Post on 06-Mar-2019
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Typhoid Abdominalis
Typhoid Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) adalah penyakit
infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan
kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Typhoid Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh
Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Rampengan, 2007)
Typhoid Abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa (nugroho, 2011). Typhoid
Abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C (widoyono, 2008) .
Menurut (widoyono, 2008) Sumber penularan penyakit ini adalah melalui air
dan makanan. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan.
Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering
menyebabkan terjadinya (KLB) kejadian luar biasa . vektor berupa serangga
juga berperan dalam sumber penularan penyakit.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Typhoid
Abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan
7
yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi, yaitu sejenis bakteri gram
negatif yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terkadang disertai
dengan gangguan kesadaran pada klien.
B. Anatomi dan fisiologi Sistem Pencernaan
Gambar 1 . Sistem Pencernaan Tubuh Manusia
Sumber : (Pearce, 2008)
8
Sistem pencernaan berurusan dengan penerimaan makanan dan
mempersiapkannya untuk di asimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan yang
panjangnya 8-9 meter pada orang dewasa ini dimulai dari mulut, esofagus,
lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan berakhir di anus (Pearce, 2008).
Saluran cerna dapat dikatakan berada di luar tubuh. Zat-zat gizi yang berasal dari
makanan harus melewati dinding saluran cerna agar dapat diabsorbsi ke dalam
aliran darah. Berikut ini adalah urutan saluran pencernaan dari mulut sampai anus
(Almatsier, 2002) :
1. Mulut
Proses pencernaan dimulai di mulut. Mulut adalah rongga lonjong pada
permulaan saluran pencernaan. Terdiri dari dua bagian luar yang sempit, atau
vestibula,yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian
dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi di sisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan
semua gigi, dan di sebelah belakang bersambung dengan awal farink. Disaat
kita mengunyah, gigi geligi memecah makanan menjadi bagian-bagian kecil,
sementara makanan bercampur dengan cairan ludah untuk memudahkan proses
menelan. Ketika ditelan, makanan melewati epiglotis, suatu katup yang
mencegah makanan masuk trakeake paru-paru. Makanan yang telah ditelan
dinamakan bolus yang segera masuk ke dalam farink.
2. Esofagus ke lambung
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya dua puluh sampai
dua puluh lima sentimeter, diatas dimulai dari farink, sampai pintu masuk
kardiak lambung bawah. Terletak di belakang trakhea dan di depan tulang
9
punggung. Setelah makanan masuk ke farink maka palatum lunak naik untuk
menutup nares posterior, glotis menutupoleh kontraksi otot-ototnya. Makanan
berjalan dalam esofagus karena kerja peristaltik, lingkaran didepan serabut otot
makanan mengendor dan yang dibelakang makanan berkontraksi. Maka
gelombang peristaltik mengantarkan bola makanan ke lambung. Bolus dalam
lambung bercampur dengan cairan lambung dan di giling halus menjadi cairan
yang dinamakan kimus. Lambung kemudian sedikit demi sedikit menyalurkan
kimus melalui sfingter pilorus ke dalam usus halus, setelah itu sfingter pilorus
menutup.
3. Usus halus
Usus halus adalah segmen yang paling panjang dari saluran
Gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua per tiga dari total
saluran (Smeltzer, 2001). Usus halus terletak di daerah umbilikus dan
dikelilingi oleh usus besar. Pada bagian atas usus halus, kimus melewati lubang
saluran empedu, yang meneteskan cairan ke dalam usus halus berasal dari dua
alat, yaitu kantong empedu dan pankreas. Usus halus dibagi dalam beberapa
bagian :
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm.
Berbentuk sepatu kuda, dn kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Saluran
empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang
yang disebut ampula hepatopankreatika, atau ampula Vateri, sepuluh sentimeter
dari pilorus
10
b. Usus kosong (Jeujunum )
Jeujunum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus yang
selebihnya. Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter,
1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus
kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang
memperluas permukaan dari usus.
c. Usus penyerapan (Ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Di
dalam ileum terjadi proses absorbsi. Absorbsi makanan yang telah dicernakan
selurunya berlangsung di dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh
darah kapiler dan saluran limfe di vili di sebelah dalam permukaan usus halus.
Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh darah, epitelium, dan jaringan
otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid. Lakteal sentralis berakhir
menjadi usus buntu, sedangkan jaringan otot datar melaluinya, dan pembuluh
darah kapiler mengitarinya. Kemudian selurunhnya diselimuti oleh membran
dasar dan ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka
bersentuhan dengan makanan cair atau kimus, dan lemak diabsorbsi ke dalam
lakteal. Lemak yang telah diabsorbsi kemudian berjalan melalui banyak
pembuluh limfe ke reseptakulum khili dan kemudian oleh saluran torasika ke
dalam aliran darah.
11
4. Usus besar ( kolon )
Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon
desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Panjang usus
besar kira-kira satu setengah meter, merupakan bagian akhir dari saluran cerna
sebagai tempat ,mengumpulkan sisa makanan padat, tempat mengabsorbsi air
dan mineral tertentu serta tempat pertumbuhan bakteri. Sisa makanan ditahan
oleh kolon hingga keluar dalam bentuk feces. Makanan paling lama ditahan di
dalam kolon, sering sampai dua puluh empat jam. Karena kontraksi peristaltik
dan sgmentasi bergerak lebih lambat dalam kolon, bakteri mendapat
kesempatan untuk berkembang biak. Bakteri mendapat makanan dari sisa
makanan yang ada dalam kolon.
Bakteri dalam kolon dapat membentuk beberapa jenis vitamin yang
sebagian diabsorbsi oleh tubuh. Sebagian kecil vitamin B dan K diduga
diperoleh melalui absorbsi ini. Disamping itu bakteri kolon menghasilkan gas
sebagai sisa produk metabolisme makanan. Bila gas ini tertumpuk akan
dikeluarkan melalui anus. Kolon memberi tubuh kesempatan terakhir untuk
mengabsorbsi air serta natrium dan klorida. Bila tidak berhasil akan
menimbulkan Diare. Ini hanya terjadi pada keadaan khusus.
5. Usus buntu ( sekum )
Sekum terletak di daerah iliaka kanan menempel pada otot iliopsoas. Dari
sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon
ascenden. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexsura hepatika,
lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilikal sebagai kolon
12
tranversum. Di bawah limpa membelok sebagai flexsura sinistra atau flexsura
lienalis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon
desenden.
6. Umbai cacing ( appendiks )
Umbai cacing atau appendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.
Appendiks juga terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus yang
lainnya, hanya lapisan submukosa berisi sejumlah besar jaringan limfe, yang
dianggap mempunyai fungsi yang sama dengan tonsil. Dalam appendiks jika
mengalami suatu inflamasi atau peradangan disebut appendiksitis, dan harus
dilakukan appendiktomi.
7. Rektum dan anus
Rektum ialah sepuluh sentimeter terbawah dari usus besar, dimulai pada
kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal yang kira-kira 3 cm panjangnya.
Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot internal dan external.
Otot-otot rektum menahan sisa makanan ini hingga tiba waktunya untuk
dikeluarkan oleh tubuh. Pada sat itu otot rektum mengendor dan sisa makanan
keluar melalui sfingter terakhir, yaitu anus yang membuka.
C. Etiologi
Typhoid Abdominalis disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa, basil gram
negatif, tidak berkapsul yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora.
Terdapat 3 bioserotipe Salmonella typhosa, yaitu paratyphi A, paratyphi B, dan
paratyphi C Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk
13
pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O ( somatik ) , Antigen H ( flagela ) ,
dan Antigen V1 ( kapsul ) (Ngastiyah, 2005).
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57ºC selama beberapa menit.
