Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

53
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO III BLOK GERIATRI Kelompok A8 : Achmad Nurul H (G0011003) Aprilisasi P.S (G0011031) Dea Saufika N (G0011063) Fitria Dewi L (G0011097) Ines Aprilia S (G0011115) Risky Pratiwi P (G0011177) Azamat Agus S (G0011047) Gefaritza R (G0011099) Jati F.A.L.P (G0011121) Riko Saputra (G0011173) Tutor : dr. Endang Ediningsih

description

LAPORAN

Transcript of Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Page 1: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO IIIBLOK GERIATRI

Kelompok A8 :Achmad Nurul H (G0011003)Aprilisasi P.S (G0011031)Dea Saufika N (G0011063)Fitria Dewi L (G0011097)Ines Aprilia S (G0011115)Risky Pratiwi P (G0011177)Azamat Agus S (G0011047)Gefaritza R (G0011099)Jati F.A.L.P (G0011121)Riko Saputra (G0011173)

Tutor :dr. Endang Ediningsih

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

Page 2: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

SKENARIO

Eyang Yoso oemurung berusia 90 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena

pendarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak mau bangun dari tempat tidur, makan, minum

hanya sedikit, tidak mau bicara dan batuk-batuk selama 1 bulan.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan: kesadaran apatis, TD 120/70 mmHg, RR

30x/menit, HR108x/menit. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar, dengan

suara dasar bronkial, stem fremitus meningkat,. Skor norton 9. Hasil leukosit 7500.

Thorak PA kesuraman homogen pada paru sebelah kanan.

Di UGD diberikan oksigen, dipasang infus, diberikan antibiotik kemudian dirawat

di bangsal geriatri dengan kasur decubitus. Direncanakan konsul di bagian rehabilitasi

medik.

Page 3: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

I. Klarifikasi Istilah

1. Stroke: Gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan pada

vaskularisasi otak

2. Skor NORTON: Skor untuk mengukur resiko decubitus

3. Stem fremitus : Pemeriksaan fisik untuk mengetahui kepadatan paru

4. Kasur decubitus: Kasur untuk mencegah ulkus decubitus

II. Rumusan Masalah

1. Adakah kondisi murung yang dialami pasien berhubungan dengan RPD?

2. Apa hubungan antara umur dan keluhan yang dialami pasien?

3. Adakah hubungan antara riwayat stroke dengan keluhan sekarang?

4. Apakah penyebab, faktor resiko dan komplikasi, tata laksana stroke?

5. Apa akibat dari imobilisasi? Adakah hubungan dengan keluhan?

6. Apa penyebab tidak mau makan, minum, dan batuk selama sebulan? Akibatnya

apa? Faktor resiko?

7. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?

8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan paru?

9. Bagaimana fisiologis sistem respirasi lansia?

10. Apa saja diagnosis banding pada pemeriksaan paru?

11. Bagaimana interpretasi pemeriksaan dan cara penilaian skor norton?

12. Bagaimana interpretasi hasil leukosit? Infeksi kah?

13. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien?

14. Adakah kegawatdaruratan pada pasien?

15. Apa indikasi penggunaan kasur decubitus?

16. Bagaimana medikasi pada pasien decubitus?

17. Apa faktor resiko ulkus decubitus?

18. Mengapa pasien diminta untuk konsul ke bagian rehabilitasi medik?

Page 4: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

III. Pembahasan

Adakah kondisi murung yang dialami pasien berhubungan dengan RPD?

Kondisi murung yang dialami eyang Yoso sangat mungkin berhubungan dengan

riwayat penyakit dahulu nya, apalagi eyang Yoso telah ditinggalkan istrinya yang

meninggal dunia, ini menyebabkan kondisi depresi pada eyang Yoso. Selain itu eyang

Yoso yang dahulu adalah ABRI yang semasa mudanya dapat bergerak bebas, namun

sekarang mobilitasnya terbatas, sehingga menyebabkan dia mengalami depresi dan sering

murung.

Bagaimana hubungan usia dengan keluhan sekarang?

Eyang Yoso pada satu tahun yang lalu terserang stroke perdarahan (stroke

hemoragik). Stroke perdarahan dibedakan menjadi 2, yaitu stroke karena perdarahan

intraserebral dan stroke karena perdarahan subaraknoid. Penyebab stroke karena

perdarahan intraserebral adalah pecahnya pembuluh darah yang paling sering diakibatkan

oleh tekanan darah tinggi kronis atau keadaan pembuluh darah yang sudah tidak baik

akibat proses penuaan. Terkadang juga dapat disebabkan karena adanya malformasi

arteriovenosa (AVM/ Arteriovenous Malformation). Penyebab stroke karena perdarahan

subaraknoid adalah aneurisma yang pecah, yang biasanya diakibatkan oleh tekanan darah

tinggi . Jika melihat kembali riwayat penyakit dahulu yang diderita oleh eyang Yoso saat

umurnya, dapat diketahui bahwa terdapat riwayat hipertensi. Maka dapat disimpulkan

bahwa mungkin saja hipertensi yang pernah diderita eyang Yoso tersebut menjadi faktor

risiko terjadinya stroke di kemudian hari. Selain itu juga dari usia sendiri, mungkin saja

pembuluh darah pada pasien memang sudah tidak baik sehingga rawan terjadi pecah.

