MAKALAH CONGENITAL HEART DEFECT

60
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI - Sebelum lahir, sebagian besar darah dialihkan dari paru-paru janin yang belum berfungsi melalui foramen ovale, suatu pembukaan pada septum interatrium di antara atrium kanan an atrium kiri. Saat lahir, paru-paru mulai berfungsi dan foramen ovale tertutup. Sisi ini ditandai dengan adanya lekukan pada septum interatrium yang disebut fossa ovalis. Foramen ovale yang tidak tertutup disebut defek septum interatrium ( Slonane, 2003). - Aorta adalah arteri utama yang membawa darah yang mengandung oksigen ke seluruh jaringan tubuh, kecuali paru-paru. Aorta merupakan pembuluh nadi (arteri) yang terbesar. Congenital Heart Defect Page 1 fossa ovalis

Transcript of MAKALAH CONGENITAL HEART DEFECT

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

- Sebelum lahir, sebagian besar darah dialihkan dari paru-paru

janin yang belum berfungsi melalui foramen ovale, suatu

pembukaan pada septum interatrium di antara atrium kanan an

atrium kiri. Saat lahir, paru-paru mulai berfungsi dan

foramen ovale tertutup. Sisi ini ditandai dengan adanya

lekukan pada septum interatrium yang disebut fossa ovalis.

Foramen ovale yang tidak tertutup disebut defek septum

interatrium ( Slonane, 2003).

- Aorta adalah arteri utama yang membawa darah yang mengandung

oksigen ke seluruh jaringan tubuh, kecuali paru-paru. Aorta

merupakan pembuluh nadi (arteri) yang terbesar.

Congenital Heart Defect Page 1

fossa ovalis

- Darah yang melalui aorta dipompa oleh ventrikel kiri

melewati valvula semilunaris aorta (katup) aorta.

- Arteri Pulmonalis merupakan pembuluh darah yang keluar dari

ventrikel kanan, bercabang menjadi dua yang masing- masing

menuju ke paru-paru kanan dan kiri.

- Arteri pulmonalis sinistra merupakan pembuluh nadi yang

hanya mengalirkan darah kaya akan karbondioksida (CO2) dari

ventrikel kanan ke paru-paru kiri.

- Arteri pulmonalis dextra merupakan pembuluh nadi yang hanya

mengalirkan darah kaya akan kerbondioksida (CO2) dari

ventrikel kanan ke paru-paru kanan.

- Vena pulmonalis :Terdapat empat vena pulmonalis yaitu; dua

vena pulmonalis dextra dan dua vena pulmonalis sinistra.

Keempat vena ini yang mengalirkan darah dari paru-paru yang

kaya akan oksigen (O2) masuk ke atrium kiri dan kemudian

masuk ke ventrikel kiri melewati valvula bicuspidalis (katup

jantung berkelopak dua) selanjutnya dialirkan ke seluruh

jaringan tubuh, kecuali paru-paru.

- Vena pulmonalis dextra : Membawa darah kaya akan O2 dari

paru-paru kanan menuju atrium kiri.

- Vena pulmonalis sinistra : Membawa darah kaya akan O2 dari

paru-paru kiri menuju atrium kiri.

- Vena Cava Inferior: Membawa darah yang berasal dari bagian

tubuh di bawah jantung ke atrium kanan, kemudian masuk ke

ventrikel kanan melewati valvula tricuspidalis (katup

jantung berkelopak tiga) menuju ke paru-paru kiri dan kanan

melalui arteri pulmonalis sinistra dan arteri pulmonalis

dextra. Vena cava inferior termasuk vena yang berukuran

besar.

Congenital Heart Defect Page 2

- Vena Cava Superior: Membawa darah yang berasal dari bagian

tubuh diatas jantung ke atrium kanan, kemudian masuk ke

ventrikel kanan melewati valvula tricuspidalis (katup

jantung berkelopak tiga) menuju ke paru-paru kiri dan kanan

melalui arteri pulmonalis sinistra dan arteri pulmonalis

dextra. Vena cava inferior termasuk vena yang berukuran

besar. Vena cava superior termasuk vena yang berukuran

besar.

- Atrium dextra (kanan) terletak dalam bagian superior kanan

jantung, atrium kanan memiliki fungsi sebagai penerima darah

dari seluruh jaringan kecuali paru-paru.

- Atrium sinistra (kiri) menampung empat vena pulmonalis yang

mengembalikan darah teroksigenasi dari paru-paru menuju ke

seluruh tubuh.

- Valvula semilunaris aorta (katup aorta): Terletak diantara

ventrikel kiri dan aorta, katup ini berfungsi mengalirkan

darah dari ventrikel kiri ke aorta dan tidak sebaliknya,

katub ini terdiri dari tiga daun katup.

- Valvula semilunaris arteri pulmonalis (katup pulmonalis):

Terletak diantara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis,

katup ini berfungsi mengalirkan darah dari ventrikel kanan

ke arteri pulmonalis dan tidak sebaliknya, katup ini terdiri

dari tiga daun katup.

- Valvula bicuspidalis: berfungsi untuk mencegah kembalinya

darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri.

- Valvula tricuspidalis: berfungsi untuk mencegah kembalinya

darah dari ventrikel kanan ke atrium kanan.

- Ventrikel sinistra (kiri): Ventrikel kiri mempunyai

miokardium (lapisan otot jantung) yang paling tebal karena

harus memompa darah ke seluruh tubuh,

Congenital Heart Defect Page 3

- Ventrikel dextra (kanan): memiliki fungsi sebagai penerima

darah dari atrium kanan yang kemudian dipompa ke seluruh

tubuh melewati arteri pulmonalis.

- Septum interventrikular: dinding yang memisahkan ventrikel

kanan dan kiri jantung. ( Smeltzer & Bare, 2001)

B. INSIDEN DAN ETIOLOGI

a. Insiden

Penyakit jantung kongenital terjadi pada sekitar 8 dari

1000 kelahiran hidup. Insiden lebih tinggi pada yang lahir

mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi prematur (2% termasuk

defek sekat ventrikel [VSD], tetapi tidak termasuk duktus

arteriosus paten sementara [PDA]). Insiden menyeluruh ini

tidak termasuk prolaps katup mitral, PDA pada bayi preterm,

dan katup aorta biskupid (ada sekitar 0,9% seri dewasa).

Pada bayi dengan defek jantung kongenital, ada spectrum

keparahan yang lebar : sekitar 2-3 dari 1000 bayi neonatus

total akan bergejala penyakit jantung pada usia 1 tahun

pertama. Diagnosa ditegakkan pada umur 1 minggu pada 40-50%

penderita dengan penyakit jantung kongenital dan umur 1

bulan pada 50-60% penderita. Sejak pembedahan paliatif atau

korektif berkembang, jumlah anak yang hidup dengan penyakit

jantung congenital bertambah secara dramatis.

Kebanyakan defek kongenital ditoleransi dengan baik

selama kehidupan janin karena sifat parallel sirkulasi

janin. Bahwa defek jantung berat, misalnya, hipoplasi

ventrikel kiri berat, biasanya dapat dikompensasi dengan

baik oleh sirkulasi janin. Hanya sesudah sirkulasi ibu

dihilangkan, jalur janin (duktus arteriosus dan foramen

ovale) tertutup atau restriksi, dan sistem kardiovaskuler

Congenital Heart Defect Page 4

tidak tergantung dipertahankan sehingga pengaruh

hemodinamika sepenuhnya dari kelainan anatomi menjadi

tampak. Satu pengecualin utama adalah kasus lesi

regurgitasi, yang paling sering katup trikuspidal. Pada lesi

ini, misalnya, anomali Ebstein, sirkulasi janin parallel

tidak dapat mengkompensasi dengan cukup karena beban volume

yang dibebankan pada jantung kanan. Gagal jantung dalam

rahim seringkali dengan efusi pleura dan asites janin

(hydrops fetalis) dapat terjadi.

Walaupun dekat masa perinatal menandai waktu peralihan

yang paling berarti dalam sirkulasi, sirkulasi bayi terus

mengalami perubahan setelah lahir, dan perubahan ini

kemudian dapat juga mempunyai pengaruh hemodinamik yang kuat

pada lesi jantung dan insiden penampakannya. Misalnya ketika

tahanan vaskuler pulmonal turun sesudah usia beberapa minggu

pertama, shunt dari kiri ke kanan melalui defek intrakardial

bertambah dan gejala-gejala menjadi lebih nyata. Arti

relatif berbagai defek dapat juga berubah secara dramatis

pada pertumbuhan : beberapa defek sekat ventrikel dapat

menjadi jauh lebih kecil ketika anak bertambah umur.

