Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

30
REFERAT TETANUS NEONATORUM Oleh: Octava Prima Arta G.99122091/D.6.2014 Pembimbing: dr. Yulidar Hafidh, Sp. A (K)

Transcript of Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Page 1: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

REFERAT

TETANUS NEONATORUM

Oleh:

Octava Prima Arta

G.99122091/D.6.2014

Pembimbing:

dr. Yulidar Hafidh, Sp. A (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

Page 2: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,

bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan.

Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.

Tetanus neonatorum terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) dan menyerupai

tipe tetanus generalisata. Spora dari kuman Clostridium tetani masuk melalui pintu masuk

satu-satunya ke tubuh bayi baru lahir, yaitu tali pusat. Peristiwa tersebut dapat terjadi pada

pemotongan tali pusat ketika bayi baru lahir maupun perawatan sebelum lepas tali pusat.

Tetanus dapat mengakibatkan kesulitan menetek dan menangis berlebihan disusul

kesulitan menelan, kekakuan tubuh dan spasme. Opistotonus dapat terjadi sangat hebat atau

tidak timbul sama sekali. Di negara-negara berkembang angka kejadian tetanus neonatorum

85% dengan mortalitas akibat tetanus neonatorum akan mendekati 100% terutama

kasusdengan masa inkubasi pendek.

Kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih

memiliki kondisi kesehatan rendah. Data organisasi kesehatan dunia WHO menununjukkan

kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara

maju karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama

proseskelahiran. Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 1994, dari 8,1 juta kematian

bayi didunia, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum,

sedangkan angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia, pada tahun 1992 sebanyak 760

Page 3: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

kasus,meninggal 478 dengan CFR 72,42%. Pada tahun 1995 sebanyak 806 kasus, meninggal

475kasus dengan CFR 58,93%. Tahun 1996 terdapat 816 kasus, meninggal 499 dengan

CFR61,15%. Dan pada tahun 1997 terdapat 570 kasus, meninggal 106 dengan CFR

18,6%.Sejak tahun 1989,WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus

neonatorum.Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan tersebut.

Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara

berkembang lain, maka UNICEF ,WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur

eliminasi hingga 2005.

Secara umum faktor-faktor risiko yang dipandang mempengaruhi kejadian dan

kematian pada tetanus neonatorum adalah status imunisasi ibu dan higienitas yang kurang

selama dan setelah persalinan.

Page 4: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tetanus Neonatorum

2.1.1 Definisi

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium

tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh

badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka. Neonatus adalah bayi baru lahir

yang berusia di bawah 28 hari. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada

neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin

(racun) yang menyerang sistem saraf pusat. Tetanus neonatorum merupakan penyebab

kejang yang sering dijumpai pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau

asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai

akibat pemotongan tali pusat atau perawatan yang tidak aseptik.

Penyakit tetanus merupakan salah satu yang berbahaya karena mempengaruhi sistem

saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti

menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia

menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung

(opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.

2.1.2 Etiologi

Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang

berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang

bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan

saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh Clostiridium tetani yang

didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

Page 5: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,

ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu

ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan

pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.

Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan

hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf

pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

Faktor predisposisi pada tetanus, antara lain:

1. Umur tua atau anak-anak

Page 6: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

2. Luka yang dalam dan kotor

3. Belum terimunisasi

2.1.3 Faktor Resiko

Terdapat 5 faktor resiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:

a. Faktor Resiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik

Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium

tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering

mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan

lingkungan adalah amat penting bukan saja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit

lain.

b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat

Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko

penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara

berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih

menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru

lahir.

c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat

Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan

ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat

tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu

ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini

akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.

d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan

Page 7: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat

pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan penyakit

pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan

persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril.

e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil

Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu

mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari

ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi

Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari

ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT.

2.1.4 Patofisiologi

Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berproliferasi dapat disebabkan

berbagai keadaan antara lain :

1) Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau,

cangkul dan lain-lain.

2) Luka karena kecelakaan kerja (kena parang, kecelakaan lalu lintas).

3) Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.

Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan

spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin.

Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron.

Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga

ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat

(SSP) dan sistim saraf perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi

presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat

Page 8: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang

berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-

bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada

otot rahang dan leher.

Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat

terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Jika

toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf

otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan,

metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot.

Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan

(hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit

ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul.

Clostridium tetani  masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam

bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang

menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau

berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya

penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah

toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh

kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai

berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Page 9: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-

otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf

pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,

selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat

pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah

merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada

manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga

memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan

dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan

saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal

yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain

melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin

ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd

toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang

mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian

bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Page 10: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

Tetanus lokal

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap toksin tetanus yang

masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di

sekitar luka.

Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang

terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan

medula spinalis servikalis.

Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai

tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus

lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke

dalam SSP.

Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan

kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian

mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan

panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah

yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain

sesuai urutan panjang saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai

efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.

Page 11: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.

Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit

tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada

neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk

transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas

belum diketahui secara jelas.

Cara kerja toksin

Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke

sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat

mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh

toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin

spesifik.

