1 LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN POST ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of 1 LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN POST ...
1
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA PADA TN H DI BANGSAL C RST DR. SOEDJONO
MAGELANG
KTI
Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir
Pada Program Studi D III Keperawatan Magelang
Oleh :
Neila Nur Azizah
NIM. P 17420512072
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN MAGELANG
JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MEI, 2015
2
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA PADA TN H DI BANGSAL C RST DR. SOEDJONO
MAGELANG
Disusun untuk memenuhi sebagai syarat mata kuliah Tugas Akhir
Pada Program Studi D III Keperawatan Magelang
Oleh :
Neila Nur Azizah
NIM. P 17420512072
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN MAGELANG
JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MEI, 2015
6
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Post
Operasi Benigna Prostat Hiperplasia pada Tn. H di Bangsal C RST Dr.
Soedjono Magelang”. Laporan kasus laporan kasus ini disusun untuk memenuhi
syarat mata kuliah tugas akhir pada program studi D3 Keperawatan Magelang.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak menghadapi masalah
dan hambatan, tetapi berkat arahan dan bantuan dari beberapa pihak maka laporan
kasus ini dapat diselesaikan. Maka pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Hermani Tri Redjeki, S.Kep., Ns., M.Kes., Selaku ketua program studi DIII
Keperawatan Magelang.
2. Dwi Ari Murti Widigdo, MN Selaku penguji laporan kasus dan pembimbing
yang telah memberi kritik dan saranya dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Sunarmi, SST , M.Kes Selaku penguji laporan kasus yang memberikan kritik
dan sarannya dalam penulisan laporan kasus ini.
4. Sunarko, S.Pd , M.Med.Ed Selaku penguji laporan kasus yang memberikan
kritik dan sarannya dalam penulisan laporan kasus ini.
5. Ayah dan ibu yang selalu berdoa untuk kelancaran dalam penyusunan laporan
kasus ini.
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ............................................................................. 3
C. Manfaat Penulisan ........................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Benigna Prostat Hiperplasia ............................................... 6
1. Pengertian .................................................................................... 6
2. Etiologi ........................................................................................ 7
3. Patofisiologi ................................................................................. 8
4. Pathway ....................................................................................... 11
5. Gejala ........................................................................................... 12
6. Pemeriksaan pada Pasien BPH .................................................... 15
7. Penatalaksanaan .......................................................................... 16
9
8. Pengelolaan Pasien Post Operasi BPH ........................................ 23
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi BPH ..................... 24
1. Pengkajian ................................................................................... 24
2. Diangnosa Keperawatan .............................................................. 28
3. Perencanaan Keperawatan ........................................................... 32
4. Evaluasi Keperawatan ................................................................. 36
BAB III LAPORAN KASUS
A. Biodata Klien ................................................................................... 38
B. Pengkajian (Assesment) ................................................................... 38
C. Perumusan Masalah (Formulate Problems List) ............................. 43
D. Perencanaan (Planning) ................................................................... 44
E. Pelaksanaan dan Evaluasi (Implementations and Evaluations) ...... 48
BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN
A. Pembahasan ..................................................................................... 64
B. Kesimpulan ...................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Asuhan Keperawatan pada Tn. H dengan Post Operasi BPH
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumor prostat atau lebih dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra
( Smeltzer, 2002). Penyakit ini sering diderita oleh laki-laki dewasa. Peneliti
menemukan bahwa “berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada
prostat sudah ditemukan pada usia 30-40 tahun. Pada laki-laki usia 50 tahun,
angka kejadianya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar
50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan dan tanda
klinis”(Sjamsuhidayat, dkk, 2010).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,
ditemukan menderita penyakit BPH ini, sedangkan di Rumah Sakit Tentara
Dr Soedjono Magelang ditemukan 78 penderita hyperplasia prostat pada
tahun 2014 serta juga ditemukan 2 pasien yang meninggal karena penyakit
tersebut.
Menurut Underwood (2000), apabila Benigna Prostat Hiperplasia tidak
segera diobati dapat menyebabkan berulangnya infeksi traktus urinarius dan
akhirnya akan menyebkan gangguan fungsi ginjal. Hal tersebut dapat terjadi
12
karena obstruksi yang berkelanjutan dari aliran keluar vesika urinaria
menyebabkan hipertrofi yang bertahap dari otot vesika urinaria, sehingga
vesika urinaria gagal melakukan pengosongan secara penuh sehabis
berkemih. Akibatnya, sedikit urin tersisa dan tertinggal di vesika urinaria.
Sisa urin tersebut memungkinakan untuk terjadinya infeksi, biasanya oleh
organisme koliform. Untuk menanggulangi masalah tersebut sering dilakukan
beberapa tindakan diantaranya watchful waiting, medikamentosa,
prostatektomi dan prosedur invasif .
Prostatektomi atau bedah prostat merupakan salah satu terapi dalam
mengatasi penyakit benigna prostat hiperplasia. Menurut Purnomo (2011),
“penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling
baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi
non invasif lainya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk
melihat hasil terapi.” Oleh karena itu banyak dokter bedah yang menyarankan
pasien benigna prostat hiperplasia untuk menjalani prosedur pembedahan
kelenjar prostat (prostatektomi).
Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih
banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi
benigna prostat hiperplasia (BPH). Prostatektomi terbuka dapat dilakukan
melalui pendekatan suprapubik trasvesikal atau dengan pendekatan retropubik
intravesikal (Purnomo, 2011). Namun demikian pada dasarnya prostatektomi
mempunyai dampak yang dapat membahayakan pasien apabila tidak
ditangani dengan tepat, seperti terjadinya resiko perdarahan, maupun resiko
13
infeksi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2010) di RS
Tugurejo Semarang kurang lebih 90% morbiditas pasca operasi disebabkan
oleh infeksi. Sedangkan angka kejadian perdarahan post prostatektomi kurang
lebih 15% dari 168 pasien yang menjalani prostatektomi.
Resiko perdarahan dapat dicegah dengan cara mengobservasi drainase
kateter jika terjadi perdarahan berlebih, serta selalu mengawasi jika terjadi
tanda-tanda perdarahan seperti penurunan tekanan darah, penigkatan nadi dan
pernapasan (Doenges, 2000). Sedangkan resiko infeksi dapat dicegah dengan
teknik aseptik ketika penggantian balutan serta kolaborasi pemberian
antibiotik (Smeltzer, 2002).
Berdasarkan latar belakang di atas penting sekali dilakukanya
penanganan yang tepat terhadap pasien post operasi benigna prostat
hiperplasia (BPH). Hal inilah yang mendasari penulis untuk menyusun karya
tulis ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Post Operasi Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) pada Tn. H di Bangsal C Rumah Sakit Tentara Dr.
Soedjono Magelang.”
B. Tujuan
Tujuan Umum
Melaporkan pengelolaan keperawatan pada pasien Post Operasi Benigna
Prostat Hiperplasia (BPH) di bangsal bedah Rumah Sakit Tentara Dr
Soedjono Magelang.
14
Tujuan Khusus
1. Menggambarkan :
a. Mengetahui pengkajian pada pasien Post Operasi Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) di RST Dr Soedjono Magelang
b. Mengetahui masalah keperawatan pada pasien Post Operasi Benigna
Prostat Hiperplasia (BPH) di Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono
Magelang.
c. Mengetahui intervensi keperawatan pada pasien Post Operasi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)di Rumah Sakit Tentara Dr.
Soedjono Magelang.
d. Mengetahui tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien Post
Operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) di Rumah Sakit Dr
Soedjono Magelang.
e. Mengetahui penilaian atau evaluasi pencapaian tujuan pengelolaan
keperawatan pada pasien Post Operasi Benigna Prostat Hiperplasia
(BPH) di Rumah Sakit Dr.Soedjono Magelang.
2. Membahas kesenjangan yang ditemukan pada pengelolaan keperawatan
pada pasien Post Operasi Bengna Prostat Hiperplasia (BPH) di Rumah
Sakit Dr. Soedjono Magelang.
C. Manfaat Penulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
dalam keperawatan yaitu sebagai bahan bagi perawat dalam pengelolaan
15
keperawatan pada pasien Post Operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) di
Rumah Sakit Tentara Dr. Soedjono Magelang.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
1. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar
prostat yang memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih sehingga
terjadi obtruksi uretra pars prostatika yang dapat menyebabkan
terhambatnya aliran urin. Penyakit ini umumnya diderita oleh laki-laki
berusia di atas 50 tahun atau lanjut usia. (Gulanick, 2011; Purnomo, 2012;
Smeltzer, 2002).
Menurut Sjamsuhidajat(2012), BPH adalah penyakit yang disebabkan
karena penuaan. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan testosterone dan estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik
pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perkembangan patologik
anatomik. Pada laki-laki usia 50 tahun angka kejadianya sekitar 50%, dan
pada usia 80 tahun sekitar 80%.
17
2. Etiologi
Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, namun kemungkinan pembesaran prostat disebabkan
karena perubahan hormone terkait usia atau produksi hormon androgen
berkurang seiring dengan bertambahnya usia, menyebabkan ketidak
seimbangan hormon testosterone dan hormon estrogen (Saputra, 2014).
Menurut Purnomo(2012) dan Padila (2012), ada beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain :
a. Teori Dihidrotestosteron
Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan dari
reaksi perubahan testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa-
reduktase dengan bantuan NADPH. pada berbagai penelitian aktivitas
enzim 5 alfa-reduktase dan jumlah reseptor androgen mengalami
sedikit peningkatan. Peningkatan 5 alfa-reduktase dan reseptor
androgen tersebut menyebabkan epitel dan sel stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi.
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen-testosteron
Proses penuaan pada pria terjadi penurunan kadar hormon
tetstoteron dan kadar hormon estrogen relatif tetap, Sehingga
perbandingan antara estrogen dan progesteron realtif meningkat. Oleh
karena itu dapat mengakibatkan hiperplasi stroma.
18
c. Interaksi stroma-epitel
Pengikatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
beta yang disintesis oleh sel-sel stroma akan mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri dan sel-sel epitel prostat untuk melkukan proliferasi
sel-sel epitel maupun stroma.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar stroma.
e. Teori sel stem
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
memiliki kemampuan proliferasi yang sangat ekstensif. Sel stem yang
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
3. Patofisiologi
Purnomo (2012) menjelaskan “pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin.
Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin buli-buli harus berkontraksi lebih kuat. Kontraksi yang
terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertropi otot detrussor.
Terjadinya hipertrofi otot detrussor menyebabkan otot detrussor tidak
dapat berkontraksi terlalu lama sehingga muncul gejala obstruktif yang
19
meliputi hesitensi, intermittency, terminal dribbling, rasa belum puas
setelah berkemih, serta pancaran lemah. Sedangkan terhambatnya aliran
urin menyebabkan pengosongan urin menjadi tidak sempurna sehingga
menimbulkan gejala iritasi seperti nocturia, urgency, serta disuria
(Sjamsihidajat, 2010).
Smeltzer (2002) menerangkan jika pengosongan urin inkomplit
berlangsung terus menerus dapat menyebabkan dilatasi ureter
(hidroureter) dan dilatasi ginjal (hidronefrosis), bahkan akhirnya dapat
berkembang ke dalam gagal ginjal.
Salah satu cara terapi untuk mengobati BPH agar tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut adalah pembedahan atau prostatektomi. Terapi
pembedahan untuk pasien BPH ada tiga prosedur yaitu prostatektomi
suprapubik, prostatektomi retropubik, serta prostatektomi perineal. Ketiga
prosedur ini memerlukan insisi bedah yang dapat menyebabkan
komplikasi seperti nyeri, perdarahan, hambatan mobilitas fisik, resiko
infeksi, serta dapat juga menyebabkan retensi urin (Smeltzer, 2002).
Nyeri pada pasien post prostatektomi dapat berkaitan dengan insisi,
mungkin akibat eksoriasi kulit pada letak kateter, atau dapat pula nyeri
disebabkan oleh spasme kandung kemih. Spasme kandung kemih juga
dapat menimbulkan perdarahan dan mengakibatkan pembetukan bekuan,
yang mengarah pada retensi urin. Oleh karena itu, untuk mengurangi rasa
nyeri dan perdarahan akibat insisi dan spasme otot pasien harus
20
mengurangi aktivitasnya terlebih dahulu, dengan begitu pasien
immobilisasi.
Smeltzer (2002) juga menjelaskan bahwa perdarahan juga dapat
terjadi karena kelenjar prostat yang mengalami hiperplastik sangat banyak
mengandung pembuluh darah, bahaya langsung setelah prostatektomi
adalah perdarahan dan syok. Hal tersebut dapat menimbulkan resiko
kekurangan volume cairan. Perdarahan dapat terjadi dari jaring-jaring
prostat. Perdarahan juga dapat mengakibatkan pembentukan bekuan, yang
kemudian menyumbat aliran urin.
