Laporan Tutorial Skenario 1

32
SKENARIO 1 Seorang perempuan 40 tahun datang ke dokter gigi atas rujukan dokter spesialis kulit yang merawat untuk perawatan pada rongga mulutnya. dari surat rujukan diketahui pasien menderita autoimun disease sejak dua tahun lalu dan menderita alergi type IV. Pasien mendapatkan terapi prednisolone, antihistamin dan clobetasolkrim. Pemeriksaan rongga mulut terdapat lichen planus dengan tanda garis-garis putih hyperceratosis berbentuk anyaman (Wickham's striae) pada mukosa bukal kiri, beberapa sisa akar, karies media, periodontitis dan oral candidosis kronis pada mukosa dorsum lidah. Dokter gigi melakukan evaluasi kondisi rongga mulutnya sebelum merencanakan untuk melakukan ekstraksi, perawatan periodonsia, perawatan konservasi dan pengobatan untuk oral candidosisnya. STEP I Autoimun disease : reaksi system imun terhadap jaringan sendiri. 1

Transcript of Laporan Tutorial Skenario 1

SKENARIO 1

Seorang perempuan 40 tahun datang ke dokter gigi atas rujukan dokter

spesialis kulit yang merawat untuk perawatan pada rongga mulutnya. dari surat

rujukan diketahui pasien menderita autoimun disease sejak dua tahun lalu dan

menderita alergi type IV. Pasien mendapatkan terapi prednisolone, antihistamin dan

clobetasolkrim. Pemeriksaan rongga mulut terdapat lichen planus dengan tanda garis-

garis putih hyperceratosis berbentuk anyaman (Wickham's striae) pada mukosa bukal

kiri, beberapa sisa akar, karies media, periodontitis dan oral candidosis kronis pada

mukosa dorsum lidah. Dokter gigi melakukan evaluasi kondisi rongga mulutnya

sebelum merencanakan untuk melakukan ekstraksi, perawatan periodonsia, perawatan

konservasi dan pengobatan untuk oral candidosisnya.

STEP I

Autoimun disease : reaksi system imun terhadap jaringan sendiri.

Alergi type 4 : reaksi dimana tubuh tidak mampu menghalau adanya

benda asing, dan termasuk jenis alergi lambat.

Antihistami : zat yang mampu mencegah pelepasan histamine

Clobetasolkrim : obat golongan kortikosteroid yang bersifat antiinflamasi,

antipireti, vasokontriktif, yang berfungsi untuk mengurangi

pengeluaran mediator kimia penyebab bengkak.

Oral Lichen Planus : peradangan di rongga mulut dimana system imun merusak

epitel

Prednisolon : senyawa antiradang golongan kortikosteroid yang digunakan

untuk menekan system imun dan memiliki panjang kerja 6- 8

jam.

Oral Candidosis : kelainan bersifat akut atau subakut yang bermanifestasi di

rongga mulut yang disebabkan oleh Candida albicans.

1

STEP II

1. Mengapa dokter spesialis kulit merujuk pasien tersebut ke dokter gigi ?

2. Apakah hubungan penyakit autoimun dan alergi type IV dengan usia dan jenis

kelamin ?

3. Apakah hubungan penyakit autoimun dengan alergi type IV ?

4. Bagaimana hubungan penyakit autoimun dengan kondisi rongga mulut

pasien ?

5. Apakah hubungan pemberian obat yang diberikan terhadap kondisi di rongga

mulut ?

6. Bagaimana kondisi rongga mulut pasien ?

7. Bagaimana resiko terhadap perawatan yang akan dilakukan ?

STEP III

1. Awalnya pasien merasa kurang nyaman dengan kondisi rongga mulutnya

akibat terapi yang diberikan dokter spesialis kulit. Untuk menutup

kemungkinan terjadinya penyakit sistemik yang berawal dari kondisi rongga

mulut, maka dokter kulit merujuk ke dokter gigi. Hal ini bertujuan agar

kondisi rongga mulut tidak memperparah kondisi sistemik.