Sebaiknya, stenosis katup aorta atau pulmonal, yang mungkin

ringan pada masa neonatus, dapat menjadi jelek jika

pertumbuhan lubang katup tidak mengimbangkan pertumbuhan

penderita. Dokter harus menyadari spectrum keparahan

berbagai malformasi jantung congenital dan evolusinya

bersama waktu dan selalu waspada pada malformasi congenital

yang menyertai, yang dapat sangat mempengaruhi prognosis

penderita. (Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).

b. Etiologi

Congenital Heart Defect Page 5

Seperti pada hampir semua kelainan kongenital, etilogi

pasti belum diketahui tetapi telah diketahui adanya factor

genetic dan lingkungan yang berperan. Jika seorang ibu

mempunyai anak dengan kelainan jantung kongenital , risiko

anak kedua terkena adalah tiga kali lebih besar dibandingkan

bila anaknya tidak menderita kelainan jantung. Anak dengan

kelainan kromosom mempunyai angka kejadian penyakit jantung

congenital yang lebih besar. Hampir separuh anak dengan

sindrom down mempunyai kelainan jantung. Infeksi rubella

pada trimester pertama kehamilan, penyakit diabetes pada ibu

dan penggunaan obat dalam kehamilan (seperti thalidomide,

alcohol, fenitoin) merupakan factor lingkungan yang

berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit jantung

congenital. (Hull & Johnston, 1995).

1. Congenital Heart Defect (Penyakit Jantung Kongenital)

1.1 Penyakit Jantung Kongenital Asianotik

Jenis penyakit jantung kongenital yang sering dijumpai

adalah adanya lubang antara dua sisi jantung, baik pada

atrium, ventrikel atau arteri besar. Pada kehidupan janin,

aliran darah paru sedikit dan tekanan dalam ventrikel kanan

dan arteri pulmonalis tinggi. Setelah mulai terbentuk

pernapasan teratur, resistensi pembuluh darah paru menurun

dengan akibat penurunan tekanan pada jantung kanan. Karena

tekanan jantung kiri melampaui tekanan jantung kanan, darah

akan mengalir dari kiri ke kanan melalui lubang tersebut.

Congenital Heart Defect Page 6

Resistensi pembuluh darah paru menurun cepat pada hari-

hari pertama setelah lahir kemudian penurunan ini menjadi

lebih lambat dalam beberapa minggu kemudian, hingga pada usia

3 bulan aliran darah dari kiri ke kanan mencapai puncaknya.

Dengan demikian, ada sirkulasi tambahan dari jantung kiri ke

jantung kanan, kemudian ke paru-paru dan kembali lagi ke

jantung kiri. Hal ini disebut pirau. Jika lubang kecil, pirau

mungkin ringan; tetapi bila lubang besar akan mengalirkan

sebagian besar curah jantung sehingga aliran darah melalui

arteri pulmonalis bertambah beberapa kali lebih besar daripada

aliran melalui aorta. Pirau besar menimbulkan beban tambahan

bagi jantung dengan akibat hipertrofi, dilatasi dan kadang

gagal jantung. Karena tingginya resistensi pembuluh darah paru

setelah lahir, bising sering tidak terdengar. Pada bayi dengan

pirau kiri ke kanan yang sederhana, gagal jantung jarang

terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan. (Hull &

Johnston, 1995).

1.1.1 Defek Septum Atrium (ASD)

a. Defek Ostium Sekundum

Defek ostium sekundum adalah lubang yang terletak

pada septum atrium pada daerah fosa ovalis, yaitu

lokasi foramen ovale. Ini terjadi karena atrium kanan

kurang berotot dan lebih mudah terisi darah dibanding

atrium kiri, darah akan mengalir dari atrium kiri ke

atrium kanan melalui defek, kemudian ke ventrikel

kanan dan ke paru-paru. Oleh karena itu jantung kanan

yang menanggung seluruh beban tambahan akibat adanya

pirau tersebut. (Hull & Johnston, 1995).

Congenital Heart Defect Page 7

Manifestasi klinis. Jarang timbul pada masa anak,

hampir semua anak yang mengalami defek septum atrium

menunjukkan adanya bising jantung. Bising sering

terdengar cukup halus dan seringkali tidak terdeteksi

hingga anak mencapai usia sekolah. Jika timbul gejala

klinis, biasanya adalah sesak napas atau kelelahan

setelah memeras tenaga atau infeksi saluran napas

berulang. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksan penunjang. Rontgen toraks

memperlihatkan adanya kardiomegali dengan pembesaran

atrium dan arteri pulmonali, serta plethora paru.

Elektrokardiogram menunjukan deviasi aksis ke kanan

(RAD), hipertrofi ventrikel kanan, dan right bundle

branch block (RBBB) pada hampir semua kasus. Diagnosis

dipastikan dengan ekokardiografi. (Hull & Johnston,

1995).

Pengobatan. Jika defek berukuran sedang atau

besar, dianjurkan penutupan dengan menggunakan

pintasan kardiopulmoner. Koreksi dilakukan dengan

penjahitan sederhana atau dengan insersi jaringan

perikardium. (Hull & Johnston, 1995).

b. Defek ostium primum

Meskipun lebih jarang dibandingkan ostium

sekundum, defek ostium primum merupakan masalah yang

lebih serius. Lubang terletak di bagian bawah septum

atrium dan merupakan akibat kegagalan perkembangan

septum primum pada kehidupan janin. Defek berada tepat

di atas katup atrioventrikel dan biasanya meluas ke

bagian insersi daun anterior katup mitral sehingga

Congenital Heart Defect Page 8

menimbulkan celah pada katup mitral dan sering terjadi

insufisiensi. Defek septum atrium ostium primum

merupakan akibat ringan dari berbagai kegagalan

perkembangan bagian sentral jantung, yaitu endocardial

cushion defect. Pada bentuk yang paling berat,defek

meluas dari septum atrium melalui katup

atrioventrikular dan menibulkan peningkatan terjadinya

pirau besar kiri ke kanan serta menyebabkan

insufisiensi mitral dan trikuspid. endocardial cushion

defect sangat sering dijumpai pada anak yang menderita

sindrom down. (Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Gagal jantung sering terjadi

pada masa bayi dan masa kanak-kanan. Tanpa tindakan

bedah, kelainan ini mempunyai angka kematian yang

tinggi. Sering timbul hipertensi pulmonal yang berat,

terutama pada sindrom down. Biasanya terdapat tanda-

tanda gagal jantung dengan kardiomegali yang nyata.

Anak yang menderita gagal jantung sering mengalami

sesak napas saat istirahat, dengan deformitas pada iga

bawah. Anak tersebut tampak kemerahan, dengan denyut

nadi normal. Secara klinis terdapat pembesaran jantung

disertai peningkatan aktivitas kedua ventrikel.

Sebagai tambahn tanda auskultasi pada defek septum

atrium, mungkin terdengar bising pansistolikapikal

yang menandakan regurgitasi mitral. (Hull & Johnston,

1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks menunjukkan

kardiomegali yang nyata, pembesaran arteri pulmonalis,

dan plethora paru. Elektrokardiogram sering menunjang

diagnotik, memperlihatkan deviasi aksis kekiri dan

Congenital Heart Defect Page 9

right bundle branch block. Kateterisasi dibutuhkan

untuk menilai ukuran pirau dan derajat insufisiensi

mitral. (Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Pembedahan dini biasanya dianjurkan

pada anak dengan defek ostium primum. Defek ditutup

dan celah pada katup mitral diperbaiki. Tindakan

pembedahan ini lebih sulit dan mempunyai risiko yang

lebih besar dibanding pembedahan pada defek ostium

sekundum. (Hull & Johnston, 1995).

1.1.2 Defek Septum Ventrikel (VSD)

Kelainan ini merupakan kelainan jantung bawaan yang

paling sering ditemukan. Sebuah defek biasanya terdapat

pada bagian membranosa septum ventrikel, berdekatan

dengan katup trikuspid, atau dibawah katup aorta. Pada

keadaan yang lebih jarang dapat ditemukan satu atau

multiple defek pada bagian muscular septum. Pada 25-30%

dari seluruh anak yang menderita defek septum ventrikel

ditemukan kelainan jantung lain. (Hull & Johnston, 1995).

a. Defek septum ventrikel kecil

Karena pirau melalui defek ini kecil, anak yang

menderita kelainan ini tidak memperlihatkan gejala

klinis. Bising jantung sering ditemukan pada

pemeriksaan rutin. Anak tampak sehat, kemerahan,

mempunyai nadi normal, dan jantung tidak membesar.

Biasanya terdapat thrill pada tepi kiri sternum bagian

bawah. Pada auskultasi terdengar bising pansistolik

yang keras pada lokasi yang sama akibat aliran darah

melalui defek. (Hull & Johnston, 1995).

Congenital Heart Defect Page 10

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks dan

elektrokardiogram biasanya normal. Kateterisasi

jantung tidak diperlukan.