Menurut (Mansjoer, 2000) , Salmonella Typhi memasuki tubuh akibat
makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Manusia merupakan satu-
satunya reservoir sejati S. Typhi, di alam dan orang-orang dengan typhoid atau
pembawa kuman kronis sebagai bertindak sebagai sumber infeksi utama.
Terdapat dua sumber penularan S.typhi , yaitu pasien dengan demam typhoid
dan yang paling sering, adalah karier.
D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penularan kuman ini dapat
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, feces , lalat yang
membawa kuman tersebut, dan muntahan dari penderita Typhoid. Sebagian
kuman dimusnahkan di lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak (Soegijanto, 2002). Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri
ileum distal dan kuman tersebut mengeluarkan endotoksin yang selanjutnya
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa yang selanjutnya akan dilakukan fagositosis.
14
Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat difagosit akan mati,
sedangkan yang tidak difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan bakteriemia
kedua. Kuman yang masuk ke aliran darah akan menyebabkan roseola pada
kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya kuman masuk ke dalam usus halus dan
menyebabkan peradangan sehingga menimbulkan nausea dan vomitus serta
adanya anorexia masalah tersebut akan menyebabkan intake klien yang tidak
adekuat dan kebutuhan nutrisi yang kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan
diare sehinggas diperlukan bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi
bertambah buruk. Selanjutnya kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya
mengeluarkan endotoksin yang akan merusak hepar sehingga terjadi
hepatomegali dan juga mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan
meningkatnya SGOT/SGPT. Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus
yang menekan termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan
hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise dan akhirnya mengganggu
aktivitasnya (Muttaqin, 2011).
E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis Typhoid Abdominalis tergantung dari virulensi dan daya
tahan tubuh. Masa inkubasi rata-rata sekitar 10 hari , pada penderita yang khas
dan tidak diobati dengan antimikroba maka penyakit ini berlangsung selama 4
minggu (Mansjoer, 2000). Dengan tahapan sebagai berikut:
15
1. Minggu pertama.
Keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,
yaitu demam yang remiten suhu tubuh menurun pada siang hari dan kembali
naik pada malam hari, nyeri kepala, pusing , nyeri otot, anoreksia,nausea dan
vomitus, obstipasi atau diare, dan bradikardi (Dermawan & Rahayuningsih,
2010).
2. Minggu kedua.
Gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam kontinue, terus-menerus,
bradikardi relatif, lidah coated tongue (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
tremor), delirium, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
kesadaran berupa somnolen sampai koma.
3. Minggu ketiga.
Pada minggu ketiga panas suhu tubuh klien mulai berangsur-angsur normal.
Peningkatan uji Widal pada minggu keduan dan ketiga memastikan diagnosa
pasti typhoid, diare “pea soup”
4. Minggu keempat.
Fase minggu keempat adalah masa penyembuhan, kembalinya keadaan
suhu tubuh menjadi normal dan menghilangnya gejala-gejala yang terjadi
selama masa inkubasi dari kuman.
16
F. Komplikasi
Pada Typhoid Abdominalis, demam yang lama akan menyebabkan
kelemahan yang hebat, penurunan berat badan, dan banyak kekurangan zat
gizi. Beberapa komplikasi yang terjadi pada typhoid :
1. Komplikasi intestinal
Yaitu komplikasi yang terjadi di dalam usus yang akan mengakibatkan
organ yang berkaitan mengalami suatu gangguan yang lain.
a. Pendarahan usus
Erosi pembuluh darah di plak peyer yang nekrotik di dalam
dinding usus dapat menyebabkan perdarahan pada traktus
intestinal. Darah samar di dalam feceslazim ditemukan pada 20%
penderita typhoid. Sedangkan darah dalam jumlah yang besar
dijumpai pada 10% penderita. Biasanya perdarahan hebat
merupakan komplikasi lanjut, yang sering terjadi selama minggu
kedua atau ketiga penyakit. Penurunan mendadak dalam tekanan
darah atau suhu tubuh dimungkinkan merupakan manifestasi
pertama perdarahan (Guerrant, 1991).
