Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
14 -
download
0
description
Transcript of Kecap Ikan_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika
NIM : 13.70.0095
Kelompok A3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
Acara II
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepada ikan patin,
air, enzim papain, bawang putih, garam, dan gula kelapa. Sedangkan alat-alat yang
digunakan adalah pisau, telenan, blender, kain saring, timbangan analitik, sendok,
toples, kompor, panci, pengaduk kayu, isolasi, wadah, dan refraktometer.
1.2. Metode
1
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam toples berisi 250 ml air.
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok A1),
konsentrasi 0,4% (kelompok A2), konsentrasi 0,6% (kelompok A3), konsentrasi 0,8%
(kelompok A4); konsentrasi 1% (kelompok A5).
Tulang dan kepala ikan dihancurkan menggunakan blender.
2
Toples ditutup rapat dan diisolaasi, kemudian diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang.
Hasil fermentasi disaring
Filtrat direbus hingga mendidih selama 30 menit.
3
Ditambahkan 50 gram bawang putih, 50 gram garam, dan 3 butir gula kelapa ke dalam filtrat di panci. Sampel tetap diaduk di atas kompor selama 30 menit.
Sampel didinginkan sebentar lalu hasil perebusan disaring menggunakan kain saring.
Dilakukan pengamatan tingkat salinitas sampel dan pengujian sensori meliputi warna, rasa, dan aroma kecap.
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap karakteristik kecap ikan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Kecap Ikan
Kel Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)A1 Enzim papain 0,2 % ++++ ++++ +++ ++++ -A2 Enzim papain 0,4 % ++++ +++++ +++ ++++ -A3 Enzim papain 0,6 % ++++ +++++ +++ ++++ -A4 Enzim papain 0,8 % ++++ ++++ ++ ++++ -A5 Enzim papain 1 % ++++ ++++ +++++ +++ -
Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak asin + : sangat tidak tajam++ : kurang coklat gelap ++ : kurang asin ++ : kurang tajam+++ : agak coklat gelap +++ : agak asin +++ : agak tajam++++ : coklat gelap ++++ : asin ++++ : tajam+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat asin +++++ : sangat tajam
Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui hasil persentase salinitas serta karakteristik kecap
ikan yang dilakukan secara sensoris, meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan
dengan pengaruh berbagai perlakuan. Masing-masing kelompok menggunakan
penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 0,2%
(kelompok A1), 0,4% (kelompok A2), 0,6% (kelompok A3), 0,8% (kelompok A4), dan
1% (kelompok A5). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat salinintas
kecap ikan yang dihasilkan oleh semua kelompok tidak terdeteksi. Selain itu, pada
parameter warna menunjukkan bahwa semua kecap ikan dengan konsentrasi enzim
papain yang berbeda menghasilkan warna yang sama, yaitu coklat gelap. Pada
parameter rasa, kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,8%, dan 1%
memiliki rasa yang sama, yaitu asin, sedangkan kecap ikan dengan konsentrasi enzim
papain 0,4% dan 0,6% menghasilkan rasa sangat asin. Pada parameter aroma, diperoleh
data bahwa kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6%
memiliki aroma agak tajam, kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,8%
4
5
beraroma kurang tajam, dan kecap ikan dengan penambahan enzim papain 1% memiliki
aroma sangat tajam. Pada parameter penampakan menunjukkan bahwa kecap ikan
dengan penambahan enzim papain 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental,
sedangkan kecap ikan yang dengan penambahan enzim papain 1% memiliki
penampakan agak kental.
3. PEMBAHASAN
Kecap ikan merupakan suatu produk pangan berprotein tinggi yang diperoleh dari reaksi
hidrolisis alami oleh mikroorganisme dan enzim endogen. Kecap ikan dapat dijadikan
sumber protein karena selama fermentasi berlangsung kandungan protein dalam ikan
akan mengalami proteolisis sehingga akan meningkatkan protein terlarut di dalamnya
(Ng et al., 2011). Afrianto dan Liviawaty (1989) menyatakan bahwa kecap ikan
memiliki beberapa karakteristik, yaitu berupa cairan jernih agak kental, berwarna
kekuningan hingga coklat, memiliki rasa asin dan gurih dengan aroma sedikit amis.
Olubunmi et al. (2010) menambahkan bahwa kecap ikan merupakan suatu cairan dalam
daging ikan yang diekstrak selama proses fermentasi atau proses pengasinan yang
panjang. Kecap ikan memiliki beberapa istilah di berbagai negara, seperti budu di
Malaysia, patis di Filipina, pissala di Perancis, nampla di Thailand, yeesui di Hongkong,
dang nuoc-nam di Asia Selatan.