Pengobatan. Pada kelainan ini terdapat risiko

terjadinya endokarditis bakterialis. Oleh karena itu,

antibiotic profilaksis perlu diberikan pada saat

ekstrasi gigi dan lain-lain. (Hull & Johnston, 1995).

b. Defek septum ventrikel sedang

Gejala biasanya timbul pada bayi, yaitu sesak

napas pada saat minum dan menangis, gagal tumbuh,

serta infeksi paru berulang. Ketika anak bertambah

usia, gejala cenderung berkurang dan mungkin hilang

sama sekali akibat penutupan defek secara relatif atau

nyata. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks

memperlihatkan kardiomegali, pembesaran arteri

pulmonalis dan plethora paru. Elektrokardiogram

menunjukkan hipertrofi biventricular karena kedua

ventrikel terlibat dalam pirau tersebut. Kateterisasi

jantung harus dilakukan jika anak tidak menunjukkan

perbaikan dengan bertambahnya usia atau jika ditemukan

hipertensi pulmonal. (Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Jika gejala menonjol, sebaiknya

diberikan diuretic. Pembesaran hendaknya dihindari

karena ada kecenderungan perbaikan spontan, kecuali

bila ada gejala yang terus menerus dan timbulnya

hipertensi pulmonal. (Hull & Johnston, 1995).

Congenital Heart Defect Page 11

c. Defek septum ventrikel besar

Jika resistensi pembuluh darah paru turun

mencapai minimal pada umur 3 bulan, pirau yang terjadi

melalui defek yang besar yang besar dan mengakibatkan

gagal jantung. Gejala sesak napas pada pemberian minum

biasanya mendahului keadaan tersebut, dan berkeringat

merupakan gejala yang sering ditemukan. Bayi mungkin

sakit berat disertai gagal jantung kongestif, dan

mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami infeksi

paru yang sering mencetuskan episode gagal jantung.

(Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks menunjukkan

kardiomegali yang nyata, arteri pulmonalis yang besar,

dan plethora paru. Elektrokardiogram memperlihatkan

hipertrofi biventricular. Ekokardiografi akan

memperlihatkan defek sedangkan kateterisasi diperlukan

untuk mengukur besar pirau dan tekanan arteri

pulmonalis. (Hull & Johnston, 1995.

Pengobatan. Pengobatan awal adalah medikamentosa.

Bayi dengan gagal jantung dirawat dalam posisi

setengah duduk. Diuretic (biasanya furosemide atau

thiazide) diberikan bersama-sama dengan suplemen

kalium atau diberikan diuretic hemat kalium seperti

spironolakton. Keberhasilan terapi dinilai dengan

penimbangan berat badan secara berkala dan pencatatan

ukuran hati. Jika gagal jantung berespons terhadap

pengobatan berat badan akan menurun dengan cepat dan

ukuran hati akan mengecil. Jika bayi tidak berespons

terhadap pengobatan, diperlukan penutupan dengan

Congenital Heart Defect Page 12

pembedahan. Pembedahan paling baik dilakukan dalam

satu tahap dengan menggunakan pintasan kardiopulmoner.

Pembedahan seperti ini pada bayi yang sakit memerlukan

keterampilan medis dan bedah yang paling baik. Cara

pembedahan alternatif adalah menempatkan pita pengerut

disekitar basal arteri pulmonalis yang mengurangi

besar pirau. Pembedahan kedua diperlukan untuk

mengangkat pita dan menutup defek. (Hull & Johnston,

1995).

1.1.3 Duktus Arteriosus Persisten

Duktus arteriosus persisten merupakan kelainan

jantung bawaan yang sering dijumpai, baik sebagai

kelainan tunggal ataupun sebagai kombinasi jantung yang

lain. Kelainan ini terutama sering dijumpai pada

perempuan, pada anak dari ibu yang menderita rubella saat

kehamilan trimester pertama dan pada bayi yang dilahirkan

premature. Dalam kehidupan janin, duktus arteriosus yang

merupakan pembuluh darah besar berotot, mengalirkan darah

dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis ke aorta.

Dalam 24 jam pertama setelah lahir, duktus akan menutup

sebagai respons terhadap darah yang teroksigenisasi.

Duktus arteriosus persisten tidak mungkin menutup spontan

setelah beberapa hari kehidupan, namun pada bayi

premature penutupan spontan dalam 3bulan pertama

kehidupan masih mungkin terjadi. Saat resistensi pembuluh

darah pulmonalis menurun setelah lahir, terjadi pirau

kiri ke kanan dari aorta ke arteri pulmonalis melalui

Congenital Heart Defect Page 13

duktus (berlawanan arah dengan aliran darah pada

kehidupan janin). (Hull & Johnston, 1995).

a. Duktus arteriosus persisten kecil

Anak dengan kelainan ini bebas keluhan. Bising

jantung dapat dideteksi pada pemeriksaan rutin atau

sacara kebetulan. Bayi tampak kemerahan dengan nadi

normal. Pada auskultasi terdengar bising kontinu yang

keras dengan punktum maksimum di bawah klavikula kiri.

Bising menyebar dari fase sistolik ke diastolic karena

tekanan arteri pulmonalis lebih rendah dari pada di

aorta sepanjang siklus jantung. Bising tersebut

mempunyai kualitas machinery kasar. (Hull & Johnston,

1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen dada dan

elektrokardiogram normal. Ekokardiografi dengan

Doppler memperlihatkan duktus terebut.

Pengobatan. Tindakan ligasi dianjurkan karena

risiko endokarditis bakteriali. Pembedahan itu sendiri

mempunyai risiko yang amat kecil.

b. Duktus arteriosus persisten besar

Beratnya keluhan berhubungan dengan besarnya

pirau. Anak mungkin kurang gizi dengan penurunan

toleransi terhadap latihan dan peningktan risiko

infeksi paru. Pada keadaan ektrem lain, gagal jantung

yang berat dapat terjadi pada masa bayi. Pada

pemeriksaan anak tampak kecil dan kurus. Peningkatan

frekuensi pernapasan sering dijumpai. Tidak ada

sianosis tetapi nadi mudah diraba, bersifat penuh danCongenital Heart Defect Page 14

kolaps. Tekanan darah diastolik adalah rendah dan

tekanan nadi lebar. Jantung membesar secara klinis

dengan pembesaran ventrikel kiri secara menonjol dan

terdapat thrill sistolik pada daerah pulmonalis. Pada

auskultasi terdengar bising sistolik kasar yang meluas

melampaui bunyi jantung dua hingga fase diastolik

dini. Panjang bising tergantung pada tekanan arteri

pulmonalis. Tekanan ini tinggi bila terdapat pirau

yang besar sehingga darah hanya mengalir dari kiri ke

kanan selama fase sistolik. Bunyi jantung dua komponen

pulmonal terdengar keras. Bising mid-diastolik mitral

mungkin terdengar. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks menunjukkan

gambaran ke pirau kiri ke kanan. Elektrokardiogram

memperlihatkan hipertrofi ventrikel kiri. Diagnosis

dikonfirmasi dengan menggunakan ekokardiografi. (Hull

& Johnston, 1995).

Pengobatan Jika terjadi gagal jantung,

diperlukan terapi medikamentosa. Pembedahan harus

dilakukan segera setelah kondisi anak memungkinkan.

(Hull & Johnston, 1995).

1.1.4 Hipertensi Pulmonal

Suatu pirau kiri ke kanan yang besar dengan aliran

darah pulmonalis yang besar akan menimbulkan peningkatan

tekanan arteri pulmonali secara nyata karena peningkatan

aliran (hipertensi pulmonal hiperdinamis). Setelah

penutupan defek melalui pembedahan, tekanan arteri

pulmonali kembali normal. Aliran arteri pulmonalis yang

tetap tinggi dapat mengakibatkan kerusakan permanen

Congenital Heart Defect Page 15

pembuluh darah paru lebih kecil sehingga dapat terjadi

penyempitan dan hiperteni pulmonal ireveribel. Jika pada

keadaan tersebut defek ditutup, tekanan arteri

pulmoanalis tetap tinggi. Jika tekanan arteri pulmonalis

mencapai tekanan sistemis, pirau kiri ke kanan berhenti

dan mungkin akan berbalik. (Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Anak memperlihatkan sianosis

ringan dengan jari tabuh, tetapi dapat tampak normal.

Namun, toleransi latihan biasanya sangat menurun. Pada

pemeriksaan ditemukan pembesaran ventrikel kanan dan

heaving, dan bunyi jantung dua komponen pulmonal dapat

teraba. Pada aukultasi biasanya terdengar bising sistolik

ejeksi pada daerah pulmonal akibat aliran darah melalui

arteri pulmonalis yang besar, tidak melalui pirau, dan

kadang-kadang terdengar bising diastolic dini yang

menandakan adanya insufisiensi pulmonal. Komponen

pulmonal bunyi jantung dua terdengar amat keras. (Hull &

Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks menunjukkan

pembesaran jantung dengan pembesaran atrium kanan. Ukuran

arteri pulmonalis amat meningkat tetapi cabang yang lebih

kecil tidak terlihat. Elektrokardiogram memperlihatkan

deviasi akis ke kanan, hipertrofi atrium kanan, dan

hipertrofi ventrikel kanan. (Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Kateterisasi jantung dibutuhkan untuk

memperlihatkan lokasi pirau dan mengukur tekanan arteri

pulmonalis. Terjadinya hipertensi pulmonal yang berat dan

ireversibel merupakan akibat pirau kiri ke kanan yang

besar disebut sindrom eisenmenger. Meskipun pada mulanya

istilah tersebut dihubungkan dengan defek septum

Congenital Heart Defect Page 16

ventrikel, hal itu dapat terjadi pada pirau kiri ke kanan

pada setiap lokasi. Keadaan ini mungkin sekali untuk

terjadi pada kasus defek septum ventrikel yang besar,

defek kanal atrioventrikular dan transposisi arteri

dengan pirau yang besar. Tidak ada koreksi pembedahan

yang dapat dilakukan, dan harapan hidup angka yng

menderita berkurang. Transplantasi jantung paru mungkin

merupakan pilihan bagi penderita tersebut. (Hull &

Johnston, 1995).

