KIMIA ORGANIK KEL 11

37
MAKALAH KIMIA ORGANIK II SABUN, DETERGEN CAIR, BIOETANOL, PENGUJIAN ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL DAN ANGKA POLENSKE Disusun Oleh : Ainoel Yaqin 1314012 Andri Heri 1314017 Ninis Rahayu 1314021 Ardi Riyanto 1314029 Khusnul Chotimah 1314066 i

Transcript of KIMIA ORGANIK KEL 11

MAKALAH KIMIA ORGANIK II

SABUN, DETERGEN CAIR, BIOETANOL, PENGUJIAN

ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL

DAN ANGKA POLENSKE

Disusun Oleh :

Ainoel Yaqin 1314012

Andri Heri 1314017

Ninis Rahayu 1314021

Ardi Riyanto 1314029

Khusnul Chotimah 1314066

i

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG

2014

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul SABUN, DETERGEN CAIR, BIOETANOL, PENGUJIAN

ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL DAN ANGKA POLENSKE dengan

baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam

Mata Kuliah Kimia Organik II.

Tersusunnya makalah ini karena ada dorongan dan

bantuan yang diberikan oleh banyak pihak, oleh karena

itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-

teman mahasiswa ITN Malang yang telah meluangkan

waktunya untuk membantu terselesainya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat

banyak kekurangannya, oleh karena itu kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca.

ii

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat

bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya Mahasiswa

Jurusan Teknik Kimia ITN Malang.

Malang, Oktober 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................

..................................................ii

DAFTAR ISI..........................................

.................................................iii

BAB I SABUN

iii

1.1..........................................Sejarah

................................................

...............................................1

1.2................................Klasifikasi Sabun

................................................

...............................................4

1.3....................Sifat Kimia dan Fisika Sabun

................................................

...............................................4

1.4...........................Proses Pembuatan Sabun

................................................

...............................................5

BAB II DETERGEN CAIR

2.1..........................................Sejarah

................................................

...............................................6

2.2........................Klasifikasi Deterjen Cair

................................................

...............................................7

2.3.............Sifat Kimia dan Fisika Deterjen Cair

................................................

...............................................7

2.4...................Proses Pembuatan Detergen Cair

...............................................8

BAB III PENGUJIAN ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL DAN

ANGKA POLENSKE

iv

3.1...........................Pengujian Angka Asetil

................................................

...............................................9

3.2........................Pengujian Reichert Meissl

................................................

..............................................10

3.3.........................Pengujian Angka Polenske

................................................

..............................................12

BAB IV BIOETANOL

4.1..........................................Sejarah

................................................

..............................................13

4.2...........................Sifat Fisika Dan Kimia

................................................

..............................................14

4.3.................................Standar Kualitas

................................................

..............................................16

4.4........................Proses Pembuatan Biodisel

................................................

..............................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................

..................................................21

v

BAB I

SABUN

1.1. Sejarah

Berdasarkan ukiran yang terdapat di bejana gerabah

peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam

sabun diduga telah dimanfaatkan sejak 2.800 SM. Dalam

Papirus Eber, dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM,

masyarakat Mesir Kuno menggunakan kombinasi minyak hewani

atau nabati dengan garam alkali –dikenal dengan istilah

saponifikasi–untuk menyembuhkan penyakit kulit dan

membersihkan badan.

Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo”

yang artinya soap atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah

gunung –ada juga yang menyebutnya bukit– dalam legenda

Romawi Kuno, yang biasa menjadi tempat pemotongan hewan

kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak hewan

itu tercampur abu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai

Tiber di bawah gunung. Tak diduga, saat masyarakat sekitar

sungai mencuci, mereka mendapati air mengeluarkan busa dan

pakaian mereka menjadi lebih bersih.

Pada abad ke-1 masyarakat Romawi Kuno melakukan

saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang

terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan

lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni

(fullones) untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi baru

1

pada abad ke-2 dokter Galen (130-200 SM) menyebutkan

penggunaan sabun untuk membersihkan tubuh.

Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya

Islamic Technology: An Illustrated History, menyebut Abu

Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia,

sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab

membuat sabun dari minyak nabati atau minyak atsiri,

misalnya minyak thymus. Sentra industri sabun berada di

Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Sabunnya sudah

berbentuk padat dan cair.