Pemasangan kateter juga dapat menyebabkan resiko infeksi
khususnya infeksi saluran kemih jika tidak dilakukan perawatan dengan
teknik aseptik. Teknik aseptik juga diterapkan untuk perawatan luka post
insisi karena kemungkinan untuk terjadinya infeksi sangat besar yang
akan mengarah pada timbulnya pus dan penyembuhan luka akan semakin
lama (Black, 2009).
21
4. Pathway
W
(Sumber: Black, 2009; Purnomo, 2012; Smeltzer,2002)
Perdarahan
Resiko
Infeksi
Nyeri Tidak
terkontrol
Resiko
kekuranga
n volume
cairan
Kehilangan
cairan
berlebih
Kerusakan
Jaringan
Post
insisi
Kateterisasi
Prostatektomi
Pembesaran
Prostat (BPH)
Teori sel
stem
Berkura
ngnya
sel mati
Interaksi
stroma-
epitel
Perubahan
estrogen
testosteron
Watchful
Waiting
HIFU dan
TUNA
Stent
Prostat
Termo
Terapi
Medikament
osa
Pembentukan
bekuan darah
Retensi
Urin
Port de
entry
22
5. Gejala BPH
Padila (2012) menjelaskan gejala klinis yang ditimbulkan oleh
Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai Syndrome Prostatism.
Sindrom prostatisme dibagi menjadi dua yaitu:
a. Gejala Obstruktif, yaitu:
1) Hesitensi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot detrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan kaarena ketidakmampuan otot detrussor dalam
mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah, kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
detrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
b. Gejala iritasi, yaitu:
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dan
dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
23
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Sjamsuhidajat (2012), juga mengklasifikasikan gejala BPH dibagi
menjadi dua yaitu gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi
karena detrusor gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus. Sedangkan gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna pada saat berkemih atau pembesaran kelenjar prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh.
Untuk menentukan derajat BPH dapat dengan cara menilai gejala-
gejala yang merujuk pada American Urological Association dengan IPSS
(International Prostate Symptom Score). Penggunaan IPSS tersebut
dengan cara memberikan delapan buah pertanyaan. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut diantaranya:
Pertanyaan Tidak
Ada
< 5
kali
< 12
jam
12
jam
> 12
Jam
Sering Nilai
Pengosongan
kandung
kemih
inkomplet.
0 1 2 3 4 5
Frekuensi 0 1 2 3 4 5
Intermitensi 0 1 2 3 4 5
Urgensi 0 1 2 3 4 5
Pancaran 0 1 2 3 4 5
24
lemah
Hesitensi 0 1 2 3 4 5
Nokturia 0 1 2 3 4 5
Total
Pertanyaan
tentang
kualitas
hidup karena
gejala
perkemihan
Sangat
Senang
Senang Puas Mixed Tidak
puas
Sedih Sangat
Sedih
Jika kamu
menghabiskan
hidupmu
dengan gejala
masalah
perkemihan.
Bagaimana
perasaan mu?
0 1 2 3 4 5 6
Keterangan :
Jumlah: 1-7: Ringan; 8-19: Sedang; 20-35: Berat
25
6. Pemeriksaan pada Pasien BPH
Padila (2012) dan Doenges (2000) menjelaskan selain anamnesa
pemeriksaan fisik juga perlu dilakukan seperti:
1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal( meliputi pemeriksaan ureum,
kreatinin, serta elektrolit), dan kadar gula digunakan untuk
memperoleh data dasar keadaan umum pasien.
2) Pemeriksaan urin lengkap:
a) Kultur urin : dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, Pseudomonas, atau Escherechia coli.
b) Sitologi urin: untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
c) Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau
terang(berdarah); penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar
(menunjukkan infeksi).
3) Rectal touch/ pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat
4) PSA (Prostatic Spesific Antigen): untuk mewaspadai adanya
keganasan.
5) BOF (Bulk Overzich): untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
6) USG (ultrasonografi): digunakan untuk pemeriksaan konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaaan buli-buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat dilakukan saat transrektal, transurethral, dan
supra pubik.
26
7) IVP (Pyelografi Intravena): digunakan untuk melihat fungsi ekskresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
8) Pemeriksaan Panendoskop: untuk mengetahui keadaan uretra dan
buli-buli.
9) Sistogram: mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih
untuk mengidentifikasi yang tidak berhubungan dengan BPH.
10) Sistometri: mengetahui fungsi otot detrussor dan tonusnya.
7. Penatalaksanaan
Menurut Purnomo (2012) penatalaksanaan BPH dibagi menjadi
beberapa macam diantaranya:
a. Watchful waiting/observasi
Terapi ini ditujukan pada pasien BPH yang keluhanya ringan dan
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan
terapi apapun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
dapat memperburuk keluhanya. Penjelasan yang diberikan yaitu
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alcohol
supaya tidak terlalu sering berkemih, kurangi konsumsi makanan yang
dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau coklat), kurangi makan-
makanan pedas dan asin, batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, jangan menahan kencing terlalu lama
27
untuk mengurangi distensi kandung kemih, serta setiap tiga bulan
dilakukan kontrol keluhan; pemeriksaan laboratorium; dan colok
dubur (Wijaya, 2013).
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
retensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi intravesika dengan obat-obatan adrenergik α (adrenergic α
blocker), serta mengurangi volume prostat sebagai komponen static
dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone atau
dehidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α reduktase. Selain
kedua cara tersebut sekarang banyak dipakai obat golongan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
1) Penghambat reseptor adrenergik α
Penghambat reseptor adrenergik α yang dipakai dahulu adalah
fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang
mampu memperbaiki pancaran miksi dan mengurangi keluhan
miksi. Namun obat ini dapat menimbulkan komplikasi sistemik
diantaranya adalah hipotensi postural, serta kelainan
kardiovaskular lain.
2) Penghambat 5α reduktase
Obat yang sering dipakai adalah Finasteride dengan dosis 1 x
5 mg, obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dehidrotestosteron yang dikatalisis oleh enzim 5α-reduktase
28
didalam sel prostat. Menurunya kadar prostat menyebabkan
sistesis protein dan replikasi sel prostat menurun. Pemberian obat
tersebut diberikan selama enam bulan dan dapat menyebabkan
penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluhan miksi
dan pancaran miksi (Purnomo, 2012). Namun, obat tersebut juga
dapat menimbulkan efek samping, salah satunya adalah
melemahkan libido, ginekomastia dan dapat menurunkan nilai
PSA atau Prostatic Spesific Antigen (Wijaya, 2013).
3) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai
untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data
farmakologis tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitofarmaka sampai saat ini bekum
diketahui secara pasti. Kemungkinan fitofarmaka bekerja sebagai
anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone
binding globulin (SHBG), mengacaukan metabolism
prostaglandin, efek anti inflamasi, menurunkan outflow resistance,
dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak
dipasarkan adalah Pyageum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica, dan masih banyak lainya.
c. Operasi/Pembedahan
Smeltzer (2002) menyatakan ada beberapa prosedur yang
digunakan untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami
29
hipertropi diantaranya reseksi transurethral prostat, prostatektomi
suprapubis, prostatektomi retropubik, prostatektomi perineal.
Pendekatan transurethral ada prosedur tertutup sedangkan tiga lainya
adalah prosedr terbuka.
1) Prosedur terbuka:
a) Prostatektomi suprapubis
Prostatektomi suprapubis merupakan salah satu metode
pembedahan dengan melakukan insisi di daerah perut bagian
bawah. Insisi tersebut tepatnya berada di kandung kemih.
Metode ini dapat menjadi pilihan untuk kelenjar dengan segala
ukuran.
b) Prostatektomi retropubik
Prostatektomi retropubik adalah teknik lain yang sering
digunakan selain prostatektomi suprapubik. Metode tersebut
dilakukan dengan cara membuat insisi di perut bagian bawah
mendekati kelenjar prostat tanpa melalui kandung kemih.
Operasi ini dapat menjadi pilihan jika volume kelenjar terlalu
besar.
c) Prostatektomi perineal
Sebuah insisi dibuat di perinium yang berada diantara
anus dan skortum. Namun, metode ini jarang digunakan untuk
terapi BPH karena dapat berpotensi mengakibatkan disfungsi
ereksi.
30
2) Prosedur tertutup
a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Prosedur ini masih umum digunakan untuk terapi BPH.
Sebuah resektoskop dimasukaqn ke dalam uretra. Pembedahan
ini menggambarkan bagian dalam kandung kemih dengan
memasukkan sistoskop (lensa teleskopik) melalui resektoskop.
Kemudian kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prosedur ini tidak memerlukan insisi dan
digunakan untuk kelenjar yang berukuran beragam dan ideal
bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil serta yang
dipertimbangkan mempunyairisiko bedah yang buruk (Black,
2009).
b) Transurethral Incision of The Prostate (TUIP)
Merupakan salah satu prosedur untuk menangani BPH
dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau
dua buah insisi dibuat pada kapsul prostat dan prostat untuk
mengurangi konstriksi uretral. TUIP diindikasikan ketika
kelenjar prostat berukuran kecil (Black, 2009)
c) Elektrovaporasi prostat
Prosedur elektrovaporasi prostat menggunakan cara yang
sama denga TURP, namun bedanya teknik ini menggunakan
roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang
cukup kuat sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar
31
prostat. Vaporasi prostat memberikan mafaat yaitu dapat
mengurangi perdarahan (Black, 2009)
d) Transurthral Ultrasound Laser Incision of the Prostate
(TULIP)
Merupakan suatu prosedur yang menggunakan laser
untuk membuat insisi di dalam prostat. Prosedur ini dapat
meminimalkan terjadinya perdarahan, tidak membutuhkan
irigasi, dan pasien tidak perlu menggunakan kateter setelah
operasi (Black, 2009)
d. Tindakan invasive minimal
Purnomo (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa terapi invasif
minimal diantaranya :
a) Hipertermia dan Termo Terapi
Hipertermia dan termo terapi merupakan prosedur yang baru
untuk terapi BPH. Hipertermia mengacu pada suhu di bawah 45o
C, sedangkan termo terapi mengacu pada suhu yang lebih tinggi.
Terapi ini menggunakan tiga teknik diantaranya menggunakan
gelombang mikro, radiofrekuensi, serta gelombang ultrasonik
dengan intensitas tinggi. Ketiganya digunakan untuk memanaskan
kelenjar prostat dan merusak jaringan prostat. Termo terapi
dengan gelombang mikro memerluka pemasangan kateter agar
gelombang mikro dapat menyalurkan energinya melalui uretra.
TUNA (Transurethral Needle Ablation) adalah terapi yang
32
menggunakan energi frekuensi radio untuk merusak jaringan
prostat. Jarum khusus dimasukkan kedalam prostat, dan energi
frekuensi radio ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
b) Stent Prostat
Stent prostat digunakan untuk pasien yang berisiko tinggi
untuk dilakukan operasi. Stent prostat dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat.
Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah
proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati
lumen uretra prostatika
c) High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)
Energi panas yang ditujuksn untuk menimbulkan nekrosis
pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0.5-10 MHz. energy
yang dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan
difokuskan pada kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anastesi
umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-
60% dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari
tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan
terapi sebanyak 10% setiap tahun (Purnomo, 2012; Wijaya, 2013).
d) Transuretrhal Needle Ablation of The Prostate (TUNA)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas sampai 100oC, sehingga menyebabkan
33
nekrosis jaringan prostat. System ini terdiri atas kateter TUNA
yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan
energi pada frekuensi radio. Kateter dimasukkan ke dalam uretra
melalui sistoskopi dengan pemberian anastesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada
kelenjar prostat. Pasien seringkali masih mengeluh hematuria,
disuria, dan kadang-kadang mengeluh retensi urin (Purnomo, 2012;
Wijaya, 2013).
8. Pengelolaan Pasien Post Operasi BPH
Williams (2012) menerangkan ada beberapa macam pengelolaan
pasien post operasi BPH diantaranya adalah :
a. Beri obat yang diprogramkan
b. Hindari memberikan sedative, alcohol, antidepresan, atau
antikolinergik karena dapat memperparah obstruksi.
c. Beri terapi IV yang diprogramkan
d. Lakukan irigasi kandung kemih secara kontinu sesuai instruksi
e. Pertahankan elevasi kepala tempat tidur minimal 30 derajat untuk
mencegah pneumonia.
f. Anjurkan batuk, napas dalam, dan penggunaan spirometer insentif.