Adakah hubungan antara riwayat stroke dengan keluhan sekarang?

Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis (fungsi

saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).

Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme yang mendasari adalah

pulihnya fungsi sel otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang

sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit saraf yang

Page 5: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan

dengan pemulihan neurologis yang terjadi. Setelah lesi otak menetap, pemulihan

fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan

pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu

untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang

optimal.

Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan pada proses reorganisasi atau

plastisitas otak melalui:

1. Proses Substitusi

Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui terapi

latihan menggunakan berbagai metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung

pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif, yang membantu terbentuknya

proses belajar dan plastisitas otak.

2. Proses Kompensasi

Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional pasien dan

kemampuan fungsi pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan berulang-ulang

untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku,

atau perubahan lingkungan. Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada

pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat terapi, penyakit penyerta dan

atau komplikasi medis, serta berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,

serta dukungan dan ekonomi keluarga.

Gangguan yang terjadi pasca stroke:

* Gangguan Komunikasi

Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan bermacam-

macam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan

fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.

1. Afasia

Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan

menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada

mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer dominan.

Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

Page 6: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)

b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)

c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)

d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)

e. menamakan

f. meniru

Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu beberapa atau bahkan

semua kemampuan berbahaya (afasia global). Secara umum afasia dibedakan menjadi

afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia transkortikal motorik,

afasia anomik dan afasia global.

Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian

aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita,

semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.

Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan gangguan

pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan

kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih

bermanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan

dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan

diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan

fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan

menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

2. Disartria

Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal,

akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan

artikulasi. Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara,

artikulasi, resonansi dan prosodi. Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria

flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan sesuai

dengan penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,

meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah,

otot leher dan otot pernapasan.

* Gangguan Fungsi Luhur

Page 7: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling luhur pada manusia, yang

membedakan manusia dengan mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan

jaringan yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu

sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi

fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi.

Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi

kognisi antara lain kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi,

persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas,

pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain sebagainya.

Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur memerlukan rehabilitasi spesifik.

Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguanfungsi

kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama. Salah satu yang perlu

mendapat perhatian adalah hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect

umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan semua yang berada di sisi

kirinya. Pasien tersebut seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh

tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada makanan atau

minuman yang diletakkan di sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia

tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya. Gangguan ini tidak sama

dengan hemianopsia, dimana lapang pandang pasien menjadi terbatas.

* Gangguan Menelan

Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan menelan akibat

stroke cukup banyak berkisar antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2

minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia merupakan gejala

klinis penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain

dehidrasi dan malnutrisi.

Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan.

Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai

berikut:

1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.

2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada keseimbangan duduk, perlu

diberikan tunjangan bantalan agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.

Page 8: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan dengan kepala

sedikit menunduk.

4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba menelan.

5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan apakah terjadi

elevasi laring yang menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah ada

keterlambatan atau terjadi proses menelan yang inkomplit.

6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Monitor suara yang terdengar kering

atau basah/serak.

7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf aaa.... Monitor

kembali bagaimana suara yang terdengar.

Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan

minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan lebih

lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow study) atau FEES (fiberoptic

endoscopic evaluation of swallowing).

* Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi

Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder

yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi,

namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya residu sisa dalam

kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan

menyebabkan timbulnya infeksi kandung kemih. Pasien inkontinensia karena uninhibited

bladder dapat diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah

minum dan urine pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan

voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih dengan

pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti

antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio urin.

Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi

akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain

gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh

obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup

cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi),

serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.

Page 9: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

* Gangguan Berjalan

Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya

kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi,

keseimbangan dan koordinasi.

Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari

kemampuan mempertahankan posisiduduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri

statik dandinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu

diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi

ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan

tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau

bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan

kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri

serta jalannya dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di

dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu

tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak

jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.

* Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari

Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk mengerjakan

semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,

pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas.

Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat

dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya

aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang

perlu ditolong oleh keluarga.

* Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental

Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk sedikit

bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti

itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan mengharapkan kondisi

seperti ini akan bertambah baik. Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan

untuk aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi

roda. Hal tersebut disebabkan oleh endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi

Page 10: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang diperlukan untuk

bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi

cepat lelah.

Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif semampunya. Pasien

jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan

duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan

istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi

untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil

makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan

bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya

melempar bola masuk ke keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.

Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila dilakukan sesering

mungkin akan memperbaiki/meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan

beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik

atau menggunakan theraband atau karet ban dalam bekas. Suasana hati yang murung juga

membuat pasien merasa cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan

tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh

keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna bagi

orang

Pada pasien ini, gejala yang dialami sekarang, yaitu imobilisasi, minum dan

makan hanya sedikit dan tidak mau bicara didapat dari komplikasi pasca stroke yang

tidak direhabilitasi dengan baik.

Apakah penyebab, faktor resiko dan komplikasi, tata laksana stroke?

