Refrat Tetanus

download Refrat Tetanus

of 22

Transcript of Refrat Tetanus

BAB I PENDAHULUAN Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri gram positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot (1). Tetanus sudah dikenal sejak jaman Mesir kuno, tetapi isolasi C.tetani dari manusia baru pertama kali dilakukan tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897 dan digunakan selama perang dunia I. Pada tahun 1924 Descombey mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II (2,3). Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan iklim hangat dan lembab dan banyak penduduk. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi terget program imunisai World Health Organization (3,4). Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat mortalitas sekitar 45%. di negara berkembang tetanus banyak ditemukn pada populasi neonatus dan merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi. Di negara maju tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat (5,6). Lingkungan tanah Indonesia yang kaya C. Tetani dan angka mortalitas yang tinggi menuntut dokter umum untuk mrnguasai pencegahan dan penanganan tetanus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. Tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma (3,7). Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. SporaClostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. B. Sejarah Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang. Penyakit ini telah dikenal sejak jaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato juga melaporkan bahwa toksin tetanus dinetralisir oleh antibody spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama perang dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas selama perang dunia II (2,3,8). C. Epidemiologi

Bakteri C. Tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C tetani. Transmisi spora C.tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cedera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusi ke manusia (2,9). Faktor resiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya cedera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor resiko lainnya melipiti tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah (10). Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara-negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkonttribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India (6,11). D. Etiologi Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. Tetani adalah basil, gram positif, tidak berkapsul, motil dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (2). Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. Tetani relatif resisten terhadap desinfektan dan pemanasan. Spora tahan terhadap fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfektan. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15lbs selama 15-20 menit pada suhu 121Oc juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160oC) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi terhadap etilen oksida juga dapat ,embunuh spora (5). Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna dan feses hewan. Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan

dalam beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (2). Spora bersifat non patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat : a) Terdapat jaringan mati dan benda asing b) Crushed injury, c) Infeksi supuratif Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerob. Bentuk vegetatif C. Tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospamin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi peranannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. Tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5mg/kg berat badan. E. Patogenesis Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan. E.1 Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut : 1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat. 2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik. 3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. 4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. E.2 Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin: Tetanus lokal Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka. Tetanus sefal Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis. Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP. Tetanus umum Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf. E.3 Mekanisme kerja toksin tetanus: 1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut. 2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf. Normal: Inhibitory interneuron Glycine blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation Tetanus toxin:

Blocks glycine release no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction Spastic paralysis 3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis. RPerubahan akibat toksin tetanus: 1. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terusmenerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. a) Rasa sakit Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukanneurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.b) Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan. 2. Aktifitas neuromuskular perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa: 1. Neuropati perifer 2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh. 3. Denervasi parsial dari otot tertentu. 3. Perubahan pada sistem saraf autonom Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu. 4. Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat : a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin. b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis. c. Kelainan paru akibat iatrogenik. d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus. e. Gangguan pusat pernafasan Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah : Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam. Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal. Henti nafas akut dan mati mendadak. Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa. 5. Gangguan hemodinamika Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena : Kendala etik Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian. 6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin. Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin. 7. Gangguan Hormonal Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awarenessmenimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin. 8. Gangguan pada sistem lain qqqBerbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu. F. Manifestasi Klinis Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana pertmnuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstrimitas bawah, infeksi uterus post partum atau post abortus, injeksi imtramuscular non steril dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.tetanus juga dapat terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibeakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya. F.1. Tetanus Lokal Bentuk jarang ditemukan. Gejalanya meliputi spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tandda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% (2,5). F.2. Tetanus Sefalik Jarang ditemukan. Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. F.3. Tetanus umum Tanda khasnya adalah trismus yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, sulit menelan, rigiditas abdomen dan peningkatan temperatur 2-4oC di atas suhu normal. Spasme otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus. Spasme otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan.(5)

Kejang otot akut, paroksismal, tidak terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus generalis. Kejang terjadi secara intermitten, irreguler dan tidak dapat diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejag menimbulkan nyeri dan kelelahan serta kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. F.4. Tetanus Neonatorum Disebabkan oleh karena infeksi C tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan karena proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir, irritabilitas dan menangis terus menerus , risus sardonikus, peningkatan rigiditas dan opistotonus. G. Diagnosis Diagnosis lebih sering ditegakkan berdasarkan maifestasi klinisnya dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi: Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka. Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik. Temuan laboratorium : Lekositosis ringan Trombosit sedikit meningkat Glukosa dan kalsium darah normal Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat Enzim otot serum mungkin meningkat EKG dan EEG biasanya normal

Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat

membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml) Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts : a. Derajat I (ringan) Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi. b. Derajat II (sedang) Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi d. Derajat IV (sangat berat) Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

Derajat tetanus (phillips) :