34
B. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan BPH
1. Pengkajian
Menurut Muttaqin dan Sari (2012) pengkajian untuk pasien post
operasi BPH meliputi:
a. Pengkajian awal
Pengkajian awal post operatif adalah sebagai berikut:
1) Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
2) Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan napas, tanda-
tanda vital
3) Anastesi dan medikasi lain yang digunakan (misalnya : narkotik,
relaksan otot, antibiotik)
4) Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin
memepngaruhi perawatan post operasi (misalnya: hemoragi
berlebihan, syok, dan henti jantung)
5) Patologi yang dihadapi (jika adanya malignansi, apakah pasien
dan keluarga sudah diberitahukan)
6) Cairan yang diberikan, kehilangan darah, dan penggatian
7) Segala selang, drain, kateter, atau alat bantu pendukung lainya
8) Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anastesi
b. Kepatenan Jalan Napas dan Pernapasan
Obat anastesi dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sehingga
perawat perlu mewaspadai pernapasan yang dangkal dan lambat serta
batuk yang lemah. Perawat harus mengkaji frekuensi, irama,
35
kedalaman ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada,
bunyi napas, dan warna membran mukosa. Apabila pernapasan
dangkal, letakkan tangan perawat di atas muka atau mulut pasien
sehingga perawat dapat merasakan udara yang keluar.
Jalan napas atau oral airway masih dipasang untuk
mempertahankan kepatenan jalan napas sampai tercapai pernapasan
yang nyaman dengan kecepatan normal.
c. Status Sirkulasi
Pasien berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular akibat
kehilangan darah secara aktual atau resiko dari tempat pembedahan,
efek samping anastesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi
mekanisme regulasi sirkulasi normal. Pengkajian kecepatan denyut
dan irama jantung serta pengkajian tekanan darah penting dilakukan
untuk mengetahui status kardiovaskular pasien. Perawat juga harus
membandingkan TTV pra operatif dengan post operatif. Jika tekanan
darah pasien terus menurun dengan cepat atau kecepatan denyut
jantung menjadi semakin tidak teratur dokter harus segera diberi tahu.
Pengkajian perfusi sirkulasi juga harus dilakukan dengan cara melihat
warna dasar kuku, dan mukosa kulit.
Masalah sirkulasi yang sering terjadi adalah perdarahan.
Kehilangan darah terjadi secara eksternal melalui drain atau insisi,
atau secara internal pada luka bedah. Perdarahan dapat
mengakibatkan turunya tekanan darah, meningkatnya frekuensi
36
pernapasan, denyut nadi lemah, lembab, kulit dingin pucat. Apabila
perdarahan terjadi secara eksternal, maka perawat memperhatikan
adanya peningkatan drainase yang mengandung darah pada balutan
atau melalui drain. Apabila perdarahn terjadi secara internal, maka
tempat pembedahan menjadi bengkak dan kencang.
d. Kontrol Suhu
Penurunan tingkat fungsi tubuh pasien menyebabkan turunya
metabolisme dan menurunkan suhu tubuh. Apabila pasien mulai
sadar, mereka mungkin akan mengeluh kedinginan dan tidak nyaman.
Suhu tubuh pasien harus diukur dan pasien diberikan selimut hangat.
Jika suhu kurang dari 35o C, maka penghangat eksternal dapat
digunakan.
e. Status Neurologi
Kaji refleks pupil, refleks muntah, dan mengkaji genggaman
tangan serta pergerakan ekstremitas pasien. Jika klien telah menjalani
operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan pengkajian
neurologi secara lebih menyeluruh (Perry & Potter, 2007).
f. Respon Nyeri
Saat pasien sadar dari pengaruh obat anastesi, rasa nyeri menjadi
sangat terasa. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan pasien gelisah
dan tanda-tanda vital berubah. Pengkajian rasa tidak nyaman pasien
dan evaluasi terapi untuk menghilangkan nyeri merupakan fungsi
keperawatan yang penting. Skala nyeri merupakan metode efektif
37
bagi perawat untuk mengkaji nyeri post operasi, mengevaluasi respon
pasien terhadap pemberian analgesic, dan mendokumentasikan
beratnya nyeri secara objektif.
g. Fungsi Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah klien dari sensasi
kandung kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas
simfisis pubis untuk mengkaji distensi kandung kemih. Jika klien
terpasang kateter urine, harus ada aliran urine terus-menerus sebanyak
30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati warna dan bau urine,
pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan
menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam,
tergantung pada jenis operasi (Perry&Potter, 2007).
h. Sistem Gastrointestinal
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat
akumulasi gas. Perawat perlu memantau asupan oral awal klien yang
berisiko menyebabkan aspirasi atau adanya mual dan muntah. Kaji
juga kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8 jam. Auskultasi perut
secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30 bunyi
keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak
peristaltik yang telah kembali. Suara denting tinggi disertai oleh
distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik.
Tanyakan apakah klien membuang gas (flatus), ini merupakan tanda
penting yang menunjukkan fungsi usus normal (Perry&Potter, 2007)
38
i. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pasien post operasi berisiko mengalami ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, maka perawat harus mengkaji status hidrasi dan
memonitor fungsi jantung dan neurologi untuk melihat adanya tanda-
tanda perubahan elektrolit. Tanggung jawab yang penting adalah
mempertahankan kepatenan infuse IV, yang merupakan satu-satunya
asupan cairan untuk pasien setelah pembedahan selesai. Perawat
menginspeksi tempat pemasangan kateter IV untuk memastikan
bahwa kateter berada pada posisi yang tepat dalam vena sehingga
cairan dapat mengalir dengan lancer.
Pencatantan intake dan output cairan perlu dilakukan untuk
membantu proses pengkajian fungsi ginjal dan sirkulasi. Perawat
mengukur semua sumber pengeluaran, termasuk urin, drainase luka,
serta mencatat adanya kehilangan cairan yang tidak dirasakan akibat
diaphoresis.
j. Integritas Kulit, Kondisi Luka, dan Drainase
Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase di perban.
Pada penggantian perban pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika
tepi luka berdekatan dan untuk perdarahan atau drainase.
2. Diagnosa Keperawatan
Mernurut Wilkinson & Ahern (2012) diagnosa keperawatan yang
sering muncul pada pasien post operasi BPH diantaranya :
39
a. Retensi Urin
1) Definisi:
Retensi urin adalah ketidak sempurnaan pengosongan kandung
kemih.
2) Batasan Karakteristik:
Subyektif :
a) Disuria
b) Sensasi kandung kemih penuh
Obyektif:
a) Distensi kandung kemih
b) Urin menetes (dribbling)
c) Inkontinensia overflow
d) Urin residu
e) Haluaran urin sering dan sedikit atau tidak ada.
3) Faktor yang Berhubungan
a) Sumbatan
b) Tingginya tekanan uretra yang disebabkan oleh kelemahan
detrussor.
c) Sfingter yang kuat.
40
b. Nyeri Akut
1) Definisi
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenagkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau
potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti; awitan yang
tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya kurang dari enam bulan.
2) Batasan karakteristik
Subyektif
a) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan
isyarat.
Obyektif
a) Posisi untuk menghindari nyeri
b) Perubahan tonus otot(dengan rentang dari lemas tidak
bertenaga sampai kaku)
c) Respon autonomik (misalnya: diaphoresis; perubahan tekanan
darah, pernapasan , atau nadi; dilatasi pupil.
d) Perilaku ekspresif(misalnya: gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebih, peka terhadap rangsang, dan menghela
nafas panjang).
41
3) Faktor yang Berhubungan
Agens-agens penyebab cedera (misalnya biologis, kimia, fisik, dan
psikologis).
c. Resiko kekurangan volume cairan
1) Definisi:
Resiko kekurangan volume cairan adalah kondisi individu yang
berisiko mengalami dehidrasi vascular, selualar, atau intraselular.
2) Faktor Resiko
Obyektif :
a) Kehilangan cairan melalui rute yang tidak normal(misalnya
slang kateter menetap)
b) Kehilangan sekunder akibat drainase abnormal (misal: luka,
perdarahan, mensis yang berlebihan).
d. Resiko infeksi
1) Definisi:
Resiko infeksi merupakan berisiko terhadap invasi organisme
patogen.
2) Faktor resiko:
a) Peningkatan pemajanan lingkungan terhadap patogen.
b) Pengetahuan kurang untuk menghindari pajanan patogen.
c) Prosedur invasif
d) Trauma jaringan
42
3. Perencanaan Keperawatan
Menurut Wilkinson & Ahern (2012) renacana keperawatan pada
pasien post operasi BPH antara lain :
a. Retensi Urin
Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah keperawatan retensi
urin dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Menunjukkan kontinensia urin, yang dibuktikan oleh indikator
berikut (sebutkan 1-5: selalu, sering, kadang-kadang, jarang, atau
tidak pernah ditunjukkan):
a) Kebocoran urin di antara berkemih.
b) Urin residu pasca-berkemih >100-200 cc
2) Eliminasi urin: pengumpulan dan pengeluaran urin.
Intervensi :
1) Pantau derajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi
2) Pantau asupan dan keluaran
3) Bantu redakan distensi kandung kemih dengan menempelkan es ke
abdomen, menekan bagian dalam paha atau mengalirkan air.
4) Instruksikan keluarga untuk mencatat keluaran urin bila
diperlukan.
b. Nyeri Akut
Setelah dilakukan tindakan masalah keperawatan nyeri akut dapat
teratasi dengan kriteria hasil:
43
1) Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan
fisik dan psikologis.
2) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh
indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, sering atau selalu), dengan batasan karakteristik :
a) Durasi kurang dari 6 bulan
b) Durasi lebih dari 6 bulan
c) Respons autonomik seperti pucat, peningkatan tanda-tanda
vital, dan diaforesis.
d) Perubahan kepribadian
e) Penurunan berat badan
f) Mengenali awitan nyeri
g) Menggunakan tindakan pencegahan
h) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan.
3) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai
berikut (sebutkan 1-5 : sangat berat, berat, sedang, ringan atau
tidak ada):
a) Ekspresi nyeri pada wajah
b) Gelisah atau ketegangan otot
c) Durasi episode nyeri
d) Merintih dan menangis
e) Gelisah
44
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri yang komperhensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau
keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
2) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, umpan
balik biologis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres
hangat atau dingin, dan masase) sebelum, setelah, dan jika
memungkinkan, selama aktivitas yang menimbulkan nyeri :
sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan
tindakan peredaan nyeri yang lain.
3) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur.
4) Kolaborasi pemberian analgesik : menggunakan agens-agens
farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.
c. Resiko kekurangan volume cairan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah keperawatan resiko
kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Keseimbangan elektrolit dan asam-basa: keseimbangan elektrolit
dan non elektrolit dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel
tubuh.
45
2) Keseimbangan cairan : keseimbangan cairan dalam ruang intrasel
dan ekstrasel tubuh.
3) Hidrasi : jumlah air dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel
tubuh yang adekuat.
4) Status nutrisi: asupan makanan dan cairan : jumlah makanan dan
cairan yang masuk ke dalam tubuh selama periode 24 jam.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital yang meliputi: TD, nadi, RR, dan suhu.
2) Pantau dan analisis data pasien untuk mengatur kesimbangan
cairan dan elektrolit.
3) Kumpulkan dan analisis data pasien untuk mencegah dan
meminimalkan malnutrisi.
4) Tingkatkan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi
akibat kadar cairan yang abnormalatau di luar harapan.
5) Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala kekurangan
volume cairan seperti haus yang berlebih dan mukosa bibir kering.
6) Kolaborasi pemberian dan pemantauan serta cairan serta obat
intravena.
d. Resiko infeksi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan maslah keperawatan resiko
infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Mencapai untuk penyembuhan
2) Tak mengalami tanda dan gejala infeksi
46
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya: suhu tubuh, denyut
jantung, drainase, penampilan luka, sekresi, penampilan urin, suhu
kulit, lesi kulit, keletihan, dan malaise).
2) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang
ditutup dengan jahitan.
3) Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi
meningkatkan risiko terhadap infeksi serta jelaskan tentang tanda
dan gejala infeksi.
4) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
4. Evaluasi
Menurut Wilkinson & Ahern (2012) evaluasi keperawatan pada
pasien post operasi BPH diantaranya:
a. Retensi Urin
1) Pasien akan menunujukkan pengosongan kandung kemih dengan
prosedur bersih kateterisasi intermiten madiri.
2) Pasien melaporkan penurunan spasme kandung kemih.
3) Pasien mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam
4) Pengosongan kandung kemih secara tuntas.
b. Nyeri Akut
47
1) Pasien akan memperlihatkan teknik relaksasi secara individual
yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
2) Pasien mampu mempertahankan tingkat nyeri pada skala 2 (ringan)
atau 1(tidak sama sekali).
3) Pasien akan melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
4) Pasien akan mengenali faktor penyebab dan menggunakan
tindakan untuk memodifikasi faktor tersebut.