2. Wanita lebih cenderung dapat terkena penyakit autoimun karena pengaruh

hormon yang kurang stabil atau seimbang. Hal ini dikarenakan hormone

esterogen pada wanita bertindak untuk memperkuat system imun,, sehingga

memicu terjadinya autoimun. Selain itu usia juga berpengaruh pada resiko

autoimun dimana pada usia lanjut tubuh akan mengalami kemunduran system

imun. Secara genetic bisa menyebabkan penyakit autoimun karena memang

ada gen tertentu yang menyebabkan autoimun. Selain itu ada factor pemicu

lain seperti stress berlebih.

2

3. Pada reaksi hipersensitivitas dipengaruhi oleh sel T, sedangkan autoimun juga

diinduksi oleh sel T sehingga memungkinkan adanya hubungan antara

autoimun dan hipersensitivitas. Selain itu adanya hipersensitivitas akan

memperparah penyakit autoimun.

4. Pada penderita HIV, di rongga mulutnya akan banyak dijumpai jamur candida

sehingga berkaitan dengan terjadinya oral candisosis.

Terjadi autoreaktif dari sel T dan sel B pada autoimun sehingga menyebabkan

gangguan imun. Sistem imun yang tidak stabil akan menyebabkan tubuh

mudah terserang penyakit, sehingga mudah terkena infeksi.

Contohnya adanya gambaran lichen planus karena kerusakan membrane basal.

5. Obat- obatan yang diberikan pada penderita autoimun bertujuan untuk

menekan system kekebalan tubuh penderita untuk mengurangi serangannya.

Namun dengan begitu, maka system kekebalan tubuh penderita menjadi

lemah sehingga penderita lebih rentan terkena infeksi dan resistensi penderita

terhadap infeksi lebih rendah. Jika penderita terkena infeksi akan sulit

membasminya. Selain itu obat- obatan yang diberikan akan meberikan efek

samping yang berat. Contohnya prednisolon yang menyebabkan

immunosupresive.

6. Kondisi rongga mulut pasien, antaralain:

Resiko infeksi meningkat (candisosis, periodontitis, karies )

Adanya penyakit autoimun di rongga mulut (lichen planus)

Alergi type IV

7. Resiko terhadap perawatan yang diberikan, antaralain:

Alergi bahan konservasi dan bahan prosto

3

Luka bedah beresiko infeksi yang tinggi sehingga butuh profilaksis

antibiotic

STEP IV

STEP V

1. Memahami penyakit autoimun dan alergi termasuk manifestasi oral

2. Memahami kondisi rongga mulut pasien dengan penyakit autoimun dan

pengobatannya

3. Memahami penatalaksanaan rongga mulut (Perio, BM, Prosto, OM,

konservasi) berdasarkan resiko infeksi dan hipersensitifitas

4

STEP VII

LO 1. Memahami penyakit autoimun dan alergi meliputi

(etiologi, patogenesis, Gambaran klinis, serta manifestasi

oralnya)

1.1. Etiologi autoimun dan alergi

a. Aktivasi sistem komplement dapat menyebabkan

destruksi sel secara langsung (bakteri, virus, eritrosit).

b. Faktor genetik juga dapat menyebabkan autoimun

c. Faktor mikroba (infeksi dan kemiripan molekuler)

Banyak infeksi yag menunjukkan hubungan dengan

penyakit autoimun. Kerusakan tidak disebabkan oleh

mikroba, tetapi akibat deri respon imun terhadap

jaringan yang rusak.

d. Faktor hormon

Pada wanita cenderung lebih banyak menderita penyakit

autoimun dibandingkan dengan laki-laki. Wanita memiliki

kadar estrogen yang tinggi, salah satu peran dari

estrogen adalah sintesis antibody sehingga apabila

estrogen meningkat maka antibody juga akan meningkat.

e. Obat-obatan

Setiap obat dapat menghasilkan suatu reaksi alergi, obat

mungkin memiliki potensi alergi yang tinggi atau rendah.