1.1.5 Stenosis Aorta

Kelainan ini merupakan penyakit bawaan yang sering

dijumpai dapat merupakan kelainan tunggal ataupun dalam

kombinasi dengan kelainan jantung yang lain. Pada

sebagian besar kasus katup aorta itu sendiri menyempitan

akibat deformitas congenital. Katup yang mengalami

deformitas mungkin berbentuk bikuspid dari pada trikuspid

dan daun katup sering menempel pada tepinya. Derajat

stenosis mungkin memburuk saat anak bertambah usia yang

dikarenakan penebalan dan klasifikasi daun katup. Katup

aorta bikuspid mungkin dapat membuka secara normal pada

masa anak, tetapi akan menebal dan menyempitan pada masa

dewasa. Jika katup aorta sangat menyempit dan kaku,

sering dijumpai pula insufisiensi aorta. (Hull &

Johnston, 1995).

Kadangkala obstruksi aorta dapat terjadi di atas

ataupun di bawah katup aorta. Pada stenosis

supravalvular, aorta asendens di atas katup menyempit.

Hal ini sering dihubungkan dengan tampilan wajah yang

tidak biasa, cacat mental dan hiperkalsemia pada masa

Congenital Heart Defect Page 17

bayi (sindrom william). Pada stenosis aorta subvalvuler,

mungkin terdapat diafragma fibrosa di bawah katup yang

menghambat aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta,

atau mungkin terdapat hipertrofi ventrikel dan septum

interventrikuler yang berlebihan yang menghambat saluran

keluar ventrikel kiri selama sistolik yang disebut

kardiomiopati obstruktif hipertrofik. (Hull & Johnston,

1995).

Manifestasi klinis. Stenosis aorta berat menimbulkan

gagal jantung pada masa bayi. Pada sebagian besar kasus,

bising jantung ditemukan pada pemeriksaan rutin. Sebagian

kecil dari anak-anak besar yang mengalami stenosis aorta

berat dapat mengeluh pusing atau pening saat olahraga,

serta penurunan kesadaran. Hal ini merupakan indikasi

untuk pengobatan segera. Endokarditis, bakterialis

merupakan komplikasi stenosis aorta yang tidak tergantung

pada beratnya penyakit. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks mungkin

menunjukkan pembesaran ventrikel kiri dengan dilatasi

aorta desenden post-stenosis. Elektrokardiogram

memperlihatkan hipertrofi ventrikel kiri dalam derajat

yang bervariasi tergantung pada beratnya stenois.

Gradient katup aorta dapat diukur dengan ultrasonografi.

(Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Jika ekokardiografi memperlihatkan

gradient katup aorta lebih dari 40 mmHg, diperlukan

katerisasi jantung untuk mengonfirmasi temuan tersebut.

Tenoi dapat dihilangkan dengan valvuloplasti balon dengan

ujung kateter melewati katup aorta dari arteri femoralis,

balon dikembangkan untuk melebarkan katup yang stenosis.

Congenital Heart Defect Page 18

Jika hal ini tidak berhasil atau stenosis aorta berat,

diperlukan valvotomi aorta terbuka. Stenosis dan

insufisiensi residual sering dijumpai, tetapi penggantian

katup aorta harus dihindari sedapat mungkin sampai

pertumbuhan anak berhenti. Stenosis aorta merupakan suatu

kelainan jantung bawaan yang memerlukan pembatasan

aktivitas berat karena terdapat risiko kematian mendadak.

Pencegahan endokarditis bakterialis merupakan hal yang

penting. (Hull & Johnston, 1995).

1.1.6 Stenosis Pulmonal

Pada keadaan ini, katup pulmonal mengalami

deformitas bawaan. Katup mengalami penebalan dan

menyempit. Ventrikel kanan mengalami hipertrofi sebagai

kompensasi adanya obstruksi. Saluran keluar ventrikel

kanan yang muscular, yaitu infundibulum, juga mengalami

hipertrofi dan ini akan meningkatkan derajat obstruksi.

(Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Jika terdapat stenosis yang

berat, bayi akan memperlihatkan gagal jantung kanan.

Sianosis mungkin tampak, akibat pirau darah dari kanan ke

kiri melalui foramen ovale. Pada kasus ringan dan sedang,

bising jantung terdengar pada pemeriksaan rutin. Gejala

jarang dijumpai pada masa kanak-kanak. Namun pada kasus

stenosis sedang, disfungsi ventrikel kanan dan aritmia

mungkin terjadi pada masa dewasa. (Hull & Johnston,

1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks menunjukan

dilatasi arteri pulmonalis post-stenosis. Atrium kanan

dan ventrikel kanan membesar pada kasus yang berat.

Congenital Heart Defect Page 19

Elektrokardiogram memperlihatkan deviasi aksis ke kanan

(RAD), hipertrofi atrium kanan dan hipertrofi ventrikel

kanan dalam derajat yang bervariasi, tergantung pada

derajat stenosis. Gradient katup pulmonal diukur dengan

ultrasonografi Doppler. (Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Jika gradient Doppler melewati katup

lebih dari 40-50 mmHg, dilakukan kateterisasi jantung

dengan valvuloplasti balon. Tindakan ini mempunyai

keberhasilan yang tinggi penyempitan dikurangi sampai 75

persen atau lebih dan penyempitan biasanya tidak rekuren.

(Hull & Johnston, 1995).

1.1.7 Koarktasio Aorta

Koarktasio aorta merupakan penyempitan local aorta

desendens, dekat lokasi duktus arteriosus dan biasanya

sebelah distal arteri subklavia kiri. Darah arteri

memintas daerah obtruksi dan mencapai bagian bawah tubuh

melalui pembuluh darah kolateral yang sangat membesar.

Ventrikel kiri mengalami hipertrofi sebagai kompensasi

adanya obstruksi dan dapat terjadi gagal jantung. Tekanan

darah sistolik pada bagian atas tubuh biasanya meningkat.

(Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Jika terjadi penyempitan berat,

dapat timbul gagal jantung dalam beberapa hari atau

beberapa minggu pertama kehidupan. Namun pada sebagian

besar kasus, diagnosis dibuat pada pemeriksaan rutin

ataupun secara kebetulan, yaitu dengan terdengarnya

bising atau tidak terabanya nadi femoralis ataupun karena

ditemukannya hipertensi. Kadang-kadang dapat terjadi

Congenital Heart Defect Page 20

komplikasi seperti perdarahan subaraknoid akibat pecahnya

aneurisma intracranial atau endarteritis bakterialis pada

anak ataupun dewasa. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks mungkin

menunjukan pembesaran ventrikel kiri. Pada anak yang

lebih besar dapat terlihat lekukan iga tempat arteri

interkostal yang membesar telah mengerosi sisi bawah iga.

Elektrokardiogram mungkin memperlihatkan hipertrofi

ventrikel kiri (LVH). (Hull & Johnston, 1995).

Pengobatan. Pembedahan dianjurkan untuk semua kasus

kecuali kasus yang amat ringan. Pembedahan sebaiknya

dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan. Segmen

aorta yang menyempit direseksi dan kedua ujung disambung

kembali. Pada bayi, bagian proksimal arteri subklavia

kiri dapat digunakan memperbaiki aorta setelah eksisi

bagian yang menyempit. Pembedahan dini lebih efektif

dalam mengatasi hipertensi secara permanen, tetapi karena

anak bertumbuh, terdapat risiko penyempitan kembali pada

lokasi koartasio yang akan memerlukan pembedahan lanjut.

(Hull & Johnston, 1995).

1.2 Penyakit Jantung Kongenital Sianotik

1.2.1 Tetralogi Fallot

Dua gejala utama kelainan ini adalah defek septum

ventrikel yang besar dan biasanya berlokasi disebelah

atas pada bagian membranosa septum dibawah katup aorta,

serta stenosis katup pulmonal atau infundibulum. Oleh

karena itu terdapat resistensi terhadap aliran darah

melalui katup pulmonal sehingga terjadi pirau darah dari

ventrikel kanan ke ventrikel kiri kemudian ke aorta. Pada

Congenital Heart Defect Page 21

kenyataannya, karena defek septum berada tepat dibawah

katup aorta, aorta tampak meluas sehingga berhubungan

dengan ventrikel kanan dan terjadi pirau langsung dari

ventrikel kanan ke aorta. Stenosis pulmonal atau

infundibulum menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan.

