Tetanus Edithdhgd

28
1 BAB 1 PENDAHULUAN Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease" dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus (Ismanoe, 2007). Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum). Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan Negara – Negara sedang berkembang, sering terjadi di Brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain di benua Asia (Ismanoe, 2007).

description

gdfhgd

Transcript of Tetanus Edithdhgd

Page 1: Tetanus Edithdhgd

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik

spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin

yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven

day Disease" dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine,

kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob

yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut

menghasilkan pencegahan dari tetanus (Ismanoe, 2007).

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada

kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali

pusat (Tetanus Neonatorum). Walaupun tetanus dapat dicegah dengan

imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh

dunia terutama di Negara beriklim tropis dan Negara – Negara sedang

berkembang, sering terjadi di Brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara

lain di benua Asia (Ismanoe, 2007).

Page 2: Tetanus Edithdhgd

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tetanus

Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan

neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh

eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani (Sjamsuhidajat R, Jong

Wim de, 2005).

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan

oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,

biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti

oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga) (Dorland, 2002).

Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang

ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata (Ismanoe,

2007).

2.2 Etiologi Tetanus

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif: Clostridium tetani. Bakteri

ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia

dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini

bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka

seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan

memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin (Ritarwan, 2004).

Page 3: Tetanus Edithdhgd

3

Gambar. Clostridium tetani

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang

selalu bergerak, dan merupakan baktari anaerob obligat yang menghasilkan spora.

Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis

atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan

tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai

desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini

dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitive terhadap beberapa

antibiotic (Metronidazol, Penisilin). Bakteri ini jarang dikultur, karena

diagnosisnya berdasarkan klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis

melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang

terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai

polipeptida tunggal. Dengan autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan

terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 kDa)

yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam

sel, sedangkan rantai ringan (50 kDa) berperan untuk memblokade pelepasan

neurotransmitter (Ismanoe, 2007).

2.3 Epidemiologi Tetanus

Tetanus terjadi secara sporadic dan hampir selalu menimpa individu non

imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang

kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi

Page 4: Tetanus Edithdhgd

4

ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih

merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama Negara beriklim

tropis dan Negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit ini umumnya terjadi

di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama

musim panas, dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program

imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-

anak (Ismanoe, 2007).

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995,

tetanus tetap bersifat endemic pada negara-negara sedang berkembang dan WHO

memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia

pada tahun 1992. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju (Ismanoe,

2007).

2.4 Patogenesis Tetanus

Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian

terkontaminasi oleh spora dari Clostridium tetani. Luka dengan potensi oksidasi

reduksi rendah membantu perkembangan spora menjadi bentuk vegetatif dan

mampu memproduksi toksin. Toksin ini menyebabkan jaringan mati, ditambah

dengan adanya benda asing menyebabkan infeksi aktif. Clostridium tetani tidak

mencetuskan peradangan dan port de’entrée tetap tampak tenang tanpa tanda

inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain (Ismanoe,

2007).

Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,

basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanolisin dapat secara local merusak jaringan yang masih hidup yang

mengelilimgi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan

multiplikasi bakteri (Ismanoe, 2007).

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin

mencakup lebih dari 5% dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida

rantai ganda denagn berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat

Page 5: Tetanus Edithdhgd

5

(100 kDa) dan rantai ringan (50 kDa) dihubungkan oleh suatu ikatan yang

sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan

jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Tetanoplasmin yang

dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada

gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang

dihasilkan banyak, maka toksin dapat memasuki aliran darah yang kemudian

berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian

akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam

badan sel di batang otak dan saraf spinal (Ismanoe, 2007).

Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan

saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan

akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron

inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport

interneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang

otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik

dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Ismanoe, 2007).

Tetanospasmin mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana

setelah toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan

memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam

aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang

pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi

inhibisinya. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan

pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip

dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun

demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh

daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan

hipotalamus juga dipengaruhi. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat

berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf

cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah

pemulihan (Ismanoe, 2007).

Page 6: Tetanus Edithdhgd

6

Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang

otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai

konvulsi. Spasme otot sangat nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture

tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur

aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-

otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat (Ismanoe, 2007).

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya

kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin

plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible.

Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan

mengapa tetanus berdurasi lama (Ismanoe, 2007).

