sejak tanggal
25 Desember 2012. Suatu pemberlakuan peraturan yang
tidak lazim ditambah lagi bahwa tanggal 25 Desember
merupakan hari libur
c. Pemberlakuan tarif cukai rata-rata jenis hasil tembakau
untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih
Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami
kenaikan secara moderat berkisar mulai Rp5,00 s.d.
Rp20,00 per batang atau secara rata-rata dalam kisaran
8,5%.
21
Kebijakan menaikan tarif cukai terhadap hasil tembakau
yang tergolong primadona penghasil cukai (SKM, SPM dan
SKT) adalah suatu keharusan apabila pemerintah ingin
memenuhi target penerimaan cukai tahunan sebesar 88,02
trilyun rupiah. Apalagi bila mengingat asumsi tingkat
pertumbuhan produksi rokok yang akan sedikit melambat di
tahun 20013 sejalan dengan pemberlakuan PP nomor 109
tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Akan
tetapi meskipun terhadap seluruh produk primadona
tersebut dinaikan tarif cukainya, pemerintah tetap
memperhitungkan kebijakan keberpihakan pada industri
yang menyerap banyak tenaga kerja. Beban tarif cukai
hasil tembakau yang dibuat dengan tangan (khususnya SKT)
masih lebih rendah dibandingkan yang dibuat dengan
mesin. Kemudian untuk tarif cukai hasil tembakau untuk
jenis Tembakau Iris (TIS), Klobot (KLB), dan Kelembak
Menyan (KLM) dinaikkan dalam kisaran Rp1,00 s.d. Rp4,00
per batang/gram. Untuk tarif cukai hasil tembakau yang
diimpor ditetapkan sama dengan tarif cukai
tertinggiuntuk masing-masing jenis dan golongan hasil
tembakau yang diproduksi di dalam negeri. Disamping
menaikan tarif cukai beberapa jenis produk hasil
tembakau, kebijakan cukai kali ini juga menaikkan
batasan HJE per batang dan gram untuk 10 (sepuluh) layer
tarif cukai. Sejak pemberlakuan tarif spesifik tahun
2006, tercatat baru tahun ini saja pemerintah melakukan
22
penyesuaian terhadap HJE. Menurut analisa penulis, hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari tarif
cukai agar tidak melebihi batasan tertinggi 57%
sebagaimana putusan uji materi MA. Untuk memenuhi aspek
penyederhanaan administrasi, struktur tarif cukai 2013
juga telah dilakukan penyederhanaan. Beberapa jenis
rokok yang semula terdiri atas tiga layer batasan HJE
kini disederhanakan dengan menggabungkan SKM golongan I
layer 3 digabung, sehingga jenis SKM golongan I menjadi
2 layer. Kemudian, SPM golongan II layer 3 digabung,
sehingga jenis SPM golongan II menjadi 2 layer
d. Kebijakan Cukai hasil tembakau 2013 dilakukan dalam
rangka pengendalian konsumsi dan kepentingan penerimaan
negara
Permasalahan aspek kesehatan yang disebakan oleh
konsumsi hasil tembakau sudah menjadi wacana umum.
Kampanye mengenai peringatan dampak kesehatan akibat
merokok sudah dilakukan dengan berbagai cara dan upaya,
baik oleh Kementerian Kesehatan maupun kelompok
masyarakat yang peduli dengan hal ini. Sebenarnya secara
riil sudah ada bentuk pembatasan yang dilakukan
pemerintah terhadap akses produk hasil tembakau
tersebut, antara lain dengan kebijakan: batasan jumlah
batang sigaret dalam kemasan eceran, pencantuman label
peringatan bahaya merokok, persyarataan perizinan yang
semakin diperberat, dan sebagainya. Akan tetapi hal-hal
tersebut dianggap belum cukup efektif untuk
23
mengendalikan konsumsi hasil tembakau. Terakhir, upaya
untukmengendalikan konsumsi hasil tembakau semakin
menguat dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor
109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung
Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Kebijakan menaikan tarif cukai hasil tembakau
adalah salah satu langkah efektif untuk mendukung upaya
pengendalian konsumsi hasil tembakau. Secara teoritis,
apabila tarif cukai hasil tembakau ditingkatkan maka
asumsinya konsumen akan mengurangi konsumsinya terhadap
hasil tembakau. Disisi lain, kebijakan menaikan tarif
cukai hasil tembakau dalam jangka pendek akan
meningkatkan penerimaan negara. Data statistik
membuktikan bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu, angka
penerimaan cukai cenderung meningkat secara signifikan.