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga
peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
17
dalam keadaan tegak. Nyeri di kuadran kanan bawah abdomen
menjadi manifestasi dini tersering.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut
yang hebat, dan dinding abdomen yang menegang.
2. Komplikasi ekstraintestinal.
Yaitu komplikasi yang terjadi di luar usus dan mengakibatkan
gangguan yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhy yang sudah
menyebar ke organ yang ada di luar usus.
a. Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan,sepsis),
miokarditis,trombosis, dan tromboflebitis.
b. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain-Bare, psikosis, dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih
jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan
18
toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna (Mansjoer, 2000).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan typhoid sampai saat ini masih menganut trilogi , yaitu :
1. Istirahat dan perawatan profesional.
Perawatan ini bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat proses
penyembuhan.
a. Pasien harus tirah baring ( bed rest ) sampai minimal 7 hari bebas
demam.
b. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan kondisi kekuatan
pasien.
c. Posisi klien perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan rasa
tidak nyaman.
d. Defekasi dan BAK perlu diperhatikan, karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin.
2. Diet.
a. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein.
b. Makanan tidak boleh yang mengandung serat dan tidak
merangsang dan menimbulkan gas.
c. Bila kesadaran menurun, diberikan makanan cair, melalui sonde
lambung.
19
d. Pada penderita yang akut, dapat diberi bubur saring. Banyak
penderita tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan
selera mereka, sehingga mereka hanya makan sedikit dan ini
berakibat pada keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur
dan masa penyembuhan menjadi lama. (Juwono, 1983) Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa(pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita
typhoid.
e. Diperbolehkan dengan makanan lunak jika kesadaran dan nafsu
makan baik serta bebas demam.
3. Pemberian Obat-obatan.
Untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman,
antibiotik yang dapat digunakan :
a. Klorampenikol
Klorampenikol adalah antibiotik yang dipilih dalam
pengobatan demam typhoid. Efeknya mengurangi lama rawat dari
penyakit dan menekan angka kejadian kematian. Klorampenikol
paling efektif di tahap awal infeksi. Sayangnya, kekambuhan sering
terjadi setelah pengobatan secara intensif dengan klorampenikol,
karena obat ini kurang efektif dalam mencegah infeksi yang
bersifat karier. Dosis yang dianjurkan 50-100 mg/kgBB/hari,
selama 10-14 hari. (Stewart, 1968).
20
b. Kotrimoksazol
Kelebihan Kotrimoksazol antara lain dapat digunakan untuk
kasus yang resisten terhadap klorampenikol, penyerapan di usus
cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan
lebih kecil dibandingkan klorampenikol. Kelemahannya adalah
dapat terjadi skin rash (1-15%). Dosis yang dianjurkan 30-40
mg/kgBB/hari untuk Sulfametoksazol dan 6-8 mg/kgBB/hari untuk
Trimetpprin, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10-14 hari.
c. Ampisilin / amoksisilin
Berlawanan dengan klorampenikol, Ampicillin terbukti
menunjukkan hasil yang baik pada pengobatan yang bersifat karier,
tetapi untuk memunculkan efek tersebut butuh pengobatan awal
dalam beberapa bulan. Dosis yang dianjurkan : Ampisilin 100-200
mg/kgBB/hari, untuk Amoksisilin 100mg/kgBB/hari. (Stewart,
1968)
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi yang tept
karena dapat menyebabkan pendarahan usus dan relaps. Tetapi,
pada kasus berat penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan
angka kematian.
(Rampengan, 2007)
21
H. Pengkajian fokus
1. Identitas
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis
kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan,
pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam masuk Rumah
Sakit.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid biasanya mengeluh
adanya demam.
3. Riwayat penyakit sekarang
Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid adalah demam,
perut terasa mual, adanya anorexia, diare atau konstipasi,dan bahkan
menurunnya kesadaran.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami typhoid
atau penyakit menular yang lain.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang sama atau
penyakit yang lainnya.