Menurut Witono et al. (2014), kecap ikan merupakan produk hasil fermentasi berupa
cairan berwarna coklat yang biasa dikonsumsi di negara Asia. Produk ini dapat
digunakan untuk campuran masakan serta untuk berbagai pengolahan makanan cepat
saji karena dapat meningkatkan nilai gizi dan flavor. Selain itu kecap ikan juga
dijadikan sebagai makanan sumber protein untuk orang yang sedang melakukan diet,
terutama di beberapa negara Asia Selatan (Zarei et al., 2011). Sanceda dalam Zaman et
al. (2010) menambahkan bahwa kecap ikan sangat kaya akan kandungan protein dan
asam amino. Kecap ikan mengandung sebanyak 80% asam amino dari 20 g/l nitrogen
di dalamnya.
Menurut Ng et al. (2011), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu gizi dan
karakteristik kecap ikan adalah rasio penambahan garam pada ikan, suhu fermentasi,
jenis ikan, dan bahan tambahan yang digunakan. Pada umumnya, kecap ikan dibuat dari
ikan berukuran kecil yang memiliki nilai konsumsi rendah (Kasma Lohaunchit dalam
Olubunmi et al. (2010). Isnawan et al. (2001) menambahkan bahwa kecap ikan dapat
diolah dari ikan berukuran kecil dan bernilai ekonomis rendah, ikan yang tidak laku
dijual, atau juga dari limbah ikan yang tidak digunakan lagi. Dalam praktikum kali ini,
6
7
digunakan bahan baku kepala dan tulang ikan patin yang telah dihilangkan bagian
dagingnya. Berdasarkan teori yang ada, penggunaan bahan baku telah sesuai bahwa
pembuatan kecap ikan tidak selalu berasal dari bagian daging melainkan limbah ikan
pun dapat diolah menjadi kecap ikan. Hal ini didukung oleh Astawan & Astawan (1988)
yang menyatakan bahwa bagian kepala ikan dan isi perut ikan termasuk produk limbah
yang dapat diolah menjadi kecap ikan.
Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), tingkat kesegaran ikan yang digunakan sebagai
bahan baku dapat menentukan kualitas kecap ikan yang dihasilkan. Kesegaran ikan
dapat ditentukan berdasarkan karakteristik daging kenyal, aroma segar, jika daging
ditekan tidak muncul bekas lekukan, daging melekat kuat pada tulang, daging bagian
perut kenyal dan utuh. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung
berbagai macam zat gizi. Selain itu absorpsi protein pada ikan juga lebih tinggi
dibandingkan dengan produk hewani lain, seperti daging sapi dan daging ayam. Hal ini
disebabkan karena daging ikan memiliki serat-serat protein yang lebih pendek daripada
serat-serat protein daging sapi atau daging ayam (Silalahi, 2006). Ikan patin merupakan
ikan yang dapat digunakan sebagai ikan hias dan ikan untuk dikonsumsi. Daging ikan
patin mengandung garam sodium yang rendah, mudah dicerna dalam sistem
pencernaan, dan mengandung zat besi, kalsium, dan mineral yang baik bagi kesehatan
(Hernowo dalam Komariyah dan Aries, 2009). Khairuman dalam Komariyah dan Aries
(2009) menambahkan bahwa ikan patin mengandung 68,6% protein, 5,87% lemak,
3,5% abu, dan 51,3% air. Komponen protein utama dalam ikan adalah protein fibrilar
yang terdiri dari aktin dan myosin. Protein ini berperan dalam proses kontraksi dan
relaksasi otot pada ikan (Shahidi & Botta, 1994).
Pada praktikum ini dilakukan proses fermentasi secara enzimatis untuk menghasilkan
kecap ikan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Afrianto & Liviawaty (1989) yang
menyatakan bahwa pengolahan kecap ikan dapat dilakukan dengan beberapa metode,
yaitu fermentasi dengan penambahan garam, secara enzimatis menggunakan enzim
protease (papain dan bromelin), dan secara kimiawi. Mula-mula tulang dan daging ikan
ddihancurkan dengan blender lalu ditimbang sebanyak 50 gram. Kemudian bahan
dimasukkan ke dalam toples bening berisi air sebanyak 250 ml. Proses penghancuran
8
bahan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga luas permukaan bahan
meningkat dan proses ekstraksi dapat berjalan lebih cepat (Winarno, 1995).
Penambahan air bertujuan untuk melarutkan protein terlarut hasil proteolisis protein
ikan selama proses fermentasi berlangsung (Ng et al., 2011).
Setelah itu sampel ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda
pada masing-masing kelompok, yaitu berturut-turut dari A1 hingga A6 adalah 0,2%,
0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%. Perbedaan konsentrasi enzim papain bertujuan untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat salinitas serta karakteristik warna, rasa,
aroma, dan penampakan kecap ikan yang dihasilkan. Penggunaan enzim papain
bertujuan untuk menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti
pepton, peptida, dan asam amino yang akan saling berinteraksi menghasilkan warna dan
rasa yang khas, serta aroma yang sedap pada kecap ikan (Astawan & Astawan, 1988).