Obat dengan potensi alergi yang tinggi adalah penicilin

dan cephalosporin yang dapat bereaksi silang satu sama

lainnya. Sedangkan obat-obatan dengan otensi alergi

5

antigen

Antigen asing

APC

T Citotoksin

T Helper

Terjadi Gangguan

Sel B

Autoimun Desease

yang rendah adalah eritromycin, tetracycline, dan

lidocaine.

1.2. Patogenesis autoimun

Patogenesis Umum Autoimun

6

Aktivasi sistem imun diikuti oleh mekanisme

pengaturan yang meningkatkan atau menekan dan

menghentikan respon imun. Respon imun hampir selalu

membutuhkan kerjasama antara sel B dan sel T. Pada

penyakit autoimun atau autoimun desease terjadi adanya

toleransi imunitas pada pada jaringan diri sendiri. Antigen

asing yang masuk ke dalam tubuh akan dikenali oleh

Antigen Presenting Cell (APC). Setelah itu APC akan

mengirimkan sitokin seperti interleukin (IL) untuk

merangsang sel T Helper. Sel T Helper akan menugaskan

sel B atau sel T sitotoksin tergantung dari antigen yang

telah dipresentasikan tadi. Pada kondisi normal, sel efektor

tersebut akan berpasangan dengan antigen asing untuk

bisa mengeliminsainya. Namun akibat adanya gangguan

toleransi terhadap antigen jaringan diri sendiri membuat

antibodi yang dihasilkan juga ikut diserang.

Rusaknya toleransi tersebut salah satunya dapat

diakibatkan oleh kemiripan molekul antara antigen asing

dengan antigen jaringan diri sendiri. Selain itu autoimun

deseaseditandai oleh adanya produksi autoantibodi.

Contohnya saja saat perkembangan sel B tidak lagi

dibarengi oleh sel T atau terjadinya penigkatan jumlah sel B

reaktif maka produksi autoantibodi akan

meningkat.Autoimun desease dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang juga dapat diperantarai oleh

hipersensitivitas selain karena adanya autoantibodi.

7

1.3. Penyakit autoimun dan manifestasinya di rongga

mulut

1.3.1. Lupus erythematosus

Lupus erythematosus merupakan penyakit autoimun

kronis dimana terdapa tkelainan sistem imun yang

menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan

sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak

dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan

organisme asing misalnya bakteri dan virus, hal ini

dikarenakan autoantibodi yaitu antibodi yang menyerang

jaringan tubuh sendiri tersebut diproduksi tubuh dalam

jumlah yang besar dan terjadi pengen dapat kompleks imun

yang merupakan suatu antibodi yang terikat pada antigen

di dalam jaringan.

Lupus erythematosus terbagi menjadi 2 yaitu discoid

lupus erythematosus (DLE) dansistemik lupus erthematosus

(SLE).Menurut data penelitian di dapatkan bahwa pada

penderita DLE memiliki prosentase lebih besar terhadap

terjadinya lesi yaitu sekitar 25-50%, sedangkan pada

penderita SLE meiliki prosentase sekitar 7-26%.

Menururut American Rheumatism Asociation Commite

on Diagnostik and Therapeutic Criteria pada penderita SLE

dijumpai adanya manifestasi di dalam rongga mulut berupa

ulserasi pada mulut dan nasopharyngeal , ulser ulserini

umumnya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan

palatum. Selain itu gambaran umum gejala klinis dari lupus

8

erythematosus di dalam rongga mulut ini yaitu dijumpai

adanya krusta yang berwarna merahkehitaman, mudah

berdarah dan sering terletak di tepibibir.

Untuk penegakan diagnosis spesifik daripenyakit ini

dapat diketahui pada pemeriksaan laboratoris akan di

jumpai adanya titer ANA yang tinggi

1.3.2. Sjogren’s syndrome

Sindrom Sjogren merupakan penyakit autoimun

jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar air mata

dan kelenjar saliva. Sel-selasini kelenjar saliva tersebut

rusak, karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya

berkurang dan menyebabkan xerostomia (mulutkering).