Masyarakat di Eropa Utara, pada abad pertengahan,

baru mengenal sabun cair tapi baunya kurang enak. Pada abad

ke-13 jenis sabun keras mulai diekspor ke Eropa. Teknologi

pembuatan sabun juga ditransfer ke Italia dan Prancis

selatan selama Renaissance. Di Inggris, seperti ditulis

John A. Hunt dalam “A Short History Soap”, dimuat di

Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company of

Soapmakers untuk tahun 1562-1642 menunjukkan lebih dari 180

orang terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun mendapat

tempat yang istimewa di Inggris. Pada 1622 Raja James

memberikan hak monopoli kepada seorang pembuat sabun dengan

membayar imbalan $100.000 setahun.

Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih menjadi

barang asing bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah.

Menurut Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies′ Room

Reader: The Ultimate Women′s Trivia Book, Di Jerman,

Duchess of Juelich merasakan sensasi luar biasa ketika

2

mendapat hadiah sekotak sabun dari sahabatnya pada 1549.

Pada 1672, seorang Jerman bernama A. Leo harus menuliskan

keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan

bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia,

Lady von Schleinitz.

Berbeda dengan Inggris, penguasa Perancis Raja Louis

XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang raja

pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga

orang pembuat sabun karena membuat kulit sang raja iritasi.

Takut ditimpa hukuman yang sama, beberapa pembuat sabun

berusaha lebih serius untuk menciptakan sabun berkualitas

baik.

Revolusi industri yang berkembang di negeri-negeri

Eropa pada abad ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di

beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi karena

tergolong barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak

khusus telah menghalangi pembangungan industri sabun” tulis

Patricia E. Malcolmson dalam English Laundresses: a Social

History, 1850-1930. Pada 1852 Inggris dan Prancis

menghilangkan pajak sabun untuk meningkatkan standar hidup

bersih dan sehat masyarakat. Sabun pun menjadi komoditas

sehari-hari yang bisa digunakan masyarakat biasa.

Sebelum mengenal sabun, masyarakat di Nusantara

biasanya mandi dengan menggosokan lempeng-lempeng batu

halus untuk menyingkirkan kotoran di tubuh. Agar kulit

harum dan halus, mereka menaburkan kuntum mawar, melati,

kenanga, sirih, dan minyak zaitun dalam wadah penampungan

3

air. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga 1980-an,

terutama di desa-desa. Bahkan saat ini, sekalipun

menggunakan sabun, ada yang merasa belum bersih tanpa

menggosokkan batu ketika mandi.

Salah satu perusahaan yang memperkenalkan sabun

produksi industri adalah Unilever, merger antara perusahaan

asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda,

Margarine Urine. Produk sabun Unilever adalah Lifebuoy,

Lux, Sweetmay, dan Capitol. Unilever membuka anak

perusahaan di Jakarta pada 1931. Pesaingnya, P&G, produksi

perusahaan Jerman, Dralle yang pada 1940-an berubah nama

menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.

Saat Perang Pasifik, Unilever diambil-alih militer

Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun jadi

barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk

mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin

operasi kepada 94 perusahaan sabun: 11 untuk orang

Indonesia, dan selebihnya Tionghoa. Tak satu pun izin untuk

orang Eropa. Selain itu, militer Jepang memberikan latihan

cara membuat sabun agar rakyat bisa hidup mandiri. Latihan

itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di

Jalan Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari,

rakyat yang telah mahir membuat sabun biasanya menjual

sabun hasil buatan mereka.

“Sabun yang bahan dasarnya terbuat dari minyak

kelapa, abu, kapur, dan garam itu memiliki kualitas yang

4

baik dan membuka lapangan usaha baru bagi rakyat,” tulis

harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.

Setelah perang berakhir, Unilever mencoba bangkit.

Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika

terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua

Barat. Semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf

Unilever diusir dan diganti oleh tenaga-tenaga Inggris dan

Jerman. Operasinya di bawah pengawasan pemerintah tahun

1964. Produksi Unilever merosot.

Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan. Sejak itu

produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan

sabun di Indonesia. Pesaing bermunculan.

Kini, sabun sudah menjadi barang kebutuhan sehari-

hari. Mandi takkan terpisahkan dari sabun. Tinggal

bagaimana membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun.

Indonesia, berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun

lalu, termasuk negara yang malas cuci tangan pakai sabun.

Padahal, sejak 2008, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah

menetapkan 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun

Sedunia.

1.2. Klasifikasi Sabun 

Klasifikasi sabun menurut pH :

- pH 5 – 8: dianggap lembut untuk kulit

- pH 8 – 10: pH optimal untuk sabun badan

5

- pH 10 – 12: untuk laundry / mencuci baju

Sabun dapat dibedakan sesuai jenis dan fungsinya yaitu:

- Sabun keras atau sabun cuci.

Dibuat dari lemak dengan NaOH, misalnya Na – Palmitat dan

Na – Stearat.

