Laporan Tutorial Pediatri Skenario 2

119
LAPORAN TUTORIAL BLOK PEDIATRI SKENARIO 2 “ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS” Kelompok A8 Johannes Ephan Bagus Kurnia G0012101 Syarif Hidayatullah G0012217 Alfian Satria Wicaksono G0012011 Ilham Ramadhan G0012095 Kenny Adhitya G0012105 Yolanda Ravenia Saraswati G0012235 Resti Nurfadillah G0012177 Fatmanisa Laila G0012077 Aniki Puspita G0012017 Fenti Endriyani G0012079 Sabila Fatimah G0012199 Adhizti Naluriannisa Edya N G0012003 1

description

laporan pediatri skenario 2

Transcript of Laporan Tutorial Pediatri Skenario 2

LAPORAN TUTORIALBLOK PEDIATRI SKENARIO 2ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS

Kelompok A8Johannes Ephan Bagus KurniaG0012101Syarif HidayatullahG0012217Alfian Satria Wicaksono G0012011Ilham RamadhanG0012095Kenny AdhityaG0012105Yolanda Ravenia SaraswatiG0012235Resti NurfadillahG0012177Fatmanisa LailaG0012077Aniki PuspitaG0012017Fenti EndriyaniG0012079Sabila FatimahG0012199Adhizti Naluriannisa Edya NG0012003

Tutor : dr. Vitri WidyaningsihFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTATAHUN 2015BAB IPENDAHULUAN

SKENARIO 2

ANAKKU BATUK DAN SULIT BERNAFAS

Kasus IAnto berumur 2,5 tahun. Ibunya membawa berobat ke Puskesmas karena batuk pilek selama 4 hari. Setelah memeriksa, petugas kesehatan menemukan nadi: 100x/menit, pernafasan: 32x/menit, suhu: 38,50 C. Dokter kemudian memberikan obat.

Kasus IISeorang anak perempuanberusia 3 tahun dibawa oleh Puskesmas karena batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak putih. Keluhan disertai demam (+). Demam naik turun. Pada pemeriksaan fisik nadi: 120x/menit, pernafasan: 52x/menit, suhu: 380C. Saat ini anak tampak sulit bernafas dan lemah, terdapat retraksi dinding dada.Dokter kemudian melakukan tindakan dan merujuk pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dari dokter spesialis anak.

BAB IIDISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump1. Langkah I:Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenarioDalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:a. Retraksi: penarikan dinding dada kea rah dalam saat bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas.2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahanPermasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut : Kasus Ia. Mengapa pasien mengeluh batuk pilek selama 4 hari?b. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan nilai rujukannya?c. Apakah hubungan antara keluhan dengan usia pasien?d. Apakah obat yang diberikan oleh dokter?e. Apakah perbedaan fisiologi pernafasan antara anak dengan dewasa?Kasus IIa. Mengapa pasien mengeluh batuk sejak 2 hari yang lalu disertai dahak putih?b. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan nilai rujukannya?c. Mengapa pasien mengeluh demam yang naik turun?d. Mengapa anak sulit bernafas serta lemah?e. Mengapa terjadi retraksi dinding dada?f. Mengapa anak dirujuk ke spesialis anak?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)a. Fisiologi pernafasan pada anak.b. Patofisiologi keluhana. Batuk berdahak pada anakb. Demam naik turun c. Sulit bernafasd. Retraksi dinding dadac. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign.d. Diagnosis dan DD.e. Tatalaksana.

4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3

BASIC KNOWLEGDEFisiologi pernafasan anak

ETIOLOGIFAKTOR RISIKO

DIAGNOSISAnamnesisPemeriksaan fisikPemeriksaan penunjang

PATOGENESIS

PATOFISIOLOGIBatuk berdahakDemam naik turunSulit bernafasRetraksi dinding dada

TATALAKSANAPromotifPreventifKuratifRehabilitatif

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajarana. Fisiologi pernafasan pada anak.b. Patofisiologi keluhane. Batuk berdahak pada anakf. Demam naik turun g. Sulit bernafash. Retraksi dinding dadac. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign.d. Diagnosis dan DD.a. Common cold (influenza)b. Pertusisc. Asmad. Bronchitise. Bronkopneumoniaf. Pneumoniag. Tuberculosis anake. Tatalaksana.6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok7. Langkah VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi yang telah terkumpulA. Fisiologi pernafasan pada anak. Mekanisme ventilasi pada paruUdara masuk ke paru saat tekanan dalam rongga thorak lebih rendah daripada tekanan pada udara diluar ,saat inspirasi tekanan pada rongga thorak negatif akibat gerakan difragma ke bawah .otot otot pernafasan asesorius( interkostal interna ,skaleneus, sternokleidomastoideus) tidak digunakan untuk pernafasan biasa hanya digunakan ketika sedang olahraga atau tubuh dalam keadaan sakit untuk meningkatkan volume paru .Exhalasi umumnya dilakukan secara pasif ,jika dilakukan secara atif melibatkan otot abdomen dan intercostals internaResistensi jalan nafas dipengaruhi oleh diameter ,panjang saluran respratori , viskositas gas, dan sifat alami aliran udara ..Saat bernafas tenang aliran udara disaluran respiratori kecil dan bersifat laminar. Resistensi berbanding terbalik dengan diameter pangkat empat saluran respiratori .,sehingga perubahan sedikit saja diameter pada paru akan menimbulkan perubahan besar pada resistensi . Saat gaya gaya meknanis yang bekerja pada paru berada pada keseimbangan (diakhir suatu siklus pernafasan normal dan tenang ) ,volume gas dalam paru disebut kapasitas residual fungsional . Volume udaara ini mempertahanankan pertukaran oksigen selama ekhalasi . Selama pernafasaan tidal normal ,volume paru biasaanya berada direntang tengah inflasi .Volume residual(VR) adalah volume gas yang tersisa didalam paru diakhir ekhalasi maksimal ,sedangkan kapasistas paru total ( KPT) adalah volume gas didalam paru saat inhalasi maksimal . Kapasitas vital (KV) adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru ( KPT- VR)Ventiasi alveolar adalah pertukaran gas karbondioksida antara alveoli dan lngkungan eksternal ,dalam keadaan normal 30% udara pernafasaan mengisi jalan nafas dan tidak berfungsi pada pertukaran udara ( ruang rugi anatomic) . karena ruang rugi ini bersifat konstan , peningkatan volume tidal dapat bmeningkatkan efisiensi ventilasi ,sebaliknya jika volume tidal berkurang ,rasio ruang rugi per volume tidal akan meningkat, sehingga ventiasi alveolar akan menurun.

Pertukaran gas pada sistem respiratori Pertukaran gas pada sistem respiratori tergantung pada ventilasi alveolar, aliran darah kapiler paru dan difusi melalu imembram alveolar kapiler. Pertukaran CO2 ditentukan oleh venti;asi alveolar sedangkan pertukaran O2 ditentukan oleh kesesuain ventilasi dengan aliran darah paru ,kesesuaian ini dikendalikan dengan cara vasokontriksi paru pada saat hipoksia yaitu konstriksi lokal pembuluh darah paru pada daerah yang megalami hipoventilasi

Mekanisme pertahanan pada saluran respiratori Hidung merupakan filter utama terhadap partikel besar . epithel bersilia pada hidung memindahkan partikel yang telah terfilter menuju nfaring .sedangkan epithel mukosa pada faring sampai bronkiolus nterus mendorong lapisan tipis mucus menuju ke mulut .Sel makrofag alveolar dan polimononuklear memfagosit partikel-partikel dan pathogen yang sebelumnya sudah mengalamo psonisasi oleh antibody igA lokal atau antibody serum yang bertrandudasi pada saluran pernafasan Batuk berperan penting dalam melindungi paru ,adlah ekspirasi kuat yang dapat membersihkan jalan nafas dari debris dan sekret , batuk dpaat volunteer atau reflek yangditimbulkan dari iritasi hidung ,sinus ,faring ,trakea ,bronkus ,bronkious .Hilangnya kemampuan batuk dapat mengakibatkan penumpukan sekret yang menjadi faktor terjadinya ateletaksis serta pneumonia.