Overriding aorta, hipertrofi ventrikel kanan, dalam

kombinasi dengan defek septum ventrikel dan stenosis

pulmonal membentuk tetralogi yang dilaporkan pertama kali

oleh fallot. Arteri pulmonalis utama berukuran kecil dan

arteri tersebut mungkin tidak paten pada kasus yang

paling berat (atresia pulmonal dengan defek septum

ventrikel). (Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Anak yang menderita tetralogi

fallot biasanya tampak kemerahan pada masa neonatus,

meskipun mungkin terdengar bising jantung akibat aliran

darah melalui infundibulum atau katup pulmonal yang

menyempit. Sianosis timbul dan bertambah berat setelah

beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian. Kadangkala

bayi mungkin terlihat kemerahan saat istirahat dan hanya

terlihat sianosis pada saat memeras tenaga seperti saat

menangis atau minum susu. Bayi yang menderita tetralogi

fallot hampir sepanjang waktu tampak relative sehat,

namun rentan terhadap serangan yaitu saat bayi menjadi

amat sianosis dan pucat serta seringkali disertai

penurunan kesadaran. Serangan demikian terjadi karena

penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, sehingga

meningkatkan pirau kanan ke kiri dan mencegah darah

mengalir ke paru-paru. Gagal jantung amat jarang terjadi

pada tetralogi fallot tetapi komplikasi tromboemboli

Congenital Heart Defect Page 22

akibat polisitemia, endokarditis bakterialis dan abses

serebri dapat terjadi. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks memperlihatkan

besar jantung yang normal dengan apeks diatas diafragma

kiri, tetapi pinggir jantung kiri berbentuk konkaf karena

arteri pulmonalis utama berukuran kecil. Diagnosis

ditegakkan dengan ekokardiografi. (Hull & Johnston,

1995).

Pengobatan. Pengobatan pada semua kasus tetralogi

fallot yaitu dengan pembedahan. Pembedahan pirau adalah

pembuatan komunikasi antara sirkulasi sistemik dan

pulmonalis. Jenis yang paling sering dikerjakan adalah

modifikasi prosedur blalock. Dalam prosedur tersebut ,

suatu pipa goretex digunakan untuk menghubungkan arteri

subklavia dan arteri pulmonalis pada sisi kiri atau sisi

kanan. Setelah berumur satu tahun, koreksi total

dilakukan dengan menggunakan pintasan kasrdiopulmonar-

lubang ditutup dan katup pulmonalis serta infundibulum

dilebarkan. (Hull & Johnston, 1995).

1.2.2 Transposisi Arteri Besar

Pada kelainan jantung ini, aorta dan arteri pulmonal

mengalami transposisi sehingga aorta keluar dari

ventrikel kanan dan arteri pulmonalis keluar dari

ventrikel kiri. Hal ini berarti ada dua sirkulasi

terpisah yaitu sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik

yang bekerja secara parallel. Tentu saja hal ini tidak

cocok dengan kehidupan, karena tidak sesuai denga fakta

bahwa seharusnya ada percampuran antara kedua sirkulasi.

Dalam kehidupan janin, bayi tersebut tidak mengalami

Congenital Heart Defect Page 23

kesulitan karena aliran darah pulmonal sangat kecil.

Tetapi karena duktus arteriosus dan foramen ovale mulai

menutup setelah lahir, terjadilah sianosis yang

progresif. Beratnya gejala tergantung pada derajat

percampuran kedua sirkulasi melalui saluran fetal

tersebut. Pada beberapa kasus dapat timbul defek septum

ventrikel yang besar atau duktus arteriosus paten yang

besar. Pada kasus tersebut terdapat suatu aliran darah

pulmonal yang tinggi dan hanya terdapat sianosis yang

ringan. Tetapi pada bentuk yang ringan, sianosis

progresif timbul pada jam-jam pertama atau hari-hari

pertama setelah lahir. Tanpa pengobatan hanya sedikit

anak yang dapat bertahan hidup dalam tahun pertama

kehidupan. (Hull & Johnston, 1995).

Manifestasi klinis. Sianosis progresif timbul dalam

beberapa jam pertama atau beberapa hari pertama

kehidupan. Bayi yang menderita kelainan ini menjadi

sangat biru dan asidosis. Selanjutnya dapat terjadi gagal

napas dan gagal jantung. (Hull & Johnston, 1995).

Pemeriksaan penunjang. Rontgen toraks biasanya khas.

Jantung sedikit membesar dan dikatakan tampak seperti

sebuah telur yang berbaring pada satu sisinya. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan ekokardiografi.

Pengobatan. Sebuah pintas antara sirkulasi sistemik

dan sirkulasi pulmonal diperlukan dengan segera. Pintas

tersebut dibuat dengan cara ballon atrial septostomy

(prosedur rashkind). Sebuah kateter khusus berlumen ganda

dimasukkan lewat vena cava inferior, atrium kanan dan

foramen ovale menuju ke dalam atrium kiri. Balon dekat

ujung kateter dikembungkan dengan medium kontras,

Congenital Heart Defect Page 24

kemudian kateter dan balon ditarik kembali dengan keras

melalui septum atrium, sehingga merobek septum atrium dan

membuat defek septum yang besar. Hal ini memungkinkan

percampuran darah dan mengurangi sianosis. Operasi

koreksi definitive merupakan suatu perbaikan anatomi,

yaitu dengan mengganti arteri pulmonalis dan aorta ke

ventrikel yang seharusnya. Hal ini biasanya dilakukan

pada minggu pertama atau minggu kedua kehidupan. (Hull &

Johnston,1995)

C. PATOFISIOLOGI1. Defek Septum Atrium (ASD)

Penyakit ini terjadi karena tekanan atrium kiri lebih

besar dari atrium kanan. Hal ini disebabkan karena atrium

kanan kurang berotot dan lebih mudah terisi darah dibanding

atrium kiri. Kemudian darah akan mengalir dari atrium kiri

ke atrium kanan melalui defek tersebut. Hal ini menyebabkan

2 hal yang berbeda yaitu pada ventrikel kanan terjadi

peningkatan volume sehingga aliran darah ke paru meningkat

dan terjadi peningkatan tekanan paru. Kemudian volume paru

menurun yang ditandai dengan bising jantung pada saat

dilakukan auskultasi dan juga bayi mengalami sesak napas

atau kelelahan setelah memeras tenaga untuk menangis atau

setelah melakukan aktivitas lainnya. (Behrman, Kliegman,

Arvin, 2000).

2. Defek Septum Ventrikel (VSD)

Penyakit ini terjadi karena tekanan ventrikel kiri

lebih besar dari ventrikel kanan. Kemudian terjadi pirau

ventrikel kiri ke kanan sehingga volume ventrikel kanan

Congenital Heart Defect Page 25

meningkat dan aliran darah ke paru meningkat sehingga

terjadi peningkatan tekanan paru. Kemudian volume paru

menurun yang ditandai dengan bising jantung pada saat

dilakukan auskultasi dan juga bayi mengalami sesak napas

atau kelelahan setelah memeras tenaga untuk menangis atau

setelah melakukan aktivitas lainnya. (Behrman, Kliegman,

Arvin, 2000).

3. Duktus Arterious Persisten

Penyakit ini terjadi pada anak dari ibu yang menderita

rubella saat kehamilan trimester pertama dan pada bayi yang

dilahirkan premature. duktus arteriosus yang merupakan

pembuluh darah besar berotot, mengalirkan darah dari

ventrikel kanan dan arteri pulmonalis ke aorta. Dalam 24 jam

pertama setelah lahir, duktus akan menutup sebagai respons

terhadap darah yang teroksigenisasi. Duktus arteriosus

persisten tidak mungkin menutup spontan setelah beberapa

hari kehidupan, namun pada bayi premature penutupan spontan

dalam 3 bulan pertama kehidupan masih mungkin terjadi. Saat

resistensi pembuluh darah pulmonalis menurun setelah lahir,

terjadi pirau kiri ke kanan dari aorta ke arteri pulmonalis

melalui duktus (berlawanan arah dengan aliran darah pada

kehidupan janin). Pada DAP kecil sering ditemukan gejala

bising jantung, bayi kemerahan, dan gangguan difusi paru.

(Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).

