Tugas Kelompok

36
Tugas Kelompok Mata Kuliah : Issue dan Formulasi Kebijakan Publik Nama Dosen : Rina Herlina Haryanti, M.Si Anggota Kelompok: NIM.( S240908005)-Ferry Asmoro NIM.( S241208005)-Ir. Sri Kusrini Maruti NIM.( S241208012)-Umi Raestyawati NIM.( S241208013)-Anies Fortuna NIM.( S241208016)-Muhama Lohmi NIM.( S241208017)-Andy Arya Maulana W Tugas Kelompok : Diskusikan bagaimana proses sebuah issue berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik? Menurut : A. Perspektif administratif B. Perspektif teknokratis C. Perspektif governance 1

Transcript of Tugas Kelompok

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Issue dan Formulasi Kebijakan Publik

Nama Dosen : Rina Herlina Haryanti, M.Si

Anggota Kelompok: NIM.( S240908005)-Ferry Asmoro

NIM.( S241208005)-Ir. Sri Kusrini

Maruti

NIM.( S241208012)-Umi Raestyawati

NIM.( S241208013)-Anies Fortuna

NIM.( S241208016)-Muhama Lohmi

NIM.( S241208017)-Andy Arya Maulana W

Tugas Kelompok :

Diskusikan bagaimana proses sebuah issue berhasil mendapatkan

status sebagai masalah publik?

Menurut :

A. Perspektif administratif

B. Perspektif teknokratis

C. Perspektif governance

1

D. Perspektif democratic-governance

E. Perspektif konflik

F. Perspektif advokasi

Sebuah issue berhasil mendapatkan status sebagai masalah

publik, tentunya memerlukan proses. Dalam hal ini adalah tahapan

– tahapan alamiah maupun prosedural yang harus dilalui. Tahap-

tahap kebijakan publik menurut William Dunn, adalah sebagai

berikut:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat

strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah,

ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan

prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah issue

berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan

mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka issue tersebut

berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih

daripada issue lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan

suatu issue publik yang akan diangkat dalam suatu agenda

pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga

sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues

biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara

para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh,

atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan

tersebut. Menurut William Dunn (1990), issue kebijakan merupakan

produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan,

rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah

2

tertentu. Namun tidak semua issue bisa masuk menjadi suatu

agenda kebijakan.

Ada beberapa Kriteria issue yang bisa dijadikan agenda

kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980;

Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:

1) Telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan

menjadi ancaman yang serius;

2) Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak

dramatis;

3) Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak

(umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;

4) Menjangkau dampak yang amat luas ;

5) Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

6) Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan,

tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat

menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak

disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu yang

lama.

Contoh : Legislatif negara ( DPR ) menyiapkan Rancangan

Undang-Undang, dan mengirimkannya kepada Komisi Kesehatan dan

Kesejahteraan untuk dipelajari terlebih dahulu dan kemudian

disetujui. Namun pada kenyataannya RUU berhenti di Komisi dan

tidak terpilih menjadi Agenda.

Penyusunan agenda kebijakan seyogyanya dilakukan

berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga

keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh

mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan

stakeholder.

3

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi

didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan

perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan,

dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif

bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah.

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada

proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu

masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan

mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya

bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk

rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat

baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota

mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola

melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui

proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.

4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai

kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang

mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini,

evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,

4

evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,

melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan

demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan

masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk

menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.

Kami berdiskusi dan bersama – sama mengkaji proses tersebut

sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kami, dimulai dari

Perspektif A sampai dengan Perspektif F.

================================================================

=====

A. Perspektif administratif

Perspektif Administrasi tidak mungkin lepas dari Pemerintah

sebagai Penyelenggara pemerintahan yang seperti diketahui

bersama bahwa pemerintah dalam pelaksanaan Administratif

cenderung bersifat Hierarki dan Prosedural. Dalam hal ini

Pemerintah dalam melaksanakan Fungsi Administratif melalui

Pelayanan Masyarakatnya / Publik biasa disebut Birokrasi.

Pemikiran Max Weber tentang birokrasi, oleh Jay M Shafritz

(1978) diklasifikan sebagai pemikiran Old Administration Paradigm

(Paradigma Administrasi Klasik). Hal ini disandarkan pada ciri

khas paradigma Administrasi Klasik, yang menekankan pada aspek

birokrasi di dalam analisis-analisis administrasi negara hingga

tahun 1970-an. Selain itu, analisis birokrasi yang

5

dikemukakannya sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran birokrasi

selanjutnya.

Di dalam analisis birokrasinya, Weber mempergunakan

pendekatan “ideal type”. Tipe ideal merupakan konstruksi abstrak

yang membantu kita memahami kehidupan sosial. Weber berpendapat

adalah tidak memungkinkan bagi kita memahami setiap gejala

kehidupan yang ada secara keseluruhan. Adapun yang mampu kita

lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu

hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa

diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang

membedakan kondisi tersebut dengan kondisi organisasi lainnya.

Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita

bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan

krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu

dengan lainnya. Dengan cara semacam ini kita menciptakan tipe

ideal tersebut (Thoha, 2004)

Dalam keseluruhannya, karya Weber mendorong tumbuhnya paham

pesimisme. Sedikit sekali memberikan alternatif dari hak-hak

bagi manusia untuk melakukan pilihan. Berbagai tragedi

kemanusiaan akibat dari ajaran ini, merupakan sesuatu yang

berharga dimana manusia dalam masyarakat yang modern harus

memberikan perhatian guna menghindari terjadinya berbagai

kekacauan. Teknik-teknik demokrasi seperti referendum, pemilu,

dan lembaga perwakilan adalah teknik-teknik yang dipergunakan

untuk mengurangi jalur-jalur berlanjutnya dominasi birokrasi

(phenomena birokratik). Seperti diamati Daniel Bell: “Bagi Weber

sebuah nilai etik dan gaya hidup, mulai menguasai kehidupan

seluruh masyarakat” (Bell, 1973). Di dalamnya mencakup paham

universal tentang kesesuaian (conformity), ketidakmemihakkan

6

(impersonality), dan perhitungan secara rasional (rational calculation),

dimaksudkan untuk mencapai tujuan akhir manusia yaitu efisiensi,

ketepatan (preciseness) dan kepatuhan (obidience).

Menurut David Beentham (1975), Weber memperhitungkan tiga

elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Tiga elemen itu antara

lain: pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis

(technical instrument). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang

independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai

kecenderungan yang melekat (inherent tendency) pada penerapan fungsi

sebagai instrumen teknis tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap

ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka

dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang

partikular. Dengan demikian birokrasi bisa keluar dari fungsinya

yang tepat karena anggotanya cenderung datang dari klas sosial

yang partikular tersebut.