Padapenderita sindrom sjogren sering di jumpai manifestasi

di dalam rongga mulut berupa xerostomia. Selain itu juga

mengalami pembengkakan kelenjar parotis. Di dalam suatu

penelitian di sebutkan bahwa pada 88% pasien dengan

sindrom sjogren mengalami abnormalitas saliva pada

kelenjar saliva submandibular/sublingual dan 55%

mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis.

Pembengkakan kelenjar parotis dan saliva submandibular

ditemukanpada 35% padapasiensindromsjogren.

Manifestasi sindrom sjogren di dalam rongga mulut

berupa xerostomia, keratokonjungtivitis. Pada xerostomia

yang parah mengakibatkan sulit menelan pada pasien dan

penurunan daya pengecapan. Untuk menegakkan diagnosis

dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pada penderita

9

sindrom sjogren dijumpai adanya infiltrasi sel B dan sel T,

epitel yang mengalami hiperplasi, atrofi sel asinar, fibrosis

pada kelenjar saliva.

1.3.3. Pemvigus vulgaris

Merupakan penyakit autoimun dimana antibodi

bereaksi dengan membran sel, sehingga dapat merusak

sel. Pada penyakit ini lesi rongga mulut sering timbul

mendahului lesi kulit. Penyakit ini ditandai dengan

pembentukan bula (vesikel atau lepuh yang besar) pada

bagian mukosa mulut manapun, termasuk gingiva. Bula

pecah dalam waktu yang singkat untuk membentuk ulser

dengan tepi yang tidak teratur. Bila lesi menyerang

palatum dan tenggorokan maka pasien akan sulit menelan.

Diagnosis dapat ditentukan dengan menggunakan tanda-

tanda nikolsky dimana tekanan dengan jari diatas mukosa

yang kelihatannya utuh akan dapat mengungkit epitelium.

Diagnosa yang lebih pasti dapat ditentukan melalui

pemeriksaan histologi dari jaringan biopsi.

1.3.4. Skleroderma

Merupakan kelainan autoimun yang biasanya

dijumpai pada wanita usia sekitar 50-60 tahun.

Manifestasinya pada kulit berupa atrofi kulit yang biasanya

dimulai dari jari-jari kemudian menjalar ke arah proksimal

yaitu leher dan muka. Kelainan saluran cerna ditandai

dengan kesulitan menelan, obstruksi, nyeri perut, anemia,

10

dan berat badan yang menurun. Hal ini disebabkan terjadi

fibrosis lapisan muskularis dan lapisan mukosa. Kelainan ini

juga melibatkan berbagai organ seperti saluran

pernapasan, saluran cerna, jantung, ginjal, vaskuler.

Proses ini dapat terjadi melalui aktivasi sel T oleh

antigen tertentu (autoantigen) yang kemudian

menghasilkan sitokin yang mengaktifkan sel mast dan

makrofag. Makrofag dan sel mast kemudian menghasilkan

Tumor Necrosis Factor (TNF), Pletelet Derived Growth

Factor (PDGF), Chemotactic Factor (CF), transformating

growth factor beta dan IL-1. Semua sitokin ini akan

memacu proliferasi fibroblast dan fibrosis.

Penegakkan diagnose pada penderita ini juga

dijumpai ANA. Dua jenis ANA yang dianggap diagnostic

untuk scleroderma adalah anti-Sc170 dan antisentromer.

1.4. Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas adalah Suatu keadaan respon

imun yang patologik, dimana respon ini bertindak secara

berlebihan sehingga menimbulkan suatu kerusakan. Menurut

Robert Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963, reaksi ini

dibagi dalam 4 tipe yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I,II,III,IV.