4. Hipertensi pulmonal.

Penyakit ini terjadi karena pirau kiri ke kanan yang

besar dengan aliran darah arteri pulmonalis yang besar akan

menimbulkan peningkatan tekanan arteri pulmonali. Sehingga

Congenital Heart Defect Page 26

mengakibatkan terjadinya defek/ lubang. Hal ini mengharuskan

pembedahan penutupan defek. Setelah pembedahan tekanan

arteri pulmonali dapat kembali normal. Namun dapat juga

menyebabkan arteri pulmonalis tetap tinggi yang

mengakibatkan kerusakan permanen pembuluh darah paru lebih

kecil sehingga dapat terjadi penyempitan dan hiperteni

pulmonal ireveribel. Jika pada keadaan tersebut defek

ditutup lagi, tekanan arteri pulmoanalis tetap tinggi. Jika

tekanan arteri pulmonalis mencapai tekanan sistemis, pirau

kiri ke kanan berhenti dan mungkin akan berbalik. (Behrman,

Kliegman, Arvin, 2000).

5. Stenosis Aorta

Penyakit ini terjadi karena ventrikel kiri meningkat

sehingga kerja ventrikel kiri jadi meningkat. Sehingga

terjadi hipetrofi ventrikel kiri dan peningkatan volume

atrium kiri. Kemudian tekanan atrium meningkat sehingga

terjadi hipertrofi atrium kiri dan penutupan daya

kontraktilitas ventrikel kiri. Darah reflak ke vena pulmonal

kemudian terjadi peningkatan cairan diparu. Sehingga

menyebabkan anak sesak napas dan terdapat bising jantung

saat dilakukan auskultasi. Ini memngindikasikan terjadinya

gangguan difusi diparu. (Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).

6. Stenosis Pulmonal

Penyakit ini terjadi karena volume ventrikel kanan

meningkat sehingga kerja jantung meningkat. Sehingga terjadi

hipetrofi ventrikel kanan dan peningkatan tekanan atrium

kiri. Kemudian terjadi peningkatan permeabilitas vena cava

sehingga cairan intravaskuler berkurang dan kardiak output

Congenital Heart Defect Page 27

turun. Sehingga menyebabkan anak sianosis dan terdapat

bising jantung saat dilakukan auskultasi. Dan anak terlihat

pucat pada ekstremitasnya. (Behrman, Kliegman, Arvin,

2000).

7. Koarktasio Aorta

Penyakit ini terjadi karena penyempitan lokal aorta

desendens, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri

sebagai kompensasi adanya obstruksi (penyempitan) dan dapat

terjadi gagal jantung dan peningkatan tekanan darah

sistolik. Sehingga terdapat bising jantung saat dilakukan

auskultasi, serta tidak terabanya nadi femoralis. (Behrman,

Kliegman, Arvin, 2000).

8. Tetralogi fallot

Penyakit ini disebabkan oleh paparan faktor endogen dan

eksogen selama kehamilan trimester I-II. Stenosis pulmonal

menyebabkan terjadinya obstruksi berat sehingga aliran darah

paru menurun dan obstruksi aliran darah keluar ventrikel

kanan. Selanjutnya terjadi penurunan oksigen dalam darah,

hipertrofi ventrikel kanan, dan peningkatan aliran darah

aorta. Defek septum ventrikel menyebabkan tekanan sistolik

puncak ventrikel kanan ke kiri dan pirau kanan ke kiri.

(Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).

9. Transposisi arteri besar

Pada kelainan jantung ini, aorta dan arteri pulmonal

mengalami transposisi sehingga aorta keluar dari ventrikel

kanan dan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri.

Sehingga terjadi dua sirkulasi terpisah yaitu sirkulasi

Congenital Heart Defect Page 28

pulmonal dan sirkulasi sistemik yang bekerja secara

parallel. Hal ini menyebabkan aliran darah pulmonal menjadi

sangat kecil. Bayi mengalami sianosis ringan yang ditandai

dengan pucat pada ekstremitasnya. (Behrman, Kliegman, Arvin,

2000).

D. PATHWAY

1. Pathway Defek Septum Atrium

Congenital Heart Defect Page 29

Tekanan atrium kiri > atrium

Darah mengalir dari atriumkiri ke kanan melalui defek

Aliran darah ke paru

Volume atrium kiriVolume ventrikel kanan

Volume ventrikel kiri

Kardiak output menurun

Hipoksia

Peningkatan tekanan paru

Suplai darah ke jaringan

Sianosis

-Bising jantung- sesak napas/dispnea

Volume paru menurun

Pucat pada ekstremitas

- Rontgen toraks-

Pembedahan

Gangguan difusi diparu

gangguan pertukaran gasResiko penurunan perfusi

jaringan

Gangguan ventilasi-

2. Pathway Defek Septum Ventrikel

Congenital Heart Defect Page 30

Tekanan ventrikel kiri >

Pirau ventrikel kirikanan

Aliran darah ke paru

Volume ventrikel kanan

Peningkatan tekanan paru

Volume paru menurun

- Bising jantung- Sesak

3. Pathway Duktus Arterious Persisten

Congenital Heart Defect Page 31

Rubella saat kehamilantrimester 1

DAP mengalirkan darah dari ventrikelkanan dan arteri pulmonalis ke aorta

DAP tidak menutup setelah lahir

Resistensi pembuluhdarah pulmonalis menurun

Terjadi pirau kiri ke kanan dari aortake arteri pulmonalis melalui duktus

DAP kecil

Gangguan difusi paru

Gangguan pertukaran gas

DSV kecil-Rontgen toraks

DSV sedang-Katetensasi jantung

DSV besar- Rontgen toraks- EKG

Antibiotikprofilaksis

Diuretik-Medikamentosa-Diuretik-Pembedahan

Gangguan ventilasi-

4.Pathway Hipertensi pulmonal

Congenital Heart Defect Page 32

Hipertensi pulmonal

Pirau kiri ke kanan yangbesar

Aliran darah arteripulmonalis yang besar

Peningkatan tekanan

Kerusakan permanenpembuluh darah

Penyempitan dan

DAP kecil

DAP besar

- Rontgentoraks

Pembedahan

-Rontgen thoraks-

Elektrokardiogram

Gagal jantung

Gangguanpertukaran gas

Intoleransiaktivitas

Terapimedikamentosa

Pembedahan

Gangguanventilasi-

Suplai 02 ke jaringan tubuh terganggu

Congenital Heart Defect Page 33

Peningkatan tekanan Penyempitan dan

Pembesaran jantung

Resiko penurunanperfusi jaringan

- Rontgen thoraks- Elektrokardiogram

- Kateterisasi

Transplantasi jantung paru

Suplai O2 terganggu

Hipoksia

5.Pathway Stenosis Aorta 6. Pathway

Stenosis Pulmonal

6.

Congenital Heart Defect Page 34

Stenosisaorta

Volume ventrikel kirimeningkat

Kerja ventrikel kirimeningkat

Hipertrofi ventrikelkiri

Daerah reflak ke atriumkiri

Peningkatan volume atrium kiri

Tekanan atriummeningkat

hipertrofi atrium kiri

Penurunan dayakontraliktitas

Daerah reflak ke venapulmonal

Peningkatan cairan diparu

-sesak napas-bising jantung

Gangguan difusi paru

Hipertrofi ventrikelkanan

Kerja jantung meningkat

Volume ventrikel kananmeningkat

Stenosis pulmonal

Daerah reflak ke atriumkanan

Peningkatanpermeabilitas vena cava

Daerah reflak ke venacava

Peningkatan tekananatrium kanan

Cairan intravaskuler

Suplai darah ke jaringanmenurun

Kardiak output turun

hipoksia

sianosis

Kardiomegali

7. Pathway Koarktasio Aorta

Congenital Heart Defect Page 35

Koarktasio Aorta

Penyempitan lokalaorta desendens

Obsturksi

Hipertrofi ventrikelkiri

Gagal jantung

Peningkatan Tekanandarah sistolik

- Bising Jantung- Tidak terabanya nadi femoralis- Hipertensi

- Rontgen toraks- EKG

Pembedahan

gangguan pertukaran gas

- rontgen toraks-elektrokardiogram

Kateterisasi jantung

Resiko penurunan perfusijaringan

-Rontgen toraks-elektrokardiogram

- Kateterisasi jantung- Elektrokardiogram

Gangguan ventilasi-perfusi

Pucat pada ekstremitas

Keletihan

Pola nafas tidak efektif

8. Pathway Tetralogi Fallot

Congenital Heart Defect Page 36

Tetralogi

Terpapar faktor endogen &oksigen

selama kehamilan

Defek septumStenosis Overriding

Aliran darah paru

O2 dalam darah

Obstruksialiran darah

keluar

Hipertrofiventrikel

Alirandarah

Tekanan sistolikpuncak ventrikel

Pirau kanan-kiri

Percampuran darahkaya O2 dengan CO2

9. Pathway Transposisi Arteri Besar

Congenital Heart Defect Page 37

Transposisi

Transposisi aorta Arteri pulmonal

Keluar dariventrikel kanan

Keluar dariventrikel kiri

Hipoksemia

Sesak

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Resiko penurunan perfusijaringan

sianos

Pucat pada ekstremitas

Kelemahantubuh

Bayi cepatlelah jikamenyusui,

-Rontgen toraks -ekokardiografi

Pembedahan

Kebutuhanbiologis

Intoleransiaktivitas

E. Nursing Care Plan

1. Defek Septum Atrium

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: - Peningkatan tekanan paru Ganguan Ganguan

Congenital Heart Defect Page 38

Sirkulasisistemik

Sirkulasipulmonal

Aliran darahpulmonal sangat

Komplikasi

-Defek septum ventrikel besar-Duktus arterious

Hipoksemia

Siagnosis

Resiko penurunan perfusijaringan

-Rontgen toraks-ekokardiografi

Pembedahan

DO:- Sesak napas- Bising jantung

Vol. paru menurun

- bising jantung- sesak napas/dispnea

Gangguan difusi paru

Gangguan Ventilasi- perfusi

Gangguan pertukan gas

pertukaran gas pertukaran gasberhubungan dengan Ventilasi- perfusi

2 DS:-DO:- Hipoksia- Siagnosis- Pucat pada ektremitas

Suplai darah ke jaringan tubuhmenurun

Hipoksia

Siagnosis

Pucat pada ektremitas

Resiko Penurunan perfusi jaringan

Resiko penurunanperfusi jaringan

Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia.