- Sabun lunak atau sabun mandi.

Dibuat dari lemak dengan KOH, misalnya K-Palmitat dan K-

Stearat

1.3. Sifat Kimia dan Fisika Sabun

Sifat Fisika

Sabun memiliki kelarutan yang tinggi dalam air,

tetapi sabun tidak larut menjadi partikel yang lebih kecil,

melainkan larut dalam bentuk ion. Sabun dan detergen

merupakan agen pengemulsi yang paling efektif, khususunya

untuk emulsi minyak-air. Minyak dalam air merupakan emulsi

dengan minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase

pendispersi.

Sifat Kimia

a. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi

sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu

larutan sabun dalam air bersifat basa.

CH3(CH2)16COONa + H2O CH3(CH2)16COOH + OH-

b. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan

menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada

air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih

setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.

CH3(CH2)16COONa + CaSO4 Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

6

c. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini

disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari

asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat

polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus

polar dan non polar. Molekul sabun mempunyai rantai

hydrogen CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang

bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat

organik sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat

hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.

d. Sabun adalah surfaktan yang digunakan dengan air untuk

mencuci dan membersihkan. Banyak sabun merupakan campuran

garam natrium atau kalium dari asam lemak yang dapat

diturunkan dari minyak atau lemak dengan direaksikan

dengan alkali (seperti natrium atau kalium hidroksida).

1.4. Proses Pembuatan Sabun

Sabun dibuat baik lewat proses batch maupun proses

sinambung. Pada proses batch, lemak atau minyak dipanaskan

dengan alkali (NaOH) sedikit berlebih dalam ketel terbuka.

Bila penyabunan selesai, garam ditambahkan untuk

mengendapkan sabun sebagai padatan. Lapisan air yang

mengandung garam, gliserol, dan kelebihan alkali

disingkirkan, dan gliserol dipulihkan lewat penyulingan.

Padatan sabun kasar, yang mengandung sedikit garam, alkali,

dan gliserol sebagai pengotor, dimurnikan lewat pendidihan

dengan air dan pengendapan kembali dengan garam beberapa

kali. Akhirnya, padatan dididihkan dengan air secukupnya

untuk membentuk campuran lembut, yang jika dibiarkan

7

menghasilkan lapisan sabun homogen di bagian atas. Sabun

ini dapat dijual tanpa pengolahan lebih lanjut, yaitu

sebagai sabun industri murahan. Berbagai bahan pengisi,

seperti pasir atau batu apung dapat ditambahkan untuk

membuat sabun gosok. Pengolahan lain mengubah sabun kasar

menjadi sabun mandi, sabun bubuk atau sabun serpih, sabun

obat atau sabun wangi, sabun cuci, sabun cair, atau sabun

apung (dengan mengembuskan udara ke dalamnya).

Dalam proses sinambung, yang lebih umum dikerjakan

sekarang, lemak atau minyak terhidrolisis oleh air pada

suhu dan tekanan tinggi dengan bantuan katalis, biasanya

suatu sabunk zink. Lemak atau minyak dan air dimasukkan

terus menerus dari arah berlawanan dari suatu reaktor yang

lebih besar, dan asam lemak dan gliserol diambil segera

setelah terbentuk lewat penyulingan. Asam kemudian

dinetralkan secara hati-hati dengan alkali yang jumlahnya

tepat untuk menjadi sabun.

BAB II

DETERGEN CAIR

8

2.1. Sejarah

Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh

Jerman pada waktu Perang Dunia II dengan tujuan agar lemak

dan minyak dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pada

saat ini ada lebih 1000 macam deterjen sintetik yang ada di

pasaran. Fritz Gunther, ilmuwan Jerman, biasa disebut

sebagai penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916.

Namun, baru tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga

diluncurkan pertama kali di AS. Sebelum tahun 1965,

deterjen menghasilkan limbah busa di sungai dan danau. Ini

karena umumnya deterjen mengandung alkylbenzene sulphonate yang

sulit terurai.

Setelah 10 tahun dilakukan penelitian (1965),

ditemukan linear alkylbenzene sulphonate (LAS) yang lebih ramah

lingkungan. Bakteri dapat cepat menguraikan molekul LAS,

sehingga tidak menghasilkan limbah busa. Sepanjang sejarah

banyak usaha dilakukan untuk membantu kita mengerjakan

pekerjaan mencuci. Pencucian dengan air saja, bahkan dengan

penggosokan atau putaran mesin sekeras apapun, akan

menghilangkan sebagian saja bercak, kotoran dan

partikelpartikel tanah.

Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tak

larut dalam air. Air juga tak mampu menahan debu yang telah

lepas dari kain agar tetap tersuspensi (tetap berada di

air, jadi tidak kembali menempel ke kain). Jadi diperlukan

bahan yang dapat membantu mengangkat kotoran dari air dan

kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi,

9

tetap tersuspensi. Sejak ratusan tahun lalu telah dikenal

sabun, yakni persenyawaan antara minyak atau lemak dan

basa. Awalnya orang-orang Arab secara tak sengaja menemukan

bahwa campuran abu dan lemak hewan dapat membantu proses

pencucian.

Walaupun berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan

proses pembuatan sabun telah dilakukan, semua sabun hingga

kini mempunyai satu kekurangan utama yakni akan bergabung

dengan mineral-mineral yang terlarut dalam air membentuk

senyawa yang sering disebut lime soap (sabun-kapur),

membentuk bercak kekuningan di kain atau mesin pencuci.

Akibatnya kini orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci

seiring dengan meningkatnya popularitas deterjen.

2.2. Klasifikasi Deterjen Cair

Menurut kandungan gugus aktifnya maka detergen

diklasifikasikan sebagai berikut:

- Detergen jenis keras

Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme

meskipun bahan tersebutdibuang akibatnya zat tersebut

masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran

air. Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Proses

pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena

dengan BelerangTrioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum.

Reaksi ini menghasilkan Alkil BenzenaSulfonat.

Jika dipakai Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya

adalah:

10

C6H5C12H25 + SO3C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat)

Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH

sehingga dihasilkan Natrium Dodekil Benzena Sulfonat

- Detergen jenis lunak 

Detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya

mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif

lagi setelah dipakai. Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril

Alkil Sulfonat (LAS). Proses pembuatan (LAS) adalah

dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam Sulfat

pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:

C12H25OH + H2SO4C12H25OSO3H + H2O.

Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan

larutan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Lauril Sulfat.

2.3. Sifat Kimia dan Fisika Deterjen Cair

Sifat Fisika

- Kelarutan dan daya melarutkan, murray dan Hartly dalam

pernyataanya menunjukkan bahwa partikel-partikel tunggal

relatif tidak larut, sedangkan misel mempunyai kelarutan

tinggi. Makin panjang rantai hidrokarbonnya, makin tinggi

temperatur kritik larutan.

- Karakteristik deterjen cair adalah sebagai berikut yaitu

larutan agak kental, busanya sedikit. Warnanya putih

keruh jika tidak ditambahkan pewarna.

- Daya emulsi-emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam

fasa cairan yang lain, yang tidak saling melarutkan. Sama

hanya dengan pembasahan, maka surfaktant akan menurunkan

tegangan antarmuka, sehingga terjadi emulsi yang stabil.

11

- Pembasahan perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai

proses pembasahan dinyatakan oleh Hukum Dupre.

Sifat kimia

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut:

- Surfactant

Surfactant (surface active agent) merupakan zat aktif

permukaan yang mempunyaiujung berbeda yaitu hidrofil

(suka air) dan hidrofob (suka lemak). Bahan aktif ini

berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga

dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan

bahan.

- Filler

Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang

tidak mempunyai kemampuanmeningkatkan daya cuci, tetapi

menambah kuantitas. Contoh Sodium sulfat.

- Additive

Additive adalah bahan suplemen/tambahan untuk membuat

produk lebih menarik,misalnya pewangi, pelarut, pemutih,

pewarna dst, tidak berhubungan langsung dengandaya cuci

deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud

komersialisasi produk. Contoh: Enzim,Boraks,Sodium

klorida, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

- Suds Regulator (pengatur busa)

Untuk membantu surfactant dalam proses pencucian. contoh:

asam lemak Abrasive.

- Water softener

12

Untuk menetralkan efek dari “kekerasan “ ion-ion pada

bahan lain.

- Oxidants

Untuk pemutihan dan disinfeksi

- Bahan Non-surfactant yang dapat mempertahankan kotoran di

skorsing Enzymes.

2.4. Proses Pembuatan Detergen Cair

Metode pembuatan deterjen cair adalah: Mencampur 10 %

SLS – DG, 20 % soda abu, CMC lokal 5 %, pewarna secukupnya

dan air 64.5% ke dalam reaktor, memanaskan campuran bahan

di atas kemudian diaduk, setelah tercampur homogen api

dimatikan, lalu didinginkan, setelah dingin ditambah parfum

sebanyak 1 %, mengalirkan larutan ke bak filter,

mengalirkan larutan ke bak penampung.