Jika skornya < 9 = ringan Jika skornya 9-16 = sedang Jika skornya > 17 = berat H. Diagnosis Banding Penyakit Infeksi Meningoensefalitis Polio Rabies Lesi orofaring Peritonitis Kelainan metabolik Gambaran diferensial Demam, trismua tidak ada, peutunan

kesadaran, cairan serebrppinal abnormal. Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid,cairan serebrospinal abnormal Trismus tak ada, hanya spasme orofaring Bersifat lokal, spasme (-) Trismus dan spasme (-)

Tetani Reaksi fenotioazin Penyakit sistem saraf pusat Status epileptikus Perdarahan atau tumor (SOL) Kelainan psikiatrik Histeria Kelainan muskuloskeletal Trauma

Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal, hipokalsemi

Penurunan kesadaran Trismus (-) penurunan kesadaran Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara spasme Hanya lokal

I. Penatalaksanaan Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. melakukan intubasi profilaksis. Pada tetanu sedang sampai b e r a t r i s i k o spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme. Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb : 1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. 2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral. 3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita 4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.

5. Terapi

Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

1. Dasar a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah. 1. Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. 2. Perawatan luka Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi. b. Netralisasi toksin 1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 20.000 iu, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU. 2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 30006000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar. Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka. c. Menekan efek toksin pada SSP 1. Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat

supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 2. Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 23 dosis melalui selang nasogastrik. 3. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi. 2. Umum Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : 1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi

konservatif dan PaO2 3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain. 3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus a. Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas. b.Tetanus sedang Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral. c.Tetanus berat Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol. J. Komplikasi Komplikasi yang bisa terjadi pada kasus ini ameliputi pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik. K. Prognosis Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari

yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. Sistem Skoring Masa inkubasi Awitan penyakit Tempat masuk Skor 1 Tali pusat, uterus, fraktur terbuka, postoperatif, bekas suntikan IM Spasme (+) (-) 0 0 0 Panas badan (per rektal) > 38,4 C (> 40 C) < 38,4 C ( < 40 0C) Takikardia dewasa > 120 x/menit Neonatus > 150 x/menit Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991 Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus Tingkat Ringan Sedang Berat Sangat berat Skor 0-1 2-3 4 5-6 Dikutip dari Bleck, 1991 Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat Prognosis 10 20 20 40 > 50 Skor 0 > 7 hari > 48 jam Selain tempat tersebut

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

DAFTAR PUSTAKA1. B l a c k m o r e

C,

Janowski

HT.

2000.

Tetanus.

(Online). diakses 17 J.

http://www.doh.state.fl.us/disease_ctrl/epi/htopics/reports/tetanus.pdf, Agustus 2011.2. A n g

2 0 0 3 . T e t a n u s . ( O n l i n e ) . www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS .pdf, diakses 17 Agustus 2011.

3. D i r e

DJ.

Tetanus

in

Emergency

Medicine. diakses Alwi 17 I, K

( O n l i n e ) . http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview, Agustus 2011.4. Ismanoe

G. Tetanus.

Dalam:

Sudoyo

AW, Setyohadi B,

MS, Setiati S,(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;2007.5. Edlich

RF, Hill LG,

Mahler

CA,

Cox

MJ,

Becker

DG, Jed

H.

Horowitz M, et al.Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of MedicalImplants. 2003;13(3):139-54.6. Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229

594-overview, diakses 17 Agustus 2011.7. Anonym.

Public Health Notifiable Disease

Management

Guidelines

- Tetanus.(Online).8. Farrar JJ, Yen

www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Tetanus-2011.pdf,

diakses17 Agustus 2011. LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. NeurologicalAspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2000;69:292301.9. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management.

Journal of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.10. Cottle

LE,

Beeching NJ,

Carrol

ED,

Parry

CM.

2011.

Tetanus.

(Onine)https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 8 Oktober 2011.11. Bhatia

R, K.

Prabhakar 2007.

S,

Grover

VK.

Tetanus.

Neurology World:

India.

2002;50:398-407.12. Todar

The

Microbiological

Tetanus. diakses

(Online)http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html,

8Oktober 2011.http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature.

British Journalof Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.14. Ritarwan

K. 2004.

Tetanus.

(Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysarafkiking2.pdf,diakses 17 Agustus 2011.15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:

EGC; 2005.

16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA

HealthThreat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.2011;154:329-35.17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al.

HaemodynamicStudies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of

EmergencyMedicine. 2001;3(1):47-50.19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care

& Pain.2006;6(3):101-4.20. Ross

SE.

Prophylaxis

Against

Tetanus

in

Wound

Management. 8 Oktober

(Online).http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, 2011.21. Anonym.

diakses

2007.

Tetanus

Prophylaxis

in

Wound

Management.

(Online).http://www.cdph.ca.gov/programs/immunize/Documents/IMM154_WEB.pdf,diakses 17 Agustus 2011. 22. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213. 23. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157 24. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871 25. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia.26. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004 27. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305