2. Defek septum ventrikel

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- Sesak napas- Bising jantung

Peningkatan tekanan paru

Vol. paru menurun

- bising jantung- sesak napas/dispnea

Gangguan difusi paru

Gangguan Ventilasi- perfusi

Ganguan pertukaran gas

Ganguan pertukaran gasberhubungan dengan Ventilasi- perfusi

Congenital Heart Defect Page 39

Gangguan pertukaran gas

3. Duktus Arteriosus Persisten

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- bising jantung- bayi kemerahan

DAP kecil

- bising jantung- bayi kemerahan

Gangguan difusi

Gangguan Ventilasi- perfusi

Gangguan pertukan gas

Ganguan pertukaran gas

Ganguan pertukaran gasberhubungan dengan Ventilasi- perfusi

2 DS:-DO:- klien lemah- BB menurun

DAP besar

Gagal jantung

Suplai O2 ke jaringan tubuh terganggu

Intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

4. Hipertensi Pulmonal

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis

Congenital Heart Defect Page 40

1 DS: -DO:- Siagnosis

Tekanan arteri pulmonal tetaptinggi

Pirau kiri ke kanan berhenti

Pembesaran jantung

Suplai O2 terganggu

Hipoksia

Resiko penurunan perfusi jaringan

Resiko penurunanperfusi jaringan

Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia.

5. Stenosis Aorta

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- sesak napas- bising jantung

Peningkatan cairan di paru

- Sesak napas- Bising jantung

Gangguan difusiparu

Gangguan Ventilasi- perfusi

Gangguan pertukangas

Ganguan pertukaran gas

Ganguan pertukaran gasberhubungan dengan Ventilasi- perfusi

6. Stenosis pulmonal

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- sesak napas- bising jantung

Suplai darah ke jaringanmenurun

Hipoksia

Resiko penurunanperfusi jaringan

Resiko penurunan perfusi jaringan

Congenital Heart Defect Page 41

Siagnosis

Pucat pada ektremitas

Resiko Penurunan perfusijaringan

Gangguan pertukangas

berhubungan dengan hipoksia

7. Koarktasio Aorta

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:Hipertrofi ventrikel kiri

Gagal jantung

Keletihan

Pola nafas tidakefektif

Pola nafas tidakefektif

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan keletihan

8. Tetralogy fallot

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- Sesak napas- klien tampak lemah

Hipoksemia

Sesak napas

Kelemahan tubuh

bayi cepat lelah jika menyusu

kebutuhan biologis terganggu

ketidakseimbangan nutrisikurang dari

kebutuhan tubuh

gangguan nutrisikurang darikebutuhan tubuh

Ketidakseimbangan nutrisi kurang darikebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis

Congenital Heart Defect Page 42

2 DS:-DO:- Sesak napas- klien tampak lemah

Hipoksemia

Sesak napas

Kelemahan tubuh

Intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

3 DS:DO:- siagnosis

Hipoksemia

Siagnosis

Pucat pada ektremitas

Resiko Penurunan perfusijaringan

Resiko Penurunanperfusi jaringan

Resiko Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksemia.

9. Transposisi arteri besar

No Data Etiology (pathway) Problem Diagnosis1 DS: -

DO:- siagnosis-

A liran darah pulmonal yang kecil

Hipoksemia

Siagnosis

Resiko Penurunan perfusi jaringan

Resiko Penurunanperfusi jaringan

Resiko Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksemia

Intervensi

1. Defek Septum Atrium

Diagnosis:

Congenital Heart Defect Page 43

1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan Ventilasi- perfusi.

2. Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia

(Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Mendemontrasikan

peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang

adekuat.

Mendemonstrasikan batuk

efektif dan suara nafas

yang bersih, tidak ada

dyspnue (mampu

mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan

mudah).

Tanda-tanda vital dalam

rentang normal.

Posisikan pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi.

Identifikasi

pasien perlunya

pemasangan alat

jalan nafas

buatan.

Auskultasi suara

nafas, catat

adanya suara

tambahan.

Monitor pola nafas

: bradipena,

takipenia,

hiperventilasi.

Auskultasi suaru

paru setelah

tindakan untuk

mengetahui

hasilnya.

Agar memudahkan

pernafasan

Memaksimalkan

bernafas pasien.

Bunyi nafas menurun

atau tidak bila

jalan nafas

obstruksi sekunder

terhadap

perdarahan.

Untuk mengetahui

gangguan yang

terjadi pada system

pernapasan pasien.

2 Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

Congenital Heart Defect Page 44

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

disritma jantung.

Monitor abdomen

sebagai indicator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

menandakan gagal

jantung.

tindakan

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

2. Defek septum ventrikel

Diagnosis:

1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan Ventilasi- perfusi.

2. Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia

(Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Mendemontrasikan

peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang

adekuat.

Mendemonstrasikan batuk

efektif dan suara nafas

yang bersih, tidak ada

dyspnue (mampu

mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan

mudah).

Tanda-tanda vital dalam

rentang normal.

Posisikan pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi.

Identifikasi

pasien perlunya

pemasangan alat

jalan nafas

buatan.

Auskultasi suara

nafas, catat

adanya suara

Agar memudahkan

pernafasan

Memaksimalkan

bernafas pasien.

Bunyi nafas menurun

atau tidak bila

jalan nafas

obstruksi sekunder

terhadap

perdarahan.

Untuk mengetahui

gangguan yang

terjadi pada systemCongenital Heart Defect Page 45

tambahan.

Monitor pola nafas

: bradipena,

takipenia,

hiperventilasi.

Auskultasi suaru

paru setelah

tindakan untuk

mengetahui

hasilnya.

pernapasan pasien.

2 Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

disritma jantung.

Monitor abdomen

sebagai indicator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

menandakan gagal

jantung.

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

3. Duktus Arteriosus Persisten

Diagnosis:

1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan Ventilasi- perfusi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan

antara suplai dan kebutuhan oksigen (Nanda, 2012).

Congenital Heart Defect Page 46

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Mendemontrasikan

peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang

adekuat.

Mendemonstrasikan batuk

efektif dan suara nafas

yang bersih, tidak ada

dyspnue (mampu

mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan

mudah).

Tanda-tanda vital dalam

rentang normal.

Posisikan pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi.

Identifikasi

pasien perlunya

pemasangan alat

jalan nafas

buatan.

Auskultasi suara

nafas, catat

adanya suara

tambahan.

Monitor pola nafas

: bradipena,

takipenia,

hiperventilasi.

Auskultasi suaru

paru setelah

tindakan untuk

mengetahui

hasilnya.

Agar memudahkan

pernafasan

Memaksimalkan

bernafas pasien.

Bunyi nafas menurun

atau tidak bila

jalan nafas

obstruksi sekunder

terhadap

perdarahan.

Untuk mengetahui

gangguan yang

terjadi pada system

pernapasan pasien.

2 Berpartisipasi dalam

aktifitas fisik tanpa

di serta peningkatan

TD, nadi dan RR.

TTV normal.

Level kelemahan.

mengidentifikasi

aktivitas yang

mampu dilakukan.

Kolaborasi dengan

tenaga rehabilitas

medic dalam

Agar tindakan yang

diberikan sesuai

dengan kebuthan

pasien.

Mempercepat proses

pengambalian

Congenital Heart Defect Page 47

Status respirasi :

pertukaran gas dan

ventilasi adekuat.

merencanakan

program terapi

yang tepat

Bantu untuk

mengidentifikasi

aktivitas yang

disukai

Bantu

pasien/keluarga

untuk

mengidentifikasi

kekurangan dalam

beraktivitas

kemampuan

aktivitas.

Meningkatkan

kemampuan aktivitas

pasien.

4. Hipertensi Pulmonal

Diagnosis:

1. Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia

(Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

disritma jantung.

Monitor abdomen

sebagai indicator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

Congenital Heart Defect Page 48

menandakan gagal

jantung.

