TETANUS Makalah

59
TETANUS I. PENDAHULUAN Tetanus adalah suatu penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat tanpa disertai gangguan kesadaran . (1,2,3,4,6,7 ) Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. (1,3) Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. (1,2,3,4,6,7 ) Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". (6) Hipocrates sudah menggambarkan gejala peyakit tetanus pada manusia. (4) Tahun 1882 Nicolaier dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. (4) Kemudian tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier kuman Cl tetani dan toksinnya dapat di isolasi. (4) Selanjutnya tahun 1890 von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang merupakan dasar metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan imunisasi tetanus. (4) Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif. (4) 1

description

TT

Transcript of TETANUS Makalah

Page 1: TETANUS Makalah

TETANUS

I. PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme

otot yang periodik dan berat tanpa disertai gangguan kesadaran. (1,2,3,4,6,7 )

Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang

disebabkan tetanospasmin.(1,3) Tetanospamin merupakan neurotoksin yang

diproduksi oleh Clostridium tetani.(1,2,3,4,6,7 )

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease".(6) Hipocrates sudah

menggambarkan gejala peyakit tetanus pada manusia.(4) Tahun 1882 Nicolaier dan

Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri.(4) Kemudian

tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier kuman Cl tetani dan toksinnya dapat di

isolasi.(4) Selanjutnya tahun 1890 von Behring dan Kitasato melaporkan

keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang

merupakan dasar metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan imunisasi

tetanus.(4) Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid

untuk imunisasi aktif.(4)

Spora Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka.

(1,2,3,4,5,6,7 ) Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi,

luka tembak, luka tusuk, luka bakar, luka gigit oleh manusia/binatang, luka

suntikan, infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) dan sebagainya. (1,2,3,4,5,6,7 )

1

Page 2: TETANUS Makalah

II. ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif Clostridium tetani. (1,2,3,4,5,6,7)

Beberapa tipe Cl. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagel spesifik, yang

semuanya mempunyai antigen O (somatic) yang dapat terbungkus dan semuanya

menghasilkan neurotoxin yang sama yaitu tetanospasmin.(5) Bakteri ini terdapat

dimana-mana, dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari

kotoran binatang peliharaan (misal: kuda) dan kotoran manusia. (1,2,3,4,5,6,7 )

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang berbentuk batang,

selalu bergerak dan merupakan bakteri obligat anaerob yang menghasilkan spora.(3,5)

Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau

paha ayam. (1,2,3,5,6) Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun

dalam lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten

terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.(1,2,3,5,6) Spora bakteri

ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan dalam air, tetapi dapat

dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir, pada suhu 120° C selama 15

menit. (1,2,3,5,6,)

Sel yang terinfeksi bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat

sensitive terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya).(1,2,3,6)

Bakteri ini jarang dikultur oleh karena diagnosa berdasarkan gejala klinis. (1, 2,3,6)

Sifat basil anaerob yang terkenal dikarenakan oleh karena ketidakmampuan

bakteri ini menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen akhir. Kuman ini tidak

punya sitokrom dan sitokrom oksidase serta tidak dapat memecahkan hidrogen

peroksidase. Oleh karena itu bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun

sampai mencapai kadar toksik dalam tubuh manusia. Bakteri ini mungkin juga tidak

mempunyai superoksida dismutase sehingga memungkinkan penimbunan radikal

bebas anion superoksida yang toksik. (5)

Tidak seperti kebanyakan golongan Clostridia yang lain, Cl. Tetani bukan

organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui

pengaruh toksin tetanospasmin yang lebih sering disebut toksin tetanus. (3,4) Toksin

2

Page 3: TETANUS Makalah

tetanus adalah toksin kedua yang paling beracun yang pernah ditemukan dan toksin

ini hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botolinum, dosis letal-nya

diperkirakan 10-6 mg/kg. (1,3) Toksin tetanus struktur asam aminonya homolog

dengan struktur asam amino toksin botolinum. (2, 3)

3

Page 4: TETANUS Makalah

III. EPIDEMIOLOGI

Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara berkembang

dengan insiden yang sangat bervariasi, kejadian di seluruh dunia sekitar 1 juta

kematian pertahun.(1,2,3,6) Bentuk yang paling sering ditemukan adalah tetanus

neonatorum yang (mengakibatkan kematian 500.000 per tahun), wanita yang tidak

terimunisasi akibat infeksi Cl. Tetani pasca partus, pasca abortus atau pasca bedah,

serta pada anak yang tidak terimunisasi. (1)

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut

seperti luka tusuk, laserasi/abrasi pada orang yang tidak di imunisasi, terimunisasi

sebagian dan orang yang sudah di imunisasi tapi tidak disuntik booster secara

periodik.(2,3,6) Sedangkan kasus tetanus neonatorum di Amerika Serikat sangat

jarang yaitu hanya 50 kasus per tahun.(2,3,6)

Hubungan antara jenis kelamin dan ras dengan resiko untuk terkena tetanus

tidak ada, akan tetapi laki-laki lebih cenderung terkena tetanus oleh karena laki-laki

di beberapa kebudayaan negara tertentu lebih sering bekerja di lahan pertanian yang

program imunisasi tetanus di negara tersebut tidak ada. (2,6)

Ada hubungan antara umur dengan resiko terkena tetanus yaitu tetanus berat

lebih sering terjadi pada neonatus dan lansia. (2,6)

4

Page 5: TETANUS Makalah

IV. PATOGENESE

Clostridium tetani masuk kedalam tubuh melalui luka.(1,2,3,4,5,6,7 ) Cl. Tetani

sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan tempat port d entre’ tetap tenang tanpa

ada tanda-tanda inflamasi kecuali bila ada tanda infeksi sekunder.(2,3,6) Kuman

tetanus tetap tinggal di daerah luka dan tidak ada penyebaran kuman ke seluruh

tubuh.(4)