B. Patofisiologi keluhana. Batuk berdahak pada anakBatuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Bila rangsangan pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik.Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk. Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi.Batuk terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk, reseptor tersebut berada di dalam dan di luar rongga thorax, dimana merupakan serabut syaraf tak bermielin, terdapat antara lain pada, bronkus, karina, trakea, laring, juga ada pada telinga, snus paranasalis, pericardial, dan diagfragma. Reflek batuk yang ada tersebut kemudian disalurkan ke medulla oblongata oleh beberapa nervus, yaitu nervus vagus yang melanjutkan rangsang dari bronkus, trakea dan telinga. Nervus glossofaringeus melanjutkan rangsang dari faring, nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus phrenikus meyalurkan dari perikardium dan diagframa. Semua rangsang tersebut kemudian menuju pusat pernapasan berupa nukleus retroambigualis, dan pusat motorik laring dan faring di nukleus ambigualis.Mekanisme batuk yaitu;1. fase iritasiFase dimana reseptor batuk yang ada diberbagai lokasi disensititasi atau diiritasikan oleh berbagai hal yang mempengaruhinya, baik mikroorganisme, benda asing, ataupun droplet dari hidung.2. Fase inspirasiKatup glotis terbuka lebar akibat kontraksi muskulus abduktor kartilago aryhtenoidea. Inspirasi terjadi secara cepat dan dalam, denganterfiksirnya iga bawah maka volume yang tertampung dalam rongga dada menjadi lebih besar dibanding pada kondisi normal, hal ini akan memungkinkan proses pembersihan pada bagian ini. Volume bisa mencapai 200 sampai 3500 ml dari volume normal.3. Fase kompresiFase dimana glotis menutup akibat kontraksi muskulus adduktor kartilago arythneoidea, glotis menutup selama 0,2 detik, pada faseini tekanan intrathorak meningkat sampai 300cmH2O. Tekanan pleura tetap meninggi mencapai 0,5 detik setelah glotis terbuka.4. Fase Ekspirasi/EkspulsiAdalah fase dimana batuk terjadi, glotis yang terbuka tiba-tiba membuat udara di dalamnya keluar dengan cepat dan kuat, sehingga benda asing yang telah meniritasi bagian reptor tadi dapat dikeluarkan dengan adekuat. Proses ini sangat bergantung pada ada atau tidaknya sekret dan benda asing pada jalur napas.Sputum merupakan mucus yang diangkut menuju faring oleh gerakan silia, pembentukn mucus yang berlebih menandakan adanya gangguan fisik ,kimia maupun infeksi pada membarm mukosa saluran pernafasan 1. Kuning infeksi2. Hijau penimbunan nanah (bronkiestaksis)3. Merah muda edema paru akut 4. Sputum berlendir lekat warna abu-abu putih bronchitis kronis ,infeksi virus5. Berbau busuk abses paru

b. Demam naik turun Demam merupakan peningkatan suhu tubuh akibat adanya peningkatan set point di hipotalamus. Adanya zat asing seperti infeksi bakteri atau virus bisa menyebabkan demam karena adanya endotoksin dari zat asing tersebut merangsang sel PMN untuk menghasilkan pirogen endogen yaitu IL-1, IL-6, atau TNF. Demam juga dapat diakibatkan oleh berbagai jenis penyakit inflamasi, trauma, atau kompleks antigen antibody yang dapat menginduksi IL_1, IL-6, TNF yang merangsang hipotalamus untuk meningkatkan set point ke level demam.Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan siklooksigenase 2 (COX-2) membentuk prostaglandin E2. Hal ini menyebabkan peningkatan level prostaglandin E2 dari jaringan hipotalamus anterior dan ventrikel 3 dimana konsentrasi tertinggi berada di sekitar organ vasculosum lamina terminalis yang jaringan kapilernya meluas ke sekeliling pusat termoregulasi hipotalamus. Interaksi pirogen dengan endhotelium pembuluh darah circumventricular hipotalamus adalah langkah awal meningkatkan set point ke level demam. Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6, dan TNF dilepaskan dari sel dan memasuki sirkulasi sistemik menginduksi sintesis PGE 2 untuk mencetuskan demam, sitokin pirogenik juga menginduksi pembentukan PGE2 di jaringan perifer. PGE2 di perifer dapat berkomunikasi dengan otak secara tidak langsung untuk meningktakan set point hipotalamus melalui beberapa cara, diantaranya dengan menstimulasi serabut saraf otonom dan melalui rute vagal yang merupakan cara terbaik. Peningkatan PGE 2 di perifer juga menyebakan myalgia non spesifik dan artralgia yang sering menyebkan demam.Demam memiliki tiga fase klinis yaitu menggigil, febris, dan kemerahan. Pada fase menggigil, temperature inti tubuh naik menjangkau set point suhu baru dengan vasokontriksi perifer melalui mengurangi pengeluaran panas dan peningkatan aktivitas otot untuk meningkatkan produksi panas. Pada fase febris terjadi keseimbanagn antara produksi dan kehilangan panas pada set point yang meningkat. Kulit teraba hangat, kemerahan, dan kering. Ketika set point kembali normal, tubuh mempersipkan dirinya menjadi terlalu panas, sehingga mekanisme mengurangi panas dimulai melalui vasodilatasi perifer dan berkeringat.Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian. Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00-06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00-18.00. berikut ini adalah hasil pengukuran suhu tubuh sesuai dengan tempat pengukuran:Tempat pengukuranRerata suhu normal (0C)Demam (0C)

Aksila34,7 - 37,337,4

Sublingual35,5 37,537,6

Rectal36,6 37,938

Tabel 2.1 hasil pengukuran suhu tubuh sesuai lokasiTipe demamInterpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, diantaranya anak sudah mendapat antipiretik sehingga mengubaha pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat berbeda. Akan tetapi, jika pola demam dapat diketahui meskipun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini bia menjadi petunujk diagnosis yang berguna.Penilaian pola demam melalui tipe awitan, variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama periode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1. Demam kontinyu ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetapdengan fluktuasi maksimal 0,40C selama periode 24 jam.2. Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,50C per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Variasi diurnal biasanya terjadi, khusunya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.3. Demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umunya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari. Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.4. Demam septic terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.5. Demam quotidian disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari.6. Demam quotidian ganda memiliki 2 puncak dalam 12 jam7. Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.8. demam lama (prolonged fever) menggambarkan suatu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.9. Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama atau sistem organ multiple.10. Demam bifasik menunjukkan satu penyakti dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern atau saddleback fever). contohnya ialah poliomyelitis, leptospirosis, demam dengue, demam kuning.11. Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikutisatusampaibeberapahari, beberapamingguataubeberapabulansuhu normal. Contohnyaialah malaria.12. Relapsing feveradalahistilah yang biasadipakaiuntukdemamrekuren yang disebabkanolehsejumlahborelia.c. Sulit bernafasSulit nafas juga dapat diartikan sebagai suatu pengalaman subjektif seseorang akan ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari sensasi yang intensitasnya berbeda. Pengalaman itu merupakan interaksi dari fisiological, psikologikal, sosial, dan faktor lingkungan,dan dapat diinduksi secara respon psikologikal dan kelakuan.Penyebab Sesak Napas dapat berasal dari berbagai tempat di paru Penyakit Saluran Napas asma, emfisema. Adult respiratory distress syndrome (ARDS) Penyakit Parenkimal Penyakit Vaskular Paru Hipertensi paru primerPenyakit pleura Pneumotoraks, Penyakit Dinding Paru trauma, bronkitis kronik, CHF , Kor pulmonal , Efusi pleura , kelainan tulangtertelan benda asing Pneumonia, Emboli paru, hemotoraks, neurologik sumbatan laring, Pulmonary infiltrates with eosinophilia (PIE). Penyakit venooklusiparu, fibrosis.