Contoh nyata dari Perspektif ini salah satunya adalah

adanya Agenda Pemerintah menggodok materi dan formulasi yang

tepat, yang pada akhirnya keluar Produk Kebijakan yaitu UU

Otonomi Daerah ( UU No 22 Tahun 1999 ) yang kemudian

disempurnakan pelaksanaanya dengan dikeluarkannnya UU No. 32

Tahun 2004. Sebelum keluarnya Produk Hukum ini, issue

Sentralisasi Wewenang dan Kebobrokan Birokrasi selama Masa Orde

Baru, membuat masing-masing pemerintah Daerah merasa terpasung

dan tidak dapat memberdayakan serta mengembangkan daerahnya

masing-masing, segala sesuatu bersifat sentralistik, kemudian

dengan melalui pergolakan panjang serta proses seiring

terjadinya perubahan masa Kepemimpinan menjadi Orde Reformasi

yang merubah paradigma Birokrasi baru, yang notabene menerapkan

sistem Desentralisasi, yaitu pelimpahan Wewenang Pemerintah

7

Pusat Kepada Daerah untuk mengelola dan memberdayakan Potensi

daerahnya masing-masing.

B. Perspektif Teknokrat

Proses sebuah issue berhasil mendapatkan status sebagai

masalah publik dipandang dari Perspektif Teknokratis. Sudut

pandang kali ini adalah dimana seluruh kebijakan pemerintah yang

ada, tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran para aktor yang

berada di balik proses formulasi kebijakan. Peran sentral dalam

pembentukan sebuah kebijakan publik biasanya dipegang oleh para

pakar dan ahli yang benar-benar berkompetensi di bidangnya. Para

aktor tersebut bukan berasal dari birokrat namun biasanya

berasal dari profesional seperti analis, dosen, peneliti,

teknisi dan lain sebagainya yang ikut berkiprah dalam

pemerintahan, dan mereka disebut dengan teknokrat.

Telah diketahui bersama bahwa Publik dan Pemerintah, mereka

menaruh kepercayaan sangat tinggi kepada para Teknokrat.

Teknokrat adalah orang-orang yang dianggap mampu serta

profesional dalam mengamati dan menganalisa permasalahan publik.

Namun disisi lain kehadiran para Teknokrat dapat melahirkan

ketergantungan, yaitu ketika dalam setiap pengambilan kebijakan

Teknokrat menjadi aktor penentu utama. Bila hal ini diteruskan

maka akan menimbulkan kondisi Teknokratisme yaitu monopoli dalam

manajemen organisasi dan sumber daya negara oleh para teknokrat.

8

Jika dikaitkan dengan proses mengkaitkan masalah dengan

solusi, karena seringkali dalam perumusan kebijakan pemerintah

sering abai mengkaitkannya. Seharusnya dalam proses ini,

teknokrat dan akademisilah yang lebih dominan berupaya

meyakinkan pihak birokrat atau politisi, melalui alternatif-

alternatif solusi masalah. Teknokrat dan akademisi inilah yang

disebut dengan policy entrepreneur.

Selama ini para Teknokrat di negeri kita cenderung tertutup

dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sifat eksklusif ini

terlihat manakala para teknokrat merasa tidak perlunya

berkoordinasi dengan para birokrat dan stakeholder untuk

menyelesaikan masalah publik, hal ini patut diwaspadai

dikarenakan dalam perumusan suatu kebijakan publik, tidak bisa

dihindari adanya kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak

yang turut mewarnai. Ada beberapa kelemahan dari sebuah

kebijakan yang dibuat oleh para teknokrat negeri ini, antara

lain :

Pertama, sifat eksklusivitas teknokrat membuat proses

pembentukan kebijakan menjadi tidak transparan sehingga

kebijakan yang dihasilkan terkesan kental dengan unsur politis

dan serta berpihak kepada kekuasaan yang lebih tinggi, contoh:

Kebijakan dalam masalah Blok Cepu yang jatuh ke tangan Exxon

Mobile USA dengan jalan menyelipkan pasal 103A kedalam Peraturan

Pemerintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan

Gas Bumi sehingga jalannya Exxon Mobile sebagai raksasa minyak

dunia untuk menguasai Blok Cepu dapat mulus tanpa hambatan.

Kedua, kebijakan yang dihasilkan dissuesun oleh para

teknokrat secara teoretis tidak memiliki basis teori yang solid

dan kohesif sebab sangat miskin aspek multidisiplinernya.

9

Padahal, pendekatan multidisipliner sangat diperlukan dalam

melihat aspek kehidupan masyarakat yang sangat beragam

persoalannya, contoh: Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2012

tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Berdasarkan

peraturan tersebut, disebutkan adanya batas minimal perlindungan

Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung bervegetasi sebesar 45%

dari luas Pulau Kalimantan. Namun, peraturan ini menghilangkan

status Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang berada pada Kawasan

Hutan Negara. Kehilangan status ini ternyata berimplikasi pada

ancaman de-forestasi yang lebih serius di Provinsi Kalimantan

Tengah.

Ketiga, kebijakan yang didominasi oleh para pakar dan elite

membuat bahasa dan kebijakannya sangat sulit dimengerti rakyat

banyak. Masyarakat dalam proses kebijakan ini hanya menerima apa

yang diputuskan oleh para pakar dan elite. Sering terjadi dalam

kenyataan sosial bahwa bahasa dan pikiran para pakar tidak

sesuai dengan tuntutan dan pola pikir masyarakat. Sebagai contoh

kasus adalah Bailout Bank Century, rakyat dibohongi dengan

mengatakan bahwa perekonomian Indonesia sangat stabil dan

percaya diri, namun hari berikutnya mereka mengadakan rapat KSSP

(Komite Stabilitas Sektor Keuangan) untuk memberikan FPJP

(Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) kepada Bank Century yang

kalah kliring dengan alasan bahwa sekecil apa pun, sebuah bank

dalam keadaan krisis akan menimbulkan dampak sistemik karena

faktor psikologis pasar sudah terpengaruh suasana krisis.

Akibatnya, orang akan melakukan rush apabila ada bank yang gagal

dan ditutup.

10

Keempat, pada praktiknya seringkali kebijakan publik yang

dilakukan para teknokrat justru gagal mengantisipasi dampak-

dampak yang tidak diinginkan dan lemah dalam penerapannya.

================================================================

=====

C. Perspektif Governance

Governance dapat diartikan sebagai Tata pemerintahan yang

baik, dimana hal ini lebih melihat bagaimana sebuah pemerintahan

dijalankan dengan baik. Istilah governance mengacu pada proses

pemerintahan; atau kondisi yang berubah dari pelaksanaan aturan;

atau metode baru untuk memerintah masyarakat (Rhodes, 1996).

Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Minogue (1998), yang

mengungkapkan empat komponen utama yaitu legitimacy menyiratkan

kepedulian terhadap yang diperintah, Accountbility yang meliputi

adanya tanggung jawab dari pejabat publik dan pemimpin politik,

competence dalam membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang

tepat dan memberikan pelayanan publik yang efisien, sementara

penghargaan terhadap hukum dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia

menjadi penopang seluruh sistem pemerintahan yang baik.

Secara ringkas Perspektif Governance saat ini adalah

Perspektif Good Governance atau Manajemen Publik Baru (MPB) memiliki

dua arti, yaitu : Manajerialisme dan Ekonomi Institusional baru.