Clostridium tetani membentuk 2 macam eksotoksin yaitu Tetanolisin dan

tetanospasmin.(3,4) Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih

hidup yang mengelilingi sumber infeksi (port d entre’) dan mengoptimalkan kondisi

yang memungkinkan multiplikasi bakteri (berkembangnya bakteri ini di jaringan

tubuh).(3,4) Tetanospasmin adalah metalo-exotosin tetanus yang mungkin mencakup

5% dari berat organisme ini sendiri.(3) Toksin ini merupakan polipeptida rantai

ganda dengan berat 150.000 Da, terdiri dari rantai berat (100.000 Da) dan rantai

ringan (50.000 Da) yang dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap

protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida

yang menghubungkan 2 rantai ini.(1,2,3,6) Ujung karboksil dari rantai berat terikat

pada membran syaraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ini ke

dalam sel syaraf.(3) Rantai ringan bekerja pada presinaps untuk mencegah pelepasan

neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. (1,2,3,4, 6,7)

Toksin ini mengikat motor neuron terminal syaraf perifer, masuk ke axon

dan melalui transport intraneural yang berjalan retrograde mencapai badan sel

syaraf di batang otak dan medula spinalis.(1,2,3,4,6,7) Kecepatan transport toksin tetanus

pada syaraf ternyata 3,4 mm/jam.(1) Transport terjadi pertama kali pada syaraf

motorik, lalu ke syaraf sensorik dan syaraf otonom.(3) Jika toksin telah masuk ke

dalam sel syaraf, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk ke neuron di dekatnya. (3)

Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh maka gejala-gejala tetanus akan

muncul.(3,7)

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang

menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang sehingga akan

5

Page 6: TETANUS Makalah

membebaskan rantai ringan.(3) Kemudian rantai ringan tetanoplasmin yang

merupakan metallo protease zinc akan membelah sinaptobrevin pada suatu titik

tunggal sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter.(1,2,3,6) Sinaptobrevin

merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler

yang mengandung neurotransmitter.(1,3,6) Akibatnya neurotransmitter inhibisi yaitu

GABA dan glisin tidak dapat keluar sehingga akan terjadi eksitasi terus menerus

dan spasme otot.(1,2,3,6,7)

Jika diasumsikan kecepatan transport intraneural toksin tetanus sama pada

semua syaraf, maka syaraf yang pendek akan terkena efek toksin tetanus terlebih

dahulu daripada syaraf yang panjang.(2,3) Hal inilah yang menjelaskan urutan efek

gejala tetanus dimulai dari kepala, badan dan ekstremitas pada tetanus generalisata.

(2) Otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat sebagai gejala awal tetanus karena

jalur axon syarafnya lebih pendek.(2,3)

Kekakuan biasa dimulai pada tempat masuk kuman atau pada tempat otot

masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke dalam medula spinalis terjadi

kekakuan yang makin berat pada ekstremitas, otot bergaris pada dada dan perut

sehingga timbul kejang.(3,7) Bilamana toksin mencapai serebri/batang otak akan

menyebabkan kejang spontan.(3,7)

Dengan dihambatnya neurotransmitter inhibisi GABA penurunan kecepatan

aktivasi neuron pada motor neuron akan meningkat sehingga terjadi rigiditas.(2,6)

Pembatasan aktivitas refleks dari penyebaran impuls polisinaps (aktivitas

glikonergik), agonis dan antagonis mungkin akan diperkuat daripada dihambat

sehingga mengakibatkan spasme otot.(2,6) Efek inhibisi juga terjadi pada syaraf

otonom preganglion simpatis di substansia grisea medula spinalis sehingga

berakibat hiperaktivitas syaraf simpatis dan peningkatan kadar katekolamin dalam

plasma.(2,3,6)

Gangguan pada sistem syaraf otonom berpengaruh pada pernafasan,

hemodinamika, metabolisme, hormonal, saluran cerna, saluran kemih dan

neuromuskeler.(7) Spasme laryng, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpireksia,

6

Page 7: TETANUS Makalah

hiperhidrosis dan henti jantung (pada tetanus berat) merupakan penyulit akibat

gangguan syaraf otonom yang dulu jarang dilaporkan oleh karena penderita sudah

meninggal lebih dahulu sebelum gejala ini muncul.(7) Dengan penggunaan diazepam

dosis tinggi dan pernafasan mekanik kejang dapat diatasi, namun gangguan syaraf

otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.(7)

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu: (2,3,6)

1. Toksin di absorbsi pada ujung syaraf motorik berjalan

retrograde di bawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat (SSP).

2. Toksin diabsorbsi oleh sistem limfatik dan pembuluh darah,

kemudian menyebar ke ujung syaraf seluruh tubuh. Akan tetapi toksin ini

tidak dapat langsung masuk SSP oleh karena BBB menghambat masuknya

toksin ini dari darah ke SSP.

V. PATOLOGI

7

Page 8: TETANUS Makalah

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending

bermigrasi secara sentripetal atau secara retrograde mencapai SSP. Penjalaran

terjadi di dalam axis silinder dari sarung perineural. Teori terbaru berpendapat

bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah (hematogen) dan

jaringan/sistem limpe. (2,3,6)

8

Page 9: TETANUS Makalah

VI. GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul

dengan kejang tonik klonik.(7) Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1

hari atau lebih lama 3 minggu atau beberapa minggu ).(7)

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: (1,2,3,6)

1. Localized tetanus (Tetanus Lokal)

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus.

Ad 1. Tetanus lokal (Localized Tetanus) (1,2,3,6)

Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang amat jarang. Pada tetanus

lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana

luka terjadi. Hal inilah yang merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot

tersebut biasanya ringan, kontraksi otot ini bisa bertahan dalam beberapa bulan

tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.

Tetanus lokal bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Prognosis tetanus bentuk ini

umumnya baik.

Ad.2. Tetanus cephalic (1,2,3,6)

Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1 –2 hari. Tetanus cephalic bisa berasal dari otitis media kronik, luka pada

daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung dan

kepala.

Gejala tetanus cephalic: trismus, disfungsi 1 atau beberapa syaraf kranial

yaitu N III, IV, V, VI, VII, IX dan XII. Syaraf kranial yang paling sering terkena

adalah N VII. Kelainan yang terjadi akibat kelainan syaraf kranial ialah kelopak

9

Page 10: TETANUS Makalah

mata retraksi dan penglihatan menyimpang (paralysis otot extraokuler), risus

sardonikus dan paralisis spastik otot lidah serta farings (disfagia).

