Refrat Tetanus Pd Anak

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. 1

description

anakk

Transcript of Refrat Tetanus Pd Anak

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan

oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus

dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi

sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang

cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh

dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan

tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 20 tahun terakhir,

insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi.

Di Indonesia tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar

penyebab kematian pada anak, Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun

namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu,

meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini

masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah

diterapkan secara luas di seluruh dunia6

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya

tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin atau suatu toksin

protein yang kuat yang dihasilkan oleh kuman Clostridium tetani dan merupakan

basil Gram positif anaerob. 2

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka

pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi

tali pusat (Tetanus Neonatorum). 2

2.2 Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk

batang dengan sifat :

Basil Gram-positif

Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu

tinggi, kekeringan dan desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia

dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas

dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,

dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu

bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam

2

lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8

°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan

agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan

secara fisik dan biologik. 7

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya

luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.

Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus

dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga

tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau

subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau

sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka yang

terkontaminasi tanah. 1

Gambar 2.1 karakteristik Clostridium Tetani

3

2.3 Epidemiologi

Di negara yang maju seperti Amerika Serikat, kejadian tetanus yang

dilaporkan telah menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena

meluasnya penggunaan imunisasi terhadap tetanus. Sejak pertengahan 1970an,

50-100 kasus dilaporkan setiap tahunnya. Dari 2000 hingga 2007, sebanyak 31

kasus dilaporkan setiap tahunnya. Angka mortalitas tetanus menurun dari 30%

hingga mencapai 10% beberapa tahun terakhir.

Tetanus merupakan penyakit endemik hampir di 90 negara berkembang.

Tetanus yang paling sering ditemukan adalah tetanus neonatorum yang

menyebabkan kematian 500.000 bayi setiap tahun. Angka kejadian tersebut

diduga terkait dengan ibu yang tidak diimunisasi tetanus.

Diperkirakan 15000-30000 wanita di dunia yang tidak diimunisasi tetanus

meninggal karena maternal tetanus, akibat persalinan normal, post abortus, atau

post operasi akibat luka yang terinfeksi C. tetani dan 50 kasus tetanus setiap

tahun dilaporkan di amerika. Sekitar 20% anak di amerika usia 10-16 tahun tidak

memiliki antibodi terhadap tetanus. 6

2.4 Patogenesis

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif

anaerob. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau

sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser

4

yang terkontaminasi tanah, luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat

yang tidak steril.

Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel

vegetatif   bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan

yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian

tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas

pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis

timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan

neuromuskular junction serta syaraf autonom. 2

Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan

asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin

botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid.

Toksin dari tempat luka menyebar ke motor end plate dan setelah masuk

lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian

ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala

klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat

tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi

kontraksi otot yang tidak terkontrol/eksitasi terus menerus dan spasme.

Neuron menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron,

yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter

inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan

penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. 5

5

Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari

motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas

muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi.

Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot

agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri

dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon.

Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali

terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot

tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak

terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan

kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma

meningkat.1

Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh

antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses

penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga

perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh sehingga terjadi 

gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,

saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama

jantung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf

otonom yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala

timbul. 7

6

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja di

susunan syaraf pusat, dengan cara:

• Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

 pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

• Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi

dari reflex synaptik di spinal cord.

• Kejang pada tetanus disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglion

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System

(ANS) dengan gejala seperti berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti,

takikardia, aritmia jantung, peninggian katekolamin dalam urine. 7

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan 

meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi

trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif

terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak

hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi

agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis

tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik

dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk

bergerak) pada voluntary muscles (otot yang bergeraknya dapat dikontrol dan

7

biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya

disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi. 2

2.5 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat

hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Hal ini secara langsung

berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka)

ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat

luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa

inkubasi semakin jelek prognosanya. 5

Secara klinis tetanus ada 3 macam :

a. Tetanus umum

b. Tetanus lokal

c. Tetanus cephalic

d. Tetanus neonatorum

a. Tetanus umum

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.

Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka

bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus

dekubitus, dan suntikan hipodermis.

Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik  bersif

at menyeluruh ataupun sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang

(trismus) dan leher (kaku kuduk). 50% penderita tetanus akan menunjukkan gejala

trismus. Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke

8

ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama maseter menyebabkan mulut sukar

dibuka, sehingga penyakit ini disebut Lock Jaw. Selain kekakuan otot masseter,

pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka

meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,sudut

mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi),

Akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri

waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kaku kuduk

sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang

umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal

(rabaan, sinar dan bunyi).

spasme menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat

dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri

yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan

mudah terangsang. Spasme otot-otot laring dan otot pernapasan dapat

menyebabkan gangguan menelan, asfiksia, dan sianosis.

Retensi urine sering terjadi karena spasme spincter kandung kemih.

