Anak - Tetanus Neonatorum

39
KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Tetanus berasal dari bahasa yunani yaitu tetanus yang berarti peregangan. Berikut ini adalah beberapa pengertian tetanus neonatorum dari berbagai sumber: 1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek disusul dengan kejang-kejang (WHO, 1989). 2. Tetanus neonatorum adalah kejang yang sering dijumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih (Ngastiyah, 1997). 1

description

tetanus

Transcript of Anak - Tetanus Neonatorum

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Tetanus berasal dari bahasa yunani yaitu tetanus yang berarti

peregangan. Berikut ini adalah beberapa pengertian tetanus neonatorum dari

berbagai sumber:

1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan

tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan

menyusu secara normal pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan tubuh

yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek disusul

dengan kejang-kejang (WHO, 1989).

2. Tetanus neonatorum adalah kejang yang sering dijumpai pada BBL, yang

bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh

infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat

pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih (Ngastiyah,

1997).

B. ETIOLOGI

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang

merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman

tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman

clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin

utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. Penyakit ini tersebar di seluruh

dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT

1

yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung

kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat

tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di

mana-mana. Masa inkubasi penyakit ini adalah antara 5-14 hari. Pada

umumnya tetanus neonatorum berlangsung lebih berat daripada tetanus pada

anak.

Selain disebabkan oleh clostridium tetani, tetanus neonatorum juga

dapat disebabkan oleh :

1.Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar

2.Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik

3.OMP, caries gigi

4.Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

5.Penjahitan luka robek yang tidak steril.

C. PATOFISIOLOGI

Spora yang masuk dan berada pada lingkunagan anaerobik berubah

menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin. Dalam

jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi

jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya nanah,

nekrosisi jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal

toksin disalurkan ke sel saraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang

aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan

fungsi sel saraf walaupun toksinnya telah terkumpul dalam sel. Dalam

sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk

2

sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada

daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan

menimbulkan kekauan.

Efek toksin pada :

1. Ganglion pra sumsum tulang belakang

Memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neuron yang

merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur rangsangan tidak

terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory

transmitter dan menekna pada membran neuro motorik.

2. Otak

Toksin yang menempel pada serebral gangliosides diduga

menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.

Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.

3. Saraf otonom

Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala

keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, takikardi.

Sekalipun otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh

yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga

timbul manifestasi klinik seperti seperti disebutkan diatas.

3

Pathway

Clostridium Tetani

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Gangguan sumsum

tulang belakang

Tonus otot meningkat

Otot menjadi kaku

Mulut sukar membuka

Bayi tidak dapat menyusu

kejang

Otak

(Cerebral gangliosides)

Keseimbanagn tonus otot

hilang

Spasme otot pernafasan

Liur (sekret) tertahan di

tenggorokan

Otot kaku dan mengalami

kelelahan

Saraf otonom

Saraf simpatis

Takikardi

Hipoksia

Penurunan O2 di otak

Kesadaran menurun

Cemas

Sumber: Robbins dan Kumar,1995

4

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Ketidakseimbangan

nutrisi : kurang dari

kebutuhan tubuh

Kurang pengetahuan

(orangtua/keluarga)

Resiko cederaPola nafas tidak efektif

D. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga

masyarakat pun mampu mengenalinya sebagai ”penyakit hari kedelapan”.

Anak yang semula menangis, menyusu dan hidup normal, mulai hari ketiga

menunjukkan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan

kesulitan dalam menyusu, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada

tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa. Bentukan

mulut menjadi mencucu seperti mulut ikan. Bayi yang semula kembali

menjadi lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi

kejang-kejang semakin menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik

kegagalan nafas. Kekakuan pada tetanus sangat khusus, yaitu fleksi pada

tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak

sejelas pada penderita anak.

Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian

menjalar keseluruh tubuh tanpa diserati gangguan kesadaran. Seluruh tubuh

bayi menjadi kaku, fleksi pada siku dengan tangan dikepal keras-keras.

Hipertoni menjadi semakin tinggi sehingga bayi dapat diangkat bagaikan

sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi

menengadah.

Gambaran umum pada tetanus :

1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)

Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat

kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka

mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar

5

bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada

anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut

kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan

mulut mencucu seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut

sehingga bayi tidak dapat menetek.