Sederhanya saja, tahun 2002 angka penerimaan cukai baru
mencapai 23,34 trllyun rupiah sedangkan tahun 2012 yang
lalu angka penerimaan cukai sudah mencapai 84,67 trilyun
rupiah.
Meskipun demikian, efek peningkatan penerimaan
cukai sebagai akibat kebijakan menaikkan tarif cukai
menurut teori Laffer akan berhenti pada titik tarif
tertentu (peak of tariff). Setelah tarif puncak tersebut,
menurut Laffer, penerimaan justru akan menurun. Menurut
asumsi penulis, sinergi antara kebijakan pengendalian
hasil tembakau dengan kebijakan peningkatan penerimaan
cukai akan berhenti pada tingkat tarif peak tersebut.
24
Pada akhirnya pemerintah harus memilih, apakah cukai
akan dijadikan sebagai instrumen pengendalian konsumsi
ataukah masih akan terus dipakai sebagai instrumen untuk
meningkatkan penerimaan Negara.
(Surono : 2013)
3.2 Dampak Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau Bagi
Perekonomian
A. Dampak Positif
1. Menghemat belanja rokok untuk keluarga miskin
Pemerintah Indonesia akan banyak diuntungkan, jika
rokok benar-benar dilarang beredar secara umum. Dengan
menaikkan cukai rokok sehingga harga menjadi lebih
tinggi, tentu akan membuat harga rokok menjadi tidak
terjangkau.
Keluarga miskin yang rata-rata menjadi konsumen 11,7
%, lebih besar dari keluarga kaya yang hanya 7%, tentu
akan tersimpan uangnya. Mereka tidak akan lagi belanja
rokok, dan lebih fokus membangun perekonomian
keluarga. Jika pun nekad belanja rokok, paling-paling
hanya sekali-sekali saja. Berdasarkan hasil survey
yang dilakukan oleh LD-FEUI pada tahun 2007 (Nova: 2010),
disebutkan, pengeluaran untuk rokok pada keluarga
miskin menempati urutan kedua 11,7 %, setelah
pengeluaran beras sebanyak 21,7 %. Jika keluarga
miskin lebih mengutamakan belanja rokok daripada
25
kebutuhan pokok lainnya, tentu Indonesia makin tidak
sejahtera.
2. Menambah penerimaan dalam negeri
Perkembangan realisasi cukai hasil tembakau terlihat
mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun dan perbandingannya dengan penerimaan cukai
lainnya hampir mencapai tingkat rata-rata 94 % per
tahun, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Sumber : Hardiwinoto
Pada TA 1990/1991 sumbangan cukai hasil tembakau
terhadap cukai secara keseluruhan adalah sebesar 95,2
% kemudian setiap tahunnya menunjukkan angka
peningkatan (kecuali TA 1991/1992), dan pada TA
1999/2000 realisasi penerimaan cukai hasil tembakau
mencapai jumlah Rp.10.113,3 miliar atau sebesar 97,26
%. Sementara itu, jika dilihat dari perkembangan
realisasinya penerimaan cukai hasil tembakau dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi
peningkatan sebesar 590 % atau hampir mencapai 6
26
(enam) kali lipat, yaitu dari Rp. 1.713,8 miliar pada
TA 1990/1991 menjadi Rp. 10.113,3 miliar pada TA
1999/2000.
Sumber : Hardiwinoto
Per 13 September 2013 pendapatan cukai mencapai Rp76,3
triliun atau 72,89% dari target APBN Perubahan 2013
sebesar Rp104,7 triliun. Perolehan cukai tersebut
seiring dengan kenaikan tarif cukai hasil tembakau
(HT) berdasarkan PMK 179/PMK.011/2012. Berdasar
peraturan itu rata-rata kenaikan cukai rokok mencapai
sebesar 8,5%, yang mulai berlaku 25 Desember 2012.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun
2012 maka terjadi kenaikan penerimaan cukai sebesar
11,73%. Jika dirinci, komposisi penerimaan cukai ini
dikontribusi dari Cukai Hasil Tembakau sebesar 96
persen, Cukai MMEA 3,84% dan Cukai Etil Alkohol (EA)
0,14%.( www.bisnis-jabar.com)
3. Mengendalikan konsumsi rokok
Di satu sisi, keputusan Pemerintah menaikkan cukai
tembakau, akan menaikkan penerimaan negara menjadi
Rp57 triliun di tahun 2010. Di samping itu, juga dapat
mengendalikan konsumsi rokok dan dana dari keuntungan
27
itu, bisa digunakan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Pemerintah sebenarnya bukan
tidak berbuat, untuk menghalangi pertumbuhan rokok.