5. Stenosis Aorta

Diagnosis:

1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan Ventilasi- perfusi

(Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Mendemontrasikan

peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang

adekuat.

Mendemonstrasikan batuk

efektif dan suara nafas

yang bersih, tidak ada

dyspnue (mampu

mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan

mudah).

Tanda-tanda vital dalam

rentang normal.

Posisikan pasien

untuk

memaksimalkan

ventilasi.

Identifikasi

pasien perlunya

pemasangan alat

jalan nafas

buatan.

Auskultasi suara

nafas, catat

adanya suara

tambahan.

Monitor pola nafas

: bradipena,

takipenia,

hiperventilasi.

Auskultasi suaru

paru setelah

tindakan untuk

Agar memudahkan

pernafasan

Memaksimalkan

bernafas pasien.

Bunyi nafas menurun

atau tidak bila

jalan nafas

obstruksi sekunder

terhadap

perdarahan.

Untuk mengetahui

gangguan yang

terjadi pada system

pernapasan pasien.

Congenital Heart Defect Page 49

mengetahui

hasilnya.

6. Stenosis Pulmonal

Diagnosis:

1. Resiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia.

(Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

disritma jantung.

Monitor abdomen

sebagai indicator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

menandakan gagal

jantung.

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

7. Korktasio Aorta

Diagnosis:

1. Pola nafas tidak efektif berhubugnan dengan keletihan. (Nanda,

2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

Congenital Heart Defect Page 50

1. Mendemonstrasikan batuk

efektif dan suara nafas

yang bersih (mampu

bernafas dengan mudah)

Frekuensi pernafasan

dalam rentang normal.

TTV dalam rentang normal

(TD, Nadi, Pernafasan).

Posisikan pasien

untuk memaksimalkan

ventilasi

Auskultasi suara

napas, catat adanya

suara tambahan

Monitor respirasi

dan status O2 ,

(oxygen terapi)

Monitor TD, nadi,

suhu, dan RR

Monitor pola

pernapasan abnormal

Posisi semifowler

bisa membuat klien

mudah untuk

bernafas.

Untuk mengetahui

apakah suara nafas

klien normal.

Mengetahui apakah

kebutuhan O2

terpenuhi.

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

selanjutnya.

Mengetahui gangguan

pernafasan apa yang

dialami pasien.

8. Tetralogi Fallot

Diagnosis:

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

Congenital Heart Defect Page 51

3. Resiko Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksemia. (Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Adanya peningkatan BB

sesuai tujuan.

BB ideal sesuai dengan

tinggi badan.

Tidak ada tanda

malnutrisi.

Tidak terjadi penurunan

berat badan yang

berarti.

Kaji adanya alergi

makanan.

Kolaborasi dengan

ahli gizi untuk

menentukan jumlah

kalori dan nutrisi

yang dibutuhkan

pasien.

Berikan makan yang

terpilih (sudah

dikonsultasikan

dengan ahli gizi).

Pasien tidak salah

dalam menerima

asupan makanan.

Kalori dan nutrisi

dibutuhkan untuk

memenuhi.

Agar nutrisi pasien

terpenuhi sesuai

dengan kebutuhan.

2 Berpartisipasi dalam

aktifitas fisik tanpa

di serta peningkatan

TD, nadi dan RR.

TTV normal.

Level kelemahan.

Status respirasi :

pertukaran gas dan

ventilasi adekuat.

Mengidentifikasi

aktivitas yang

mampu dilakukan.

Kolaborasi dengan

tenaga rehabilitas

medic dalam

merencanakan

program terapi

yang tepat

Bantu untuk

mengidentifikasi

aktivitas yang

disukai

Agar tindakan yang

diberikan sesuai

dengan kebuthan

pasien.

Mempercepat proses

pengambalian

kemampuan

aktivitas.

Meningkatkan

kemampuan aktivitas

pasien.

Congenital Heart Defect Page 52

Bantu

pasien/keluarga

untuk

mengidentifikasi

kekurangan dalam

beraktivitas3 Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

disritma jantung.

Monitor abdomen

sebagai indikator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

menandakan gagal

jantung.

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

9. Transposisi Arteri Besar

Diagnosis:

1. Resiko Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan

hipoksemia. (Nanda, 2012).

No.

Dx

Goal/ out comes Intervention Rational

1. Tekanan systolic dan dan

diastole dalam rentang

yang diharapkan.

Bunyi jantung abnormal

tidak ada.

Monitor TD, nadi,

suhu dan RR.

Catat adanya

disritma jantung.

Monitor abdomen

Vital sign

merupakan indikasi

dalam menetukan

tindakan

Congenital Heart Defect Page 53

Kelahan yang ekstrim

tidak ada.

sebagai indikator

penurunan perfusi.

Monitor status

pernafasan yang

menandakan gagal

jantung.

selanjutnya.

untuk mengetahui

keadaan frekuensi

dan irama jantung.

Implementasi (Skip)

Evaluation

1. Defek Septum Atrium

DIAGNOSIS SOAP

1. Ganguan pertukaran gas

berhubungan dengan

Ventilasi- perfusi

S : keluarga klien mengatakan

bahwa klien masih sering

kesulitan ketika bernapas.

O : - klien sesak napas

- terdapat bising jantung

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi 2. Resiko penurunan

perfusi jaringan berhungan

dengan hipoksia,

S : -

O : - Hipoksia

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

Congenital Heart Defect Page 54

2. Defek septum ventrikel

DIAGNOSIS SOAP1. Ganguan pertukaran gas

berhubungan dengan

Ventilasi- perfusi

S : keluarga klien mengatakan

bahwa klien masih sering

kesulitan ketika bernapas.

O : - klien sesak napas

- terdapat bising jantung

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi 2. Resiko penurunan

perfusi jaringan berhungan

dengan hipoksia,

S : -

O : - Siagnosis

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

3. Duktus Arteriosus Persisten

DIAGNOSIS SOAP1. Ganguan pertukaran gas

berhubungan dengan

Ventilasi- perfusi

S : keluarga klien mengatakan

bahwa klien masih sering

kesulitan ketika bernapas.

O : - klien sesak napas

- terdapat bising jantung

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi2. Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan

Ketidakseimbangan antara

suplai dan kebutuhan oksigen

S : -

O : - klien tampak lemah

- BB klien masih dibawah

normal

A : masalah belum teratasi

Congenital Heart Defect Page 55

P : lanjutkan intervensi

4. Hipertensi Pulmonal

DIAGNOSIS SOAP 1. Resiko penurunan

perfusi jaringan berhungan

dengan hipoksia,

S : -

O : - siagnosis

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

5. Stenosis Aorta

DIAGNOSIS SOAP1. Ganguan pertukaran gas

berhubungan dengan Ventilasi-

perfusi

S : keluarga klien mengatakan

bahwa klien masih sering

kesulitan ketika bernapas.

O : - klien sesak napas

- terdapat bising jantung

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

6. Stenosis Pulmonal

DIAGNOSIS SOAP 1. Resiko penurunan

perfusi jaringan berhungan

dengan hipoksia,

S : -

O : - Siagnosis

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

Congenital Heart Defect Page 56

7. Koarktasio Aorta

DIAGNOSIS SOAP 1. pola nafas tidak

efektif berhubungan

keletihan.

S : -

O : - Siagnosis

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

8. Tetralogi Fallot

DIAGNOSIS SOAP1. Ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan faktor

biologis

S : -

O : - klien terlihat lemah

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

2. Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan kelemahan

umum

S : -

O : - klien masih tampak lemah

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

3. Resiko Penurunan perfusi

jaringan berhubungan dengan

hipoksemia

S : -

O : - siagnosis

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

9. Transposisi Arteri Besar

DIAGNOSIS SOAP1. Resiko Penurunan perfusi

jaringan berhubungan dengan

S : -

O : - siagnosis

Congenital Heart Defect Page 57

hipoksemia A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi

E. Family Teaching

- Ajarkan kepada bapak dan ibu atau keluarga dari anak tentang

bagaimana cara memantau kecenderungan kenaikan dan penurunan

berat badan.

- Berikan pemahaman kepada bapak dan ibu atau keluarga tentang

pemberian makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi dan

nutrisi.

- Berikan penjelasan kepada orang tua tentang bagaimana cara

untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktifitas.

F. Departement of Health (DOH) Policy ( terlampir I )

G. Evidence Based Reseach ( terlampir II )

Congenital Heart Defect Page 58

DAFTAR PUSTAKA

Berhman, Richard E; Kliegman, Robert M; Arvin, Ann M

(editor).2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta:

EGC.

Herdman T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-

2014. Jakarta: EGC.

Hull, David., dan Johnston, Derek I. 1995. Dasar-dasar pediatri.

(Edisi 3). Jakarta: EGC.

Slonane, Ethel. 2003. Anatomi Dan Fisiologi untuk pemula. 2003. Jakarta:

EGC .

Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth (Volume dua). Edisi 8. Jakarta: EGC.

Congenital Heart Defect Page 59

Congenital Heart Defect Page 60