Tetanus cephalic akan tetap menjadi tetanus lokal atau bisa akan

berkembang menjadi tetanus generalized. Prognosis tetanus bentuk ini buruk,

dengan angka mortalitas tinggi.

Ad.3 Tetanus generalized (1,2,3,6)

Bentuk ini yang paling banyak diketemukan (85-90% dari semua kasus

tetanus). Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50-75%), yang

disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot

leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain

berupa Risus Sardonicus yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot

punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa

menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis asfiksia. Bisa terjadi disuria dan

retensi urine akibat spasme dari sfingter kandung kemih, kompressi fraktur dan

pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa

juga mencapai 40° C, hal ini lazim karena banyak energi metabolik yang dihabiskan

oleh otot-otot yang spasme.

Kejang dapat terjadi berulang-ulang dan bisa dipicu oleh stimulus yang

ringan misal suara, cahaya dan sentuhan. Paralisis spastik tetanus biasanya menjadi

lebih berat pada minggu pertama sesudah gejala awal timbul, kemudian stabil pada

minggu kedua setelah itu sedikit demi sedikit menjadi lebih baik selama 1-4

minggu.

Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan

di jumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya

berdasarkan gejala klinis.

10

Page 11: TETANUS Makalah

Ad.4 Neonatal tetanus (1,2,3,6)

Merupakan bentuk infant daripada tetanus generalisata yang paling banyak

terjadi pada negara berkembang dan fatal bila tidak di terapi. Biasanya disebabkan

infeksi Cl. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan

persalinan. Spora yang masuk di sebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang

tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Cl. tetani,

maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak

steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Tetanus bentuk ini khas tampak dalam 3-10 hari pasca persalinan dengan

gejala sukar atau tidak mau minum susu disertai lapar dan menangis, iritabilitas,

rigiditas, fasial grimace (mulut mecucu) serta spasme bertambah buruk bila

disentuh. Tetanus neonatorum terjadi pada anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak

di imunisasi, imunisasi yang tidak adekuat dan terutama perawatan bekas potongan

tali pusat yang tidak steril. Prognosis tetanus neonatorum buruk, dengan angka

mortalitas 70-90%.

A. Karakteristik dari tetanus: (1,2,3,6)

Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7

hari.

Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya.

Setelah 2 minggu kejang mulai hilang, tapi kekakuan otot masih bertahan

lama.

Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dan

leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus).

Trismus ialah kekakuan otot-otot mengunyah (masseter) sehingga sukar

membuka mulut. Pada neonatus ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti

11

Page 12: TETANUS Makalah

mulut ikan dan bayi tak mau menetek. Untuk menilai kemajuan kesembuhan

secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari.

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk dan opistotonus.

Opistotonus adalah kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot

punggung, otot leher, trunk muscles dsb. Kekakuan yang sangat berat dapat

menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Risus sardonicus ialah spasme otot mimik dengan gambaran alis tertarik ke

atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah serta bibir tertekan kuat.

Gambaran umum yang khas berupa otot dinding perut kaku sehingga

dinding perut seperti papan dan opistotonus, tungkai ekstensi dan lengan

kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran penderita tetap baik. Bila

kekakuan makin berat akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya

terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, sinar

yang kuat dsb. Lambat laun “masa jeda” kejang makin pendek sehingga

anak jatuh dalam status convulsi.

Pada tetanus yang berat akan terjadi:

- Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh karena

kekakuan otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.

- Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi

(akibat gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat

pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak.

- Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain : retensi urinae, retensi alvi,

spasme larinx dsb.

- Patah tulang panjang dan fraktur kompresi tulang belakang.

12

Page 13: TETANUS Makalah

B. Anamnesa

Anamnesa yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala

klinik yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.

Pada tetanus neonatorum hal-hal yang dapat membantu :

1. Siapa penolong persalinan: tenaga medis/paramedis atau non medis/dukun

bayi, dan telah dilatih atau belum. Ini akan membantu membedakan

persalinan yang bersih / higienik atau tidak.

2. Alat apa yang dipakai untuk memotong talipusat

3. Ramuan/bobok/jamu apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan

potongan tali pusat.

4. Apakah ibu sudah diimunisasi tetanus toksid sebelum atau selama

kehamilannya.

5. Mulai kapan bayi tak dapat menetek (incubation period)

6. Berapa lama selang antar waktu antara gejala kejang yang pertama dengan

bayi tak bisa menetek (period of onset)

Pada anak perlu tambahan keterangan:

1. Apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah atau gigitan binatang.

2. Apakah sudah pernah imunisasi DT atau TT dan kapan yang terakhir.

3. Selang waktu antara timbulnya gejala klinik pertama (trismus atau spasme

lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)

13

Page 14: TETANUS Makalah

C. Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan tetanus yaitu

Philips, Dakkar, Udwadia, Ablett dan derajat Surabaya yang dilaporkan. (3,4,6,7)

1. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett :(3)

Derajat I (Ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas

generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit

disfagia atau tanpa disfagia.

Derajat II (Sedang): Trismus sedang, rigiditas yang tampak jelas,

spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang

dengan pernafasan lebih dari 30x/menit, disfagia ringan.

Derajar III (Berat): Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme

refleks berkepanjangan, Frekuensi nafas > 40x/menit, serangan apnea,

disfagia berat dan takikardi > 120x/menit.

Derajat IV (Sangat berat): sama dengan derajat III dan disertai

gangguan otonom berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi

berat dan takikardi yang terjadi berselingan dengan hipotensi dan

bradikardi, salah satunya dapat menetap.

2. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Philips

Di dasarkan pada 4 tolak ukur, yaitu masa inkubasi, porte d’entre,

status imunologi dan faktor yang memberatkan.(4)

Tabel 6.1 Derajat Keparahan Berdasarkan Kriteria Philips (4)

Tolak ukur Nilai

Masa inkubasi Kurang dari 48 jam

2-5 hari

6-10 hari

5

4

3

14

Page 15: TETANUS Makalah

11-14 hari

Lebih dari 14 hari

2

1

Porte d’entre Internal/umbilikal

Leher/kepala/dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui

5

4

3

2

1

Imunisasi Tidak ada

Mungkin ada/ibu mendapat

Lebih 10 tahun yang lalu

Kurang dari 10 tahun

Proteksi lengkap

10

8

4

2

0

Faktor yang memberatkan Penyakit atau trauma yang

membahayakan jiwa.