Hal itu dibuktikan dengan adanya UU no.36 tahun 2009
tentang kesehatan. Dalam UU ini dinyatakan, rokok
masuk kategori zat adiktif, yaitu zat yang dapat
menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan
ketergantungan psikologis yang panjang bagi
pemakainya. Selama ini, efek dari akibat merokok yang
dicantumkan di setiap kemasan rokok, tidak begitu
berpengaruh bagi sebagian masyarakat. Mereka
menganggap peringatan itu angin lalu, sehingga tidak
apa-apa kalau dilanggar.
4. Menambah pendapatan daerah penghasil Tembakau
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
60/Pmk.07/2008 Tentang Dana Alokasi Cukai Hasil
Tembakau Tahun Anggaran 2008, Dana Alokasi Cukai Hasil
Tembakau Tahun Anggaran 2008 yang dialokasikan kepada
daerah penghasil cukai hasil tembakau ditetapkan
sebesar Rp200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah),
terdiri dari:
a. provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
sebesar Rp. 1.426.990.000 (satu miliar empat ratus
dua puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh
ribu rupiah)
b. provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
sebesar Rp. 9.477.790.000 (sembilan miliar empat
28
ratus tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus sembilan
puluh ribu rupiah)
c. provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
sebesar Rp. 52.195.765.000 (lima puluh dua miliar
seratus sembilan puluh lima juta tujuh ratus enam
puluh lima ribu rupiah)
d. provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebesar Rp.1.049.600.000 (satu
miliar empat puluh sembilan juta enam ratus ribu
rupiah) dan
e. provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
sebesar Rp. 135.849.855.000 (seratus tiga puluh
lima miliar delapan ratus empat puluh sembilan
juta delapan ratus lima puluh lima ribu rupiah).
Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran
2008 yang dialokasikan kepada daerah penghasil
cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 digunakan untuk melaksanakan penugasan dari
Pemerintah sekurang-kurangnya untuk mengurangi
cukai palsu (cukai ilegal) sosialisasi peraturan di
bidang cukai dan pemetaan industri rokok.
5. DBH-CHT sebagai Upaya Pemerataan Kemampuan Keuangan
antar Daerah
Penjelasan Ps.66A (Ayat 1) UU. No.39/2007 bahwa DBH
Cukai merupakan bagian dari kapasitas fiskal;
perhitungannya selalu disesuaikan dengan formula DAU.
Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber
29
dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Jadi DAU ditujukan oleh pemerintah
pusat untuk melakukan ekualisasi (equallity)
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Kapasitas
fiskal Daerah (Fiscal capacity) merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. Alokasi
Dasar (AD) dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai
Negeri Sipil daerah. Seperti dijelaskan diatas
DBH-CHT merupakan bagian dari kapasitas fiskal daerah.
Daerah provinsi, kabupaten/kota yang mendapatkan
alokasi dana CHT TA 2009, 2010, dan 2011 dalam
bentuk DBH-CHT maka daerah tersebut sudah punya
tambahan kapasitas fiskal (kapasitas penerimaan
daerah). Menegaskan kembali Penjelasan Ps.66A (Ayat
1) UU.No.39/2007 tentang cukai bahwa DBH-CHT sebagai
bagian dari kapasitas fiskal; maka perhitungannya disesuaikan
dengan formula DAU (yang setiap tahun ditetapkan dalam APBN).
Jadi penerimaan daerah atas alokasi dana CHT TA
2009, 2010, 2011; dalam bentuk DBH tersebut; menjadi
bagian dari sumber pendanaan daerah dengan perhitungan yang
disesuaikan dengan formula DAU.