Stroke, menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis

yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-

gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa

adanya penyebab lain selain vaskuler

Stroke diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan kelainan patologis

a. Stroke hemoragik

Page 11: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

1) Perdarahan intra serebral

2) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)

b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)

1) Stroke akibat trombosis serebri

2) Emboli serebri

3) Hipoperfusi sistemik

2. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Transient Ischemic Attack (TIA)

2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke

4) Completed stroke

3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler

1) Sistem karotis

a. Motorik : hemiparese kontralateral, disartria

b. Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia

c. Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis

fugaks

d. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia

2) Sistem vertebrobasiler

a. Motorik : hemiparese alternans, disartria

b. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia

c. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

Stroke Hemoragik

Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan

parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya.

Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan

struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan

sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi

jaringan otak dan menekan batang otak.

Etiologi dari Stroke Hemoragik :

1) Perdarahan intraserebral

Page 12: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80%

di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.

Gejala klinis :

Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan

dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu

nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan

epistaksis.

Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan

dapat disertai kejang fokal / umum.

Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan

bola mata menghilang dan deserebrasi

Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya

papiledema dan perdarahan subhialoid.

2) Perdarahan subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang

subarakhnoid yang timbul secara primer.

Gejala klinis :

Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,

berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.

Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan

kejang.

Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit

sampai beberapa jam.

Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen

Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik

perdarahan subarakhnoid.

Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau

hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik, Infark Otak, Penyumbatan)

Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-

kranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli,

Page 13: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

atau ketidakstabilan hemodinamik. Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari

daerah kepala dan leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau

percabangannya. Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah

oleh plak aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi

penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah

otak yang terkena.

Faktor Risiko Stroke

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat

dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor

risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung

(fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang

aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.

Penatalaksanaan Stroke

STADIUM HIPERAKUT

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan

tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak

Page 14: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid;

hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT

scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit,

protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika

hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah

memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada

keluarganya agar tetap tenang.

STADIUM AKUT

Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik maupun penyulit.

Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial

untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu,

menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien

yang dapat dilakukan keluarga.

Stroke Iskemik

Terapi umum:

Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah

posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.

Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil

analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan

antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan

(sebaiknya dengan kateter intermiten).

Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL

dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.

Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan

menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg%

dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula

darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv

sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan

muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.

Page 15: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220

mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada

2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,

gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah

20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,

penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90

mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500

mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika

belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin

2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.

Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal

100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).

Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.

Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25

sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum

memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus

dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan

larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.

Terapi khusus:

Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti

koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-P (recombinant tissue Plasminogen

Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika

didapatkan afasia).

Stroke Hemoragik

Terapi umum

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,

perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung

memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-

20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan

volume hematoma bertambah.

Page 16: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan

labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit)

maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per

oral.

Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala dinaikkan

300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke

iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).

Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi

dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi

saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Terapi khusus

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah

mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian

memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat

perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar

>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi Pada

perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan

bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun (gamma knife) jika penyebabnya adalah

aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).

STADIUM SUBAKUT

Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi

wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang

panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan

tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif

primer dan sekunder

Terapi fase subakut:

Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,

Penatalaksanaan komplikasi,

Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara,

terapi kognitif, dan terapi okupasi,

Prevensi sekunder

Page 17: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Edukasi keluarga dan Discharge Planning

Apa penyebab tidak mau makan, minum, tidak mau bicara, dan batuk selama

sebulan? Akibatnya apa? Faktor resiko?

Tidak mau makan dan minum

Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan digestif dan absorpsi

akibat hilangnya opioid endogen dan hiperkolesistokinin yang berakibat anoreksia,

penyakit periodontia yang berakibat gangguan mengunyah, penurunan motilitas perut

hingga terjadi konstipasi. Ketidaknyamanan ini berakibat inanisi (tidak mau makan).

Selain itu pada geriatri juga terjadi perubahan fisiologis saluran cerna. Pertama,

terjadi penurunan indera pengecap dan pencium, banyak lansia tidak dapat menikmati

aroma dan rasa makanan. Bertambahnya umur berkorelasi negatif dengan jumlah taste

buds pada lidah lansia, nilai ambang terhadap aroma, rasa manis, pahit dan asin pun

meningkat. Kemudian terjadi pula penurunan produksi saliva yang akan menyebabkan

mulut relatif kering (xerostomia) yang semakin mengganggu indera pengecap atau

perasa.

Kedua, reseptor pada esofagus menjadi kurang sensitif dengan adanya makanan.

Kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan pun menurun, ditambah lagi

dengan pengosongan lambung yang terlambat. Akhirnya terjadilah refluks gastroesofagal

karena fungsi sfingter esofagus yang melemah.

Ketiga, pada lambung terjadi penurunan motilitas lambung yang menyebabkan

pengosongan lambung menjadi lebih lambat. Pada lansia usia 80 tahun, sering terjadi

atopic gastritis. Kehilangan epitel lambung juga menyebabkan berkurangnya pH lambung

yang berakibat penurunan absorbsi besi, kalsium, vitamin B6, vitamin B12 dan asam

folat. Karena pH lambung berkurang, kemampuan pertahanan diri pun menjadi menurun

dan menyebabkan tumbuhnya bakteri pada usus halus. Ketiga hal inilah yang membuat

pasien merasa tidak nyaman untuk makan dan akhirnya menjadi tidak mau makan

(inanisi).