Klasifikasi DispneaDyspnea biasanya ditentukan dengan klasifikasi Hugh-Jones yang dapat dibagi menjadiDerajat 1: kerja tampak sama dengan mereka yang memiliki usia sama, berjalan, naik tangga mungkin seperti orang sehat lainnya.Derajat 2: walaupun obstruksi tidak didapatkan, pasien tidak dapat untuk berjalan seperti orang lainnya yang berusia sama.Derajat 3: walaupun tidak dapat berjalan seperti orang sehat pada level biasa,pasiennya masih dapat berjalan satu kilometer atau lebih dengan langkahnyasendiri.Derajat 4: orang berjalan 50 m atau lebih membutuhkan istirahat atau tidak dapat melanjutkannya.Derajat 5: sesak napas terjadi ketika ganti baju atau istirahat; dan orangtersebut biasanya tidak dapat meninggalkan rumah.MekanismeDispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran gasantara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis padas aluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadipeningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan jugadapat menebab kan dispnea.Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru makasemakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama.Sumber penyebab dispnea termasuk: Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dinding dada dalam teori tegangan panjang, elemen- elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan derajat elastisitasnya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa sesak napas. Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasiPatofisiologiDispnea mungkin disebabkan gangguan fisiologis akut seperti asma bronchial, emboli paru, pneumotoraks, atau infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih disebabkan akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau prosesif dari efusi pleura atau gagal jantung kongestif.

d. Retraksi dinding dadaRetraksi merupakan penarikan dinding dada kearah dalam saat bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas. Pada anak- anak lokasi terjadinya retraksi menentukan lokasi terjadinya serta beratnya kelainan. Retraksi subcostal dan substernal biasanya terkait dengan kelainan saluran nafas bawah. Retraksi suprasternal menunjukkan kelainan saluran nafas atas. Retraksi intercostals ssendiri menunjukkan keadaan yang fisiologis. Retraksi intercostral ditambah dengan retraksi pada subcostal serta substernal mengindikasikan kelainan respirasi yang sedang. Sedangkan jika keemmpat bagian yaitu substernal, suprasternal, subcostal, serta intercostals mengalami retraksi menunjukkan kelainan respirasi sangat berat.Pada pemeriksaan inspeksi sering dilihat adanya tanda retraksi pada dinding dada,retraksi ini timbul karena tekanan intrapleura yang semakin negatif selama inspirasi tubuh berupaya melawan resistensi paru yang tinggi pada jalan nafas usaha ini akan menyebabkan tertariknya jaringan ikat subkostal dan interkostal ,fossa subclavia dan suprasternal ,

C. Anamnesis, pemeriksaan fisik, vital sign.1. AnamnesisPasien dengan keluhan batuk maka tanyakan berapa lama batuk berlangsung, juga apakah batuk sering berulang atau kambuh. Sifat batuk juga diteliti, apakah batuk bersifat spasmodic, kering, atau produktif. Dirinci pula sifat dahaknya: kekentalan, warna, bau, serta adanya darah pada dahak. Keluhan lainnya yang menyertai batuk penting diketahui: sesak nafas, mengi, keringat malam, sianosis, berat badan turun, apakah pasien memerlukan perubahan posisi, muntah, dsb. Terkadang anamnesis keluhan batuk sangat khas untuk diagnosis; misalnya batuk pada pertussis, bersifat spasmodic, non produktif, panjang, diselingi whoop pada saat inspirasi, dan seringkali disertai dengan muntah.

2. Pemeriksaanfisika. Inspeksi Bentuk toraks Emphisema : bentuk thoraks dari depan dan dari samping sama Funnel-shape chest : bentuk seperti cerobong, sternum masuk ke dalam Pigeon chest : terdapat penonjolan pada sternum Adanya rochitis rosary : sambungan tulang rawan tulang keras bentuk seperti tasbih karena defisiensi vitamin D Adanya penonjolan pada sambungan tulang rawan tulang keras, karena riwayat kekurangan vitamin A Retraksi pada daerah intercostalis : disebabkan infeksi, atelektasis Adanya bulging/penonjolan: adanya cairan dalam paru/darah Chest indrawing : tarikan subcostal ke dalam (diantara dada dan perut) kemungkinan terjadi pneumonia. Normal: menarik napas dinding dada & perut bagian atas dan bawah bergerak keluar. Tipe pernapasan Cheyne stokes Bernapas dalam dan cepat diikuti napas pelan, lalu tidak bernapas (apnea) Gerakan teratur Normal padi bayi preterm (neonatus prematus) Patologis:peningkatan tekanan intracranial, pada bayi yang lebih besar Khusmaull Bernapas dalam dan cepat Gerakan teratur Pada dehidrasi berat yang akan asidosis Biot Seperti cheyne stokes tapi gerakannya teratur Dispnea Dapat dilihat dari napas cuping hidung (flaring of ala nasi) Retraksi intercostal : penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam bersama dengan peningkatan frekuensi napas Pada pneumoniab. PalpasiDengan telapak tangan, yakinkan dengan jari jari, dapat mengetahui : Posisi scapula Posisi clavicula Asimetris dinding dada Ada/tidaknya fraktur, biasanya pada bayi baru lahir disebabkan oleh trauma waktu persalinan Tractile fremitus (fremitus suara) Dengan merasakan getaran pada tangan, terasa sebagai getaran yang menyebar ke seluruh dinding dada Fremitus akan jelas terasa bila diperiksa pada orang dewasa jarang pada anak karena sulit dilakukan palpasi Pada anak yang besar, disuruh bicara wolong poloh wolu jangan delapan puluh delapan Pada anak kecil terdengar ketika menangis Normal, tidak terjadi pada pasien bila tidak mengeluarkan bunyi apapun Berguna untuk mengetahui keadaan mukus : kasar -> mukus ada di saluran napas atas, no fremitus-> mukus ada di bagian bawah Fremitus suara menurun pada: Obstruksi airway : penyumbatan jalan napas Efusi pleura : terkumpulnya cairan pleura di kavum pleura Tumor Fremitus meningkat pada consolidation/ pneumonia Rib interspace (sela interspace) terdapat pada: Retraksi intercostalis : disebabkan oleh beban yang bertambah pada saat bernapas Bulging/ penonjolan intercostalis selama ekspirasi: menunjukkan adanya obstruksi pada saat ekspirasi Paralitik otot otot intercostal, ditunjukkan oeh gerakan sela sela iga yang berkurang, aktivitas pernapasan yang menurunc. Perkusi Langsung : dengan mengetukkan jari pada tubuh anak secara ringan dengan jari telunjuk/tengah, dilakukan setiap inci dengan tepat Tidak langsung : seperti pada orang dewasa. Dengan meletakkan 1 jari secara mantap pada dinding dada, jari telunjuk atau jari tengah kanan yang lain untuk mengetuk. Hal hal yang diperhatikan dalam perkusi tidak langsung : Jari tangan diletakkan secara mantap pada dinding dada Hanya satu jari yang menyentuh dinding dada Pasien dapat duduk, berbaring, berdiri pada punggung atau perutnya Jari tangan yang melakukan perkusi bergerak secara ringan dan terbatas pada sendi Perkusi pada anak lebih akurat daripada pada dewasa, karena dinding dada masih tipis Normal sono : pada daerah pulmo (karena terisi gas) Normal redup pada daerah: diafragma, hepar, jantung, scapula Posterior :perkusi dari bahu ke bawah, redup pada kosta 8-10 karena terdapat diafragma Anterior : mulai dari bawah clavicula, pada costa 6 mulai terdengah redup tapi masih relativ karena paru masih menutupi hepar. Pada costa 8 terdengar redup absolut karena organ hanya hepar saja Penurunan resonansi (terdengar redup karena padat) terdapat pada : Pneumonia/konsolidasi paru : terkumpulnya sel sel radang Atelektasis : kolaps lobus atau segmen paru karena sumbatan pada bronkus lobularis dan segmentalis Pulmonary edem: edema pada paru paru Efusi pleura :terkumpulnya cairan pleura pada cavum pleura Emphiema : paru terisi oleh pus Perbesaran jantung: intercostal 2-5 Hipersonor (karena terlalu banyak udara) : Emfisema :peningkatan volume gas pada paru Pneumothorax : peleburan rongga pleura karena terisi udara Lung cyst Diafragmatika hernia : suara usus terdengar pada dinding thoraxd. Auskultasi Suara napas dasar BronkovesikulerDinamakan bronkovesikuler karena dinding tipis, pada deasa disebut suara vesikuler karena dinding dada lebih tebal BronkialNormal pada intercostal III parasternal AmphoriesTerdapat cavernae TB, banyak pada orang dewasa, anak jarang. Suara napas tambahan Ronki Basah 1. Coarse/kasar: bila ada kelainan pada bronkus, misalnya bronkitis2. Halus: terdapat kelainan pada bronkus kecil (misalnya pneumonia, brokiolitis) Kering : bersin, wheezing (pada asma) Pleural frictionKarena pergerakan pleura, pada pleuritis KresipitasiTerdengar pada belakang bawah, paru kolaps dan ada pada pneumonia Vocal resonance/bronchophonyDidapat dengan mendengar suara napas paru, hampir sama seperti fremitus, hanya saja ini berupa suara, fremitus adalah getaran.