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang

bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang

dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas

mencapai ujung saraf terminal, dimana sawar darah otak memblokade masuknya

toksin secara langsung ke dalam system saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa

waktu transport interneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek

akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang, hal ini menjelaskan urutan

keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus

generalisata (Ismanoe, 2007).

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada

beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmision dengan cara

menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichnine) terjadi karena

toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh

cerebral ganglioside.

d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous

System (ANS) dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,

Page 7: Tetanus Edithdhgd

7

periodisiti takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine

dalam urin (Ritarwan, 2004).

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychnin, dimana ia mengintervensi

fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan

menginhibisi terhadap batang otak (Ritarwan, 2004).

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi

trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin

tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi

yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga

timbul spasme otot yang khas (Ritarwan, 2004).

Gambar. Patogenesis tetanus2.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3 hari – 4 minggu, kadang lebih lama, rata-

rata 8 hari. Berat penyakit berhubungan dengan masa inkubasinya; makin

pendek masa inkubasinya, prognosa penyakit semakin buruk. Umumnya, pada

pasien dengan masa inkubasi kurang dari 1 minggu, angka kematiannya

Page 8: Tetanus Edithdhgd

8

tinggi. Masa inkubasi rata-rata pada pasien yang meninggal adalah sekitar 7

hari, sedangkan pada pasien yang sembuh sekitar sebelas hari (Sjamsuhidajat

R, Jong Wim de, 2005)

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni (Adams, 1997)

1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

4. Tetanus Neonatorum

Karakteristik dari tetanus (Gilroy, 1997)

- Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7

hari.

- Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya

- Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

- Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari

leher.

- Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena

spasme Otot masetter.

- Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity )

- Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik

keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

- Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,

tungkai dengan Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya

kesadaran tetap baik.

- Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,

retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak ).

2.6 Bentuk Tetanus

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni (Adams, 1997)

1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

4. Tetanus Neonatorum

Page 9: Tetanus Edithdhgd

9

1. Tetanus Lokal (localized Tetanus)

Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan

(twitching) otot lokal dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera,

atau dapat memburuk menjadi bentuk umum (generalisata) (Dorland,

2002).

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,

pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).

Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut

biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan

biasanya menghilang secara bertahap (Adams, 1997).

Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, maka

dapat dijumpai tetanus lokal. Spasme dan rigiditas terbatas pada area

tubuh tertentu, dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot

sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat

neuromuscular junction (Ismanoe, 2007).

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi

dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga

lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau

dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian

profilaksis antitoksin (Adams, 1997).

2. Cephalic tetanus

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,

yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya

1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang

tersering adalah saraf ke-7. Dysphagia dan paralisis otot ekstraokular dapat

terjadi. Mortalitasnya tinggi (Ismanoe, 2007).

3. Generalized Tetanus

Tetanus generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus

yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata.

Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat

pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus

terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari (Ismanoe, 2007).

Page 10: Tetanus Edithdhgd

10

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila

berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorok, dan kesulitan

untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot

masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara

progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah

yang khas yang disebut risus sardonikus dan meluas ke otot-otot menelan

yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan

eksternal dapat berlangsung beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas

otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan

opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan

dinding dada. Reflex tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam,

walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh

(Ismanoe, 2007).

Selain peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat

episodic. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada

kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat

bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus

visual, stimulus auditorik atau emosional. Spasme yang terjadi dapat

bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat

kuat sehingga menyebabkan fraktur atau rupture tendon. Spasme yang

terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata

sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi

berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faryngeal

sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan dengan terjadinya

aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa (Ismanoe,

2007).

Pada bentuk ini yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus

generalisata (Ismanoe, 2007). Sering menyebabkan komplikasi yang tidak

dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-

diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang

disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan

otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan

Page 11: Tetanus Edithdhgd

11

menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni

spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang

dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa

menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria

dan retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa

mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah

tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal.

Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis (Adams, 1997).

Pada tetanus generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh.

Otot-otot di kepala yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan

penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh

(Ismanoe, 2007).

Gangguan otonom terjadi dengan adanya instabilitas

kardiovaskuler yang tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardi dapat

terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardi dan henti jantung

berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi

vascular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan

jantung. Selama gangguan ini berlangsung, kadar katekolamin plasma

meningkat 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang dijumpai

pada feokromositoma. Norepunefrin lebih terpengarug daripada epinefrin.