BAB III

PENGUJIAN ANGKA ASETIL, REICHERT MEISSL

DAN ANGKA POLENSKE

3.1. Pengujian Angka Asetil

Bilangan Asetil adalah sifat kimia minyak atau lemak

untuk menentukan gugusan hidroksil bebas yang sering

terdapat dalam minyak atau lemak, baik alam ataupun

sintesis (terutama pada minyak jarak, croton oil dan

monogliserida). Bilangan asetil ini dinyatakan sebagai

jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam

asetat yang diperoleh dari penyabunan 1 gram minyak atau

13

lemak atau lilin yang telah di asetilasi. Serta dapat

dinyatakan dengan rumus :

KA (%) = [(D-C)Na + (A-B)Nb] × (F/W)

dimana:

A = volume NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi

contoh

B = volume NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi

blanko

C = volume HCl yang dibutuhkan untuk titrasi

contoh

D = volume HCl yang dibutuhkan untuk titrasi

blanko

Na = Normalitas HCl

Nb = Normalitas NaOH

F = 4.305 untuk kadar asetil

Peralatan

- Tabung Reaksi

- Stopper

- Labu Didih

- Termometer

- Stopwatch

- Ubin Porselen Atau Silica Kaca

- Pipet Tetes

- Pipet Volume

- Gelas Arlogi

- Gelas Ukur

- Beakerglass

14

- Erlenmeyar

- Statif Dan Klem

- Karet Penghisap

- Botol Aquadest

- Corong Kaca

- Waterbatch

Bahan

- Asam Format

- Nitrat Laktanum

- Iodium

- Ammonia

Prosedur Pengujian

1. Masukkan 10 sampai 20 mg sampel ke dalam tabung reaksi

(180 mm × 18 mm)

2. Tambahkan 0,15 ml asam format kemudian tutup tabung

reaksi dengan stopper.

3. Pasangkan tabung kecil (sekitar 100 mm × 10 mm) yang

berisi air. Alat ini bertindak sebagai kondensor,

sehingga larutan nitrat lantanum bisa mengalir dari luar

tabung reaksi kecil. Kecuali zat yang sukar

terhidrolisa, akan tetap dalam labu selama 5 menit.

4. Campurkan larutan dengan iodium 0,01 m sebanyak 0,05 ml

pada ubin porselen atau silica kaca dan kemudian

menambahkan 1 tetes ammonia 2m di tepi larutan.

5. Biarkan hingga berubah warna menjadi warna biru (sekitar

1-2 menit) di persimpangan larutan yang berlangsung

secara cepat.

15

6. Untuk zat yang terhidrolisa, panaskan dengan perlahan

larutan dengan cara membuka tutup kondensat.

3.2. Pengujian Reichert Meissl

Bilangan yang menyatakan berapa mL KOH 0,1 N untuk

menetralkan asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap

H2O dan larutdalam H2O yang berasal dari 5 gram lemak.

Jumlah (mL) dari NaOH 0,1N yagn dipergunakan untuk

menetralkan asam lemak yang menguap dan larut dalam air

yang diperoleh dari penyulingan 5gr minyak atau lemak.

Perhitungan :

Bilangan Reichert-Meissl = 1,1 x (A-B)

A = jumlah ml NaOH 0,1N untuk titrasi contoh

B = jumlah ml NaOH 0,1N untuk titrasi blanko

Fungsi: mengukur jumlah asam lemak yang tersusun dari 2–6

atom C.

Prosedur

1. 5 gr minyak cair yang sudah disaring dimasukkan ke dalam

labu suling 300 mL

2. Tambahkan 20mL soda gliserol (dibuat dari 20 mL NaOH 50%

dalam180 mL gliserol pekat)

3. Campuran dipanaskan sampai jernih (tersabunkan). Dijaga

agar tidak  berbusa dengan menggoyang-goyang labu secara

perlahan

4. Tambahkan 135 mL air mendidih setetes demi tetes untuk

menghindari terbentuknya busa

5. Tambahkan 5 mL H2SO4 20% dan batu didih

16

6. Lakukan penyulingan selama 30 menit dengan suhu tidak

terlalu tinggi sehingga asam lemak tidak mendidih. Maka

diperoleh 120 mL destilat yang suhunya tidak boleh lebih

dari 20°C

7. Setelah diperoleh 110 mL destilat api dimatikan.

Destilat yang masih keluar ditampung dengan tabung yang

berbeda

8. Destilat dari kedua tabung dicampur sambil dokocok

perlahan-lahan. Kemudian direndam dalam air 15°C selama

15 menit.