Keadaan yang tidak langsung

membahayakan jiwa.

Keadaan yang tidak

membahayakan jiwa.

Trauma atau penyakit ringan

Derajat American Society of

Anesthesiologist**

10

8

4

2

1

** Sistem penilaian status fisik penderita untuk menentukan resiko penyulit.

Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit

dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9), tetanus sedang (angka 9-16)

dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa

pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku dan

tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.

15

Page 16: TETANUS Makalah

3. Rasio skala derajat keparahan tetanus dan prognosis berdasar eMedicine : (6)

Periode inkubasi < 7 hari.

Periode of onset < 48 jam.

Luka didapatkan dari luka bakar, luka operasi, komplikasi patah tulang

atau aborsi septik.

Kecanduan narkotik.

Tetanus Generalisata.

Demam > 104° F (> 40° C).

Takikardi > 120 x/menit pada penderita dewasa (pada neonatus > 150

x/menit).

Tiap-tiap poin diatas mendapatkan nilai 1, kemudian hasilnya dijumlahkan,

Bila skor total:

Skor 0-1 Ringan, dengan angka mortalitas < 10%.

Skor 2-3 Sedang, dengan angka mortalitas 10-20%.

Skor 4 Berat, dengan angka mortalitas 20-40%.

Skor 5-6 Sangat berat, dengan angka mortalitas > 50%.

4. Derajat penyakit Tetanus kriteria Surabaya (7)

Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga

seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan

perjalanan klinis penderita. Digunakan kriteria derajat berat keparahan

penyakit tetanus Surabaya yang lebih sederhana dibanding cara penilaian

Ablett, Skor Phillips, Skor Dakkar atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian

Rizal menunjukkan adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan

kriteria Ablett. Penelitian klinis yang menitikberatkan pada perbedaan jenis

16

Page 17: TETANUS Makalah

kejang dapat dilakukan oleh paramedis sehingga perubahan dosis dapat

dilakukan lebih cepat dan tepat.

Derajat I (Tetanus Ringan) :

Trismus dengan lebar antar gigi ≥ 2 cm.

Kekakuan umum.

Kejang (-).

Gangguan respirasi (-).

Derajat II (Tetanus Sedang) :

Trismus dengan lebar gigi < dari 1 cm.

Kekakuan umum makin jelas.

Kejang Rangsang (+), tapi kejang spontan (-).

Derajat IIIa (Tetanus berat) :

Trismus berat dengan kedua baris gigi rapat.

Otot sangat spastik, timbul kejang spontan.

Takipnea, Takikardi.

Laringeal spasm.

Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan syaraf otonom) :

Gangguan otonom berat.

Hipertensi berat dan takikardi, atau

Hipotensi dan bradikardia.

Hipertensi berat atau Hipotensi berat.

17

Page 18: TETANUS Makalah

VII. DIAGNOSA

Diagnosa tetanus mutlak berdasar pemeriksaan fisik, berupa: (1,2,3,6,7)

1. Anamnesa : Anamnesa terarah untuk diagnostik dan prognostik,

misalnya partus non steril; penderita neonatus dengan usia kurang dari 2

minggu yang datang dengan gejala trismus, otot kaku dan kesadaran baik;

status imunisasi tetanus; masa inkubasi; periode of onset dan adanya riwayat

luka yang mendahului (walau riwayat luka adakalanya sudah penderita

lupakan).

2. Gejala klinis : Gejala klinik sangat jelas sehingga diagnosa mudah

ditegakkan.

3. Pemeriksaan lab : Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat

membantu dalam mendiagnosa tetanus.

Lab rutin biasanya normal, leukositosis dapat terjadi oleh

karena infeksi sekunder atau akibat stress dari spasme tetanus.

EEG dan Elektromiogram tidak menunjukkan pola yang khas

pada penyakit tetanus.

Kultur bakteri: Cl. Tetani seringkali tidak dapat diisolasi dari

luka penderita tetanus dan Cl. tetani bisa dikultur pada luka orang

yang tidak terkena penyakit tetanus.

CSS normal walaupun tekanan CSS dapat meningkat oleh

karena kontraksi otot.

Enzim otot pada serum mungkin meningkat misal SGOT,

creatin kinase, aldolase dan myoglobinuria.

18

Page 19: TETANUS Makalah

VIII. DIAGNOSIS BANDlNG

Untuk mendiagnosa banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali oleh

karena bisa dilihat dari pemeriksaan fisik, laboratorium tes (dimana cairan

serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi,

sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-

otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh, trismus, risus

sardonicus dan kesadaran penderita yang tetap normal. (1,2,3,6,7)

1. Rabies: Hidrofobia, disfagia yang mencolok, kejang klonik lebih dominan,

pleositosis CSS, ada riwayat gigitan binatang, orofaringeal spasme ada dan

trismus tidak ada.

2. Keracunan Strichnine (racun tikus): Trismus jarang ada, spasme otot

menyeluruh disertai relaksasi komplit antar spasme.

3. Hipokalsemia: Trismus tidak ada.

4. Meningoencephalitis: Penderita demam, trismus tidak ada, kesadaran

terganggu, CSS abnormal.

5. Polio: Trismus tidak ada, paralisis tipe flaccid dan CSS abnormal.

6. Lesi orofaring (abses parafaring, abses retrofaring dan abses gigi): Trismus

ada, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada.

7. Status epileptikus: Ada riwayat epilepsi dan kesadaran penderita terganggu.

19

Page 20: TETANUS Makalah

IX. PENATALAKSANAAN

A. TERAPI DASAR

Tujuan terapi ini berupa: (1,2,3,6)

1. Mengeliminasi kuman tetani untuk mencegah pelepasan toksin lebih

lanjut.

2. Menetralisir toksin yang tidak terikat sistem syaraf tubuh dengan

antitoksin.

3. Efek toksin yang terlanjur terikat di sistem syaraf di minimalisasi dengan

antikonvulsi.