Batuk-batuk

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana

alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk

Page 18: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan.

Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena

bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau

kerusakan fisik dari paruparu,atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker

paru atau penggunaan alkohol.

Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk,nyeri dada

demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi sinar-x dan pemeriksaan sputum.

Pengobatan tergantung penyebab dari pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati

dengan antibiotika.

Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada semua kelompok

umur, dan menunjukan penyebab kematian pada orang tua dan orang dengan penyakit

kronik. Tersedia vaksin tertentu untuk pencegahan terhadap jenis pnuemonia. Prognosis

untuk tiap orang berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat,ada

tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut.

GEJALA

Orang dengan pneumonia sering kali disertai batuk berdahak, sputum kehijauan

atau kuning, demam tinggi yang disertai dengan menggigil. Disertai nafas yang

pendek,nyeri dada seperti pada pleuritis ,nyeri tajam atau seperti ditusuk. Salah satu nyeri

atau kesulitan selama bernafas dalam atau batuk. Orang dengan pneumonia, batuk dapat

disertai dengan adanya darah,sakit kepala,atau mengeluarkan banyak keringat dan kulit

lembab. Gejala lain berupa hilang nafsu makan,kelelahan,kulit menjadi

pucat,mual,muntah,nyeri sendi atau otot. Tidak jarang bentuk penyebab pneumonia

mempunyai variasi gejala yang lain. Misalnya pneumonia yang disebabkan oleh

Legionella dapat menyebabkan nyeri perut dan diare,pneumonia karena tuberkulosis atau

Pneumocystis hanya menyebabkan penurunan berat badan dan berkeringat pada malam

hari. Pada orang tua manifestasi dari pneumonia mungkin tidak khas. Bayi dengan

pneumonia lebih banyak gejala,tetapi pada banyak kasus, mereka hanya tidur atau

kehilangan nafsu makan

Diagnosis

Untuk diagnosa suatu pneumonia,perawatan berdasarkan gejala-gejala dari pasien

dan penemuan dari pemeriksaan fisik. Informasi dari foto thorax,pemeriksaan darah dan

Page 19: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

kultur sputum sangat membantu. Foto thorax khususnya di gunakan di rumah sakit dan

beberapa klinik dengan fasilitas sinar x. Bagaimanapun pengaturan dalam

masyarakat(praktek umum) pneumonia biasanya didiagnosa berdasarkan gejala dan

pemerikasaan fisik sendiri. Diagnosa pneumonia sulit pada beberapa orang,khususnya

mereka yang mempunyai penyakit lain. Kadang dengan CT scan atau tes yang lain yang

diperlukan untuk membedakan pneumonia dari penyakit lain.

PEMERIKSAAN FISIK

Individu dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi medis. Pemeriksaan fisik

untuk perawatan kesehatan menunjukan demam atau kadang-kadang suhu tubuh

menurun,peningkatan frekwensi pernapasan(RR),penurunan tekanan darah,denyut

jantung yang cepat,atau saturasi oksigen yang rendah, dimana jumlah oksigen dalam

darah yang diindikasikan oleh pulse oximetri atau analisis gas darah. Orang yang

kesulitan bernafas, bingung atau dengan sianosis(kulit berwarna biru) memerlukan

pertolongan segera. Mendengarkan paru-paru dengan stetoskop(auskultasi) akan

menunjukan beberapa hal. Hilangnya suara nafas normal, adanya suara retak(rales),atau

peningkatan suara bisikan(whispered pectoryloqui) dapat mengenali daerah pada paru

yang keras dan yang penuh cairan yang dinamakan “konsolidasi”.Pemeriksa dapat juga

merasakan permukaan dada(palpasi) dan mengetuk dinding dada(perkusi) untuk

mengetahui lebih jauh lokasi konsolidasi. Pemeriksa juga dapat meraba untuk

meningkatkan getaran dari dada ketika berbicara(fremitus raba).

Pemeriksaan Laboratorium

Pada sebagian besar kasus jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi dan

kadang leukositosis. Pada hitung jenis terdapat “geser ke kiri” dan dapat dipakai sebagi

petunjuk diagnosis infeksi akut yang penting. Peningkatan ureum darah terjadi pada 30%

kasus, peningkatan ringan serum transaminase 20% kasus, dan peninggian kreatinin dan

gula darah dapat terjadi. Ditemukan pula hiponatremi dan hipofosfatemi.

Gambaran radiologik, bila jelas akan tampak gambaran infiltrate paru. Kadang

sulit menilai gambaran foto toraks, terutama bila terdapat dehidrasi, sehingga infiltrate

belum tampak dalam waktu 24-48 jam perawatan. Pada pneumoni yang dini, pneumoni

oleh bakteri gram negatif, foto toraks kadang tampak normal.

Page 20: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Apa akibat dari imobilisasi? Adakah hubungan dengan keluhan?