Menurut Lisdiana & Soemadi (1997), enzim papain berasal dari ekstrak pepaya yang
memiliki gugus sulfihidril dan bersifat proteolitik, sehingga mampu menguraikan
senyawa protein yang terkandung menjadi komponen-komponen penyusunnya. Afrianto
& Liviawaty (1989) menambahkan bahwa penggunaan enzim papain sebagai enzim
proteolitik ini akan mempercepat terjadinya hidrolisis ikan pada pembuatan kecap ikan
dibandingkan dengan penggunaan metode konvensioal yang membutuhkan waktu lebih
lama. Namun penggunaan enzim ini memiliki kekurangan, dimana senyawa yang
dihasilkan dari reaksi penguraian protein akan menimbulkan rasa pahit dan aroma yang
kurang sedap pada kecap ikan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan
memiliki cita rasa yang khas akibat adanya asam glutamat, sedangkan aroma yang khas
berasal dari asam dengan rantai pendek, seperti asam butirat, asam asetat, dan asam
valerat. Dalam jurnalnya, Olubunmi et al. (2010) menyatakan bahwa asam amino pada
kecap ikan dipengaruhi oleh enzim yang memproduksinya selama proses fermentasi
berlangsung. Enzim yang berbeda akan menghasilkan asam amino yang berbeda pula.
Setelah sampel diberi penambahan enzim papain, toples ditutup hingga rapat dan
dilekatkan dengan menggunakan isolasi. Penutupan toples bertujuan untuk menghambat
supplay oksigen dalam toples, sehingga kondisi anaerob akan tercapai dan proses
fermentasi dapat berlangsung semakim cepat. Selain itu, toples ditutup untuk mencegah
9
terjadinya kontaminasi mikroorganisme lain maupun kotoran dari udara luar yang dapat
menghambat aktivitas enzim proteolitik selama fermentasi berlangsung (Lisdiana &
Soemardi, 1997). Setelah itu sampel diinkubasi selama empat hari pada suhu ruang.
Proses inkubasi ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih
dan Nurjanah (1995) bahwa selama inkubasi empat hari dengan penambahan garam
20% dan enzim papain 3% akan diperoleh kecap ikan dengan hasil terbaik dari bahan
jeroan ikan tuna. Selain itu, proses inkubasi ini juga bertujuan untuk memberi waktu
enzim papain melakukan proses penguraian protein menjadi komponen penyusunnya
yang lebih sederhana. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), selama waktu inkubasi
terjadi fermentasi, dimana protein sebagai senyawa kompleks dalam tubuh ikan akan
dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim dalam kondisi lingkungan
yang terkontrol. Selama proses fermentasi juga memungkinkan terjadinya pemecahan
protein oleh enzim yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri maupun dari
mikroorganisme lain. Proses fermentasi ini dapat berlangsung dengan atau tanpa adanya
aktivitas mikroorganisme, terutama dari kelompok ragi dan jamur, melainkan tetap
dengan adanya aktivitas dari enzim proteolitik. Misgiyarta dan Widowati (2003)
menambahkan bahwa aktivitas enzim maupun mikroorganisme dalam proses fermentasi
akan menghasilkan rasa dan flavor bahan yang spesifik, meningkatkan daya cerna
produk pangan, menurunkan senyawa anti gizi dalam bahan pangan, serta menghasilkan
produk atau senyawa turunan lain yang baik untuk dikonsumsi.
Hasil inkubasi kemudian disaring menggunakan kain saring, lalu filtrat yang dihasilkan
direbus hingga mendidih selama 30 menit. Menurut Winarno (1993), proses
penyaringan sampel bertujuan untuk memisahkan zat cair dengan partikel padat, dimana
partikel padat tersebut tersbut akan tertinggal pada kain saring sedangkan zat cair akan
melewati filter dan dapat terpisahkan dengan baik. Sedangkan proses pemanasan
bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pada sampel yang tumbuh selama proses
fermentasi, sehingga produk kecap ikan menjadi lebih aman untuk dikonsumsi
(Fachruddin, 1997). Selain itu, proses pemanasan juga akan meningkatkan aktivitas
enzim papain yang bersifat proteolitik, dimana suhu aktivitas optimalnya berada pada
suhu 50-70oC (Soeparno, 1994).
10
Selama perebusan dilakukan penambahan bumbu-bumbu, yaitu garam sebanyak 50
gram, bawang putih halus sebanyak 50 gram, dan gula kelapa sebanyak 3 butir.