4. Memberikan perawatan pendukung (terapi suportif).

1. Mengeliminasi sumber infeksi

Jika ada luka maka hendaknya di debridemen untuk menghilangkan spora

dan kondisi anaerob yang menguntungkan bagi Cl. tetani. Eliminasi sumber

infeksi dengan cara membersihkan luka, irigasi luka, eksisi jaringan

nekrotik, membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, hal

ini dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. (1,2,3,4,6,7)

Terapi antibiotik diberikan hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif

yang berperan sebagai sumber toksin, bukan untuk toksin yang

dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika

spektrum luas dapat dilakukan. (1,2,3,4,6,7)

Metronidazol (6,8)

Obat pilihan pertama pada tetanus karena aman, bisa penetrasi pada luka

dan abses serta tidak merangsang SSP (tak punya efek antagonis terhadap

GABA seperti Penisilin). Pada penelitian yang membandingkan

metronidazole dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang

20

Page 21: TETANUS Makalah

lebih tinggi dibandingkan penisilin oleh karena metronidazol tidak

menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA sehingga rangsangan

terhadap SSP lebih sedikit.(2,3,6,8)

Dosis: (6)

o Neonatus < 1200 gr: 7,5 mg/kg BB/48 jam IV.

o Neonatus usia < 7 hari dan > 1200 gr: 7,5-15 mg/kg BB/hari IV, dosis

terbagi.

o Neonatus usia > 7 hari dan > 1200 gr: 15-30 mg/kg BB/hari IV, dosis

terbagi.

o Anak-anak: 30 mg/kg BB/hari IV, dosis terbagi tiap 6 jam, dosis

maximal tidak lebih dari 4 gr/hari.

o Dewasa: 500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap metronidazol dan ibu hamil trimester I.

Interaksi Obat:

Meningkatnya efek samping dari obat golongan antikoagulan

warfarin, lithium dan fenitoin. Cimetidine akan

meningkatkan efek samping metronidazole. Reaksi seperti

disulfiram akan terjadi bila mana metronidazol diminum

bersama dengan alkohol.

Efek samping:

Diare atau konstipasi, anoreksia, rasa logam di lidah,

leukopenia dan ruam kulit.

Penicilin G(6,8)

Bersifat Bakteriosidal, oleh karena berikatan pada Protein pengikat penisilin

(PBPs) yang merupakan transpeptidase yang berikatan silang pada

peptidoglikan pada tahap akhir pembentukan dinding sel bakteri. Pada

21

Page 22: TETANUS Makalah

akhirnya menghambat pembentukan dinding sel bakteri dan mengaktivasi

enzim autolitik yang bertanggung jawab pada efek bakterisidal. Punya efek

antagonis terhadap GABA.(2,3,8)

Dosis: (6)

Anak-anak: 100.000 IU/kg BB/hari, IV/IM, dalam dosis terbagi tiap

4 jam.

Dewasa: 4 juta IU/tiap 4 jam IV. Dosis maksimal tidak lebih 24 juta

IU/hari

Kontraindikasi: Alergi golongan penisilin.

Interaksi Obat:

Probenesid meningkatkan efek dari penisilin; bila digunakan

bersama dengan tetrasiklin akan menurunkan efek dari

penisilin; mempunyai efek sinergisme dengan golongan

antibiotik aminoglikosida; menurunkan eliminasi obat

methotrexate; menurunkan efek kontrasepsi PO.

Efek samping:

Gangguan GIT, reaksi alergi, urtikaria, demam dan ruam kulit.

Eritromisin(6,8)

Antibiotik yang bersifat bakteristatik yang menghambat sintesis protein

bakteri dengan berikatan pada Ribosom bakteri subunit 50s. Bukan

antibiotik pilihan pada penyakit tetanus, tapi bisa dipakai sebagai alternatif

bila obat pilihan pertama tidak bisa digunakan oleh karena alasan tertentu.

(6,8)

Dosis: (6)

Anak-anak: 15-50 mg/kg BB/hari, IV, dalam dosis terbagi, diberi

tiap 6 jam. Dosis maksimal 4 gr/hari.

Dewasa: 15-50 mg/kg BB/hari, IV, dalam dosis terbagi, diberi tiap 6

jam, dosis maksimal 4 gr/hari.

22

Page 23: TETANUS Makalah

Kontraindikasi:

Alergi terhadap eritromisin, gangguan hepar, pemakaian

bersama astemizole, terfenadine atau cisapride.

Interaksi obat:

Menurunkan klirens metabolisme obat astemizole, terfenadine,

alfentanil, carbamazepine, cisapride, ciclosporine, fenitoin,

midazolam, simvastatin, teofiline dan triazolam. Eritromisin

meningkatkan efek dari warfarin.

Efek samping:

Gangguan GIT, hepatitis kolestasis akut.

Clindamisin(6,8)

Bersifat bakteriostat dengan cara berikatan pada ribosom subunit 50s. Bukan

obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat alternatif bilamana obat pilihan

pertama tidak bisa digunakan. (6,8)

Dosis: (6)

Neonatus < 7 hari: 10-15 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap

8-12 jam.

Neonatus > 7 hari: 10-20 mg/kg BB/hari, IV dalam dosis terbagi tiap

6-12 jam.

Anak-anak: 25-40 mg/kg BB/hari IV, dalam dosis terbagi, tiap 6-8

jam. Dosis maksimal 4800 mg/hari.

Dewasa: 300-900 mg/kali, tiap 6-12 jam. Dosis maksimal 4800

mg/hari.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap klindamisin, enteritis regional, kolitis

ulserative dan gangguan hati. Bisa menyebabkan kolitis yang

disebabkan antibiotik ini.

Interaksi obat:

23

Page 24: TETANUS Makalah

Meningkatkan durasi efek blokade neuromuskuler obat

tubokurarine dan pankuronium. Eritromisin akan

mengantagonis efek klindamisin, obat antidiare

memperlambat absorbsi klindamisin.

Efek samping:

Diare, mual, ruam kulit, gangguan fungsi hati dan

neutropenia.

Tetrasiklin(6,8)

Bersifat bakteriostatik dengan cara menghambat sintesis protein. Bukan obat

pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat alternatif bilamana obat pilihan

pertama tidak bisa digunakan. (6,8)

Dosis: (6)

Anak-anak:

Usia < 8 tahun kontraindikasi.