Manajerialisme mengacu pada pengenalan metode-metode manajemen

sektor privat ke dalam sektor publik. Ini menekankan pada

penguasaan manajemen profesional; standar dan pengukuran kinerja

11

yang jelas; mengelola berorientasi hasil; nilai uang; dan yang

terbaru adalah kedekatan dengan pelanggan.

Ekonomi Institusional baru mengacu kepada pengenalan

struktur intensif (seperti persaingan pasar) ke dalam kebijakan

publik. Ini menekankan kepada pemecahan birokrasi; persaingan

yang lebih besar melalui sistem kontrak dan pasar semu dan

pilihan pelanggan.

MPB relevan dalam diskusi mengenai governance, karena

pengendalian (steering) merupakan pusat untuk analisis menajemen

publik dan pengendalian sinonim dengan governance. Contoh, Osborne

dan Gaebler (1992) yang membedakan antara “keputusan kebijakan”

(steering) dan “pengantaran pelayanan” (rowing), menyatakan

bahwa birokrasi merupakan alat yang bangkrut untuk pengantaran.

Secara jelas MPB, berarti Pemerintahan dan Wirausaha

memikul tanggung jawab bersama dalam hal kompetisi, pasar,

pelanggan dan hasil. Transformasi nilai sektor publik ini

berkaiatan dengan “pengurangan peran pemerintah” (berkurangnya

pendayung “rowing”). Sehingga memperkuat governance ( lebih kepada

pengendalian/ “steering”).

Pada intinya governance diartikan sebagai pelaksanaan

kekuasaan politik untuk mengelola masalah-masalah negara dan

good government”, meliputi : pelayanan publik yang diaudit dan

memiliki akuntabilitas terbuka dan efisien dengan birokrasi yang

berkompetensi untuk membantu merancang dan menerapkan kebijakan

dan pengelolaan yang tepat pada sektor publik yang ada. Dan

untuk memenuhi efisien dalam pelayanan publik, Bank Dunia

menuntut didorongnya keompetisi dan pasar; privatisasi

perusahaan publik; reformasi pelayanan sipil dengan mengurangi

staf yang terlalu banyak; memperkenalkan disiplin anggaran;

12

mendesentralisasikan administrasi; dan mendorong berkembangnya

organisasi non pemerintah. Pendeknya, good government mengawinkan

manajemen publik baru dengan kelebihan demokrasi liberal.

Secara ringkas fungsi pemerintah dalam governance

menempatkan posisi pemerintah sebagai pengarah (steering),

dimana pada prosesnya juga melibatkan 3 pihak yaitu pemerintah,

masyarakat dan pihak swasta. Dalam perspektif governance,

kebijakan publik dirumuskan oleh tiga pihak tersebut.

Contoh nyata perspektif ini, adalah Keberadaan PT.

Freeport yaitu pihak Swasta atau Organisasi Non Pemerintah yang

dirangkul Pemerintah untuk menangani Pengelolaan dan Pengolahan

Tambang Emas di Wilayah Papua, yang notabene masyarakatnya masih

belum sejahtera dengan latar belakang yang masih di bawah rata

– rata, dengan keinginan penghidupan yang layak, sejahtera dan

lebih maju, namun berjalannya waktu muncul Gap (masalah) dimana

masyarakat merasakan bahwa apa yang diharapkan tidak terwujud

dan timbul gejolak, mereka merasa dibohongi, miskin di tengah

kekayaan tanah airnya, dengan dibantu LSM, Walhi, dll, terutama

Pengamat Lingkungan, masyarakat Papua berpendapat dan berjuang

untuk mendesak pemerintah agar tidak memperpanjang Kontrak

Freeport di Indonesia, yang pada akhirnya issue ini menjadi

Masalah Publik, dan bukan sekedar Masalah Publik namun juga

menjadi perhatian dan agenda pemerintah untuk menindaklanjutinya

dan meningkat pada tahapan untuk mengAgendakan pembahasan dan

Kebijakan apakah akan terus diadakan perpanjangan kontrak dengan

PT. Freeport, sebagai bentuk perhatian Pemerintah dalam

pemenuhan keinginan masyarakat Papua untuk hidup layak dan

sejahtera atas kekayaan di tanah mereka sendiri.

13

D. Perspektif Democratic Governance

Makna “Democratic Governance dan Hak Azasi Manusia” jika ditarik ke

permasalahan tingkat lokal dalam otonomi daerah, maka pada

hakikatnya di dalam lokalitas pengurusan kehidupan publik dengan

kebijakan publik (public policy) inilah, secara langsung pemerintah

berkaitan dengan hak azasi warga. Kebijakan publik sebagai

pengaturan kehidupan warga di ruang publik (public-sphere), dan

berada di dalam lingkup sistemik melalui berbagai ketentuan

administratif negara, yang berlangsung di ruang publik dalam

lingkup fisik (public-space) di wilayah otoritas negara. Bagian

terbesar dari pengaturan ini sepanjang berhubungan dengan public-

space berada di bawah otoritas lokal.

Karenanya pembicaraan tentang democratic governance dalam kaitan

dengan hak azasi manusia dilihat dari keberadaan media pers dan

civil society, dengan menempatkannya untuk menghadapi sosok “mutan”

yang tersebar, ini tidak kalah peliknya dibanding dengan upaya

memaksa turun penguasa Orde Baru. Sebab langkah yang harus

ditempuh adalah menumbuhkan tata nilai bersifat komprehensif

yang mencakup sistem dan prosedur atas aspek-aspek

penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/ kota dan propinsi; kerja

sama antar kabupaten/ kota dalam satu propinsi atau beda

propinsi, dan kerjasama antar propinsi; serta partisipasi warga

masyarakat sebagai pelaku yang harus mengambil bagian aktif

(stakeholders) di ruang publik.

14

Persoalan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan pada

tingkat lokal adalah reformasi dalam sistem dan nilai yang

diwujudkan dengan good governance yang dilihat melalui prinsip

keterbukaan (disclosure) dan akuntabilitas publik (public

accountability). Berbarengan dengan proses otonomi daerah maka

setiap daerah otonomi diharapkan dapat menjadi suatu entitas

sosial dengan penyelenggaraan pemerintahan atas dasar good

governance di satu pihak, dan partisipasi warga di ruang publik

pada pihak lain.

Dalam entitas sosial, lingkup daerah secara empiris adalah

interaksi yang berlangsung antara warga masyarakat dengan

penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dengan

titik temunya adalah melalui kebijakan publik (public policies) dan

pelayanan publik (public services).

Transformasi pemerintahan selayaknya pula diikuti dengan

reformasi sosial sehingga kehidupan di ruang publik lebih

kondusif untuk terwujudnya civil society. Membangun civil society pada

dasarnya adalah membalik arus utama proses kebijakan yang

tadinya bersifat top-down dari kekuasaan negara ke warga

masyarakat, ditransformasikan agar tercipta proses arus bersifat

sharing dari warga sebagai pelaku yang mengambil bagian aktif di

ruang publik ke kebijakan yang dikeluarkan kekuasaan negara.