Penambahan garam bertujuan untuk meningkatkan cita rasa, terutama memberikan rasa
asin pada kecap ikan yang dihasilkan. Dalam penggunaannya, apabila garam yang
ditambahkan terlalu banyak maka dapat memberikan rasa asin yang berlebihan dan juga
menyebabkan terjadinya denaturasi protein akibat tingkat salinitas yang tinggi
(Wibowo, 2004). Penggunaan garam juga dapat mengawetkan kecap ikan karena
penambahan garam dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya osmosis,
sehingga sel mikroba dalam bahan akan mengalami sineresis. Selain itu, molekul NaCl
dalam garam akan terurai menjadi ion Na+ dan Cl- dan akan saling berikatan dengan air,
sehingga air bebas dalam kecap ikan menjadi berkurang dan kadar Aw semakin
menurun (Desrosier & Desrosier, 1997). Penggunaan bawang putih dapat berperan
sebagai bawah pengawet bagi kecap asin karena bawang putih memiliki aktivitas
antimikrobia. Hal ini sesuai dengan pendapat Hirasa & Takemara (1998) yang
menyatakan bahwa bawang putih (Allium sativum Linn) mengandung senyawa allisin,
alliin, dan akrolein yang bersifat bakteriostatik sehingga dapat menghambat aktivitas
bakteri, seperti Escherichia coli dan Bacillus spp. Dalam jurnalnya, Zarei et al. (2011)
melakukan penelitian analisis mikroba dalam kecap ikan, dimana dalam penelitiannya
diketahui bahwa kecap ikan tradisional Iran memiliki kandungan histamin yang cukup
tinggi. Histamin ini berhubungan dengan jumlah bakteri, khususnya enterobacteriaceae
dan bakteri asam laktat yang berpotensi menghasilkan senyawa berbahaya dalam waktu
singkat pada suhu tertentu. Dengan demikian penambahan bawang putih ini dapat
mempengaruhi umur simpan kecap ikan yang dihasilkan. Astawan & Astawan (1991)
menambahkan bahwa penambahan bawang putih juga dapat memberikan cita rasa dan
aroma yang sedap pada kecap ikan. Penggunaan gula kelapa bertujuan untuk
memberikan rasa manis pada kecap ikan, sehingga rasa asin dari penambahan garam
tidak terlalu mendominasi. Selain itu penambahan gula kelapa juga dapat meningkatkan
viskositas kecap ikan dan memberikan warna coklat pada kecap ikan akibat terjadinya
reaksi pencoklatan selama pemasakan. Kandungan gula dalam gula kelapa akan
bereaksi dengan protein dalam ikan sehingga memicu reaksi Maillard yang
menimbulkan adanya warna coklat pada produk (McGee, 2004).
11
Setelah mendidih dan agak dingin, sampel disaring kembali menggunakan kain saring
hingga diperoleh kecap ikan sebagai produk akhir. Proses penyaringan bertujuan untuk
memisahkan filtrat kecap ikan dengan partikel padat yang berasal dari bahan tambahan
atau bumbu-bumbu (Winarno, 1993). Setelah itu dilakukan uji sensori kecap ikan,
meliputi warna, rasa, aroma, dan penampakan, serta pengujian tingkat salinitas kecap
ikan menggunakan hand refractometer. Menurut Pavia (2005), hand refractometer
berfungsi untuk mengukur jatuhnya sinar yang dibiaskan dan menentukan besarnya
indeks bias ketika cahaya bergerak dari udara memasuki zat cair. Indeks bias yang telah
terbaca dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis sampel, mengetahui kemurnian
sampel, dan untuk menentukan konsentrasi zat terlarut dalam larutan. Sebelum dan
sesudah digunakan, prisma refraktometer harus dibersihkan dengan cara ditetesi alkohol
kemudian dilap menggunakan tissu agar pembacaan indeks bias dapat lebih akurat.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui hasil persentase salinitas serta
karakteristik kecap ikan yang dilakukan secara sensoris, meliputi warna, rasa, aroma,
dan penampakan dengan pengaruh berbagai perlakuan. Masing-masing kelompok
menggunakan penambahan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu
0,2% (kelompok A1), 0,4% (kelompok A2), 0,6% (kelompok A3), 0,8% (kelompok
A4), dan 1% (kelompok A5). Perbedaan penggunaan konsentrasi enzim papain ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat salinitas serta karakteristik
warna, rasa, aroma, dan penampakan kecap ikan yang dihasilkan. Dari data yang
diperoleh menunjukkan bahwa tingkat salinintas kecap ikan yang ditentukan
menggunakan hand refractometer oleh semua kelompok tidak terdeteksi. Menurut
Wibisono (2004), salinitas merupakan ukuran kadar garam yang terlarut dalam air yang
dinyatakan sebagai per mil (%). Seharusnya tingkat salinitas pada kecap ikan akan
terukur karena pada proses pembutan kecap ikan dalam praktikum ini dilakukan
penambahan garam sebanyak 50 gram. Penambahan garam ini berfungsi untuk
meningkatkan cita rasa, terutama memberikan rasa asin pada kecap ikan yang dihasilkan
(Wibowo, 2004). Selain itu ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku juga
memiliki kandungan garam sodium meskipun tergolong rendah (Hernowo dalam
Komariyah dan Aries, 2009). Astawan & Astawan (1988) menambahkan bahwa kecap
ikan yang diolah dengan cara fermentasi akan memiliki rasa asin sebagai hasil dari
12
proses penguraian protein menjadi komponen penyusunnya, seperti pepton, peptida, dan
asam amino. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan tidak sesuai dengan teori
yang ada. Tidak terdeteksinya tingkat salinitas ini dapat disebabkan karena viskositas
kecap ikan yang terlalu tinggi sehingga padatan terlarut di dalamnya menjadi sangat
banyak. Menurut Pavia (2005), sebelum dilakukan uji menggunakan refractometer
sebaiknya sampel diencerkan terlebih dulu sehingga konsentrasi sampel akan menurun.