Usia > 8 tahun 25-50 mg/kg BB/hari PO, dosis terbagi tiap 6 jam.

Dosis maksimal < 3 gr/hari

Dewasa: 1-2 gr/hari PO dalam dosis terbagi.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap tetrasiklin, gangguan hepar yang berat, anak

usia < 8 tahun.

Interaksi obat:

Absorbsi tetrasiklin menurun bila diberikan bersama

antasida, susu, vitamin yang mengandung mineral (Ca2+, Al3+,

Mg2+, Fe2+), bismuth subsalisilat; mengurangi efek dari obat

kontrasepsi; meningkatkan efek hipoprotrombinemia dari

antikoagulan.

Efek samping:

24

Page 25: TETANUS Makalah

Mual, muntah, diare, fotosensitivitas terhadap sinar matahari.

Bisa menyebabkan kelainan gigi pada anak-anak usia < 8

tahun bila diberikan lama dan hal ini juga bisa terjadi bila di

berikan pada ibu hamil. Sindrom Fanconi bisa terjadi pada

orang yang menggunakan tetrasiklin yang sudah kadaluarsa.

Vancomisin(6,8)

Bersifat bakteriosidal dengan cara menghambat sintesis dinding sel dan

sintesis RNA bakteri. Bukan obat pilihan pada tetanus, tapi sebagai obat

alternatif bilamana obat pilihan pertama tidak bisa digunakan. (6,8)

Dosis: (6)

Neonatus < 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.

Neonatus < 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/12 jam

IV.

Neonatus < 7 hari dan BB > 2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam IV.

Neonatus > 7 hari dan BB < 1200 gr: 15 mg/Kg BB/hari IV.

Neonatus > 7 hari dan BB 1200-2000 gr: 10-15 mg/Kg BB/8-12 jam

IV

Neonatus > 7 hari dan BB > 2000 gr: 15-20 mg/Kg BB/8 jam IV.

Anak-anak: 10 mg/Kg BB/6 jam IV, dosis maksimal 1 gr/kali.

Dewasa: Dosis awal 1 gr/12 jam IV, dosis rumatan tergantung fungsi

ginjal.

Kontraindikasi:

Alergi terhadap vankomisin.

Interaksi obat:

Penggunaan bersama dengan obat-obat anestesi akan

menyebabkan eritema, reaksi anafilaksis; bila digunakan

bersama dengan aminoglikosida akan meningkatkan resiko

25

Page 26: TETANUS Makalah

nefrotoksik bila dibandingkan penggunaan aminoglikosida

saja.

Efek samping:

Flebitis pada tempat injeksi; rasa dingin dan demam, ototoksik

dan nefrotoksik.

2. Netralisasi toksin (antitoksin)

Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang

beredar di sirkulasi dan toksin di sekitar luka yang belum berikatan dengan

sel syaraf, walaupun toksin yang telah melekat pada sel syaraf tidak

terpengaruh dengan pemberian antitoksin.(2,3,6) Oleh karenanya antitoxin

harus diberikan sesegera mungkin untuk menetralisasi toksin sebelum

sampai SSP.(1,2,3,6)

Dosis optimal Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) belum

ditentukan, dosis sekali injeksi IM 500 IU sama efektifnya dengan dosis

yang lebih tinggi, tapi dosis setinggi 3000-6000 IU juga dianjurkan untuk

pasien dewasa maupun anak-anak.(1,2,3,6) Dosis TIG tambahan tidak

diperlukan oleh karena waktu paruhnya yang panjang.(3) Pemberian TIG

secara injeksi diinfiltrasikan ke dalam luka sekarang tidak perlu, oleh karena

manfaatnya tidak jelas.(1,3)

Anti toksin tetanus (ATT) yang berasal dari kuda biasanya dengan

dosis 50.000-100.000 IU diberikan dengan cara ½ dari jumlah tersebut IV

dan yang ½-nya IM, sebelum disuntikkan diperlukan pemeriksaan skin tes

(tes sensitivitas) oleh karena sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas

dan serum sickness syndrome. (1,3,6)

Keunggulan ATT lebih murah daripada TIG akan tetapi

kekurangannya waktu paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering

menimbulkan reaksi hipersensitivitas.(3)

26

Page 27: TETANUS Makalah

Dilakukan imunisasi TT/DT/DTP bersamaan dengan pemberian antitoksin

tetapi pada sisi yang berbeda dan juga dengan alat suntik yang berbeda.(1,6,7)

3. Antikonvulsi

Oleh karena semua pasien tetanus datang dengan spasme otot terutama

laringospasme yang paling berbahaya, maupun kejang menyeluruh maka

diperlukan obat relaksan otot atau antikonvulsi untuk meminimalisir efek

toksin tetanus yang sudah terlanjur terikat pada sel syaraf.(2,3) Obat yang

ideal adalah obat yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa

menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi.(3)

Diazepam yang merupakan golongan benzodiazepine (suatu agonis

GABA) yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan spasme pada

tetanus.(3) Lorazepam yang mempunyai masa kerja lebih panjang dan

midazolam yang mempunyai waktu paruh pendek adalah obat alternatif.(2,3)

Barbiturat dan klorpromazine bisa dipergunakan sebagai obat pilihan kedua.

(2,3) Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan

dipergunakan secara luas akan tetapi hasil metabolisme diazepam di hepar

yaitu oksazepam dan dismetildiazepam dapat terakumulasi di tubuh

sehingga mengakibatkan koma berkepanjangan.(3) Midazolam dapat

digunakan dengan akumulasi metabolit yang lebih sedikit daripada

diazepam.(3)

Dosis diazepam pada neonatus bolus 5 mg IV dan dosis rumatan

maksimal neonatus 120 mg/hari IV.(7) Dosis diazepam untuk anak-anak

bolus 10 mg IV dan dosis rumatan maksimal 240 mg/hari IV.(7) Bila dengan

dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), maka harus

dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik dan dosis diazepam dapat

ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan atau tanpa kurarisasi

(pankuronium, vekuronium, rekuronium, pipekuronium dan rokuronium).(3,7)

Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur

27

Page 28: TETANUS Makalah

dalam botol cairan infus.(7) Bila tidak ada syringe pump maka diazepam

diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari).(7)

Dosis midazolam untuk anak-anak 0,05-0,2 mg/Kg BB IV kemudian terapi

rumatan 0,06 mg/Kg BB/jam IV.(6) Dapat dipertimbangkan penggunaan

antikonvulsan lain seperti magnesium sulfat (MgSO4), bilamana ada

gangguan syaraf otonom.(7) Pada pemberian MgSO4 membutuhkan

pemantauan neurologis (refleks patella) dan fungsi pernafasan serta

pengukuran kadar magnesium serum tiap hari.(3)

B. TERAPI SUPORTIF (1,2,3,6,7)

Penatalaksanaan respirasi: pemberian oksigen, bebaskan jalan nafas

dengan intubasi atau trakeostomi jika diperlukan.

Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan sering

memindahkan posisi penderita untuk mencegah pneumonia.

Perawatan dengan stimulasi minimal di ruang isolasi untuk menghindari

rangsangan dari luar seperti suara, cahaya dan rangsangan sentuhan oleh

karena dapat menyebabkan kejang.

Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

penderita membuka mulut dan menelan. Nutrisi bisa diberikan secara

enteral maupun perenteral.

Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit.

28

Page 29: TETANUS Makalah

Ringkasan Penatalaksanaan tetanus: (7)

Tetanus Ringan:

Diberikan pengobatan dasar tetanus

Tetanus Sedang:

Terapi dasar tetanus.

Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas.

Pemberian cairan perenteral, bila perlu nutrisi perenteral.

Tetanus Berat/Sangat Berat:

Terapi sama dengan tetanus sedang, ditambah:

Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi.

Balans cairan di monitor secara ketat.

Apabila ada spasme sangat hebat perlu ventilasi mekanik dengan

pankuronium bromida 0,02 mg/Kg BB intravena, kemudian diikuti 0,05

mg/Kg BB/kali yang diberikan tiap 2-3 jam.

Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebih akibat gangguan otonom,

berikan β-bloker seperti propanolol atau antagonis adrenergik campuran β-

bloker dan α-bloker seperti labetalol.

29

Page 30: TETANUS Makalah

X. PROGNOSIS

Penyembuhan tetanus terjadi melalui regenerasi akson terminal dan

penghancuran toksin oleh tubuh.(3) Namun, karena episode tetanus tidak berakibat

produksi antibodi penetralisasi toksin, sehingga imunisasi aktif dengan tetanus

toksoid pada penderita yang telah sembuh dari tetanus adalah suatu keharusan. (2,3,6)

Faktor yang paling mempengaruhi hasil akhir perawatan tetanus dan

merupakan faktor yang paling penting adalah perawatan pendukung

(penatalaksanaan oksigenasi).(1,2,3) Mortalitas paling tinggi pada anak yang amat

muda dan pada lansia, masa inkubasi yang pendek, onset kejang yang cepat serta

keterlambatan untuk terapi.(1,2,3,6) Prognosis paling baik dihubungkan dengan dengan

masa inkubasi yang lama, tanpa demam dan tetanus terlokalisasi.(1,2,3,6)

Prognosa tetanus neonatal jelek bila: (1,2,3,6,7)

1. Umur bayi kurang dari 7 hari

2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang

3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam

4. Dijumpai muscular spasm.

Case Fatality Rate (CFR) tetanus berkisar 44-55% dengan obstruksi jalan

nafas, gagal nafas dan gagal ginjal sebagai penyebab yang utama, sedangkan CFR

tetanus neonatorum dari 10% dengan perawatan intensif di ICU, sampai > 60%

tanpa perawatan intensif di ICU.(2,3,6) Tetanus sefalik mempunyai prognosa paling

jelek karena kesukaran bernafas dan pemberian makanan.(3)

Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat

gagal nafas akut tetapi pada kasus tetanus berat gangguan otonom menjadi lebih

tampak.(2,3) Sebelum adanya ICU 80% kematian terjadi akibat gagal nafas akut yang

terjadi pada awal. Trujillo dkk melaporkan bahwa 40% kematian setelah adanya

perawatan intensif adalah henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi

respirasi (pneumonia berkaitan dengan ventilator dan peneumonia aspirasi).(2,3)

Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan di ICU sampai 3-5 minggu,

pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang.(3) Tonus yang

30

Page 31: TETANUS Makalah

meningkat dan spasme minor dapat terjadi berbulan-bulan, namun pemulihan dapat

sempurna, kembali ke fungsi normalnya.(3) Pada beberapa penelitian pada pasien

yang selamat dari tetanus sering dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis.

(3)

31

Page 32: TETANUS Makalah

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan

otot-otot pernafasan, terjadinya akumulasi sekresi bisa mengakibatkan pneumonia

dan atelektase, kompresi fraktur vertebrae, laserasi lidah akibat kejang, retensi urine

dan konstipasi akibat spasme spingter dan dehidrasi. Selain itu bisa terjadi gagal

ginjal dan henti jantung.(1,2,3,6)

32

Page 33: TETANUS Makalah

XII. PENCEGAHAN

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan

ulangan artinya resiko terkena tetanus lagi sama dengan orang yang tidak pernah di

imunisasi.(2,3,6) Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah penderitanya

sembuh, oleh karena toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk

merangsang pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat poten dan

toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal yang

mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan

kekebalan).(3,6)

A. Imunisasi Aktif

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid

merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Titer

protektif dari antibodi tetanus adalah 0,01 U/ml.(1,3) Walaupun demikian

tetanus tetap dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi, diperkirakan

mencapai 4 per 100 juta individu.(3) Mekanisme terjadinya kegagalan

imunisasi ini masih belum jelas.(3) Beberapa teori menyatakan bahwa beban

toksin yang melebihi kemampuan pertahanan imunisasi penderita, variabilitas

antigenik antara toksin dan toksoid serta supresi selektif dari respon imun.(3)