B. Dampak Negatif
1. Mematikan pabrik rokok/industri hasil tembakau
skala kecil
30
Gabungan perserikatan pabrik rokok Indonesia
(Gappri) menyebutkan bahwa pada tahun 2007 terbit
5.000 izin pabrik rokok, sekarang tinggal 600 izin
yang diterbitkan. Sementara jumlah dan yang aktif
hanya 100 pabrik (Hasan dalam Purwanto, 2013).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang
dikompilasi oleh asosiasi industri, jumlah
perusahaan rokok di Indonesia tahun 2007 mencapai
5.000 unit, kemudian turun menjadi 1.500 unit di
2010. Data sumber lainnya menyebutkan Jumlah
perusahaan rokok di Indonesia pada tahun 2012
diperkirakan turun 17% menjadi 1.000 unit
(financialtoday.com dalam Purwanto, 2013).
2. Maraknya penjualan rokok illegal
Peningkatan tariff cukai tembakau mempengaruhi
pabrik rokok skala kecil yang tak mampu bertahan
sehingga gulung tikar. Banyak dari perusahaan
menjual rokok secara ilegal. Dikategorikan ilegal
meski memiliki izin operasi tapi proses penjualan
mereka banyak yang tak memiliki pita cukai.
Padahal, pemerintah menetapkan, penjualan rokok
baru dianggap legal bila memiliki pita cukai.
Berdasarkan data Gaprindo, jumlah pabrik rokok pada
2000 masih sekitar 600 pabrik skala menengah kecil.
Selang tiga tahun kemudian, Pada 2003, jumlah
pabrik mencapai 1.823 unit dan naik jadi 3.961
perusahaan pada 2006. Hingga 2007, jumlahnya telah
31
menjadi 4.793 perusahaan. Skala produksi dari
perusahaan ini mulai dari kecil hingga menengah.
Sedangkan pada 2008, total pabrik rokok mencapai
4.900 – 5.000 perusahaan (Hardiwinoto). Menjamurnya
industri yang tinggi inilah yang mendasari
pemerintah menaikkan cukai rokok. Negara
berkomitmen akan terus memerangi peredaran cukai
ilegal dan memaksa pelaku industri rokok ilegal
menutup usahanya karena pemakaian pita cukai palsu
akan merugikan Negara.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau bervisi untuk
mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan
berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan
memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh
Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Penerapan
cukai tembakau mengarah kepada kebijakan single spesifik
atau single tariff, yaitu kebijakan tarif cukai tembakau
yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan
Industri Hasil Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin,
32
Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan
(SKT). Pemberlakuan tarif cukai rata-rata jenis hasil
tembakau untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM),
Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan
(SKT) mengalami kenaikan secara moderat berkisar mulai
Rp5,00 s.d. Rp20,00 per batang atau secara rata-rata
dalam kisaran 8,5%.
Salah satu fungsi dari kebijakan pengenaan tarif cukai
hasil tembakau adalah sebagai instrumen pengendalian
konsumsi hasil tembakau. Tujuan dari cukai adalah
untuk menghambat pemakaian barang-barang yang
dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang
di atas guna untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan,
dan keseimbangan (UU 39 tahun 2007 tentang Cukai).
Disamping itu, tujuan lain bagi pemerintah menaikan
kebijakan tarif cukai terhadap hasil tembakau yang
tergolong primadona penghasil cukai (SKM, SPM dan SKT)
yaitu apabila pemerintah ingin memenuhi target
penerimaan cukai tahunan sebesar 88,02 trilyun rupiah.
Akan tetapi meskipun terhadap seluruh produk primadona
tersebut dinaikan tarif cukainya, pemerintah tetap
memperhitungkan kebijakan keberpihakan pada industri
yang menyerap banyak tenaga kerja. Dengan kata lain
bahwa tujuan penetapan kebijakan menaikan tarif cukai
hasil tembakau adalah salah satu langkah efektif untuk
mendukung upaya pengendalian konsumsi hasil tembakau
33
serta peningkatan pendapatan pemerintah melalui
peningkatan pajak yang dikenakan.
2. Dampak Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau Bagi
Perekonomian antara lain terdiri dari Dampak Positif
dan negatif. Dampak positif meliputi pengeluaran
keluarga miskin untuk rokok berkurang, Menambah
penerimaan dalam negeri, Mengendalikan konsumsi rokok,
Menambah pendapatan daerah penghasil Tembakau serta
DBH-CHT sebagai Upaya Pemerataan Kemampuan Keuangan
antar Daerah.