Untuk itu diperlukan partisipasi warga dalam kehidupan di ruang

publik dengan acuan nilai bersama atas dasar kebebasan pers.

(Mengutip Materi yang disampaikan pada Workshop “Democratic

Governance in Theory: Sebuah Gugatan atas Konsep Good Governance”, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta 16 – 18 September 2004).

15

Sebuah issue berhasil menjadi agenda kebijakan menurut

Perspektif Democratic Governance, penekanannya adalah pada

Partisipasi atau peran serta masyarakat. Partisipasi menjadi mutlak

dalam rangka menjalankan prinsip demokratisasi pemerintah.

Idealnya peran serta masyarakat dalam pemerintahan dilibatkan

sejak proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan,

yang demikian dikenal sebagai makna etimologis dan idealis

Demokrasi yang berasal dari Kata Demos – Kratein, artinya “Dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Perwujudan nyata dari

demokrasi ada pada tingkatan sejauh mana rakyat turut berperan

dalam perencanaan pemerintah menentukan kebijakan publik. Ini

berhubungan pula sejauh mana aspirasi masyarakat dapat

tertampung oleh pemerintah dan sampai dimana pengetahuan

masyarakat mengenai haknya sebagai warga negara untuk turut

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dilakukan

pemerintah.

Secara nyata Democratic Governance dapat dilihat secara

nyata adalah pada Era reformasi suasana kebebasan Pers sangat

nampak terlihat. Alasan normatif atas signifikansi kebebasan

pers dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya berkaitan pada

kehidupan warga masyarakat di ruang publik. Disini kebebasan

pers dapat diartikan di satu pihak sebagai hak warga negara

untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah publik, dan di

pihak lainnya hak warga dalam mengekspresikan pikiran dan

pendapatnya (right to express). Karenanya kebebasan pers dilihat

bukan semata-mata menyangkut keberadaan media jurnalisme (secara

berganti digunakan istilah media pers untuk pengertian yang

sama) yang bebas, tetapi mencakup suatu mata rantai yang tidak

boleh terputus dalam proses demokrasi.

16

Inilah yang mendasari pemikiran mengapa warga harus

dijamin haknya untuk mengetahui permasalahan di ruang publik,

dan mengapa pula warga harus dijamin haknya untuk menyatakan

pendapat, kesemuanya perlu ditempatkan dalam prinsip demokrasi

dan civil society.

Kebebasan pers bukan hanya menyangkut keberadaan media

pers, tetapi pada dasarnya mencakup suatu rantai dalam proses

demokrasi. Sekaligus melalui kebebasan pers dituntut

akuntabilitas sosial institusi pers dalam konteks proses ini.

Proses demokrasi dalam perspektif media mencakup: bermula dari

dinamika kehidupan warga masyarakat yang dikenal sebagai fakta

publik (public fact) yang memiliki signifikansi sebagai masalah

publik (public issue). Masalah (issue) publik dapat diartikan

sebagai fakta yang berasal dari, dan respon warga masyarakat

terhadap kekuasaan umumnya, dan kekuasaan negara khususnya.

Issue publik kemudian disiarkan secara bebas (otonom dan

independen) dalam kaidah obyektivitas oleh media pers sebagai

informasi jurnalisme. Lebih jauh informasi jurnalisme akan

menjadi sumber dalam proses pembentukan pendapat publik (public

opinion). (Gurevitch dan Blumler, 1990; Hennessy, 1981).

Pikiran dan pendapat yang terbentuk sebagai respon

terhadap masalah publik menjadi dasar dalam kehidupan publik.

Dengan begitu tidak semua fakta dalam masyarakat relevan sebagai

dasar pembentukan pendapat publik. Pendapat publik dapat

diartikan sebagai respon pro dan kontra warga masyarakat

terhadap masalah publik yang bersifat aktual. Dinamika dari pro

dan kontra inilah menjadi dasar bagi kebijakan publik, baik

berupa keputusan maupun tindakan-tindakan pejabat publik dalam

melayani warga masyarakat. Muara dari seluruh proses ini adalah

17

pelayanan publik dan akuntabilitas (accountability) atau

pertanggungjawaban, sebagai ciri dari birokrasi publik

(pemerintahan) dalam norma demokrasi (Coob, 1981).

Dengan begitu basis kehidupan warga dalam ruang publik

adalah adanya informasi menyangkut fakta publik yang bersifat

benar dan obyektif sehingga dapat membentuk pendapat publik

secara rasional, untuk kemudian dapat ambil bagian (sharing) dalam

kehidupan publik. Dengan demikian akuntablitas atau

pertanggungjawaban dari media jurnalisme dilihat dengan

parameter yang melekat dalam proses fungsinya keberadaan dan di

ruang publik.

Ruang publik dapat dilihat dari posisi warga masyarakat

sebagai warga yang bersentuhan atau merespon kekuasaan dari 3

ranah, yaitu di satu pihak dalam lingkup kekuasaan negara (state),

dalam pada pihak lain dalam lingkup kapitalisme pasar (market

capitalism) dan kolektivitas sosial (communalism). Dari dua yang

terakhir inilah muncul 3 stakeholders di ruang publik, berupa

kekuatan pasar melalui korporasi komersial dan organisasi

masyarakat sipil seperti partai politik, organisasi keagamaan,

serikat buruh, dan lainnya. Kedudukan warga dapat terdominasi

dalam sistem hegemonik manakala warga hanyalah sebagai konsumen

atau pengguna (users) kebijakan publik yang diproduksi kekuasaan

negara.

Begitu pula dalam menghadapi kekuasaan pasar, warga

masyarakat sebagai konsumen, yang dieksploitasi dari sisi nilai

ekonomis warga bagi kapitalis. Disini biasa dibedakan korporasi

komersial bersifat swasta (private), dengan korporasi yang

keberadaannya mengambil modal publik (go public), sebab masing-

masing membawa konsekuensi berbeda bagi warga. Sementara dalam

18

konteks kolektivitas sosial, warga masyarakat dapat menjadi

massa yang kehilangan posisi personal, dikalahkan oleh

homogenisasi yang berlangsung dalam kolektivisme di bawah

kepemimpinan bersifat elitis dan patrimonial.

Warga pada hakikatnya memang hanya menjadi konsumen (users),

tidak pernah dapat menjadi faktor produktif dalam proses

kebijakan publik. Karenanya membicarakan hak-hak publik dalam

kaitan dengan kebijakan publik adalah dari pandangan ersifat

normatif. Karenanya dari sisi warga, kedudukan idealistiknya

dilihat pada kekuatan pasar dan organisasi masyarakat sipil,

sejauh mana dapat menjadi representasi dari kepentingan warga di

satu pihak, sehingga lebih jauh kebijakan publik memenuhi

kepentingan warga di pihak lain. Dengan kata lain, keberadaan

korporasi dalam kekuasaan pasar dan organisasi masyarakat sipil

dalam konteks civil society, didefinisikan sebagai stakeholders dalam

penyelenggaraan kehidupan publik, melalui peranannya dalam

menghadapi kebijakan dan pelayanan publik guna menjaga agar hak

dan kepentingan warga (public interest) di ruang publik senantiasa

terpenuhi.