Apabila konsentrasi menurun maka viskositas sampel juga akan mengalami penurunan.
Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan indeks bias cahaya semakin tinggi,
sehingga refractometer tidak dapat mengukur jatuhnya sinar yang dibiaskan tersebut.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Zaman et al. (2010) bahwa sebelum
melakukan penentuan kadar garam (salinitas) menggunakan alat salt meter, sampel
kecap ikan diencerkan terlebih dulu hingga mencapai sepuluh kali. Tingginya viskositas
pada sampel kecap ikan ini dapat disebabkan karena kurangnya volume yang air yang
digunakan atau juga karena proses pemasakan yang terlalu lama, sehingga sangat
banyak kandungan air yang teruapkan dan sampel menjadi sangat kental (Sudarmadji et
al., 1989). Selain itu juga dapat disebabkan karena penggunaan gula kelapa yang terlalu
banyak sehingga menyebabkan terjadi karamelisasi selama pemanasan dan
menghasilkan kecap ikan yang berwarna cokelat dan bertekstur kental (Khamidah&
Eliartati, 2012)
Pada parameter warna menunjukkan bahwa semua kecap ikan dengan konsentrasi enzim
papain yang berbeda menghasilkan warna yang sama, yaitu coklat gelap. Menurut
Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan merupakan produk pangan berupa cairan
jernih agak kental, berwarna kekuningan hingga coklat, serta memiliki rasa asin dan
gurih dengan aroma sedikit amis. Warna coklat pada kecap ikan dihasilkan dari reaksi
Maillard antara asam amino hasil hidrolisis protein dengan gula reduksi dari
penambahan gula kelapa. Semakin banyak enzim papain yang digunakan dalam proses
fermentasi, maka semakin banyak senyawa yang dihasilkan dari hidrolisis protein,
seperti asam amino, pepton, dan peptida. Dengan semakin banyaknya asam amino yang
bereaksi dengan gula pereduksi dalam gula jawa kelapa, maka akan semakin memicu
terjadinya reaksi Maillard yang menimbulkan warna coklat pada kecap ikan (Lees &
Jackson, 1973). Berdasarkan teori tersebut maka seharusnya semakin tinggi konsentrasi
13
papain maka kecap ikan semakin berwarna coklat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
pengamatan kurang sesuai dengan teori. Ketidaksesuaian yang terjadi dapat disebabkan
karena waktu fermentasi yang dilakukan kurang lama sehingga produk yang dihasilkan
menjadi kurang optimal. Menurut Lopetcharat & Park (2002), apabila waktu fermentasi
terlalu cepat maka proses hidrolisis protein berlangsung tidak sempurna, sehingga
karakteristik warna, rasa, dan aroma kecap ikan menjadi kurang optimal. Dalam
jurnalnya, Zaman et al. (2010) melakukan pembuatan kecap ikan dengan cara
fermentasi, dimana ikan diberi garam kemudian difermentasikan selama 6-12 bulan
pada suhu ruang. Selain itu, warna coklat pada kecap juga disebabkan karena adanya
proses pemasakan dalam pembuatan kecap ikan. Besar kecilnya api saat pemasakan
akan mempengaruhi kecap ikan yang dihasilkan, dimana proses pemanasan ini akan
mempercepat terjadinya pencoklatan akibat reaksi Maillard karena penambahan gula
kelapa (McGee, 2004). Semakin tinggi suhu yang digunakan juga dapat menyebabkan
kecap ikan menjadi gosong sehingga warnanya menjadi semakin coklat. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Witono et al. (2014) dalam jurnalnya bahwa
warna coklat dalam kecap ikan disebabkan karena adanya reaksi Maillard, dimana
glukosa dan fruktosa sebagai gula reduksi dari gula pasir bereaksi dengan asam amino
bebas lysin, asam glutamat, triptofan, asam aspartat, glycine, dan alanin. Asam amino
lysin memiliki kemampuan bereraksi paling cepat karena mengandung ε – amino yang
sangat reaktif. Semakin banyak penambahan gula pasir pada kecap ikan maka tingkat
reaksi Maillard semakin meningkat dan warna coklat pada kecap ikan semakin tua.