6. Pola-Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan
menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan kesehatan.
22
b. Pola nutrisi dan metabolik
Adanya nausea dan vomitus serta anorexia akan mempengaruhi
status gizi. Pengukuran TB dan BB jika memungkinkan akan
memperlihatkan adanya penurunan atau peningkatan status gizi
klien.
c. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu akibat adanya malaise serta
keterbatasan latihan yang mewajibkan klien untuk bed rest.
d. Pola istirahat dan tidur
Frekuensi dan kebiasaan tidur klien akan terganggu karena adanya
proses peningkatan suhu tubuh.
e. Pola eliminasi
Klien dengan typhoid mengalami masalah pada pola eliminasi
karena kurangnya intake asupan nutrisi dan kondisi yang
mewajibkan untuk bedrest, maka klien akan beresiko besar untuk
terkena konstipasi.
f. Pola hubungan
Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung akan
mempengaruhi hubungan baik intrapersonal maupun interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami cara yang
efektif untuk mengatasi masalah kesehatannya dan konsep diri
23
yang meliputi (Body Image, identitas diri, Peran diri, ideal diri, dan
harga diri).
h. Pola reproduksi dan seksual
Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang sudah menikah
akan mengalami perubahan.
i. Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika klien tidak efektif dalam mengatasi masalah
kesehatannya.
j. Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan
masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan
kematian dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.
7. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing) : biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus
berat bisa didapatkan komplikasi yaitu adanya pneumonia.
b. B2 (Blood) : TD menurun, diaforesis terjadi pada minggu pertama,
kulit pucat, akral dingin, penurunan curah jantung dengan adanya
bradikardi, kadang terjadi anemia, leukopeni pada minggu awal,
nyeri dada, dan kelemahan fisik.
c. B3 (Brain) : Pada klien dengan typhoid biasanya terjadi delirium
dan diikuti penurunan kesadaran dari composmentis ke
apatis,somnolen hingga koma pada pemeriksaan GCS.
24
d. B4 (Bladder) : pada kondisi berat akan terjadi penurunan output
respon dari curah jantung.
e. B5 (Bowel)
I : lidah kotor, terdapat selaput putih, lidah hiperemis, stomatitis,
muntah,kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen,
diare atau konstipasi.
Au : penurunan bising usus kurang dari 5x/menit pada minggu
pertama dan selanjutnya meningkat akibat adanya diare.
Per : didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya kembung.
Pal : adanya hepatomegali, splenomegali, mengidentifikasi adanya
infeksi pada minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada abdomen.
f. B6 (Bone) : adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise.
Kelemahan umum. Integumen : timbulnya roseola (emboli dari
kuman dimana didalamnya mengandung kuman Salmonella
Ttyphosa , yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor
kulit menurun, kulit kering (Muttaqin, 2011).
8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan feces
Pengambilan biakan feces dan urine dilakukan karena penyebaran
Salmonella sampai ke empedu, pemeriksaan ini positif biasanya
pada minggu kedua dan ketiga.
b. Pemeriksaan darah lengkap.
25
Biakan darah biasanya positif pada minggu pertama pada
perjalanan penyakit. Kadang terjadi anemia akibat proses inflamasi.
c. Kolonoskopi
Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding (menyempit/
tidakteratur), menunjukkan obstruksi usus.
d. Pemeriksaan serologi
Merupakan reaksi serologis yang didasarkan antara reaksi
aglutinasi antara antigen Salmonella dan antibodi yang terdapat
pada serum penderita. Titer O : 1/200. Titer H : 1/400. atau
Kenaikan titer 4 kali 1 (satu) minggu berikutnya.
