52034311-BAB-II-SEMINAR-ASKEP-ILEUS

28
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep medik 1. Definisi Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada traktus intestinal (Sylvia A, Price, 2007). Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Ileus obstruksi merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan baik secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998). Menurut kelompok illeus obstruksi adalah gangguan aliran yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik dan non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus. 1

Transcript of 52034311-BAB-II-SEMINAR-ASKEP-ILEUS

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep medik

1. Definisi

Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya)

aliran normal isi usus pada traktus intestinal (Sylvia

A, Price, 2007). Ileus obstruksi terjadi ketika ada

gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal

isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2001).

Ileus obstruksi merupakan suatu blok saluran usus

yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan

baik secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).

Menurut kelompok illeus obstruksi adalah gangguan

aliran yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik dan

non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas

di lumen usus.

1

2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar Anatomi Usus Manusia.

Sumber:http://www.google.co.id

Usus halus membentang dari pylorus hingga katup

ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki atau

3,6 meter . usus ini mengisi bagian tengah dan

rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter

sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya

semakin berkurang sampai menjadi sekitar dua cm.

usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan

ileum.

Panjang duedonum sekitar 25 cm mulai dari

pylorus sampai jejunum. Pemisahan duodenum dan

jejunum ditandai oleh adanya ligamentum treitz yaitu

suatu pita muskulo fibrosa yang berperan sebagai

Ligamentum Suspensorium (penggantung). Sekitar 2/52

dari usus halus adalah jejunum, Jejunum terletak

diregio mid abdominalis sinistra dan ileum terletak

di regio mid abdominalis dextra sebelah bawah. Tiga

perlima bagian akhir adalah ileum. Masuknya kimus

kedalam usus halus diatur oleh spingther pylorus,

sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna

kedalam usus besar yang diatur oleh katup ileus

sekal. Katup illeus sekal juga mencegah terjadinya

refluk dari usus besar ke dalam usus halus. Apendik

fermivormis yang berbentuk tabung buntu berukuran

sebesar jari kelingking terletak pada daerah illeus

sekal yaitu pada apeks sekum.

Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan

dasar yang paling luar dibentuk oleh peritoneum.

Peritoneum mempunyai lapisan visceral dan parietal.

Ruang yang terletak diantara lapisan-lapisan ini

disebut sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik

lipatan-lipatan yang diberi nama yaitu mesenterium

yang merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai

kipas yang menggantung jejenum dan ileum dari

dinding posterior abdomen, dan memungkinkan usus

bergerak dengan leluasa. Omentum majus merupakan

lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari kurva

tura mayor lambung dan berjalan turun kedepan visera

abdomen. Omentum biasanya mengandung banyak lemak

dan kelenjar limfe yang membantu melindungi

peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan

lipatan peritoneum yang terbentuk dari kurvatura

lambung dan bagian atas duodenum menuju ke hati,3

membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan

ligamentum hepatoduodenale .

Gambar struktur usus halus. Sumber:

http://www.google.co.id.

Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar

terdiri dari serabut serabut longitudinal yang lebih

tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabut serabut

sirkuler. Penataan yang demikian membantu gerakan

peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri

atas jaringan ikat sedangkan lapisan mukosa bagian

dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah

dan kelenjar yang berfungsi sebagai absorbsi.

Lapisan mukosa dan sub mukosa membentuk lipatan-

lipatn sirkuler yang disebut sebgai valvula

coniventes atau lipatan kercking yang menonjol

kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh

millimeter. Villi merupakan tonjolan-tonjolan mukosa

seperti jari-jari yang jumlahnya sekitar 4 atau 5

juta yang terdapat di sepanjang usus halus, dengan

panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli merupakan

tonjolan yang menyerupai jari-jari dengan panjang

4

sekitar 1 mm pada permukaan luar setiap villus.

Valvula coni ventes vili dan mikrovilli sama sama-

menambah luas permukaan absorbsi hingga 1,6 juta cm2.

Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu

pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi dan

air. Proses pencernaan yaitu proses pemecahan

makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna melalui

kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal.

Proses pencernaan dimulai dari mulut dan lambung

oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus dan lipase

lambung terhadap makanan yang masuk. Proses ini

berlanjut dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-

enzim pancreas yang menghindrolisis karbohidrat,

lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih

sederhana. Mucus memberikan perlindungan terhadap

asam sekeresi empedu dari hati membantu proses

pemecahan dengan mengemulsikan lemak. Sehingga

memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja

lipase pancreas.

Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir

pencernaaan karbohidrat, lemak dan protein melalui

dinding usus kedalam sirkulasi darah dan limfe untuk

digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga

diabsorbsi air, elektrolit dan vitamin. Walaupun

banyak zat yang diabsorbsi disepanjang usus halus

namun terdapat tempat tempat absorbsi khusus bagi

zat-zat gizi tertentu. Absorbsi gula, asam amino dan

lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai

pertengahan jejunum. Besi dan kalsium sebagian besar5

diabsorbsi dalam duodenum dan jejunum. Dan absorbsi

kalium memerlukan vitamin D, larut dalam lemak

(A,D,E,K) diabsorsi dalam duodenum dengan bantuan

garan-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut

dalam air diabsorbsi dalam usus halus bagian atas.

Absorbsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum

terminalis melalui mekanisme transport usus yang

membutuhkan factor intrinsic lambung. Sebagian asam

empedu yang dikeluarkan kantung empedu kedalam

duodenum untuk membantu pencernaan lemak akan di

reabsorbsi dalam ileum terminalis dan masuk kembali

ke hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi entero

hepatic garam empedu, dan sangat penting untuk

mempertahankan cadangan empedu.

3. Etiologi

6

a. Mekanis disebut

juga sebagai

1) Adhesi/

perlengketan

pascabedah (90%

dari obstruksi

mekanik)

2) Tumor

3) Hernia

4) Obstipasi

(khusus untuk usia

dewasa)

5)Stricture chron’s

desease atau

radiasi

6)Intussuseption

7)Volvus

8)Twisting

intestinal

9) Penyakit vascular

seperti emboli

arterosklerotik,

usus mesentrikal

yang sempit.

10) Usia > 65 tahun

b. Fungsional (non

mekanik)

1) Psikologis

2) Neurogenik

3) Ketidakseimbangan

kimiawi

4) MCI, Fraktur Iga,

Pneumonia

4. JENIS-JENIS OBSTRUKSI

Terdapat 2 jenis obstruksi :

a. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)

Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh

toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol

otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif,

suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut

hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.

b. Obstruksi mekanik

Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural

oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik7

digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks

(satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung

tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena

lengkung tertutup tidak dapat didekompresi,

tekanan intralumen meningkat dengan cepat,

mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan

infark (strangulasi) sehingga menimbulkan

obstruksi strangulate yang disebabkan obstruksi

mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini

mengganggu suplai darah, kematian jaringan dan

menyebabkan gangren dinding usus.

5. PATOFISIOLOGI

Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi

setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang

apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab

mekanik atau non mekanik. Perbedaan utama adalah

pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari

permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik

peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian

intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter

cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap

hari. Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum

mendekati kolon. Perubahan patofisiologi utama pada

obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang

tersumbat, ini menjadi tempat perkembangan bakteri

sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari8

gas yang tertelan). Akumulasi gas dan cairan dapat

terjadi di bagian proksimal atau distal usus.

Apabila akumulasi terjadi di daerah distal

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra

abdomen dan intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan

terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan

ekstravasasi air dan elektrolit di peritoneal.

Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi

menimbulkan retensi cairan di usus dan rongga

peritoneum mengakibatakan terjadi penurunan

sirkulasi dan volume darah. Akumulasi gas dan cairan

di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus

sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan

pada vena mesenterika yang mengakibatkan kegagalan

oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah ke

usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian

nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik

terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan

pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi

perforasi. Dengan adanya perforais akan menyebabkan

bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga

terjadi sepsis dan peritonitis.

Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen

adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan sekresi

sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara

progresif yang akan menyebabkan terjadinya

retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan

cairan dan elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani

dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan9

cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak pada

penurunanan curah jantung sehingga darah yang

dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh

tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan

pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam

sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang

akan meningkatkan asam laktat dan menyebabkan

asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan

menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan

infark. Bila terjadi pada ginjal akan merangsang

pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus prksimal

dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi

hidrogen di nefron bagian distal sehingga terjadi

peningaktan reabsorbsi HCO3- dan penurunan kemampuan

ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya alkalosis metabolic.

6. Manifestasi Klinik

a. Mekanik sederhana – usus halus atas

Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke

atas, distensi, muntah, peningkatan bising usus,

nyeri tekan abdomen.

b. Mekanik sederhana – usus halus bawah

Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi

berat, bising usus meningkat, nyeri tekan abdomen.

c. Mekanik sederhana – kolon

Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang

muncul terakhir, kemudian terjadi muntah

10

(fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan

abdomen.

d. Obstruksi mekanik parsial

Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada

penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen,

distensi ringan dan diare.

e. Strangulasi

Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus

menerus dan terlokalisir, distensi sedang, muntah

persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri

tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus

menjadi berwarna gelap atau berdarah atau

mengandung darah samar.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di

dalam usus

b. Barium enema menunjukkan kolon yang

terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang

tertutup.

c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan

klorida akibat muntah, peningkatan hitung SDP

dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan

peningkatan kadar serum amilase karena iritasi

pankreas oleh lipatan usus.

d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis

atau alkalosis metabolic.

11

8. Penatalaksanaan

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi

keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan

peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi

peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan

obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi

usus kembali normal

a. Resusitasi

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah

mengawasi tanda - tanda vital, dehidrasi dan syok.

Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami

dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit

sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti

ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat

dengan memonitor tanda - tanda vital dan jumlah

urin yang keluar. Selain pemberian cairan

intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric

tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan

lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan

mengurangi distensi abdomen.

b. Farmakologis

Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas

dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik

dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual

muntah.

c. Operatif

12

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi

nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi

diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan

teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil

eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa

kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan operasi:

Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple

obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang

dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka

reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya

dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang dilakukan

pada obstruksi ileus:

1) Koreksi sederhana (simple correction).

Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk

membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada

hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh

streng/adhesi atau pada volvulus ringan.

2) Tindakan operatif by-pass.

Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian

usus yang tersumbat, misalnya pada tumor

intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian

proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada Ca

stadium lanjut.

13

4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat

anastomosis ujung-ujung usus untuk mempertahankan

kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma

colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang

dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh

karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan

penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid

obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja,

kemudian hari dilakukan reseksi usus dan

anastomosis.

9. Komplikasi

a. Nekrosis usus, perforasi usus,

b. Sepsis,

c. Syok-dehidrasi,

d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi

dan malnutrisi,

e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah,

f. Gangguan elektrolit,

g. Kematian

B. RESUSITASI CAIRAN PADA ILEUS OBSTRUKSI

14

Body100

Diagram 1. Distribusi Cairan Tubuh

Diambil dari Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy.

Oklahoma State University - Center for Veterinary

Health. 2006.

http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.html1

Tubuh terdiri dari 60 % cairan dan 40 % jaringan.

Cairan dalam tubuh terdiri dari intraseluler 40 % dan

ekstraseluler 20 %. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi

15 % cairan interstisial dan 5 % intravaskuler.

Pada kasus ileus obstruksi terjadi kehilangan

cairan intestinal karena terganggunya fungsi usus dalam

hal absorbsi, dengan demikian terjadinya kehilangan

utama cairan dan elektrolit yang sangat progresif.

Kehilangan cairan dan elektrolit (natrium dan kalium)

dapat menyebabkan terjadinya syok, oleh karena itu

15

Water60%(100)

Tissue40 %

Intestinalspace

Intercelullerspace

Extracelluler space

Intravascularspace

diperlukan resusitasi cairan dan elektrolit secara

adekuat.

Dalam kasus ileus obstruktif perumusan kebutuhan

cairan yang diperlukan menggunakan rumus Holiday- Segar

Formula yaitu:

Weight (kg) kcal/d atau mL/d kcal/ jam atau

mL/jam0 sampai 10 kg 100/kg per hari 4/kg per jam11 sampai 20 kg 1000 + (50/kg per

hari)

40+(2/kg per hari)

>20 kg 1500 + (20/kg per

hari)

60+(1/kg per hari)

Jenis cairan yang digunakan untuk resusitasi antara

lain cairan kristaloid yaitu: Asering, Ringer Laktat,

Normal Saline, dan Dextrose 5 %. Sedangkan untuk

mengatasi kehilangan elektrolit dilakukan koreksi natrim

dan kalium. Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB

dimana ± 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah.

Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces

35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap

hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Untuk menghitung Na

serum dapat digunakan rumus :

16

Na= Na1- Na0 x TBW

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk

koreksi (mEq)

Na 1 = 125 mEq/L atau Na serum yang

diperlukan

Na 0 = Na serum yang aktual

TBW= Total Body Water = 0,6x BB (kg)

- Hipokalemia

Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan

ekstraseluler berperan penting di dalam terapi gangguan

keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam

tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah

sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang

terikat dengan protein didalam sel. Kadar kalium plasma

3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.

Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan

konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine

60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10

mEq/liter. Rumus untuk menghitung defisit kalium :

K= K1- K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan

K1=kalium yang dibutuhkan

K0=serum kalium yang terukur

BB=Berat Badan (kg)

17

C. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

- Riwayat pembedahan pada daerah abdomen

- Gaya hidup: diit rendah serat, olahraga

b. Pola nutrisi metabolic

- Demam

- Anoreksia

- Diaphoresis

- Pucat

- Leukositosis

- Distensi abdomen

- Mual, muntah

- Asidosis

- Diit rendah serat

c. Pola aktivitas dan latihan

- Demam

- Hipotensi

- Takikardi

- Tekanan darah menurun (hipotensi)

- Malaise

- Sesak nafas

- Mudah lelah

d. Pola Eliminasi

- Kegagalan mengeluarkan feses

- Tidak ada flatus pada awal peningkatan bising

usus, penurunan peristaltik usus

- Tidak ada flatus jika obstruksi total18

- Tidak BAB atau BAB cair bila illeus partial

- Darah pada feses atau perubahan pola BAB (pada

CA colon)

- Kaji total output waspada terhadap syok dan

dehidrasi

- Kaji jumlah urine tanda- tanda retensi urine

e. Pola persepsi kognitif dan sensori

- Nyeri abdomen

f. Pola tidur dan istirahat

- Tidur dan istirahat terganggu akibat nyeri pada

abdomen dan sering muntah

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan

dengan intake yang tidak adequat dan

ketidakefektifan penyerapan usus halus yang

ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan

diaforesis.

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

distensi abdomen

c. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan

dengan disfungsi motilitas usus.

d. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

e. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status

kesehatan.

19

3. Perencanaan Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan

dengan intake yang tidak adequat dan

ketidakefektifan penyerapan usus halus yang

ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan

diaforesis.

HYD: Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi

Kriteria hasil:

-Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C,

TD: 110/70 -120/80 mmHg)

-Intake dan output cairan seimbang

-Turgor kulit elastic

-Mukosa lembab

-Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147

mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl: 94-111 mmol/L).

Intervensi :

1. Kaji kebutuhan cairan pasien

R/:untuk mengetahui kebutuhan cairan pasien.

2. Observasi tanda-tanda vital: N, TD, P, S

R/:Perubahan yang drastis pada tanda-tanda vital

merupakan indikasi kekurangan cairan.

3. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda

syok

R/:kekurangan cairan dan elektrolit dapat

mempengaruhi tingkat kesadaran dan

mengakibatkan syok.

4. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam

R/: Menilai fungsi usus

5. Monitor intake dan output secara ketat20

R/: untuk menilai keseimbangan cairan

6. Pantau hasil laboratorium serum elektrolit,

hematokrit

R/: Untuk menilai keseimbangan cairan dan

elektrolit

7. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga

tentang tindakan yang dilakukan: pemasangan NGT

dan puasa.

R/: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan

keluarga serta kerjasama antara perawat-pasien-

keluarga.

8. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian terapi

intravena

R/: Untuk memenuhi kebutuhan cairan dan

elektrolit pasien.

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

distensi abdomen

Tujuan : pola nafas menjadi efektif

Kriteria hasil : pasien memiliki pola pernafasan:

irama vesikuler, frekuensi: 18-20x/menit

Intervensi :

1. Observasi TTV: P, TD, N

R/: Perubahan pada pola nafas akibat adanya

distensi abdomen dapat mempengaruhi peningkatan

hasil TTV.

2. Kaji status pernafasan: pola, frekuensi, kedalaman

R/: Adanya distensi pada abdomen dapat menyebabkan

perubahan pola nafas.21

3. Kaji bising usus pasien

R/: Berkurangnya/hilangnya BU menyebabkan terjadi

distensi abdomen sehingga mempengaruhi pola

nafas.

4. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.

R/: Untuk mengurangi penekanan pada paru akibat

distensi abdomen.

5. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia jaringan

perifer: cianosis

R/: Perubahan pola nafas akibat adanya distensi

abdomen dapat menyebabkan oksigenasi perifer

terganggu yang dimanifestasikan dengan adanya

cianosis.

6. Monitor hasil AGD

R/: Untuk mendeteksi adanya asidosis respiratorik.

7. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien

tentang penyebab terjadinya distensi abdomen yang

dialami oleh pasien.

R/: Untuk meningkatkan pengetahuan dan kerjasama

dengan keluarga pasien.

8. Laksanakan program medic pemberian terapi oksigen

R/: Untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien.

c. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan

dengan disfungsi motilitas usus.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan

diharapkan pola eliminasi kembali normal.

Kriteria hasil: Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari,

dengan konsistensi lembek, BU normal: 5-3522

x/menit, tidak ada distensi abdomen.

Rencana tindakan:

1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi

feces

R/: Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan

yang terjadi pada eliminasi fekal.

2. Auskultasi bising usus

R/: Untuk mengetahui normal atau tidaknya

pergerakan usus.

3. Kaji adanya flatus

R/: Adanya flatus menunjukan perbaikan fungsi usus.

4. Kaji adanya distensi abdomen

R/: Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan

akumulasi gas di dalam lumen usus sehingga

terjadi distensi abdomen.

5. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga

penyebab terjadinya gangguan dalam BAB

R/: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan

keluarga serta untuk meningkatkan kerjasana antara

perawat-pasien dan keluarga.

6. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar

(Laxatif)

R/: Untuk membantu dalam pemenuhan kebutuhan

eliminasi

d. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol

23

Kriteria hasil: pasien mengungkapkan penurunan

ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat

dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi:

1. Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap shif

R/: Nyeri hebat yang dirasakan pasien akibat adanya

distensi abdomen dapat menyebabkan peningkatan

hasih TTV.

2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan skala

nyeri yang dirasakan pesien sehubungan dengan

adanya distensi abdomen

R/: Untuk mengetahui kekuatan nyeri yang dirasakan

pasien dan menentukan tindakan selanjutnya guna

mengatasi nyeri.

3. Berikan posisi yang nyaman: posisi semi fowler

R/: Posisi yang nyaman dapat mengurangi rasa nyeri

yang dirasakan pasien

4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi tarik

nafas dalam saat merasa nyeri

R/: Relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri

5. Anjurkan pasien untuk menggunakan tehnik

pendalihan saat merasa nyeri hebat.

R/: Untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.

6. Kolaborasi dengan medic untuk terapi analgetik

R/: Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri

e. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status

kesehatan.

Tujuan: Kecemasan teratasi24

Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman

tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan

keterampilan koping positif.

Intervensi :

1. Observasi adanya peningkatan kecemasan: wajah

tegang, gelisah

R/: Rasa cemas yang dirasakan pasien dapat terlihat

dalam ekspresi wajah dan tingkah laku.

2. Kaji adanya rasa cemas yang dirasakan pasien

R/: Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien.

3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga

tentang tindakan yang akan dilakukan sehubungan

dengan keadaan penyakit pasien

R/: Dengan mengetahui tindakan yang akan dilakukan

akan mengurangi tingkat kecemasan pasien dan

meningkatkan kerjasama

4. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan

rasa takut atau kecemasan yang dirasakan

R/: Dengan mengungkapkan kecemasan akan mengurangi

rasa takut/cemas pasien

5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.

R/: Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat

mengurangi stress pasien berhadapan dengan

penyakitnya

6. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat untuk

memberikan support kepada pasien

R/: Support system dapat mengurani rasa cemas dan

menguatkan pasien dalam memerima keadaan sakitnya.

25

DAFTAR PUSTAKA

Alief. M, dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:

FKUI.

Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica

Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.

Black & Hawk, (2005). Medical Surgical Nursing Clinical

Managemen for Positive Outcomes. Fifth Edition, Vol 1. St.

Louis Missouri: Mosby.

26

Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume

2. St. Louis Missouri: Elsevier Sounders

Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing.

Volume 2. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 6, Volume1. Jakarta: EGC.

http://www.google.co.id.

http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.html1

27

28