Dari sini dikembangkan perspektif kultural, yaitu ruang

publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di

dalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal,

yang terbebas dari dominasi kekuasaan negara, pasar dan

kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi

kehidupan publik diwujudkan melalui realitas kehidupan warga

masyarakat, dilihat dalam proses interaksi personal atas dasar

kultural. Ciri dari interaksi semacam ini adalah dengan

keberadaan person yang memiliki otonomi dan independensi.

Interaksi sosial ditandai dengan posisi personal dalam tawar

19

menawar (negosiasi) dalam proses diskusi publik (public discussion)

atas dasar rasionalitas dan kecerdasan, bukan atas dasar

kekerasan (kekuatan fisik maupun psikologis), baik secara

personal, atau institusional oleh negara maupun kolektivisme

dalam masyarakat. Dari ruang publik idealistik inilah lahir

fungsi imperatif media pers, sebagai perpanjangan/ekstensi dari

ruang publik tersebut (Blumler, 1990; Zukin, 1981).

Contoh kasus saat ini adalah adanya gerakan sosial

masyarakat, LSM dan berbagai pihak dalam “Gerakan Koin untuk

KPK”. Gerakan koin untuk KPK ini dimaksudkan untuk memberikan

dukungan bagi KPK dalam membangun Gedung dan kontribusinya dalam

memberantas Korupsi di Indonesia. Hal ini dilakukan karena usulan

anggaran untuk perbaikan Gedung KPK yang sudah cukup tua tidak

disetujui oleh Pemerintah (Eksekutif), padahal saat ini

keperluan untuk membangun atau merenovasi gedung KPK cukup

mendesak. Setelah dilakukannya gerakan sosial oleh masyarakat,

LSM dan berbagai pihak yang tak lepas dari peran pihak media

massa yang menyajikannya ke dalam topik utama berita, guna

mendukung eksistensi fungsi dan keberadaan KPK dalam memberantas

korupsi, maka hal ini mempengaruhi kebijakan pemerintah yang

semula bahwa Pemerintah akan melakukan penangguhan anggaran

gedung KPK. Peran serta dan partisipasi elemen masyarakat

tersebut menuai hasil dan dampak, bahwa apa yang dilakukan

menjadikan issue sebagai agenda setting kebijakan Pemerintah

yang seperti diberitakan oleh Media Massa tepatnya Hari Jum”at

tanggal 12/10/2012, akhirnya presiden SBY menyetujui untuk

pemberian anggaran pembangunan gedung KPK.

Begitupula dengan Kondisi Orde Reformasi yang memberikan

ruang pada Publik atau Masyarakat dan pihak Swasta untuk ikut

20

berperan dan berpartisipasi aktif. Berkembangnya Multi Partai

yang dahulunya hanya Partai Golkar yang berkuasa dalam beberapa

dekade Kurun Waktu pemerintahan Orde Baru, sehingga issu

Kekuasaan Otoriter membuat berbagai fihak berfikir, bereaksi

dan bergerak terutama Kaum Akademisi, Civitas Akademik, serta

Wartawan sebagai Pihak Pers untuk meliput dan memberikan

informasi secara lebih terbuka dibandingkan pada masa Orde Baru,

sehingga hal – hal yang mungkin tidak nampak menjadi nampak,

termasuk penyebab utama issue mampu diangkat menjadi agenda

Pemerintah, mendapatkan perhatian sehingga perlu ditindak

lanjuti untuk kemudian dibuat rancangan solusi atau jawaban dari

permasalahan yang muncul.

Tidak terkecuali Perubahan Amandemen UUD 1945 yang

dilakukan empat kali berturut – turut sebagai tindak lanjut dari

Legalitas dan Supremasi Hukum atas penyimpangan Kepemimpinan dan

pengejawantahan Kedaulatan Negara dan Kekuasaan pemerintah yang

kemudian diputuskan bahwa Pasal 1 sampai dengan Pasal 7,

menegaskan tentang Kedaulatan Negara, dan Pemerintahan serta

rinci sampai kepada Masa Jabatan Kepala pemerintahan dan Kepala

Daerah hanya bisa dua kali periode masa jabatan pada posisi yang

sama, dengan asumsi jika terpilih kembali.

Hal terpenting, Amandemen UUD 1945 menjelaskan bahwa

penegakkan demokrasi oleh Pemerintah ditandai dengan pemenuhan

Hak Azasi dan Perlindungan Warga Negara di dalam UUD 1945

Amandemen secara lebih rinci dan jelas, mulai dari kebebasan

berserikat, berpendapat, berkumpul, mengembangkan diri dan

berorganisasi, terutama pada Pasal28 A sampai dengan 28 J.

21

E. Perspektif konflik

Dalam kuliah issue dan formulasi kebijkan publik, telah

dijelaskan issue kebijakan yang muncul karena adanya konflik

atau adanya sebuah perbedaan persepsional terhadap sesuatu,

untuk itu issue juga bersifat subjektif karena berasal dari

persepsi tersebut. Sebuah issue bisa menjadi masalah publik

bilamana telah menyangkut pada wilayah yang lebih luas dari

issue tersebut, dan tentunya berdampak pada masyarakat atau

publik, untuk melihat issue sebagai masalah publik yang ditinjau

melalui perspektif konflik, maka kita perlu mengetahui terlebih

dahulu perspektif konflik.

Konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial

(Weber dalam David L.Sills 1968:232), baik itu bersifat positif

atau negatif. Masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang

mana mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya

dibedakan secara analisis.

Menurut Gamble (1984:261) konflik merupakan bentrokan

sikap-sikap, pendapat-pendapat,perilaku-perilaku, tujuan-tujuan

dan kebutuhan yang bertentangan” (Verderber, 1978:123) termasuk

juga “perbedaan asumsi, keyakinan dan nilai” (Hamidi, 1995: 25).

Sosiologi konflik berasumsi bahwa masyarakat selalu dalam

kondisi pertentangan, pertikaian dan perubahan, semua itu adalah

sebagai bagian dari ter1ibatnya kekuatan-kekuatan masyarakat

yang saling berebut sumberdaya dengan menggunakan nilai-nilai

22

dan ide (Ideologi) sebagai alat untuk meraihnya (Wallace &Wolf,

1986). Dalam pandangan sosiologi hal ini merupakan kenyataan

sosial yang bagi Dahrendorf, merupakan siklus tak berakhir dan

adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok

terkoordinasi dari sistem sosial.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam

memahami teori konfilk sosial, antara lain:

1. Kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan,

kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi

dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperi yang

ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.

2. Ketidaksamaan struktural. Ketidaksamaan dalam hal kuasa,

perolehan yang ada dalam struktur sosial.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan

berjuang untuk mencapai revolusi.

4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara

keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan

sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara

cepat dan revolusioner daripada evolusioner.