Imobilisasi dapat mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan misalnya

penurunan ventilasi, atelektasis dan pneumonia. Komplikasi endokrin dan ginjal,

peningkatan diuresis, natriuresis dan pergeseran cairan ekstraseluler, intoleransi glukosa,

hiperkalsemia dan kehilangan kalsium, batu ginjal serta keseimbangan nitrogen negative.

Komplikasi Gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi dan luka

tekan (ulkus dekubitus). Pada Sistem saraf pusat, dapat terjadi deprivasi sensorik,

gangguan keseimbangan dan koordinasi.

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?

Dari pemeriksaan didapatkan kesadaran apatis yang menunjukkan sikap segan

untuk berhubungan dengan sekitarnya atau sikapnya acuh tak acuh. Tekanan darah

120/70 mmHg tergolong normal. Respiratory Rate (RR) 30 kali/menit, meskipun RR

pada lansia memang normalnya lebih tinggi, namun RR yang tinggi juga mengarah pada

infeksi saluran bagian bawah seperti pada pneumonia. Suhu 36,5oC suhu normal pada

umumnya adalah 36,5oC - 37,2oC, suhu pada lansia tidak dapat menginterpretasikan suatu

keadaan secara pasti karena proses thermoregulasi yang mengalami penurunan

sensitifitasnya, misalnya pada kasus infeksi lansia tidak selalu menunjukkan gejala

demam atau pada penurunan suhu yang tidak disadari hingga lansia jatuh dalam kondisi

hipotermia. Heart Rate (HR) 108 kali/menit, normalnya pada lansia HR adalah lebih dari

90 kali/menit

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang?

Hasil leukosit 7500, leukosit adalah salah satu komponen yang membentuk darah

dan berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian

dari sistem kekebalan tubuh. Kadar normal 4000-11.000/mm3. Namun pada beberapa

kasus infeksi tidak selalu menunjukkan peningkatan pada leukosit, sehingga memerlukan

pemeriksaan penunjang lain.

Hasil foto thorax PA menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah

kanan, adanya bayangan kesuraman yang homogen pada satu lobus/lebih dan terlihat

Page 21: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

konsolidasi pada satu lobus/lebih, serta becak infiltrat merupakan salah satu gejala yang

didapatkan pada penyakit pneumonia.

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan paru?

Pada auskultasi didapatkan suara dasar bronkhial, suara ini dapat diakibatkan

adanya konsolidasi paru sehingga udara dalam paru menurun. Selain itu di dapatkan

suara tambahan ronkhi basah kasar merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi

di saluran nafas besar dengan intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih

lama biasa ditemukan pada kasus udem pulmo, dekompensasi kordis sinistra, gagal

jantung kongestif (CHF), dan pneumonia. Pada palpasi didapat stem fremitus

meningkat yang menunjukkan adanya konsolidasi paru, misalnya pada fibrosis dan

pneumonia.

Bagaimana fisiologis sistem respirasi lansia?

Perubahan Anatomik Sistem Pernafasan

Yang mengalami perubahan adalah :

Dinding dada : tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang rawan

mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan ukuran dada. Sudut epigastrik

relatif mengecil dan volume rongga dada mengecil. Otot-otot pernafasan :

mengalami kelemahan akibat atrofi.

Page 22: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Saluran nafas : akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis cincin

bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil. Cincin-cincin tulang

rawan bronkus mengalami perkapuran .

Struktur jaringan parenkim paru : bronkiolus, duktus alveolaris dan alveolus

membesar secara progresif, terjadi emfisema senilis . Struktur kolagen dan elastin

dinding saluran nafas perifer kualitasnya mengurang sehingga menyebabkan

elastisitas jaringan parenkim paru mengurang. Penurunan elastisitas jaringan

parenkim paru pada usia lanjut dapat karena menurunnya tegangan permukaan

akibat pengurangan daerah permukaan alveolus.

Perubahan-perubahan fisiologik sistem pulmonal

Perubahan fisiologik fungsi) pada sistem pernafasan yang terjadi antara lain :

Gerak pernafasan : adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun volume

rongga dada akan merubah mekanika pernafasan, amplitudo pernafasan menjadi

dangkal, timbul keluhan sesak nafas. Kelemahan otot pernafasan menimbulkan

menimbulkan penurunan kekuatan gerak nafas, lebih–lebih apabila terdapat

deformitas rangka dada akibat penuaan.

Distribusi gas. Perubahan strukturanatomik salurannafas akan menimbulkan

penumpukan udara dalam alveolus (air trapping) ataupun gangguan

pendistribusian udara nafas dalam cabang-cabang bronkus.

Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor:

(1) kelemahan otot nafas, (2) elastisitas jaringan parenkim paru menurun, (3)

resistensi saluran nafas (menurun sedikit). Secara umum dikatakan bahwa pada

usia lanjut terjadi pengurangan ventilasi paru.

Gangguan transport gas. Pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap,

yang penyebabnya terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

(Mangunegoro, 1992). Selain itu diketahui bahwa pengambilan O2 oleh darah

dari alveoli (difusi) dan transport O2 ke oleh jaringan-jaringan berkurang,

terutama terjadi pada saat melakukan olah raga. Penurunan pengambilan O2

maksimal disebabkan antara lain karena : (1) berbagai perubahan pada jaringan

paru yang menghambat difusi gas, dan (2) karena berkurangnya aliran darah ke

paru akibat turunnya curah jantung.