Imunisasi aktif harus dimulai pada awal masa bayi dengan vaksinasi

gabungan toksoid difteri-toksoid pertusis dan toksoid tetanus (DPT) pada usia

2, 4 dan 6 bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10

tahun dengan toksoid tetanus-difteri (Td).(1,2,3,6) Semua individu dewasa yang

imun secara parsial atau tidak imun sama sekali hendaknya mendapat

vaksinasi tetanus seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus.(3) Serial

vaksinasi untuk dewasa terdiri atas 3 dosis: dosis pertama dan kedua diberikan

dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis

pertama.(1,3) Dosis ulangan diberikan setiap 10 tahun.(3) Namun demikian

pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan.(3)

33

Page 34: TETANUS Makalah

B. Penatalaksanaan Luka

Penatalaksanaan luka yang baik:

1. Imunisasi pasif dengan TIG 250 unit IM pada individu dengan luka

derajat sedang (luka remuk, tusuk atau luka projektil peluru; luka

terkontaminasi ludah, tanah, tinja; jejas tarikan; fraktur komplikata)

bahkan TIG 500 unit IM untuk luka kotor dan luka > dari 24 jam. (1,2,3)

Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan ATT yang berasal dari kuda

atau sapi dengan dosis 3000-5000 U sesudah dilakukan uji

hipersensitivitas terlebih dahulu.(1,3)

2. Imunisasi aktif dengan vaksinasi, terutama Td untuk individu usia >

dari 7 tahun.(3) Toksoid tetanus dapat diberi bersama TIG atau ATT

asalkan diberikan melalui semprit yang berbeda dan tempat suntikan

yang berbeda. (1,3)

Tabel 12.1 Petunjuk Pencegahan Terhadap Tetanus Pada Luka.(1,4,6,7)

Imunisasi

Sebelumnya

Luka Bersih, Kecil Luka Kotor, Luka > 24 jam

Toksoid ATS Toksoid ATS

Tidak ada/tidak pasti

1x DT atau DTP

2x DT atau DTP

≥ 3x DT atau DTP

Ya*

Ya*

Ya*

Tidak#

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Ya*

Ya*

Ya*

Tidak# #

Ya

Ya

Ya

Tidak

Keterangan:

* = seri imunisasinya harus dilengkapi.# = kecuali boster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.

# # = kecuali boster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih lama lagi.

Cara pemberiannya melalui IM ATT 3000-5000 U atau TIG 250-500 U

DT = vaksinasi Difteri-Tetanus.

DPT= vaksinasi Difteri, Pertusis dan Tetanus

34

Page 35: TETANUS Makalah

C. Pencegahan Tetanus Neonatorum.

Penatalaksanaan yang dimaksud mencakup vaksinasi maternal bahkan

selama hamil, meningkatkan proporsi kelahiran di RS dan pelatihan penolong

kelahiran non-medis.(1,3) Imunisasi wanita untuk mencegah tetanus

neonatorum dengan dosis tunggal toksoid yang berisi 250 Lf Unit mungkin

aman diberikan pada wanita hamil trimester ketiga dan dapat memberikan

cukup antibodi transplasenta untuk melindungi bayinya sampai berumur

sekurang-kurangnya 4 bulan.(1)

35

Page 36: TETANUS Makalah

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN

TETANUS

Pembimbing:

dr. Tony Widiyanto Sp. A

Disusun Oleh:

Muhammad Faruk, S.Ked 02700200

SMF ILMU PENYAKIT ANAK RSUD R. KOESMA TUBAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TUBAN, 12 DESEMBER 2007

36

Page 37: TETANUS Makalah

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-

Nya serta kesempatan untuk mengerjakan Makalah Ilmu Penyakit Anak Dokter Muda

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, RSUD dr Koesma Tuban

dengan topik: “Tetanus”.

Terima kasih kepada dr. Tony Widiyanto Sp.A selaku Dosen Pembimbing

dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada

waktunya. Terima kasih atas peran serta seluruh teman-teman Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah banyak membantu.

Mohon maaf sebelumnya apabila ada kesalahan-kesalahan dalam penulisan

makalah ini, sebab masih banyak kekurangan akan ilmu pengetahuan kedokteran.

Oleh karena itu apabila ada masukan atau kritikan akan sangat dihargai, sehingga

makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

37

ii

Page 38: TETANUS Makalah

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................ i

Kata Pengantar ........................................................................................... ii

Daftar Isi .................................................................................................... iii

I. Pendahuluan ................................................................................... 1

II. Etiologi .......................................................................................... 2

III. Epidemiologi................................................................................... 4

IV. Patogenesa...................................................................................... 5

V. Patologi........................................................................................... 8

VI. Gejala Klinis................................................................................... 9

VII. Diagnosa ........................................................................................ 16

VIII. Diagnosa Banding .......................................................................... 17

IX. Penatalaksanaan.............................................................................. 18

X. Prognosa ........................................................................................ 28

XI. Komplikasi...................................................................................... 30

XII. Pencegahan .................................................................................... 31

XIII. Daftar Pustaka

38iii

Page 39: TETANUS Makalah

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman. E. Richard MD: Tetanus, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2,

Bab 193, edisi 15th, W.B.Saunders Company, Philadelphia, 1996, 1004-1007.

2. Harrison: Tetanus in: Principles of lnternal Medicine, volume 1, chapter 124,

ed. 16th, McGrawHill. Inc, New York, 2005, 840-842.

3. Sudoyo. Aru. W: Tetanus, Ilmu Penyakit Dalam, jilid 3, edisi 4, Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, Juni 2006,

1799-1807.

4. Sjamsuhidajat R. De Jong, Wim: Tetanus, Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah,

edisi 2, bab 2, EGC, Jakarta, 2004, 22-24.

5. Jawetz, Melnick, Adelberg: Clostridium Tetani, Mikrobiologi Kedokteran,

jilid 1, bab 12, edisi 1, Salemba Medika, Jakarta, 2001, 294-296.

6. www.pediatri\emedicine\Tetanus Article by Sonali Ray, MD.mht

7. www.pediatri\ePDT ANAK.htm\Tetanus.htm.

8. Katzung, Bertram G: Antibiotika, Farmakologi dasar dan klinik, buku 3, edisi

8, bab 43, 44, 50 dan bab 53, Salemba Medika, Jakarta, 2004, halaman 3-14,

25-26, 41-45, 47-48, 54, 163 dan 243-245.

1982, 626-636.

39