5) Pasien tidak akan mengalami gangguan dalam frekuensi
pernapasan, frekuensi jantung, atau tekanan darah.
c. Resiko kekurangan volume cairan
1) Pasien akan memiliki konsentrasi urin yang normal
2) Pasien tidak mengalami haus yang tidak normal
3) Pasien akan memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang
seimbang dalam 24 jam
4) Pasien akan menampilkan hidrasi yang baik (membran mukosa
lembab, mampu berkeringat)
5) Memiliki asupan cairan oral dan/atau intravena yang adekuat.
d. Risiko Infeksi
1) Pasien akan terbebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Pasien dan keluarga akan menggambarkan faktor yang menunjang
penularan infeksi
3) Pasien dan keluarga akan melaporkan tanda dan gejala infeksi serta
mengikuti prosedur skrining dan pemantauan.
48
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Biodata Klien (biographic information)
Nama klien Tn. H usia 67 tahun, jenis kelamin laki-laki, agama Islam,
pekerjaan petani dengan alamat di Tuk Bugel, Ngrancah, Grabag, Kabupaten
Magelang. Klien masuk rumah sakit tanggal 10 Maret 2015, lewat UGD
dengan diagnosa medis benigna prostat hyperplasia (BPH).
B. Pengkajian (assessment)
1. Riwayat Klien
Saat pengkajian klien mengatakan sudah 1 bulan mengalami gejala
seperti susah BAK, saat BAK urin keluar terputus-putus dan mengedan,
ketika berkemih klien juga mengeluh sakit namun baru tanggal 10 Maret
2015 dokter merujuk klien untuk menjalani operasi. Klien mengatakan di
keluarganya tidak ada yang menderita BPH. Klien datang ke IGD RST Dr
Soedjono Magelang pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 17.08 mengeluh
susah BAK, saat BAK urin keluar terputus-putus dan mengedan, serta
ketika berkemih klien mengeluh sakit. Klien menjalani operasi BPH yaitu
TURP pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 13.00.
38
49
2. Pengkajian Fokus
a. Pengkajian awal
Klien didiagnosa menderita benigna prostat hiperplasia (BPH),
untuk mengatasinya dilakukan tindakan TURP (transurethral resection
of the prostate) pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 13.00. Kondisi
umum klien lemah, tidak ada sumbatan jalan nafas, frekuensi
pernapasan 22 kali/menit, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 82
kali/menit. Cairan yang diberikan kepada klien yaitu infus RL 20 tpm,
dan terpasang slang kateter serta irigasi.
b. Kepatenan jalan napas dan pernapasan
Klien mengatakan tidak sesak nafas, frekuensi nafas 22 kali/menit,
tidak ada retraksi dada, gerakan dinding dada kanan dan kiri simetris,
bunyi nafas setelah di auskultasi vesikuler. Klien juga tidak terpasang
alat bantu nafas.
c. Status sirkulasi
Setelah prosedur TURP klien terpasang slang kateter dan irigasi,
cairan yang keluar berwarna merah sebanyak 2200 cc. Tekanan darah
sebelum operasi 120/70 mmHg, tekanan darah setelah operasi
110/60mmHg, nadi 82 kali/menit. Klien terlihat pucat, kulit dingin,
dan klien juga mengeluh kedinginan.
d. Kontrol suhu
Suhu klien setelah dilakukan tindakan operasi yaitu 365˚C.
50
e. Status neurologi
Klien mengatakan tidak merasakan mual dan muntah, pupil isokor
yaitu mengecil ketika terpapar cahaya. Kekuatan otot tangan kanan dan
kiri 5, sedangkan kekuatan otot kaki kanan dan kiri skor 0 karena
masih dalam pengaruh anastesi.
f. Respon nyeri
Klien mulai mengeluh nyeri pada pukul 18.00 setelah pengaruh
anastesi habis. Klien mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusuk dan terasa
panas, lokasi nyeri di daerah perut bagian bawah dan daerah kemaluan
dengan skala 6 (sedang), frekuensi munculnya nyeri terus menerus.
g. Fungsi perkemihan
Klien berkemih melalui selang kateter, pada selang kateter juga
dipasang irigasi NaCl 80 tpm, cairan urin dan irigasi yang keluar
sebanyak 2200 cc, aliran urin lancar. Namun, pada tanggal 13 Maret
2015 pukul 15.00 aliran di slang kateter dan irigasi tidak lancar,
terdapat distensi kandung kemih, caiaran yang keluar sebanyak 1000cc
sejak jam 13.00, terdapat gumpalan darah di slang irigasi.
h. Sistem gastrointestinal
Setelah dilakukan pengkajian diperoleh inspeksi tidak terlihat
adanya luka/lesi, bentuk abdomen simetris, hasil auskultasi ditemukan
peristaltik usus 11 kali/menit, dan perkusi abdomen timpany, serta
klien mengeluh nyeri di bagian abdomen bawah serta tidak terdapat
51
distensi abdomen maupun distensi kandung kemih. Klien mengatakan
bahwa ia belum buang gas/ flatus.
i. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Input cairan klien hanya berasal dari infus RL 500 ml 20tpm, dan
yang sudah masuk 1250 ml, klien minum 3 gelas (600ml) dan makan
habis 1 porsi (200 ml) pada 16.00 di hari sebelum ia dilakukan
tindakan TURP (11 Maret 2015) dan sekarang klien belum makan dan
minum karena sebelum operasi ia puasa dan setelah operasi ia belum
flatus. Sedangkan outpunya yaitu 2200 ml yang meliputi cairan irigasi
yang keluar(dari 1000 ml cairan irigasi yang masuk) sebanyak 1100
ml dan urin sebanyak 1100 ml, serta IWL 24 jam 900 ml. Balance
cairan -50 ml. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 82 kali/menit,
frekuensi nafas 22 kali/menit.
j. Integritas kulit luka dan drainase
Pada daerah perut bagian bawah tidak ada luka insisi. Terpasang
irigasi NaCl 80 tpm cairan yang keluar berwarna merah yang
bercampur dengan urin.
3. Reviu Sistem (review of system)
Hasil pemeriksaan fisik diperoleh data kesadaran compos mentis, dan
keadaan umum sedang. Pemeriksaan fisik kepala bentuk mesochepal, tidak
ada benjolan, rambut beruban, kulit kepala kotor, konjungtiva tidak
anemis, sklera tida ikterik, pupil isokor, reaksi terhadap cahaya mata kanan
dan kiri baik, telinga simetris, tidak ada serumen, pendengaran kurang
52
baik, hidung simetris, tidak ada pernapasan cuping hidung, penciuman
baik, bibir dan mulut terlihat simetris, dapat berbicara dengan baik, tidak
ada stomatitis dan mukosa bibir kering, leher tidak ada pembesaran tyroid,
leher tidak ada kaku kuduk.
Saat pemeriksaan dada ictus cordis tidak tampak namun dapat teraba
pada intercosta IV, perkusi pada jantung pekak, auskultasi pada jantung S1
dan S2 reguler, pemeriksaan pada paru terlihat ekspansi paru kanan dan
kiri sama, dada simetris, tidak ada nyeri tekan, ekspansi dada kanan dan
kiri teraba sama, vokal fremitus kanan dan kiri sama, sonor saat perkusi,
tidak ada suara nafas tambahan, serta vesikuler saat di auskultasi. Sedang
pada pemeriksaan abdomen bentuk simetris, tidak terdapat luka/lesi, tidak
ada massa dan tidak asites,peristlatik 9 kali/ menit nyeri tekan pada perut
bagian bawah, tidak menegang, tympani ketika diperkusi.
Pada daerah genetalia terpada DC dan irigasi NaCl 80 tetes/menit.
Sedangkan pada pemeriksaan ekstremitas terpasang infuse RL 20 tpm di
tangan kiri, pada tangan dan kaki tidak ada luka/lesi maupun edema.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laborat darah pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 17.28
WIB diperoleh hasil White Blood Cell (WBC) 16.6 k/uL, Red Blood Cell
(RBC) 4.69 m/uL, Haemoglobin (Hb) 11.2 g/dL. Terapi yang diberikan
pada tanggal 12 Maret 2015 yaitu ceftriaxone 2 x 1 gr, antrain 3 x 1 ampul,
asam tranexamat 3 x 500 mg, dan infus RL (ringer laktat) 20 tpm.
53
C. Perumusan Masalah (formulate problems list)
Pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 18.00 dari hasil pengkajian didapatkan
analisa data berupa, data subjektif pasien mengeluh nyeri yang rasanya seperti
ditusuk-tusuk, tempatnya di perut bagian bawah dekat dengan kemaluan dan
pada kemaluanya, berskala 6 (sedang), frekuensi kemunculan sering,
sedangkan data objektifnya yaitu tanda vital tekanan darah 130/80 mmHg,
nadi 88 kali/menit, RR :22 kali/menit, suhu 369˚C. Dari hasil tersebut dapat
muncul masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik pembedahan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan WBC
(white blood cell) 16.6 k/ul, pasien juga terpasang DC (dower catheter) dan
irigasi, serta ditemukan tanda dan gejala infeksi seperti kalor, dolor atau nyeri,
dan fungsio laesa oleh karena itu dapat disimpulkan masalah keperawatan
resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan dan pemasangan kateter.
Pada pukul 16.00 pasien juga mengeluh merasa lemas dan haus
disebabkan pasien belum minum karena sebelum operasi ia harus puasa dan
setelah operasi ia belum flatus, dari data objektif didapatkan tanda vital
tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 82 kali/menit, frekuensi napas 22
kali/menit, suhu 365˚C, urin dan cairan irigasi berwarna merah tua sebanyak
2200 cc yang meliputi 1100 ml merupakan cairan irigasi yang keluar (dari
1000 ml cairan irigasi yang masuk) serta 1100 ml merupakan urin, mukosa
bibir kering dan pucat, turgor kulit kembali dalam 2 detik, balance cairan
minus 50 ml. Dari data tersebut dapat ditegakkan masalah keperawatan resiko
54
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan mengontrol
perdarahan.
Pada tanggal 13 Maret 2015 pukul 15.00 klien mengeluh kandung kemih
terasa penuh dan perutnya sakit, setelah diperiksa terdapat distensi kandung
kemih, perkusi abdomen bawah dullness, TD: 130/90mmHg, nadi 88
kali/menit, aliran slang kateter tidak lancar sejak pukul 13.00, jumlah urin dan
cairan irigasi 1000 ml, dan ada gumpalan darah di slang kateter. Hal tersebut
dapat disimpulkan masalah keperawatan retensi urin berhubungan dengan
adanya sumbatan (gumpalan darah di slang kateter).
D. Perencanaan (planning)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik pembedahan
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam dari
tanggal 12 Maret sampai 14 Maret 2015 diharapkan masalah nyeri akut
dapat teratasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
memperlihatkan tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam, perubahan
tingkat kenyamanan, dan berkurangnya tingkat nyeri sesuai dengan
kriteria NIC.
55
b. Rencana tindakan
Dalam mengatasi masalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik pembedahan, beberapa rencana yang dapat dibuat
berdasarkan NOC yaitu:
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif yang meliputi
penyebab nyeri, kualitas nyeri, tempat nyeri, skala nyeri, dan waktu
munculnya nyeri.
2) Pantau tanda-tanda vital meliputi: TD, nadi, suhu, dan RR
3) Ajarkan klien penggunaan tehnik non farmakologis seperti tehnik
relaksasi distraksi dan nafas dalam
4) Berikan informasi kepada klien tentag penyebab nyeri berapa lama
akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesik
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan
mengontrol perdarahan
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam dari
tanggal 12 Maret sampai 14 Maret 2015 diharapkan masalah resiko
kekurangan volume cairan dapat teratasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
menampilkan hidrasi yang baik, adanya keseimbangan input dan
output cairan sesuai dengan kriteria NIC.
b. Rencana tindakan
56
Dalam mengatasi masalah resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kesulitan mengontrol perdarahan, beberapa
rencana yang dibuat berdasarkan NOC yaitu:
1) Pantau tanda-tanda vital yang meliputi: TD, nadi, RR, dan suhu.
2) Pantau dan analisis data pasien untuk mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit
3) Kumpulkan dan analisis data pasien untuk mencegah dan
meminimalkan malnutrisi.
4) Tingkatkan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi
akibat kadar cairan yang abnormal
5) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebih
6) Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda dan gejala kekurangan
volume cairan
7) Kolaborasi pemberian cairan serta obat intra vena.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan dan pemasangan kateter.
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam dari
tanggal 12 Maret sampai 14 Maret 2015 diharapkan masalah resiko
infeksi dapat teratasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
terbebas dari tanda dan gejala infeksi berdasarkan kriteria NIC.
57
b. Rencana tindakan
Dalam mengatasi masalah resiko infeksi berhubungan dengan
masuknya organisme sekunder akibat pembedahan dan pemasangan
kateter, beberapa rencana dibuat berdasarkan NOC yaitu:
1) Pantau tanda-tanda vital yang meliputi: TD, nadi, RR, dan suhu
2) Pantau tanda dan gejala infeksi yang meliputi rubor, dolor, kalor,
tumor, dan fungsio laesa.