Lalu bagaimana sebuah issue yang berasal dari perspektif

konflik yang terjadi pada individu atau masyarakat menjadi

sebuah masalah publik? atau suatu issue konflik antara individu,

individu dan kelompok atau antar kelompok bisa menjadi sebuah

masalah publik dan termasuk dalam agenda kebijakan publik?

pembentukan agenda terjadi sebagai akibat dari perluasan issue

yang menjadi perhatian kelompok tertentu ke perhatian publik

yang lebih luas. Dinamika perluasan ini akan tergantung kepada

karakteristik issue awal. Cobb dan Elgar (Parsons, 2005; 130-

131) berpendapat :

23

a. Semakin mendua suatu issue didefinisikan, semakin besar

kemungkinannya akan mencapai publik yang lebih luas (tingkat

spesifitas);

b. Definisi issue yang semakin signifikan secara sosial akan

semakin besar kemungkinan nya berkembang menjadi perhatian

publik yang lebih luas (lingkup signifikansi sosial);

c. Jika issue didefinisikan sebagai issue yang memiliki

relevansi jangka panjang, semakin besar pandangannya akan

terungkap ke hadapan audien yang lebih luas (relevansi temporal);

d. Semakin nonteknis issue itu didefinisikan, semakin besar

kemungkinannya akan semakin ke publik yang lebih luas (tingkat

kompleksitas);

e. Semakin banyak issue yang disefinisikan sebagai issue yang

sedikit memiliki preseden (precedent), semakin besar peluangnya

issue itu akan sampai ke populasi yang lebih besar (preseden

kategoris).

Jika dilihat secara keseluruhan, bahwa dalam perspektif

konflik yang ada, issue dapat dilihat sebagai masalah publik

jika issue yang terjadi memiliki dampak yang lebih luas dan

besar dari lingkup asal issue tersebut. Pada posisi ini, peran

media massa sangat penting dalam membangkitkan perhatian,

memprovokasi aksi, melemahkan pertentangan, menunjukkan kekuatan

komitmen dan dukungan. Terakhir, akses issue ke proses

pengambilan keputusan institusional formal akan tergantung

kepada sejauh mana konflik diperlihatkan pada berbagai publik.

Menurut Cobb dan Elder (Parsons, 2005; 132), semakin besar

audien, semakin besar peluangnya untuk masuk ke arena

pengambilan keputusan ;

24

a. Ketika konflik dibatasi pada kelompok identifikasi, status

agenda formal kemungkinan hanya akan diraih ketika

penentang mengancam akan mengganggu sistem.

b. Konflik yang dibatasi pada perhatian publik kemungkinan

besar akan dibawa ke agenda oleh ancaman sanksi langsung.

c. Konflik yang dibatasi pada publik yang attentive kemungkinan

akan mencapai agenda formal melalui saluran perantara

(issue dibawa oleh orang dan kelompok yang mengetahuinya

dengan baik).

Dari model Cobb dan Elder diatas bahwa, dalam memperhatikan

sebuah issue yang berasal dari adanya konflik yang terjadi dapat

dipakai secara empiris untuk menunjukkan bagaimana kepentingan

pihak-pihak yang punya posisi dominan untuk issue dapat dibatasi

dalam parameter yang ketat (Parsons, 2005:132). Untuk secara

jelas melihat hal ini akan kita lihat beberapa contoh kasus,

bagaimana sebuah issue yang kemudian menjadi sebuah masalah

publik dilihat melalui perspektif konflik tidak terlepas dengan

adanya media massa, atau yang kita pahami sebagai policy

enterpreneur.

Contoh kasus issue sebagai masalah publik yang ditinjau

dari perspektif konflik adalah, kasus Prita Mulya Sari – Pasien,

terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, tempat Pasien Prita

dirawat. Termasuk pula contoh kasus tawuran pelajar, yang marak

saat ini hingga berujung kematian. Kasus bullying di kalangan

kampus, Kasus pembakaran dan pembunuhan Kelompok Aliran tertentu

di Jawa Timur oleh Kelompok Islam yang beraliran lainnya, serta

banyak lagi kasus konflik individu dengan individu, individu

dengan kelompok, atau kelompok dengan Kelompok yang akhirnya

konflik tersebut meluas menjadi masalah bagi semua pihak yang

25

merasa ikut merasakannya dan berempati, bahkan ikut merasakan

dampak dan kerugian dari konflik yang terjadi. Dari beberapa

kasus tersebut, diketahui bahwa awal konflik adalah antara

individu dengan individu atau antara individu dengan kelompok

tertentu. Namun kemudian dengan semakin meluasnya issue

sederhana ke arah hal-hal yang menyangkut permasalahn SARA, HAM,

Kekerasan dan sebagainya, yang kemudian dibantu dengan

pemberitaan oleh media massa kepada masyarakat (Blow-Up),

kemudian membangkitkan solidaritas sosial yang kemudian

melahirkan sebuah masalah publik yang lebih luas. Maka hal ini,

yang awalnya berupa issue kemudian dibantu oleh Policy Entrepreneur

menjadi sebuah masalah publik yang butuh solusi / kebijakan dan

penanganan segera.

F. Perspektif Advokasi

Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi

sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi

dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan

mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang. Advokasi

pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan

publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan

dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok

masyarakat (public interest) - dalam hal ini dunia usaha.Advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan

kebijakan public yang bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah

26

munculnya kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat.” (Socorro

Reyes, Local Legislative Advocacy Manual, Philippines: The Center for Legislative Development,

1997).

Dalam kedudukannya sebagai organisasi pengusaha, maka yang

dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-

tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik

tertentu, meliputi yaitu:

• Hukum dan perundang-undangan

• Peraturan

• Putusan pengadilan

• Keputusan dan Peraturan Presiden

• Platform Partai Politik

• Kebijakan-kebijakan institusional lainnya

Tujuan utama advokasi adalah memudahkan media mencari bahan

berita ataupun pandangan “bisnis” yang diperoleh dari anggota

yang berkompeten sebagai narasumber. Pendekatan kepada media

harus strategis. Pastikan para wartawan mengetahui kegiatan yang

dilakukan organisasi dan asosiasi bisnis, anggota organisasi,

permasalahan yang dihadapi dan tujuan agenda bisnis atau

advokasi. Ciptakan reputasi dengan membuat materi yang

berkualitas dan berguna untuk mereka. Lakukan siaran pers dan

berikan materi publikasi lainnya. Bersikap responsif ketika

menyampaikan informasi dan materi. Melalui pengelolaan hubungan

yang positif dan proaktif dengan pers, besar kemungkinan akan

berhasil menciptakan peliputan media yang mengesankan. Tidak

hanya itu, kemungkinan akan muncul kesempatan untuk menjadi

pihak pertama yang dihubungi manakala berita penting muncul.

Advokasi melibatkan berbagai strategi yang ditujukan untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan publik baik di tingkat lokal,

27

nasional dan internasional; dalam advokasi itu secara khusus

harus memutuskan: siapa yang memiliki kekuasaan dalam membuat

keputusan; bagaimana cara mengambil keputusan itu; dan bagaimana

cara menerapkan dan menegakkan keputusan.” (Lisa Vene Klassen and

Valerie Miller, The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation, Washington D.C.:

The Asia Foundation, 2002).