Pada parameter rasa, kecap ikan dengan konsentrasi enzim papain 0,2%, 0,8%, dan 1%
memiliki rasa yang sama, yaitu asin, sedangkan kecap ikan dengan konsentrasi enzim
papain 0,4% dan 0,6% menghasilkan rasa sangat asin. Menurut Astawan & Astawan
(1988), penggunaan enzim papain bertujuan untuk menguraikan protein menjadi
senyawa yang lebih sederhana, seperti pepton, peptida, dan asam amino yang akan
saling berinteraksi menghasilkan warna dan rasa yang khas, serta aroma yang sedap
pada kecap ikan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan memiliki cita rasa
yang khas akibat adanya asam glutamat, dimana senyawa ini akan menghilangkan rasa
asli ikan dan memperkiat cita rasa yang kuat pada kecap ikan, salah satunya adlah rasa
asin akibat penambahan garam selama pemasakan. Dengan demikian semakin tinggi
14
konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin banyak asam glutamat yang
dihasilkan sehingga rasa asin dalam kecap ikan semakin kuat. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil pengamatan oleh kelompok A4 dan A5 tidak sesuai dengan teori karena
rasa asin pada kecap ikan justru semakin menurun dibandingkan dengan kecap ikan
kelompok lain dengan konsentrasi enzim papain yang lebih rendah. Ketidaksesuaian ini
dapat disebabkan karena waktu fermentasi enzimatis masih kurang lama, sehingga rasa
khas kecap ikan hasil hidrolisis protein menjadi kurang optimal. Menurut Lopetcharat &
Park (2002) lama fermentasi akan mempengaruhi karakteristik kecap ikan yang
dihasilkan, salah satunya adalah rasa. Ketidaksesuaian ini juga dapat disebabkan karena
proses pemanasan yang terlalu lama sehingga banyak kandungan air pada bahan yang
menguap, sehingga kecap ikan terasa lebih asin akibat adanya penambahan garam
sebanyak 50 gram selama pemasakan (Sudarmadji et al., 1989). Selain itu, pengujian
yang dilakukan untuk menentukan rasa kecap ikan adalah secara sensori, sehingga hasil
yang diperoleh bersifat subyektif berdasarkan perspektif praktikan yang berperan
sebagai panelis.
Pada parameter aroma, diperoleh data bahwa kecap ikan dengan konsentrasi enzim
papain 0,2%, 0,4%, dan 0,6% memiliki aroma agak tajam, kecap ikan dengan
penambahan enzim papain 0,8% beraroma kurang tajam, dan kecap ikan dengan
penambahan enzim papain 1% memiliki aroma sangat tajam. Menurut Astawan &
Astawan (1988), penggunaan enzim papain bertujuan untuk menguraikan protein
menjadi komponen penyusunnya, seperti peptida, pepton, dan asam amino yang akan
berinteraksi menghasilkan aroma yang khas pada kecap ikan. Selain menghasilkan
produk utama sebagai hidrolisis protein, selama fermentasi dihasilkan pula senyawa
turunan lain yang dapat memperkuat aroma khas pada kecap ikan, seperti senyawa asam
dengan rantai pendek, yaitu asam butirat, asam asetat, dan asam valerat (Afrianto dan
Liviawaty, 1989). Astawan & Astawan (1991) menambahkan bahwa proses penguraian
protein juga menghasilkan senyawa turunan lain, seperti histidin, arginin, dan amonia.
Apabila senyawa turunan tersebut berikatan dengan garam, maka dapat memberikan
aroma yang sedap pada kecap ikan. Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi enzim
papain yang digunakan maka aroma kecap ikan akan semakin tajam akibat adanya
senyawa turunan hasil hidrolisis protein. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan
15
yang diperoleh kelompok A4 tidak sesuai dengan teori karena ketajaman aroma kecap
ikan mengalami penurunan dibandingkan kelompok A1, A2, dan A3 yang
menggunakan enzim papain dengan konsentrasi yang lebih rendah. Ketidaksesuaian ini
dapat disebabkan karena proses fermentasi yang dilakukan kurang tepat dan terlalu
singkat sehingga belum dihasilkan senyawa-senyawa turunan hasil hidrolisis yang dapat
memberikan aroma khas pada kecap ikan. Selain itu penentuan aroma kecap ikan ini
dilakukan dengan metode sensoris, sehingga hasilnya tidak bersifat obyektif karena
dinilai berdasarkan persepsi praktikan yang berperan sebagai panelis.