2. Risus Sardonicus (Sardonic Grin)

Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimik

a) Dahi mengkerut

b) Mata agak tertutup

c) Sudut mulut keluar dan kebawah menggambarkan wajah penuh

ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.

3. Opistolomus

Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh seperti pada otot

punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang

sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu

pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan

mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.

4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain

otot dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga

penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari

kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau

bronchopneumonia.

5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula

hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit,

6

digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kasar dan sebagainya.

Lambat laun, masa istirahat kejanng makin pendek sehingga anak jatuh

dalam status convulsivus.

6. Pada tetanus berat akan terjadi:

a) Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh

karena spasme otot laring yang bila berat menimbulkan anoxia dan

kematian.

b) Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan

sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradikardi,

takikardi atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan

suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak

(hiperhidrosis)

c) Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan

retensi urin.

d) Pada tulang paha dan fraktur kompresi tulang belakang.

E. KOMPLIKASI

1. Bronkopneumonia

2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pencernaan.

3. Sepsis neonatorum

F. PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada

tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor resiko. Meskipun

7

banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun

tidak semua dapat dihilangkan misalnya lingkungan fisik dan biologik.

Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik

dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian

dan peternakan untuk produksi pangan mereka.

Pendekatan pengendalian panganan dapat dilakukan dengan

mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi

pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali

pusat. Mengigat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun bayi

maka praktek 3 bersih yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas

tempat tidur ibu serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam

kurikulum pendidikan dukun bayi.

Pencegahan tetanus neonatorum juga dapat dilakukan dengan

pemberian toksoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada

trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus

neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat steril dan

perawatan tali pusat selanjutnya.

G. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan medik

a) Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl

fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya

IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih

dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan

8

glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5 % dalam perbandingan 4 : 1

(jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila

setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum per oral/sonde,

melalui infus diberikan tambahan proteindan kalium.

b) Diazepam dosisi awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3

menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui

IVFD (diazepam dimasukkan kedalam cairan infus dan diganti setiap

6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam

lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam

berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5mg/kgBB/hari

sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari.

Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan per oral dan

diturunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia

berat atau bila berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin

turun boleh diberikan secara intravena.

c) ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM.

Per infus diberikan 20.000 U sekaligus.

d) Ampisilin 100mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama

10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien sepsis

lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti

yang diberikan pada pasien menigitis bakterialis.

e) Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alkohol 70%/betadin 10%.

f) Perhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering

dihisap.

9

2. Penatalaksanaan keperawatan

Pasien tetanus neonatorum adalah pasien yang gawat, mudah

terangsang/kejang dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada

otot pernafasan sering menyebabkan pasien apnea. Spasme otot telan

akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat

menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat di kamar

yang tenang tepim harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada

bayi, dan bila terjadi apnea agar segera dapat dilakukan tindakan.

Dahulu, kamar tetanus selalu gelap). Masalah pasien yang perlu

diperhatikan adalah :

a) Gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apnea, yang

disebabkan karena adanya tetanospasmin yang menyerang otot-otot

pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme

pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga

mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya

lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara

(pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai

sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan

terlihat sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan:

1) Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan

ganjal dibawah tubuhnya.

2) Berikan O2 secara teratur karena bayi selalu sianosis (1-2

L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah

10

berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4L/menit. Jika kejang

telah berhenti, turunkan lagi)

3) Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah

jatuh kebelakang dan juga memudahkan penghisapan lendirnya.

Selama masih kejang sudip lidah dipasang terus.

4) Sering isap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan

nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir

pada mulut bayi.

5) Observasi tanda vital secara kontinu setiap ½ jam dan catat secara

cermat. Pasien tetanus neonatorum kemungkinan sewaktu-waktu

dapat terjadi apnea karena mendapatkan antikonvulsan secara

terus-menerus.

6) Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang

selubung tempat tidur/kaii di sekeliling tempat tidur karena

selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya

agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bila bayi

kedinginan juga dapat menyebabkan apnea. Jika bayi menderita

apnea, tindakan yang dilakukan:

(a) Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)

(b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L /menit)

(c) Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri

penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah

tulang dada dengan dua jari tangan kanan frekuensi 50-60

per menit. Tekanan dapat dilakukan dengan kedua jari diatas

11

dada bayi dan delapan jari di bawah punggungnya dengan

frekuensi sama.