Advokasi adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh

perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukkan suatu

masalah ke dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil

keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah tersebut

sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan

kebijakan publik yang di buat untuk mengatasi masalah tersebut.

(Manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003)

Memperhatikan pengertian dan tujuan dari upaya advokasi

maka yang menjadi kekuatan upaya ini adalah kerangka analisis

dari suatu kebijakan publik. Hal ini dipahami bahwa sebelum

mengusulkan perubahan atau pencabutan atas kebijakan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah maka kebijakan tersebut harus

dianalisis dahulu. Salah satu kerangka analisis yang berguna

untuk melihat suatu kebijakan publik adalah dengan melihat

kebijakan tersebut sebagai suatu ”sistem hukum” (system of law)

yang terdiri dari :

Isi Hukum (content of law), yaitu uraian atau penjabaran

tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk

perundang-undangan, peraturan-peraturan dan keputusan

Pemerintah. Ada juga kebijakan yang lebih merupakan

kesepakatan umum (konvensi) tidak tertulis, tetapi dalam hal

ini kita lebih menitikberatkan perhatian pada naskah (text)

28

hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang

berlaku.

Tata Laksana Hukum (structure of law), yaitu semua perangkat

kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam

pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pegadilan,

penjara, birokrasi pemerintahan, parpol dan sebagainya) serta

para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi,

tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen dan lain-lain)

Budaya Hukum (culture of law), yaitu persepsi, pemahaman,

sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran

terhadap dua aspek sistem hukum di atas (isi dan tata laksana

hukum). Dalam pengertian ini juga tercakup bentuk-bentuk

tanggapan (reaksi atau respone), karena itu hal ini merupakan

aspek kontekstual dari sistem hukum yang berlaku.

Sebagai suatu kesatuan sistem, ketiga aspek hukum tersebut

saling terkait antara satu sama lain dan tidak bisa berdiri

sendiri-sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa idealnya, suatu

kegiatan atau program advokasi harus juga mencakup sasaran

perubahan ketiganya. Mengapa dikatakan demikian? Karena dalam

kenyataannya, perubahan yang terjadi pada salah satu aspek saja

tidak dengan serta merta membawa perubahan pada aspek lainnya.

Perubahan suatu naskah undang-undang atau peraturan pemerintah,

tidak dengan sendirinya merubah mekanisme kerja lembaga atau

aparat pelaksananya. Banyak contoh selama ini dengan jelas

menunjukkan bahwa naskah undang-undang atau peraturan pemerintah

yang betapapun baiknya secara normatif apabila tidak didukung

oleh kesiapan perangkat kelembagaan atau aparat pelaksana yang

memadai maka pada akhirnya hanya akan tersisa sebagai retorika

murni belaka.

29

Begitu juga dengan budaya hukum. Suatu naskah hukum

katakanlah sudah ada dan memenuhi semua tuntutan normatif yang

diperlukan, tersedia juga perangkat kelembagaan dan aparat

pelaksana yang handal dan terpercaya. Tetapi sikap dan perilaku

masyarakat kadangkala justru tidak mendukung isi maupun tata

laksana hukum tersebut, akibatnya maka peraturan dalam bentuk

suatu kebijakan tersebut akan menjadi sia-sia belaka.

Contoh dari kasus tersebut adalah adanya aturan tentang

larangan untuk merokok di sembarang tempat yang berlaku di

daerah Jakarta. Naskah aturan sudah ada dan memenuhi syarat

normatif sebagai suatu Peraturan Daerah (Perda) kemudian aparat

penegak Perda tersebut juga sudah siap, namun kembali lagi bahwa

sikap dan perilaku masyarakat tidak mendukung tegaknya aturan

yang menjadi kebijakan Pemeritah DKI Jakarta Tersebut. Akibatnya

kebijakan untuk tidak merokok di sembarang tempat cenderung

hanya menjadi slogan semata.

Sebaliknya juga demikian, tata laksana hukum yang berubah

tidak secara otomatis merubah isi hukum yang berlaku. Itu

sebabnya maka timbul pendapat bahwa UU atau peraturannya sudah

bagus, namun oknum pelaksananya yang tidak mampu menegakkan UU

tersebut. Sama halnya dengan budaya hukum yang berubah, tidak

secara otomatis merubah tata laksana maupun isi hukum yang sudah

ada. Dalam banyak kasus, para aparat pelaksana hukum yang

mencoba melakukan amanat hukum berdasarkan kata hati nurani dan

rasa keadilan umum (budaya hukum), dalam istilah baku ilmu hukum

disebut sebagai rechtmatigheid, melakukan suatu exclusion

(perkecualian hukum), meskipun terpaksa harus menentang isi atau

naskah hukum yang berlaku, justru sering atau bahkan selalu

30

akhirnya berhadapan dengan kekakuan naskah hukum dan kepentingan

politik kekuasaan dibaliknya.

Sasaran perubahan terhadap suatu kebijakan publik

seharusnya mencakup ketiga aspek hukum atau kebijakan tersebut.

Ini sama artinya suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang

secara sengaja dan sistematis memang dirancang untuk mendesakkan

terjadinya suatu perubahan kebijakan baik dalam isi, tata

laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Namun perubahan bisa

saja terjadi tidak sekaligus pada ketiga aspek hukum tersebut,

bisa juga perubahan terjadi secara bertahap mulai dari salah

satu aspek hukum tersebut yang dianggap bisa sebagai titik tolak

paling krusial, kemudian berlanjut ke aspek-aspek hukum

selanjutnya. Intinya bahwa perubahan yang terjadi secara

bertahap dan menyeluruh. Tahapan yang dilalui agar Advokasi

kebijakan bisa berjalan dengan efektif, antara lain :

Pengorganisasian (Membentuk tim/komite)

Mengidentifikasikan masalah dan sasaran (Survey dan FGD)

Menetapkan prioritas advokasi

Merumuskan kelompok sasaran : ‘Orang Dalam’, menyelenggarakan

pertemuan-pertemuan dengan pembuat kebijakan (executif dan

legislatif). ‘Orang Luar’, mempengaruhi media massa,

mengembangkan aktivitas-aktivitas di tingkat Grass Root,

Membangun Koalisi.

Mengidentifikasi pendukung dan penentang

Menyusun Renstra dan merancang pesan ke publik

Menyusun Anggaran

Evaluasi

Contoh konkrit dari bentuk Advokasi ini antara lain

Gerakan Advokasi dari LSM peduli Lingkungan pada Kasus Korban

31

Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Diikuti gerakan masal bersama Korban

Lapindo untuk menuntut penyelesaikan tentang ganti rugi Korban

Lumpur oleh pihak Lapindo dan tentunya adalah besarnya peran

Media Massa yang secara tidak langsung mengusung dan melindungi

proses berlangsungnya perjuangan masyarakat sidoarjo untuk

sampai pada Agenda Pemerintah, dimana sudah seharusnya

Pemerintahlah yang mampu menjadi Pihak Advokasi bagi rakyat atau

masyarakatnya.