Hiperaktivitas neuronal lebih mendominasu daripada hiperaktivitas

medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang terjadi, tapi

mekanisme yang mendasarinya belum jelas (Ismanoe, 2007).

4. Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata

dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada

anak-anak dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,

terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril

(Ismanoe, 2007).

Page 12: Tetanus Edithdhgd

12

2.7 Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar,

Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem

yang sering dipakai.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett (Ismanoe, 2007):

1. Derajat I (ringan)

- Trismus ringan sampai sedang

- Spastisitas generalisata

- Tanpa gangguan pernapasan

- Tanpa spasme

- Sedikit atau tanpa disfagia.

2. Derajat II (sedang)

- Trismus sedang

- Rigiditas yang nampak jelas

- Spasme singkat ringan sampai sedang

- Gangguan pernapasan sedang dengan RR>30

- Disfagia ringan.

3. Derajat III (berat)

- Trismus berat

- Spastisitas generalisata

- Spasme reflex berkepanjangan

- Gangguan pernapasan dengan RR>40

- Serangan apnea

- Disfagia berat

- Takikardi > 120

4. Derajat IV (sangat berat)

- Derajat III dengan gangguan otonomik berat yang melibatkan sistem

kardiovaskuler

- Hipertensi dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan

bradikardi, salah satunya bisa menetap.

Page 13: Tetanus Edithdhgd

13

2.8 Diagnosis

Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis, karena pemeriksaan

kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesa tentang adanya

kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman, adanya trismus, risus

sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa

gangguan kesadaran, cukup menegakkan diagnosis tetanus (Sjamsuhidajat R, Jong

Wim de, 2005).

2.9 Diagnosis Banding

- Meningitis atau ensefalitis

- Hysteria (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

-

2.10 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,

atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada

koma, aspirasi atau apnea atau sebagai konsekuensi dari perawatan intensif,

seperti pneumoni yang berkaitan dengan ventilator (Ismanoe, 2007).

Tabel. Komplikasi-Komplikasi Tetanus

Sistem KomplikasiJalan nafas Aspirasi *

Laringospasme/obstruksi *Obstruksi yang berkaitan dengan sedative *

Respirasi Apnea *Hipoksia *Gagal nafas *ARDS *Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)Komplikasi trakeostomi

Kardiovaskuler Takikardi*, hipertensi*, iskemia*Bradikardi*, hipotensi*Takiaritmia*, bradiaritmia*Asistol*Gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal*Stasis urin dan infeksi

Page 14: Tetanus Edithdhgd

14

GIT Stasis gasterIleusDiarePerdarahan*

Lain-lain Penurunan BB*Tromboembolus*Sepsis dengan gagal organ multiple*Fraktur vertebra selama spasmeRupture tendon akibat spasme

*Komplikasi yang mengancam jiwa

2.11 Pengobatan

Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya (Sjamsuhidajat R, Jong Wim

de, 2005):

1. Mengatasi eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat.

2. Menetralisasi toksin yang masih beredar dalam darah.

3. Menghilangkan kuman penyebab.

Pada penatalaksanaan penyakit tetanus, perlu ditentukan derajat keparahan

terlebih dahulu. Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolok ukur,

yaitu masa inkubasi, porte d’entrée, status imunologis, dan factor yang

memberatkan. Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan

penyakit dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005):

- Tetanus ringan (Score < 9)

- Tetanus sedang (Score 9-16)

- Tetanus berat (Score > 16)

Tabel. Score PhillipsTolok Ukur Nilai

Masa Inkubasi < 48 jam2-5 hari6-10 hari11-14 hari>14 hari

54321

Lokasi Infeksi Internal/umbilicalLeher, kepala, dinding tubuhEkstremitas proksimalEkstremitas distalTidak diketahui

54321

Imunisasi Tidak adaMungkin ada/ ibu mendapat>10 tahun yang lalu

1064

Page 15: Tetanus Edithdhgd

15

<10 tahunProteksi lengkap

20

Faktor yang memperberat

Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwaKeadaan yang tidak langsung membahayakan jiwaKeadaan yang tidak membahayakan jiwaTrauma atau penyakit ringanA.S.A. **

108421

** Sistem penilaian untuk menentukan risiko penyulit (American Society of Anesthesiologist).

- Score < 9 : Tetanus ringan- Score 9-16 : Tetanus sedang- Score > 16 : Tetanus berat

Tetanus ringan dapat sembuh tanpa pengobatan yang baku, sedangkan tetanus

berat memerlukan perawatan khusus yang intensif (Sjamsuhidajat R, Jong Wim

de, 2005).

Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian

keseimbangan cairan dan elektrolit, dan perbaikan nutrisi adalah tindakan yang

harus dilakukan (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Untuk mengatasi kaku otot diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan

untuk sedasi digunakan:

- Fenobarbital

- Klorpromazin

- Diazepam

Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan

mengambil alih pernapasan memakai respirator. Pada pasien dengan kaku laring

biasanya memerlukan trakeostomi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan nafas,

perubahan posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus, dan

pengosongan buli-buli. Fisioterapi paru dan anggota gerak serta perawatan mata

juga merupakan bagian dari perawatan baku. Pemberian nutrisi yang adekuat

dapat dilakukan dengan nutrisi pernteral dan enteral. Selama pasase usus baik

nutrisi enteral merupakan pilihan, tetapi bila perlu, dilakukan pemberian makan

lewat NGT atau gastrostomi (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Page 16: Tetanus Edithdhgd

16

Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan tenang yang

dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran, dan perabaan. Ruangan

yang gelap tidak diperlukan karena perubahan dari gelap ke terang secaraa tiba-

tiba dapat memicu timbulnya kejang (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Netralisasi toksin yang masih beredar dilakukan dengan memberikan

antitetanus serum (ATS) atau immunoglobulin tetanus human (Sjamsuhidajat R,

Jong Wim de, 2005).

Dosis:

ATS : 20.000 IU setiap, hari selama 5 hari

Immunoglobulin human : 3000-6000 unit, dosis tunggal

Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka yang

dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka dengan larutan

antiseptic, eksisi luka, dan histerektomi (bila uterus diperkirakan sebagai sumber

kuman tetanus), dan penggunaan antibiotik. Bila tidak ditemukan sumber infeksi

yang jelas, antibiotic merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan kuman

penyebab. Antibiotic yang dianjurkan dan efektif untuk membunuh Clostridium

tetani adalah (Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005):

- Penisilin : 3 x 1,5 juta unit/ hari

- Metronidazol : 3 x 1 g/ hari

2.12 Pencegahan

Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu:

- Perawatan luka yang adekuat

- Imunisasi aktif dan pasif.

Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan tujuan

merangsang tubuh membentuk antibodi. Imunisasi pasif diperoleh dengan

memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau

antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat imunitas

dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid

(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Page 17: Tetanus Edithdhgd

17

Tabel. Indikasi pemberian imunisasi

Imunisasi sebelumnya Luka Bersih Luka KotorToksoid ATS Toksoid ATS

Tidak ada/ tidak pasti1x DT atau DPT2x DT atau DPT3x DT atau DPT

Ya *Ya *Ya *Tidak +

TidakTidakTidakTidak

Ya *Ya *Ya *Tidak ++

YaYaYaTidak

* = seri imunisasi harus dilengkapi+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih ++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

Cara pemberian melalui intramuskuler (ATS 1500 U/ Imunoglobulin 250 U)DT : vaksinasi difteri-tetanusDPT : vaksinasi difteri-tetanus-pertusis

2.13 Prognosis

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,

periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi focus infeksi, penyakit lain yang

menyertai, beratnya penyakit yang timbul, dan penyulit yang timbul

(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Masa inkubasi dan periode onset merupakan factor yang menentukan

prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.

Tabel. Klasifikasi Prognostik menurut Cole-Spooner

Kelompok Prognostik Periode Awal Masa InkubasiI <36 jam? ± 6 hariII >36 jam? >6 hariIII Tidak diketahui?? Tidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostic I mempunyai angka

kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan yang intensif

menurunkan angka kematian akibat kegagalan nafas dan kelelahan akibat kejang.

Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata menurunkan angka kematian

(Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005).

Page 18: Tetanus Edithdhgd

18

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, Jong Wim de, 2005, Tetanus, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah,

Edisi 2, EGC, Jakarta, pp: 21-24.

Ritarwan Kiking Dr., Tetanus, viewed 20 Mei 2011

<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-

kiking2.pdf>.

Ismanoe gatoet, 2007, Tetanus, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III

Edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, pp: 1777-

1785.

Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230.

Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997,

1205-1207.