Page 23: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Gangguan perubahan ventilasi paru. Pada usia lanjut terjadi pengaturan ventilasi

paru, akibat adanya penurunan kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor

sentral ataupun pusat-pusat pernafasan dimedulla oblongata dan pons terhadap

rangsangan berupa penurunan PaO2, peninggianPaCO2, perubahan pH darah

arteri dan sebagainya.

Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Sistem Pulmonal

Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa faktor

yang dapat memperburuk fungsi paru. Faktor-faktor yag memperburuk fungsi paru antara

lain :

Faktor merokok

Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan saluran nafas.

Pada tingkat awal, saluran nafas akan mengalami obstruksi dan terjadi penurunan nilai

VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru tadi. Pada tingkat lanjut

dapat terjadi obstruksi yang iereversibel, timbul penyakit baru obstruktif menahun

(PPOM).

Obesitas

Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada obesitas,

biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada, dan dinding perut yang akan

mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume paru atau terjadi

keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan timbul gangguan fungsi paru tipe

restriktif .

Imobilitas

Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-otot

berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan “relatif” berkurang.

Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk

fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan imobilitas (paru),

misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya . Perbaikan fungsi paru

dapat dilakukan dengan menjalankan olahraga secara intensif.

Operasi

Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari pengalaman

para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan pengaruh faal paru adalah : (1)

Page 24: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

pembedahan toraks (jantung dan paru); (2) pembedahan abdomen bagian atas; dan (3)

anestesi atau jenis obat anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang timbul, meliputi

perubahan proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler paru.

Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan komplikasi paru

: atelektasis, infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian karena timbulnya

gagal nafas.

Apa saja diagnosis banding pada pemeriksaan paru?

Pneumonia

Definisi

Pneumonia adalah suatu infeksi pada paru-paru, dimana paru-paru terisi oleh cairan

sehingga terjadi gangguan pernafasan.

Penyebab

Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh

bakteria, virus, jamur, atau parasit. Pneumonia pada bayi baru lahir seringkali berawal

dari pecahnya ketuban sebelum waktunya yang menyebabkan terjadinya infeksi pada

cairan ketuban (amnionitis). Janin terendam dalam cairan ketuban yang terinfeksi dan

menghirupnya sehingga masuk ke dalam paru-paru. Terjadilah pneumonia, kadang

disertai sepsis. Pneumonia bisa terjadi beberapa minggu setelah bayi lahir, terutama pada

bayi yang pernafasannya dibantu oleh ventilator (alat bantu pernapasan). Pnemumonia

sering terjadi sejak lahir, sampai dengan bayi berusia 2 tahun.

Gejala dan tanda

Gejalanya bervariasi, mulai dari pernafasan yang cepat sampai kegagalan pernafasan dan

tekanan darah yang sangat rendah (syok septik). Gejala yang tampak seperti:

Demam

Batuk

Hidung tersumbat

Sesak napas, disertai ronki atau mengi

Hipoksia (kekurangan oksigen)

Sianosis (pucat)

Muntah

Page 25: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Jika pneumonia terjadi setelah bayi lahir, gejalanya timbul secara bertahap. Jika bayi

bernafas dengan bantuan ventilator, akan tampak bahwa jumlah lendir meningkat.

Kadang bayi tiba-tiba menjadi sakit yang disertai dengan turun-naiknya suhu tubuh.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Contoh darah dan

lendir dari saluran pernafasan diambil untuk dibiakkan.

Pemeriksaan yang biasa dilakukan:

Pemeriksaan darah untuk mengetahui jumlah sel darah putih dan trombosit

Rontgen dada.

Pengobatan

Pada kasus ringan, pasien boleh berobat jalan. Namun pada kasus bert, sebaiknya pasien

dirawat inap.

Pada pasien rawat jalan:

Istirahat/ perawatan supportif

Bronkodilator – albuterol nebulizer/ inhaler

Monitor oksigenasi

Pada pasien rawat inap

Oksigen

Bronkodilator – albuterol nebulizer (perhatikan selama 4 jam)

Isolasi pernapasan

Ribavirin

Antibiotik

Analisa gas darah arteri

Pencegahan

Vaksin untuk mencegah beberapa jenis pneumonia sudah tersedia. Sebaiknya pada anak

usia sekolah, diistirahatkan dirumah/ di RS apabila sedang sakit. Guna mencegah

penularan pada teman-temannya

Bagaimana interpretasi pemeriksaan dan cara penilaian skor norton?

SKOR NORTON : Skor untuk mengukur resiko dekubitus, terdiridari 5 komponen

yaitu kondisi fisik umum,kesadaran, aktivitas, mobilitas, dan inkotinensia

Page 26: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

CARA PERHITUNGAN SKOR NORTON

NO KEADAAN PASIEN SKOR

1 KONDISI FISIK UMUM

BAIK 4

LUMAYAN 3

BURUK 2

SANGAT BURUK 1

2 KESADARAN

COMPOSMENTIS 4

APATIS 3

KONFUS/ SOPOR 2

STUPOR/ KOMA 1

3 AKTIVITAS

AMBULAN 4

AMBULAN DENGAN BANTUAN 3

HANYA BISA DUDUK 2

TIDURAN 1

4 MOBILITAS

BERGERAK BEBAS 4

SEDIKIT TERBATAS 3

SANGAT TERBATAS 2

TIDAK BISA BERGERAK 1

5 INKONTINENSIA

TIDAK ADA 4

KADANG-KADANG 3

SERING INKONTINENSIA URINE 2

INKONTINENSIA ALVI DAN URINE 1

Jumlah:

Interpretasi/KATEGORI SKOR:

Page 27: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

16-20 : Kecil Sekali/ Tidak Terjadi Resiko Dekubitus

12-15 : Kemungkinan Kecil Terjadi Resiko Dekubitus

<12 : besar kemungkinan beresiko terjadi Decubitus

Bagaimana interpretasi hasil leukosit? Infeksi kah?

kadar Leukosit normal : 5000-9000/ mm3

Berdasarkan rujukan tersebut dapat diinterpretasikan normal, namun perlu diingat

bahwa pasien dalam skenario ini adalah usia lanjut, dimana spesifisitas dan sensitivitas

imun pada usia lanjut biasanya sudah berkurang (imunosenescence) sehingga sebagai

dokter tetap harus mewaspadai terjadinya infeksi pada pasien meskipun berdasarkan hasil

laboratorium menunjukkan hasil yang normal.

Bagaimana penatalaksanaan pada pasien?

Untuk mengatasi kondisi yang dialami pasien maka pasien perlu diberikan

oksigen, dan dipasang infuse karena nutrisinya yang menurun karena tidak mau makan,

dan minum. Selain itu diperlukan juga kasur dekubitus untuk mencegah terjadinya pasien

yang imobilisasi.Selain itu, untuk mengatasi pneumonia dapat diberikan obat:

1. Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

Golongan Penisilin

TMP-SMZ

Makrolid

2. Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

Marolid baru dosis tinggi

Fluorokuinolon respirasi

3. Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem : Meropenem, Imipenem

Page 28: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Siprofloksasin, Levofloksasin

4. Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin

Teikoplanin

Linezolid

5. Hemophilus influenza

TMP-SMZ

Azitromisin

Sefalosporin gen. 2 atau 3

Fluorokuinolon respirasi

6. Legionella

Makrolid

Fluorokuinolon

Rifampisin

7. Mycoplasma pneumonia

Doksisiklin

Makrolid

Fluorokuinolon

8. Chlamydia pneumonia

Doksisikin

Makrolid

9. Fluorokuinolon

Adakah kegawatdaruratan pada pasien?

Kegawatdaruratan yang dialami eyang Yoso adalah kondisinya yang sudah apatis,

tidak mau makan, minum menyebabkan kondisi eyang Yoso nertambah buruk karena

nutrisinya yang tidak terpenuhi. Serta tidak mau bangun dari tempat tidur ini dapat

menyebabkan terjadinya ulkus dekubitus jika dilakukan terus-menerus. Selain itu kondisi

batu yang dialami eyang Yoso menunjukkan adanya penyakit pneumonia yang diderita

eyang Yoso sehinggadiperlukan tatalaksana yang sesuai dan cepat.

Page 29: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Apa indikasi kasur dekubitus?

- Pasien dengan kondisi yang menyebabkan turah baring cukup lama selama

pengobatan, seperti pada pasien stroke, fraktur, koma, dan lainnya.

- Pasien yang mengalami immobilisasi sehingga gerakannya terbatas.

- Pasien dengan risiko dekubitus setelah dilakukan skoring Norton.

Bagaimana factor risiko ulkus dekubitus?

Faktor risiko terjadinya dekubitus antara lain, yaitu :

1. Mobilitas dan aktivitas

Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh,

sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus

menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk terkena

luka tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.

Penelitian yang dilakukan Suriadi (2003) di salah satu rumah sakit di Pontianak juga

menunjukan bahwa mobilitas merupakan faktor yang signifikan untuk perkembangan

luka tekan.

2. Penurunan sensori persepsi

Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk

merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi

dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan.

3. Kelembaban

Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan

terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah

mengalami erosi. Selain itu kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena

pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan

dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan

enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.

4. Tenaga yang merobek ( shear )

Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan,

pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang

yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika

Page 30: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

pasien diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini

pasien bisa merosot ke bawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah

namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah,

serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan

sedikit kerusakan pada permukaan kulit.

5. Pergesekan ( friction)

Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan.

Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit.

Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati.

6. Nutrisi

Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya

diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian

Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orangtua berhubungan

dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak

mencukupi.

7. Usia

Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka tekan

karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan

kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,

penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.

Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi

berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek.

8. Tekanan arteriolar yang rendah

Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan

sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan

menjadi iskemia. Studi yang dilakukan oleh Nancy Bergstrom (1992) menemukan bahwa

tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan luka

tekan.

9. Stress emosional

Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga

merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan.

Page 31: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

10. Merokok

Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki

efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002)

ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka

tekan.