Pada parameter penampakan menunjukkan bahwa kecap ikan dengan penambahan
enzim papain 0,2%, 0,4%, 0,6%, dan 0,8% tampak kental, sedangkan kecap ikan yang
dengan penambahan enzim papain 1% memiliki penampakan agak kental. Menurut
Afrianto dan Liviawaty (1989), kecap ikan merupakan produk berupa cairan jernih yang
agak kental. Terbentuknya produk kecap ikan yang kental ini disebabkan karena
dilakukan penambahan gula kelapa selama pemasakan sehingga terjadi proses
karamelisasi yang dapat meningkatkan viskositas kecap ikan (Khamidah& Eliartati,
2012). Selain itu dalam pembuatan kecap ikan ini dilakukan proses pemasakan yang
dapat menguapkan kandungan air dalam sampel sehingga sampel menjadi lebih kental
dibandingkan sebelumnya (Sudarmadji et al., 1989). Dari data pengamatan diketahui
kelompok A5 memiliki tingkat kekentalan kecap ikan yang berbeda dengan kelompok
lain, meskipun perlakuan yang dilakuan sama. Setiap kelompok menggunakan gula
kelapa berjumlah 3 butir, namun tidak ditentukan berat pastinya. Hal inilah yang
menyebabkan banyak gula dalam kecap ikan menjadi tidak sama, sehingga kekentalan
yang dihasilkan pun juga berbeda. Selain itu juga dapat disebabkan karena proses
pemasakan yang tidak seragam pada semua kelompok. Besar kecilnya api akan
menentukan mutu produk, dimana semakin besar api yang digunakan selama
pemasakan akan semakin banyak menguapkan kandungan air dalam sampel sehingga
lama-kelamaan sampel berubah menjadi konsentrat yang sangat kental (Sudarmadji et
al., 1989). Selain itu, pengujian untuk menentukan penampakan (tingkat kekentalan)
kecap ikan ini dilakukan secara sensori, sehingga hasil yang diperoleh bersifat subyektif
berdasarkan persepsi praktikan yang berperan sebagai panelis.
16
Menurut Ng et al. (2011), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu gizi dan
karakteristik kecap ikan adalah rasio penambahan garam pada ikan, suhu fermentasi,
jenis dan tingkat kesegaran ikan, dan bahan tambahan yang digunakan. Penggunaan
garam dengan konsentrasi tinggi dapat berfungsi untuk mengawetkan produk serta
mencegah terjadinya kontaminasi selama fermentasi sehingga dihasilkan kecap ikan
dengan mutu yang lebih baik. Selain itu, semakin tinggi suhu fermentasi yang diberikan,
maka proses fermentasi yang berlangsung akan semakin tidak optimal. Tingkat
kesegaran ikan perlu diperhatikan, karena penggunaan ikan yang masih segar akan
dapat menghasilkan kecap ikan dengan rasa dan aroma yang lebih optimal. Sedangkan
bahan tambahan yang digunakan dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen, seperti
bawang putih, kunyit, ketumbar, jinten, biji adas, lada hitam, serta bahan tambahan atau
rempah-rempah lain.
Menurut Lopetcharat & Park (2002), beberapa hal yang dapat mempengaruhi produk
kecap ikan yang dihasilkan, antara lain konsentrasi garam, konsentrasi enzim, serta suhu
dan lama fermentasi. Semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan maka kualitas
produk kecap ikan yang dihasilkan, seperti rasa, aroma, dan warna, akan semakin
optimal. Selain itu, lama waktu fermentasi juga akan menentukan kualitas kecap ikan
yang diproduksi, dimana semakin lama fermentasi maka enzim proteolitik semakin
banyak menguraikan protein sehingga akan dihasilkan rasa pahit dan aroma tidak sedap
pada produk. Sedangkan apabila waktu fermentasi terlalu cepat maka proses hidrolisis
berlangsung tidak sempurna, sehingga karakteristik warna, rasa, dan aroma kecap ikan
menjadi kurang optimal. Zaman et al. (2010) menambahkan bahwa kebersihan
(higienitas) selama proses fermentasi juga akan mempengaruhi kualitas kecap ikan yang
dihasilkan. Apabila kondisi fermentasi kurang bersih, maka akan dihasilkan senyawa
yang berbahaya dalam kecap ikan, terutama senyawa kelompok amina. Selain itu juga
dapat memungkinkan adanya mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi yang
dapat menghasilkan amina biogenik, seperti histamin, kadaverin, dan putresin.
4. KESIMPULAN
Bahan yang digunakan untuk membuat kecap ikan adalah limbah ikan yang tidak
digunakan lagi, seperti kepala dan tulang ikan.
Kecap ikan dapat diolah melalui proses fermentasi secara enzimatis menggunakan
enzim papain yang bersifat proteolitik.
Penggunaan enzim papain bertujuan untuk mempercepat proses penguraian protein
menjadi senyawa yang lebih sederhana yang akan saling berinteraksi menghasilkan
warna dan rasa yang khas, serta aroma yang sedap pada kecap ikan.
Penambahan garam bertujuan untuk meningkatkan cita rasa kecap ikan, menurunkan
Aw pada bahan, dan menyebabkan mikroba mengalami sineresis.
Bawang putih dapat memberikan cita rasa dan aroma yang sedap pada kecap ikan,
serta mengandung allisin, alliin, dan akrolein yang bersifat bakteriostatik.