Contoh lainnya adalah ‘Kasus Sendal Jepit”, dimana terdapat

kasus yang diadvokasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI) terkait kasus seorang anak yang diperkarakan oleh pihak

kepolisian, karena mencuri sendal jepit salah seorang anggota

polisi. Permasalahan yang menjadi perhatian Publik dan Media

Massa disini adalah bahwa anak yang mencuri sendal jepit

tersebut masih dibawah umur, memang anak tersebut melakukan

kesalahn dan tindak pencurian, sehingga kemudian di perkarakan

secara hukum dan sempat melalui proses penahanan. Namun secara

logika kesalahan anak tersebut sangat jauh jika dibandingkan

dengan kesalahan besar para Koruptor yang justru tidak sampai

ke meja hijau dan bahkan tidak ditindak lanjuti oleh aparat

kepolisian. Maka akhirnya KPAI kemudian memberikan advokasi

kepada anak tersebut dan hal ini juga didukung oleh banyak pihak

dengan adanya gerakan “sandal jepit” oleh masyarakat. Hal ini

dapat dilihat sebagai issue yang kemudian menjadi masalah publik

karena sudah melibatkan KPAI, LSM, dan Masyarakat untuk menuntut

keadilan bagi anak tersebut untuk selanjutnya dari segi Advokasi

pastinya akan ditindaklaanjuti proses mediasi atau wujud tindak

lanjut lainnya oleh pihak Institusi Pemerintah dalam hal ini

Kepolisian dan Pengadilan atas Advokasi yang dilakukan oleh

32

KPAI sebagai Lembaga Resmi yang bergerak dalam Perlindungan Anak

Indonesia. Dari sini tidak menutup kemungkinan akan berdampak

pada evaluasi dan formulasi kebijakan terhadap perlakuan dan

prosedur pelanggaran oleh Anak di bawah umur secara lebih

manusiawi dan sesuai dengan pemenuhan Hak Azasi Manusia.

Demikianlah hasil diskusi, pemikiran dan pemaparan hasil

penelusuran literatur, serta pemahaman kami memandang realita

yang terjadi, dikaitkan dengan persoalan dan pertanyaan mengenai

Tugas Kelompok yang diajukan pada Mata Kuliah Issue dan

Formulasi Kebijakan Publik.

Dapat disimpulkan, bahwa enam perspektif yang ada dengan

sudut pandang dan konsentrasi serta fokus terhadap issue mampu

atau berhasil menjadi masalah publik, adalah tetap pada koridor

dimana issue yang hanya sebagai sesuatu hal yang tidak selalu

bisa dimaknai atau dibuktikan kebenarannya ( kabar burung ),

issue yang tidak selalu diperhatikan, mampu dan bisa dikatakan

berhasil menjadi Masalah Publik, dimana issu itu mencapai suatu

Kondisi dan atau situasi yang menghasilkan kebutuhan – kebutuhan atau

ketidakpuasan pada rakyat, dimana perlu dicarikan cara – cara penanggulangannya.

( James E. Anderson, 1979).

Issue yang berhasil menjadi Masalah Publik, yaitu jika issue

kemudian menjadi Kebutuhan- kebutuhan, Nilai-nilai, Kesempatan-kesempatan

yang tidak terealisir, dan hanya dapat dicapai melalui Tindakan Publik. ( Dunn,

1994. Edisi Indonesia, 1998 : 210 -213 ).

Bahasan Issue menjadi Masalah Publik telah kami sajikan

sesuai dengan kemampuan dan tentunya Kelompok kami tidak lepas

33

dari kekurangan, kesalahan dan kami adalah manusia yang memiliki

keterbatasan. Sehingga kami sangat berterima kasih atas saran,

kritik dan tanggapan yang diberikan selama itu positif dan

bersifat membangun.

Di luar Konteks Pertanyaan ( Tugas ) Kelompok, kami

berpendapat bahwa, pada perkembangannya issue mampu meningkat

bukan hanya sekedar menjadi Masalah Publik namun apabila

berkembang, serta berdampak nyata dan meluas, maka besar

peluangnya akan melalui Agenda Setting yang pada akhirnya

menjadi Agenda Kebijakan sampai kepada Titik Formulasi Kebijakan

dan menghasilkan Produk Kebijakan, adalah tahapan atau tingkatan

yang tidak terlepas dari kreativitas dan aktivitas berbagai

pihak.

Proses tersebut terjadi jika issue sudah meningkat

menjadi Agenda melalui Policy Windows, dimana proses diawali

dengan adanya suatu peluang, dimana ketiga aliran (problems, policies

dan politics) bisa bertemu bersamaan, sehingga issue-issue bisa

menjadi Agenda. Dilanjutkan dengan Proses policy windows , jendela

dibuka oleh kejadian-kejadian, baik dalam aliran masalah atau

dalam aliran politik. Dimana Policy entrepreneur s, begitu ada

kesempatan yang muncul (policy windows), maka issue dapat

diangkat menjadi agenda, jika ada pihak-pihak yang mampu

mempertemukan ketiga aliran yang oleh Kingdon disebut sbg policy

entrepreneurs. (Pejabat pemerintah, PNS karir, pelobi, akademisi

atau wartawan).

34

Sumber Referensi

1. Miftah Thoha, Birokrasi Politik di Indonesia, Rajawali

Press, Jakarta, 2003

2. William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998,

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal: 24

3. Budi Winarno, Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku

Kita. Hal: 33.

4. R Daniel. Lecture, Legitimation and Decision - Making, dalam

www.www.csub.edu /~rdaniels/ppa_503_lecture7a.pp.

5. Budi Winarno, Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku

Kita. Hal: 225.

6. Giddens, Anthony., Kapitalisme dan Teori Sosial Modern:

Suatu Analisis Karya Tulis Max Weber, UI Press, Jakarta,

1985

7. Bingham, Richard D, 1978., Innovation, Bureaucracy, and Public

Policy: A Study of Innovation Adoption by Local Government, The Western

Political Quarterly, Vol. 31, No. 2. (Jun), pp. 178-205.

8. Gurevitch, Michael dan Blumler, Jay G., (1990) “Political

Communication systems and democratic values”, dalam Lichtenberg,

Judith, ed., Democracy and the Mass Media, Cambridge University

Press, Cambridge

35

9. Pendapat Umum, edisi keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta

10. Materi Workshop “Democratic Governance in Theory: Sebuah

Gugatan atas Konsep Good Governance”, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 16 – 18

September 2004).

11. Nickel, James W., (1987) Hak Asasi Manusia, Refleksi

Filosofis Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terjemahan

Arini, (1996) Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

12. Zukin, Cliff, (1981) “Mass Communication and Public

Opinion”, dalam Nimmo dan Sanders, ed., Handbook of Political

Communication, Sage Publications, Beverly HillsGurevitch dan

Blumler, 1990; Hennessy, 1981

13. Lisa VeneKlassen and Valerie Miller, The Action Guide for

Advocacy and Citizen Participation, Washington D.C.: The Asia

Foundation, 2002

14. Manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003

15. Socorro Reyes, Local Legislative Advocacy Manual, Philippines:

The Center for Legislative Development, 1997

36