Berikut penjelasan dari masing masing tipe:

1.4.1. Reaksi Hipersensitivitas tipe I

Reaksi tipe I ini disebut juga reaksi cepat,yang

mana reaksi ini dimediasi oleh IgE. Ketika pertama kali

antigen masuk direspon melalui APC, setelah itu sel Th

11

teraktivasi dan akan memproduksi IL-4. Adanya IL-4 akan

merangsang sel B yang kemudian akan menjadi sel plasma,

setelah itu sel plasma akan mensekresi IgE dan diikat oleh

sel mast melalui melalui reseptor Fc. Selanjutnya akan

melepaskan mediator kimia seperti histamin yang akan

menimbulkan gejala klinis. Namun apabila tubuh terkena

pajanan ulang makan langsung alergen langsung diikan

oleh IgE yang berada pada sel mast dan kemudian

melepaskan mediator kimia. Pada pajanan ulang tidak

terjadi pembentukan IgE karena IgE sudah terbentuk

sebelumnya pada saat pajanan awal.

1.4.2. Reaksi Hipersensitivitas tipe II

12

Reaksi ini dimediasi oleh IgG dan melibatkan K sel

atau makrofag. Reaksi ini juga disebut sitotoksik. Sama

seperti halnya tipe I bahwa reaksi ini dapat terjadi pada

pajanan awal dan dapat pula terjadi pada pajanan ulang.

Pada pajanan awal didahului pembentukan antibodi yaitu

ketika antigen masuk kemudian akan ditangkap oleh sel

fagosit dimana sel ini akan melepaskan sitokin. Selanjutnya

sitokin akan merangsang sel B yang kemudian akan

membentuk IgG. Selanjutnya terjadi ikatan antara IgG yang

berada pada permukaan makrofag atau sel K dengan

antigen,ikatan ini akan mengaktifkan komplemen yang

akan menimbulkan kerusakan. Apabila tubuh terkena

pajanan ulang,alergen yang masuk langsung diikat oleh

antibodi yang sudah ada di makrofag, setelah itu perjalanan

sama seperti yang tadi yaitu ikatan akan mengaktifkan

komplemen yang dapat menimbulkan kerusakan.

13

1.4.3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III

Diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen –

antibody (imun), diikuti dengan aktivasi komplemen dan

akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun

terbentuk selama berlangsungnya berbagai respons imun

dan menunjukkan mekanisme pembersihan antigen yang

normal.

Kompleks imun yang sangat besar terbentuk pada

keadaan jumlah antibody yang berlebihan, dalam keadaan

ini kompleks imun akan segera disingkirkan dari sirkulasi

oleh sel fagosit mononuclear sehingga relative tidak

membahayakan. Sedangkan pada keadaan antigen yang

berlebihan akan terbentuk kompleks imun berukuran kecil

yang membahayakan. Hal ini disebabkan karena kompleks

imun kecil akan disingkirkan secara lambat oleh sel fagosit

sehingga lebih lama berada disirkulasi dan akan

mengendap didalam jaringan.

Kompleks imun yang mengendap dalam jaringan

akan mengaktivasi komplemen yang merupakan inti

pathogenesis jejas. Komplemen ini akan melepaskan

fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin

(C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas

14

pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit

polimorfonuklear. Selain itu, fagositosis kompleks imun oleh

neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau

produksi sejumlah substansi proinflasi tambahan.

Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas

oksigen yang dihasilkan neutrofil teraktivasi. Kompleks

imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit yang

membentuk mikrotrombi dan melepaskan amin vasoaktif

sehingga menimbulkan inflamasi.

1.4.4. Reaksi hypersensitivitas tipe IV

Imunitas selular merupakan mekanisme utama

respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk

patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan

virus, serta agen ekstrasel seperti fungi, protozoa, dan

parasit. Namun, proses ini dapat pula menyebabkan

kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan

infeksi yang normal maupun sebagai respons terhadap

antigen sendiri.

Oleh karena itu, hipersensitivitas tipe IV diperantarai

oleh sel T tersensitisasi secara khusus terhadap allergen.