9. Saring dengan kertas saring 100 mL destilat, dititrasi

dengan larutan NaOH 1,0 N dengan indikator pp sampai

terbentuk warna merah jambu, kemudian catat volume NaOH

yangkeluar sebagai V1.

10. Sebagai pembanding buat titrasi blanko, dan catat

volume NaOH yangdigunakan pada saat titrasi sebagai V2.

Bilangan Reicht Meissl = 1,1 ( V1−V2)

3.3. Pengujian Angka Polenske

Bilangan yang menyatakan berapa mL KOH 0,1 N untuk

menetralkan asam lemak yang dapat didestilasi dengan uap

H2O dan tak larut dalam H2O yang berasal dari 5 g lemak

17

Fungsi: mengukur jumlah asam lemak yang tersusun dari6-12

atamC

1. Lemak yang tinggal dan tidak larut dalam air dari

penentuan bilangan Reichert Meissl dipisahkan dengan

kertas saring.

2. Cuci dengan 15 mL air di dalam botol penampung110 mL

sebanyak 3 kali

3. Bagian yang tidak larut diekstraksi dengan pencucian

seperti di atas dengan menambahkan 15 mL alkohol 95% yang

netral sebanyak 3 kali

4. Campuran yang larut dalam air diekstraksi dengan NaOH

0.1N dengan menggunakan 0.5 mL phenolphthalein sebagai

indikator

5. Titrasi larutan sampai berubah warna menjadi merah

jambu

6. Bilangan Polenske=jumlah mL NaOH 0.1 N untuk titrasi.

18

BAB IV

BIODIESEL

4.1. Sejarah

Biodiesel pertama kali dikenalkan di Afrika selatan

sebelum perang dunia II sebagai bahan bakar kenderaan

berat. Bahan bakar nabati bioetanol dan biodiesel merupakan

dua kandidat kuat pengganti bensin dan solar yang selama

ini digunakan sebagai bahan bakar mesin Otto dan Diesel.

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan pengembangan dan

implementasi dua macam bahan bakar tersebut, bukan hanya

untuk menanggulangi krisis energi yang mendera bangsa namun

juga sebagai salah satu solusi kebangkitan ekonomi

masyarakat.

Biodiesel didefinisikan sebagai metil/etil ester yang

diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi

kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin

diesel. Sedangkan minyak yang didapatkan langsung dari

pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang

19

kemudian disaring dan dikeringkan (untuk mengurangi kadar

air), disebut sebagai minyak lemak mentah. Minyak lemak

mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor

(degumming) dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi

dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau straight

vegetableoil (SVO). SVO didominasi oleh trigliserida sehingga

memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan

dengan solar (bisa mencapai 100 kali lipat, misalkan pada

Castor Oil. Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung

di dalam mesin diesel umumnya memerlukan

modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin, misalnya

penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan

injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas.

Viskositas (atau kekentalan) bahan bakar yang sangat

tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan

bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah

akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang

baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan

kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang.

Pemanasan bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa

dan injeksi bahan bakar merupakan satu solusi yang paling

dominan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul

pada penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel. Pada

umumnya, orang lebih memilih untuk melakukan proses kimiawi

pada minyak mentah atau refined fatty oil/SVO untuk menghasilkan

metil ester asam lemak (fatty acid methyl ester - FAME)

yang memiliki 73 berat molekul lebih kecil dan viskositas

20

setara dengan solar sehingga bisa langsung digunakan dalam

mesin diesel konvensional.

Biodiesel umumnya diproduksi dari refined vegetable oil

menggunakan proses transesterifikasi. Proses ini pada

dasarnya bertujuan mengubah [tri, di, mono] gliserida

berberat molekul dan berviskositas tinggi yang mendominasi

komposisi refinedfatty oil menjadi asam lemak methil ester

(FAME).

Biodiesel tergolong bahan bakar yang dapat

diperbaharui karena diproduksi dari hasil pertanian, antara

lain : jarak pagar, kelapa, sawit, kedele, jagung, rape

seed, kapas, kacang tanah. Selain itu ,biodiesel juga bisa

dihasilkan dari lemak hewan dan minyak ikan.

4.2. Sifat Fisika Dan Kimia

Biodiesel dihasilkan dari minyak nabati, seperti kelapa

sawit, jarak pagar, kacang tanah, kelapa, dan lain

sebagainya. Indonesia, sebagai negara agraria, mempunyai

peluangsangat besar untuk mengembangkanBiofuel sebagai

energi alternatif pengganti minyak diesel (solar).