3) Jelaskan kepada klien dan keluarga mengapa sakit atau terapi dapat
meningkatkan resiko terhadap infeksi serta jelaskan tanda dan gejal
infeksi.
4) Pertahankan system kateter steril
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik.
4. Retensi urin berhubungan dengan adanya sumbatan (gumpalan darah di
slang kateter)
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam dari
tanggal 12 Maret sampai 14 Maret 2015 diharapkan masalah retensi
urin dapat teratasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
menunjukkan pengosongan kandung kemih, klien melaporkan
penurunan spasme kandung kemih sesuai dengan kriteria NIC.
b. Rencana tindakan
58
Dalam mengatasi masalah resiko infeksi berhubungan dengan
masuknya organisme sekunder akibat pembedahan dan pemasangan
kateter, beberapa rencana yang dibuat berdasarkan NOC yaitu:
1) Pantau derajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi
2) Pantau asupan dan keluaran
3) Bantu redakan distensi kandung kemih dengan menempelkan es ke
abdomen.
4) Instruksikan keluarga untuk mencatat keluaran urin bila
diperlukan.
E. Pelaksanaan dan Evaluasi (implementation and evaluation)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik pembedahan
a. Tanggal 12 Maret 2015
1) Implementasi
Melakukan pengkajian nyeri secara komperhensif pada pukul
17.45, di dapatkan data nyeri terjadi karena post TURP, nyeri
seperti ditusuk-tusk, lokasi nyeri di daerah abdomen bawah dan di
sekitar kemaluanya, skala nyeri 6(sedang), frekuensi munculnya
nyeri terus menerus. Mengkaji tanda-tanda vital pada pukul 18.00,
dan di dapatkan data tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88
kali/menit, RR :22 kali/menit, suhu 369˚C. Mengkolaborasikan
dengan dokter untuk pemberian antrain 3x1 ampul pada pukul
18.05, data yang diperoleh klien bersedia diinjeksi antrain 1 ampul,
59
dan antrain 1 ampul masuk melalui IV. Mengajarkan klien tehnik
nonfarmakologis seperti tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam
pada pukul 18.30, dari tindakan tersebut klien bersedia untuk
diajarkan tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam, serta klien
mampu menirukan tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam.
Menjelaskan kepada klien tentang penyebab nyeri, berapa lama
nyeri berlangsung, menganjurkan klien untuk tidak duduk terlalu
lama, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur pada pukul
18.50, respon klien menunjukkan data subyektif yaitu klien
mengatakan bersedia untuk diberikan penjelasan tentang penyebab
nyeri, lama nyeri,antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur, serta
bersedia dianjurkan untuk tidak duduk terlalu lama.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pukul 20.00, klien mengatakan bahwa nyeri
pada perut bagian bawah disekitar kemaluan dan pada kemaluanya
berskala 6(sedang), dan frekuensi munculnya nyeri hilang timbul.
Data objektif diperoleh tekanan darah 130/80 mmHg, respirasi 22
kali/menit, suhu 369˚C, nadi 88 kali/menit, klien terlihat mampu
menirukan tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahawa masalah nyeri akut belum
teratasi, maka intervensi yang sudah dilakukan dilanjutkan kembali
seperti kaji ulang nyeri secara komperhensif, pantau tanda-tanda
60
vital, anjurkan klien untuk melakukan tehnik non farmakologis
seperti tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam, serta kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian analgetik.
b. Tanggal 13 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji adanya nyeri pada pukul 16.00, diperoleh data skala
2(ringan). Menyarankan kepada klien melakukan nafas dalam atau
tehnik relakasasi distraksi jika terasa nyeri pada pukul 16.15, data
diperoleh klien bersedia dianjurkan untuk melakukan relaksasi
distraksi dan nafas dalam jika terasa nyeri. Mengkolaborasikan
dengan dokter dengan memberikan injeksi antrain 3x1 ampul pada
pukul 18.00, dari tindakan yang dilakukan diperoleh data bahwa
klien bersedia untuk diinjeksi antrain 1 ampul dan injeksi antrain 1
ampul masuk melalui IV. Pada pukul 18.05 mengkaji tanda-tanda
vital, diperoleh data tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84
kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.00, klien mengatakan nyeri post
TURP hari pertama sudah berkurang, skala 2 (ringan). Dari data
objektif diperoleh tanda vital tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84
kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C, klien sudah dapat
menunjukkan tehnik relasasi distraksi dan nafas dalam. Dari data
61
tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah nyeri akut teratasi
sebagian, oleh karena itu intervensi masih perlu dilanjutkan
diantaranya pantau ulang tanda-tanda vital, kaji nyeri secara
komperhensif, serta kolaborasi pemberian obat analgetik.
c. Tanggal 14 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji adanya nyeri pada pukul 16.00, diperoleh skala nyeri
1(ringan). Memotivasi klien untuk melakukan tehnik relaksasi
distraksi dan tehnik nafas dalam jika terasa nyeri pada pukul 16.15,
diperoleh data klien bersedia untuk dianjurkan melakukan tehnik
relaksasi distraksi dan nafas dalam. Mengkolaborasikan dengan
dokter pemberian injeksi antrain 3x1 ampul pada pukul 18.00,
diperoleh data klien bersedia untuk diinjeksi dan injeksi antrain 1
ampul masuk melalui IV. Pada pukul 18.05 mengkaji tanda-tanda
vital, didapatkan data tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80
kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 365°C.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.00, klien mengatakan nyeri
berkurang, skala nyeri 1 (ringan), waktu munculnya nyeri hilang
timbul. Dari data objektif diperoleh tanda vital tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu
365°C, klien sudah terlihat lebih rileks, dan sudah melakukan
62
tehnik relaksasi distraksi atau nafas dalam jika terasa nyeri. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah nyeri akut sudah
teratasi, oleh karena itu intervensi sudah dapat dihentikan dan
pertahankan kondisi.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan
mengontrol perdarahan.
a. Tanggal 12 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji tanda-tanda vital pada pukul 16.00, dari tindakan
tersebut diperoleh data tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 82
kali/menit, frekuensi napas 22 kali/menit, suhu 365˚C. Mengkaji
masukan cairan dan keluaran cairan pada pukul 16.15, diperoleh
data input cairan klien selama 24 jam dari cairan infus Rl 20 tpm
sebanyak 1250 cc, sedangkan output cairanya yaitu sebanyak 2200
ml dari cairan irigasi yang keluar (dari 1000 ml cairan irigasi yang
masuk) sebanyak 1100 ml dan urin sebanyak 1200 ml, serta IWL
24 jam 900 ml, dari data tersebut didapatkan balance cairan -50.
Menganjurkan klien untuk banyak minum dan makan-makanan
yang bergizi pada pukul 16.30, diperoleh data subyektif bahwa
klien bersedia untuk banyak minum dan makan-makanan yang
bersedia namun saat ini klien belum makan ataupun minum karena
ia belum flatus setelah operasi dan sebelum operasi ia juga
menjalankan puasa. Mengobservasi drainase kateter dan memantau
63
adanya perdarahan pada pukul 16.35, diperoleh data cairan irigasi
dan urin yang keluar sebanyak 2200 ml, darah yang keluar 100 ml
dan berwarna merah gelap. Memberikan informasi kepada klien
dan keluarga tentang tanda dan gejala kekurangan volume cairan
pada pukul 16.40, data yang diperoleh yaitu klien bersedia untuk
diberikan informasi tentang tanda dan gejala kekurangan volume
cairan dan klien serta keluarga mampu menyebutkan kembali tanda
dan gejala kekurangan volume cairan. Pada pukul 17.00 mengganti
cairan infus RL 500ml 20 tpm, data yang diperoleh yaitu infus RL
20 tpm sudah terpasang dan masuk melalui IV. Menginjeksi asam
tranexamat 3x500mg pada pukul 18.00, data yang diperoleh yaitu
klien bersedia untuk diinjeksi asam tranexamat 500mg serta injeksi
asam tranexamat 500 mg masuk melalui IV. Mengkaji tanda-tanda
vital pada pukul 18.05, dan data yang diperoleh yaitu tekanan
darah 130/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, RR :22 kali/menit, suhu
369˚C.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.00, klien mengatakan masih
terasa lemas, sudah minum setengah gelas dan makan roti bolu
habis separoh. Data objektifnya diperoleh tekanan darah 130/80
mmHg, nadi 88 kali/menit, suhu 369˚C, respirasi 22 kali/menit,
jumlah urin dan cairan irigasi 2200 ml, balance cairan selama 24
64
jam -50, cairan irigasi dan urin berwarna merah gelap, perdarahan
sebanyak 100 ml, mukosa bibir kering dan pucat, turgor kulit
kembali dalam 2 detik, klien terlihat mampu menjelaskan kembali
tentang tanda dan gejala kekurangan volume cairan. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kekurangan volume
cairan belum teratasi, oleh karena itu intervensi perlu dilanjutkan
diantaranya pantau keseimbangan cairan klien, pantau tanda-tanda
vital, tingkatkan keseimbangan cairan klien, kolaborasi dengan
dokter pemberian cairan intra vena.
b. Tanggal 13 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji input dan output cairan klien pada pukul 16.00, dari
tindakan tersebut diperoleh data input cairan selama 24 jam yaitu
minum 2,5 gelas (500 ml), makan habis satu porsi (200 ml), cairan
infus 1100 ml, sedangkan output yang berasal dari urin sebanyak
925 ml, IWL 900 cc, dapat diperoleh balance cairan -25ml.
Memantau darainase kateter dan memantau perdarahan pada pukul
16.20, diperoleh data cairan irigasi dan urin yang keluar sebanyak
5425 ml berwarna merah terang yang meliputi cairan irigasi keluar
(masuk) 4500 ml dan urin 925 ml. Mengkaji tanda dan gejala
kekurangan volume cairan pada pukul 16.30, setelah dilakukan
pengkajian diperoleh data turgor kulit kembali dalam 2 detik
mukosa bibir kering, CRT 2 detik. Mengkolaborasikan dengan
65
dokter dalam mengganti cairan infus RL 500 ml 20tpm pada pukul
17.00, diperoleh data klien bersedia infusnya diganti, infus RL 20
tpm masuk melalui IV. Memotivasi klien untuk banyak makan-
makanan yang bergizi dan banyak minum pada pukul 17.45, dari
tindakan tersebut dapat diperoleh data klien sudah minum 2,5 gelas
dan makan habis satu porsi. Mengkolaborasikan dengan dokter
dalam pemberian injeksi asam tranexamat 3x500mg pada pukul
18.00, data yang diperoleh yaitu klien bersedia diinjeksi dan injeksi
asam tranexamat 500 mg masuk melalui IV. Pada pukul 18.05
mengkaji tanda-tanda vital, diperoleh data tekanan darah 120/90
mmHg, nadi 84 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan masih
merasa lemas, klien sudah minum 2,5 gelas, dan habis seporsi. Dari
data objektif diperoleh tanda vital tekanan darah 120/90 mmHg,
nadi 84 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C, cairan yang
keluar dari slang kateter masih berwarna merah terang sebanyak
5425cc, balance cairan selama 24 jam -25, mukosa bibir kering,
turgor kulit kembali dalam 2 detik, CRT 2 detik. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa masalah resiko kekurangan volume
cairan belum teratasi. Sehingga intervensi keperawatan masih perlu
dilanjutkan diantaranya pantau keseimbangan cairan klien, kaji
66
tanda-tanda vital, motivasi klien untuk banyak minum, kolaborasi
dengan dokter pemberian cairan intravena.
c. Tanggal 14 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji adanya perdarahan pada pukul 16.00, diperoleh data
cairan irigasi yang bercampur dengan urin berwarna merah terang
sebanyak 4000 ml yang meliputi cairan irigasi yang keluar (masuk)
sebanyak 3200 ml dan urin sebanyak 1800 ml. Mengkaji input dan
output cairan pada pukul 16.10, didapatkan data input cairan
makan dan minum 1400 ml, cairan infus 1275 ml, sedangkan
output cairanya 1800 ml berasal dari urin serta IWL 24 jam 900
ml, diperoleh balance cairan -25 ml. Mengkaji tanda dan gejala
kekurangan volume cairan pada pukul 16.15, diperoleh data
mukosa bibir lembab, turgor kulit kembali dalam 2 detik, CRT 2
detik. Memotivasi klien untuk banyak minum dan makan-makanan
yang bergizi pada pukul 16.25, didapatkan data klien bersedia
untuk banyak makan dan minum serta klien sudah minum 5 gelas
dan makan habis 2 porsi. Mengkolaborasikan dengan dokter dalam
pemberian injeksi asam tranexamat 3x500mg pada pukul 18.00,
didapatkan data klien bersedia untuk diinjeksi dan injeksi asam
tranexamat 500 mg masuk melalui IV. Mengkaji tanda-tanda vital
pada pukul 18.05, didapatkan data tekanan darah 120/70 mmHg,
nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 365°C.