Hipersensitivitas ini dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe

dasar, yaitu hipersensitivitas tipe lambat yang diinisiasi

oleh sel T CD4+ dan sitotoksisitas sel langsung yang

diperantarai oleh sel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe

lambat, sel T CD4+tipe Th1 akan menyekresi sitokin

sehingga menyebabkan pengkerutan sel, terutama

makrofag yang merupakan efektor utama. Sedangkan pada

15

sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitotoksik menalankan

fungsi efektor dan membunuh sel secara langsung.

Ada tiga varian reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu :

1. Reaksi Hipersensitivitas Kontak.

Reaksi ini terjadi dalam 72 jam sesudah pajanan

terhadap antigen. Dimana hipersensitivitas ini ditandai

dengan adanya reaksi ekzematosa pada titik kontak

dengan antigen. Biasanya, alergi ini sering ditemukan

pasca kontak dengan agen seperti nikel, krom,

akselerator karet, dan pentadekakatekol yang ditemukan

pada tanaman poison ivy.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Tuberkulin.

Reaksi hipersensitivitas ini diuraikan oleh Koch

untuk pertama kalinya. Koch mengamati bahwa

penderita tuberkulosis jika diinjeksi dengan filtrat biakan

tuberkulin (antigen yang berasal dari basilus tuberkel)

secara subkutan, dapat menyebabkan demam dan

merasa sakit. Selain itu pada lokasi injeksi akan dijumpai

daerah pengerasan dan juga pembengkakan. Reaksi

alergi ini juga terjadi dalam 72 jam sesudah pajanan

terhadap antigen.

3. Reaksi Hipersensitivitas Granulomatosa.

Hipersensitivitas ini biasanya disebabkan oleh

persistensi mikroorganisme atau partikel-partikel

intraseluler lain dalam makrofag karena sel tersebut

tidak mampu menghancurkannya. Terkadang, reaksi ini

disebabkan oleh kompleks imun yang persisten, seperti

16

pada alveolitis alergika. Proses ini dapat mengakibatkan

terjadinya pembentukan granuloma sel epiteloid.

T cell mediated cytolisis CD8+

Dalam T cell mediated Cytolysis , hipersensitivirtas selular

cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan tidak

sistemik. Contohnya pada penyakit hepatitis, virus sendiri

tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon

CTL yang terkena infeksi .

LO 2. Memahami kondisi rongga mulut pasien dengan penyakit autoimun dan

pengobatannya

Efek samping kortikosteroid

Pada penderita penyakit autoimun dan alergi tipe IV perawatan yang

diberikan salah satunya yaitu obat kortikosteroid. Yang mana obat dari

golongan ini misalnya clobetasolkrim dan prednisolon berfungsi untuk

menghasilkan efek antiinflamasi dan imunosupresif. Penggunaan obat

kortikosteroid topikal ini memiliki beberapa efek samping diantaranya

keadaan candidiasis pada lidah. Adanya candidiasis pada dorsum lidah yang

kronis bisa disebabkan karena penggunaan obat kortikosteroid topikal dalam

waktu yang cukup lama, sekitar 2 tahun lebih. Sehingga jamur candida yang

merupakan flora normal rongga mulut menjadi patogen dengan adanya faktor

sistemik dari penyakit autoimunnya dan faktor lokal dari pemberian obat.

Pemberian obat kortikosteroid dengan dosis yang tinggi, ternyata juga

memiliki efek samping yang buruk pada keadaan mukosa rongga mulut.

Pemberian obat imunosupresif ini meningkatkan daya vasokonstriksi pada

17

pembuluh darah. Sehingga apabila terjadi suatu goresan atau luka, proses

penyembuhannya akan terhambat dikarenakan daya regenerasi epitel mukosa

rongga mulut yang tidak berlangsung secara sempurna

Prednisolone dan clobetasolkrim merupakan jenis obat yang tergolong

dalam jenis kortikosteroid. Dalam sistem imun obat ini bekerja sebagai

imunosupresan, sehingga aktivitas autoimun dan hipersensitivitas dapat

ditekan hingga ke tingkat seluler. Menurunnya sistem imun pasien sebagai

akibat aktivitas imunosupresan kortikosteroid menyebabkan kerentanan

rongga mulut pasien terhadap penyakit dengan infeksi bakteri, seperti

periodontitis dan karies. Terlebih lagi dengan efek samping obat yang dapat

menyebabkan xerostomia menyebabkan self cleansing rongga mulut pasien

menjadi buruk.