Penggunaan gula kelapa bertujuan untuk memberikan rasa manis, memberikan warna
coklat, meningkatkan viskositas pada kecap ikan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka semakin banyak asam amino yang
dihasilkan yang kemudian bereaksi dengan gula pereduksi membentuk warna coklat.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin banyak
asam glutamat yang dihasilkan sehingga rasa asin dalam kecap ikan semakin kuat.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain, maka aroma kecap ikan akan semakin
tajam akibat adanya senyawa turunan hasil hidrolisis protein.
Penampakan kecap ikan dipengaruhi oleh besar kecilnya api serta lamanya waktu
pemasakan.
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka semakin tinggi pula tingkat salinitas
kecap ikan.
Faktor yang mempengaruhi kualitas kecap ikan, yaitu konsentrasi garam, konsentrasi
enzim, serta suhu dan lama fermentasi.
Semarang, 25 September 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Yusefta Clarencia R.A. Michelle Darmawan
13.70.0095
17
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo.
Isnawan, H.I., Setyahadi, dan Hadiwiyoto. (2001). Teknologi Pembuatan Kecap Asin secara Enzimatis Terkendali untuk Industri Skala Menengah dan Rumah Tangga. Pustaka Iptek, Jurnal Sains dan Teknologi BPPT, Indonesia, Vol. 3, No. 9 : 81-85.
Khamidah, Aniswatul dan Eliartati. (2012). Pengaruh Penambahan Gula Pasir Dan Gula Merah Terhadap Tingkat Kesukaan Dodol Nanas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Diakses pada tanggal 28 Maret 2015.
Komariyah dan Aries Indra Setiawan. (2009). Pengaruh Penambahain Berbagai Dosis Minyak Ikan yang Berbeda pada Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Patin (Pangasius Pangasius). Pena Akuatika Volume I No I April 2009. Fakultas Perikanan, Universitas Pekalongan. Pekalongan.
Lees, R. & E.B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.
Lisdiana & W. Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.
Lopetcharat, K. & J. W. Park. (2002). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Journal of Food Science. Vol 67, Nr. 2.
18
19
McGee, H. (2004). On Food and Cooking : The Sains and Lore of The Kitchen. Scribner. New York.
Misgiyarta, S. dan Widowati. (2003). Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat (BAL) Indigenus. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen Pertanian. Bogor.
Ng, Y.F., Afiza T.S., Lim, Y.K., Muhammad Afif, A.G., Liong, M.T., Rosma, A. and Wan Nadiah, W.A. (2011). Proteolytic Action In Valamugil Seheli And Ilisha Melastoma For Fish Sauce Production. School of Industrial Technology, Universiti Sains Malaysia, Malaysia. As. J. Food Ag-Ind. 2011, 4(04), 247-254.
Olubunmi, Fakunle; Sadiku Suleman, Ibanga Uche, and Babinisi Olumide. (2010). Preliminary Production Of Sauce From Clupeids. School of Agriculture Technology of the Federal University of Technology, Minna, Nigeria. New York Science Journal 2010;3(3).
Pavia, Donald L. (2005). Introduction to Organic Laboratory Techniques : A Small Scale Approach. Thomson Learning. United States.
Purwaningsih, S. dan Nurjanah. (1995). Pembuatan kecap Ikan secara Kombinasi Enzimatis dan Fermentasi dari Jeroan Ikan Tuna (Thunnus sp.). Buletin teknologi Hasil Pertanian, Vol. 1, No. 1.
Shahidi, F. & J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.
Silalahi, J. (2006). Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta.
Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Sudarmadji, S; Bambang H; & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Wibisono, M.S. (2004). Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.
Wibowo, Singgih. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F.G., (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
20
Witono, Yuli; Wiwik Siti Windrati, Iwan Taruna, Asmak Afriliana, Ahib Assadam. (2014). Characteristics and Sensory Analysis of Ketchup and Sauce Products from "Bibisan" Fish Hydrolyzate. Faculty of Agriculture Technology, University of Jember. Jember. American Journal of Food Science and Technology, 2014, Vol. 2, No. 6, 203-208. DOI:10.12691/ajfst-2-6-6.
Zaman, Muhammad Zukhrufuz; Fatimah Abu Bakar, Jinap Selamat, and Jamilah Bakar. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Faculty of Food Science and Technology, Universiti Putra Malaysia, Malaysia. Vol. 28, 2010, No. 5: 440–449 Czech J. Food Sci.
Zarei, Mehdi; Hossein Najafzadeh, Mohammad Hadi Eskandari, Marzieh Pashmforoush, Ala Enayati, Dariush Gharibi, Ali Fazlara. (2011). Chemical and Microbial Properties of Mahyaveh, A Traditional Iranian Fish Sauce. Faculty of Veterinary Medicine, Shahid Chamran University of Ahvaz, Iran.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Diagram Alir
6.3. Abstrak Jurnal
21