Sifat fisika dan kimia biodiesel:

Sifat fisik / kimia BiodieselKomposisi Ester alkil

Densitas, g/ml 0,8624Viskositas, cst 5,55Titik kilat, oc 172Angka setana 62,4

Perbandingan sifat fisik dan kimia biodiesel dan solar

Sifat fisik / Biodiese Solar

21

kimia l

Komposisi Esteralkil

Hidrokarbon

Densitas, g/ml 0,8624 0,8750Viskositas, cSt 5,55 4,6Titik kilat, oC 172 98Angka setana 62,4 53Energi yangdihasilkan

40,1MJ/kg

45,3MJ/kg

Dibandingkan dengan minyak solar, biodiesel mempunyai

beberapa keunggulan. Keunggulan utamanya adalah emisi

pembakarannya yang ramah lingkungan karena mudah diserap

kembali oleh tumbuhan dan tidak mengandung SOx.

Perbandingan emisi pembakaran biodiesel dengan minyak solar

disajikan dalam Tabel 3. 

Perbandingan emisi pembakaran biodiesel dengan solar

Senyawa emisi Biodiesel SolarSO2, ppm 0 78NO, ppm 37 64NO2, ppm 1 1CO, ppm 10 40

Partikulat, mg/Nm3 0,25 5,6Benzen, mg/Nm3 0,3 5,01Toluen, mg/Nm3 0,57 2,31Xilen, mg/Nm3 0,73 1,57

Etil benzen, mg/Nm3 0,3 0,73Bahan- bahan yang digunakan dalam pembuatan biodiesel

sebagai berikut:

1. Metanol.

22

Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol atau spritus.

Metanol adalah bentuk alkohol yang paling sederhana.

Metanol diproduksi secara alami oleh bekteri diudara.

Sifat fisika dan kimia metanol sebagai berikut:

Sifat kimia dan fisika

rumus molekul CH3OH

massa molar 32.04 g/mol

densitas 0.7918 g/cm³, liquid

2. Minyak jelantah

Minyak jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari

jenis-jenis minyak seperti minya jagung, minyak sayur,

minyak samin dan sebagainya, yang telah dipakai

sebelumnya. Minyak jelantah yang digunakan berulang-ulang

dapat merusak kesehatan manusia yang menimbulkan penyakit

kangker, dan menguangi kecerdasan generasi berikutnya

karena terdapat senyawa-senyawa yang bersifat

karsinoginetik yang terjadi saat pengorengan. Minyak

jelantah yang digunakan dalam pembuatan biodiesel adalah

minyak jelantah yang sekali pemakaian.

3. Katalis

Seperti reaksi kimia pada umumnya, pada reaksi

esterifikasi dan transesterifikasi ditambahkan katalis

untuk mempercepat laju reaksi dan meningkatkan perolehan.

Katalis dapat menurunkan energi aktifitasi pada suatu

zat. Zat yang memiliki energi aktifitasi akan sulit

meregangkan gugus senyawanya sehingga reaksi akan lama

23

terjadi dan untuk mempercepatnya dibutuhkan katalis untuk

mempercepat reaksi.

Untuk pembuatan biodiesel mengunakan katalis NaOH

(natrium hidroksida) juga dikenal sebagai soda kaustik

atau sodium hidroksida adalah sejenis basa logam basa

logam kaustik. Natrium hiroksida membentuk larutan

alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. NaOH

juga digunakn dalam pembuatan biodiesel dari minyak

jelantah sebagai katalis.

Adapun sifat fisika dan kimia NaOH sebagai berikut:

3.3. Standar Kualitas

Standard Eropa untuk

biodiesel adalah nomor

EN 14214, yang mana dapat

diartikan ke dalam standard

nasional masing-masing

negara yang dibentuk oleh

CEN area (Committee for European Standardization) sebagai

contoh, untuk United Kingdom, BS EN 14214 dan untuk Jerman

DIN EN 14214.Terdapat  spesifikasi standard lain. ASTM

D6751 adalah referensi standard yang umum digunakan di

United States dan Kanada.Selain itu, terdapat juga penamaan

DIN standard untuk 3 jenis biodiesel, yang mana dibuat

sesuai dengan jenis sumber bahan baku:

- RME (rapeseed methyl ester, sesuai dengan DIN E 51606)

24

Sifat fisika dan fisikaNaOH

Massamolar

39,9971g/mol

Titikdidih 1390 0C

Titikleleh 3180C

Densitas 2,1 g/cm3

Kelarutan Larut dalamair

- PME (vegetable methyl ester, minyak sayur murni, sesuai

dengan DIN E 51606)

- FME (fat methyl ester, produk minyak sayur dan lemak,

sesuai dengan DIN V 51606)