Disamping itu, efek samping kortikosteroid yang dapat mempengaruhi

penyerapan protein dalam tubuh mengakibatkan semakin menurunnya daya

perbaikan jaringan. Hal ini berakibat perlukaan sulit sembuh dan adanya

regenerasi yang terhambat. Salah satu penyakit yang dapat muncul akibat

gangguan regenerasi sel ini adalah osteoporosis. Penyakit ini bermanifestasi di

rongga mulut berupa periodontitis, sehingga pada pasien yang mengkonsumsi

kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi periodontitis pada

rongga mulutnya.

Efek samping Antihistamin

Konsumsi antihistamin jangka panjang dapat mengakibatkan

xerostomia. Keadaan ini dapat mengakibatkan self cleansing yang buruk pada

rongga mulut, sehingga dapat meningkatkan resiko infeksi bakteri dan oral

candidosis. Hal ini dikarenakan antihistamin merupakan salah satu obat yang

18

kerjanya menghalangi aktivitas pusat otak dan dapat menghalangi sistem saraf

simpatik dan parasimpatik. Yang termasuk kelompok tersebut adalah semua

obat yang tergolong kategori penenang, narkotik, dan penghilang rasa sakit.

LO 3. Memahami penatalaksanaan Rongga Mulut (Perio, BM, Prosto, OM,

Konser) berdasarkan resiko infeksi dan hipersensitifitas.

Penatalaksanaan dalam bidang Periodonsia.

Pada bidang ini dokter gigi diharapkan memperhatikan bagaiman

kondisi pasien. Dengan mempertimbangkan tindakan sebaik mungkin tetapi

meminimalkan tindakan bedah. Lebih baik dilakukan scalling ataupun root

planning secara hati hati dan memperhitungkan lebar luka agar mengurangi

resiko yang bisa memperparah penyakit. Selain itu, pasien juga diberikan obat

antibiotik dan instruksi untuk perbaikan oral higient.

Penatalaksanaan dalam bidang Bedah Mulut.

Obat-obatan kortikosteroid adalah obat-obatan yang memiliki efek

menurunkan imunitas tubuh. Gigi sisa akar merupakan port de entry dari

mikrorganisme baik pathogen , selain itu gigi yang tinggal sisa akar suatu

sumber infeksi karena telah turunnya kondisi imunitas tubuh selama

penggunaan kortikosteroid. Hal pertama yang harus dilakukan dokter gigi

adalah memeriksa kondisi kesehatan pasien dengan autoimunitas, karena bila

melakukan ektraksi gigi akan berakibat fatal jika kondisi kesehatan pasien

belum normal. Apabila kondisi pasien sudah normal, maka haruslah segera

dilakukan ekstraksi dengan mempertimbangkan bahwa luka yang terlalu besar

akan berakibat susah sembuh.

Penatalaksanaan dalam bidang Prostodonsia.

19

Pada bidang prostodonsia, setelah pasien selesai dilakukan ektraksi.

Disarankan untuk segera dibuatkan gigi tiruan jembatan yang removable

untuk memudahkan pengontrolan plak ataupun pembersihan. Karena

dikhawatirkan gigi tiruan jembatan fixed akan menjadi sumber infeksi bagi

pasien yang sedang terapi kortikosteroid. Namun untuk pemilihan bahan

crown pada penderita lichen planus harus memperhatikan apakah aka nada

respon alergi atau tidak. Seperti bahan logam dan porselen yang bias

berdampak alergi pada pasien lichen planus. Kemudian implant dengan bahan

titanium juga dikhawatirkan mengakibatkan alergi tipe I atau IV.