Sedangkan Dampak Negatifnya meliputi Mematikan pabrik
rokok/industri hasil tembakau skala kecil dan semakin
Maraknya penjualan rokok illegal.
4.2 Saran
1. Dihaapkan pemerintah dalam membuat kebijakan penetapan
tarif cukai dengan mempertimbangkan pertumbuhan
produksi alamiah dan restrukturisasi Industri Hasil
Tembakau.
2. Kebijakan penaikan taif cukai hasil tembakau sebaiknya
diberlakukan apabila produksi hasil tembakau berada
pada batas maksimum produksi yang ditetapkan
pemerintah.
3. Kesepakatan prinsip para pemangku kepentingan (stake
holder) dan pengambil kebijakan atau pemerintah
sebaiknya dilengkapi dengan pembuatan road map jangka
34
panjang serta kebijakan atau sasaran cukai jangka
pendek.
4. Pemerintah akan merumuskan sasaran cukai sebaiknya
dengan konsultasi lebih dahulu dengan asosiasi
industri rokok. Sehingga kebijakan tersebut tidak akan
merugikan kaum buruh dan juga keberlangsungan industri
tersebut.
5. Kebijakan penaikan tarif cukai yang diberikan
sebaiknya disosialisasikan juga kepada masyarakat
sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak merasa
terbebani dan strategi pengendalian penggunaan rokok
oleh masyarakat demi kesehatan dapat tercapai dengan
efektif.
6. Pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CKT) untuk pemerataan keuangan antar daerah belum
merata sehingga perlu dibentuk suatu lembaga
pengawasan alokasi DBH CKT tiap daerah penghasil
tembakau.
DAFTAR PUSTAKA
Surono. 2013. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2013 : Sinergi Dalam
Roadmap Industri Hasil Tembakau. Artikel ilmiah. Widyaiswara
Pusdiklat Bea dan Cukai. Online
35
(http://www.bppk.depkeu.go.id/webbc/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=609&Itemid=).
Diakses 20 Februari 2014.
Nova, Hendri. 2010. Dampak Positif Kenaikan Cukai Rokok.
Artikel Kesehatan. Online
(http://hendrinova.blogspot.com/2010/05/dampak-positif-
kenaikan-cukai-rokok.html). Diakses 20 Februari 2014.
Purwanto, Ari. 24 Mei 2013. Anomaly Kebijakan Cukai
Tembakau. Artikel online
(http://m.aktual.co/voiceoffreedom/220719anomali-
kebijakan-cukai-tembakau). Diakses 22 Februari 2014.
Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai.
www.bisnis-jabar.com . 2014. Cukai Rokok 2014 Tak Naik. Artikel
Online
(http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/cukai-
rokok-2014-tak-naik). Diakses 23 Februari 2014.
repository.usu.ac.id. tanpa tahun. Chapter 1_2.pdf. Jurnal
Online
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20739/4
/Chapter%20I.pdf). Diakses 22 Februari 2014.
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan
36
Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau.
Hardiwinoto. Tanpa Tahun. Analisis Keseimbangan Antara Biaya Akibat
Risiko Merokok Dan Pendapatan Cukai Rokok Untuk Kesejahteraan
Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Semarang. Jurnal Ekonomi. Online
(Http://Jurnal.Unimus.Ac.Id/Index.Php/Vadded/Article/Vie
w/691/744). Diakses 20 Februari 2014.
Haryono, Imam. Road Map 2007–2020 Industri Hasil Tembakau Dan
Kebijakan Cukai. Direktorat Minuman dan Tembakau,
Departemen Perindustrian
Sitompul, Yulius Amos Taruli Ferdinand. 2008. Analisis
Kebijakan Cukai. Tesis. Jakarta, Universitas Indonesia
Surono. 2007. Pengaruh Kebijakan Cukai, Fasilitas Penundaan Dan Tingkat
Produksi Terhadap Pungutan Cukai, Tesis. Medan, Universitas
Sumatera Utara
________. Tobacco Initiative, Peningkatan Cukai Dan Harga Rokok.
Paper.
Salim, Agus. 2013. Pemerintah terbitkan kebijakan cukai hasil
tembakau. (online)
(http://nasruddindjoko.blogdetik.com/2013/11/18/upaya-
optimalisasi-penerimaan-cukai-produk-hasil-tembakau/)
diakses 21 Februari 2014.
37