26
I. Pathways keperawatan
Salmonella typhi
Feces Muntahan lalat
Makanan
Lambung
HCL
Hidup Mati
Usus
BerkembangDi Plaque peyeri Mengeluarkan Endotoksin
Ileum distal
asimtomatik Bakteriemia primer
Menyebar ke organ RES (hati dan limpa) Sumber : (Soegijanto, 2002)
Difagosit tidak difagosit
Mati Bakteriemia sekunder
Darah Usus halus Hipothalamus Hepar
Roseola peradangan menekan Hepato danDan Lidah thermoregulasi splenomegaliHiperemia
demam remiten Endotoksinmerusak hepar
Hiperperistaltik usus
Diare
Mudah lelah SGOT/SGPTmeningkat
Mual dan muntah bedrest
Anorexia konstipasi
HIPERTERMI
Defisit volume cairan
Gangguan pola
eliminasi
Intoleransi aktivitas
Resiko/aktual Nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
Nyeri
27
J. Diagnosa keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhosa.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan output
yang tidak seimbang.
3. Resiko/aktual nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan anorexia.
4. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan inflamasi pada
usus halus.
5. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
6. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
(Capernito, 2000)
K. Fokus Intervensi dan Rasional (Capernito, 2000).
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella
typhosa.
Tujuan : suhu tubuh normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal, nadi dan RR normal, tidak ada
pusing.
Intervensi :
a. Monitor TTV klien sesering mungkin.
28
R : Untuk mengetahui tanda-tanda kenaikan suhu yang mungkin
terjadi infeksi.
b. Anjurkan klien untuk berpakaian tipis dari bahan yang menyerap
keringat..
R : supaya klien merasa nyaman, karena bahan pakaian yang tipis
akan mengurangi evaporasi tubuh.
c. Monitor Intake dan Output klien.
R : Untuk mengamati perbaikan dan perburukan dari klien.
d. Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan 2-3 liter/hari.
R : Sebagai rehidrasi dari cairan yang hilang dari penguapan tubuh,
mual, muntah dan diare.
e. Memberikan kompres dengan air biasa ( suhu normal ).
R : Agar lebih mudah untuk memindahkan panas dari klien ke
handuk kompres.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi antibiotik dan
antipiretik.
R : Antibiotik untuk mengurangi proses infeksi dan antipiretik
untuk menurunkan panas tubuh.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan intake dan
output yang tidak seimbang.
Tujuan : intake dan output seimbang.
29
Kriteria hasil : deficit cairan dapat teratasi dan tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, turgor baik, membrane mukosa baik.
Intervensi :
a. Monitor status nutrisi klien.
R : mengetahui adanya tanda-tanda perbaikan dan perburukan dari
klien.
b. Anjurkan klien untuk banyak minum.
R : Untuk mengganti cairan yang hilang akibat diare.
c. Monitor intake dan output klien.
R : sebagai dasar tindakan banyaknya rehidrasi yang dibutuhkan
klien.
d. Kolaborasi dengan pemberian cairan melalui IV.
R : membantu mengganti cairan intravaskuler yang berkurang.
e. Kolaborasi dengan dokter apabila terjadi tanda-tanda shock.
R : sebagai terapi lanjutan apabila terjadi tanda-tanda shock.
3. Resiko/aktual nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat akibat mual,muntah dan
anorexia.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, nutrisi klien dapat
terpenuhi, BB tetap atau bertambah, tidak ada anorexia dan mual
muntah.
30
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda mal nutrisi, adanya peningkatan
BB sesuai dengan tujuan, mual dan muntah berkurang, tidak ada
anorexia.
Intervensi :
a. Monitor status nutrisi klien.
R : Sebagai dasar awal tindakan keperawatan.
b. Jelaskan pada klien tentang pentingnya makanan untuk membantu
proses penyembuhan.
R : meningkatkan pengetahuan klien tentang manfaat nutrisi
sehingga memotivasi klien agar mau makan.
c. Tawarkan klien snack yang disukai.
R : Untuk menambah nafsu makan klien.
d. Jaga kebersihan oral pasien.