67
Mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian infus RL
500ml 20tpm pada pukul 20.00, diperoleh data klien bersedia
untuk infus diganti dan infus RL 500ml 20 tpm sudah terpasang
dan masuk melalui IV.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan masih
merasa lemas, sudah minum 5 gelas, dan makan habis 2 porsi. Dari
data objektif diperoleh tanda vital tekanan darah 120/70 mmHg,
nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 365°C, urin dan
cairan irigasi masih berwarna merah terang sebanyak 4000cc,
balance cairan – 25, mukosa bibir lembab, turgor kulit kembali
dalam 2 detik. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah
resiko kekurangan volume cairan teratasi sebagian. Oleh karena itu
intervensi keperawatan masih perlu dilanjutkan diantaranya pantau
tanda-tanda vital, pantau tanda dan gejala kekurangan volume
cairan, motivasi klien untuk meningkatkan intake nutrisi dan
banyak minum, serta kolaborasi pemberian cairan intravena.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan dan pemasangan slang kateter.
a. Tanggal 12 Maret 2015
1) Implementasi
68
Meningkatkan intake nutrisi dan menganjurkan klien untuk
banyak minum pada pukul 17.45, dari tindakan tersebut klien
mengatakan bersedia untuk banyak makan-makanan yang bergizi
dan banyak minum, klien juga mengatakan bahwa ia sudah minum
setengah gelas dan kue bolu habis separoh. Mengkolaborasikan
dengan dokter pemberian injeksi ceftriaxon 2x1gr pada pukul
18.00, diperoleh data klien bersedia untuk diinjeksi ceftriaxon 1gr,
dan injeksi ceftriaxon 1 gr masuk melalui IV. Mengkaji tanda-
tanda vital pada pukul 18.05, diperoleh data tekanan darah 130/80
mmHg, nadi 88 kali/menit, RR :22 kali/menit, suhu 369˚C.
Mengkaji tanda dan gejala infeksi pada pukul 18.15, diperoleh data
adanya kalor, dolor, dan fungsio laesa. Menjelaskan kepada klien
dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan risiko
terhadap infeksi serta menjelaskan tanda dan gejala infeksi pada
pukul 18.30, dari tindakan tersebut diperoleh data bahwa klien dan
keluarga bersedia untuk dijelaskan tanda dan gejala infeksi serta
mengapa sakit atau terapi dapat meningkatkan resiko infeksi dan
klien serta keluarga mampu menjelaskan kembali tanda dan gejala
infeksi
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan sudah
minum setengah gelas dan makan kue bolu habis separoh,
69
diperoleh data objektif tanda vital tekanan darah 130/80 mmHg,
nadi 88 kali/menit, suhu 369˚C, respirasi 22 kali/menit, daerah
disekitar pemasangan kateter bersih, adanya kalor, rubor, dan
fungsio laesa, WBC 16.6 k/uL, klien terlihat mampu menjelaskan
kembali tanda dan gejala infeksi. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa masalah resiko infeksi teratasi sebagian. Oleh
karena itu masih perlu dilakukan lanjutan intervensi yang
diantaranya pantau tanda dan gejala infeksi, pantau tanda-tanda
vital, pertahankan kateter steril, serta kolaborasi dengan dokter
pemberian antibiotik.
b. Tanggal 13 Maret 2015
1) Implementasi
Melakukan perawatan aseptic (mengganti urin bag karena
terdapat gumpalan darah) pada pukul 15.30, dapat diperoleh data
urin bag baru sudah terpasang dan terlihat bersih. Mengkaji tanda
dan gejala infeksi pada pukul 16.00, didapatkan data tanda infeksi
seperti kalor, dolor, dan fungsio laesa. Meningkatkan intake nutrisi
dan motivasi banyak minum pada pukul 17.45, data yang diperoleh
yaitu klien mengatakan sudah minum 2,5 gelas dan makan habis
satu porsi. Mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian
injeksi ceftriaxone 2x1gr pada pukul 18.00, data yang diperoleh
yaitu klien bersedia diinjeksi, dan injeksi ceftriaxone 1gr masuk
melalui IV. Mengkaji tanda-tanda vital pada pukul 18.05,
70
didapatkan data tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84 kali/menit,
respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan sudah
minum 2,5 gelas dan makan 1 piring, dari data objektif didapatkan
tanda vital tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84 kali/menit,
respirasi 20 kali/menit, suhu 373°C, urin bag bersih, adanya tanda
infeksi seperti kalor, dolor, dan fungsio laesa, WBC 14.3 k/uL.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalh resiko infeksi
teratasi sebagian, oleh karena itu intervensi keperawatan masih
perlu dilanjutkan diantaranya pantau tanda dan gejala infeksi,
pantau tanda-tanda vital, serta kolaborasi pemberian antibiotik.
c. Tanggal 14 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji tanda dan gejala infeksi pada pukul 16.00, diperoleh
data tanda dan gejala infeksi seperti kalor dan dolor sudah tidak
ada. Melakukan perawatan kateter pada pukul 16.30, diperoleh data
daerah kemaluan sudah dibersihkan dan plaster untuk fiksasi slang
kateter juga diganti. Meningkatkan intake nutrisi dan memotivasi
banyak minum pada pukul 17.45, klien bersedia untuk banyak
makan-makanan yang bergizi dan klien sudah minum 5 gelas serta
makan habis 2 porsi. Mengkolaborasikan dengan dokter dalam
71
pemberian injeksi ceftriaxone 2x1gr pada pukul 18.00, didapatkan
data klien bersedia untuk diinjeksi dan injeksi ceftriaxone 1gr
masuk melalui IV. Mengkaji tanda-tanda vital pada pukul 18.05,
diperoleh data tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80 kali/menit,
respirasi 20 kali/menit, suhu 365°C.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pukul 20.30, klien mengatakan sudah minum 5
gelas dan makan habis 1 porsi, dari data objektif didapatkan tanda
vital tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20
kali/menit, suhu 365°C,tanda infeksi seperti kalor dan dolor sudah
tidak ada, kateter bersih dan daerah pemasangan kateter juga
bersih. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah resiko
infeksi teratasi sebagian karena klien masih terpasang kateter,
maka intervensi keperawatan masih perlu dilanjutkan diantaranya
adalah pantau tanda dan gejala infeksi, monitor tanda-tanda vital,
pertahankan kateter steril, kolaborasi pemberian antibiotik.
4. Retensi urin berhubungan adanya sumbatan (gumpalan darah di slang
kateter)
a. Tanggal 13 Maret 2015
1) Implementasi
Memantau derajat distensi kandung kemih dengan cara perkusi
dan palpasi pada pukul 15.00, setelah dilakukan tindakan diperoleh
72
data terdapat distensi kandung kemih dan suara perkusi dullness.
Memantau tanda-tanda vital pada pukul 15.05, diperoleh data TD:
130/90mmHg, nadi 88 kali/menit. Memantau keluaran cairan klien
pada pukul 15.10, diperoleh data cairan irigasi dan urin yang keluar
sebanyak 1000 ml. Memantau kelancaran slang kateter, diperoleh
data cairan yang keluar melalui slang kateter tidak lancar.
Melakukan spooling pada slang irigasi pada pukul 15.20, setelah
dilakukan tindakan tersebut aliran kateter menjadi lancar dan
gumpalan darah sudah keluar.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan perut sudah
tidak terasa sakit lagi dan kandung kemih terasa lega. Dari data
objektif diperoleh klien sudah tidak ada distensi kandung kemih,
tidak ada gumpalan darah, urin dan cairan irigasi mengalir lancar,
tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84 kali/menit, respirasi 20
kali/menit, suhu 373°C. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa masalah retensi urin sudah teratasi, maka intrvensi
keperawatn dapat dihentikan dan pertahankan keadaan
b. Tanggal 14 Maret 2015
1) Implementasi
Mengkaji derajat distensi kandung kemih dengan cara perkusi
dan palpasi pada pukul 16.00, didapatkan data tidak ada distensi
73
kandung kemih setelah di palpasi dan suara tympani setelah di
perkusi, klien juga tidak mengeluh sakit perut dan tidak mengeluh
kandung kemih terasa penuh. Memantau kelancaran aliran kateter,
diperoleh data aliran kateter lancar. Memantau adanya gumpalan
darah di slang kateter pada pukul 16.10, ditemukan data tidak ada
gumpalan di slang irigasi dan kateter.
2) Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu kali shif
diperoleh evaluasi pada pukul 20.30, klien mengatakan kandung
kemih sudah tdak terasa penuh lagi, dari data objektif didapatkan
bahwa tidak ada distensi kemih, serta urin dan cairan irigasi
mengalir lancar. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
masalah retensi urin sudah terasai, oleh karena itu intervensi
keperawatan sudah dapat dihentikan dan pertahankan kondisi.
74
BAB IV
PEMBAHASAN DAN SIMPULAN
A. Pembahasan
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai hasil asuhan keperawatan
benigna prostate hiperplasy (BPH) pada Tn. H yang dilakukan selama 3 x 24
jam dari tanggal 12 Maret 2015 sampai tanggal 14 Maret 2015 di bangsal C
RST Dr. Soedjono Magelang. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul
pada asuhan keperawatan benigna prostate hiperplasi (BPH) berdasarkan
pengkajian pada Tn. H adalah nyeri akut, resiko kekurangan volume cairan,
resiko infeksi, dan retensi urin.
1. Pengkajian
Data penulis didapatkan dari klien, keluarga, dan catatan medis
(rekam medis) baik dengan autoanamnesis maupun dengan alloanamnesis.
Pada pengkajian awal klien tidak ditemukan tanda dan gejala depresi
pernapasan dan juga tidak ditemukan adanya sumbatan jalan napas selama
prosedur pembedahan padahal Muttaqin & Sari (2012) mengatakan bahwa
pengkajian kepatenan jalan napas harus dikaji pada saat prosedur
pembedahan berlangsung serta obat anastesi juga dapat menyebabkan
depresi pernapasan yang ditandai dengan pernapasan yang dangkal dan
lambat, batuk yang lemah. Namun, Nuradnan (2010) menjelaskan
keuntungan dari anastesi spinal yaitu perubahan metabolik dan respon
endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak,
64
75
paru dapat minimal serta Hardiyanto (2006) menambahkan bahwa pasien
post pembedahan yang berisiko mengalami depresi pernafasan adalah
pasien yang diberikan anestesi umum selama proses pembedahan
berlangsung. Pada kasus ini klien diberikan anestesi spinal sehingga resiko
depresi pernapasan tidak terjadi pada klien.
Muttaqin & Sari (2012) mengatakan bahwa pada pasien post operasi
perlu dilakukan pengkajian di area insisi, namun pada klien tidak
dilakukan pengkajian area insisi karena menurut Smeltzer (2002)
prosedur TURP dilakukan melalui endoskopi dengan cara memasukkan
instrumen bedah dan optikal langsung melalui uretra ke dalam prostat,
sehingga pada klien tidak ditemukan adanya insisi.
2. Diagnosa Keperawatan, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik pembedahan
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International
Association for the Study of Pain); awitan yang tiba – tiba atau
perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari
enam bulan (Wilkinson, 2012). Menurut Carpenito (2007) data
subyektif untuk klien dengan masalah nyeri akut adalah klien
mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri, sedangkan data
76
objektifnya yaitu adanya respon autonomik seperti perubahan tekanan
darah, perubahan pernapasan, perubahan nadi.
Nyeri dapat terjadi kerena adanya trauma jaringan sekunder.
Trauma jaringan menyebabkan terputusnya jaringan saraf perifer.
Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung – ujung
saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstra seluler sebagai
akibat kerusakan jaringan (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada kasus Tn.
H trauma jaringan disebabkan karena prosedur invasif pembedahan,
dibuktikan dengan klien merupakan pasien post TURP, dalam hal ini
persarafan pada daerah kelenjar prostat mengalami kerusakan,
menurut Widjaja (2009) persarafan pada kelenjar prostat berasal dari
plexus hypogastricus inferior, seperti yang sudah dijelaskan oleh
Underwood (2000) prostatektomi menyebabkan terputusnya jaringan
saraf sehingga dapat menimbulkan masalah nyeri.
Menurut Perry & Potter (2005) nyeri berat dapat meningkatkan
tekanan darah karena dapat mengakibatkan stimulasi simpatis yang
meningkatkan frekuensi denyut jantung, curah jantung, dan resistensi
vaskular, efek simpatis ini menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Pada klien ditemukan adanya kenaikan tekanan darah yaitu dari
110/60 mmHg menjadi 130/80 mmHg, namun kenaikan tersebut
masih dalam batas normal, hal ini terjadi karena klien mengatakan
rasa nyerinya masih dalam skala 6 (sedang) serta klien juga
mengalami perdarahan, Perry & Potter (2009) juga menjelaskan saat
77
volume darah berkurang (pada perdarahan) tekanan darah akan
menurun.