3. Vital signa. Tekanan DarahPengukuran seperti pada dewasa, tetapi memakai manset khusus untuk anak, yang ukurannya lebih kecil dari manset dewasa. Besar manset antara setengah sampai dua per tiga lengan atas. Tekanan darah waktu lahir 6090 mmHg sistolik, dan 2060 mmHg diastolik. Setiap tahun biasanya naik 23 mmHg untuk kedua-duanya dan sesudah pubertas mencapai tekanan darah dewasa.b. NadiPerlu diperhatikan, frekuensi/laju nadai (N: 60-100 x/menit), irama, isi/kualitas nadi dan ekualitas (perabaan nadi pada keempat ekstrimitas c. NafasPerlu diperhatikan laju nafas, irama, kedalaman dan pola pernafasan.d. SuhuPengukuran suhu tubuh dapat dilakukan dengan beberapa cara : RectalAnak tengkurap di pangkuan ibu, ditahan dengan tangan kiri, dua jari tangan kiri memisahkan dinding anus kanan dengan kiri, dan termometer dimasukkan anus dengan tangan kanan ibu. OralTermometer diletakkan di bawah lidah anak. Biasanya dilakukanuntuk anak > 6 tahun. AksilerTermometer ditempelkan di ketiak dengan lengan atas lurus selama 3 menit.Umumnya suhu yang diperoleh 0,5 lebih rendah dari suhu rektal.D. Diagnosis dan Diagnosa Banding1. Common cold (influenza)Merupakan infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai pada bayi dan anak. Dibedakan istilah nasofaringitis akut untuk anak dan common cold untuk orang dewasa karena manifestasi klinis penyakit ini pada anak dan dewasa berlainan. Pada anak infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasalis, telinga tengah di samping nasofaring, disertai demam yang tinggi. Pada orang dewasa infeksi mencakup daerah terbatas dan biasanya tidak disertai demam yang tinggi.a. Etiologi Penyebab penyakit ini ialah virus, dengan masa penularan beberapa jam sebelum gejala timbul sampai 1-2 hari sesudah hilangnya gejala. Komplikasi ini timbul akibat invasi bakteri patogen biasanya Pneumococcus, Streptococcus dan pada anak kecil H. Influinzae dan Staphylococcus.

b. Faktor predisposisiKelelahan, gizi buruk, anemia, kedinginan. Walaupun umur bukan faktor ynag menentukan daya rentan, namun infeksi sekunder purulen lebih banyak dijumpai anak kecil. Penyakit ini sering diderita pada waktu pergantian musim.

c. Patologi anatomisSubmukosa hidung edematous disertai vasodilatasi pembuluh darah. Terdapat infiltrasi leukosit mula-mula sel mononukleus, kemudian sel PMN. Sel epitel superfisial banyak yang lepas. Regenerasi sel epitel baru terjadi setelah lewat stadium akut.

d. Gejala klinisBerupa gejala nasofaringitis dengan pilek, batuk sedikit dan kadang-kadang bersin. Dari hidung keluar sekret cair dan jernih yang dapat kental dan pururlen bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus. Sekret ini sangat merangsang anak kecil. Kongesti hidung menyebabkan anak bernafas melalui mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapatkan nyeri pada otot, pusing, dan anoreksia. Kongesti hidung disertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri.

e. Komplikasi Sinusitis paranasalGejal umum lebih berat, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya di daerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak besar. Proses sinusitis sering menjadi kronis dan gejala malise, cepat lelah dan sukar berkonsentrasi pada anak besar. Kadang-kadang disertai sumbatan hidung dan nyeri kepala yang hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai sekret purulen dapat unilateral maupunn bilateral. Komplikasi sinusitis harus dipikirkan apabila didapat pernafasan melalui mulut ynag menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas. Dapat terjadi penutupan Tuba Eustachii dengan gejala tuli atau infeksi menembus langsung daerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media akut (OMA). Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan yang mendadak tinggi, kadang-kadang menyebabkan kejang demam. Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau memegang telinganya yang nyeri. Kadang-kadang hanya ditemukan gejala demam, gelisah dan kadang-kadang disertai gejala muntah dan diare. Penyebaran infeksi nasofaring ke bawah dapat menyebabkan radang saluran nafas bagian bawah seperti laringitis, trakeitis, bronkitis, dan bronkopneumonia.