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari Gram positif anaerob,

Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke

dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari

4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan

eksotoksin (tetanus, gas ganggren, diphteri, botulisme).

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan

peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka

yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing

atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang

terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah

tulang jari dan luka pada pembedahan.

Page 12: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Gambar Patofisiologi Tetanus

2.1.5 Tanda dan Gejala pada Tetanus

1) Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari

2) Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)

3) Kesukaran membuka mulut (trismus)

4) Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang

5) Saat kejang tonik tampak risus sardonikus

Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti

menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-

3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari,

namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek

masa inkubasi makin buruk prognosis.

Page 13: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Gambar Epistotonus pada Tetanus Neonatorum

Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan

susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin

jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada

tetanus neonatorum adalah:

a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot

pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga.

Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut

sehingga bayi tak dapat menetek.

b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak

tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah.

c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu

pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi

fraktur tulang vertebra.

d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain

otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga

penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks

berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.

Page 14: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terus-

menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat

menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia),

atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan

demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa

buang air kecil (retensi urin).Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan

ketgangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut

(trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus)

dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung

serimng tampak risus sardonikus karena spsme otot muka dengan gambaran aksi tertarik ke

atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran

umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam

ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul

proksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat

pula timbul spontan. Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis,

retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai

demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir.

Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus, antara lain :

1) Badan kaku dengan epistotonus

2) Tungkai dalam ekstensi

3) Lengan kaku dan tangan mengepal

4) Biasanya keasadaran tetap baik

5) Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :

Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.

Page 15: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine,

fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir.

Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal,

diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.

2.1.6 Klasifikasi

Menurut Ablett’s

Tingkat I : tanpa dysfagia dan ganggguan respirasi

Tingkat II: spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia) dan gangguan respirasi.

Tingkat III a: dengan spastisitas berat disertai spasme berat

Tingkat IIIb: Sama dengan tingkat IIIa disertai adanya aktivitas simpatis berlebihan

(disotonomia)

Menurut Patel and Joag

• Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang

• Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

• Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang

• Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Tingkatan penyakit:

Tingkat I: Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %

Tingkat II: Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7

hari dan onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %.

Tingkat III: Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan

onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.

Tingkat IV: Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%.

Page 16: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

Tingkat V: mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah tetanus

neonatorum maupun puerpurium.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat

luka.

 Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot

perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

 Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek.

Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan

dimana kesadaran tetap baik.

Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada

rahang

Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak,

deteksi kuman sulit

Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.

2.1.8 Diagnosis Banding

Meningitis Demam, sakit kepala, perubahan tingkat

kesadaran, tanda iritasi meningen (nuchal

rigidity, kernig’s sign positive)

Ensefalitis Demam (hiperpireksia), penurunan

kesadaran, muntah, kejang-kejang bisa

bersifat umum, fokal atau twitching saja,

paresis atau paralisis dan afasia.

Tetani karena hipokalsemia Adanya spasme karpopedal

Trismus akibat proses lokal yang Biasanya trismus asimetris

Page 17: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

disebabkan mastoiditis, otitis media

supuratif kronis (OMSK), abses

peritonsilar.

Rabies Dijumpai gejala hidrofobia dan

kesukaran menelan, pada anamnesis

terdapat riwayat digigit binatang pada

waktu epidemi.

2.1.9 Komplikasi

Bronkopneumonia

Asfiksia

Sepsis Neonatorum

2.1.10 Penatalaksanaan

 1.   Berikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan Nacl fisiologis (4:1) selama 48-

72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari

24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium

bikarbonat 1.5% dalam perbandingan 4:1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas

darah terlebih dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde,

mellui infus diberikan tambahan protein dan kalium.

2.      Diazepam awal dosis 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan

dosis rumat 8-10 mg/kg BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus

dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5

mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tambahan

diazepam 5 mg/kg BB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kg

BB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan secara

Page 18: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam

diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara IV.

3.      ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan

20.000 U sekaligus. Atau dapat diberikan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG), untuk

bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara

infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum

berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin

tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat

hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan

kontraindikasi pemberian secara IM.

4.      Ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam  4 dosis IV selama 10 hari. Bila pasien

menjadi sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis linnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat

dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.

5.      Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadine 10%.

6.      Perhatikan jalan nafas dan tanda-tanda vital lainnya, bila perlu berikan oksigen.

2.1.11 Prognosa

Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai

obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka

prognosisnya buruk. Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan

yaitu :

1) Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)

2) Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun)

3) Frekuensi kejang yang sering

Page 19: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

4) Kenaikan suhu badan yang tinggi

5) Pengobatan terlambat

6) Periode trismus dan kejang yang semakin sering

7) Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas

2.1.11 Pencegahan pada Tetanus

Pencegahan penyakit tetanus meliputi :

1) Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan

2) Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X

3) Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat

4) Pemberian anti tetanus serum.

DAFTAR PUSTAKA

Page 20: Refrat KBRT Prima Tetanus Neonatorum

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :

Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan

Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.

2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical

Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871.

3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004.

4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305.

5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak

Indonesia.

6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to

date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm