Translate Jurnal

44
EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO DARI PENYAKIT PERIODONTAL 1. Pendahuluan Berdasarkan sejarah yang ada, dipercayai bahwa semua individu memiliki keseragaman kerentanan dalam pembentukan penyakit periodontal dan akumulasi plak, kebersihan mulut yang buruk dan kemungkinan trauma oklusal yang cukup untuk menginisiasi periodontitis. Namun, selama beberapa dekade terakhir telah diterima bahwa penyakit periodontal disebabkan oleh infeksi bakteri spesifik dan individu memiliki keseragaman kerentananan terhadap infeksi ini maupun kerusakan yang disebabkannya. Penelitian mengenai distribusi penyakit periodontal dan faktor resikonya pada skala global memberikan model investigasi yang unik yang dapat mengakses penyebab antara penyakit periodontal dan faktor etiologi resiko yang dicurigai. Pemahaman mengenai faktor resiko dapat mengawali perkembangan dari teori penyebab yang dapat dipergunakan bagi para klinisi untuk mengidentifikasi dan menargetkan pada

description

epidemiologi penyakit periodontal

Transcript of Translate Jurnal

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO DARI PENYAKIT PERIODONTAL1. PendahuluanBerdasarkan sejarah yang ada, dipercayai bahwa semua individu memiliki keseragaman kerentanan dalam pembentukan penyakit periodontal dan akumulasi plak, kebersihan mulut yang buruk dan kemungkinan trauma oklusal yang cukup untuk menginisiasi periodontitis. Namun, selama beberapa dekade terakhir telah diterima bahwa penyakit periodontal disebabkan oleh infeksi bakteri spesifik dan individu memiliki keseragaman kerentananan terhadap infeksi ini maupun kerusakan yang disebabkannya. Penelitian mengenai distribusi penyakit periodontal dan faktor resikonya pada skala global memberikan model investigasi yang unik yang dapat mengakses penyebab antara penyakit periodontal dan faktor etiologi resiko yang dicurigai. Pemahaman mengenai faktor resiko dapat mengawali perkembangan dari teori penyebab yang dapat dipergunakan bagi para klinisi untuk mengidentifikasi dan menargetkan pada individu yang rentan terhadap penyakit periodontal. Bab ini bertujuan untuk menyediakan ulasan komprehensif dari penentuan dan faktor resiko dari penyakit periodontal dan bagaimana untuk memprediksi resiko kejadiannya.2. Tujuan dari Penelitian Epidemiologikal mengenai Penyakit PeriodontalEpidemiologi merupakan penelitian dari kondisi sehat dan penyakit pada populasi dan efek dari berbagai kondisi biologis, demografi, lingkungan dan gaya hiduppada negara-negara berikut. Kemampuan yang penting dari epidemiologi sebagai salah satu metode penelitian bila dibandingkan dengan penelitian dengan dasar klinis dan studi kasus, adalah 1) fokus penelitian berada pada kelompok masyarakat dibanding individu dan 2) individu dengan dan tanpa penyakit tertentu (cth., penyakit periodontal), dan dengan dan tanpa paparan dari kepentingan yang dimasukkan, dibanding hanya melibatkan pasien saja.Penelitian pada kelompok populasi dibanding pada individual memberikan perkiraan yang valid dengan memperhitungkan variasi biologis normal. Perluasan daerah penelitian dengan memasukkan daerah yang tanpa penyakit, maupun daerah dengan yang sakit, memberikan titik referensi berlawanan untuk pengukuran resiko. Penelitian epidemiologik dilakukan untuk menjelaskan status kesehatan dari suatu populasi, menjelaskan etiologi penyakit, mengidentifikasi faktor resiko, perkiraan terjadinya penyakit dan membantu dalam pencegahan penyakit dan kontrol.3. Definisi Penyakit Periodontal; Penilaian pada Penelitian EpidemiologikalEpidemiologi sebagai prasyarat dari definisi yang akurat dari penyakit periodontal. Sayangnya, pada penelitian mengenai periodontal, keseragaman kriteria belum ditentukan. Penelitian epidemiologikal telah dilakukan pada jajaran luas dari gejala termasuk gingivitis, kedalaman probing, nilai tingkat perlekatan klinis, dan penilaian kehilangan tulang secara radiografi dengan cara yang tidak konsisten.Variasikarakteristik yang luas pada ambang nilai yang diberlakukan untuk mendefinisikan poket periodontal sebagai dalam atau patologis, atau tingkat perlekatan klinis dan nilai tulang alveolar membutuhkan untuk mengasumsikan bahwa kehilangan true dari dukungan jaringan periodontal terjadi. Sebagai tambahan, jumlah dari permukaan gigi yang terlibat dibutuhkan untuk menyimpulkan subjek individual sebagai kasus, yang menderita penyakit periodontal, juga bervariasi. Terdapat inkonsistensi dalam definisi nilai pasti yang berpengaruh dalam menjelaskan distribusi penyakit.Sementara istilah penyakit periodontal dapat mencakup semua kondisi patologis dari jaringan periodontal, gingivitis, dan periodontitis yang digunakan dengan pengertian yang berbeda. Gingivitis merupakan lesi inflamasi dari tepi gingiva dikenali dalam penelitian epidemiologik sebagai perubahan warna dan/atau perdarahan pada probing ringan pada sulkus gingival atau orifisium poket. Jika terjadi kehilangan atau kehancuran dari perlekatan periodontal atau tulang alveolar, kondisi tersebut dikarakteristikkan sebagai periodontitis.4. Pengukuran PeriodontitisPengukuran klinis dasar untuk periodontitis adalah kehilangan perlekatan klinis / clinical attachment loss (CAL) dan kedalaman probing/ probing depth (PD). Protokol stadar yang digunakan saat ini untuk pengukuran CAL dan PD dengan probe secara manual pertama telah lama dijelaskan pada masa dahulu dan tidak mengalami perubahan (Ramfjord, 1959). Berbagai indeks skala telah digunakan di masa lalu, tetapi pada saat ini terdapat indeks komposit yang menilai gingivitis dan periodontitis pada skala yang sama. Indeks komposit dianggap tidak valid dipergunakan pada saat ini dan harus disingkirkan.Walau CAL, sebuah pengukuran di masa lampau mengenai akumulasi penyakit dibanding aktivitas penyakit terkini, tetap menjadi standar emas diagnostik untuk periodontitis, tidak adanya kesepakatan tentang bagaimana cara terbaik untunk menggabungkan CAL dan PD dalam definisi kasus periodontitis berlanjut menghambat penelitian klinis dan epidemiologikal (Goodson, 1992). Definisi kasus untuk periodontitis memerlukan 1) seberapa kedalaman dari CAL pada satu daerah yang membuktikan adanya penyakit; 2)berapa banyak daerah yang terkena dalam mulut dengan kedalaman CAL 1mm dan keparahan untuk rata-rata CAL pada gigi tersebut, mungkin tepat untuk kondisi tertentu. Beberapa kesepakatan pada definisi kasus yang berhubungan dengan kasus untuk penyakit serius dan sedang juga membantu penelitian.Masalah pengukuran yang melekat menyebabkan peneliti untuk mecari penanda dari periodontitis, yang valid dan handal, akan menurunkan ketergantungan berdasarkan pengukuran klinis yang berdasarkan probing untuk mendiagnosis penyakit. Sebagaimana pemahaman kita mengenai etiologi periodontitis semakin mendalam, beberapa penanda muncul sebagai kandidat. Dimana penanda yang paling menjanjikan adalah sitokin inflamasi yang dikeluarkan dalam cairan krevikular gingival / gingival crevicular fluid (GCF) sebagai bagian dari respon host terhadap inflamasi, sejumlah sitokin inflamasi ini memiliki hubungan dengan penyakit aktif (Page, 1992). Sitokin ini antara lain prostaglandin E2 (PGE2), tumor necrosis faktor-alfa (TNF-), IL-1 alfa (IL-1), IL-1 beta (IL-1), dan lainnya. Terdapat dokumentasi mengenai penanda tersebut dan konstituen dari GCF lainnya yang berhubungan dengan respon inflamasi, pengukuran asosiasi berikut dan menentukan sensitivitas dari pengukuran terbukti lebih sulit.

5. Tren Penyakit PeriodontalTidak ada metode yang diterima secara global untuk pengukuran penyakit periodontal. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mendokumentasikan pola perubahan dari penyakit periodontal dari masa ke masa. Oleh karenanya, selama 40 tahun terakhir beberapa bukti telah mengakumulasikan perubahan dalam kejadian gingivitis pada negara berkembang. Dengan pengulangan penelitian cross-sectional pada rentang usia yang sama menggunakan kriteria survei yang sama, Anderson, 1981 melaporkan penurunan gingivitis dan perbaikan kebersihan mulut antara 1963 dan 1978 di antara anak usia 12 tahun di Inggris; dan Cutress, 1986 melaporkan penurunan prevalensi gingivitis antara 1976 dan 1982 pada kelompok usia 15 hingga 19 tahun di New Zealand dari 98% subjek dan 51% gigi hingga 79% subjek dan 34% gigi.Sebaliknya, Curilovic dkk , 1977 menemukan bahwa, di Zurich, antara 1957 dan 1975, prevalensi gingivitis pada anak usia 7 hingga 17 tahun tidak mengalami perubahan dan keparahannya semakin meningkat. Lebih lanjut, antara 1983 dan 1993 kesehatan gingival dan kebersihan mulut pada anak usia 5 hingga 15 tahun di Amerika Serikat semakin memburuk; subjek terkait umur mengalami peningkatan prevalensi gingivitis dari 19% hingga 53% di tahun 1983 dan dari 26% hingga 63% di tahun 1993 (OBrien, 1994). Pada penelitian di Sweia, Hugoson dkk, 1995 melakukan series dari tiga penelitian survei cross sectional di tahun 1973, 1983 dan 1993 untuk menilai kebersihan rongga mulut dan gingivitis selama periode gigi sulung, bercampur dan dewasa. Pada tiap kondisi, peneliti tersebut mendapatkan sampel acak dari sekitar 100 pasien untuk tiap tingkatan usia berikut : 3,5,10,15, dan 20 tahun. Antara 1973 dan 1983, terdapat peningkatan substansial pada plak, kalkulus,dan tingkat gingivitis, yang dianggap sebagai peranan program pelayanan kesehatan gigi baru untuk pencegahan pada tahun 1974. Namun, antara 1983 dan 1993, peningkatan pada tingkat plak dan ginigivitis terbalik, menyimpulkan adanya penurunan dramatis pada karies anak antara 1973 dan 1983 membuat anak, orang tua, dan personel dalam bidang kedokteran gigi merasa puas tentang kesehatan rongga mulut dan kebersihan rongga mulut. Hal ini tidak mungkin terjadi secara jauh untuk menunjukkan peningkatan pada periodontitis pda anak dan remaja, tetapi tidak mengherankan karena adanya penemuan yang tidak biasa pada jumlah kehancuran periodontal pada kelompok usia ini. Satu penelitian, sebagai contoh, menemukan tidak ada perbedaan dalam prevalensi kehilangan tulang marginal pada survei dengan radiografi bitewing dari 2 kohort dari remaja berusia 16 tahun di tahun 1975 dan 1988 (Kllestl dkk, 1991). Untuk kedua periode waktu, kehilangan tulang hanya terjadi sebesar 3.5% dari subjek.6. Faktor Penentu PeriodontitisKemajuan penelitian dalam penelitian selama beberapa tahun terakhir mengawali adanya perubahan fundamental dalam pemahaman kita mengenai penyakit periodontal. Sebagaimana baru pada pertengah 1960an, prevailing model untuk epidemiologi penyakit periodontal termasuk precepts berikut: 1) semua indivisual dianggap lebih atau kurang rentan mengalami periodontitis parah; 2) gingivitis biasanya berubah menjadi periodontitis dengan konsekuen kehilangan dukungan tulang dan akhirnya kehilangan gigi; dan 3) kerentanan terhadap periodontitis meningkat sejalan dengan usia dan merupakan penyebab utama dari kehilangan gigi setelah usia 35 tahun (kreshiver & Russel, 1958; Russel, 1967). Kemajuan dalam pemahaman dari penyakit periodontal sejak saat itu mengawali konsep kerentanan individual terhadap penyakit periodontal dan evaluasi kembali dari model kerentanan umum lama.Faktor resiko dapat didefinisikan sebagai kejadian atau karakterisitik yang berhubungan dengan peningkatan dari penyakit yang terjadi kemudia. Sangat penting untuk membuat perbedaan pada faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit tetapi tidak secara pasti sebagai penyebab penyakit. Faktor resiko dapat dikelompokkan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Fakto resiko yang dapat dimodifikasi biasanya adalah faktor yang memiliki keterkaitan dengan lingkungan atau perilaku sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi umumnya intrinsik dari individu dan karenanya tidak mudah dilakukan perubahan. Faktor resiko yag dapat dimodifikasi juga dikenal sebagai determinants. Bukti-bukti digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko biasanya derived dari tipe berikut dari penelitian dengan tujuan untk meningkatkan kekuatan dari bukti : laporan kasus, seri kasus, penelitian case-control, penelitian cross sectional, penelitian kohort longitudinal, dan uji coba klinis terkontrol, yang juga dikenal sebagai penelitian intervensional. Semua jenis penelitian dapat mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan penyakit walau tidak dengan kekuatan yang sama. Penelitian longitudinal mungkin mampu untuk mengidentifikasi hubungan penyebab. Penelitian intervensional memberikan bukti hubungan sebab dan lebih lanjut menyediakan bukti adanya penghilangan faktor resiko. Asosiasi yang teridentifikasi melalui penelitian longitudinal dan intervensional diistilahkan sebagai faktor resiko sedangkan asosiasi, berdasarkan pengamatan dari penelitian case-control dan cross sectional diistilahkan sebagai indikator resiko. Oleh karena istilah faktor resiko menunjukkan bukti yang lebih kuat dalam mendukung hubungan dibanding yang diistilahkan sebagai indikator resiko (Thomas dkk, 2005)6.1 Faktor Resiko yang dapat Dimodifikasi6.1.1 MerokokKebiasaan merokok memiliki hubungan secara konsisten dengan kehilangan perlekatan pada banyak penelitian (Albandar, 2002). Perokok secara signifikan memiliki resiko tinggi dalam pembentukan penyakit periodontal kronis (Grossi dkk.,1994; Hyman & Ried, 2003; Tomar & Asma, 2000) dan menunjukkan tingkat dekstruksi periodontal yang lebih tinggi sepanjang waktu dibanding yang tidak merokok (Bergstrom dkk., 2000; Elter dkk.,1999). Terdapat hubungan yang terkait efek dosis antara merokok dan keparahan dari penyakit periodontal seperti pada perokok berat dan individu yang memiliki riwayat yang panjang merokok menunjukkan kehilangan jaringan yang lebih parah dibanding perokok ringan (Tomar &Asma , 2000).Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa merokok tembakau berhubungan dengan peningkatan resiko sebesar dua kali hingga tujuh kali dari kehilangan perlekatan dibanding yang tidak merokok, dengan lebih banyak pronouunced risk pada perokok yang berusia muda (Bergstrom dkk., 2000; Bergstrom, 2003). Populasi resiko akibat merokok kretek telah diteliti dalam survei yang lebih besar dan diperkirakan bahwa pada populasi di Amerika Serikat sekitar 42% dan 11% kasus periodontitis kemungkinan disebabkan adanya kebiasaan merokok yang sedang berjalan atau pernah memiliki kebiasaan merokok, secara berurutan (Tomar & Asma, 2000). Sebuah survei pada orang dewasa di Brasil memperkirakan 12% kasus periodontitis kemungkinan disebabkan adanya kebiasaan merokok kretek (Susin dkk., 2004). Merokok dengan cerutu dan dengan pipa menunjukkan memiliki efek yang merugikan pada kesehatan periodontal yang serupa dengan yang merokok kretek (Albandar dkk., 2000).

6.1.2 Diabetes MellitusPenyakit sistemik tertentu telah diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan resiko kehilangan perlekatan. Diabetes merupakan faktor yang dapat diubah meskipun tidak dapat disemuhkan, dapat dilakukan pengontrolan. Penelitian telah memeriksa hubungan antara diabetes dan periodontitis dalam desain dan tujuan penelitian yang heterogen. Namun, baik kesimpulan positif dan negatif telah didapatkan dengan kaitan hubungan antara kedua penyakit tersebut. Secara umum, tidak ada perbedaan dalam pengaruh yang ditemukan antara diabetes tipe 1 dan tipe 2.Parameter diabetik yang diperiksa termasuk kontrol glikemik, durasi penyakit, adanya komplikasi lain terkait diabetes dan populasi yang diteliti. Parameter periodontal yang diperiksa termasuk gingivitis, kehilangan perlekatan klinis, dan kehilangan tulang alveolar (Tomar & Asma, 2000). Penelitian telah menunjukkan hubungan antara kontrol glikemik yang bruruk dan parameter penyakit periodontal (Cutler dkk., 1999; Guzman dkk., 2003; Tervonen dkk., 1994; Tsai dkk., 2002). Akhirnya, penelitian yang telah dilakukan mengemukakan bahwa kontrol diabetik yang buruk memberikan respon yang kurang berhasil terhadap terapi periodontal dengan hubungannya pada diabetes yang terkontrol dan yang non-diabetik (Westfelt dkk., 1996; Tervonan & Karjalainen, 1997).

6.1.3 Plak Gigi dan Kebersihan Rongga MulutPenelitian pada populasi mengkonfirmasi adanya hubungan yang erat antara plak dental dan gingivitis yang pertama kali diterangkan oleh Le dkk., 1965 pada penelitian dengan dasar non-populasi. Dari keseluruhan dunia, pertumbuhan plak dental dan inflamasi dari jaringan gingival ada dimana-mana and sangat terkait, tanpa memandang usia, jenis kelamin atau identifikasi rasial/etnik. Data epidemiologikal global secara jelas menunjukkan adanya hubungan yang less pronounced antara plak dental dan keparahan periodontitis. Bentuk parah dari periodontitis pada manusia seringkali hanya mempengaruhi subset kelompok populasi secara global, walau gingivitis yang diinduksi plak dan sedikit bentuk keparahan sedang dari periodontitis tersebar dalam populasi yang sama (Albandar, 2002; Baelum & Scheutz, 2002; Gjermo dkk., 2002; Sheiham & Netuveli, 2002).Gingivitis yang paralel dengan tingkat kebersihan rongga mulut pada populasi, dengan sendiri sebagai predikot yang buruk dari aktivitas penyakit periodontal berikutnya (Lang dkk., 1990). Oral hygiene mempengaruhi ekologi dari flora mikrobial pada poket dangkal hingga sedang, tetapi tidak mempengaruhi respon host. Oral hygiene sendiri memiliki efek yang kecil pada mikroflora subgingival pada poket yang dalam dan praktek oral hygiene secara personal di antara profesional kesehatan menunjukkan tidak memiliki hubungan terhadap periodontitis pada individu ini (Merchant dkk., 2002). Kesimpulan dari penelitian terdahulu, kebanyakan dengan desain cross-sectional, pada populasi dengan oral hygiene yang buruk adalah plak dan akumulasi kalkulus supragingival memiliki memiliki hubungan yang buruk dengan keparahan periodontitis (Le dkk, 1992; Okamoto dkk., 1988). Hasil dari penelitian dengan kontrol yang baik juga menyimpulkan bahwa kuantitas akumulasi plak, pada kondisi terbaiknya, hanya memiliki hubungan lemah dengan periodontitis (Grossi dkk., 1995; Pertz dkk., 1993).Program komprehensif oral hygiene efektif dalam mencegah atau menurunkan tingkat inflamasi gingival pada anak dan orang dewasa. Program ini, tidak dapat berjalan dalam mencegah agresif periontitis dan kemungkinan sulit untuk mendapatkan tingkat oral hygiene yang memuaskan pada populasi secara umum untuk mencegah periodontitis kronis dan kehilangan jaringan periodontal secara efektif (Le dkk., 2000; Morris dkk.,2001).6.1.4 Mikroorganisme SpesifikWalau terdapat bukti yang cukup bahwa akumulasi dan maturasi dari biofilm plak dibutuhkan untuk inisiasi dan progresi penyakit periodontal, penelitian menunjukkan bahwa spesies bakteri yang berkolonisasi pada poket gingival memegang peranan variabel dalam patogenesis dari penyakit ini dan oleh karenanya memiliki tingkat resiko yang berbeda terhadap kehilangan jaringan periodontal (Wolff dkk., 1994). Dari semua mikroorganisme yang berkoloni dalam mulut, terdapat tiga , Porphyromonas gingivalis (Pg), Tannerella forsythia (Tf), dan Actinobacillus actinomycetemcomitans (Aa) yang memiliki keterlibatan sebagai agen etiologi dalam periodontitis.Hadirnya patogen periodontal, dianggap diperlukan untuk menyebabkan penyakit, tidak cukup. Rasio faktor resiko dalam perkembangan penyakit periodontal pada seorang individual yang memiliki satu dari patogen periodontal putatif tidak cukup tinggi untuk mempertimbangkan agen patogen ini sebagai faktor resiko (Ezzo & Cutler, 2003). Adanya A.actinomycetemcomitans memberi tidak ada resiko tambahan dalam perkembangan agresif periodontitis terlokalisasi pada dewasa despite the fact kehadirannya dibutuhkan penyakit untuk berkembang (Buchmann dkk., 2000). Telah ditunjukkan bahwa Prevotella intermedia, P gingivalis, dan Fusobacterium nucleatum menjadi indikator resiko untuk penyakit periodontal pada populasi yang berbeda, walau bukan sebagai faktor resiko (Alpagot dkk., 1996). Infeksi aktif dari human cytomegalovirus dan herpesvirus lainnya telah diajukan sebagai faktor resiko yang mungkin untuk penyakit periodontal dekstruktif, termasuk periodontitis kronik, agresif periodontitis, dan nekrotizing periodontal dissease (Kamma & Slots, 2003). Satu penelitian menemukan bahwa adanya herpesvirus pada daerah subgingival berhubungan dengan kolonisasi subgingival pada daerah ini dengan bakteri periodontopatik dan dengan peningkatan resiko 3 kali hingga lima kali lebih besar terhadap periodontitis kronik yang parah (Contreras dkk., 1999).Sementara organisme pada celah gingiva berhubungan erat dengan periodontitis, sebuah penemuan penting bahwa plak supragingival dapat berperan sebagai wadah alamiuntuk organisme tersebut (Sakellari dkk., 2001). Ketika pengaruh bakteri cukup kuat untuk menekan pertahanan host, bakteri pada plak supragingival bermigrasi ke subgingival untuk embentuk biofilm subgingival. Pemeberishan supragingival secara profesional yang sering, menambah oral hygiene personal yang baik, menunjukkan efek yang menguntungkan pada mikrobiota subgingival dalam poket periodontal yang cukup dalam (Hellstrom dkk., 1996). Penemuan ini secara kolektif membentuk bukti dasar untuk pengontrolan ketat dari plak supragingival sebagai bagian terapi periodontal.

6.1.5 faktor psikologisPenelitian telah menunjukkan bahwa individu dibawah stress psikologis cenderung mengalami kehilangan perlekatan klinis dan kehilangan tulang alveolar (Hugoson dkk., 2002; Pistorius dkk., 2002; Wimer dkk., 2002). Salah satu hubungan yang memungkinkan dalam peningkatan produksi IL-6 sebagai respon terhadap peningkatan infeksi P.gingivalis dapat dikompromikan pada individu yang mengalami stres psikologis (Houri Haddad dkk., 2003).Despite adanya bukti dari penelitian case control dan cross sectional, tidak ada penelitian longitudinal atau intervensi yang telah dipublikasikan yang mengkonfirmasi stres psikologis sebagai faktor resiko untuk penyakit periodontal. Perhaps the relationship sederhana berdasarkan fakta bahwa individu dibawah stress cenderung melakukan pemeliharaan oral hygiene dan profilaksis yang kurang (Croucher dkk., 1997).6.1.6 ObesitasObesitas merupakan salah satu dari resiko kesehatan signifikan pada masyarakat modern, dan dikenali sebagai perhatian masalah kesehatan mayor baik pada negara yang sedang berkembang dan berkembang (Doll dkk., 2002). Prevalensi obesitas meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan, mecapai proporsi epidemik, terutama di antara anak dan dewasa musa (Freidmn, 2000). Obesitas sendiri telah dikenali sebagai faktor resiko untuk sejumlah penyakit pada dewasa, dan mungkin menjadi faktor dari insidensi periodontitis.Indeks massa tubuh/ body mass index (BMI) (Elter dkk., 2000; Grossi & Ho 2000), perbandingan lingkar pinggang hingga pinggul/ waist to hip circumference (WHR) dan lemak tubuh, (Saito dkk., 1998;2000, 2001) menjadi faktor dalam insidensi penyakit periodontal. Kondisi berhubungan dengan obesitas, contoh. sindrom metabolik, dyslipidemia dan resistensi insulin dapat memperparah periodontitis (Grossi & Ho, 2000). Long term interest dari peranan nutrisi dan penyakit periodontal question peranan nutrisis pda patogenesis penyakit periodontal. Saat ini, telah diajukan sebuah hubungan antara obesitas dengan penyakit periodontal (Amin, 2010). Lebih lanjut, hasil dari Survei Kesehatan dan Nutrisi Nasional Ketiga yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan perbandingan lingkar pinggang-pinggul, indeks massa tubuh/body mass index (BMI), massa lemak bebas dan akumulasi lemak subkutan secara signifikan berkorelasi dengan periodontitis, menandakan metabolisme abnormal dari lemak menjadi faktor penting terhadap patogenesis penyakit periodontal (Wood dkk., 2003). Telah diajukan bahwa pola dari distribusi lemak dan hubungannya terhadap patogenesis periodontal menyertai dengan masalah kesehatan yang terkait obesitas, seperti hipertensi dan diabetes tipe II, dimana akumulasi lemak yang mendalam memegang peranan penting dalam peningkatan kerentanan dari penyakit tersebut (wood dkk., 2003).Obesitas telah diajukan menurunkan aliran darah pada jaringan periodontal, promoting perkembangan penyakit periodontal (Shuldiner dkk., 2001). Lebih lanjut, obesitas mungkin meningkatkan kelainan imunologis dan inflamasi, yang menjadi alasan subjek dengan obesitas cenderug menunjukkan peningkatan status periodontal yang memburuk yang berhubungan dengan individual tanp obesitas (Nishida dkk., 2005).Model hubungan antara obesitas dan infeksi periodontal yang diajukan mengemukakan bahwa resistensi insulin sebagai perantara hubungan antara keduanya. Kontribusi pada diet asam lemak bebas tidak hanya pada obesitas saja tetapi terhadap resistensi insulin dengan meningkatkan dekstruksi sel dari pakreas (Saiti dkk., 1999). Resistensi insulin, berkontribusi terhadap kondisi hiperinflamasi umum, termasuk jaringan periodontal, terutama ketika dipicu patogen oral. Lebih lanjut, adipositokin, yang termasuk diantaranya tumor necrosis faktor (TNF-) yang disekresi jaringan adiposa, nampak berhubungan langsung dengan dekstruksi periodontal (Nishida dkk., 2005). Di lain pihak, terdapat beberapa bukti bahwa sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan interferon dan liposakarida gram negatif yang diproduksi dalam jumlah besar sebagai respon terhadap infeksi dapat mengganggu metabolisme lemak (Wood dkk., 2003). Hal ini yang mungkin meningkatkan masalah obesitas dan masalah kesehatan yang terkait obesitas.

6.1.7 Status Sosioekonomi (SES)Banyaknya kondisi penyakit yang berhubungan dengan status sosioekonomik, dan sebab/efek dapat dimengerti. Secara umum, individu dengan edukasi yang lebih baik, lebih mapan, dan hidup pada kondisi yang lebih baik memiliki status kesehatan yang lebih beaik dibanding masyarakat yang kurang berpendidikan dan lebih miskin. Penyakit periodontal tidak memiliki perbedaan dan memiliki hubungan dengan status sosioekonomi yang lebih rendah (Astrom & Rise, 2001; Thomson & Locker, 2000). Efek buruk dari hidup pada kondisi kekurangan dapat dimulai sejak masa awal kehidupan (Schou & Wight, 1994). Gingivitis dan oral hygiene yang buruk berhubungan dengan jelas terhadap rendahnya SES, tetapi hubungan antara periodontitis dan SES kurang secara langsung. Di lain pihak, CAL yang 4 mm dan 7 mm pada setidaknya satu sisi masing-masing berhubungan dengan tingkat pendidikan (Bethesda, 1987).Adanya kemungkinandari hubungan antara tingkat SES dan kesehatan gingiva secara luas merupakan fungsi persamaan dari oral hygiene yang lebih baik di antar individu dengan edukasi yang lebih baik dan frekuensi yang lebih besar dari kunjungan ke dokter gigi pada kewaspadaan kesehatan gigi. Perbedaan rasial/etnik pada status periodontal telah ditunjukkan beberapa kali, diperkirakan tidak mungkin dapat menunjukkan perbedaan genetik secara jelas. Kemungkinan lebih pada SES, sebuah variabel kompleks dan dari segala segi yang dimasukkan berbagai faktor kultural, mengaburkan hubungan ini.

6.2 Faktor Resiko yang tidak dapat Dimodifikasi6.2.1 Faktor GenetikWalau infeksi bakterial merupakan agen etiologi pada penyakit periodontal, penelitian pada kembar identik didapatkan 50% dari kerentanan terhadap penyakit periodontal yang disebabkan faktor host (Michalowicz dkk., 2000). Serupa, pada populasi pribumi dan yang berhubungan menunjukkan penyakit periodontal yang berbeda dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain (Dowsett dkk., 2001). Beberapa polymorphism gen telah diinvestigasi, diantaranya menunjukkan berhubungan dengan peningkatan resiko dari periodontitis (Li dkk., 2004; Noack dkk., 2004). Berbagai faktor resiko genetik, hanya dapat menjelaskan bagian dalam variansi dari terjadinya periodontitis (Diehl dkk., 1999). Sebagai tambahan, interaksi signifikan yang nampak antara faktor genetik, lingkungan dan demografi (Albandar & Rams).Kebanyakan penelitian menghubungkan kekuatan faktor genetik sebagai determinatn dari penyakit pada penelitian laboratorium dan klinis dibanding penelitian epidemiologi, tetapi penelitian harus tetap diulas secara singkat di sini. Laporan original 1997, menggunakan data dari pasien pada praktek pribadi, menemukan genotip spesifik dari kumpulan gen polimorfik IL-1 berhubungan dengan periodontitis yang lebih parah (Kornman dkk., 1997). Hubungan ini dapat ditunjukkan hanya pada individu yang tidak merokok, yang disimpulkan secara langsung bahwa faktor genetik tidak sekuat faktor resiko seperti merokok. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada gen IL-1 setelahnya. Hal ini sesuai, menjadikan sitokin proinflamasi IL-1 sebagai regulator kunci dari respon host terhadap infeksi mikrobial, walau IL-1 tidak mungkin hanya sebagai satu-satunya faktor genetik yang terlibat (Mark dkk., 2000; McDevitt dkk., 2000). IL-1 telah diidentifikasikan sebagai penyebab yang berkontribusi terhadap periodontitis dalam satu penelitian (Thomson dkk., 2001).Walau terdapat sedikit keraguan dalam komponen genetik pada periodotitis, kekuatan komponen masih ditentukan. Penelitian di antara 169 pasangan kembar menyimpulkan bahwa setengah dari variansi dalam periodontitis berperan terhadap heritability (Michalowicz dkk., 2000). Kombinasi dari genotip IL-1 dan riwayat merokok memberikan profil resiko yang baik pada pasien (McDevitt dkk., 2000) dan interaksi genetik terhadap kebiasaan merokok sebagai faktor yang berperan dalam keparahan periodontitis. Peranan dari IL-1 pada regulasi respon host terhadap infeksi telah dijelaskan secara jelas, tetapi tidak esensial (Cullinan dkk., 2001). Penelitian lebih lanjut, terutama pada penelitian epidemiologi dari orang dengan penyakit dan tanpa penyakit, akan diperlukan sebelum kotribusi genetik terhadap inisiasi dan progresi dari periodontitis dapat ditetapkan.6.2.2 PenuaanPenuaan berhubungan dengan peningkatan insidensi penyakit periodontal (Grossi dkk., 1994; Grossi dkk., 1995). Namun telah dikemukakan bahwa peningkatan tingkat dekstruksi periodontal yang diamati dengan hubungan terhadap penuaan sebagai hasil dekstruksi kumulatif dibanding hasil dari tingkat peningkatan dekstruksi. Asumsi lama bahwa periodontitis merupakan penyakit dari proses penuaan tidak lagi dipertahankan (Burt, 1994). Pandangan pada saat ini dikemukakan bahwa dekstruksi periodontal yang lebih besar pada manula sebagai refleksi akumulasi penyakit sepanjang hidup dibanding sebagai kondisi usia tertentu.Tingkat prevalensi dari keparahan yang relatif rendah (dibandingkan pada kondisi penyakit sedang) CAL diantara manula pertama kali ditunjukkan di Swedia dan setelahnya telah ditunjukkan elsewher (Hugoson & Jordan, 1982). Survei pada orang yang lebih tua di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia menemukan bahwa CAL atau PD sebesar 6 mm atau lebih was prevalent pada 15% hingga 30% dari orang yag diperiksa (Hunt dkk., 1990; Locker & Leake, 1993). Dari semua penelitian ini, CAL sebesar 4 hingga 6 mm lebih sering didapatkan. Perkiraan yang lebih tinggi dari dekstruksi periodontal didapatkan dari penelitian cross sectional di New England dari komunitas manula (Fox dkk., 1994). Dari semua laporan ini sepakat bahwa CAL meningkat sejalan dengan peningkatan umur, tetapi tidak menemukan adanya kehilangan fungsi yang besar dari gigi yang terkena.Dapat dihipotesiskan bahwa anggota yang lebih rentan dari populasi adalah yang menderita periodontitis sejak muda. Jika hal tersebut terjadi, adanya prevalensi yang lebih rendah dari keparahan CAL diantara semua gigi pada manula sebagian merupakan fenomena kelagsungan hidup, yang berarti bahwa individu yang lebih rentan terhadap periodontitis yang parah telah mengalami kehilangan gigi. Progresi penyakit yang paling cepat terlihat pada sejumlah kecil orang yang menderita penyakit sejak masa mudanya, dan terdapat bukti bahwa semua individu ini memiliki predisposisi genetik terhadap periodontitis (Parkhill dkk., 2000; Thomson dkk., 2001). Seringkali pada manula dengan kondisi gigi yang cukup intak untuk memperlihatkan lonjakan tiba-tiba dari kondisi periodontitis. Retensi gigi, oral hygiene yang baik, dan kesehatan periodontal berhubungan erat, tanpa mempertimbangkan umur (Abdellatif &, Burt, 1997).6.2.3 Jenis KelaminBeberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dan kehilangan perlekatan pada dewasa, dengan pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi dan keparahan dekstruksi periodontal dibanding wanita (Albandar, 2000; Morris dkk., 2001). Data yang ada mengemukakan bahwa penemuan ini berhubungan dengan jenis kelamin terkait faktor predisposisi genetik atau faktor sosiobehavioral (Reichert dkk., 2002).Perbedaan genetik telah ditelusuri secara detail, tetapi cenderung lebih berhubungan dengan oral hygiene yang lebih buruk, sikap positif yang kurang terhadap kesehatan rongga mulut, dan perilaku kunjungan ke dokter gigi di antara pria dibanding faktor genetik lainnya. Tentu saja, terdapat sindrom yang terkait jenis kelamin sementara terkait dengan kondisi hormonal, seperti gingivitis yang terkait kehamilan, atau gingivitis yang berkaitan pubertas yang dapat mempengaruhi anak pada kedua jenis kelamin (Albandar, 2005).6.2.4 EtnisTingkat kehilangan perlekatan juga dipengaruhi oleh ras/ etnis, walau peranan secara pasti dari faktor ini belum sepenuhnyanya dipahami. Kelompok ras/etnis tertentu, khususnya pada subjek dengan latar belakang Afrika dan Amerika Latin, memiliki resiko tinggi dalam perkembangan kehilangan jaringan dibanding kelompok lainnya. Pada populasi di Amerika Serikat, subjek dengan keturunan Afrika atau Meksiko memiliki kehilangan perlekatan yang lebih besar dibanding Kaukasian (Albandar dkk., 1999).Hubungan antara penyakit periodontal dengan ras/etnis secara signifikan melemah ketika efek tertentu seperti merokok kretek dan pendapatan turut diperhitungkan (Hyman & Reid, 2003). Modifikasi efek ini mengemukakan bahwa karakterisitik ras/etnis tertentu sebagai indikator dari atau dibingungkan oleh efek tertentu lain. Sebagai contoh, komunitas Afrika-Amerika secara umum memiliki status sosioekonomi yang lebih rendah dibanding Kaukasian. Oleh karena itu, peningkatan resiko dari periodontitis pada kelompok ras/etnis mungkin sebgai disebabkan perilaku sosioekonomi, dan perbedaan lainnya (Poulton dkk., 2002). Di lain pihak, terdapat bukti bahwa peningkatan resiko juga sebagian berhubungan dengan predisposisi biologis/genetis (Albandar dkk., 2002; Haubek dkk., 2002).7. Predileksi Resiko PeriodontitisUsaha untuk mengidentifikasi penanda untuk penyakit di masa yang akan datang haru kembali ke beberap tahun yang lalu. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya beberapa wujud yang mudah diukur sehingga dokter gigi dapat siap diberikan pada pasien yang diprediksi memiliki reabilitas resiko tinggi untuk penyakit dimasa yang akan datang. Adaya plak yang terlihat dan kalkulus sebagai penanda hipotesis, telah lama diasumsikan untuk memprediksi CAL dimasa yang akan datang atau kehilangan tulang, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengukuran klinis dari plak dan kalkulus sendiri tidak mampu memprediksi penyakit di masa datang pada untuk penggunaan yang lain (Badersten dkk., 1990; Persson dkk., 1998). Model yang memasukkan adanya patogen subgingival seperti Aa, Pg, dan Tf dengan indikator lainnya menunjukkan derajat sedang dari prediktabilitas (Timmerman dkk., 2001; Tran dkk., 2001).Respon host juga harus disamakan, dan saat ini diketahui bahwa merokok dan predisposisi genetik memegang peranan penting dalam hal ini. Ketika kebiasaan merokok dan status genotip IL-1 dimasukkan dalam model yang akan diprediksi, tidak ada dasar indikator klinis yang ditambahkan secara signfikan terhadap model untuk kehilangan gigi selanjutnya. Dasar inidikator klinis ditampilkan lebih baik pada model yang turut mengikutsertakan status genotip IL-1 pada non-perokok.Penelitian telah menginvestigasi peranan stress psikososial dalam istilah adanya efek buruk atau riwayat dari depresi klinis. Stress terlihat berhubungan dengan progresif periodontitis, yang ketika diperiksa pada penelitian case-control, cross sectional, atau pada desain penelitian longitudinal (Croucher dkk., 1997; Elter dkk., 1999; Genco dkk., 1999). Karena stress psikososial telah didokumentasikan dengan baik sebagai faktor resiko untuk sejumlah penyakit yang berbeda, identifikasi dari peranan prediktif pada periodontitis memperkuat hipotesis bahwa periodontitis berkaitan dengan penyakit sistemik.Prediksi resiko masih merupakan ilmu yang belum pasti dalam periodontologi, terdapat kemajuan pada pemahaman kita mengenai faktor resiko telah memungkinkan adanya perkembangan dalam perhitungan resiko yang diberikan kepada praktisi klinis untuk membantu menilai resiko penyakit pada pasien (Page dkk., 2002). Refinement dari model prediksi di masa akan datang memberikan praktisi klinis bukti dasar yang terus meningkat dalam pemilihan perawatan yang akan digunakan.8. Penyakit Periodontal sebagai Faktor Resiko untuk Penyakit LainPeranan yang penting dari infeksi periodontal seperti faktor resiko untuk penyakit sistemik saat ini menarik banyak perhatian khusus. Penyakit jantung telah dilaporkan menjadi kondisi yang paling sering didapatkan pada pasien periodontitis (Umino & Nagao, 1993). DeStefano dkk., 1993 melaporkan subjek dengan periodontitis memiliki peningkatan resiko sebesar 25% untuk penyakit jantung koroner (CHD) ketika dibandingkan dengan individu tanpa periodontitis. Diantara pria dengan umur dibawah 50 tahun, subjek dengan periodontitis, 70% diantaranya kemungkinan untuk mengembangkan CHD dibanding pria tanpa penyakit periodontal.Loesche, 1994 melaporkan bahwa infeksi periodontal menginduksi bakterimia tingkat rendah, meningkatkan jumlah sel darah putih, dan paparan host terhadap endotoksin yang mempengaruhi integritas endotelial, metabolisme lipoprotein plasma, fungsi platelet dan koagulasi darah. Robert dkk., 2002 menyimpulkan bahwa, akumulasi dari penelitian epidemiologik, in vitro, klinis, dan uji pada hewan menyimpulkan bahwa infeksi periodontal merupakan faktor resiko untuk penyakit jantung. Namun, perhatian mengenai keabsahan asal dari hubungan tersebut telah muncul.Infeksi periodontal sebagai faktor resiko dari kelahiran bayi dengan berat lahir rendah (PLBW) didiskusikan dalam laporan oleh Offenbacher dkk., 1996. Penulis mempelajari hasil kehamilan dan jajaran yang luas dari faktor resiko putatif pada 124 ibu dan mengungkapkan bahwa rasio faktor resiko untuk PLBW pada wanita dengan penyakit periodontal parah sebesar 7.5. Menariknya, analisis resiko yang turut berperan mengindikasikan sebesar 18% dari semua kasus PLBW disebabkan infeksi periodontal. Data ini memperoleh kredibilitas dalam penelitian eksperimental yang menverifikasi kejadian dari PLBW diantara subjek hewan percobaan periodontitis (Collin dkk., 1994a, 1994b).