f. PengobatanHanya simptomatik, yaitu diberikan ekspektoran untuk mengatasi abtuk; sedativum untuk menenangkan dan antipiretikum untuk menurunkan demam. Obstruksi hidung pada bayi sangat sukar diobati. Pengisapan lendir dari hidung dengan berbagai alat tidak efektif dan biasanya berbahaya. Cara terbaik penyaluran sekret ialah dengan mengusahakan posisi bayi dalam prone position. Pada anak besar dapat diberikan tetes hidung larutan efedrin 1%. Bila ada infeksi sekunder hendaknya diberikan antibiotika. Batuk yang produktif merupakan kontraindikasi pemberian antitusif (kodein) karena terjadi depresi pusat bauk dan pusat muntah, mudah terjadi penumpukan sekret sehingga terjadi bronkopneumonia. 2. PertusisPertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada tahun 2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara sedang berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak. Masa inkubasi pertusis 910 hari (620 hari) yang terbagi atas 3 stadium, yaitu: 1) stadium kataral (2-7 hari); 2) stadium paroksismal (1-2 minggu, namun bisa mencapai 8 minggu) adalah karakteristik batuk pertusis terutama pasien anak usia 6 bulan s/d 5 tahun; dan 3) stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai konvalesens dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Sindrom pertusis memberikan tanda dan gejala mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya ringan dan tidak memiliki stadium sebagaimana yang disebabkan B. pertussis. Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan bakteri lain diluar B. pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai angka 100%. B. pertussis merupakan patogen eksklusif pada manusia, sedangkan B. bronchiseptica, B. parapertussis, dan B. holmesii mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik pada manusia maupun mamalia. B. bronchiseptica umumnya menyerang yang imukompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Dalam beberapa dekade terakhir, program imunisasi pertusis pada bayi menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam menurunkan kejadian pertusis berat di seluruh dunia. Pada tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan diharapkan mampu menekan angka kematian. (IDAI,2011).a. Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium: 1. Stadium kataral Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam; rinorea; anoreksia; frekuensi batuk bertambah 2. Stadium paroksismal Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan.3. Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus. Bayi 5 thn)a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun). Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jamganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

6. Tuberculosis anakPenyakit tuberkulosis (TB) pada anak walaupun dikatakan merupakan Self limited disease atau Stable disease sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara berkembang. Indonesia merupakan negara dengan proporsi TB tertinggi nomer 3 (tiga) setelah India (30%) dan Cina (15%) yaitu sebesar 10.Angka kesakitan tuberkulosis anak merupakan parameter berhasil tidaknya pemberantasan tuberkulosis di suatu daerah. Dan perlu diingat pula bahwa tuberkulosis anak merupakan penyakit sistemik.

a. Klasifikasi tb anak1. TB Primer Komplek Primer Komplikasi paru dan alat lain (sistemik)2. TB Post Primer Re infeksi endogen (karena daya tahan tubuh turun, kuman yang indolen aktif kembali) Re infeksi eksogen

Komplek Primer :Di paru basil yang berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang disebut afek/fokus primer dari Gohn. Basil akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan akan terjadi limfadenitis regional. Pada lobus atas paru akan terjadi pada kelenjar limfe pada trakheal, sedangkan pada lobus bawah akan terjadi pada kelenjar limfe hiler.

Komplikasi Paru dan alat lainDapat terjadi penyebaran secara limfogen hematogen akan terjadi TB milier, meningitis TB, bronkogenik, pleuritis, peritonitis, perikarditis, TB tulang dan sendi.

b. Diagnosis tb anak Test TuberkulinAda 2 macam tuberkulin yang dipakai yaitu Old tuberkulin dan Purified protein derivate dengan cara Mantoux. Yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah.Reaksi dilihat 48 72 jam setelah penyuntikan. Uji Tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB. Reaksi ini akan bertahan cukup lama walaupun pasien sudah sembuh sehingga uji Tuberkulin tidak dapat digunakan untuk memantau pengobatan. Keadaan umum anakCuriga adanya TB anak bila : Sering panas Sering batuk pilek (batuk kronis berulang) Nafsu makan menurun Berat badan tidak naik Laboratorium hematologiTidak banyak membantu. Laju endap darah meninggi pada keadaan aktif dan kronik. Pada stadium akut bisa terjadi lekositosis dengan sel polimorfonuklear yang meningkat selanjutnya limfositosis. Gambaran hematologik dapat membantu mengamati perjalanan penyakitnya. Gambaran darah yang normal tidak / belum dapat menyingkirkan diagnosis tuberkulosis. Foto RontgenFoto thoraks yang khas adalah : Fokus primer Limfadenitis pada trakhea LimfangitisFoto thoraks yang jelas : TB milier Bronkhogenic SpreadFoto Rontgen thoraks tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal

Pemeriksaan bakteriologisMerupakan diagnosis pasti bila ditemukan kuman basil tahan asam, tetapi sulit pada bayi dan anak. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari sputum (pada anak besar), bilasan lambung pagi hari atau dari cairan lain : LCS, Cairan pleura, cairan pericard.Pemeriksaan dapat dilakukan cara langsung, biakan dengan metode lama, radiometrik (Bactec), PCR Pemeriksaan histopatologiJarang dilakukan pada anak, dilakukan dengan biopsi misalnya dari kelenjar limfe Pemeriksaan fungsi paruPada umumnya fungsi paru tak terganggu kecuali pada bronkhiektasis hebat. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada TB anak yang memerlukan tindakan operatif. Pemeriksaan terhadap sumber penularanDicari sumber infeksi baik dari keluarga maupun orang lain, dilakukan pemeriksaan sputum, foto paru, pemeriksaan darah. Bila positif sebaiknya diisolasi untuk mengurangi kontak dan dilakukan pengobatan. Serologi : hasil kurang memuaskan dan masih kontroversi, hasil tergantung dari : Umur Status imunisasi Mycobacterium atypic Tidak dapat membedakan infeksi dan sakit Interfedon Problem utama dan penatalaksanaan TB anak adalah :a. Diagnosis : Gejala klinik tidak specifik sehingga sering terjadi over / under diagnosis dan over/under treatment Belum ada alat diagnostik yang pasti Infeksi TB atau sakit TB tidak ada alat diagnostik yang dapat membedakanb. Kepatuhan berobat Banyak terjadi putus obat yang berakibat kegagalan pengobatan

SISTEM SKORING TB ANAK IDAI

GEJALA0123SKOR

KontakTidak jelas-BTA (-)BTA (+)

Tes Tuberkulin---Positif

BBBbm BBGizi buruk-

PanasPenyebab tdk jelas--

Batuk< 3 mg 3 mg

Pembesaran kelenjar> 1 kel 1 cm tdksakit

Tulang / SendiBengkak

Foto thoraxNormalSugestif

TOTAL

Tabel 2.2 sistem skoring TB anak IDAI

c. Pengobatan tb anakTujuan pengobatan TB anak adalah : Menurunkan / membunuh kuman dengan cepat Sterilisasi kuman untuk mencegah relaps dengan jalan pengobatan Fase intensif (2 bulan) : mengeradikasi kuman dengan 3 macam obat : INH, Rifampisim dan PZA Fase pemeliharaan (4 bulan) : akan memberikan efek sterilisasi untuk mencegah terjadinya relap : menggunakan 2 macam obat : INH & RIF Mencegah terjadinya resistensi kuman TB

PRINSIP PENGOBATAN TB ANAK Kombinasi lebih dari satu macam obat. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap obat Jangka panjang, teratur, dan tidak terputus. Hal ini merupakan masalah kadar kepatuhan pasien. Obat diberikan secara teratur tiap hari

OBAT YANG SERING DIGUNAKAN PADA TB ANAK

OBATSEDIAANDOSIS(mg/kg BB)DOSIS MAKSESO

INHTablet 100 mgTablet 300 mgSirup 10 mg/ml5 15 mg300 mgHepatitis, neuritis perifer hipersensitif

RifampicimKapsul/ kaplet 150,300,450,600Sirup 20 mg/ml10 - 15600 mgUrine/sekret merah hepatitis, mual flulike reaktion

PirazinamidTablet 500 mg25 352 gHepatitis hipersensitif

EtambuzolTablet 500 mg15 202,5 gNeurilis optika ggn visus /warna ggn saluran cerna

StreptomisinInjeksi15 - 401 gramOtotoksis nefrotokis

Tabel 2.3 Obat TB anak

E. Tatalaksana.1. NebulizerTerapi inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui penghisapan. Terapi pemberian ini, saat ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan penyakit-penyakit saluran napas. Berbagai macam obat seperti antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada terapi inhalasi. Untuk mencapai sasaran di paru-paru, partikel obat asma inhalasi harus berukuran sangat kecil (2-5 mikron).Keuntungan terapi inhalasi ini adalah obat bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan asma karena setelah dihisap, obat akan langsung menuju paru-paru untuk melonggarkan saluran pernapasan yang menyempit. Selain itu memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah. Untuk efek samping obat minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah.Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat yang telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk anak-anak, usila dan mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk yang bisa digunakan daengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan untuk dipasangkan ke nebulizer.Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak napas dan epiglottis. Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya seperti subkutan/oral. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronkus.