Penulis mengangkat diagnosa ini sebagai masalah utama karena
jika nyeri akut tidak segera ditangani akan menyebabkan masalah
yaitu terganggunya pola tidur, adanya ketidaknyamanan yang
mengganggu, nyeri akut bila tidak reda dapat mempengaruhi sistem
tubuh lain seperti system pulmonary, kardiovaskular, endokrin, dan
immunologik (Yeager dkk,cit. Smeltzer dan Bare,2002). Namun,
berdasarkan data tersebut, penulis kurang tepat dalam menuliskan
diagnosa keperawatan. Rumusan keperawatan yang benar menurut
Doenges (2000) yaitu Nyeri akut berhubungan dengan prosedur bedah
dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi), karena menurut
Smeltzer (2002) nyeri pada pasien post prostatektomi dapat berkaitan
dengan pembedahan/insisi, atau dapat pula disebabkan adanya spasme
kandung kemih.
Tujuan keperawatan yang penulis rumuskan untuk mengatasi
masalah nyeri akut adalah klien dapat memperlihatkan tehnik
relaksasi distraksi dan nafas dalam, perubahan tingkat kenyamanan,
serta berkurangnya tingkat nyeri. Hal ini sudah sesuai dengan
Doenges (2000) bahwa tujuan untuk mengatasi masalah keperawatan
nyeri akut adalah klien melaporkan nyeri hilang/terkontrol, klien dapat
menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas
78
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu, serta klien tampak
rileks dan tidur/istirahat dengan tepat.
Dalam mengatasi masalah keperawatan nyeri akut, penulis telah
melakukan tindakan keperawatan sesuai rencana keperawatan yang
berdasarkan teori. Tindakan yang pertama yaitu adalah mengkaji nyeri
secara komprehensif yaitu melakukan pengkajian nyeri secara
menyeluruh dan lengkap yang meliputi P (Provoking/Penyebab), Q
(Quality/Kualitas), R (Region/Lokasi munculnya nyeri), S
(Severity/Tingkat keparahan nyeri), serta T (Time/Waktu munculnya
nyeri) tindakan tersebut bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri dan
sebagai pertimbangan yang berguna dalam pengawasan keefektifan
obat dan kemajuan penyembuhan (Doenges, 2000).
Tindakan yang kedua yaitu memantau tanda-tanda vital yang
meliputi tekanan darah, nadi, RR, dan suhu, nyeri dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah oleh karena itu tujuan dari tindakan
tersebut yaitu jika tekanan darah tinggi dapat menyebabkan fungsi
tubuh lain terganggu. Tindakan yang ketiga yaitu mengajarkan klien
penggunaan tehnik relaksasi distraksi dan nafas dalam, hal tersebut
dapat mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan
demikian dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri, hal ini dapat terjadi karena
tehnik relaksasi distraksi dapat menyebabkan pelepasan endorphin,
endorphin merupakan pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh,
79
Smeltzer (2002) menambahkan bahwa tehnik relaksasi distraksi dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan dengan menstimulasi system
kontrol desenden yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri
yang ditransmisikan ke otak. Tindakan yang keempat yaitu
memberikan informasi kepada klien tentang penyebab nyeri berapa
lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur, tindakan tersebut bertujuan untuk menghilangkan ansietas
dan meningkatkan kerja sama dengan prosedur yang dilakukan
(Doenges, 2000). Kemudian tindakan yang kelima yaitu berkolaborasi
pemberian analgetik, pada Tn. H diberikan anlgetik antrain 3 x 1
ampul, tindakan ini bertujuan untuk mengatasi nyeri dengan cara
menghambat produksi prostaglandin dan menghambat respons selular
selama inflamasi serta bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri (Smeltzer, 2002).
Evaluasi menunjukkan hasil signifikan akibat dari intervensi yang
dilakukan yaitu adanya perubahan skala nyeri dari skala 6 menjadi
skala 1 dari hari pertama sampai ketiga. Hal tersebut menunjukkan
adanya keefektifan pengobatan.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan
mengontrol perdarahan
Resiko kekurangan volume cairann merupakan kondisi individu
yang berisiko mengalami dehidrasi vascular, selular, atau intraseluler
(Wilkinson, 2012). Resiko kekurangan volume cairan dapat
80
dibuktikan dengan keseimbangan negatif antara asupan dan keluaran,
kulit atau membrane mukosa kering, merasa haus (Carpenito, 2007).
Resiko kekurangan volume cairan dapat disebabkan karena
kehilangan cairan yang tidak normal seperti diare, mual muntah,
dieresis osmotic, serta perdarahan (Smeltzer, 2002). Pada kasus klien
mengalami perdarahan karena telah dilakukan prosedur TURP.
Prosedur TURP dapat menyebabkan perdarahan karena klenjar prostat
yang mengalami hiperplastik sangat banyak mengandung pembuluh
darah (Smeltzer, 2002).
Menurut Baradero (2010) respon fisiologis tubuh ketika terjadi
perdarahan yang mengarah pada terjadinya syok hipovolemik akan
menyebabkan tekanan darah ≤ 90 mmHg untuk sistolik, ≤ 60 mmHg
untuk diastolik, frekuensi napas dan nadi meningkat. Sedangkan pada
kasus klien penurunan tekanan darah masih dalam batas normal serta
peningkatan frekuensi nadi dan napas masih dalam batas normal, hal
ini terjadi karena klien telah mendapatkan cairan pengganti yang
bersifat isotonis yaitu RL yang digunakan dalam pengobatan
hipovolemia (Smeltzer, 2002). Pada klien pengelompokan kekurangan
volume cairan berdasarkan berat badan (60-70 kg) masih dalam kelas
I. Syamsuhidayat (2010) menyebutkan tanda-tanda kekurangan
volume cairan berdasarkan berat badan badan (60-70 kg) kelas I yaitu
denyut nadi <100 kali/menit, tekanan darah normal, frekuensi nafas
14-20 kali/menit.
81
Diagnosa keperawatan resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kesulitan mengontrol perdarahan menjadi
masalah keperawatan yang kedua karena pada klien ditemukan adanya
perdarahan sebanyak 100 ml berwarna merah gelap yang keluar
bersamaan dengan cairan irigasi dan urin. Resiko kekurangan volume
cairan karena perdarahan pasca operasi merupakan salah satu
penyebab shock hipovolemia hemoragik. Perdarahan dalam jumlah
banyak akan mengganggu perfusi jaringan sehingga timbul hipoksia
(Syamsuhidayat, 2010). Sedangkan menurut Smeltzer (2002)
perdarahan dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah yang
dapat mengarah ke retensi urin.
Tujuan yang penulis rumuskan untuk mengatasi resiko
kekurangan volume cairan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3
x 24 jam adalah klien dapat menunjukkan hidrasi yang baik, adanya
keseimbangan input dan output cairan. Hal ini sudah sesuai dengan
apa yang dikatakan Doenges (2000) yaitu klien dapat
mempertahankan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital
stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membran mukosa
lembab, serta menunjukkan adanya keseimbangan masukan dan
keluaran cairan.
Tindakan keperawatan pertama yang dilakukan yaitu mengkaji
tanda-tanda vital yang bertujuan untuk mengetahui perubahan dan
perkembangan fungsi organ tubuh kaitanya dengan mekanisme
82
kompensasi terjadinya syok hipovolemik akibat perdarahan seperti
menurunya tekanan darah dan suhu, meningkatnya denyut nadi dan
frekuensi pernapasan, perubahan pada sirkulasi perifer (Smeltzer,
2002). Tindakan kedua yang dilakukan yaitu mengkaji masukan dan
keluaran yang bermanfaat untuk menentukan keseimbangan cairan
agar dapat mencegah terjadinya syok akibat(Doenges, 2000), serta
Fauziah (2010) menambahkan memantau intake dan output cairan
digunakan untuk membantu menentukan derajat kekurangan volume
cairan. Tindakan yang ketiga yaitu mengobservasi drainase kateter,
dalam teori rencana tindakan observasi drainase kateter dan
perhatikan adanya perdaraha tidak dituliskan, sedangkan pada asuhan
keperawatan dituliskan karena perdarahan umum terjadi selama 24
jam pertama pasca pembedahan (Smeltzer, 2002) dan perdarahan
kontinu/berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan
intervensi dan evaluasi medik (Doenges, 2000).
Selanjutnya tindakan keperawatan yang terakhir yaitu
berkolaborasi dalam pemberian infuse RL 20 tpm serta injeksi asam
tranexamat 3 x 500 mg, menurut Carpenito (2007) resiko kekurangan
volume cairan yang disebabkan karena perdarahan merupakan suatu
masalah kolaboratif yang memerlukan intervensi baik perawat
maupun dokter yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut.
Asam tranexamat bekerja dengan menghalangi pemecahan bekuan
darah, sehingga mencegah perdarahan (Almatsier, 2006), sedangkan
83
menurut Smeltzer (2002) larutan Ringer Laktat merupakan suatu
larutan isotonis yang mengandung berbagai elektrolit dalam
konsentrasi yang kurang lebih sama dengan yang terkandung dalam
plasma serta digunakan sebagai pengobatan hipovolemia. Oleh karena
itu, penulis melakukan intervensi yang diprogramkan dokter yaitu
pemeberian infuse RL dan injeksi asam tranexamat untuk menambah
cairan dan mencegah perdarahan.
Evaluasi yang diperoleh sampai tanggal 14 Maret 2015 yaitu
keseimbangan cairan klien masih minus 25 ml, hal ini menunjukkan
bahwa tindakan yang dilakukan belum efektif. Hal ini dapat terjadi
karena kurangnya waktu dalam melakukan tindakan keperawatan.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder
akibat pembedahan dan pemasangan kateter
Resiko tinggi infeksi adalah keadaan dimana seorang individu
berisiko agen patogenik atau oportunistik (virus, jamur, bakteri,
protozoa, atau parasit) dari sumber-sumber eksternal, sumber endogen
atau eksogen (Carpenito, 2007) serta menurut Smeltzer (2002) akan
menyebabkan terjadinya infeksi dan komplikasi-komplikasi lain yang
akan semakin mengancam kesehatan penderita, yang tidak kalah
bahayanya adalah penyebaran infeksi melalui vaskularisasi,
pemasangan kateter dan luka insisi yang tidak dilakukan perawatan
dengan baik dapat menyebabkan terjadinya infeksi, tidak hanya
84
pemasangan kateter dan luka insisi yang dapat mempengaruhi
timbulnya infeksi daya tahan tubuh juga mempengaruhi.
Penulis mengangkat diagnosa ini karena apabila masalah infeksi
tidak diatasi maka dapat menyebabkan meningkatnya masalah resiko
infeksi lain seperti ISK. Smeltzer (2002) mengatakan infeksi saluran
kemih dan epididimis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi
setelah prostatektomi. Faktor yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya infeksi yang didapatkan pada klien adalah klien post TURP
yang terpasang slang kateter. Pada kenyataanya resiko infeksi tidak
hanya berasal dari prosedur pembedahan namun pemasangan kateter
juga dapat berisiko tinggi munculnya infeksi.
Dari hasil pengkajian diperoleh adanya peningkatan suhu yaitu
dari suhu 365˚C menjadi 369˚C. Pada kasus klien kenaikan suhu masih
dalam rentang normal karena peningkatan suhu merupakan respon
inflamasi (Doenges, 2000), Syamsuhidayat (2010) menambahkan
bahwa kenaikan suhu disebabkan karena vasodilatasi pembuluh darah.
Klien juga mengalami peningkatan jumlah leukosit yaitu sebesar 16.6
k/uL yang seharusnya nilai normalnya 4-10 k/uL, peningkatan jumlah
leukosit merupakan petunujuk adanya infeksi, karena fungsi utama sel
darah putih yaitu melawan kuman/bibit penyakit yang masuk dalam
tubuh, Indrasari (2009) mengatakan bahwa peningkatan jumlah
leukosit menunjukan adanya proses infeksi sedangkan penurunan
leukosit dapat terjadi pada infeksi tertentu.
85
Berdasarkan data tersebut, penulis kurang tepat dalam menuliskan
diagnosa keperawatan. Rumusan keperawatan yang benar menurut
Doenges (2000) yaitu resiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasif; alat selama pembedahan, kateter, dan irigasi kandung kemih.
Tujuan yang penulis rumuskan untuk mengatasi resiko infeksi
setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam adalah klien
terbebas dari tanda dan gejala infeksi seperti tumor, kalor, rubor,
dolor, dan fungsiolaesa, urin bersih dan jernih, serta suhu dalam
rentang normal (36˚-37˚C). Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan
oleh Doenges (2002) bahwa klien dapat mencapai waktu
penyembuhan serta tidak mengalami tanda dan gejala infeksi.