Penatalaksanaan Bidang Oral Medicine.

Pada bidang ini, ada beberapa hal yang menjadi fokus, pertama dokter

gigi harus memberikan instruksi pada pasien untuk meningkatkan oral

higyene dan menyikat gigi secara perlahan. Selain itu, pemberian vitamin juga

dilakukan untuk mempercepat penyembuhan. Kemudian untuk

menanggulangi xerostomia dokter hendaknya pula memberikan saran pada

pasien untuk melakukan stimulasi agar meningkatkan pengeluaran saliva

seperti dengan mengunyah permen karet xilitol.

Penatalaksanaan dalam bidang Konservasi Gigi.

Setelah sumber infeksi dihilangkan, selayaknya dilakukan penutupan

port de entri penyakt melalui tidakan penumpatan pada gigi yang mengalami

karies media. Namun dokter gigi harus tetap memperhatikan bahwa bahan

tambal amalgam bisa memperburuk kondisi rongga mulut pasien oral lichen

planus. Selain itu restorasi dengan bahan resin juga sangat rentan

menimbulkan alergi pada pasien. Sebaiknya digunakan restorasi dari bahan

Semen Ionomer Kaca, karena mengandung fluor yang dapat membasmi

bakteri dan sekaligus dapat meremineralisasi gigi.

20

DAFTAR BAHAN-BAHAN ATAU ALAT KEDOKTERAN GIGI YANG

DAPAT MENGAKIBATKAN REAKSI ALERGI

No Daftar Alat Atau Bahan

1. Sarung tangan latex

2. Anastesi Pehakain

3. Resin komposit

4. Zinc Oksida Eugenol

5. Resin Akrilik

6. Amalgam

7. Emas

8. Nikel

9. Chrom

10. Platinum

11. Cobalt

12. Alkohol

13. Aspirrin

14. Asam kromat

15. Kreosot

16. Bahan cetak gigi

17. Obat anti inflamasi non steroid

18. Bis-GMA

19. Tampon periodontal

20. Penisilin

DAFTAR PUSTAKA

21

1. Wahab,Samik.2002.Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit

Imun.Jakarta:EGC)

2. imunologi dasar oleh bratawijaya k, rengganis i edisi 10 fkUI

2010 )

3. Baratawidjaja,Karnen Garna.2006.Imunologi Dasar Edisi

7.Jakarta:Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

4. Robbins & Cotran.2006.Buku Saku Dasar Patologis Penyakit

Edisi 7. Jakarta:EGC

5. Glass, B.J; Van Dis, M.L; Langlais, R.P; Miles, D.A.

1984.Xerostomia: Diagnosis and Treatment Planning

Considerations. Journal of Oral Surgery, Oral Medicine, Oral

Pathology.Vol.58. No.2.248-252.

6. Haskell, R; Gayford, J.J. 1990.PenyakitMulut. alihbahasadrg.

LilianYuwono.Ed. Ke-2.PenerbitBukuKedokteran EGC. Jakarta.

67-73.

7. Lupus- Diagnosis and Treatment, Lupus UK,

www.medical.lupusuk.org.uk

8. Tarigan,Ravina dkk. 2009. Tantangan Dalam Perawatan Oral Lichen Planus

Pada Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia ;16(1):8-17.

9. RA Lesmana. 1999. Faktor-faktor periodontal yang harus dipertimbangkan

pada perawatan dengan gigitiruan cekat. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia;. Volume 06 No.03. p. 35-36.

10. Craig, Robert G. 1993. Restorative

Dental Materials. Mosby-year Book, Inc.

11. Annusavice, Kenneth J. 2003. Buku

Ajar Ilmu Biomaterial Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.

22

12. Tarigan Naomi Ravina,dkk. 2009.

Jurnal Tantangan Dalam Perawatan Oral Lichen Planus Pada Pasien

Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jakarta.

13. Farmakologi dan terapi Universitas

Indonesia

23