11. Temperatur kulit

Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan

faktor yang signifikan dengan risiko terjadinya luka tekan.

Bagaimana medikasi pasien ulkus dekubitus?

Karena luka tekan lebih mudah dicegah daripada diobati, setiap orang yang

berpartisipasi dalam perawatan pasien bertanggung jawab untuk mencegah kerusakan

kulit. Jika kerusakan kulit sudah terjadi, semua pemberi asuhan harus berusaha

mempercepat

penyembuhan dekubitus.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :

1. Rubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali. Ketika merubah hindari pergesekan

seperti menggeser pasien dengan linen atau alat-alat lain.

2. Anjurkan pasien untuk duduk di kursi roda setiap 10 menit untuk mengurangi

tekanan. Bila penderita dapat duduk, dapat didudukkan di kursi. Gunakan

bantalan untuk penyangga ke 2 kaki dan bantal – bantal kecil untuk menahan

tubuh penderita. Bila memungkinkan ganti posisi tidur penderita setiap hari

dengan cara mengganjalnya dengan bantal atau bantalan busa.

3. Anjurkan masukan nutrisi yang tepat dan cairan yang adekuat.

4. Segera bersihkan feses atau urin dari kulit karena bersifat iritatif terhadap kulit.

Cuci dan keringkan daerah tersebut dengan segera.

5. Laporkan adanya area kemerahan dengan segera.

6. Jaga agar kulit tetap bersih dan kering.

7. Jaga agar linen tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan/ tidak kusut dan benda

keras.

Page 32: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

8. Mandikan pasien dan beri perhatian khusus pada daerah-daerah yang berisiko

mengalami tekanan atau gesekan.

9. Masase sekitar daerah kemerahan dengan menggunakan lotion.

10. Beri sedikit bedak tabur yang mengandung calamine, zinc, camphor yang

bermanfaat untuk mencegah kerusakan kulit akibat garukan karena gatal. Jangan

sampai bedak menumpuk atau menggumpal.

11. Lakukan latihan ROM minimal 2 kali sehari untuk mencegah kontraktur.

12. Periksa kesesuaian dan penggunaan penahan atau restrein.

13. Periksa selang NGT dan kateter untuk memastikan bahwa selang tersebut tidak

pada posisi yang dapat menyebabkan iritasi.

14. Gunakan kasur busa, kasur kulit, atau kasur perubah tekanan. Jika pasien harus

menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus,

yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara.

Mengapa pasien diminta untuk konsul ke bagian rehabilitasi medik?

Konsultasi ke bagian rehabilitasi medik penting karena upaya rehabilitasi harus

segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan pasien sudah stabil. Fisioterapi pasif

perlu diberikan bahkan saat pasien masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan

dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bcara atau

menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah pasien bisa berjalan sendiri, terapi

fisis dan okupasi perlu diberikan, agar pasien bisa kembali mandiri. Pendekatan

psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang biasanya

sangat menurun setelah terjadinya stroke.

IV. Kesimpulan dan Saran

Page 33: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Kesimpulan

Geriatri merupakan seorang yang telah berumur lebih dari 65 tahun dengan 2 atau

lebih gejala kronis. Pada scenario ini pasien mengalami penyakit yang sangat komplikasi,

yang ditandai dengan imobilisasi pada pasien, tidak mau makan dan minum, serta batuk.

Disini menunjukan bahwa pasien memiliki factor resiko untuk terjadinya ulkus dekubitus

karena imobilisasi yang dialaminya, serta batuk yang dialaminya merupakan tanda bahwa

pasien mengalami pneumonia, diperkuat dengan adanya hasil pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Oleh karena itu pasien membutuhkan tatalaksana yang sesuai

dengan dibawa ke UGD, lalu diberikan oksigen, dipasang infuse, diberi antibiotic,

menggunakan kasur dekubitus, serta dirujuk ke bagian rehabilitaasi medic.

Saran

Perlu adanya peran serta keluarga dalam menjaga kesehatan pasien, baik jasmani

maupun mental

Perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap pasien geriatric karena kondisi

kesehatan yang mulai menurun serta banyaknya penyakit yang menyertai

Perlu penatalaksanaan yang sesuai bagi pasien geriatric agar tidak menimbulkan

komplikasi yang lebih parah

DAFTAR PUSTAKA

Page 34: Laporan Tutorial Skenario III Geriatri

Darmojo, boedhi dan Hadi martono.Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan

Usia Lanjut).Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009

Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit

Buku Kedokteran IPD FK UI.

Fransisca K. 2000. Pneuominia. Surabaya: Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma

Surabaya

Darmojo, Boedhi. 2011. Geriatri. Jakarta: Balai penerbit FK UI .Edisi ke-4

Baehr M, Frotscher M. Duus’. 2005. Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition.

New York : Thieme.

Goetz, Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical

Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders.

Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. 2007. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline

Stroke 2007. Jakarta.

Ropper AH, Brown RH. 2005. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s

Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill.

Rumantir, CU. 2007. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD

Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru.

Rumantir, CU. 1986. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-

1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu

Penyakit Saraf.

Harrison. 2002. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. EGC. Jakarta