Indikasi: Rasa tertekan di dada Peningkatanproduksi secret. Pneumonia ( kongesti) danatauatelektasis.Kontraindikasi: Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan mask/sungkup, tetapi mask efektifnya berkurang secara spesifik. Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan. Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan disritmia. Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent Positive Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme.Peralatan: Nebulizer dan tube penghubung Cannula oksigen Tube berkerut, pendek Sumber kompresi gas/O2/udara/compressor udara Medikasi/obat yang diberikan melalui nebulizer.

Persiapan: Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan klien ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal. Kaji suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi diberikan. Kaji heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per menit, hentikan terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus dikaji. Instruksikan pasien untuk mengikuti prosedur dengan benar, lakukan perlahan, napas dalam dam tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat.Tahapan prosedur: Berikan oksigen suplemen, dengan flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan pasien, pulse oxymetri/ hasil AGD. Inhalsi katekolamin dapat merubah ventilasi-perfusi paru dan memperburuk hipoksemia untuk periode singkat. Pasang nebulizer dan tube dan masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai program (obat-obat bronchodilator ada yang berupa cairan untuk pengobatan hirup, cairan bronchodilator sebanyak 0,3-0,5 ml). Ditambahkan /dicampur sejumlah normal saline steril sebanyak 1 ml sampai 1,5 ml ke nebulizer sesuai program. Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas, berikan oksigen 6-8 liter/menit, sesuaikan flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit tipis, jika terlalu kuat arusnya obat dapat terbuang sia-sia. Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar. Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi. Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen dan respiratory rate. Pemberian mungkin membutuhkan waktu selama 10-15 menit/30-40 menit.Komplikasi/efek samping obat berupa nausea, vomit, tremor, bronkospasme, takikardia.