Kenaikan temperature badan umumnya tidak tinggi tapi dapat disertai panas yang

tinggi sehingga harus berhati-hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas

dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi

overaktivitas simpatis berupa takikardia hipertensi yang labil, berkeringat banyak,

panas yang tinggi dan aritmia jantung. 2

9

b. Tetanus lokal

Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal

dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian

1%,kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.

c. Tetanus Cephalic

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah

infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik

(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus

umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya

buruk.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali

pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang

tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah

ketidakmampuan untuk menyusu, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan

spasme. Posisi tubuh trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan

opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal.

Pada bayi dengan tetanus tidak ada peningkatan suhu badan, keluhan yang

biasa ditemui kesulitan disusui karena sulit menelan.

Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap

dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah

hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari

10

kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps

sirkulasi dan kegagalan jantung paru. 6

2.6 Klasifikasi Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

Derajat Manifestasi Klinis

Derajat I : Ringan Trismus ringan sampai

sedang;spastisitas umum tanpa spasme

atau gangguan pernapasan;tanpa

disfagia atau disfagia ringan

Derajat II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan

spasme ringan sampai sedang dalam

waktu singkat; laju napas>30x/menit,

disfagia ringan

Derajat III : Berat Trismus berat; spastisitas umum;

spasmenya lama; laju napas>40x/menit;

laju nadi > 120x/menit, disfagia berat

Derajat IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom

termasuk kardiovaskular) Hipertensi

berat dan takikardia yang dapat

diselang-seling dengan hipotensi relatif

dan bradikardia, dan salah satu keadaan

tersebut dapat menetap

11

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan anamnesis

a. Adanya riwayat luka yang terkontaminasi.

b. Trismus, disfagia, Risus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan

otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

c. Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menyusu

d. Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun

 spontan di mana kesadaran tetap baik.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meliputi tiga prinsip yaitu:

1. Mencegah invasi sumber infeksi yaitu bakteri Clostridium Tetani.

2. Toksin yang terdapat dalam tubuh harus dinetralisasi.

3. Efek toksin yang mencapai sistem saraf pusat harus diminimalisir.

1. Mencegah invasi sumber infeksi yaitu bakteri Clostridium Tetani.

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka

dibiarkan terbuka.

2. Netralisasi toksin

a. HTIG

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus

dengan dosis 3000-6000 secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin.

HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena

12

mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat

mencetuskan reaksi alergi

b. Anti tetanus serum

Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang

berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu

20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan

diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit.

Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada

daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar

menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului

oleh skin test . 3

3. Penekanan efek toksik sistem saraf pusat

a. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.

 Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot

yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi

ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal

menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan,

terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. 

Dosis pemberiaan diazepam dewasa, dimulai dari 10 mg setiap 6 jam.

Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah  0,3-0,5 mg/kgBB/kali

pemberian. pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan

pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam.

13

Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain

sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 4

b. Fenobarbital

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk

neonates dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat

menyebabkan hipoksia dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan

segera dengan dosis 5mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10

menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat

diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3

dosis melalui selang nasogastrik.

c. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25

mg IM 4kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin

tidak dibenarkan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada

penderita dengan tekanan darah yang labil dan hipotensi.

Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin.

Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek

dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan

dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen

tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma

yang adekuatmembutuhkan ventilasi mekanis. 3

14

2.9 Pencegahan

tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam

menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah

tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif .

Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan

merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai

sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.

2.10 imunisasi tetanus

Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6 dan 15-

18bulan. Dosis kelima diberikan usia 4-

6 tahun. 10 tahun kemudian diberikan

injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun

sekali

Bayi dan anak normal sampai usia 7

tahun yang tidak diimunisasi pada masa

bayi

DPT diberikan pada kunjungan

pertama, kemudian 2 dan 4 bulan

setelah injeksi pertama

Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah

injeksi pertama

Dosis ke-5 diberikan usia 4-6 tahun.

10 tahun kemudian diberikan injeksi TT

dan diulang setiap 10 tahun sekali

Usia > 7 tahun belum diimunisasi Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT

yang diberikan pada kunjunga pertama,

15

4-8 minggu setelah injeksi pertama, 6-

12 bulan setelah injeksi kedua. Injeksi

TT diulang setiap 10 tahun sekali

Ibu hamil yang belum pernah

imunisasi

Harus menerima dua dosis, injeksi TT

dengan jarak dua bulan ( baik pada 2

trimester terakhir)

Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3

yaitu 6 bulan setelah injeksi ke2, untuk

melengkapi imunisasi

Injeksi TT diulang setiap 10 tahun

sekali.

Apabila ditemukan neonatus lahir dari

ibu yang tidak pernah diimunisasi tanpa

perawatan obstetrik yang adekuat,

neonatus tersebut diberikan 250 IU

human tetanus immunoglobulin.

Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga

harus diberikan

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I11 Edisi I1. Jakarta : EGC.

2. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2007.

3. Janet Stringer L. Konsep Dasar Farmakologi. Jakarta : EGC

4. Rahardja Kirana. Tjay Hoan Tan. Obat obat penting, edeisi ke 6, Jakarta.

5. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta. 2007, EGC.

6. Tetanus neonatorum. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat Surveilans

Epidemiologi. Diunduh dari http://www.surveilans.org/general.php.

7. .Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan

penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008

17