(d) Bila belum berhasil, cabutlah sudip lidahnya, lakukan

pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian

secara ritmik dengan kecepatan 50-60 per menit bila perlu

diselingi tiupan. Bila melakukan tiupan, caranya

gembungkan dahulu pipi si penolong baru kemudian udara

dihembuskan (dengan cara ini hembusan udara tidak terlalu

kuat sehingga bahaya terjadinya alveoli pecah dapat

dihindarkan). Bila nafas buatan tidak segera berhasil atau

bayi sering apnea harus segera hubungi dokter. Pasien yang

menderita tetanus neonatorum biasanya sejak masuk di

ruangan segera dipasang infus untuk memberikan kalori dan

keperluan pengobatan secara intravena.

b) Kebutuhan nutrisi/cairan

Akibat bayi tidak dapat menyusu dan keadaannya payah,

untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infus dengan

cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka

cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1 ½ % dengan perbandingan

4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian

makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan

dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.

c) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

12

Kepada orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus perlu

diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat/gawat, maka

memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, keberhasilan

pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada

tidaknya obat yang diperlukan. Untuk pencegahan tetanus

neonatorum ini suntikan diberikan 3 kali berturut-turut. Kepada

pasien ibu hamil perlu dijelaskan bahwa tidak ada manfaatnya jika

suntikan tidak lengkap 3 kali.

Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas

perlu diberitahukan cara yang murah dan baik, yaitu menggunakan

alkohol 70% dan kassa steril yang telah dibasahi alkohol kemudian

dibingkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa

dibasahi lagi dengan alkohol yang sudah kering. Jika tali pusat telah

lepas dikompres alkohol diteruskan lagi sampai lika bekas tali pusat

kering betul (selama 3-5 hari). Jangan membubuhkan bubuk

dermatol atau bedak pada bekas tali pusat karena akan dapat terjadi

infeksi.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1 Pemeriksaan laboratorium

Liquor cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit

meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan

magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk

dilakukan.

13

2 Pemeriksaan radiologi

Foto rontgen thorax dilakukan setelah hari kelima.

14

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1 Wawancara

a) Riwayat kehamilan prenatal

Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT (Tetanus Toksoid) atau

tidak.

b) Riwayat natal

Ditanyakan siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu

membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat

pemotong tali pusat, tempat persalinan.

c) Riwayat post natal

Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat

menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala

tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of

onset).

d) Riwayat imunisasi pada tetanus anak

Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan

kapan terakhir.

e) Riwayat psiko sosial.

Meliputi kebiasaan anak bermain di mana, hygiene dan sanitasi

lingkungan.

15

f) Pengetahuan anak dan keluarga, meliputi pemahaman tentang

diagnosis, pengetahuan atau penerimaan tentang prognosa dan

rencana keperawatan ke depan.

2 Pemeriksaan fisik.

a) Keadaan umum

Lemah, sulit menelan dan kejang.

b) Kepala

Posisi menengadah, kaku kuduk, Risus sardonikus, ekspresi muka

yang khas, dahi mengkerut, alis teragkat, mata agak menyipit.

c) Mulut

Kekakuan mulut, sukar membuka, mengatupnya rahang seperti mulut

ikan, sudut mulut keluar dan ke bawah.

d) Dada

Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung

e) Abdomen

Otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi

setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.

f) Kulit

Turgor kulit kurang, pucat, kebiruan

g) Ekstremitas

Fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi

dapat diangkat seperti sepotong kayu. Dikaji juga apakah ada luka

tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang.

h) Respirasi

16

Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk dan

pilek.

i) Kardiovaskuler

Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler,

sirkulasi, berkeringat, hiperpireksia.

j) Neurologi

Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.

k) Gastrointestinal

Bising usus, pola defekasi, distensi.

l) Perkemihan

Produksi urin.

m) Muskuloskeletal

Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan.

2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan

nafas: sekresi yang tertahan.

3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorpsi

makanan.

4 Kurang pengetahuan (keluarga/orang tua) berhubungan dengan

keterbatasan paparan.

17

5 Resiko cedera berhubungan dengan ketidaksadaran (kejang), hipoksia

jaringan.

C. INTERVENSI

Diagnosa I

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan pola nafas efektif.