2. OTC (Over The Counter)Mechanisms of Action of Common OTC Products This section briefly reviews the principal mechanisms of action of some of the most common active ingredients found in OTC pain relievers and products used to treat symptoms of the common cold, the flu and allergies. Pain Relievers Three types of pain relievers are used in OTC products: salicylates (of which aspirin is the most widely used); propionic acid derivatives (ibuprofen [Advil, Menadol, Motrin], naproxen sodium [Aleve], ketoprofen [Orudis KT]), and aminophenols (of which only acetaminophen [Panadol, Tempra, Tylenol] is widely used as a pain reliever)? Table 2 gives dosages for these OTC pain relievers. The therapeutic effects of aspirin and the propionic acid derivatives, also known as the non- steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), result from the inhibition of prostaglandin synthe- sis. Prostaglandins, which regulate many homeostatic processes, are produced locally at sites of tissue injury, where they sensitize nerve endings to painful stimuli and also produce inflammation.6 In the central nervous system (CNS), prostaglandins and similar substances (collectively referred to as prostanoids) regulate sleep, body temperature and pain. There are several different types of prostaglandins, but they are all synthesized from a common precursor (arachidonic acid) by the cyclooxygenase (COX) enzymes. NSAIDs inhibit the enzymatic activity of COX, preventing the synthesis of prostaglandins. Acetaminophen relieves pain and reduces fever, but has little or no anti-inflammatory effect. The precise mechanism by which acetaminophen produces analgesia is not well understood. It has long been known that it inhibits the synthesis of prostaglandins in the CNS. Acetaminophen is thought to have little or no effect on the activity of COX or the production of prostaglandins in the peripheral tissues, although it has been suggested that the drug may affect a subtype of the COX enzyme that is distinct from the subtypes that are inhibited by the NSAIDS.~ Because of its relative lack of effect on COX in peripheral tissues such asthe kidneys or gastrointestinal (GI) tract, aceta- minophen is less likely than the NSAIDs to cause adverse renal or GI effects. Even among patients who have consumed very large doses of acetaminophen, few cases of acute renal failure have been reported? For this reason, acetaminophen is considered an alternative to aspirin or NSAIDs for patients who are at risk of renal side effect. AntihistaminesHistamine in an inflammatory mediator that is associated with fatigue, itching, irritation of the nasal passages, sneezing and the production of nasal mucus. Hist- amine acts by binding to and stimulating histamine H, receptors found on nerve endings, smooth muscle cells and glands. Besides blocking the H, receptors and preventing hista- mine from stimulating them, thefirst-generation antihistamines also exert anticholinergic or serotonergic effects, as well as local anesthetic and sedative effects. Commonly used OTC antihistamines include diphenhydramine (Benadryl Allergy, Banophen, Diphenhist), brompheniramine (Dimetapp Allergy) and chlor- pheniramine (Aller-Chlor, Chlo-Amine, Chlor-Trimeton Allergy). While these drugs are commonly used in combinationcough and cold medications, their usefulness in the treatment of upper respiratory infections (URIS) is limited to relieving rhinorrhea. Decongestants Only one oral decongestant, pseudoephedrine (Allermed, Genaphed, Sudafed), is currently approved by the FDA. Pseudoephedrine is an alpha- adrenergic agonist. It acts on adrenergic receptors in the blood vessels of the nasal mucosa to produce vasoconstriction, resulting in decreased blood flow and shrinkage of tissue in the nasal passages. Cough Medications Cough medications are classified as antitussives and expectorants. Antitussives, such as dextromethorphan (Drixoral, Pertussin CS, Robi- tussin Pediatric) or codeine, work by directly affecting CNS sites that regulate the cough reflex. Only one expectorant, guaifenesin (Guiatuss, Robitussin, Tusibron), is used in OTC products. It is thought to thin bronchial secretions and make coughing more productive, although these effects are not well supported by the medical literature.Side Effects OTC medications possess a low risk of side effects when used at therapeutic doses. When used occasionally by healthy adults, serious negative side effects are not a major issue. That said, these drugs are not risk free. Certain subsets of patients, such as the very young, the elderly, those with impaired renal function and those taking multiple medications, are at an increased risk of injury caused by OTC pain relievers, antihistamines, the decongestant pseudoephedrine, and antitussives and expectorants. Pain Relievers Aspirin and the NSAlDs On the whole, intolerable side effects caused by aspirin are unusual, and the drug is well tolerated by the vast majority of patients who use it. Several side effects have been reported, however, including cardiovascular effects (dysrhythmias, hypotension, tachycardia), fluid and electrolyte imbalances, and hearing loss or tinnitus. These effects are dosage-related and are more common at the high dosages used to produce anti-inflammatory effects than at the dosages usually used for relief of transient symptoms. The principal hazard with aspirin is GI irritation and bleeding, and it is for this reason that the newer NSAIDs have largely taken over aspirin s one-time role as the OTC analgesic of choice. As discussed previously, aspirin and NSAIDs relieve pain and inflammation by inhibiting the production of prostaglandins. Prostaglandins are responsible for regulating physiologic processes important to the health of the gastric mucosa, such as maintaining the protective mucous layer and regulating pH, the secretion of bicarbonate and the flow of blood to the tissues. By inhibiting these processes, aspirin and NSAIDs can produce a variety of gastrointestinal complications, ranging from relatively mild dyspepsia to more severe problems such as gastrointestinal hemorrhage. Although the risk of serious adverse events for an individual patient is generally small, the large number of people who use these pain medications on a regular basis implies that many potentially serious adverse events occur each year. With respect to ibuprofen, the probability of GI bleeding or ulceration is proportional to the dose taken and especially to the duration of treatment. Gastropathy can happen with OTC doses of ibuprofen, although it is not likely in less than two weeks of treatment. GI effects are more likely to occur in older people. Ketoprofen and naproxen sodium, though less studied than ibuprofen, are associatedwith a higher risk of side effects than placebo.16 In a recent study of the factors that contribute to GI bleeding, use of OTC NSAIDs was identified as a significant risk factor.16 For study participants who used an OTC NSAID (aspirin, ibuprofen, naproxen sodium), the risk of GI bleed was about three times as high as it was for those who did not. When data from this study were statistically adjusted for a number of other risk factors, such as age, sex, alcohol use, previous GI bleed and the presence of dyspepsia, the odds of GI bleed in patients who used aspirin or ibuprofen increased as the daily dosage increased. Aspirin and NSAIDs are also associated with the formation of esophageal strictures. In one small study (n = 79), patients undergoing endoscopy for gastroesophageal reflux disease (GERD) were considered to be NSAID users if they used these medications at least twice a week for a period of at least six months before endoscopy. Those who had strictures that required dilation were significantly more likely to be NSAID users (63.6 percent) than those who had strictures that did not require dilation (26.1 per- cent). This was true even for those who weretaking low-dose aspirin daily. These findings sug- gest that regularity of NSAID exposure is a stronger predictor of stricture formation than dosage. Several factors are associated with an increased risk of NSAID-induced gastropathy:* Age * Daily NSAID dosage * History of prior ulcer, GI hemorrhage, dys- pepsia and/or previous NSAID intolerance * Use of corticosteroids * Use of anticoagulants * Poor general health Even low-dose aspirin, which is often used to help prevent cardiovascular disease, may be associated with a significant risk of adverse GI effects in certain patients. In one study, those who used aspirin were two to three times as likely to be hospitalized for GI bleed as those who did not, and those who used aspirin in combination with other NSAIDs were even more likely to be hospitalized than those who used aspirin alone. The increased risk was similar whether enteric-coated aspirin or non-coated aspirin was used and was observed almost exclusively in patients who were over the age of 60.Individuals who are at high risk of developing NSAID-related gastropathy may benefit from con- current use of gastroprotective medication. Misoprostol (Cytotec), proton-pump inhibitors such as omeprazole (Prilosec) and high dosages of histamine H, receptor antagonists such as famotidine (Pepcid) have all been investigated for the reduction of adverse GI effects of NSAIDs. Misoprostol has been shown to reduce the incidence of ulcers when used prophylactically, although it is expensive and is associated with side effects of its own, especially diarrhea. Proton-pump inhibitors and histamine H, receptor antagonists have also been shown to be effective in healing lesions, but only misoprostol reduces complications associated with ulcers. Topical NSAIDs, which are commonly used to provide pain relief for arthritis and other diseases that cause painful joints, can produce local reac- tions such as itching, rash and eczema in a relatively small number of individuals. It should be noted that topical application of NSAIDs does result in some degree of systemic absorption and diffusion. Systemic effects such as an increased risk of GI bleeding and renal impairment have been reported, although rarely, with topical NSAID use, and there is little information about the long-term adverse effects associated with these agents.** A review of topical NSAID use, both acutely (for musculoskeletal pain) and chronically, found that topical NSAID application may produce little therapeutic benefit beyond that produced by placebo; however, it does appear to be associated with a lower risk of systemic adverse effects than oral NSAID use. NSAIDs can produce a number of adverse effects on kidney function and, indirectly, on the cardiovascular system. The renal effects of NSAIDs can vary from mild peripheral edema to irreversible renal damage or renal failure, which are less common. Under normal circumstances, the production of prostaglandins plays a relatively minor role in kidney function, but prostaglandin synthesis becomes more important under conditions of increased renal stress. By inhibiting prostaglandin synthesis, NSAIDs can disturb electrolyte balance, can cause vasodilation and can cause the release of renin (which exerts a number of effects including production of aldosterone and increases in potassium secretion, blood pressure and renal perfusion). Some clinical manifestations of the effects of NSAIDs on kidney function include edema and weight gain. Signs of acute kidney failure include elevated serum creatinine, blood urea nitrogen, serum potassium and weight gain. Other conditions such as nephrotic syndrome with acute interstitial nephritis or renal papillary necrosis have been reported but are quite rare with normal NSAID use. Like aspirin, NSAIDs may also exacerbate hypertension or interfere with the effectiveness of blood pressure medications, although NSAIDs do not appear to elevate blood pressure in normotensive individuals. There have also been reports of hepatic injury with aspirin or nonsalicylate NSAID use. The risk of this type of injury is thought to be low for most individuals, but it is greatest for those who take high doses of aspirin, especially if there is pre- existing liver disease, juvenile arthritis or rheumatic fever.Acetaminophen The long-term use of high dosages of analgesics, especially combination products that also contain caffeine or codeine, can cause a specific form of renal disease known as analgesic nephropathy. This disease is characterized by renal papillary necrosis and chronic interstitial nephritis. It is different from NSAID-related renal toxicity, which is associated with acute renal failure. Analgesic nephropathy is a chronic, progressive disorder that develops with years or decades of analgesic use. It appears to require daily consumption of analgesics for a period of at least five years. It was initially attributed to the use of the analgesic phenacetin, which was withdrawn from the market in the United States and other countries in the 1980s. However, it has also been observed with acetaminophen and aspirin, especially when the two drugs are used in combination. Symptoms of analgesic nephropathy include headache, malaise, weight loss, flank pain and dyspepsia. Signsinclude hypotension, mild proteinuria and impaired urinary concentration. Analgesics and caffeine may exert direct toxic effects on kidney cells. In one study that examined the effects of aspirin, NSAIDs, acetaminophen and caffeine, either alone or in combination, on renal medullary cells in a cell culture system, all of these drugs were directly toxic to cultured renal inner medullary cells.2 The combination of aceta- minophen and caffeine produced a large synergistic effect, a finding that seems to fit well with the role of caffeine-containing products in the risk of analgesic nephropathy. This effect did not appear to be caused by COX inhibition, because the concentration of drugs required to produce toxicity was an order of magnitude greater than the con- centration required to completely inhibit the enzyme. The effect of analgesic exposure appeared to be primarily limited to a small number of rapidly dividing cells, which may explain why analgesic nephropathy appears only after a long period of exposure at high concentrations. Finally, drug concentrations in this study were comparable to those that might be observed in the kidneys of persons taking high doses of medication. Although these studies show that analgesic use can have adverse effects on renal function under some circumstances, one large, long-term prospective study suggests that even long-term exposure to moderate levels of NSAIDs or acetaminophen does not significantly affect kidney function in most individualszh The ongoing Physicians Health Study, which includes more than 11,000 healthy male physicians, has examined the effects of aspirin, NSAID and acetaminophen use over a period of 14 years. After adjustments were made for changes in renal function with age, no signifi- cant effect on creatinine level or creatinine clearance was observed as a function of NSAID or acetaminophen use, even among subjects who consumed the most medication (an average of three to four pills per week over the 14-year period). Nor was renal function affected among the oldest par- ticipants, who might have been expected to be at the greatest risk. The results of this study underscore the fact that for the large majority of normal users of pain relievers, these agents can be used safely and are not likely to produce clinically significant effects on renal function. However, it should be noted that the subjects in this study were, in the aggregate, in significantly better health than a true cross section sample of American men of the same age. A more recently published epidemiologic study found an association between the long-term use of acetaminophen or aspirin and chronic renal failure. In this study, all of the patients had pre- existing renal or systemic disease. This may explain in part why this study produced different findings than those of the Physicians Health Study. Acetaminophen use is associated with much lower risk of GI effects, including GI bleed, presumably because the drug has little effect on prostaglandin synthesis.Antihistamines and Pseudoephedrine First-generation antihistamines are especially sedating and can significantly impair a person s ability to drive and operate machinery-in some cases even more so than alcohol at a blood alcohol concentration level of 0.1 percent. In one study, participants took the recommended adult dosage (50 mg) of diphenhydramine and then completed driving simulation tests. Drivers self-ratings of drowsiness were only weakly correlated with their driving performance, suggesting that individuals who use antihistamines may not be aware that their performance is being affected. Use of antihistamines is often discouraged among the elderly because of an increased risk of falls. All antihista- mines can cause dryness of the mouth or eyes. The decongestant pseudoephedrine, in oral formulations, is associated with side effects related to CNS activation, including nervousness, dizziness and sleeplessness. It can also cause appetite sup- pression, palpitations, increased blood pressure, hyperglycemia, increased intraocular pressure in persons with narrow-angle glaucoma and urinary retention. In very young children, pseu- doephedrine should be used with extreme caution, if at all, because the range between therapeutic and toxic dosages is very narrow. When used by women during the first trimester of pregnancy, this drug is associated with an increased risk of infant gastroschisis (abdominal wall defect). Antitussives and Expectorants The most common side effects of codeine when used as an antitussive are nausea, vomiting, sedation and constipation. With dextromethorphan, sedation and GI disturbances are less common, but patients may experience confusion, excitation, nervousness and irritability. At high dosages, guaifenesin can cause nausea, vomiting, dizziness, headache, rash and abdominal pain. OTC use in children Parents often have questions about the best way to manage pain, fever and other symptoms associated with the flu, the common cold and allergies in children. While some parents are reluctant to give their children any medication, physicians can reassure them that, when used appropriately, OTC pain relievers pose very little risk and can improve quality of life for both the child and the parents. In terms of pain relief, acetaminophen and ibuprofen are the most often recommended, and recent reviews have suggested that acetaminophen should be considered first-line treatment in pediatric patients. The use of aspirin should be avoided in children under the age of 18 because of the risk of Reye s syndrome. There are fewer data available on the safety and efficacy of ibuprofen use in children, but onerecent randomized trial showed that among very young children (less than two years of age) who received either acetaminophen or ibuprofen for fever, the risk of serious adverse events was small and did not vary by medication choice. Some suggest that ibuprofen be avoided in children who are dehydrated. Allergic responses have been reported when ibuprofen is used by children who are allergic to aspirin or who have asthma. As with any medication, parents should be alerted to symptoms that suggest an allergic reaction, such as hives, shortness of breath or facial swelling, and instructed to discontinue the use of ibuprofen and contact a physician immediately if these symptoms are noted. They should also be encouraged to initiate and maintain clear communication with the child s other caregivers to minimize the risk of inadvertent double dosing. One tool to facilitate such communication and enable documentation of a child s medication history is a medication log (see Keeping Track of Your Child s Medicine). Fever itself rarely requires treatment and, with rare exceptions, is not harmful to the child. Parents should understand that a temperature ashigh as 101F should not be considered dangerousand that other means of lowering the child s tem-perature (e.g., clear liquids, a tepid bath) may helpwithout the need to use medication. Pseudoephedrine has been associated with halucinations, hypertension and dystonic reactionswhen used in children and can also cause irritability and hyperactivity. OTC medications contain-ing pseudoephedrine are available for very youngchildren, but because the range between therapeutic and toxic dosage is very narrow in this group,decongestants should be used with extreme care, if at all. Narcotic antitussives such as codeine are notrecommended in young children and are reportedto have caused fatalities, especially when used in infants.