Menurut Wilkinson (2012) tindakan keperawatan bersihkan,
pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup jahitan
tidak dituliskan dalam perencanaan tindakan keperawatan, karena
tindakan TURP tidak dilakukan prosedur insisi, hanya sebuah
resektoskop dimasukkan ke dalam uretra dan kelenjar prostat dipotong
menggunakan loop pemotong listrik dalam irisan kecil (Black, 2009).
Tindakan keperawatan yang pertama yaitu mengkaji tanda-tanda
vital yang bertujuan untuk mengetahui perubahan dan perkembangan
fungsi organ tubuh kaitanya dengan suhu adalah salah satu tanda-
tanda resiko infeksi (Smeltzer, 2002). Tindakan yang kedua yaitu
mengkaji adanya tanda-tanda infeksi, tindakan ini bertujuan untuk
mengetahui adanya resiko infeksi yang ditandai dengan rubor, dolor,
86
kalor, tumor, dan fungsio laesa agar tidak terjadi infeksi/sepsis lanjut
(Doenges, 2000). Tindakan yang ketiga yaitu meningkatkan intake
nutrisi dan menganjurkan klien untuk banyak minum, nutrisi yang
baik untuk seseorang pasien post operasi yaitu makanan yang tinggi
protein, menurut Almatsier (2009) protein selain dapat mempercepat
penyembuhan luka juga dapat memerangi infeksi dengan membentuk
antibody. Tindakan yang keempat yaitu pertahankan system kateter
steril dengan melakukan perawatan kateter dengan tehnik aseptic,
pada teori tidak dituliskan tindakan perawatan kateter dengan tehnik
aseptik, namun penulis melakukan perawatan kateter dengan tehnik
aseptik dikarenakan dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme
kedalam saluran kemih (Black, 2009).
Tindakan yang terakhir yaitu berkolaborasi dalam pemberian
injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr. Ceftriaxone dengan indikasi : infeksi
serius saluran nafas bawah, kulit, saluran kemih, tulang dan sendi,
intraabdominal, GO, septicemia bacterial, profikalis selama
pembedahan, infeksi pembedahan, meningitis (Almatsier, 2006).
Evaluasi yang didapat sampai tanggal 14 Maret 2015 yaitu klien
sudah terbebas dari tanda dan gejala infeks. Namun, masalah
keperawatan resiko infeksi masih teratasi sebagian, karena klien masih
terpasang kateter.
d. Retensi urin berhubungan dengan adanya sumbatan (gumpalan darah
di slang kateter)
87
Hasil pengkajian diperoleh data subyektif klien mengeluh
kandung kemih terasa penuh dan perutnya sakit, setelah diperiksa
terdapat distensi kandung kemih, perkusi abdomen bawah dullness,
aliran slang kateter tidak lancar sejak, dan ada gumpalan darah di
slang kateter. Urin terus berkumpul di kandung kemih, meregangkan
dindingnya sehingga timbul perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri
tekan pada simfisis pubis, dan gelisah (Perry & Potter, 2007). Pada
kasus Tn. H suara perkusi dullness(redup) hal ini terjadi karena klien
mengalami distensi kandung kemih akibat retensi urin, menurut
Smeltzer (2002) suara redup terdapat pada daerah hati, limfa, dan
kandung kemih yang distensi. Klien mengatakan bahwa perut bagian
bawahnya terasa sakit, hal ini terjadi karena adanya distensi kandung
kemih, Perry & Potter (2005) mengatakan bahwa urin yang
berkumpul di kandung kemih meregangkan dindingnya sehingga
timbul perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri tekan pada simfisis
pubis.
Diagnosa yang ditegakkan yaitu retensi urin yang merupakan
ketidaksempurnaan dalam pengosongan kandung kemih (Carpenito,
2007). Diagnosa ini menjadi lebih di prioritaskan pada tanggal 13
Maret 2015 karena retensi urin dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Menurut Perry & Potter (2005) ketidaknyamanan merupakan bagian
dari konsep kenyamanan, sedangkan kenyamanan sebagai kebutuhan
dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan,
88
jika kebutuhan kenyamanan tidak terpenuhi maka dapat mengganggu
hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan.
Tujuan yang penulis rumuskan untuk mengatasi retensi urin
setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam adalah klien dapat
menunjukkan pengosongan kandung kemih, serta klien melaporkan
spasme kandung kemih. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang
dikatakan Doenges (2000) yaitu klien dapat berkemih dengan jumlah
normal tanpa retensi, dan dapat meningkatkan kontrol kandung kemih.
Rencana tindakan keperawatan sudah sesuai dengan teori, namun
pada implementasi dilakukan spooling pada slang kateter, karena
menurut Smeltzer (2002) perdarahan dapat menyebabkan
pembentukan bekuan yang mengarah pada retensi urin, bekuan
tersebut biasa terjadi di slang kateter, oleh karena itu untuk
mengeluarkan bekuan tersebut dapat dilakukan dengan cara spooling.
Wikan (2013) menjelaskan jika adanya sumbatan/clot di selang
kateter dapat diatasi dengan melakukan spooling dengan NaCl 0,9%.
Pada rencana tindakan keperawatan juga dituliskan bantu redakan
distensi kandung kemih dengan menempelkan es ke abdomen, namun
pada tindakan keperawatan tidak dilakukan, karena menurut Akhrita
(2011) kompres es dapat menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh
darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah serta juga
dapat menghambat vasodilatasi pembuluh darah. Oleh karena hal itu
89
penulis tidak melakukan tindakan tersebut karena dapat memperparah
masalah retensi urin.
Tindakan keperawatan yang pertama yaitu mengkaji derajat
distensi kandung kemih dengan cara perkusi dan palpasi. Tindakan
yang kedua yaitu memantau tanda-tanda vital, pada kasus klien
mengeluh nyeri abdomen bawah, menurut Kozier (2009)
nyeri/ketidaknyamanan dapat menyebabkan perubahan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi pernafasan. Tindakan yang ketiga yaitu memantau
keluaran cairan klien, hali ini bermanfaat untuk mengetahui penyebab
retensi yaitu bisa terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan
spasme kandung kemih (Doenges, 2000). Tindakan yang keempat dan
kelima yaitu memantau kelancaran slang kateter serta melakukan
spooling.
Evaluasi yang didapat setelah dilakukan tindakan keperawatan
sampai tanggal 14 Maret 2015 yaitu klien mengatakan kandung kemih
sudah tdak terasa penuh lagi, dari data objektif didapatkan bahwa
tidak ada distensi kemih, serta urin dan cairan irigasi mengalir lancar.
Oleh karena itu masalah retensi urin sudah teratasi, karena keadaan
klien sudah sesuai dengan kriteria hasil.
90
B. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan tentang asuhan
keperawatan post operasi BPH pada Tn. H di bangsal C RST Dr. Soedjono
Magelang yaitu :
1. Pengkajian pada pasien post operasi BPH meliputi pengkajian awal, status
sirkulasi, kontrol suhu, respon nyeri, fungsi perkemihan, keseimbangan
cairan dan elektrolit.
2. Masalah keperawatan yang muncul yaitu nyeri akut berhubungan dengan
agen cedera fisik pembedahan, resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kesulitan mengontrol perdarahan, resiko infeksi
berhubungan dengan masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
dan pemasangan kateter, retensi urin berhubungan dengan adanya
sumbatan.
3. Intervensi yang dilakukan bertujuan agar masalah nyeri akut, resiko
kekurangan volume cairan, resiko infeksi, dan retensi urin dapat teratasi.
Implementasi yang penulis lakukan yang efektif untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik pembedahan :
melakukan pengkajian nyeri, mengkaji tanda-tanda vital, mengajarkan
tehnik non farmakologis, dan berkolaborasi pemberian analgetik.
b. Resiko kekurangan volume cairan: mengkaji tanda-tanda vital,
menganjurkan banyak minum, mengobservasi drainase kateter,
berkolaborasi dalam pemberian cairan intravena
91
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder
akibat pembedahan dan pemasangan slang kateter: mengkaji tanda-
tanda vital, mengkaji tanda dan gejala infeksi, memberi informasi
tentang tanda dan gejala infeksi, berkolaborasi dalam pemberian
antibiotik.
d. Retensi urin berhubungan dengan adanya sumbatan: memantau
derajat distensi kandung kemih, memantau keluaran cairan, memantau
kelancaran slang kateter, melakukan spooling pada slang irigasi.
4. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa maslah nyeri akut dan retensi urin
sudah teratasi, namun pada masalah resiko kekurangan volume cairan dan
resiko infeksi teratasi sebagian.
92
DAFTAR PUSTAKA
Akhrita, Zetri. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Pemulihan Kandung
Kemih Pasca Pembedahan dengan Anestesi Spinal di Irna P (Bedah
Umum) RSUP DR M Djamil Padang (online).
(http://repository.unand.ac.id/17468/1/PENGARUH_MOBILISASI_DINI
_TERHADAP_PEMULIHAN.pdf, diakses tanggal 20 Mei 2015).
Almatsier, Sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Almatsier, Merdias. (2006). MIMS EdisiBahasa Indonesia Volume 7. Jakarta:
CMP Media
American Urological Association. 1992.International Prostate Symptom Score
(online), (http://www.urospec.com/uro/Forms/ipss.pdf.diakses tanggal 24
Februari 2015).
Baradero, Mary. (2010). KeperawatanPerioperatif: PrinsipdanPraktik. Jakarta:
EGC
Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson.(2009). Medical Surgical Nursing
Clinical Management for Postive Outcomes Eighth Edition. Singapore:
Elsevier (Singapore).
93
Doenges, M. E, Marry, F. M abd Alice. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien
Edisi 3.Jakarta: EGC.
Fauziah, N. (2012). Renjatan Hipovolemik Dalam PKB FK Unair, (online),
(www.fkunair.ac.id). httmdiaksespadatanggal 13 Mei 2015.
Gullanick,. M, Myers, Judith L. (2011). Nursing Care Plans: Diagnoses,
Interventions, and Outcomes:7th ed. United States of America: Elsevier
Mosby.
Hardiyanto, Ismar Tri. (2006). Pengaruh Anestesi Spinal terhadap Hemodinamik
pada Penderita dengan Seksio Caesarea (online).
(http://core.ac.uk/download/pdf/11718529.pdf, diakses tanggal 20 Mei
2015)..
Indrasari, Devi. (2009). 100% Sembuh Tanpa Dokter: A-Z Deteksi, Obati, dan
Cegah Penyakit. Yogyakarta: Pustaka Grahatama.
Istikomah, Nurul. (2010).Perbedaan Perawatan Luka dengan Menggunakan
Povodine Iodine 10% dan NaCl 0,9% terhadap Proses Penyembuhan
Luka pada Pasien Post Operasi Prostatektomi di RuangAnggrek RSUD
Tugurejo Semarang. (online),
(http://eprints.undip.ac.id/10724/1/Artikel..pdfdiaksestanggal 7 Januari
2015).
94
Muttaqin, Arif, & Sari, Kumala. 2012. AsuhanKeperawatanPerioperatifKonsep,
Proses, danAplikasi. Yogyakarta: SalembaMedika.
Nuradnan, Arif. (2010). Perbedaan Efek Pemberian Ko-loading Cairan Koloid
dalam Mencegah Hipotensi Dibandingkan Ko-loading Kristaloid pada
Pasien-pasien yang Mejalani Section Caesaria dengan Spinal Anestesi
(online).(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40151/4/Chapter
%20II.pdf diakses tanggal 14 Mei 2015)
Padila.(2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
NuhaMedika.
Perry & Potter (2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 5. Jakarta:
EGC
Perry & Potter.(2009).Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 7.Jakarta:EGC
Purnomo, Basuki. B. (2012). Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Jakarta. CV
Sagung Seto.
Saputra, Dr. Lyndon. (2014). Visual Nursing Reproduksi Organ System.
Tangerang Selatan: BinarupaAksara.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.Jakarta.EGC.
Smeltzer, Suzzane C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC.
95
Smeltzer, Suzzane C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Underwood.(2000). PatologiUmumdanSistematikEdisi 2. Jakarta: EGC.
Widjaja, Dr. dr. I Harjadi. (2009). Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC
Wijaya, AndraSaferi, &Putri, YessieMariza. (2013). KMB Keperawatan Medikal
Bedah (Keperawatan Dewasa) Teori dan Contoh Askep.Yogyakarta:
NuhaMedika.
Wikan, Arif. (2013). Transurethral Resection of The Prostate (TURP), (online),
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-jazirohnim-
6744-2-bab2bi-n.pdfdiaksestanggal 13 Mei 2015).
Wilkinson, Judith M, & Ahern, Nancy R. (2012).Diagnosis Keperawatan Edisi
9.Jakarta; EGC.
Williams, Lippincott, & Wilkins.(2012). Kapita Selekta Penyakit dengan
Implikasi Keperawata nEdisi 2.Jakarta EGC.
Yanmed RST Dr. Soedjono Magelang. 2014. Rekapitulasi Penyakit Rawat
Inap tahun 2014