NOC : Respiratory Status : Ventilation

Kriteria Hasil :

a. Irama nafas sesuai yang diharapkan

b. Bernafas mudah

c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas

d. Tidak ada suara nafas tambahan

e. Ekspansi dada simetris

f. TTV dalam batas normal

Indikator Skala :

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang menunjukkan

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

NIC : Respiratory monitoring

a. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman pernafasan

b. Catat pergerakan dada dan kesimetrisannya

18

c. Palpasi ekspansi paru

d. Auskultasi suara pernafasan

e. Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif

f. Monitor sekresi pernafasan pasien

g. Monitor hasil rontgen

Diagnosa II

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif.

NOC : Respiratory Status : Airway patency

Kriteria Hasil :

a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada

sianosis

b. Menunjukkan jalan nafas yang paten

c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat

menghambat jalan nafas.

Indikator Skala

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang menunjukkan

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

NIC : Airway Management

a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu

19

b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

c. Lakukan fisoterapi dada jika perlu

d. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan

e. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

f. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

g. Monitor respirasi dan status O2

Diagnosa III

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat

seimbang/terpenuhi.

NOC : Nutritional Status : Food and Fluid intake

Kriteria Hasil :

a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan

e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Indikator Skala

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jaramg menunjukkan

3 : Kadang menunjukkan

4 : Sering mrnunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

20

NIC : Nutrition Monitoring

a. Berat badan pasien dalam batas normal

b. Monitor adanya penurunan berat badan

c. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi

d. Monitor turgor kulit

e. Monitor pucat, kemerahan, kekeringan jaringan konjungtiva

f. Monitor kalori dan intake nutrisi

Diagnosa IV

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan pengetahuan keluarga/orang tua

mengenai penyakit anaknya cukup

NOC : Knowledge : Disease Process

Kriteria Hasil :

a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan

program pengobatan.

b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar

c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim

kesehatan lainnya.

Indikator Skala

1 : Jidak pernah dilakukan

2 : Jarang dilakukan

3 : Kadang dilakukan

4 : Sering dilakukan

21

5 : Selalu dilakukan

NIC : Teaching : Disease Process

a. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan

dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat.

b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan

cara yang tepat

c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat

d. Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat

e. Sediakan informasi pada keluarga tentang kondisi pasien

f. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara

yang tepat

g. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

h. Instruksikan keluarga pasien mengenai tanda dan gejala untuk

melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.

Diagnosa V

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan resiko terhadap terjadinya cedera

tidak terjadi.

NOC : Risk Control

Kriteria Hasil :

a. Klien terbebas dari cedera

b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada

c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury

22

Indikator Skala

1 : Tidak pernah menunjukkan

2 : Jarang menunjukkan

3 : Kadang menunjukkan

4 : Sering menunjukkan

5 : Selalu menunjukkan

NIC : Manajemen lingkungan

a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.

b. Memindahkan lingkungan yang berbahaya

c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

d. Membatasi pengunjung

e. Mengontrol lingkungan dari kebisingan

f. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

D. EVALUASI

Diagnosa I

Kriteria Hasil Skala

a. Irama nafas sesuai yang diharapkan 5

b. Bernafas mudah 5

c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas 5

d. Tidak ada suara nafas tambahan 5

e. Ekspansi dada simetris 5

f. TTV dalam batas normal 5

23

Diagnosa II

Kriteria Hasil Skala

a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 5

bersih, tidak ada sianosis

b. Menunjukkan jalan nafas yang paten 5

c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat 5

menghambat jalan nafas.

Diagnosa III

Kriteria Hasil Skala

a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 5

b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 5

c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi 5

d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan 5

e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 5

Diagnosa IV

Kriteria Hasil Skala

a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan 5

program pengobatan.

b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara 5

benar

c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ 5

tim kesehatan lainnya.

24

Diagnosa V

Kriteria Hasil Skala

a. Klien terbebas dari cedera 5

b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada 5

c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury 5

25

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz Alimul .A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.

Hinchliff, Sue. 1997. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Johnson, Marion, dkk. 2000. Nursing Outcomes classification ( NOC ). Missouri: Mosby.

Mc. Clostrey, Deane C, & Bulecheck, Glorid M. 1996. Nursing Intervention Classification ( NIC ). Missouri: Mosby.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta: EGC.

Santosa, Budi. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.

Wong, Dona.L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:EGC.

26