Tabel persyaratan biodiesel yang ditetapkan oleh SNI

No. Parameter Satuan Nilai1. Massa jenis pada 40 ˚C kg/m3 840-890

2. Viskositas kinematik pada 40 ˚C mm2/s 2,3-6,0

3. Angka setana min. 51

4. Titik nyala (mangkok tertutup) (cSt) maks.

1005. Titik kabut ˚C maks.18

4.4. Proses Pembuatan Biodisel

Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan

kandungan FFA rendah secara keseluruhan terdiri dari reaksi

transesterifikasi, pemisahan gliserol dari metil ester,

pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan methanol,

pencucian dan pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol

sebagai produk samping (asidulasi dan pemisahan metanol)

dan pemurnian metanol tak bereaksi secara

destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan katalis

asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas

5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung

ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan

25

bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun

dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan

gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi

selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan

sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA

menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam

minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan

katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi

metil ester.

Pembuatan biodiesel dari minyak tanaman memiliki

kasus yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan FFA. Pada

kasus minyak tanaman dengan kandungan asam lemak bebas

tinggi dilakukan dua jenis proses, yaitu esterifikasi dan

transesterifikasi, sedangkan untuk minyak tanaman yang

kandungan asam lemak rendah dilakukan proses

transesterifikasi. Proses esterifikasi dan

transesterifikasi bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas

dan trigliserida dalam minyak menjadi metil ester

(biodiesel) dan gliserol.

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak

bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak

dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat

berkarakter asam kuat. biasanya asam sulfat (H2SO4) atau

asam fosfat (H2PO4) .

Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan

jika minyak nabati mengandung FFA di atas 2%. Jika minyak

berkadar FFA tinggi (>2%) langsung ditransesterifikasi

26

dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis

membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup

besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester

dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian.

Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan

untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga

mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya

ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk

mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.

Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester

adalah :

Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi esterifikasi

antara lain:

a. Waktu Reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar

zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi

yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai

maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan

menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.

b. Pengadukan

Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara

molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga

mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Sesuai

dengan persamaan Archenius. Dimana semakin besar tumbukan

maka semakin besar pula harga konstanta kecepatan reaksi.27

Sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting

mengingat larutan minyak-katalis metanol merupakan

larutan yang immiscible.

c. Katalisator

Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi

pada suatu reaksi sehingga pada suhu tertentu harga

konstanta kecepatan reaksi semakin besar.

d. Suhu Reaksi

Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak

konversi yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan

Archenius. Bila suhu naik maka harga k makin besar

sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi makin

besar.

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis)

adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati)

menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan

menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara

alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat

sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum

digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling

tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di

sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan

ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester,

28

FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil

ester sebagai berikut:

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam

reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan

maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat. Katalis yang

biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah

katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.

Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel

selalu menginginkan agar didapatkan produk biodiesel dengan

jumlah yang maksimum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transesterifikasi :

a. Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus

memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak

peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas

lebih kecil dari 0.5% (<0.5%). Selain itu, semua

bahan yang akan digunakan harus bebas dari air.

Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga

jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus

terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami

reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

29

b. Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan

untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol

trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester

dan 1 mol gliserol. Secara umum ditunjukkan bahwa

semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka

konversi yang diperoleh juga akan semakin

bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi

yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1

adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik

adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang

maksimum.

c. Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan

ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan

etanol atau butanol.

d. Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi

transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam.

Katalis basa yang paling populer untuk reaksi

transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH),

kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3),

dan kalium metoksida (KOCH3).

e. Pengaruh temperatur

Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur

30 - 65° C (titik didih metanol sekitar 65° C). Semakin

30

tinggi temperatur, konversi yang diperoleh akan semakin

tinggi untuk waktu yang lebih singkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hart, Harold. 2013. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat.

Jakarta: Erlangga.

2. http://ocw.usu.ac.id/course/download/4140000062-

teknologi-oleokimia/tkk-322_handout_deterjen.pdf

3. https://www.scribd.com/doc/111411537/aaa

4. http://directory.umm.ac.id/penelitian/PKMI/pdf/INDUSTRI

%20KECIL%20DETERJEN%20CAIR.pdf

5. https://www.scribd.com/doc/67060407/Lipid-Dan-Deterjen#

6. https://www.scribd.com/doc/30631776/Makalah-Kimia-

Organik-tengik1

7. http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/19/biodiesel-

423260.html

31

8. https://www.google.co.id/search?

q=sifat+kimia+biodiesel&oq=sifat+kimia+biodiesel&aqs=chr

ome..69i57.12149j0j8&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF-8

32