R : Dapat memberi rasa nyaman pada mulut sehingga dapat
menambah nafsu makan.
e. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
R : Menghindari rasa mual dan keinginan untuk muntah.
f. Berikan asupan nutrisi sesuai dengan diet (diet lembek, rendah
serat, dan bumbu yang tidak merangsang).
R : Supaya memudahkan klien untuk menelan makanan dan tidak
menyebabkan mual.
31
4. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan inflamasi
pada usus halus.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, rasa nyaman klien
terpenuhi.
Kriteria hasil : Nyeri berkurang atau hilang, ekspresi wajah rileks
tanda-tanda vital normal, skala nyeri 1-0.
Intervensi :
a. Kaji intensitas nyeri (faktor presipitasi, kualitas, lokasi, skala,
durasi).
R : untuk mengetahui intensitas nyeri klien.
b. Kaji respon klien terhadap nyeri yang dialami.
R : mengetahui sejauhmana nyeri mempengaruhi aktivitas klien.
c. Ajarkan klien untuk relaksasi dan distraksi.
R : untuk membantu mengurangi nyeri secara non farmakologi
d. Berikan klien posisi yang nyaman.
R : untuk menambah kenyamanan klien.
e. Kolaborasi dengan pemberian analgesik.
R : untuk mengurangi rasa nyeri secara farmakologis
5. Gangguan pola eliminasi : diare berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola eliminasi klien
kembali normal.
32
Kriteria hasil : BAB normal, Feses (konsistensi dan frekuensi) normal,
mencegah daerah rectal agar tidak iritasi, turgor kulit normal.
a. Identifikasi faktor penyebab diare.
R : Sebagai awal tindakan pengobatan.
b. Monitor BAB (warna, jumlah, frekuensi, dan konsistensi dari
feces).
R : Mengetahui pola BAB klien.
c. Monitor TTV dan KU klien.
R : Mengetahui adanya tanda dan gejala shock pada klien.
d. Anjurkan klien untuk minum 2-3 liter setiap hari.
R : Untuk merehidrasi cairan yang keluar akibat diare.
e. Kolaborasi pemberian cairan IV
R : Mengganti cairan pada intravakuler dan intrerstitial.
f. Kolaborasi dengan Dokter untuk terapy anti diare.
R : Anti diare membantu mengurangi diare.
6. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan proses
peradangan pada usus halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pola eliminasi
kembali normal.
Kriteria hasil : BAB normal, rasa tidak nyaman berkurang, tidak ada
massa.
Intervensi :
33
a. Identifikasi penyebab timbulnya konstipasi.
R : Menentukan dasar awal tindakan keperawatan.
b. Ganti posisi klien tiap 2 jam sekali.
R : Mengurangi resiko konstipasi lanjutan karena aktivitas yang
kurang.
c. Pertahankan intake cairan 2-3 liter setiap hari.
R : memenuhi cairan dan memperbaiki konsistensi feces.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi dengan pemberian diet tinggi serat dan
rendah lemak.
R : Tinggi serat memudahkan pengeluaran feces.
e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian laksatif
R : membantu mengeluarkan feces.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat
peningkatan metabolisme sekunder.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan,klien dapat mandiri
dan aktivitas klien kembali normal.
Kriteria hasil : aktivitas klien tetap normal, kelemahan fisik berkurang
Intervensi :
a. Kaji respon pasien terhadap aktivitas.
R : untuk mengetahui perubahan-perubahan aktivitas yang dialami
oleh klien.
b. Anjurkan klien untuk tetap istirahat
34
R : Untuk mempercepat proses penyembuhan
c. Batasi pengunjung yang datang
R : agar klien tidak terganggu dalam beristirahat
d. Bantu klien untuk beraktivitas sehari-hari sesuai dengan kebutuhan
klien.
R : memberikan rasa nyaman, karena kebutuhan klien dapat
terpenuhi dengan dibantu oleh perawat ataupun keluarga.
e. Ajarkan aktivitas yang dapat dilakukan klien secara bertahap
R : Agar tidak mengganggu bedrest pada proses penyembuhan
klien.