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANPada skenario kasus I diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan batuk pilek mengindikasikan dugaan pasien menderita common cold. Selain itu, hasil pemeriksaan fisik yang didapat menunjukkan adanya demam serta peningkatan laju pernafasan. Hal ini semakin menguatkan bahwa pasien menderita common cold yang disebabkan oleh virus. Penatalaksaan pada kasus I ini, karena penyakit ini disebabkan oleh virus sehingga terapinya berupa self limitting. Selain itu, untuk mengurang keluhan batuk dapat diberikan antitusif serta demam dapat diberikan antipiretik.Pada skenario kasus II diketahui bahwa pasien mengeluh batu pilek dengan dahak putih mengindikasikan adanya proses inflamasi atau infeksi pada sistem pernafasan. Ditambah lagi hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya demam serta peningkatan laju pernafasan. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menderita pneumonia akut. Hal ini diperkuat dengan pasien yang sulit bernafas serta adanya retraksi dinding dada. Penatalaksanaan yang diberikan bergantung pada hasil pemeriksaan penunjang. Akan tetapi, sebaiknya ketika menunggu hasil pemeriksaan penunjang maka pasien dapat diberikan terapi simptomatik berupa antitusif serta antiiretik. Dikarenakan pneumonia terbanyak disebabkan oleh bakteri maka dapat diberikan antibiotik.

B. SARAN1. Sebaiknya untuk pasien kasus I dapat diberikan terapi simptomatik. Untuk kasus II dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu serta diberikan oksigen untuk menghindari adanya syok sebelum dirujuk ke spesialis anak.2. Sebaiknya peserta diskusi lebih mendalami materi yang akan didiskusikan agar diskusi lebih lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Akib, A. Asma pada Anak. Sari Pediatri 2002; 4; 78-82.

Anonymous. Dyspnea: How to Assess and Palliate Dyspnea (Air-Hunger). 2006. Diunduh dari: http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/pathophys.html. akses pada tanggal 12 Maret 2015.Behrman. 1999. NELSON: IlmuKesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Eddy Widodo. 2003. Tuberkulosis Pada Anak : Diagnosis dan Tata Laksana Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta: IDAI Jaya.

Hassan, R. Husein A. 1998. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit FK UI.

Malmstrom K, Sorva R, Silvasti M. Application and efficacy of the multidose powder inhaler, easyhaler, in childrenwith asthma. Pediatr Allergy Immunol 1999; 10:66-70.

Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea. N Engl J Med 1995; 333:1547-1553.

Mark P. Bowes, Ph.D and friends. 2002. Appropriate Use of Common OTC Analgesics and Cough and Cold Medications, Monograph No.1. American Academy of Family Physician.

Matondang, C. Wahdiyat, I. Sastroasmoro, S. 2003. Diagnosis Fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.

Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70. Batuk Kronik pada Anak : masalah dan tatalaksana

Sherwood,L (2008). Human physiology : From cells to systems, 7th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.

Supriyatno, B. Nataprawira, H. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri 2002; 4:67-73.

T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment: Mechanisms of Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.

9